PRESENTASI KASUS
TENTAMEN SUICIDE
Disusun oleh: dr. Muhammad Ilham Syufi
Supervisor: dr.Bonita Baso
PROGRAM DOKTER INTERNSIP RS. TK. II. MOH RIDWAN MEURAKSA 2019
ii
BAB I
LAPORAN KASUS
I.
II.
IDENTITAS PASIEN Nama
: Tn. WD
Usia
: 32 tahun
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Alamat
: Mentok
Status Pernikahan
: Menikah
Pekerjaan
: Buruh harian lepas
Agama
: Islam
Tanggal Masuk
: 19 Desember 2016
Nomor RM
: 030343
Ruang Perawatan
: Ruang Anggrek PDL
ANAMNESIS (Autoanamnesis)
Keluhan Utama Minum racun rumput 3 jam SMRS Riwayat Penyakit Sekarang Pasien datang ke IGD RSUD Sejiran Setason diantar istrinya dengan keluhan muntah-muntah setelah meminum racun rumput + 3 jam SMRS . Pasien mengatakan meminum racun rumput sebanyak satu botol kecil dicampur air, Namun karena pahit pasien tidak menghabiskan semuanya. Pasien mengeluh nyeri ulu hati dan terasa panas (+), mual (+) muntah sudah tidak terhitung, sakit tenggorokan (+), sesak (-), dan lemas (+) . Pasien mengaku sempat tidak sadar , dan sudah meminum susu beruang sebanyak 6
1
kaleng sebelum datang ke rumah sakit. Muntah darah (-). BAK dan BAB tidak ada kelainan.
Riwayat Penyakit Dahulu Riwayat Hipertensi (-), DM (-), Jantung (-), Asma (-) Riwayat Penyakit Keluarga Riwayat penyakit keluarga tidak diketahui Riwayat Medikasi Pasien belum pernah berobat sebelumnya, hanya minum susu beruang 6 kaleng Riwayat Kebiasaan Pasien perokok aktif +1 bungkus per hari. Tidak mengkonsumsi alkohol.
III. PEMERIKSAAN FISIK Keadaan Umum Keadaan Umum
: Tampak sakit sedang
Kesadaran
: Compos mentis, GCS : 15
Antropometri
: BB: 75 kg, TB: 170 cm
Tanda Vital Tekanan darah
: 120/80 mmHg
Suhu
: 36.8°C
Respirasi
: 20 kali/menit
Nadi
: 108 kali/menit
Status Generalis Kepala
: Normochepali
2
Mata
: Pupil bulat isokor, konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik /-, RC +/+, Ø 2mm=2mm
Hidung
: Simetris, pernapasan cuping hidung (-).
Mulut
: sietris, sianosis (-), tonsil T1-T1 tenang, arkus faring simetris, hiperemis (-), oral hygiene baik
Telinga
: Normotia, liang telinga lapang, serumen (-), sekret (-)
Leher
: KGB tidak teraba membesar, kelenjar tiroid tidak teraba membesar, JVP 5+2 cm, deviasi trakea (-)
Toraks Paru - Inspeksi
: Gerakan dada simetris kanan dan kiri, retraksi (-)
- Palpasi
: Gerak napas simetris
- Perkusi
: Sonor pada kedua hemitoraks
- Auskultasi
: Suara napas vesikuler pada kedua lapang paru, ronki -/-, wheezing -/-
Jantung - Inspeksi
: Pulsasi ictus cordis tidak terlihat
- Palpasi
: Ictus cordis teraba di ICS V ± 1 cm medial linea midklavikularis sinistra
- Perkusi
: Batas paru dan jantung normal
- Auskultasi
: Bunyi jantung 1 dan 2 normal reguler, splitting (-), S3 (-), S4 (-), murmur (-)
Abdomen Inspeksi
: tampak datar
Palpasi
: Supel pada seluruh kuadran abdomen, nyeri tekan epigastrium (+), nyeri lepas (-), hepar dan lien tidak teraba membesar.
Perkusi
: timpani pada seluruh kuadran abdomen, shifting dullness (-)
Auskultasi Ekstremitas
: Bising usus (+) meningkat : Akral hangat (+), edema (-), CRT < 2 detik
3
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan tanggal 19 Desember 2016 Hemoglobin
16,3
13,2-17,3
Leukosit
10.830
5.000-10.000
Trombosit
312.000
150.000-440.000
Hematokrit
43%
40-52
Basofil
0
0-1
Eosinofil
1
1-3
Batang
0
2-6
Segmen
27
50-70
Limfosit
27
20-40
Monosit
8
2-8
Diff Count
V.
RESUME Seorang laki-laki, 32 tahun datang dengan keluhan muntah-muntah setelah minum
pestisida ( racun rumput ) 3 jam SMRS, Pasien mengatakan meminum racun rumput sebanyak satu botol kecil dicampur air, Namun karena pahit pasien tidak menghabiskan semuanya. Pasien mengeluh nyeri ulu hati dan terasa panas (+), mual (+) muntah sudah tidak terhitung, sakit tenggorokan (+) dan lemas (+) . Pasien mengaku sempat tidak sadar , dan sudah meminum susu beruang sebanyak 6 kaleng sebelum datang ke rumah sakit. Dari pemeriksaan fisik didapat kelainan berupa nyeri tekan epigastrium pada saat palpasi daerah abdomen dan bising usus meningkat pada saat auskultasi abdomen. Dari pemeriksaan laboratorium dalam batas normal. 4
VI.
DIAGNOSIS
Diagnosis Kerja
:
Intoksikasi Organofosfat ( Pestisida )
VII. PENATALAKSANAAN Nonmedikamentosa -
Tirah baring
-
Pasang NGT
-
Bilas Lambung 1000cc Nacl 0,9 % : cairan putih keruh + gumpalan putih seperti susu
-
Edukasi : Pasien dipuasakan
Medikamentosa -
IVFD Nacl 0,9 % 20 tpm
-
Inj. Omeprazol 1 amp (I.V.)
Konsul dr. Zainal Sp.Pd, advice : -
Inj. Dexametason 1x1 amp (I.V)
-
Inj. Ceftriaxone 2x1gr (I.V) (skintest)
-
Suckralfat Syr 4x10cc
-
Terapi lain lanjut
VIII. FOLLOW UP
20 Desember 2016 S
Nyeri perut (+), muntah (-), mual (+) , sakit tenggorokan (+), Telinga kiri berdenging (+)
5
O
KU: CM, TSS TD: 100/70 mmHg Nadi: 72x/menit Suhu: 36,30C Pernafasan: 20x/menit PF: NTE (+)
A
Intoksikasi (Pestisida Organofosfat)
P
- IVFD D5% 20 tpm - Inj. Ceftriaxone 2x1gr (I.V) - Inj. Omeprazol 2 x 1 amp (I.V) - Inj. Dexamethasone 1 x 1 amp (I.V) - Suckralfat syr 4x10cc NGT-up
-
- Diet cair 500cc/hr - Setelah visite pasien minta pulang (PAPS) Obat pulang : - Cefadroxil tab 3x500 - Dexamethasone 1x1tab - Omeprazole tab 2x1tab - Suckrafat Syr 4x 10cc
IX.
PROGNOSIS
Ad vitam
: Ad bonam
Ad functionam
: Ad bonam
Ad sanationam
: Dubia ad bonam
6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pendahuluan Pestisida adalah bahan kimia untuk membunuh hama (insekta, jamur dan gulma). Sehingga pestisida dikelompokkan menjadi : -
Insektisida (pembunuh insekta)
-
Fungisida ( pembunuh jamur)
-
Herbisida (pembunuh tanaman pengganggu) Pestisida telah secara luas digunakan untuk tujuan memberantas hama dan penyakit
tanaman dalam bidang pertanian. Pestisida juga digunakan dirumah tangga untuk memberantas nyamuk, kepinding, kecoa dan berbagai serangga penganggu lainnya. Dilain pihak pestisida ini secara nyata banyak menimbulkan keracunan pada orang. Kematian yang disebabkan oleh keracunan pestisida banyak dilaporkan baik karena kecelakaan waktu menggunakannya, maupun karena disalah gunakan (unttuk bunuh diri). Dewasa ini bermacam-macam jenis pestisida telah diproduksi dengan usaha mengurangi efek samping yang dapat menyebabkan berkurangnya daya toksisitas pada manusia, tetapi sangat toksik pada serangga. Diantara jenis atau pengelompokan pestisida tersebut diatas, jenis insektisida banyak digunakan dinegara berkembang, sedangkan herbisida banyak digunakan dinegara yang sudah maju. Dalam beberapa data Negara-negara yang banyak menggunakan pestisida adalah sebagai berikut -
Amerika Serikat 45%
-
Eropa Barat 25%
-
Jepang 12%
-
Negara berkembang lainnya 18% Dari data tersebut terlihat bahwa negara berkembang seperti Indonesia, penggunaan
pestisida masih tergolong rendah. Bila dihubungkan dengan pelestarian lingkungan maka penggunaan pestisida perlu diwaspadai karena akan membahayakan kesehatan bagi manusia ataupun makhluk hidup lainnya.
7
B. Definisi Organofosfat adalah nama umum ester dari asam fosfat. Organofosfat dapat digolongkan menjadi beberapa golongan antara lain, fosfat, fosforothioat, fosforamidat, fosfonat, dan sebagainya. Contoh dari organofosfat termasuklah insektisida (malathion, parathion, diazinon, fenthion, dichlorvos, chlorpyrifos, ethion), dan antihelmintik (trichlorfon). Organofosfat bisa diabsorpsi melalui absorpsi kulit atau mukosa atau parenteral, per oral, inhalasi dan juga injeksi.
Struktur umum organofosfat Gugus X pada struktur di atas disebut “leaving group” yang tergantikan saat organofosfat menfosforilasi asetilkholin serta gugus ini paling sensitif terhidrolisis. Sedangkan gugus R1 dan R2 umumnya adalah golongan alkoksi, misalnya OCH3 atau OC2H5. Organofosfat dapat digolongkan menjadi beberapa golongan antara lain, fosfat, fosforothioat, fosforamidat, fosfonat, dan sebagainya. C. Predisposisi Faktor yang berpengaruh terhadap kejadian keracunan pestisida adalah faktor dalam tubuh (internal) dan faktor dariluar tubuh (eksternal), faktor-faktor tersebut adalah : 1. Faktor dalam tubuh (internal) antara lain : a. Umur Umur merupakan fenomena alam, semakin lama seseorang hidup maka usia pun akan bertambah. Seiring dengan pertambahan umur maka fungsi metabolisme tubuh juga menurun. Semakin tua umur maka rata-rata aktivitas kolinesterase darah semakin rendah, sehingga akan mempermudah terjadinya keracunan pestisida. b. Status gizi
8
Buruknya keadaan gizi seseorang akan berakibat menurunnya daya tahantubuh dan meningkatnya kepekaan terhadap infeksi. Kondisi gizi yangburuk, protein yang ada dalam tubuh sangat terbatas dan enzimkolinesterase terbentuk dari protein, sehingga pembentukan enzimkolinesterase akan terganggu. Dikatakan bahwa orang yang memilikitingkat gizi baik cenderung memiliki kadar rata-rata kolinesterase lebihbesar. c. Jenis kelamin Kadar kholin bebas dalam plasma darah laki-laki normal rata-rata 4,4μg/ml. Analisis dilakukan selama beberapa bulan menunjukkan bahwatiap-tiap individu mempertahankan kadarnya dalam plasma hingga relatifkonstan dan kadar ini tidak meningkat setelah makan atau pemberian oralsejumlah besar kholin. Ini menunjukkan adanya mekanisme dalam tubuhuntuk mempertahankan kholin dalam plasma pada kadar yang konstan.Jenis kelamin sangat mempengaruhi aktivitas enzim kolinesterase, jeniskelamin laki-laki lebih rendah dibandingkan jenis kelamin perempuankarena pada perempuan lebih banyak kandungan enzim
kolinesterase,meskipun
demikian
tidak
dianjurkan
wanita
menyemprot
denganmenggunakan pestisida, karena pada saat kehamilan kadar rata-ratakolinesterase cenderung turun. d. Tingkat pendidikan Pendidikan formal yang diperoleh seseorang akan memberikan tambahanpengetahuan bagi individu tersebut, dengan tingkat pendidikan yang lebihtinggi diharapkan pengetahuan tentang pestisida dan bahayanya jugalebih baik jika dibandingkan dengan tingkat pendidikan yang rendah,sehingga dalam pengelolaan pestisida, tingkat pendidikan tinggi akanlebih baik. 2. Faktor di luar tubuh (eksternal) a. Dosis Semua jenis pestisida adalah racun, dosis semakin besar semakinmempermudah terjadinya keracunan pada petani pengguna pestisida.Dosis pestisida berpengaruh langsung terhadap bahaya keracunanpestisida, hal ini ditentukan dengan lama pajanan. Untuk dosispenyemprotan di lapangan khususnya golongan organofosfat, dosis yangdianjurkan 0,5 – 1,5 kg/ha. b. Lama kerja
9
Semakin lama bekerja sebagai petani maka semakin sering kontak denganpestisida sehingga risiko terjadinya keracunan pestisida semakin tinggi.Penurunan aktivitas kolinesterase dalam plasma darah karena keracunanpestisida akan berlangsung mulai seseorang terpapar hingga 2 minggusetelah melakukan penyemprotan. c. Tindakan penyemprotan pada arah angin Arah angin harus diperhatikan oleh penyemprot saat melakukanpenyemprotan.Penyemprotan yang baik bila searah dengan arah angindengan kecepatan tidak boleh melebihi 750 m per menit. Petani pada saatmenyemprot melawan arah angin akan mempunyai resiko lebih besardibanding dengan petani yang saat menyemprot searah dengan arahangin. d. Frekuensi penyemprotan Semakin
sering
melakukan
penyemprotan,
maka
semakin
tinggi
pularesiko
keracunannya.Penyemprotan sebaiknya dilakukan sesuai denganketentuan. Waktu yang dibutuhkan untuk dapat kontak dengan pestisidamaksimal 5 jam perhari. e. Jumlah jenis pestisida Jumlah jenis pestisida yang banyak yang digunakan dalam waktupenyemprotan akan menimbulkan efek keracunan lebih besar biladibanding dengan penggunaan satu jenis pestisida karena daya racun ataukonsentrasi pestisida akan semakin kuat sehingga memberikan efeksamping yang semakin besar D. Patofisiologi
Penghambatan kerja enzim terjadi karena organophosphate melakukan fosforilasi enzim tersebut dalam bentuk komponen yang stabil.
10
Pada bentuk ini enzim mengalami phosphorylasi.
Organophosphat adalah insektisida yang paling toksik diantara jenis pestisida lainnya dan sering menyebabkan keracunan pada orang. Termakan hanya dalam jumlah sedikit saja dapat menyebabkan kematian, tetapi diperlukan lebih dari beberapa mg untuk dapat menyebabkan kematian pada orang dewasa. 11
Organofosfat menghambat aksi pseudokholinesterase dalam plasma dan kholinesterase dalam sel darah merah dan pada sinapsisnya. Enzim tersebut secara normal menghidrolisis asetylcholin menjadi asetat dan kholin. Pada saat enzim dihambat, mengakibatkan jumlah asetylkholin meningkat dan berikatan dengan reseptor muskarinik dan nikotinik pada system saraf pusat dan perifer. Hal tersebut menyebabkan timbulnya gejala keracunan yang berpengaruh pada seluruh bagian tubuh. E. Gejala Tanda dan gejala dari intoksikasi organofosfat terbagi menjadi 3 bagian: (1) efek muskarinik, (2) efek nikotinik, dan (3) efek Sistem Saraf Pusat
a. Efek muskarinik Tanda dan gejala yang timbul 12-24 jam pertama setelah terpapar termasuk: diare, urinasi, miosis (tidak pada 10% kasus), bronkospasma/bradikardi, mual muntah, peningkatan lakrimasi, hipersalivasi dan hipotensi. Efek muskarinik menurut sistem organ termasuk:
1. Kardiovaskular - Bradikardi, hipotensi
2. Respiratori – bronkospasma, batuk, depresi saluran pernafasan
3. Gastrointestinal – hipersalivasi, mual muntah, nyeri abdomen, diare, inkontinensia alvi
4. Genitourinari – Inkontinensia urin
5. Mata – mata kabur, miosis
6. Kelenjar – Lakrimasi meningkat, keringat berlebihan
b. Efek Nikotinik Efek nikotinik termasuklah fasikulasi otot, kram, lemah, dan gagal diafragma yang bisa menyebabkan paralisis otot. Efek nikotinik autonom termasuk hipertensi, takikardi, midriasis, dan pucat. c. Efek sistem saraf pusat Efek sistem saraf pusat termasuk emosi labil, insomnia, gelisah, bingung, cemas, depresi salur nafas, ataksia, tremors, kejang, dan koma.
12
F. Diagnosis Banding G. Diagnosis 1) Diperlukan autoanamnesis dan aloanamnesis yang cukup cermat serta diperlukan bukti-bukti yang diperoleh di tempat kejadian. 2) Bagi pemeriksaan fisik harus ditemukan dugaan tempat masuknya racun sama ada dengan cara inhalasi, per oral, absorpsi kulit dan mukosa atau parenteral, yang amat berpengaruh pada efek kecepatan dan lamanya reaksi keracunan. 3) Pemeriksaan klinis paling awal adalah menilai status kesadaran pasien. Hal ini diikuti oleh penemuan tanda dan gejala klinis seperti yang telah dihuraikan sebelumnya 4) Akhir sekali diagnosa dikuatkan lagi dengan pemeriksaan penunjang sesuai indikasi. H. Pemeriksaan penunjang 1) Laboratorium klinik
analisa gas darah
darah lengkap
serum elektrolit
pemeriksaan fungsi hati
Pemeriksaan fungsi ginjal
sedimen urin
2) EKG
Deteksi gangguan irama jantung
3) Pemeriksaan radiologi
Dilakukan terutama bila curiga adanya aspirasi zat racun melalui inhalasi atau dugaan adanya perforasi lambung.
I. Penatalaksanaan a. Stabilisasi Pasien Pemeriksaan saluran nafas, pernafasan, dan sirkulasi merupakan evaluasi primer yang harus dilakukan serta diikuti evaluasi terhadap tanda dan symptom toksisitas kolinergik yang dialami pasien. Dukungan terhadap saluran pernafasan dan intubasi 13
endotrakeal harus dipertimbangkan bagi pasien yang mengalami perubahan status mental dan kelemahan neuromuskular sejak antidotum tidak memberikan efek. Pasien harus menerima pengobatan secara intravena dan monitoring jantung. Hipotensi yang terjadi harus diberikan normal salin secara intravena dan oksigen harus diberikan untuk mengatasi hipoksia. Terapi suportif ini harus diberikan secara paralel dengan pemberian antidotum. b. Dekontaminasi Dekontaminasi harus segera dilakukan pada pasien yang mengalami keracunan. Baju pasien harus segera dilepas dan badan pasien harrus segera dibersihkan dengan sabun. Proses pembersihan ini harus dilakukan pada ruangan yang mempunyai ventilasi yang baik untuk menghindari kontaminasi skunder dari udara. Pelepasan pakaian dan dekontaminasi dermal mampu mengurangi toksikan yang terpapar secara inhalasi atau dermal, namun tidak bisa digunakan untuk dekontaminasi toksikan yang masuk dalam saluran pencernaan. Dekontaminasi pada saluran cerna harus dilakukan setelah kondisi pasien stabil. Dekontaminasi saluran cerna dapat melalui pengosongan orogastrik atau nasogastrik, jika toksikan diharapkan masih berada di lambung. Pengosongan lambung kurang efektif jika organofosfat dalam bentuk cairan karena absorbsinya yang cepat dan bagi pasien yang mengalami muntah. Arang aktif 1g/kg BB harus diberikan secara rutin untuk menyerap toksikan yang masih tersisa di saluran cerna. Arang aktif harus diberikan setelah pasien mengalami pengosongan lambung. Muntah yang dialami pasien perlu dikontrol untuk menghindari aspirasi arang aktif karena dapat berhubungan dengan pneumonitis dan gangguan paru kronik. c. Pemberian Antidotum a) Agen Antimuskarinik Agen antimuskarinik seperti atropine, ipratopium, glikopirolat, dan skopolamin biasa digunakan mengobati efek muskarinik karena keracunan organofosfat. Salah satu yang sering digunakan adalah Atropin karena memiliki riwayat penggunaan paling luas. Atropin melawan tiga efek yang ditimbulkan karena keracunan organofosfat pada reseptor muskarinik, yaitu bradikardi, bronkospasme, dan bronkorea. 14
Pada orang dewasa, dosis awalnya 1-2 mg iv yang digandakan setiap 2-3 menit sampai teratropinisasi. Untuk anak-anak dosis awalnya 0,05mg/kg BB yang digandakan setiap 2-3 menit sampai teratropinisasi. Tidak ada kontraindikasi penanganan keracunan organofosfat dengan Atropin.
b) Oxime Oxime adalah salah satu agen farmakologi yang biasa digunakan untuk melawan efek neuromuskular pada keracunan organofosfat. Terapi ini diperlukan karena Atropine tidak berpengaruh pada efek nikotinik yang ditimbulkan oleh organofosfat. Oxime dapat mereaktivasi enzim kholinesterase dengan membuang fosforil organofosfat dari sisi aktif enzim. Pralidoxime adalah satu-satunya oxime yang tersedia. Pada regimen dosis tinggi (1 g iv load diikuti 1g/jam selam 48 jam), Pralidoxime dapat mengurangi penggunaan Atropine total dan mengurangi jumlah penggunaan ventilator. Efek samping yang dapat ditimbulkan karena pemakaian Pralidoxime meliputi dizziness, pandangan kabur, pusing, drowsiness, nausea, takikardi, peningkatan tekanan darah, hiperventilasi, penurunan fungsi renal, dan nyeri pada tempat injeksi. Efek samping tersebut jarang terjadi dan tidak ada kontraindikasi pada penggunaan Pralidoxime sebagai antidotum keracunan organofosfat. d. Pemberian anti-kejang Dazepam diberikan pada pasien bagi mengurangkan cemas, gelisah (dosis: 5-10 mg IV) dan bisa juga digunakan untuk mengkontrol kejang (dosis: sehingga 10-20 mg IV) J. Komplikasi
Gagal nafas
kejang
pneumonia aspirasi
neuropati
kematian
15
BAB III KESIMPULAN Organofosfat dapat menimbulkan keracunan karena dapat menghambat enzim kholinesterase. Manajemen terapinya meliputi stabilisasi pasien, dekontaminasi, dan pemberian antidotum. Antidotum yang digunakan adalah Atropin dan Pralidoxime. Gagal nafas merupakan penyebab utama kematian pasien.
16
DAFTAR PUSTAKA 1. Katz K D, Sakamoto K M, Pinsky M R. Organophosphate Toxicity. Medscape eMedicine, 2011. Available on: http://emedicine.medscape.com/article/167726overview. Accessed: 4th May 2011. 2. Sudoyo A W, Setiyohadi B, Alwi I et al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I, edisi IV. 2006. Pusat Penerbitan ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Page 214-16 3. Ooi S, Manning P. Guide to Essentials in Emergency Medicine. Singapore: McGrawHill, 2004. Page: 369-71
17