RESISTENSI HERBISIDA PADA GULMA
Setiap organisme pengganggu tanaman harus dikendalikan agar tidak menurunkan produksi baik secara kualitas maupun kuantitas. Salah satu organisme pengganggu tanman (OPT) yang salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhna dan perkembangan tanaman budidaya adalah keberadaan gulma (Djafaruddin, 2004). Gulma merupakan tumbuhan yang tumbuh pada tempat yang tidak dikehendaki oleh petani, karena akan merugikan petani baik langsung maupun tidak langsung. Dalam sistem pertanian, gulma tidak dikehendaki karena dapat menimbulkan banyak kerugian antara lain yaitu menurunkan hasil, menurunkan mutu, sebagai tanaman inang hama dan penyakit, menimbulkan keracunan bagi tanaman pokok seperti allelopati. Keberadaan gulma dengan jumlah populasi cukup tinggi mengakibatkan kerugian besar bagi petani sehingga perlu dikendalikan (Dad. Sembodo, 2010). Pengendalian gulma dapat dilakukan secara preventif, manual, kultur teknis, biologi, hayati, terpadu dan kimia dengan menggunakan herbisida (Sutrisno, 2013). Pengendalian gulma dengan cara menggunakan herbisida banyak diminati terutama untuk lahan pertanian yang cukup luas. Hal tersebut dikarenakan herbisida lebih efektif membunuh dan mengendalikan gulma tanaman tahunan dan semak belukar serta meningkatkan hasil panen pada tanaman pokok dibandingkan dengan penyiangan biasa. Sehingga dalam mengaplikasikan herbisida pada tanaman budidaya diperlukan pengetahuan tentang klasifikasi herbisida, respon morpologi dan biokimia terhadap herbisida. Menurut Sutidjo (1981) ditinjau dari segi ekologi gulma merupakan tumbuhan yang mudah beradaptasi dan memiliki daya saing yang kuat dengan tanaman budidaya.
Karena gulma mempunyai sifat mudah beradaptasi dengan tempat
lingkungan tumbuhnya maka gulma memiliki beberapa sifat diantaranya: 1. Mampu berkecambah dan tumbuh pada kondisi zat hara dan air yang sedikit, biji tidak mati dan mengalami dorman apabila lingkungan kurang baik untuk pertumbuhannya.
1
2. Tumbuh dengan cepat dan mempunyai pelipat gandaan yang relatif singkat apabila kondisi menguntungkan. 3. Dapat mengurangi hasil tanaman budidaya dalam populasi sedikit. 4. Mampu berbunga dan berbiji banyak. 5. Mampu tumbuh dan berkembang dengan cepat, terutama yang berkembang biak secara vegetatif. Tanaman pokok yang lebih dominan dari pada gulma dan tingkat kepadatan gulma yang rendah, tidak terlalu berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman. Jika gulma mempunyai tingkat kerapatan yang tinggi, akan menyebabkan terjadinya kompetisi antara tanaman pokok dan gulma, sehingga dapat menurunkan kuantitas hasil pertanian. Penurunan tersebut akibat dari persaingan antara gulma dan tanaman pokok untuk mendapatkan sinar matahari, air tanah, unsur hara, ruang tumbuh, dan udara (Sukman, 2003). Herbisida merupakan bahan kimia yang digunakan untuk membasmi gulma termasuk rumput liar atau menghambat tanaman liar yang mengganggu tanaman budidaya. Penggunaan herbisida secara intensif dapat menyebabkan terakumulasinya residu bahan kimia dalam tanah yang dapat mengakibatkan pencemaran lingkungan dan membahayakan bagi organisme lainnya serta proses biologi dalam tanah. Herbisida berasal dari senyawa kimia organik maupun anorganik atau berasal dari metabolit hasil ekstraksi dari suatu organisme. Herbisida bersifat racun terhadap gulma atau tumbuhan pengganggu, juga terhadap tanaman. Herbisida yang diaplikasikan dengan dosis tinggi akan mematikan seluruh bagian tumbuhan. Namun pada dosis yang lebih rendah, herbisida akan membunuh tumbuhan tertentu dan tidak merusak tumbuhan yang lainnya. Menurut Sukman dan Yakup (1995) terdapat beberapa keuntungan menggunakan herbisida diantaranya: dapat mengendalikan gulma sebelum mengganggu tanaman budidaya, dapat mencegah kerusakan perakaran tanaman yang dibudidayakan, lebih efektif dalam membunuh gulma, dalam dosis rendah dapat berperan sebagai hormon tumbuh, dan dapat meningkatkan produksi tanaman budidaya dibandingkan dengan 2
perlakuan pengendalian gulma dengan cara yang lain. Pemakaian suatu jenis herbisida secara terus menerus akan membentuk gulma yang resisten sehingga akan sulit mengendalikannya. Herbisida juga dapat digolongkan berdasarkan cara kerja, selektifitas, dan sifat kimianya. Berdasarkan cara kerjanya herbisida yang digunakan untuk mengendalikan gulma secara kimia pada lahan pertanian dibedakan menjadi : 1. Herbisida kontak Herbisida kontak adalah herbisida yang langsung mematikan jaringan-jaringan atau bagian gulma yang terkena langsung (kontak) larutan herbisida, terutama bagian gulma yang berwarna hijau. Herbisida jenis ini bereaksi sangat cepat dan efektif jika digunakan untuk memberantas gulma yang masih hijau, serta gulma yang masih memiliki sistem perakaran tidak meluas. 2. Herbisida sistemik Herbisida sistemik adalah herbisida yang mematikan gulma dengan cara bahan aktifnya ditranslokasikan ke seluruh tubuh atau bagian jaringan gulma, mulai dari daun sampai keperakaran atau sebaliknya. Herbisida ini membutuhkan waktu 1-2 hari untuk membunuh tanaman pengganggu tanaman budidaya (gulma) karena tidak langsung mematikan jaringan tanaman yang terkena, namun bekerja dengan cara menganggu proses fisiologi jaringan tersebut lalu dialirkan ke dalam jaringan tanaman gulma dan mematikan jaringan sasarannya seperti daun, titik tumbuh, tunas sampai ke perakarannya. Selain dari cara kerjanya herbisida juga digolongkan berdasarkan toksisitasnya. Tingkat toksisitas pada herbisida ada 2 yaitu: 1. Toksisitas akut Herbisida pada golongan toksisitas akut dapat dideskripsikan sebagai suatu zat yang masuk secara intensif kedalam jaringan tubuh gulma, apabila tidak langsung mati, kadangkala gulma hanya menderita sejenak. 2. Toksisitas kronik. Herbisida toksisitas kronik masuk kedalam jaringan tubuh gulma dalam waktu yang relative lebih lama sehingga cara kerjanya cenderung lambat. 3
Aplikasi herbisida yang berlebihan dapat menyebabkan dampak yang negatif terhadap lingkungan, organisme non target, keragaman hayati dan resistensi gulma terhadap herbisida. Bioremediasi yang murah dan ramah lingkungan dengan menggunakan bakteri pendegradasi herbisida merupakan metode yang menjanjikan untuk membersihkan dan memulihkan tanah yang terkontaminasi herbisida. Di alam, bakteri memiliki mekanisme untuk toleran atau resisten terhadap senyawa beracun dengan cara menghilangkan toksik atau memproduksi enzim yang dapat mendegradasi senyawa beracun tersebut (McGuinness & Dowling, 2009). Introduksi mikroba pendegradasi ke dalam tanah yang tercemar, mampu meningkatkan laju dekomposisi herbisida (Ermakova, et al., 2010). Penggunaan herbisida juga dapat menimbulkan dampak negatif yaitu dapat meracuni tanaman, tidak efektif mengendalikan gulma, dan memicu terjadinya resistensi gulma (Sembodo, 2010). Resistensi gulma merupakan kemampuan suatu gulma untuk bertahan terhadap aplikasi herbisida melebihi dosis yang dianjurkan. Resistensi gulma bisa terjadi akibat aplikasi herbisida sejenis secara terus menerus dan aplikasi herbisida dengan dosis yang berlebihan. Resistensi gulma di lapangan yang kadangkala diindikasikan oleh menurunnya efektivitas suatu teknologi pengendalian tidak terjadi dalam waktu singkat. Resistensi herbisida berkembang setelah adanya proses seleksi yang berlangsung selama banyak generasi. Resistensi merupakan suatu fenomena evolusi yang diakibatkan oleh seleksi pada gulma yang diberi perlakuan herbisida secara terus menerus dengan jenis yang sama (Jansen, 2014). Karena adanya seleksi yang terus-menerus jumlah individu yang peka dalam suatu populasi semakin sedikit dan meninggalkan individu-individu resisten.
Individu
resisten ini akan bereproduksi sehingga menghasilkan keturunan yang resisten pula. Populasi yang tetap hidup pada aplikasi herbisida permulaan akan menambah proporsi individu yang tahan terhadap senyawa dan meneruskan sifat ini pada keturunan mereka (Georgious dan Taylor 1986). Sehingga gulma yang telah mengalami resistensi akan semakin meningkat populasi dan tingkat resistensinya seiring berjalannya waktu.
4
DAFTAR PUSTAKA
Dad R. J. Sembodo, 2010. Gulma dan Pengelolaannya. Penerbit Graha Ilmu : Yogyakarta. Djafaruddin. 2004. Dasar-Dasar Perlindungan Tanaman. Jakarta : PT Bumi Aksara. Ermakova, I.T., Kiseleva, N.I., Shushkova, T., Zharikov, M., Zharikov, G.A. & Leontievsky, A.A. (2010). Bioremediation of glyphosatecontaminated soils. Journal of Applied Microbiology and Biotechnology, 88, 585–94. Georgious, G.P and C.E. Taylor, 1986. Factors Influencing the Evolution of Resistance. Committee on Strategies for the Management of Pesticide Resistant Pest Populations. National Academy Press, Washington, D.C. 157-169. Jansen, T. L. 2014. Mekanisme Resistensi Gulma terhadap Herbisida. Universitas Sriwijaya. Palembang. 7 hal. McGuinness, M. & Dowling, D. (2009). Plantassociated bacterial degradation of toxic organic compounds in soil. International Journal of Environmental Research and Public Health, 6, 22262247. doi:10.3390/ijerph6082226. Sembodo, D.R.J. 2010. Gulma dan Pengelolaannya. Graha Ilmu. Yogyakarta. 163 hal. Sukman, Y. and Yakup. 1995. Gulma dan Tehnik Pengendaliannya. Raja Grafindo Persada. Jakarta. 122 hal. Sutrisno, Suvi. 2013. Laporan Gulma Selektivitas. Universitas Brawijaya Sukman, Yernelis dan Yakup. 2002. Gulma dab Teknik Pengendaliannya. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
5