09e01776.pdf

  • Uploaded by: orbit orion
  • 0
  • 0
  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View 09e01776.pdf as PDF for free.

More details

  • Words: 28,677
  • Pages: 126
KEPASTIAN HUKUM BAGI TERDAKWA YANG DIKELUARKAN DEMI HUKUM DARI RUMAH TAHANAN NEGARA (STUDI DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS II B TANJUNG BALAI )

TESIS

Oleh

SURUNG PASARIBU 077005027/HK

S

C

N

PA

A

S

K O L A

H

E

A S A R JA

SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2009 Surung Pasaribu : Kepastian Hukum Bagi Terdakwa Yang Dikeluarkan Demi Hukum Dari Rumah Tahanan Negara (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai ), 2009 USU Repository © 2008

KEPASTIAN HUKUM BAGI TERDAKWA YANG DIKELUARKAN DEMI HUKUM DARI RUMAH TAHANAN NEGARA (STUDI DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS II B TANJUNG BALAI )

TESIS Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Humaniora dalam Program Studi Ilmu Hukum pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

SURUNG PASARIBU 077005027/HK

SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2009 Surung Pasaribu : Kepastian Hukum Bagi Terdakwa Yang Dikeluarkan Demi Hukum Dari Rumah Tahanan Negara (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai ), 2009 USU Repository © 2008

Judul Tesis

Nama Mahasiswa Nomor Pokok Program Studi

: KEPASTIAN HUKUM BAGI TERDAKWA YANG DIKELUARKAN DEMI HUKUM DARI RUMAH TAHANAN NEGARA ( STUDI DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS II B TANJUNG BALAI ) : Surung Pasaribu : 077005027 : Ilmu Hukum

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH) Ketua

(Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS) Anggota

Ketua Program Studi

(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH)

(Dr. Sunarmi, SH, M.Hum) Anggota

Direktur

(Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., MSc)

Tanggal lulus : 21 Juli 2009

Surung Pasaribu : Kepastian Hukum Bagi Terdakwa Yang Dikeluarkan Demi Hukum Dari Rumah Tahanan Negara (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai ), 2009 USU Repository © 2008

Telah diuji pada Tanggal 21 Juli 2009

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua

: Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH

Anggota

: 1. Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH., MS 2. Prof. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum 3. Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH 4. Syafruddin S. Hasibuan, SH, MH, DFM

Surung Pasaribu : Kepastian Hukum Bagi Terdakwa Yang Dikeluarkan Demi Hukum Dari Rumah Tahanan Negara (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai ), 2009 USU Repository © 2008

ABSTRAK

Pengaturan tentang penahanan yang diatur oleh KUHAP lebih memberikan kepastian hukum dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia jika dibandingkan HIR dengan memuat ketentuan tentang batas waktu penahanan. Dalam Pasal 24 sampai dengan Pasal KUHAP ditentukan bahwa terdakwa harus dikeluarkan demi hukum dalam setiap tingkat pemeriksaan jika batas waktu penahanan telah habis. Dalam pelaksanaannya, pengeluaran tahanan demi hukum mengalami hambatan sejak diterbitkannya Surat Edaran Bersama antara Ketua Mahkamah Agung dengan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan tanggal 19 November 1983 No. MA/PAN/368/XI/1983-EI.UM.04.11.227 yang menentukan pengeluaran demi hukum terhadap tahanan tidak bersifat imperatif melainkan masih memerlukan koordinasi pada 10 (sepuluh) hari sebelum batas waktu penahanan berakhir dengan pejabat yang bertanggung jawab secara yuridis dan jika tidak ada tanggapan dilanjutkan dengan komunikasi langsung 3 (tiga) hari sebelum batas waktu penahanan habis. Penelitian ini bersifat deskriptif analitis yang bertujuan untuk membuat gambaran secara sistematik, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan fenomena yang diselidiki dengan memperlihatkan suatu strategi perumusan masalah membandingkan realitas hukum dengan ideal hukum. Kesimpulan yang dapat diberikan adalah bahwa sepanjang tahun 2008 rumah tahanan negara Klas IIB Tanjung Balai telah mengeluarkan tahanan demi hukum tanpa syarat sesuai dengan KUHAP dengan mengenyampingkan Surat Edaran Bersama antara Ketua Mahkamah Agung dengan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan tanggal 19 November 1983 No. MA/PAN/368/XI/1983-EI.UM.04.11.227 yang membenarkan tindakan kelalaian mengeluarkan surat perintah penahanan dapat dibenarkan dengan jalan koordinasi.

Kata Kunci: Kepastian Hukum, Keluar Demi Hukum, Rumah Tahanan Negara.

Surung Pasaribu : Kepastian Hukum Bagi Terdakwa Yang Dikeluarkan Demi Hukum Dari Rumah Tahanan Negara (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai ), 2009 USU Repository © 2008

ABSTRACT

Arrangement about restraint that arrange by KUHAP give more surely law and protected for status and dignity of human if it compare HIR with contain determined about restraint time of limit. In paragrapht of 24 until with KUHAP of paragraph establis that defendant have to excretion for law in every level of inspection if time of limit restraint is over. In Implementation, excreation of restraint after law obstruction experience since Surat Edaran Bersama is published between Ketua Mahkamah Agung with Direktorat Jendral Pemasyarakatan date of 19 november 1983 No.MA/PAN/368/XI/1983-EI.UM.04.11.227 that determined excreation by law for defendant not imperative charateristic but rather need to responsibility coordination as juridical and if it not reaction continued with live comunication 3 (three) days before limit of time restraint is over. This research is analytical descripteve characteristic with the purpose is for make sistematic descriptive, factual and accurate about facts, characteristic’s and phenomenon relation which is observant with a strategic formula of problem compare realization law with ideal law. The result is as far as 2008 year country defendant home class II B Tanjung Balai have published defendant after law without prerequirement agree with KUHAP which is care about Surat Edaran Bersama between Ketua Mahkamah Agung with Direktorat Jendral Pemasyarakatan date of 19 november 1983 No.MA/PAN/368/XI/1983-EI.UM.04.11.227 which is indifferent action valid published document of order restraint can be valid with coordination methode.

Key words : Law of Centainty, Excreation After Law, Country Defendant Home.

Surung Pasaribu : Kepastian Hukum Bagi Terdakwa Yang Dikeluarkan Demi Hukum Dari Rumah Tahanan Negara (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai ), 2009 USU Repository © 2008

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur pada Tuhan Yang Maha Esa atas kesehatan dan kesempatan dan kesempatan yang deberikan kepada penulis untuk menyelesaikan penulisan tesis ini

dengan

judul

”KEPASTIAN

HUKUM

BAGI

TERDAKWA

YANG

DIKELUARKAN DEMI HUKUM DARI RUMAH TAHANAN NEGARA” (STUDI DILEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS II B TANJUNG BALAI ASAHAN)

Penyelesaian tesis ini tidak akan rampung tanpa bantuan saran maupun petunjuk yang diberikan kepada penulis oleh pembimbing maupun penguji, Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga kepada : 1.

Bapak Prof. Chairuddin P.Lubis, DTM&H, SpA(K), Selaku Rektor Universitas Sumatera Utara yang menerima penulis untuk mengikuti studi di Universitas Sumatera Utara.

2.

Ibu Prof Dr. Ir. T. Chairun Nisa, B MSc Selaku Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara beserta seluruh wakil Direktur yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan di Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

3.

Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH selaku Ketua Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara dan pembimbing utama penulis.

Surung Pasaribu : Kepastian Hukum Bagi Terdakwa Yang Dikeluarkan Demi Hukum Dari Rumah Tahanan Negara (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai ), 2009 USU Repository © 2008

4.

Ibu Dr. Sunarmi, SH, M. Hum selaku Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, beliau juga merupakan pembimbing utama penulis.

5.

Bapak Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS selaku pembimbing utama penulis.

6.

Bapak Syafruddin S. Hasibuan, SH, MH, DFM selaku penguji dalam penilitian tesis ini

7.

Bapak Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH selaku penguji dalam penelitian tesis ini juga telah banyak memberikan motivasi, koreksi dan dukungan.

8.

Bapak Kepala Kantor Wilayah Hukum dan HAM Sumatera Utara beserta seluruh jajarannya yang telah memberikan ijin kepada penulis untuk mengikuti Studi Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara. Penulis juga sangat berterima kasih kepada kedua orangtua dan mertua yang

telah menanamkan nilai-nilai dasar keilmuan dan mendo’akan penulis. Teriring salam bahagia penulis haturkan kepada isteri tercinta Veronika Paulana Sagala, BA dan anak-anakku tersayang : Michael Djoko Tanger Pasaribu, Jack Bastian Ferdy Pasaribu, Juan Hezron Allaro Pasaribu, Yohannes Ford Santra Pasaribu dan putriku tercantik Shinta Lonita Pasaribu atas kerelaan dan dorongan yang selalu mereka berikan agar penulis dapat menyelesaikan studi ini. Kepada pihak-pihak yang telah banyak membantu penyelesaian tesis ini, terutama teman-teman di Program Studi Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara yang tidak mungkin disebutkan satu persatu.

Surung Pasaribu : Kepastian Hukum Bagi Terdakwa Yang Dikeluarkan Demi Hukum Dari Rumah Tahanan Negara (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai ), 2009 USU Repository © 2008

Penulis juga menyadari bahwa tulisan ini masih banyak kekurangankekurangan untuk itu penulis memohon saran dan masukan kepada kalangankalangan peneliti selanjutnya agar penelitian ini menjadi sempurna dan bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan khususnya penerapan KUHAP di Indonesia, dan Tercapainya kepastian Hukum dan Hak Azasi Manusia.

Hormat penulis,

Surung Pasaribu, Bc., IP.,SH

Surung Pasaribu : Kepastian Hukum Bagi Terdakwa Yang Dikeluarkan Demi Hukum Dari Rumah Tahanan Negara (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai ), 2009 USU Repository © 2008

RIWAYAT HIDUP

Nama

: SURUNG PASARIBU,Bc.IP,SH,M.HUM.

Lahir /Tempat : 12 Oktober 1959 di Limbong. Agama

: Kristen Protestan.

Pekerjaaan

: PNS Dep.Hukum dan HAM.

Alamat

: Jl.Yayasan No.26 Gaperta Medan.

Telapon

: 061- 77809071

HP

: 08126409012

Pendidikan

: SD Negeri Singkam

1965 – 1971.

SMP Negeri Limbong

1972 – 1974.

SMPS Negeri Medan

1975 – 1979 (pagi).

SMA Negeri V Medan

1976 – 1979 (sore).

Akademi Ilmu Pemasyarakatan Jakarta

1979 – 1982.

Universitas Islam Sumatera Utara

1986 – 1990.

Sekolah Pascasarjana Hukum USU Medan 2007 – 2009.

Pekerjaan

: -

CPNS Lapas Klas I Tangerang

1983.

-

CPNS Kanwil DKI Jakarta

1984.

-

PNS Lapas Cipinang Jakarta

1984.

-

PNS Rutan Salemba Jakarta

1985.

-

Kasubsi Perawatan Lapas Binjai

1986.

-

Kasubsi Yantah cabang Rutan Labuhan Deli 1991.

-

Kasi Binadik Lapas Penyabungan

1995.

Surung Pasaribu : Kepastian Hukum Bagi Terdakwa Yang Dikeluarkan Demi Hukum Dari Rumah Tahanan Negara (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai ), 2009 USU Repository © 2008

-

Kacab Rutan Sipirok

1999.

-

Kasie Kamtib Lapas Rantau Prapat

2002.

-

Kacab Rutan Pangururan

2004.

-

Ka.KPLP Klas I Medan

2006.

-

Kalapas Klas IIB Tanjung Balai Asahan

2007.

-

Kalapas Klas IIA Binjai

2008.

Isteri

: PERONIKA PAULANA SAGALA.BA.

Anak

: 1. MICHAEL DJOKO TANGER PASARIBU ( PNS ). 2. JACK BASTIAN FERDI PASARIBU ( PNS ). 3. JUAN HEZRON ALLARO PASARIBU ( MHS USU ). 4. YOHANNES FORD SANTRA PASARIBU ( SMA XII ). 5. SHINTA LONITA PASARIBU ( SD ).

MOTTO HIDUP

“ SLOWLY BUT SURE” “SEJUTA KAWAN MASIH KURANG” SATU LAWAN BERLEBIHAN “TEGAS TIDAK GANAS” “RAMAH TIDAK LEMAH”

Surung Pasaribu : Kepastian Hukum Bagi Terdakwa Yang Dikeluarkan Demi Hukum Dari Rumah Tahanan Negara (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai ), 2009 USU Repository © 2008

DAFTAR ISI Halaman ABSTRAK.....................................................................................................

i

ABSTRACT....................................................................................................

ii

KATA PENGANTAR....................................................................................

iii

RIWAYAT HIDUP .......................................................................................

vi

DAFTAR ISI...................................................................................................

viii

DAFTAR TABEL...........................................................................................

x

DAFTAR SINGKATAN................................................................................

xi

BAB I

: PENDAHULUAN .......................................................................

1

A. Latar Belakang …………………….......................................

1

B. Perumusan Masalah …………………………………………

6

C. Tujuan Penelitian ……………………………………………

7

D. Manfaat Penelitian ……………………………………….....

7

E. Keaslian Penelitian ………………………………………….

8

F. Kerangka Teori dan Konsepsional ………………………….

8

1. Kerangka Teori …………………………………………

8

2. Konsepsional …………………………………………....

22

G. Metode Penelitian …………………………………………..

23

1. Spesifikasi Penelitian .......................................................

23

2. Sumber Data Penelitian …………………………………

24

3. Teknik Pengumpulan Data ...............................................

26

Surung Pasaribu : Kepastian Hukum Bagi Terdakwa Yang Dikeluarkan Demi Hukum Dari Rumah Tahanan Negara (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai ), 2009 USU Repository © 2008

4. Analisis Data ……………………………………...….…

26

BAB II : PENGATURAN HUKUM TENTANG PENAHANAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA ............................

27

A. Tinjauan Yuridis Tentang Penahanan ……..………………..

27

B. Urgensi Tindakan Penahanan Sebagai Penanggulangan Kejahatan Dalam Sistem Peradilan Pidana ..........................................................

38

BAB III : AKIBAT HUKUM TERHADAP BATAS WAKTU PENAHANAN YANG TELAH HABIS ...........................................

46

A. Batas Waktu Penahanan Yang Telah Habis Kaitannya Dengan Hak Asasi Manusia .............................................................................

46

B. Pemeriksaan Terdakwa Setelah Dikeluarkan Demi Hukum Dari Rumah Tahanan Negara ............................................................

58

C. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Batas Waktu Penahanan Habis Sebelum Pemeriksaan Selesai …………………………....

67

BAB IV : PROSEDUR PENGELUARAN TAHANAN DEMI HUKUM DARI RUMAH TAHANAN NEGARA ...........................................

76

A. Rumah Tahanan Negara Sebagai Tempat Penahanan Dalam Proses Pemeriksaan Perkara Pidana ..................................................

76

B. Mekanisme Yuridis Pengeluaran Demi Hukum Terhadap Terdakwa Atas Penahanan Yang Telah Habis ................................

88

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN .................................................

104

A. Kesimpulan ………………………………………………....

104

B. Saran .....................................................................................................

105

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................

106

Surung Pasaribu : Kepastian Hukum Bagi Terdakwa Yang Dikeluarkan Demi Hukum Dari Rumah Tahanan Negara (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai ), 2009 USU Repository © 2008

DAFTAR TABEL

No

1.

2.

Judul

Halaman

Terdakwa Yang Keluar Demi Hukum Dari Rumah Tahanan Negara (Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai) Dalam Proses Pemeriksaan di Pengadilan Negeri Tanjung Balai Tahun 2008 …….………….................................

97

Terdakwa Yang Keluar Demi Hukum Dari Rumah Tahanan Negara (Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai) Dalam Proses Pemeriksaan di Pengadilan Tinggi Sumatera Utara (Banding) Pada Tahun 2008 ……..…………….

101

Surung Pasaribu : Kepastian Hukum Bagi Terdakwa Yang Dikeluarkan Demi Hukum Dari Rumah Tahanan Negara (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai ), 2009 USU Repository © 2008

DAFTAR SINGKATAN

KUHAP

:

Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana

LAPAS

:

Lembaga Pemasyarakatan

MARI

:

Mahkamah Agung Republik Indonesia

PNTB

:

Pengadilan Tinggi Tanjung Balai

PP

:

Peraturan Pemerintah

PT

:

Pengadilan Tinggi

RUTAN

:

Rumah Tahanan Negara

SE

:

Surat Edaran

HIR

:

Herzein Indonesis Reglement

Surung Pasaribu : Kepastian Hukum Bagi Terdakwa Yang Dikeluarkan Demi Hukum Dari Rumah Tahanan Negara (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai ), 2009 USU Repository © 2008

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Negara Republik Indonesia adalah negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 serta menjunjung tinggi hak asasi manusia serta menjamin segala warga negara bersamaan kedudukannya di depan hukum dan pemerintahan dengan tidak ada kecualinya. 1 Norma ini bermakna bahwa hukum merupakan urat nadi seluruh aspek kehidupan. Hukum mempunyai posisi strategis dan dominan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dalam suatu negara hukum, pemerintah harus menjamin adanya penegakan hukum dan tercapainya tujuan hukum. Dalam penegakan hukum ada tiga unsur yang harus selalu mendapat perhatian, yakni, keadilan, kemanfaatan atau hasil guna (doelmatigheid), dan kepastian hukum. 2 Hukum dan penegakan hukum merupakan sebagian faktor yang tidak dapat diabaikan karena jika diabaikan akan menyebabkan tidak tercapainya penegakan hukum yang diharapkan. 3 Sebagai instrumen pengendalian sosial, penegakan hukum diperlukan guna menjaga ketertiban yang menjadi eksepktasi dalam kehidupan masyarakat. Jika 1

A. Rahman Zainuddin, Hak Asasi Manusia di Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1994), hlm. 3. 2

Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Bab-bab tentang Penemuan Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993), hlm. 1. 3

Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta: Rajawali, 1993), hlm. 5.

Surung Pasaribu : Kepastian Hukum Bagi Terdakwa Yang Dikeluarkan Demi Hukum Dari Rumah Tahanan Negara (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai ), 2009 USU Repository © 2008

ditinjau dari perspektif makro, maka peran dalam penegakan hukum yang strategis akan menjadi alat pengendali dan moral guidance bagi perilaku penyelenggara negara, elit politik dan masyarakat yang meliputi seluruh aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara sedangkan dalam perspektif mikro, peran penegakan hukum diaplikasikan dalam proses peradilan (law enforcement) mulai dari penyidikan, penuntutan hingga eksekusi putusan pidana yang telah berkekuatan hukum tetap. 4 Proses penegakan hukum, tidak saja membutuhkan perangkat peraturan perundang-undangan, tetapi juga membutuhkan instrumen penggeraknya yakni institusi-institusi penegak hukum yang merupakan komponen-komponen dari sistem peradilan pidana seperti kepolisian, kejaksaan, badan peradilan dan lembaga pemasyarakatan. Penegakan hukum sesuai dengan rasa keadilan masyarakat dengan tetap memperhatikan kepastian hukum pada setiap individu warga negara merupakan ekspresi nilai-nilai demokratik dalam suatu negara demokratis. Dengan adanya keterkaitan antara nilai-nilai penunjang demokrasi dan elemen-elemen negara hukum, maka sering dijadikan satu nafas untuk menyebutkan bentuk ideal negara hukum yang melindungi hak-hak warga negara dalam satu istilah negara hukum yang demokratis. 5 Penegakan keadilan terkait dengan implementasi peraturan perundangundangan yang diterapkan sesuai dalam konteks keadilan sebagaimana diterima 4

Paparan Jaksa Agung Republik Indonesia pada Apel Kasatwil Kepolisian Republik Indonesia, “Kebijakan dan Strategis dalam Penegakan Hukum di Bidang Penuntutan”, Semarang, 16 Februari 2001, hal. 1. 5

Arbi Sanit, Perwakilan Politik di Indonesia, (Jakarta: Rajawali, 1985), hlm.25.

Surung Pasaribu : Kepastian Hukum Bagi Terdakwa Yang Dikeluarkan Demi Hukum Dari Rumah Tahanan Negara (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai ), 2009 USU Repository © 2008

masyarakat. Kegagalan memfasilitasi keadilan melalui proses peradilan akan berujung pada kemarahan masyarakat kepada institusi penegak hukum. 6 Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disingkat KUHAP), tidak saja memuat tentang hak dan kewajiban yang menjadi tugas dan kewenangan masingmasing institusi penegak hukum tetapi juga memuat tentang tata cara proses pidana untuk menjamin hak asasi manusia khususnya mereka yang sedang berhadapan dengan permasalahan hukum. Proses penegakan hukum menganut asas division of function atau sistem kompartemen, yang memisahkan secara tegas tugas dan kewenangan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan serta pelaksanaan putusan dan penetapan pengadilan yang terintegrasi, menuju kepada sistem peradilan pidana terpadu (integrated criminal justice system), tetapi didalam praktek belum memunculkan sinergi antar institusi terkait. Sistem peradilan pidana terpadu merupakan dasar bagi terselenggaranya proses peradilan pidana yang benar-benar memberikan perlindungan hukum terhadap harkat dan martabat tersangka, terdakwa atau terpidana sebagai manusia. Sistem ini melibatkan subsistem pemeriksaan di sidang pengadilan dan subsistem pelaksanaan putusan pengadilan. Integrated criminal justice system adalah sinkronisasi dan keselarasan yang dapat dibedakan: Pertama, sinkronisasi struktural (structural syncronization) yaitu keserampakan dan keselarasan dalam rangka hubungan antar 6

Ahmad Mujahidin, Peradilan Satu Atap Di Indonesia, (Bandung: Refika Aditama, 2007),

hlm. 38

Surung Pasaribu : Kepastian Hukum Bagi Terdakwa Yang Dikeluarkan Demi Hukum Dari Rumah Tahanan Negara (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai ), 2009 USU Repository © 2008

lembaga penegak hukum. Kedua, sinkronisasi substansial (substansial sincronization) yaitu keserampakan dan keselarasan yang bersifat vertikal dan horizontal dalam kaitannya dengan hukum positif dan Ketiga, sinkronisasi kultural (cultural sincronization) yaitu keserampakan dan keselarasan dalam menghayati pandanganpandangan, sikap-sikap dan falsafah yang secara menyeluruh mendasari jalannya sistem peradilan pidana. 7 Setiap sub sistem dalam sistem peradilan pidana tidak boleh bekerja sendirisendiri tanpa mempedulikan subsistem lainnya. Sistem ini merupakan proses yang berkesinambungan. Kendala yang terjadi pada salah satu subsistem akan mempengaruhi subsistem lainnya. Setiap subsistem dan sistem peradilan pidana memainkan peranan yang spesifik dalam penanggulangan kejahatan dengan mengarahkan segenap potensi (anggota dan sumber daya) yang ada di lembaga masing-masing. Aktivitas subsistem ini harus diarahkan pada pencapaian tujuan bersama sebagaimana yang telah ditetapkan dalam desain kebijakan penanggulangan kejahatan (criminal policy). Munculnya permasalahan-permasalahan di dalam praktek selain adanya perbedaan persepsi, seringkali juga akibat adanya ego sektoral sehingga menjadi penghalang untuk menjalin kerja sama antar komponen dalam sistem peradilan pidana, karena KUHAP sendiri belum merumuskan secara tegas tentang apa yang dimaksud dengan sistem peradilan pidana terpadu. Ironinya meskipun berbagai upaya 7

Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana: Perspektif Eksistensialisme dan Abilisionisme, (Bandung: Bina Cipta, 1986), hlm. 17.

Surung Pasaribu : Kepastian Hukum Bagi Terdakwa Yang Dikeluarkan Demi Hukum Dari Rumah Tahanan Negara (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai ), 2009 USU Repository © 2008

telah dilakukan untuk mengeliminir permasalahan di dalam praktek, nampaknya kendala tersebut tetap saja muncul. Lebih-lebih di era reformasi karena adanya sorotan dan kritik tajam dari berbagai kalangan terhadap kesepakatan-kesepakatan tersebut karena dipandang sebagai wadah yang dapat memberikan peluang terjadinya kolusi antar para penegak hukum. Salah satu permasalahan dalam praktek proses peradilan pidana mulai dari tingkat penyidikan, penuntutan dan pengadilan yang menjadi topik dari penelitian ini adalah mengenai kepastian hukum bagi terdakwa atas batas waktu penahanan yang telah habis. 8 Selain itu muncul pemahaman yang berbeda mengenai terdakwa dikeluarkan demi hukum yang dalam prakteknya “dianggap” sama dengan bebas demi hukum. Pada prinsipnya kedua terminologi “dikeluarkan demi hukum” dan “bebas demi hukum” memiliki perbedaan yakni bahwa terdakwa dikeluarkan demi hukum tingkat pemeriksaan masih dalam tahap proses penyidikan, penuntutan, atau pemeriksaan pengadilan sedangkan bebas demi hukum didasarkan pada putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap artinya proses peradilan sudah selesai. Namun sifat yuridisnya sama-sama berdasar hukum atau demi hukum. Berdasarkan data awal prapenelitian yang didapatkan di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai Asahan sebanyak 12 (dua belas) orang terdakwa selama tahun 2008 (sampai september 2008) telah dikeluarkan demi hukum karena telah habis masa penahanannya. Para terdakwa tersebut masih menjalani 8

Lihat Pasal 19 ayat (7) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP.

Surung Pasaribu : Kepastian Hukum Bagi Terdakwa Yang Dikeluarkan Demi Hukum Dari Rumah Tahanan Negara (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai ), 2009 USU Repository © 2008

proses peradilan baik atas banding pihak kejaksaan maupun karena belum keluarnya putusan pengadilan yang lebih tinggi. Salah satu contoh kasus dari data awal pra penelitian tesis ini adalah terdakwa an. Tahan Sinaga dkk. Yang telah dikeluarkan demi hukum dari rumah tahanan oleh LAPAS Kelas II B Tanjung Balai Asahan pada tanggal 29 Juli 2008. Perkara atas terdakwa tersebut telah diputus oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Tanjung Balai tanggal 14 April 2008 No. 174/Pid/B/2008/PN-TB dengan hukuman 6 (enam) bulan 15 (lima belas hari) penjara. Atas putusan tersebut, Jaksa Penuntut Umum menyatakan banding, namun sampai dengan tanggal 29 Juli 2008 sebagai batas akhir penahanan, putusan pengadilan atas banding Jaksa Penuntut Umum belum diterbitkan, sehingga terdakwa harus dikeluarkan demi hukum dari rumah tahanan negara. Berdasarkan uraian-uraian di atas, peneliti tertarik untuk membahas dan meneliti mengenai ”Kepastian Hukum Bagi Terdakwa Yang Dikeluarkan Demi Hukum Dari Rumah Tahanan Negara (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai)”.

B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian pada latar belakang, maka adapun yang menjadi rumusan masalah adalah: 1. Bagaimana pengaturan hukum tentang penahanan dalam sistem peradilan pidana? 2. Bagaimana akibat hukum atas batas waktu penahanan yang telah habis? Surung Pasaribu : Kepastian Hukum Bagi Terdakwa Yang Dikeluarkan Demi Hukum Dari Rumah Tahanan Negara (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai ), 2009 USU Repository © 2008

3. Bagaimana proses dikeluarkannya terdakwa demi hukum dari rumah tahanan negara karena batas waktu penahanan yang telah habis?

C. Tujuan Penelitian Bertitik tolak dari rumusan masalah di atas, maka adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui pengaturan hukum tentang penahanan dalam sistem peradilan pidana. 2. Untuk mengetahui akibat hukum atas batas waktu penahanan yang telah habis. 3. Untuk mengetahui proses dikeluarkannya terdakwa demi hukum dari rumah tahanan negara karena batas waktu penahanan yang telah habis.

D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoritis dan praktis, yaitu: 1. Secara teoritis, diharapkan dapat bermanfaat bagi penemuan konsep-konsep hukum untuk menyempurnakan ketentuan dalam KUHAP sebagai pedoman dalam proses peradilan pidana yang lebih menjamin keadilan dan kepastian hukum. 2. Secara praktis, diharapkan dapat dijadikan bahan masukan baik bagi masyarakat maupun bagi para penegak hukum khususnya kepolisian, kejaksaan, hakim lembaga pemasyarakatan dan advokat. Surung Pasaribu : Kepastian Hukum Bagi Terdakwa Yang Dikeluarkan Demi Hukum Dari Rumah Tahanan Negara (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai ), 2009 USU Repository © 2008

E. Keaslian Penelitian Berdasarkan informasi dan penelusuran yang dilakukan oleh peneliti terhadap hasil-hasil penelitian yang pernah dilakukan di lingkungan Universitas Sumatera Utara, penelitian mengenai analisis kepastian hukum terhadap putusan hakim dikaitkan

dengan

dikeluarkannya

terdakwa

demi

hukum

oleh

Lembaga

Pemasyarakatan, belum pernah dilakukan penelitian pada topik dan permasalahan yang sama. Dengan demikian penelitian ini dapat dikatakan penelitian yang pertama kali dilakukan, sehingga keaslian penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan secara akademis.

F. Kerangka Teori dan Konsepsional 1. Kerangka Teori Kerangka teori yang digunakan dalam tesis ini mengacu kepada aliran analytical positivism yang dikemukakan oleh John Austin bahwa peraturan yang diadakan adalah untuk memberikan bimbingan kepada makhluk yang berakal yang berkuasa atasnya. Dalam kaitan ini, hukum dipisahkan dari keadilan dan didasarkan tidak atas gagasan-gagasan tentang yang baik dan yang buruk yang didasarkan atas kekuasaan yang lebih tinggi. 9

9

W. Friedman, Teori & Filsafat Hukum; Telaah Kritis Atas Teori-Teori Hukum (Susunan I), (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1993), hlm. 149.

Surung Pasaribu : Kepastian Hukum Bagi Terdakwa Yang Dikeluarkan Demi Hukum Dari Rumah Tahanan Negara (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai ), 2009 USU Repository © 2008

Austin mengemukakan sebuah pernyataan yang sampai sekarang dianggap sebagai klaim utama para legal positivism 10 yang berbunyi the existence of law is one thing, its merit or demerit is another yakni hukum harus didefenisikan tanpa mengaitkannya dengan moral sehingga hukum disebut positif karena dipositifkan atau diberikan posisi tertentu oleh pihak-pihak yang memiliki otoritas. Semua yang tidak merupakan perintah dari pemegang kedaulatan bukanlah hukum. Pendapat ini kemudian mempengaruhi pemikiran mengenai sumber hukum. Hukum dikatakan hukum, hanya apabila berasal atau dibuat oleh negara. Ajaran ini selanjutnya berkembang menjadi legisme yang menganggap hukum hanyalah undang-undang. 11 Lebih lanjut Austin mengemukakan bahwa hukum dibedakan kepada 2 (dua) hal, yakni: Pertama; hukum dalam arti yang sebenarnya (hukum positif) yang disebut law properly so called (positive law) yang memiliki command, sanction, duty, sovereignty. Ketentuan yang tidak mengandung 4 (empat) unsur tersebut tidak dapat disebut hukum positif namun hanya moralitas positif. Kedua; hukum yang tidak sebenarnya disebut law improperly so called yakni hukum yang tidak memenuhi persyaratan sebagai hukum karena tidak ditetapkan atau dibuat oleh penguasa. Hukum didefenisikan sebagai a rule laid down for the quidance of intelligent being

10

Teori hukum merefleksikan perjuangan hukum di antara tradisi dan kemajuan, stabilitas dan perubahan, kepastian dan keleluasaan. Sepanjang objek hukum adalah menciptakan ketertiban maka pendekatannya diletakkan pada kebutuhan akan stabilitas dan kepastian. Pada umumnya, teoriteori hukum dan para ahli hukum cenderung untuk lebih menekankan pada stabilitas dari pada perubahan. Lihat, W. Friedman, Teori & Filsafat Hukum; Telaah Kritis Atas Teori-Teori Hukum (Susunan II), (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1993), hlm. 37. 11

Ricardo Simarmata, Socio-Legal Studies Dan Gerakan http://www.huma.or.id/document/, diakses tanggal 26 April 2009

Pembaharuan

Hukum,

Surung Pasaribu : Kepastian Hukum Bagi Terdakwa Yang Dikeluarkan Demi Hukum Dari Rumah Tahanan Negara (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai ), 2009 USU Repository © 2008

by an intelligent being having power aver him. Dari pembedaan ini, maka sumber hukum satu-satunya adalah kekuasaan yang tertinggi dalam suatu negara sedangkan sumber lainnya adalah rendah. 12 Pendapat Austin yang menekankan hukum sebagai perintah dari kekuasaan politik yang berdaulat dari suatu negara dapat disejajarkan dengan teori kekuasaan dari Thomas Hobbes yang memandang negara sebagai kenyataan yang diterima begitu saja oleh orang-orang dalam wilayah tertentu. Negara timbul dan dipertahankan karena oleh kebanyakan bawahan mempunyai kebiasaan menaati peirntah. Austin dan Hobbes sama-sama memandang bahwa tiap undang-undang positif ditentukan secara langsung atau tidak langsung oleh seorang pribadi atau sekelompok orang yang berwibawa bagi anggota dari suatu masyarakat yang berdaulat di mana pembentuk adalah yang tertinggi. 13 Pokok-pokok dari ajaran analytical positivism yang dikemukakan oleh Austin adalah: 1. ajarannya tidak berkaitan dengan soal atau penilain baik dan buruk, sebab peniliain tersebut berada di luar hukum. 2. walau diakui adanya hukum moral yang berpengaruh terhadap masyarakat, namun secara yuridis tidak penting bagi hukum. 3. pandangannya bertolak belakang dengan baik penganut hukum alam maupun mazhab sejarah. 12

Saifullah, Refleksi Sosiologi Hukum, (Bandung: Refika Aditama, 2007), hlm. 64 - 65.

13

Ibid.

Surung Pasaribu : Kepastian Hukum Bagi Terdakwa Yang Dikeluarkan Demi Hukum Dari Rumah Tahanan Negara (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai ), 2009 USU Repository © 2008

4. hakekat dari hukum adalah perintah. Semua hukum positif adalah perintah dari yang berdaulat/penguasa. 5. kedaulatan adalah hal di luar hukum, yaitu berada pada dunia politik atau sosiologi karenanya tidak perlu dipersoalkan sebab dianggap sebagai sesuatu yang telah ada dalam kenyataan. 6. teori ini kurang memberikan tempat bagi hukum yang hidup dalam masyarakat. 14 Lili Rasyidi dengan mengutip pendapat Hart menguraikan ciri-ciri positivisme sebagai berikut: 1. hukum adalah perintah dari manusia (command of human being); 2. tidak ada hubungan mutlak antara hukum (law) dan moral atau hukum sebagaimana yang berlaku dan hukum yang sebenarnya; 3. analisis konsepsi hukum adalah: a. mempunyai arti penting. b. harus dibedakan dari penyelidikan. c. historis mengenai sebab-musabab dan sumber-sumber hukum. d. sosiologis mengenai hubungan hukum dengan gejala sosial lainnya. e. penyelidikan hukum secara kritis atau penilain, baik yang berdasarkan moral, tujuan sosial, fungsi hukum dan lain-lainnya. 4. sitem hukum adalah sistem yang logis, tetap dan bersifat tertutup dalam mana keputusan-keputusan hukum yang tepat biasanya dapat diperoleh dengan alat-alat 14

Lili Rasyidi dan Ira Rasyidi, Pengantar Filsafat dan Teori Hukum, (Bandung: PT. Citra Adtya Bakti, 2001), hlm. 59 - 60.

Surung Pasaribu : Kepastian Hukum Bagi Terdakwa Yang Dikeluarkan Demi Hukum Dari Rumah Tahanan Negara (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai ), 2009 USU Repository © 2008

logika dari peraturan-peraturan hukum yang telah ditentukan sebelumnya tanpa memperhatikan tujuan-tujuan sosial, politik dan ukuran-ukuran moral. 5. pertimbangan-pertimbangan moral tidak dapat dibuat atau dipertahankan sebagai pernyataan kenyataan yang harus dibuktikan dengan argumentasi-argumentasi rasional, pembuktian atau percobaan. 15 Pendapat Austin diikuti oleh Jeremy Bentham yang mengemukakan bahwa hukum dimaksudkan sebagai alat untuk mencapai tujuan kebahagiaan. Teori ini dikenal dengan utilitarianism yang menekankan bahwa manusia bertindak untuk memperbanyak kebahagiaan dan mengurangi penderitaan sehingga pembentuk hukum harus membentuk hukum yang adil bagi segenap warga masyarakat secara individual, disebabkan tujuan akhir dari perundang-undangan adalah kebahagiaan yang paling besar, yakni baik buruknya hukum harus diukur dari baik buruknya akibat yang dihasilkan oleh penerapan hukum. Suatu ketentuan hukum baru dapat dinilai baik jika akibat-akibat yang dihasilkan dari penerapannya adalah kebaikan dan berkurangnya penderitaan. 16 Pemikiran Bentham diikuti Roscoe Pound dalam teori engineering yang mengemukakan bahwa tugas utama dari hukum adalah social engineering untuk membangun suatu struktur masyarakat sedemikian rupa sehingga secara maksimum dicapai kepuasan akan kebutuhan-kebutuhan dengan seminimum mungkin banturan

15

Ibid, hlm. 57

16

Lili Rasjidi dan I. B. Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, (Bandung: Penerbit Mandar Maju, 2003), hlm. 117

Surung Pasaribu : Kepastian Hukum Bagi Terdakwa Yang Dikeluarkan Demi Hukum Dari Rumah Tahanan Negara (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai ), 2009 USU Repository © 2008

dan pemborosan 17 yang menekankan pada rumusan dan penggolongan tentang kepentingan

kemasyarakatan

dengan

menitikberatkan

pada

mengadakan

keseimbangan pada kepentingan akan menghasilkan kemajuan hukum. Dalam kaitan ini ada 3 (tiga) penggolongan utama mengenai kepentingan-kepentingan yang dilindungi oleh hukum, yakni: Pertama; kepentingan umum (public interests). Kedua; kepentingan kemasyarakatan (social interest) dan Ketiga; kepentingan pribadi (private interest). 18 Beberapa kepentingan yang dilindungi tersebut berorientasi kepada 3 (tiga) nilai dalam hukum, yakni kepastian hukum, kemanfaatan hukum dan keadilan. Ketiga aspek ini saling memiliki keterkaitan yang tidak dapat dipisahkan. Dalam perspektif pidana, kepastian hukum bukan hanya ditujukan terhadap kepentingan korban namun juga untuk kepentingan terdakwa. Essensi dari perkara pidana merupakan perlindungan ketertiban umum. Oleh karena itu maka pada prinsipnya, kepastian hukum merupakan perlindungan yustisiabel terhadap tindakan sewenang-wenang, yang berarti seseorang akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu. Kepastian hukum dan ketertiban hukum yang berintikan keadilan dan kebenaran perlu ditingkatkan sehingga benar-benar mampu menjadi pengayom masyarakat, memberi rasa aman, menciptakan lingkungan dan iklim yang mendorong kegairahan, kreativitas dan partisipasi masyarakat dalam pembangunan. Kepastian

17

Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2000), hlm. 298.

18

Mr. Soetiksno, Filsafat Hukum Bagian 2, (Jakarta: Penerbit Pradnya Paramita, 1976), hlm.

75.

Surung Pasaribu : Kepastian Hukum Bagi Terdakwa Yang Dikeluarkan Demi Hukum Dari Rumah Tahanan Negara (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai ), 2009 USU Repository © 2008

hukum mengharuskan diciptakannya peraturan-peraturan umum atau kaedah-kaedah yang berlaku umum yang pelaksanaannya harus diabdikan untuk kepentingan masyarakat, serta kepastian hukum harus diwujudkan dalam tertib hukum. 19 Manfaat hukum berkaitan dengan peruntukkan hukum. Sebagai subyek hukum, maka peruntukkan hukum adalah untuk manusia. Jangan sampai dalam penegakan hukum justru akan terjadi sebaliknya, hukum menjadi penyebab keresahan di dalam masyarakat. Keadilan merupakan tujuan dari hukum. Keadilan merupakan tujuan akhir pembangunan nasional yang membawa konsekuensi, keadilan harus meliputi segala segi. 20 Secara sederhana keadilan merupakan suatu keadaan seimbang yakni suatu kondisi yang tidak berat sebelah. Beberapa hal yang mempengaruhi kepastian hukum dalam penerapan praktek hukum dikemukakan oleh Bagir Manan bahwa keadaan hukum (the existing legal system) pada saat ini adalah: 1. dilihat dari substansi hukum terdapat berbagai sistem hukum yang berlaku, yakni hukum adat, hukum agama dan hukum barat. Ketiganya merupakan akibat politik hukum masa penjajahan yang bertujuan untuk menimbulkan kekacauan dalam lingkungan hukum tradisional. 2. ditinjau dari segi bentuk maka sistem hukum yang berlaku lebih mengandalkan pada bentuk-bentuk hukum tertulis. Pemakaian kaidah hukum adat atau hukum Islam hanya dipergunakan dalam hal-hal yang secara hukum ditentukan harus diperiksa dan diputus menurut kedua hukum tersebut. Penggunaan Yurisprudensi dalam mempertimbangkan suatu putusan hanya sekedar untuk mendukung peraturan hukum tertulis yang menjadi tumpuan utama.

19

Soerjono Soekanto, Beberapa Permasalahan Hukum Dalam Kerangka Pembangunan di Indonesia, (Yogyakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1984), hlm. 55 20

T. Mulya Lubis, Hukum dan Ekonomi, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1992), hlm. 17

Surung Pasaribu : Kepastian Hukum Bagi Terdakwa Yang Dikeluarkan Demi Hukum Dari Rumah Tahanan Negara (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai ), 2009 USU Repository © 2008

3. hingga saat ini masih cukup banyak hukum tertulis yang dibentuk pada masa Pemerintah Hindia Belanda. Hukum-hukum ini bukan saja dalam banyak hal tidak sesuai dengan alam kemerdekaan, tetapi telah pula ketinggalan orientasi dan mengandung kekosongan-kekososngan baik ditinjau dari sudut kebutuhan dan fungsi hukum maupun perkembangan masyarakat. 4. keadaan hukum saat ini menunjukkan banyak aturan kebijakan (beleidsregel) baik yang berasal dari administrasi negara maupun dari badan justisial yang menyimpang dari ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku. Keadaan tersebut menimbulkan kerancuan dan ketidak pastian hukum. 5. terdapat inkonsistensi dalam penggunaan asas-asas hukum atau landasan teoretik yang dipergunakan. 6. perundang-undangan yang berlaku sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman (out of date). Kekurangan ini dapat diatasi apabila para penegak hukum berperan aktif mengisi berbagai kekososngan atau memberikan pemahaman baru suatu kaidah. 21 Kondisi hukum saat ini sangat menyedihkan dan mengalami keterpurukkan yang luar biasa. Penciptaan berbagai peraturan tidak saja membawa perbaikan tetapi justru timbul kondisi “hiperregulated” membuat masyarakat lebih apatis. Institusi dan aparatur hukum hanya mengedepankan formal justice semata tanpa memperdulikan substansial justice. Secara lengkap Achmad Ali menyatakan bahwa: Semakin rendahnya tingkat kepercayaan warga masyarakat terhadap hukum dan penegakan hukum, disebabkan warga secara kasat mata menyaksikan dan mengetahui sendiri betapa “sandiwara hukum” dan lebih khusus lagi “sandiwara peradilan” masih terus berlangsung. Serentetan kasus-kasus hukum dan peradilan yang muncul di media massa. Seperti berita kasus suap menyuap kelas kakap masih berlangsung ditubuh Mahkamah Agung, berita perintah penundaan penuntutan tiga konglomerat dan lain-lain sebagai akibat tidak profesionalnya aparat penegak hukum teramat mengecewakan rakyat banyak. Kesemuanya makin menurunkan citra penegakan hukum. 22 21

Bagir Manan, Dasar-Dasar Konstitusional Peraturan Perundang-undangan Nasional, (Jakarta: Sinar Grafika, 1993), hlm. 23. 22

Achmad Ali, Keterpurukan Hukum di Indonesia (Penyebab dan Solusinya), (Jakarta: Penerbit Ghalia, 2001), hlm. 10 - 11.

Surung Pasaribu : Kepastian Hukum Bagi Terdakwa Yang Dikeluarkan Demi Hukum Dari Rumah Tahanan Negara (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai ), 2009 USU Repository © 2008

Berdasarkan landasan teori yang telah dikemukakan tersebut maka untuk menganalisis kepastian hukum terhadap putusan hakim dikaitkan dengan proses penjatuhan pidana harus diletakkan pada tujuan untuk mencapai kepastian hukum, keadilan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia khususnya terdakwa. Oleh karena itu, hal-hal spesifik harus ditata kembali untuk menjamin efektivitas proses peradilan dalam rangka ”Integrated Criminal Justice System”. Misalnya, upaya untuk menjamin dakwaan jaksa yang didasarkan pada hasil penyidikan yang akurat sehingga tidak mudah dipatahkan dalam proses peradilan. Menjamin agar dakwaan jaksa tidak begitu mudah ditolak atau tidak dapat diterima oleh suatu Majelis Hakim. Untuk itu perlu ada sistem atau cara untuk menerobos ketentuan KUHAP yang menjadi dinding pemisah yang terlalu ketat antara hakim, jaksa dan polisi. 23 Lobby Loqman membedakan pengertian sistem peradilan pidana dengan proses pidana. Sistem adalah suatu rangkaian antara unsur atau faktor yang saling terkait satu dengan lainnya sehingga menciptakan suatu mekanisme sedemikian rupa sehingga sampai tujuan dari sistem tesebut sedangkan proses peradilan pidana merupakan suatu proses sejak seseorang diduga telah melakukan tindak pidana, sampai orang tersebut dibebaskan kembali setelah melaksanakan pidana yang telah dijatuhkan kepadanya. 24

23

Muladi, Hak Asasi Manusia, dan Reformasi Hukum di Indonesia, (Jakarta: The Habibie Center, 2002), hlm. 29. 24

Loebby Loqman, Hak Asasi Manusia (HAM) dalam Hukum Acara Pidana (HAP), (Jakarta: Datacom, 2002), hlm. 22.

Surung Pasaribu : Kepastian Hukum Bagi Terdakwa Yang Dikeluarkan Demi Hukum Dari Rumah Tahanan Negara (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai ), 2009 USU Repository © 2008

Peradilan pidana dikatakan sebagai sistem karena didalam sistem tersebut bekerja subsistem-subsistem yang mendukung jalannya peradilan pidana. 25 Pengertian yang lebih umum dari Sistem Peradilan Pidana dikemukakan oleh Muladi yang mengatakan bahwa: Sistem peradilan pidana adalah suatu jaringan peradilan yang menggunakan hukum pidana materiel, hukum pidana formal maupun hukum pelaksanaan pidana. Namun, jika sifatnya terlalu formal, yaitu dilandasi tujuan hanya untuk kepentingan kepastian hukum saja akan membawa bencana berupa ketidakadilan. 26 Pemikiran bahwa setiap subsistem harus saling berkaitan dan terpadu, melahirkan pemikiran tentang suatu sistem peradilan pidana terpadu (integrated criminal justice system) sebagai suatu sistem 27 yang dilakukan melalui pendekatan sebagai berikut: a. titik berat pada koordinasi dan sinkronisasi komponen peradilan pidana (kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan); b. pengawasan dan pengendalian penggunaan kekuasaan oleh komponen peradilan pidana; c. efektifitas sistem penanggulangan kejahatan lebih diutamakan daripada efisiensi penyelesaian perkara;

25

Marjono Reksodiputro, Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Peran Penegak Hukum Melawan Kejahatan, (Jakarta: Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia, 1994), hlm. 1. 26

Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, (Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1995), hlm. 1 - 2. 27

Marjono Reksodiputro, Op. Cit., hlm. 84 - 85.

Surung Pasaribu : Kepastian Hukum Bagi Terdakwa Yang Dikeluarkan Demi Hukum Dari Rumah Tahanan Negara (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai ), 2009 USU Repository © 2008

d. penggunaan hukum sebagai instrumen untuk memantapkan ”the administration of justice”. 28 Integrated mengandung pengertian the achievement of unification through shared norm values yang harus tampak dalam penyelenggara dan oknum penyelenggara peradilan pidana sedangkan the administration of justice merupakan administrasi peradilan yang dapat dibedakan dalam 2 (dua) hal, yakni: Pertama, court administration meliputi pengelolaan yang berkaitan dengan organisasi, administrasi dan pengaturan finansial badan-badan peradilan. Kedua, administration of justice yang mencakup proses penanganan perkara (case flow management) dan prosedur serta praktik litigasi dalam kerangka kekuasaan mengadili (judicial power). 29 Kekuasaan mengadili berhubungan erat dengan proses penegakan hukum sebagai tanggung jawab yudisial yang mengandung 3 (tiga) dimensi, yakni: a. tanggung jawab administratif yang menuntut kualitas pengelolaan organisasi, administrasi dan pengaturan finansial; b. tanggung jawab prosedural yang menuntut ketelitian atau akurasi hukum acara yang digunakan; c. tanggung jawab substatantif yang berhubungan dengan ketepatan pengkaitan antara fakta dan hukum yang berlaku. 30

28

Romli Atmasasmita, Op. Cit, hlm. 9 - 10.

29

Ibid., hlm 36.

30

Ibid., hlm. 38.

Surung Pasaribu : Kepastian Hukum Bagi Terdakwa Yang Dikeluarkan Demi Hukum Dari Rumah Tahanan Negara (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai ), 2009 USU Repository © 2008

Administrasi peradilan hanya akan berperan maksimal dan bermakna terhadap sistem peradilan pidana terpadu apabila dapat mengelola jati dirinya sebagai pendukung

prinsip

kekuasaan

kehakiman

yang

merdeka,

dan

berhasil

memproklamasikan serta melindungi hak asasi manusia dalam administrasi peradilan pidana. Ide dasar konsep kekuasaan lembaga peradilan dalam arti luas adalah merupakan kekuasaan negara untuk menegakkan hukum dan keadilan demi terselenggaranya Negara Republik Indonesia. Hal ini berarti kekuasaan kehakiman tidak hanya mencakup kekuasaan mengadili tetapi juga meliputi kekuasaan menegakkan hukum dalam seluruh proses penegakan hukum.” 31 Untuk memahami konsep sistem peradilan terpadu maka V.N. Pillai mengemukakan sebagai berikut: It is necessary to be clear about what we mean by an “integrated” criminal justice administration. Greater integration does not envisage the entire system working as one unit or department or as different sections of one unified service. Rather, it might be said to work on the principle of unity in diversity, some what like that under which the armed forces function. Each of three main armed services, the army, navy and airforce, in most states has its own distinctive roles in the defence of a country, each its own operational methods. However, in times of need all of them have a common purpose and work towards a common objective. They are able to combine their operations to achive this end without conpromissing their individual roles. Perhaps the war against crime could be considered in a somewhat similar light as a combined operation by all the branches of the criminal justice system, each component playing a specific part with its own personnel and its own resources, but concerned essentially with carrying out over-all criminal policies for a common national objective. 32 31

Barda Nawawi Arief, “Pokok-pokok Pikiran Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka”, Makalah sebagai Bahan Masukan untuk Penyusunan Laporan Akhir Tim Pakar Departemen Kehakiman Periode 1998/1999”, hlm. 3. 32

V.N. Pillai, The Administration of Criminal Justice: Unity in Deversity; dalam Criminal Justice in Asia: The Quest for an Integrative Approach, (Tokyo: UNAFEI, 1982), hlm. 20.

Surung Pasaribu : Kepastian Hukum Bagi Terdakwa Yang Dikeluarkan Demi Hukum Dari Rumah Tahanan Negara (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai ), 2009 USU Repository © 2008

Dari pendapat Pillai tersebut dapat disimpulkan bahwa makna keterpaduan dalam sistem peradilan pidana bukanlah diterjemahkan sebagai suatu sistem yang bekerjasama dalam satu unit atau departemen atau menyatu dalam lembaga tersendiri. Keterpaduan dalam sistem peradilan pidana lebih ditujukan sebagai kerjasama dan koordinasi antara sub sistem yang satu dengan sub sistem yang lainnya dengan prinsip unity in diversity. Setiap sub sistem dalam sistem peradilan pidana memainkan peranan yang spesifik dalam menanggulangi kejahatan, dengan mengerahkan segenap potensi (anggota dan sumber daya) yang ada di lembagalembaga masing-masing. Namun aktivitas sub sistem harus diarahkan pada pencapaian tujuan bersama sebagaimana yang telah ditetapkan dalam desain kebijakan penanggulangan kejahatan. Pendekatan keterpaduan ini bertujuan untuk menciptakan strategi upaya setiap elemen dapat meningkatkan efektivitas kerjanya dan sekaligus bersatu padu dengan elemen yang lainnya untuk mencapai tujuan bersama. Konsekuensi logisnya adalah elemen yang satu dengan elemen lainnya harus saling berhubungan secara struktural dan mempertahankan kesinambungan tugas mereka. Tak terjalinnya kerjasama yang erat dan tidak ditemukannya satu persepsi yang sama mengenai tujuan yang ingin dicapai bersama, maka sistem peradilan pidana terpadu tidak akan dapat menanggulangi kejahatan. 33

33

Harkristuti Harkrisnowo, Mendorong Kinerja Polri Melalui Pendekatan Sistem Managemen Terpadu, (Jakarta, Pidato pada Dies Natalis Ke - 57 PTIK dalam rangka Wisuda Sarjana Ilmu Kepolisian Angkatan XXXVIII/Arygya Hwardaya, 2003), hlm. 4.

Surung Pasaribu : Kepastian Hukum Bagi Terdakwa Yang Dikeluarkan Demi Hukum Dari Rumah Tahanan Negara (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai ), 2009 USU Repository © 2008

Berdasarkan uraian tersebut, pendekatan sistem yang digunakan untuk mengkaji peradilan pidana ini mempunyai implikasi sebagai berikut: 1. semua sub sistem akan saling tergantung (interdependent), karena produk (output) suatu sistem merupakan masukan (input) bagi sub sistem lainnya; 2. pendekatan sistem mendorong adanya konsultasi dan kerjasama antar sub sistem yang akhirnya akan meningkatkan upaya penyusunan strategi sistem tersebut secara keseluruhan; 3. kebijakan yang diputuskan dan dijalankan oleh satu sub sistem akan berpengaruh pada sub sistem lainnya. 34 Berdasarkan teori dan semua pemikiran yang telah dikemukakan, hasil pembahasan dalam penelitian ini akan diarahkan pada hakikat hukum yakni menjadi sarana bagi penciptaan suatu aturan yang pasti dan masyarakat yang adil dengan didasarkan pada beberapa pertimbangan sebagai berikut: 35 1. semua orang ingin mewujudkan suatu aturan masyarakat yang adil. semua orang mempunyai kemauan mewujudkan suatu masyarakat yang adil sehingga keadilan (dan kepastian) itu menjadi focus tujuan utama pembentukan undang-undang, yang sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan di satu pihak dan di pihak lain dengan tujuan yang sama maka didirikan pengadilan. Pengadilan itu tugasnya menyelesaikan perkara-perkara yang timbul dari akibat perbedaan pandangan antara warga negara, sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan. 34

Ibid.

35

Zainuddin Ali, Filsafat Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hlm. 88.

Surung Pasaribu : Kepastian Hukum Bagi Terdakwa Yang Dikeluarkan Demi Hukum Dari Rumah Tahanan Negara (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai ), 2009 USU Repository © 2008

2. Pada umumnya hukum mempunyai kewibawaan . Pada umumnya hukum mempunyai kewibawaan sehingga secara psikologis berpengaruh terhadap orang-orang yang berada dibawah hukum tersebut. Wibawa hukum itu tidak terletak dalam kekuasaan pemerintah yang menciptakannya. Jika demikian halnya, hukum ditakuti, bukan dihormati. Seharusnya, wibawa ada pada hukum, sebab hukum itu mengatur dan membimbing kehidupan bersama manusia atas dasar prinsip-prinsip kepastian hukum dan keadilan.

2. Konsepsional Bagian landasan konsepsional ini, akan menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan konsep yang digunakan oleh peneliti. Konsep dasar yang digunakan oleh peneliti dalam tesis ini antara lain: 1. Kepastian hukum adalah kepastian terhadap penerapan norma hukum yang mengatur tentang hak terdakwa untuk dikeluarkan demi hukum dari rumah tahanan negara jika telah habis batas waktu penahanannya. 2. Terdakwa adalah seorang tersangka yang dituntut, diperiksa dan diadili di sidang pengadilan. 36 3. Keluar Demi Hukum adalah dikeluarkannya terdakwa karena telah habis masa penahanannya. 37

36

Lihat Pasal 1 angka (15) KUHAP.

37

Bandingkan dengan Pasal 19 ayat (7) PP No. 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP.

Surung Pasaribu : Kepastian Hukum Bagi Terdakwa Yang Dikeluarkan Demi Hukum Dari Rumah Tahanan Negara (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai ), 2009 USU Repository © 2008

4. Lembaga Pemasyarakatan adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan narapidana dan anak didik pemasyarakatan. 38 5. Rumah tahanan negara adalah tempat tersangka atau terdakwa ditahan selama proses penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan. 39 6. Proses penjatuhan pidana adalah proses pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap terdakwa yang telah dikeluarkan demi hukum dari rumah tahanan negara.

G. Metode Penelitian 1. Spesifikasi Penelitian Sifat penelitian ini adalah deskriptif-analitis.

Deskriptif

maksudnya

menggambarkan atau menelaah permasalahan hukum terhadap putusan hakim setelah terdakwa dikeluarkan demi hukum. Sedangkan analitis maksudnya data hasil penelitian diolah lebih dahulu, lalu dianalisis dan kemudian baru diuraikan secara cermat mengenai putusan hakim setelah terdakwa dikeluarkan demi hukum berdasarkan ketentuan hukum acara pidana dan yang dilakukan dalam praktek. Seperti dikemukakan oleh Soerjono Soekanto bahwa penelitian deskriptif analitis adalah penelitian yang bertujuan untuk membuat gambaran atau lukisan secara sistematik, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan fenomena yang diselidiki.” 40 38

Lihat Pasal 1 angka (3) Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan

39

Lihat Pasal 1 angka (2) Pelaksanaan KUHAP.

40

Soerjono Soekanto, Metodologi Research, (Yogyakarta: Andi Offset, 1998, hlm. 3.

Surung Pasaribu : Kepastian Hukum Bagi Terdakwa Yang Dikeluarkan Demi Hukum Dari Rumah Tahanan Negara (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai ), 2009 USU Repository © 2008

Metode pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif yang akan suatu kegiatan yang memperlihatkan suatu strategi perumusan masalah yang bersifat umum, yaitu suatu perbandingan realitas hukum dengan ideal hukum. Donald Black menganjurkan untuk mengukur berlakunya hukum agar membandingkan antara ideal hukum (kaidah yang dirumuskan dalam undang-undang atau keputusan hakim) dengan realitas hukum. 41 Mengambil istilah Ronald Dworkin, penelitian semacam ini juga disebut dengan istilah penelitian doktrinal 42 (doctrinal research), yaitu penelitian yang menganalisis hukum, baik yang tertulis di dalam buku (law as it is written in the book), maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan (law as it decided by the judge through judicial process). 43 Dalam penelitian ini bahan kepustakaan dan studi dokumen dijadikan sebagai bahan utama sementara data lapangan yang diperoleh melalui wawancara akan dijadikan sebagai data pendukung atau pelengkap.

2. Sumber Data Penelitian Dari rumusan masalah penelitian ini maka dapat diketahui bahwa penelitian ini didahului oleh inventarisasi data sekunder 44 yang meliputi bahan hukum primer, 41

Soleman B. Taneko, Pokok-Pokok Studi Hukum Dalam masyarakat, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1993), hlm. 48 42

Ronny Hanitijo, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988), hlm. 10. 43

Bismar Nasution, Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum, Makalah, disampaikan pada Dialog Interaktif tentang Penelitian Hukum dan Hasil Penulisan Hukum pada Majalah Akreditasi, Fakultas Hukum USU, tanggal 18 Februari 2003, hal. 1. 44

Penelitian normatif data sekunder sebagai sumber/bahan informasi dapat merupakan bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tertier, Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, (Jakarta: Sinar Grafika, 2002), hlm. 14. Surung Pasaribu : Kepastian Hukum Bagi Terdakwa Yang Dikeluarkan Demi Hukum Dari Rumah Tahanan Negara (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai ), 2009 USU Repository © 2008

bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier namun untuk melihat realita hukum maka penelitian membutuhkan wawancara. Dalam melakukan inventarisasi data, maka data sekunder meliputi sebagai berikut: 1. Bahan hukum primer adalah bahan-bahan hukum yang mengikat terdiri atas: a. Norma dasar atau kaidah dasar, yaitu Pancasila dan Pembukaan UndangUndang Dasar 1945. b. Peraturan Dasar yaitu Batang Tubuh Undang-Undang Dasar 1945. c. Peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan penahanan terdakwa meliputi Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP. 2. Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer yaitu: literatur seperti buku-buku, majalah hukum, jurnal termasuk laporan penelitian dan dokumen yang berkaitan dengan terdakwa yang keluar demi hukum karena telah habis masa penahanannya. 3. Bahan hukum tertier yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder yang meliputi Kamus Bahasa Indonesia, Kamus Hukum dan ensiklopedia hukum. 45

45

Soeryono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1985), hlm. 23.

Surung Pasaribu : Kepastian Hukum Bagi Terdakwa Yang Dikeluarkan Demi Hukum Dari Rumah Tahanan Negara (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai ), 2009 USU Repository © 2008

3. Teknik Pengumpulan Data Teknik dalam mengumpulkan data peneliti ini adalah dengan menggunakan studi kepustakaan (library research) dan wawancara (interview). Studi kepustakaan dilakukan dengan mengumpulkan bahan-bahan berupa buku-buku, jurnal dan penelitian termasuk segala laporan dan dokumen yang berkaitan dengan terdakwa yang keluar demi hukum karena telah habis masa penahanannya serta sumber teoritis lainnya sebagai dasar penyelesaian pokok permasalahan dalam tesis ini sedangkan wawancara dilakukan terhadap jaksa, hakim dan kepala Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai.

4. Analisis Data Untuk dapat memberikan penilaian terhadap penelitian tesis ini maka dimanfaatkan data yang terkumpul yang diperileh melalui studi kepustakaan (library research) serta data pendukung yang diperoleh dari hasil wawancara, maka dilakukan pemeriksaan

dan

evaluasi

untuk

mengetahui

validitasnya,

kemudian

data

dikelompokkan atas data yang sejenis. Terhadap data yang sifatnya kualitatif ditafsirkan secara yuridis, logis, sistematis dengan menggunakan metode deduktif dan induktif. Data tersebut dianalisis dengan menggunakan metode analisis yuridis kualitatif sembari memberikan interpretasi terhadap data yang diperoleh yang akan dipaparkan dalam bentuk deskripsi.

Surung Pasaribu : Kepastian Hukum Bagi Terdakwa Yang Dikeluarkan Demi Hukum Dari Rumah Tahanan Negara (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai ), 2009 USU Repository © 2008

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PENAHANAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA

A. Tinjauan Yuridis Tentang Penahanan Secara yuridis, pengertian penahanan diatur dalam Pasal 1 angka (21) KUHAP yang menentukan sebagai suatu penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal serta menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang ini. Dari ketentuan tersebut, maka dapat diidentifikasi beberapa elemen substansial sebagai berikut: a. penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu. b. pihak yang berwenang melakukan penahanan adalah penyidik atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya. c. penahanan dilakukan menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang. Penempatan tersangka atau terdakwa dalam tempat tertentu dapat berupa penahanan rumah tahanan negara, penahanan rumah dan penahanan kota46 yang merupakan kewenangan dari penyidik, penuntut umum maupun hakim di sidang pengadilan untuk kepentingan pemeriksaan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 20 KUHAP bahwa: 1. untuk kepentingan penyidikan, penyidik atau penyidik pembantu atas perintah penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 berwenang melakukan

46

Lihat Pasal 22 KUHAP.

Surung Pasaribu : Kepastian Hukum Bagi Terdakwa Yang Dikeluarkan Demi Hukum Dari Rumah Tahanan Negara (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai ), 2009 USU Repository © 2008

penahanan.47 2. untuk kepentingan penuntutan, penuntut umum berwenang melakukan penahanan atau penahanan lanjutan. 3. untuk kepentingan pemeriksaan, hakim di sidang pengadilan dengan penetapannya berwenang melakukan penahanan. Tidak setiap tersangka atau terdakwa dapat dikenakan tindakan penahanan melainkan jika telah terdapat beberapa syarat yang ditentukan dalam undang-undang. Syaratsyarat tersebut meliputi: Pertama; adanya dugaan kuat seseorang telah melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup. Kedua; penahanan dilakukan dengan surat perintah atau penetapan. Ketiga; penahanan hanya dapat dilakukan terhadap tindak pidana yang diatur dalam Pasal 21 ayat (4) KUHAP. Keempat; Penahanan tidak melebihi masa tahanan yang telah ditentukan dalam undang-undang dan Kelima; penahanan tidak melampaui hukuman yang dijatuhkan. J. E. Sahetapy merumuskan tindak pidana sebagai suatu perbuatan yang mengandung konotasi tertentu yang merupakan suatu pengertian dan penamaan yang relatif, mengandung variabilitas dan dinamik serta bertalian dengan perbuatan atau tingkah laku (baik aktif maupun pasif) dinilai sebagai mayoritas atau minoritas masyarakat sebagai perbuatan anti sosial, suatu perkosaan terhadap skala nilai sosial

47

Perlu hati-hati membaca ketentuan ini karena apabila dicermati terdapat 2 ( dua) elemen) yakni: Pertama; penyidik atau penyidik pembantu atas perintah penyidik dan Kedua; penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1. Pasal 11 menentukan penyidik pembantu mempunyai wewenang seperti tersebut dalam Pasal 7 ayat (1) kecuali mengenai penahanan yang wajib diberikan dengan pelimpahan wewenang dari penyidik. Yang dimaksud dalam Pasal 20 tersebut sebenarnya adalah bahwa untuk kepentingan penyidikan, penyidik atau peyidik pembantu apabila yang terakhir ini mendapat perintah dari penyidik, mereka itu berwenang melakukan penahanan. Lihat P.A.F. Lamintang, Kitab Undang-undang Hukum Pidana Dengan Pembahasan Secara Yuridis Menurut Yurisprudensi dan Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana, (Bandung: Penerbit Sinar Baru, 1984), hlm. 122.

Surung Pasaribu : Kepastian Hukum Bagi Terdakwa Yang Dikeluarkan Demi Hukum Dari Rumah Tahanan Negara (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai ), 2009 USU Repository © 2008

dan atau perasaan hukum yang hidup dalam masyarakat sesuai dengan ruang dan waktu. 48 Pompe merumuskan tindak pidana (straafbaar feit) sebagai suatu tindakan yang menurut sesuatu undang-undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum 49 sedangkan Vos merumuskan bahwa straafbaar feit adalah suatu kelakuan manusia yang diancam pidana oleh peraturan perundang-undangan. 50 Satochid Kartanegara mengemukakan bahwa straafbaar feit harus memenuhi beberapa unsur, yaitu: 1. Suatu

perbuatan

manusia

(manselijk

handelingen),

dengan

handeling

dimaksudkan tidak saja een doen (perbuatan) akan tetapi juga een nalatten (mengakibatkan); 2. Perbuatan itu dilarang dan diancam dengan hukuman dalam undang-undang; 3. Perbuatan itu harus dilakukan oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan. Artinya, dapat dipersalahkan karena melakukan perbuatan. 51 Edwin H Sutherland mengemukakan 7 (tujuh) unsur kejahatan yang saling bergantung dan saling mempengaruhi. Suatu perbuatan tidak akan disebut kejahatan apabila tidak memuat semua unsur tersebut:

48

Kartini Kartono, Patologi Sosial, (Jakarta: Rajawali Pers, 1993), hlm. 138.

49

P. A. F. Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Penerbit Sinar Baru, 1990), hlm. 174. 50

Martiman Prodjohamidjojo, Memahami Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia 2, (Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 1997), hlm. 16. 51

Satochid Kartanegara, Hukum Pidana; Kumpulan Kuliah, (Jakarta: Balai Lektur Mahasiswa, Tanpa Tahun), hlm. 65.

Surung Pasaribu : Kepastian Hukum Bagi Terdakwa Yang Dikeluarkan Demi Hukum Dari Rumah Tahanan Negara (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai ), 2009 USU Repository © 2008

1. Harus terdapat akibat-akibat tertentu yang nyata atau kerugian; 2. Kerugian tersebut harus dilarang oleh undang-undang atau harus dikemukakan dengan jelas dalam hukum pidana; 3. Harus ada perbuatan atau sikap membiarkan sesuatu perbuatan yang disengaja atau kelalaian yang menimbulkan akibat kerugian; 4. Harus ada maksud jahat; 5. Harus ada hubungan kesatuan atau kesesuaian persamaan suatu hubungan kejadian diantara maksud jahat dengan perbuatan; 6. Harus ada hubungan sebab akibat diantara kerugian yang dilarang undangundang dengan perbuatan yang disengaja atas keinginan sendiri; 7. Harus ada hukuman yang ditetapkan oleh undang-undang. 52 Dari beberapa pendapat ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa syarat yang essensil agar suatu perbuatan dapat disebut sebagai tindak pidana adalah perbuatan tersebut secara tegas dikualifikasikan sebagai perbuatan pidana oleh undang-undang atau peraturan yang berlaku sehingga jika suatu perbuatan belum dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang maka tidak dapat dikualifikasikan sebagai perbuatan pidana.53 Hukum pidana membedakan tindak pidana kepada kejahatan dan pelanggaran. Pelaku tindak pidana dapat dikenakan tindakan penahanan hanya jika terdapat bukti yang cukup dan jika terdapat keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana.54 Ini berarti, tindakan penahanan tidak dapat dilakukan sewenang-wenang melainkan secara objektif yakni jika telah terdapat bukti yang 52

Edwin H Sutherland, Asas-asas Kriminologi, (Bandung: Alumni, 1969), hlm. 31

53

Para ahli menganut paham positivisme untuk menentukan suatu perbuatan agar dikualifikasikan sebagai tindak pidana. Positivisme hanya mempermasalahkan hukum sebagai das sollen yang cenderung berpandangan yuridis-dogmatis. Sedangkan aliran Sosiologis memandang hukum sebagai kenyataan sosial yang memandang hukum sebagai das sein. Lihat, Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Ilmu Hukum & Filsafat Hukum, (Yogyakarta: Penerbit Pustaka pelajar, 2007), hlm. 120 - 121. 54

Lihat Pasal 21 ayat (1) KUHAP.

Surung Pasaribu : Kepastian Hukum Bagi Terdakwa Yang Dikeluarkan Demi Hukum Dari Rumah Tahanan Negara (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai ), 2009 USU Repository © 2008

menunjukkan bahwa tersangka atau terdakwa bersalah. KUHAP tidak memberikan penjelasan tentang pengertian bukti yang cukup untuk menyatakan seseorang bersalah melakukan perbuatan tindak pidana. Secara teknis peradilan, tiada yang berwenang untuk menyatakan seseorang bersalah kecuali hakim dalam persidangan yang memeriksa dan mengadilinya. Melalui Pasal 183 jis Pasal 184 dan Pasal 185 KUHAP dapat disimpulkan bahwa hakim dapat menjatuhkan pidana kepada seseorang jika terdapat sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti yang sah dan mendapatkan keyakinan perbuatan pidana yang terjadi dilakukan oleh terdakwa. Alat bukti yang sah tersebut terdiri dari 5 (lima) yakni: keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk dan keterangan terdakwa yang memiliki persesuaian antara satu dengan yang lain. Jika ketentuan yuridis tersebut dihubungkan dengan Pasal 186 jis Pasal 187, Pasal 188 dan Pasal 189 KUHAP maka agar suatu alat bukti dapat dinyatakan sebagai bukti yang cukup adalah jika terdapat sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti yang saling memiliki persesuaian antara satu dengan yang lain yang diperoleh dari alat bukti keterangan saksi, surat atau keterangan terdakwa. Dari alat bukti tersebut diperoleh alat bukti petunjuk sebagai perbuatan, kejadian atau keadaan yang karena persesuaiannya baik antara yang satu dengan yang lain maupun dengan tindak pidana itu sendiri menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya. Pelarangan memperoleh alat bukti petunjuk dari alat bukti keterangan ahli disimpulkan melalui penafsiran secara a contrario dalam Pasal 188 ayat (2) KUHAP yang menentukan bahwa petunjuk hanya dapat diperoleh dari alat bukti: Surung Pasaribu : Kepastian Hukum Bagi Terdakwa Yang Dikeluarkan Demi Hukum Dari Rumah Tahanan Negara (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai ), 2009 USU Repository © 2008

a. keterangan saksi. b. surat. c. keterangan terdakwa. KUHAP tidak memberikan penjelasan alasan pelarangan memperoleh alat bukti petunjuk dari keterangan ahli. Pelarangan ini mengisyaratkan perlunya membatasi kewenangan hakim mencari alat bukti petunjuk dari sumber yang terlalu luas sebab alat bukti keterangan ahli merupakan keterangan yang bersifat subjektif yang didasarkan oleh keahliannya. Ini berarti, keterangan ahli merupakan keterangan yang dianggap kurang objektif. Hal ini menunjukkan bahwa pembuat undang-undang kurang setuju memperoleh suatu petujuk yang objektif dari sumber yang subjektif. Dapat dimungkinkan terjadi 2 (dua) orang ahli memeriksa pada 1 (satu) objek menghasilkan 2 (dua) pendapat yang saling berbeda karena dipengaruhi oleh latar belakang tingkat pendidikan dan pengalamannya.55 Dalam keadaan tertentu yang bersifat kasuistis, beberapa keterangan ahli dapat dikategorikan sebagai syarat bukti yang cukup. Dalam suatu kasus pembunuhan, keterangan ahli A sebagai ahli kedokteran kehakiman menerangkan kematian korban disebabkan dicekik dengan menggunakan tangan. Keterangan ahli B sebagai ahli sidik jari menerangkan bekas cekikan yang terdapat pada leher korban sama dengan sidik jari terdakwa. Dalam kasus ini,

55

M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP; Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali, (Jakarta: Sinar Grafika, 2002), hlm. 294 - 295.

Surung Pasaribu : Kepastian Hukum Bagi Terdakwa Yang Dikeluarkan Demi Hukum Dari Rumah Tahanan Negara (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai ), 2009 USU Repository © 2008

masing-masing keterangan ahli berasal dari 2 (dua) keahlian yang berbeda namun memiliki persesuaian karena itu telah memenuhi batas minimal pembuktian.56 Jika terpenuhi alat bukti minimal tersebut maka secara yuridis telah ada bukti yang cukup untuk melakukan tindakan penahanan terhadap tersangka. Penahanan hanya dapat dilakukan berdasarkan perintah tertulis oleh pejabat yang diberi wewenang oleh undangundang dan hanya dalam hal dan dengan cara yang diatur dalam undang-undang.57 Dalam tindakan penahanan, maka penyidik atau penuntut umum yang melakukan penahanan dilakukan dengan mengeluarkan surat perintah penahanan sedangkan penahanan oleh hakim dilakukan dengan mengeluarkan surat penetapan yang tembusannya wajib disampaikan kepada keluarga tersangka atau terdakwa58 yang sekurang-kurangnya harus memuat: a. identitas tersangka atau terdakwa. b. alasan penahanan. c. uraian singkat tindak pidana yang dipersangkakan atau didakwakan. d. menjelaskan tempat penahanan. Penahanan hanya dapat dilakukan terhadap tindak pidana yang diatur dalam Pasal 21 ayat (4) KUHAP yang menentukan bahwa penahanan hanya dapat dikenakan terhadap tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidana dan atau percobaan maupun pemberian bantuan dalam tindak pidana tersebut dalam hal tindak pidana itu diancam dengan

56

Ibid, hlm. 284.

57

Lihat Konsideran Umum Penjelasan KUHAP.

58

Lihat Pasal 21 ayat (2) dan (3) KUHAP.

Surung Pasaribu : Kepastian Hukum Bagi Terdakwa Yang Dikeluarkan Demi Hukum Dari Rumah Tahanan Negara (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai ), 2009 USU Repository © 2008

pidana penjara 5 (lima) tahun. Bagi tindak pidana yang diancam di bawah 5 (lima) tahun dapat dilakukan penahanan dengan ketentuan sebagai berikut: a. tindak pidana yang diatur dalam KUH Pidana meliputi tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 282 ayat (3), Pasal 296, Pasal 335 ayat (1), Pasal 351 ayat (1), Pasal 353 ayat (1), Pasal 372 Pasal 378, Pasal 379a, Pasal 453, Pasal 454, Pasal 455, Pasal 459, Pasal 480 dan Pasal 506 .59 b. tindak pidana yang diatur di luar KUH Pidana meliputi: 1. tindak pidana pelanggaran terhadap ordonansi bea dan cukai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dan Pasal 26 Rechtenordonantie terakhir diubah dengan Staatsblad Tahun 1931 Nomor 471. Saat ini, tindak pidana tersebut diatur dalam Undang-undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Bea dan Cukai. 2. tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1, Pasal 2 dan Pasal 4 Undang-undang Tindak Pidana Imigrasi (Undang-undang Nomor 8 Drt. Tahun 1955, Lembaran Negara Tahun 1955 Nomor 8). Saat ini, tindak pidana tersebut diatur dalam Undang-undang Nomor 17 Tahun 2006 tentang Bea dan Cukai. 59

Dengan dimasukkannya Pasal 506 tentang orang yang menarik keuntungan dari perbuatan cabul yang diatur dalam Buku III KUH Pidana tentang Pelanggaran yang ancamannya 3 (tiga) bulan maka telah jelas bahwa tindakan penahanan tidak hanya ditujukan terhadap kejahatan namun juga pelanggaran. Mencermati Pasal 21 ayat (4) KUHAP maka dapat diketahui orang yang melakukan percobaan dalam pasal-pasal tersebut dapat dikenakan tindakan penahanan namun, dapatkah orang yang melakukan percobaan terhadap Pasal 506 KUH Pidana dikenakan tindakan penahanan? Penulis berpendapat bahwa ketentuan KUHAP tersebut tidak dapat diterapkan terhadap orang yang melakukan percobaan melakukan perbuatan menarik keuntungan dari perbuatan cabul (Pasal 506 jo Pasal 53 KUH Pidana) karena dikesampingkan oleh Pasal 54 KUH Pidana yang menentukan bahwa percobaan untuk pelanggaran tidak diancam hukuman. Dengan demikian, ketentuan tersebut hanya dapat diterapkan bagi perbuatan yang telah memenuhi seluruh unsur delik.

Surung Pasaribu : Kepastian Hukum Bagi Terdakwa Yang Dikeluarkan Demi Hukum Dari Rumah Tahanan Negara (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai ), 2009 USU Repository © 2008

3. tindak pidana penyalahgunaan narkotika sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (7), Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 47 dan Pasal 48 Undangundang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika (Lembaran Negara Tahun 1976 Nomor 37, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3086). Saat ini, tindak pidana tersebut diatur dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. 60 Penahanan terhadap berbagai tindak pidana tersebut memiliki batas waktu sebagai suatu pembaharuan dalam hukum pidana yang tidak ada pengaturannya dalam HIR. Pembatasan kewenangan penahanan diatur dalam Pasal 24 sampai dengan Pasal 28 KUHAP yang secara sistematis dapat diuraikan sebagai berikut: a. penahanan oleh penyidik hanya diperkenankan untuk jangka waktu 20 (dua puluh) hari dan apabila diperlukan untuk kepentingan pemeriksaan dapat dimintakan perpanjangan kepada penuntut umum untuk paling lama 40 (empat puluh) hari.61 b. penahanan oleh penuntut umum hanya diperkenankan untuk jangka waktu 20 hari dan apabila diperlukan untuk kepentingan pemeriksaan dapat dimintakan perpanjangan kepada ketua pengadilan negeri untuk paling lama 30 (tiga puluh) hari.62

60

Dalam Penjelasan Pasal 21 ayat (4) KUHAP dinyatakan tersangka atau terdakwa pecandu narkotika sejauh mungkin ditahan ditempat tertentu yang sekaligus merupakan tempat perawatan. Pemisahan tempat perawatan dan pembinaan pelaku penyalahgunaan narkotika dengan pelaku tindak pidana lainnya sedang dikembangkan di lembaga pemasyarakatan yang berada di bawah naungan Kantor Wilayah Hukum dan Hak Asasi Manusia Sumatera Utara. 61

Lihat Pasal 24 KUHAP.

62

Lihat Pasal 25 KUHAP.

Surung Pasaribu : Kepastian Hukum Bagi Terdakwa Yang Dikeluarkan Demi Hukum Dari Rumah Tahanan Negara (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai ), 2009 USU Repository © 2008

c. penahanan oleh hakim terdiri dari: 1. penahanan oleh hakim pengadilan negeri hanya diperkenankan untuk jangan waktu 30 (tiga puluh) hari dan apabila diperlukan untuk kepentingan pemeriksaan di pengadilan dapat dimintakan perpanjangan kepada ketua pengadilan negeri untuk paling lama 60 (enam puluh) hari.63 2. penahanan oleh hakim pengadilan tinggi hanya diperkenankan untuk jangan waktu 30 (tiga puluh) hari dan apabila diperlukan untuk kepentingan pemeriksaan di pengadilan dapat dimintakan perpanjangan kepada ketua pengadilan tinggi untuk paling lama 60 (enam puluh) hari.64 3. penahanan oleh hakim pada mahkamah agung hanya diperkenankan untuk jangan waktu 50 (lima puluh) hari dan apabila diperlukan untuk kepentingan pemeriksaan di pengadilan dapat dimintakan perpanjangan kepada ketua mahkamah agung untuk paling lama 60 (enam puluh) hari.65 Batas waktu penahanan tersebut bersifat maksimal. Ini berarti, penahanan maupun perpanjangan penahanan dapat diberikan secara parsial atau sebahagian saja menurut kebutuhan pemeriksaan. Meskipun batas waktu penahanan belum berakhir namun tersangka atau terdakwa dapat dimungkinkan keluar dari tahanan jika pemeriksaan telah dinyatakan selesai.

63

Lihat Pasal 26 KUHAP.

64

Lihat Pasal 27 KUHAP.

65

Lihat Pasal 28 KUHAP.

Surung Pasaribu : Kepastian Hukum Bagi Terdakwa Yang Dikeluarkan Demi Hukum Dari Rumah Tahanan Negara (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai ), 2009 USU Repository © 2008

Tiada hukum tanpa pengecualian merupakan asas yang berlaku secara universal dalam hukum. Demikian pula dengan batas waktu dalam melakukan penahanan terdapat pengecualian yakni dapat diperpanjang jika ada salah satu alasan berdasarkan alasan yang patut dan tidak dapat dihindarkan karena: a. tersangka atau terdakwa menderita gangguan fisik atau mental yang berat yang harus dibuktikan dengan keterangan dokter; atau66 b. perkara yang sedang diperiksa diancam dengan pidana penjara 9 (sembilan) tahun atau lebih. Perpanjangan penahanan tersebut diberikan untuk paling lama 30 (tiga puluh) hari dan apabila masih diperlukan untuk kepentingan pemeriksaan masih dapat diperpanjang lagi untuk paling lama 30 (tiga puluh) hari. Dengan demikian, pengecualian perpanjangan penahanan dapat diberikan untuk paling lama 60 (enam puluh) hari namun harus diminta atau diajukan secara bertahap. Pemberian pengecualian perpanjangan penahanan dilakukan oleh pihak yang berwenang dengan penuh tanggung jawab, dalam arti pemberian tersebut harus ditinjau dari segala segi sesuai dengan penggarisan ketentuan undang-undang. Pengecualian perpanjangan penahanan tersebut diberikan oleh: a. penyidikan dan penuntutan diberikan oleh ketua pengadilan negeri. b. pemeriksaan di pengadilan negeri diberikan oleh ketua pengadilan tinggi.

66

Ketentuan ini menggunakan kata penghubung “atau” yang bersifat pilihan atau alternatif. Berbeda jika penghubung menggunakan kata “dan” yang bersifat gabungan atau kumulasi. Dengan demikian, persyaratan ini tidak harus terpenuhi keduanya melainkan jika salah satu syarat telah terpenuhi maka dapat dijadikan alasan untuk meminta perpanjangan penahanan. Dalam prakteknya, penahanan seperti ini sering disebut dengan istilah perpanjangan penahanan istimewa. Lihat Pasal 29 ayat (1) KUHAP.

Surung Pasaribu : Kepastian Hukum Bagi Terdakwa Yang Dikeluarkan Demi Hukum Dari Rumah Tahanan Negara (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai ), 2009 USU Repository © 2008

c. pemeriksaan banding diberikan oleh mahkamah agung.67 d. pemeriksaan kasasi diberikan oleh ketua mahkamah agung. Syarat terakhir dalam melakukan tindakan penahanan adalah penahanan yang dilakukan tidak melampaui hukuman yang dijatuhkan. Seseorang yang telah ditahan yang lamanya telah sama dengan pidana yang dijatuhkan harus segera dikeluarkan demi hukum atau tanpa persyaratan. Penahanan melebihi pidana yang dijatuhkan dipandang secara yuridis sebagai penahanan tanpa disertai surat perintah yang dapat dituntut kerugian melalui sidang praperadilan.68

B. Urgensi Tindakan Penahanan Sebagai Penanggulangan Kejahatan Dalam Sistem Peradilan Pidana Perihal penahanan merupakan bahagian dari penanggulangan kejahatan yang termasuk dalam bidang kebijakan kriminal sebagai bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (social defence) dan upaya mencapai kesejahteraan masyarakat (social welfare). Oleh karena itu, tujuan akhir dari kebijakan kriminal

67

Tidak disebutkan pejabat yang berwenang untuk memberikan perpanjangan penahanan dilakukan oleh ketua mahkamah agung. Yang menjadi latar belakang penyusunan redaksi ini didasarkan kepada keluwesan agar pemberian perpanjangan tidak dikaitkan kepada ketua mahkamah agung melainkan dikaitkan kepada lembaga peradilannya agar pemberian perpanjangan penahanan dapat diberikan kepada setiap hakim agung yang ditunjuk oleh ketua mahkamah agung. Lihat, M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP; Penyidikan dan Penuntutan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2002), hlm. 195. 68

Pasal 95 ayat (1) KUHAP menyatakan bahwa yang dimaksud dengan kerugian karena tindakan lain ialah kerugian yang ditimbulkan oleh pemasukan rumah, penggeledahan dan penyitaan yang tidak sah menurut hukum. Termasuk penahanan tanpa alasan ialah penahanan yang lebih lama daripada pidana yang dijatuhkan.

Surung Pasaribu : Kepastian Hukum Bagi Terdakwa Yang Dikeluarkan Demi Hukum Dari Rumah Tahanan Negara (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai ), 2009 USU Repository © 2008

adalah perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat yang dapat dilakukan dengan cara: a. penerapan hukum pidana (criminal law application). b. pencegahan tanpa pidana (prevention without punishment); dan c. mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan lewat media massa (influencing iews of society on crime and punishment). 69 Penerapan hukum pidana (criminal law application) dengan menggunakan sarana penal dan pencegahan tanpa pidana sebagai upaya menggunakan sarana non penal merupakan upaya penanggulangan kejahatan dalam perspektif hukum pidana. Namun pencegahan tanpa pidana juga merupakan bahagian dari kebijakan atau peristiwa sosial termasuk pula upaya mempengaruhi masyarakat melalui media massa. Hukum pidana tidak akan dapat melakukan penanggulangan secara optimal jika tidak didukung oleh kebijakan sosial. Adanya dukungan tersebut menunjukkan bahwa dalam upaya penanggulangan kejahatan dilakukan dengan pendekatan kebijakan: a. keterpaduan (integritas) antara politik kriminal dan politik sosial. b. keterpaduan (integritas) antara upaya penanggulangan kejahatan dengan penal dan non penal.

69

Istilah kebijakan berasal dari Bahasa Inggris disebut dengan istilah policy atau dalam Bahasa Belanda disebut dengan istilah politiek. Istilah kriminal berasal dari Bahasa Inggris yaitu criminal. Gabungan kedua istilah tersebut melahirkan apa yang disebut criminal policy, criminal law policy atau dalam Bahasa Belanda dikenal dengan istilah strafrechttspolitiek. Kebijakan kriminal dikenal pula dengan istilah politik hukum pidana. Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2005), hlm. 21 dan 42.

Surung Pasaribu : Kepastian Hukum Bagi Terdakwa Yang Dikeluarkan Demi Hukum Dari Rumah Tahanan Negara (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai ), 2009 USU Repository © 2008

Penanggulangan kejahatan dengan melakukan penerapan hukum pidana (criminal law application) merupakan cara yang paling tua, setua peradaban itu sendiri. Sampai saat ini, hukum pidana masih digunakan dan diandalkan sebagai salah satu politik kriminal. 70 Upaya ini dilakukan melalui suatu proses hukum oleh lembaga yang berwenang dimulai sejak tahap penyidikan di kepolisian, penuntutan oleh lembaga kejaksaan dan diakhiri oleh lembaga pengadilan melalui hakim sebagai pengambil putusan. Dalam rangkaian proses pemeriksaan tersebut, seseorang yang diduga telah melakukan tindak pidana dan terdapat beberapa syarat tertentu yang diatur oleh undang-undang dapat dilakukan tindakan penahanan. 71 Pengaturan tentangan penahanan sebagai upaya penanggulangan kejahatan merupakan salah satu bahagian dari kebijakan hukum pidana. Tindakan tersebut hanya dapat ditujukan kepada pelaku kejahatan. Ada 2 (dua) masalah sentral dalam kebijakan kriminal yakni masalah penentuan perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana dan sanksi apa yang sebaiknya digunakan kepada si pelaku. Penganalisisan terhadap hal tersebut tidak dapat dilepaskan dari konsep integral antara kebijakan kriminal dengan kebijakan sosial. Ini berarti, pemecahannya harus 70

Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2005), hlm. 67 71

Meskipun melalui penanggulangan dengan menerapkan hukum pidana dapat ditemukan kebenaran materil, namun rangkaian prosesnya memerlukan waktu yang cukup lama. Dalam praktek peradilan dikenal bahwa dalam berperkara maka yang kalah jadi abu dan yang menang akan jadi arang. Ini berarti, para pihak yang berperkara para prinsipnya sama-sama menderita kerugian. Lagi pula, penerapan hukum pidana merupakan ultimum remedium atau sarana terakhir setelah jalan atau cara lain menemui kebuntuan. Pencegahan tanpa pidana dirasakan lebih efektif dan bermanfaat dalam penanggulangan kejahatan yakni dengan melakukan upaya pencegahan tanpa pidana (prevention without punishment) yang bertujuan berusaha untuk mengatasi segi-segi negatif dari perkembangan masyarakat dalam hubungan keseluruhan politik kriminal (social defence planning) dan merupakan bagian integral dari rencana pembangunan nasional. Ibid, hlm. 4

Surung Pasaribu : Kepastian Hukum Bagi Terdakwa Yang Dikeluarkan Demi Hukum Dari Rumah Tahanan Negara (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai ), 2009 USU Repository © 2008

diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu dari kebijakan sosial yang diterapkan. Masalah kriminalisasi dan dekriminalisasi atas suatu perbuatan harus sesuai dengan politik kriminal yang dianut yaitu sejauhmana perbuatan tersebut bertentangan dengan nilai-nilai fundamental yang berlaku dalam masyarakat dan oleh masyarakat dianggap patut atau tidak patut dihukum dalam rangka menyelenggarakan kesejahteraan masyarakat. Bassiouni menyatakan bahwa keputusan untuk melakukan kriminalisasi harus didasarkan pada faktor-faktor kebijakan tertentu yang mempertimbangkan bermacam-macam faktor, diantaranya adalah: b. keseimbangan sarana-sarana yang digunakan dalam hubungannya dengan hasilhasil yang ingin dicapai. c. analisis biaya terhadap hasil-hasil yang diperoleh dalam hubungannya dengan tujuan-tujuan yang dicari. d. penilaian atau penafsiran tujuan-tujuan yang dicari itu dalam kaitannya dengan prioritas-prioritas lainnya dalam pengalokasian sumer-sumber tenaga manusia. e. pengaruh-pengaruh sosial dari kriminalisasi yang berkenaan dengan atau dipandang dari pengaruh-pengaruhnya yang sekunder. 72 Sehubungan dengan hal tersebut, Ted Honderich menyatakan bahwa suatu pidana dapat disebut sebagai alat pencegah yang ekonomis (economical deterrents) apabila dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

72

Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Op. Cit, hlm. 32.

Surung Pasaribu : Kepastian Hukum Bagi Terdakwa Yang Dikeluarkan Demi Hukum Dari Rumah Tahanan Negara (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai ), 2009 USU Repository © 2008

a. pidana itu sungguh-sungguh mencegah. b. pidana itu tidak menyebabkan timbulnya keadaan yang lebih berbahaya daripada yang akan terjadi apabila pidana itu tidak dikenakan. c. tidak ada pidana lain yang dapat mencegah efektif dengan kerugian yang lebih kecil. 73 Tujuan yang ingin dicapai oleh pidana pada umumnya terwujud dalam kepentingan sosial yang mengandung nilai-nilai tertentu yang perlu dilindungi, yakni: pemeliharaan dan perlindungan masyarakat dari kejahatan dan memelihara atau mempertahankan integritas pandangan-pandangan dasar tertentu mengenai keadilan social, martabat kemanusiaan dan keadilan individu. Sebaliknya, pencegahan tanpa pidana merupakan upaya penanggulangan melalui sarana non penal dengan mencari solusi dan menangani factor-faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan. Faktor-faktor tersebut terdapat pada kondisi sosial yang secara langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan kejahatan yang sulit diukur. Berkaitan dengan hal ini, Karl O. Christiansen menyatakan bahwa: Pengaruh pidana terhadap masyarakat luas sangat sulit diukur. Pengaruh itu terdiri dari sejumlah bentuk aksi dan reaksi yang berbeda dan saling berkaitan erat yang disebut dengan berbagai macan nama, misalnya pencegahan (deterrence), pencegahan umum (general prevention), memperkuat kembali nilai-nilai moral (reinforcement of moral values), memperkuat kesadaran kolektif (strengthening the collective solidarity), menegaskan 73

Ibid, hlm. 35.

Surung Pasaribu : Kepastian Hukum Bagi Terdakwa Yang Dikeluarkan Demi Hukum Dari Rumah Tahanan Negara (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai ), 2009 USU Repository © 2008

kembali/memperkuat rasa aman dari masyarakat (reaffirmation of the public feeling of security), mengurangi atau meredakan ketakutan (alleviation of fears), melepaskan ketegangan-ketegangan agresif (release of aggressive tensions) dan sebagainya. 74 Kongress PBB ke-7 tahun 1985 menyatakan bahwa upaya penghapusan sebab-sebab dan kondisi yang menimbulkan kejahatan harus merupakan strategi pencegahan yang mendasar. Lebih lanjut, Kongres PBB ke-8 tahun 1990 di Hanava, Cuba menyatakan: a. aspek-aspek sosial dari pembangunan merupakan faktor penting dalam mencapai tujuan strategi penanggulangan kejahatan dan harus diberikan prioritas paling utama; b. tujuan pembangunan, pertumbuhan ekonomi dan kerja sama ekonomi internasional hendaknya ditujukan untuk menjamin hak-hak asasi manusia untuk suatu kehidupan yang bebas dari kelaparan, kemiskinan, kebutahurufan, kebodohan, penyakit dan ketakutan akan perang serta memberi kemungkinan bagi manusia untuk hidup dalam lingkungan yang sehat. 75 Lebih lanjut dikemukakan bahwa pembangunan pada hakikatnya tidak bersifat kriminogen khususnya apabila hasil-hasilnya didistribusikan secara pantas dan adil kepada semua rakyat serta menunjang seluruh kondisi sosial. Namun, pembangunan dapat bersifat kriminogen atau dapat meningkatkan kriminalitas apabila pembangunan itu:

74

Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan dan Pengembangan Hukum Pidana, Op. Cit, hlm. 71. 75

Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Op. Cit, hlm. 45.

Surung Pasaribu : Kepastian Hukum Bagi Terdakwa Yang Dikeluarkan Demi Hukum Dari Rumah Tahanan Negara (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai ), 2009 USU Repository © 2008

a. tidak direncanakan secara rasional; b. perencanaannya timpang atau tidak seimbang; c. mengabaikan nilai-nilai kultural dan moral; serta d. tidak mencakup strategi perlindungan masyarakat yang integral. 76 Secara konkrit, Kongres PBB ke-8 tahun 1990 di Hanava, Cuba menentukan beberapa aspek yang diidentifikasikan sebagai faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan sebagai berikut : 1. kemiskinan, pengangguran, kebutahurufan (kebodohan), ketiadaan dan atau kekurangan perumahan yang layak dan sistem pendidikan serta latiha yangtidak cocok/serasi; 2. meningkatnya jumlah penduduk yang tidak mempunyai prospek (harapan) karena proses integrasi sosial juga karena memburuknya ketimpangketimpangan sosial; 3. mengendornya ikatan sosial dan keluarga; 4. keadaan-keadaan/kondisi yang menyulitkan bagi orang-orang yang berimigrasi ke kota-kota atau ke negara-negara lain; 5. rusaknya atau hancurnya identitas budaya asli yang bersamaan dengan adanya rasisme dan diskriminasi menyebabkan kerugiankerugian/kelemahan di bidang sosial, kesejahteraan dan lingkungan pekerjaan; 6. menurun atau mundurnya kualitas lingkungan perkotaan yang mendorong peningkatan kejahatan dan berkurangnya (tidak cukupnya) pelayanan bagi tempat-tempat fasilitas lingkungan; 7. kesulitan-kesulitan bagi orang-orang dalam masyarakat modern untuk berintegrasi sebagaimana mestinya di dalam lingkungan masyarakatnya di lingkungan keluarga/familinya, tempat pekerjaannya atau di lingkungan sekolahnya; 8. penyalahgunaan alkohol, obat bius dan lain-lain yang pemakaiannya juga diperluas karena faktor-faktor yang tersebut di atas; 9. meluasnya aktivitas kejahatan yang terorganisasi khususnya perdagangan obat bius dan penadahan barang-barang curian; 76

Ibid.

Surung Pasaribu : Kepastian Hukum Bagi Terdakwa Yang Dikeluarkan Demi Hukum Dari Rumah Tahanan Negara (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai ), 2009 USU Repository © 2008

10. dorongan-dorongan khususnya oleh media massa mengenai ide-ide dan sikap-sikap yang mengarah pada tindakan kekerasan, ketidaksamaan hak atau sikap tidak toleransi. 77 Penerapan hukum pidana dan pencegahan tanpa pidana masing-masing memiliki keterbatasan dalam penanggulangan kejahatan. Khusus terhadap penerapan hukum pidana, maka dapat diidentifikasi sebab-sebab keterbatasan dalam penanggulangan kejahatan, yaitu: a. sebab-sebab kejahatan berada di luar jangkauan hukum pidana. b. hukum pidana hanya merupakan bagian kecil dari sarana kontrol sosial yang tidak mungkin mengatasi masalah kejahatan sebagai masalah kemanusiaan dan kemasyarakatan yang sangat kompleks. c. Sanksi hukum pidana merupakan remedium yang mengandung sifat kontradiktif dan mengandung unsur-unsur serta efek sampingan yang negatif. d. Keterbatasan jenis sanksi pidana dan sistem perumusan sanksi pidana yang bersifat kaku dan imperatif.

77

Ibid, hlm. 46

Surung Pasaribu : Kepastian Hukum Bagi Terdakwa Yang Dikeluarkan Demi Hukum Dari Rumah Tahanan Negara (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai ), 2009 USU Repository © 2008

BAB III AKIBAT HUKUM TERHADAP BATAS WAKTU PENAHANAN YANG TELAH HABIS

A. Batas Waktu Penahanan Yang Telah Habis Kaitannya Dengan Hak Asasi Manusia Berbeda dengan HIR yang tidak menentukan batas waktu dalam melakukan penahanan maka dalam KUHAP perihal penahanan lebih memberikan kepastian hukum dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia. Penahanan menurut HIR tidak membatasi jangka waktu sehingga dapat berkelanjutan tanpa batas dan tanpa berkesudahan. Pengaturan yang demikian menimbulkan dampak kepastian hukum tidak terjamin dan perampasan kemerdekaan seseorang dengan sewenangwenang. Untuk lebih memberikan perlindungan terhadap hak asasi manusia dari perbuatan perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang, maka KUHAP telah menentukan secara limitatif dan terperinci wewenang penahanan yang dapat dilakukan dengan memberikan batas waktu. Dari pengaturan tentang penahanan mulai Pasal 24 sampai dengan Pasal 29 KUHAP, maka dapat diketahui penahanan dikatakan habis atau berakhir jika: Pertama; tidak diperpanjang namun masih dimungkinkan dilakukan perpanjangan penahanan. Kedua; tidak dimungkinkan dilakukan perpanjangan penahanan dan Ketiga; pidana yang dijatuhkan telah sama dengan penahanan yang dijalani. Konsekuensi dengan

Surung Pasaribu : Kepastian Hukum Bagi Terdakwa Yang Dikeluarkan Demi Hukum Dari Rumah Tahanan Negara (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai ), 2009 USU Repository © 2008

penahanan yang telah habis ditentukan bahwa pejabat yang bertanggung jawab secara yuridis harus sudah mengeluarkan tersangka atau terdakwa dari tahanan demi hukum.78 Undang-undang diciptakan untuk memberikan perlindungan kepada manusia dan memelihara ketertiban dalam masyarakat. Namun dalam perkembangannya, terjadi kontroversial antara materi hukum yang menunjukkan adanya peningkatan, sebaliknya di pihak lain tidak diimbangi dengan adanya kepastian hukum dalam pelaksanaannya. 79 Undang-undang merupakan kumpulan norma-norma hukum yang dilandasi oleh prinsip-prinsip hukum. Agar norma hukum itu dapat melindungi kepentingan manusia dan menciptakan ketertiban dalam masyarakat maka undangundang itu harus dilaksanakan. Melalui pelaksanaan undang-undang itu, hukum dapat ditegakkan walaupun dalam penegakannya mengalami hambatan. Salah satu tujuan dari penegakan hukum adalah menciptakan kepastian hukum. Undang-undang sebagai suatu alat untuk mencapai kepastian hukum merupakan kumpulan kaidah hukum yang berusaha untuk memaksa melalui penggunaan bahasa secara rasional. Algra berpendapat pengggunaan bahasa perundang-undangan memiliki 2 (dua) fungsi, yakni: Pertama, sebagai sarana komunikasi yang mengantarkan pikiran dan kehendak dari pembuat undang-undang kepada rakyat dan Kedua, sebagai bahasa dengan ragam teknik yaitu bahasa perundang-undangan merupakan sarana komunikasi di antara para ahli hukum. 78

Lihat Pasal 24 ayat (4), 25 ayat (4), 26 ayat (4), 27 ayat (4), 28 ayat (4) dan 29 ayat (4)

KUHAP. 79

Anonim, Garis-Garis Besar Haluan Negara 1999-2004, TAP MPR IV/MPR/1999, Sinar (Jakarta, Grafika, 1999), hlm. 10

Surung Pasaribu : Kepastian Hukum Bagi Terdakwa Yang Dikeluarkan Demi Hukum Dari Rumah Tahanan Negara (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai ), 2009 USU Repository © 2008

Penggunaan bahasa yang tidak jelas dan tidak rasional berakibat tidak efektif sebagai suatu alat komunikasi kepada rakyat yang juga berakibat tidak memberikan suatu kepastian hukum. 80 Jika pendapat Algra di atas dianalisis, maka dapat disimpulkan bahwa dalam suatu undang-undang, kepastian hukum meliputi dua hal yakni pertama; kepastian perumusan norma dan prinsip hukum yang tidak bertentangan satu dengan lainnya baik dari pasal-pasal undang-undang itu secara keseluruhan maupun kaitannya dengan pasal-pasal lainnya yang berada diluar undang-undang tersebut. Kedua; kepastian dalam melaksanakan norma-norma dan prinsip hukum undangundang tersebut. Suhariyono mengemukakan bahwa bahasa peraturan perundang-undangan adalah termasuk bahasa Indonesia yang tunduk kepada kaidah tata bahasa Indonesia, baik

yang

menyangkut

pembentukan

kata,

penyusunan

kalimat

maupun

pengejaannya. Namun, perlu disepakati bahwa bahasa perundang-undangan tersebut sesungguhnya mempunyai corak atau gaya yang khas yang bercirikan kejernihan pengertian, kelugasan, kebakuan dan keserasian. 81 Berpedoman kepada redaksi “harus sudah mengeluarkan tahanan demi hukum” dalam Pasal 24 sampai dengan Pasal 29 KUHAP maka dalam mengeluarkan tersangka atau terdakwa yang ditahan di rumah tahanan negara, tidak dibutuhkan 80

Satjipto Rahardjo, Op. Cit, hlm. 87 - 89.

81

Lebih lanjut dikemukakan bahwa untuk menghasilkan suatu komposisi yang benar, maka perancang perundang-undangan harus menguasai beberapa hal yang essensil yaitu: menggunakan bahasa yang baik dan benar, memiliki kemampuan penalaran yang baik, menguasai kemampuan analisis di bidang ilmunya untuk memecahkan obyek garapannya secara ilmiah, menguasai metodemetode dan teknik pengumpulan data dan menguasai kaidah-kaidah komposisi. Lihat Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 1 No. 4 - Desember 2004, hlm. 63.

Surung Pasaribu : Kepastian Hukum Bagi Terdakwa Yang Dikeluarkan Demi Hukum Dari Rumah Tahanan Negara (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai ), 2009 USU Repository © 2008

prosedur tertentu. Dengan adanya kata “harus” maka ketentuan ini bersifat imperatif. Oleh karena itu, maka tiada yang dapat diperbuat oleh pejabat yang bertanggung jawab secara yuridis atas penahan selain dari mengeluarkan tersangka atau terdakwa dari tahanan. Selanjutnya, dengan adanya kata “demi hukum” maka dalam melakukan pengeluaran tahanan yang telah habis batas waktu penahanannya tidak diperlukan prosedur dan persyaratan dalam melaksanakannya. M. Yahya Harahap mengemukakan perkataan demi hukum telah menganulir pengertian pembebasan demi hukum sebagai suatu bentuk yang tidak memerlukan persyaratan dalam melaksanakannya. Jika berpegang kepada pengertian pembebasan demi hukum sebagai kaidah yang tidak memerlukan persyaratan, berarti apabila masa tahanan telah habis maka dengan sendirinya menurut hukum telah terbit fungsi kepala rumah tahanan negara untuk melaksanakan tindakan pembebasan tahanan. 82 Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia menentukan bahwa Indonesia adalah negara berdasar hukum (rechtstaat). 83 Pernyataan ini menunjukkan bahwa segala bentuk perilaku maupun interaksi yang hidup dan berkembang di dalam masyarakat menghendaki pengaturan yang mencerminkan hukum dan sekaligus meletakkan rambu-rambu pengendali terhadap siapa saja yang diberi kepercayaan untuk menyelenggarakan pemerintahan di negara

82

M. Yahya Harahap, Op. Cit, hlm. 179.

83

Sebelum Undang-Undang Dasar 1945 di amandemen, pengaturan tersebut diatur dalam Penjelasan Atas Undang-Undang Dasar 1945 yang menentukan bahwa Indonesia adalah negara hukum (rechstaat) dan bukan negara yang berdasar atas kekuasaan belaka (machtsaat).

Surung Pasaribu : Kepastian Hukum Bagi Terdakwa Yang Dikeluarkan Demi Hukum Dari Rumah Tahanan Negara (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai ), 2009 USU Repository © 2008

ini 84 yang tidak terlepas dari ide dasar tentang rechstaat yang syarat-syarat utamanya terdiri dari: a. asas legalitas, yaitu setiap tindakan pemerintah harus didasarkan atas dasar peraturan perundang-undangan. b. pembagian kekuasaan. Syarat ini mengandung makna bahwa kekuasaan negara tidak boleh hanya bertumpu pada satu tangan. c. hak-hak dasar yang sasaran perlindungan hukum bagi rakyat dan sekaligus membatasi kekuasaan pembentuk undang-undang. d. pengawasan pengadilan bagi rakyat. Dalam hal ini tersedia saluran melalui pengadilan yang bebas untuk menguji keabsahan tindak pemerintah. 85 Dalam Penjelasan Umum KUHAP dinyatakan konsep negara hukum dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, selalu menjamin segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan serta wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Dalam Penjelasan KUHAP tersebut, prinsip ini dikenal dengan istilah asas legalitas yang dalam penerapannya harus bersumber pada ketentuan hukum yang berlaku dan menempatkan kepentingan hukum dan perundang-undangan di atas segala-galanya. oleh karena itu, maka dalam penegakan hukum tidak dibenarkan bertindak di luar ketentuan undang-undang atau berbuat secara sewenang-wenang. Secara yuridis 84

Romli Atmasasmita, Reformasi Hukum, Hak Asasi Manusia & Penegakan Hukum, (Bandung: CV. Mandar Maju, 2001), hlm. 10. 85

Bahder Johan Nasution, Hukum Ketenagakerjaan; Kebebasan Berserikat Bagi Pekerja, (Bandung: CV. Mandar Maju, 2004), hlm. 72

Surung Pasaribu : Kepastian Hukum Bagi Terdakwa Yang Dikeluarkan Demi Hukum Dari Rumah Tahanan Negara (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai ), 2009 USU Repository © 2008

normatif, ketentuan mengeluarkan tahanan karena batas waktu penahanan telah habis merupakan penghormatan terhadap hak asasi manusia yang dijunjung tinggi oleh KUHAP.

Tetap

melanjutkan

penahanan

merupakan

perbuatan

perampasan

kemerdekaan secara sewenang-wenang atau tanpa alasan yang sah sebagai suatu bentuk pengingkaran terhadap hak asasi manusia. Secara formal, ketentuan yang menjadi payung (umbrella act) tentang hak asasi manusia diberlakukan sejak tahun 1999 dengan diberlakukannya Undangundang Nomor 39 Tahun 1999. Perangkat hukum ini berfungsi sebagai landasan operasional untuk menegakkan hukum dalam kerangka hak asasi manusia atau sebaliknya penegakan supremasi hukum dalam rangka perlindungan hak asasi manusia. 86 Meskipun secara formal keberadaan perangkat hukum tentang hak asasi manusia baru ada sejak tahun 1999, namun bukan berarti Indonesia sebagai negara hukum tidak menghormati harkat dan martabat manusia. Adanya pengaturan tentang penghormatan terhadap hak-hak tersangka atau terdakwa selama berada dalam tahanan dalam KUHAP telah membuktikan penghormatan terhadap hak asasi manusia. Sebelum KUHAP diberlakukan, pelarangan penahanan secara sewenangwenang ditentukan dalam Pasal 7 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman dan redaksi rumusan tersebut diambil oleh Pasal 7 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menentukan bahwa tiada seorang pun dapat dikenakan penangkapan, penahanan, 86

Adnan Buyung Nasution, Implementasi Perlindungan Hak Asasi Manusia dan Supremasi Hukum, Makalah Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII, Denpasar, 14 - 18 Juli 2003.

Surung Pasaribu : Kepastian Hukum Bagi Terdakwa Yang Dikeluarkan Demi Hukum Dari Rumah Tahanan Negara (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai ), 2009 USU Repository © 2008

penggeledahan dan penyitaan selain atas perintah tertulis oleh kekuasaan yang sah dalam hal-hal dan menurut cara-cara yang diatur dalam undang-undang ini. Aspek kemanusiaan yang sangat asasi ditentukan dengan tegas dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang diawali dengan pernyataan bahwa kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan dilanjutkan dengan 2 (aspek) sebagai konsekuensinya, yakni: Pertama; penjajahan harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan prikemanusiaan dan prikeadilan (alinea ke - 1) dan kedua; keinginan luhur untuk berkehidupan kebangsaan yang bebas (alinea ke - 1). Kedua aspek ini merupakan konsekuensi logi dari pengakuan terhadap hak kemerdekaan. Penjajahan pada

hakikatnya

merupakan

bentuk

pelecehan,

pelanggaran,

perampasan,

pengekangan atau penguasaan paksa dan sewenang-wenang atas hak kemerdekaan orang lain. Landasan konstitusional menentukan dalam batang tubuh Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 bahwa tujuan negara Republik Indonesia: a. Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; b. Memajukan kesejahteraan umum; c. Mencerdaskan kehidupan bangsa; dan d. Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial Tujuan tersebut diakhiri dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Keseluruhan asas tersebut menunjukkan bahwa setiap manusia pada prinsipnya wajib menghormati hak asasi manusia lainnya yang meliputi persamaan Surung Pasaribu : Kepastian Hukum Bagi Terdakwa Yang Dikeluarkan Demi Hukum Dari Rumah Tahanan Negara (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai ), 2009 USU Repository © 2008

kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak, kemerdekaan berserikat dan berkumpul, hak untuk mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan, kebebasan untuk memeluk agama dan untuk beribadat sesuai dengan agamanya. Ini berarti, setiap manusia pada asasnya menyandang aspek individualitas (pribadi) dan aspek sosialitas (masyarakat) sebagaimana dijabarkan dalam TAP MPR No. II/MPR/1987 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila yang menentukan bahwa dengan keyakinan akan kebenaran Pancasila, maka manusia ditempatkan pada keluhuran harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dengan kesadaran untuk mengembangkan kodratnya sebagai makhluk pribadi dan sekaligus sebagai makhluk sosial. Penjabaran keseluruhan kaidah tersebut ditentukan dalam Pasal 28 I UndangUndang Dasar 1945 (Amandemen) bahwa hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan umum dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Keseluruhan hak tersebut merupakan hak asasi dari setiap orang tanpa membedakan jenis kelamin, usia, agama, strata atau kedudukan di dalam masyarakat dan lain-lainnya. Pelanggaran terhadap hak-hak tersebut merupakan pelanggaran terhadap harkat dan martabat manusia. Hak-hak yang paling fundamental adalah aspek-aspek kodrat manusia atau kemanusiaan itu sendiri. Kemanusiaan setiap manusia merupakan ide yang luhur dari Sang Pencipta yang menginginkan setiap orang berkembang dan mencapai Surung Pasaribu : Kepastian Hukum Bagi Terdakwa Yang Dikeluarkan Demi Hukum Dari Rumah Tahanan Negara (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai ), 2009 USU Repository © 2008

kesempurnaanya sebagai manusia 87 sedangkan dalam arti yang murni, hak asasi adalah kemerdekaan yang berwujud: a. kemerdekaan berpikir dan mengeluarkan pikiran serta menganut keyakinan sendiri; b. kemerdekaan untuk bersatu dengan teman-teman yang sepaham serta mempunyai tujuan-tujuan tertentu. Ini merupakan prinsip kemerdekaan berserikat dan berkumpul; c. kemerdekaan

untuk

mengatur

penghidupan

sendiri

tidak

seperti

yang

diperintahkan oleh kekuasaan yang berada di atasnya. 88 Pasal 1 angka (1) Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menentukan hak asasi manusia sebagai seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk hidup Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia sedangkan pelarangan perampasan kemerdekaan tanpa alasan yang sah dinyatakan dalam Pasal 34 yang menentukan bahwa setiap orang tidak boleh ditangkap, ditahan, disiksa, dikucilkan, diasingkan atau dibuang secara sewenang-wenang. Ini berarti, pengaturan tentang penahanan yang terdapat dalam KUHAP berlandaskan kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang mengedepankan prinsip hak 87

Krisna Harahap, HAM dan Upaya Penegakannya di Indonesia, (Bandung: PT. Grafitri Budi Utami, 2003), hlm. 1. 88

Bambang Sunggono dan Aries Harianto, Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia, (Bandung: Penerbit Mandar Maju, 2001), hlm. 74.

Surung Pasaribu : Kepastian Hukum Bagi Terdakwa Yang Dikeluarkan Demi Hukum Dari Rumah Tahanan Negara (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai ), 2009 USU Repository © 2008

asasi tersangka atau terdakwa sebagai manusia yang diakui secara universal sebagai hak yang melekat karena hakikat dan kodrat kelahiran manusia. Universal bermakna bahwa hak asasi manusia tidak membedakan jenis kelamin, warna kulit, usia, latar belakang kultural dan agama sedangkan melekat bermakna hak ini dimiliki oleh setiap manusia karena kodrat kelahirannya sebagai manusia sehingga tidak dapat dicabut. Pengakuan atas adanya hak-hak manusia yang asasi memberikan jaminan secara moral maupun demi hukum kepada setiap manusia untuk menikmati kebebasan dari segala bentuk penghambaan, penindasan, perampasan, penganiayaan atau perlakuan yang tidak patut lainnya. 89 Adanya pelarangan penahanan secara sewenang-wenang menurut Pasal 34 Undangundang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menunjukkan bahwa penahanan, penghukuman, perampasan/penyitaan barang adalah merupakan upaya paksa yang bertentangan dengan prinsip hak asasi manusia namun karena perbuatan upaya paksa itu dijamin oleh undang-undang maka perbuatan itu adalah merupakan sesuatu yang sah menurut hukum.90 Ini berarti, jika dilakukan penafsiran secara a contrario, maka penahanan yang dilakukan dengan alasan yang sah menurut hukum tidak dipandang sebagai perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang.

89

Soetandyo Wignjosoebroto, “Hubungan Negara dan Masyarakat Dalam Konteks Hak-Hak Asasi Manusia: Sebuah Tinjauan Historik Dari Perspektif Relativisme Budaya Politik”, Makalah Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII, Denpasar 14 - 18 Juli 2003, hlm. 2. 90

Adi Sujatno, Buku Saku Hak Asasi Manusia Bagi Petugas Pemasyarakatan, (Jakarta: Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, 2002), hlm. 14.

Surung Pasaribu : Kepastian Hukum Bagi Terdakwa Yang Dikeluarkan Demi Hukum Dari Rumah Tahanan Negara (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai ), 2009 USU Repository © 2008

Kemerdekaan dan kebebasan seseorang mencakup pengertian, ruang lingkup dan aspek yang sangat luas. Salah satu aspek yang sangat mendasar ialah kemerdekaan dan kebebasan seseorang ialah kemerdekaan dan kebebasan seseorang untuk bergerak, bepergian ke mana saja atau untuk berhubungan dan berkomunikasi dengan siapa saja. Oleh karena itu, perampasan atau pembatasan kemerdekaan bergerak seseorang dilihat dari hukum pidana dapat berupa tindakan penangkapan, penahanan dan pidana perampasan kemerdekaan hanya dapat dikenakan apabila berdasarkan peraturan yang berlaku. Jika ditinjau secara harfiah, maka adanya hak asasi akan melahirkan kewajiban asasi karena manusia sebagai subyek hukum adalah pendukung hak dan kewajiban. Kewajiban untuk menghormati setiap hak asasi orang lain dijabarkan dalam Pasal 28 J ayat (2) yang menentukan bahwa dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat yang demokratis. Makna yang sama juga dapat dilihat dalam Pasal 73 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang menentukan bahwa hak dan kebebasan yang diatur dalam undang-undang ini hanya dapat dibatasi oleh dan berdasarkan

undang-undang,

semata-mata

untuk

menjamin

pengakuan

dan

penghormatan terhadap hak asasi manusia serta kebebasan dasar orang lain, kesusilaan, ketertiban umum dan kepentingan bangsa. Ini berarti bahwa hak asasi Surung Pasaribu : Kepastian Hukum Bagi Terdakwa Yang Dikeluarkan Demi Hukum Dari Rumah Tahanan Negara (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai ), 2009 USU Repository © 2008

pelaku pelanggaran (tindak pidana) hak asasi manusia yang ditentukan dalam Pasal 28 I (1) Undang-Undang Dasar 1945 (Amandemen) tidak berlaku dan dapat dihilangkan dengan beberapa persyaratan, yaitu: undang-undang, pertimbangan moral, nilai agama dan keamanan dan ketertiban umum. Tindakan penahanan yang tidak sah dapat berakibat dilakukannya upaya pra peradilan dari tersangka atau terdakwa. Pra peradilan merupakan inovasi (lembaga baru) dalam KUHAP sebagai tempat untuk mengadukan pelanggaran hak asasi manusia yang diilhami oleh hukum hak asasi manusia internasional yang telah menjadi international customary law. Lembaga pra peradilan merupakan terjemahan dari habeas corpus yang merupakan substansi dari hak asasi manusia. 91 Terdakwa HS yang berpendapat telah dilakukan penahanan yang tidak sah terhadap dirinya telah mengajukan permohonan pra peradilan terhadap Kepala Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai sebagaimana diuraikan dalam Putusan Nomor: 01/Pid. Pra/2005/PN-TB tanggal 31 Oktober 2005. Dalam permohonannya, terdakwa HS menyatakan sedang mengajukan upaya hukum kasasi namun masih berada dalam status tahanan di rumah tahanan negara Tanjung Balai padahal pada waktu perkara banding belum selesai diputus telah berakhir masa penahanan hakim Pengadilan Tinggi Medan dan terdakwa HS tidak pernah menerima penetapan perpanjangan penahanan. Akan tetapi, Kepala Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai tetap melanjutkan penahanan terdakwa HS.

91

Luhut M.P. Pangaribuan, Hukum Acara Pidana, (Jakarta: Djambatan, 2006), hlm. 20.

Surung Pasaribu : Kepastian Hukum Bagi Terdakwa Yang Dikeluarkan Demi Hukum Dari Rumah Tahanan Negara (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai ), 2009 USU Repository © 2008

Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara pra peradilan tersebut telah memberikan putusan yang amarnya menyatakan permohonan pra peradilan terdakwa HS tidak dapat diterima untuk seluruhnya dengan memberikan pertimbangan hukum bahwa seharusnya terdakwa HS mengajukan permohonan pra peradilan bukan ditujukan terhadap Kepala Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai namun ditujukan terhadap Kepala Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai dalam kapasitasnya selaku Kepala Rumah Tahanan Negara. Selain itu, dalam pertimbangan hukum dinyatakan bahwa Kepala Lembaga Pemasyarakatan tidak dapat dijadikan pihak dalam permohonan pra peradilan.

B. Pemeriksaan Terdakwa Setelah Dikeluarkan Demi Hukum Dari Rumah Tahanan Negara Pemeriksaan terdakwa di persidangan pengadilan merupakan bahagian dari rangkaian sistem peradilan pidana yang bertujuan untuk membuktikan kebenaran materil. Kebenaran materil didapatkan berdasarkan tahapan proses pembuktian di mana hakim mendapatkan keyakinannya melalui sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti yang sah. Secara umum, rangkaian tersebut merupakan bahagian tugas utama dari hukum yakni social engineering untuk membangun suatu struktur masyarakat sedemikian rupa sehingga secara maksimum dicapai kepuasan akan kebutuhankebutuhan dengan seminimum mungkin banturan dan pemborosan 92 yang

92

Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, 2000), hlm.

298.

Surung Pasaribu : Kepastian Hukum Bagi Terdakwa Yang Dikeluarkan Demi Hukum Dari Rumah Tahanan Negara (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai ), 2009 USU Repository © 2008

menekankan pada rumusan dan penggolongan tentang kepentingan kemasyarakatan dengan menitikberatkan pada mengadakan keseimbangan pada kepentingan akan menghasilkan kemajuan hukum. 1. tujuan penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan pembangunan nasional yaitu mewujudkan masyarakat adil dan makmur yang merata materil dan sprituil berdasarkan Pancasila. Sehubungan dengan ini maka penggunaan hukum pidana bertujuan untuk menanggulangi kejahatan dan mengadakan penyegaran terhadap tindakan penanggulangan itu sendiri demi kesejahteraan dan pengayoman masyarakat; 2. perbuatan yang diusahakan untuk mencegah atau menanggulangi dengan hukum pidana harus merupakan perbuatan yang dikehendaki yaitu perbuatan yang mendatangkan kerugian materil dan sprituil atas warga masyarakat; 3. penggunaan hukum pidana harus pula memperhitungkan prinsip biaya dan hasil; 4. penggunaan hukum pidana harus pula memperhatikan kapasitas atau kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum yaitu jangan sampai ada kelampauan beban tugas. 93 Dalam kaitannya dengan penegakan hukum pidana, maka tujuan hukum pidana adalah: a. mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan; b. menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana; c. mengusahakan

agar

orang

yang

pernah

melakukan

kejahatan

tidak

mengulanginya. 94

93

Djoko Prakoso, Masalah Pemberian Pidana Dalam Teori dan Praktek Pengadilan, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984), hlm. 32 94

Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana, (Jakarta: Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia, 1994), hlm. 84.

Surung Pasaribu : Kepastian Hukum Bagi Terdakwa Yang Dikeluarkan Demi Hukum Dari Rumah Tahanan Negara (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai ), 2009 USU Repository © 2008

Wiryono Prodjodikoro mengemukakan bahwa tujuan dari hukum pidana adalah untuk memenuhi rasa keadilan. Di lain pihak, dikemukakan bahwa tujuan hukum pidana adalah sebagai berikut: 1. untuk menakut-nakuti orang jangan sampai melakukan kejahatan baik secara menakut-nakuti orang banyak (generale preventie) maupun secara menakut-nakuti orang tertentu yang sudah menjalankan kejahatan agar di kemudian hari tidak melakukan kejahatan lagi (speciale preventie); 2. untuk mendidik atau memperbaiki orang-orang yang sudah menandakan suka melakukan kejahatan sehingga menjadi orang yang baik tabiatnya dan bermanfaat bagi masyarakat. Dalam hal ini hukum pidana berfungsi sebagai berikut: a. untuk mencegah dilakukannya tindak pidana demi pengayoman negara, masyarakat dan penduduk; b. untuk membimbing agar terpidana insaf dan menjadi anggota masyarakat yang berbudi baik dan berguna; dan c. untuk menghilangkan noda-noda yang diakibatkan oleh tindak pidana. 95 Hukum terdiri dari aturan atau kebiasaan yang telah mengalami proses kelembagaan, artinya kebiasaan-kebiasaan dari lembag-lembaga kemasyarakatan tertentu diubah sedemikian rupa sehingga dapat dipergunakan oleh lembaga-lembaga kemasyarakatan lainnya yang memang dibentuk untuk maksud tersebut. Lembagalembaga hukum berbeda dengan lembaga-lembaga kemasyarakatan lainnya atas dasar 2 (dua) kriteria, yakni: Pertama; lembaga-lembaga hukum memberikan ketentuanketentuan tentang cara menyelesaikan perselisihan yang timbul dalam hubungannya dengan tugas-tugas kemasyarakatan lainnya. Kedua; lembaga-lembaga hukum mencakup 2 (dua) jenis aturan, yakni penetapan kembali daripada aturan-aturan

95

Siswanto Sunarso, Wawasan Penegakan Hukum di Indonesia, (Bandung: Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, 2005), hlm. 67.

Surung Pasaribu : Kepastian Hukum Bagi Terdakwa Yang Dikeluarkan Demi Hukum Dari Rumah Tahanan Negara (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai ), 2009 USU Repository © 2008

lembaga-lembaga non hukum dalam hal ini disebut dengan hukum substantif dan aturan yang mengatur aktivitas daripada lembaga-lembaga hukum itu sendiri dalam hal ini disebut hukum ajektif. Dengan demikian, sifat yang penting dari gejala hukum adalah fakta bahwa aturan dan lembaga-lembaga hukum mengatur hampir seluruh perilaku sosial dalam masyarakat. 96 Dalam kaitannya dengan cara penyelesaian dalam perkara pidana, KUHAP menentukan 3 (tiga) acara pemeriksaan, yakni acara biasa, cepat dan singkat. Dalam pemeriksaan acara biasa dan acara cepat, KUHAP menganut asas bahwa pengadilan memeriksa perkara pidana dengan hadirnya terdakwa. Ini berarti, kehadiran terdakwa merupakan keharusan. Namun, tiada hukum tanpa pengecualian merupakan asas yang berlaku universal dalam ilmu hukum. Pengecualian ini hanya terbatas dalam pemeriksaan perkara tindak pidana korupsi yang dikenal dengan istilah peradilan in absentia atau persidangan tanpa hadirnya terdakwa, yakni sejak persidangan dinyatakan terbuka untuk umum terdakwa tidak pernah hadir hingga dibacakan putusan oleh hakim. Peradilan in absentia dibolehkan dalam kondisi tertentu jika negara dipandang telah cukup melakukan usaha untuk menginformasikan terdakwa tentang proses peradilan yang akan berlangsung sehingga memungkinkan melakukan persiapan pembelaan. Pengecualian terhadap asas bahwa pengadilan memeriksa perkara pidana dengan hadirnya terdakwa berlaku bagi pemeriksaan dengan acara singkat seperti

96

Ibid.

Surung Pasaribu : Kepastian Hukum Bagi Terdakwa Yang Dikeluarkan Demi Hukum Dari Rumah Tahanan Negara (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai ), 2009 USU Repository © 2008

dalam perkara pelanggaran lalu lintas jalan. KUHAP tidak mewajibkan terdakwa menghadap secara langsung di sidang pengadilan namun dapat menunjuk wakilnya. Beberapa hal yang bisa dijadikan bahan perumusan standar hukum dan pedoman peradilan in absentia adalah sebagai berikut: a. dalam tindak pidana tertentu, pada dasarnya setiap tersangka atau terdakwa memiliki hak untuk diadili (the right to be tried in his presence), kecuali yang bersangkutan secara sukarela melepaskan haknya, atau yang bersangkutan melarikan diri, atau dengan sengaja yang bersangkutan memilih untuk tidak bersedia hadir. b. persidangan in absentia hanya dapat dilakukan atau diperbolehkan demi kepentingan keadilan, apabila terdakwa yang telah diberi informasi sebelumnya secara patut, tidak mau atau mundur dari haknya untuk hadir. c. proses pemidanaan pada dasarnya merupakan penghukuman secara formal (formal condemnation) setelah terjadi penyelidikan, seleksi dan evaluasi yang akurat terhadap alat-alat bukti yang mendukung sedangkan dakwaan hanya merupakan tuduhan yang belum terbukti (unproved charge) dan bukan merupakan konklusi final tentang kesalahan. Dengan demikian peradilan in absentia harus sudah melalui eksaminasi permulaan yang cukup terhadap alat-alat bukti yang dapat mendukung dakwaan. d. peradilan in absentia bisa mensyaratkan bahwa terdakwa pada permulaan pernah hadir (initial presence), tetapi bisa juga tanpa syarat tersebut asal tidak diragukan lagi bahwa terdakwa telah memutuskan secara sukarela dengan kesadaran penuh untuk tidak melaksanakan haknya untuk hadir. e. sekalipun peradilan in absentia dilaksanakan, maka terdakwa harus dapat diwakili oleh penasehat hukum yang diberinya kuasa. Dengan alat-alat komunikasi modern memungkinkan penasehat hukun berkomunikasi dengan terdakwa setiap saat. f. apabila pelbagai persyaratan peradilan in absentia tidak dipenuhi, maka harus dimungkinkan peradilan ulangan (retried) dengan kehadiran terdakwa, sebab bagaimanapun juga keterangan terdakwa secara pribadi tetap merupakan alat bukti penting. 97 Dari asas bahwa pengadilan memeriksa perkara pidana dengan hadirnya terdakwa maka terhadap perkara tindak pidana yang diperiksa dengan acara biasa dan 97

Muladi, Demokratisasi, Hak Asasi Manusia dan Reformasi Hukum di Indonesia, (Jakarta: The Habibie Center, 2002), hlm. 304 - 305.

Surung Pasaribu : Kepastian Hukum Bagi Terdakwa Yang Dikeluarkan Demi Hukum Dari Rumah Tahanan Negara (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai ), 2009 USU Repository © 2008

cepat, tidak dibenarkan diperiksa secara in absentia melainkan kehadiran terdakwa bersifat keharusan. Asas ini menimbulkan problematika hukum dalam penerapannya ketika seorang terdakwa yang pada awalnya dikenakan tindakan penahanan namun dikeluarkan demi hukum sebelum pemeriksaan selesai. Ketidakhadiran terdakwa untuk menghadap di persidangan dapat dibedakan dalam 2 (dua) hal, yakni dengan alasan yang sah dan dengan alasan yang tidak sah. Alasan yang sah merupakan alasan yang dibenarkan menurut hukum seperti berhalangan hadir di persidangan karena sakit yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter atau terdakwa mendapatkan musibah yang dibuktikan dengan keterangan lurah. Dalam keadaan yang demikian, maka sidang harus ditunda untuk memenuhi asas pemeriksaan dalam perkara pidana dengan hadirnya terdakwa dengan cara hakim memerintahkan kepada jaksa penuntut umum untuk memanggil terdakwa namun jika terdakwa tidak datang menghadap dipersidangan lagi, maka hakim melakukan penundaan sidang kembali dan memerintahkan kepada jaksa penuntut umum untuk menghadirkan terdakwa secara paksa. 98 Ketidakhadiran terdakwa untuk menghadap di persidangan dapat terjadi bagi terdakwa yang telah dikeluarkan demi hukum dari rumah tahanan negara. Dalam keadaan terdakwa tidak hadir namun seluruh proses pemeriksaan telah selesai diperiksa atau acara persidangan hanya membacakan putusan pengadilan, maka hakim dapat menunda persidangan dan selanjutnya memerintahkan jaksa penuntut

98

Lihat Pasal 154 ayat (6) KUHAP.

Surung Pasaribu : Kepastian Hukum Bagi Terdakwa Yang Dikeluarkan Demi Hukum Dari Rumah Tahanan Negara (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai ), 2009 USU Repository © 2008

umum untuk memanggil terdakwa kembali. Jika terdakwa tetap tidak hadir untuk menghadap di persidangan, maka pembacaan putusan dapat dilakukan tanpa hadirnya terdakwa. 99 Acara pemeriksaan yang demikian tidak dapat dikualifikasikan sebagai persidangan in absentia karena terdakwa telah pernah hadir. Bagi perkara yang terdakwanya lebih dari seorang namun tidak semua terdakwa hadir dipersidangan sedangkan acara pemeriksaan masih beberapa tahapan lagi, maka hakim bebas untuk menentukan melanjutkan persidangan atau menempuh prosedur pemanggilan terhadap terdakwa yang tidak hadir. Jika hakim memilih sikap untuk melanjutkan persidangan, maka pemeriksaan dapat dilangsungkan sebatas untuk memeriksa terdakwa yang hadir saja. 100 Bagi terdakwa yang tidak hadir dilakukan pemanggilan dengan ketentuan jika dalam persidangan selanjutnya tetap tidak hadir maka hakim memerintahkan jaksa penuntut umum untuk menghadirkan terdakwa secara paksa. Satjipto Rahardjo menyatakan bahwa penegakan hukum merupakan suatu usaha untuk mewujudkan ide-ide tentang keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan sosial menjadi kenyataan sebagai hakikat dari penegakan hukum. Penegakan hukum yang berintikan kepastian hukum akan menjadikan ketertiban dalam masyarakat tercapai. 101 Namun harus disadari bahwa dalam proses penegakan hukum untuk mewujudkan

keadilan

dan

kepastian

99

Lihat Pasal 196 ayat (2) KUHAP.

100

Lihat Pasal 154 ayat (5) KUHAP.

hukum

bagi

masyarakat

terdapat

101

Riduan Syahrani, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2004) hlm. 181 - 182.

Surung Pasaribu : Kepastian Hukum Bagi Terdakwa Yang Dikeluarkan Demi Hukum Dari Rumah Tahanan Negara (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai ), 2009 USU Repository © 2008

ketidaksempurnaan hukum. Dalam kaitan ini, KUHAP tidak mengatur tentang ketidakhadiran terdakwa setelah dilakukan upaya secara paksa karena terdakwa tidak ditemukan atau melarikan diri. M. Yahya Harahap mengemukakan bagi terdakwa yang telah pernah hadir tapi belum cukup diperiksa dan didengar keterangannya tidak boleh dijatuhkan putusan namun harus dilanjutkan pemeriksaannya. Cara lain dapat diambil kebijaksanaan dengan persetujuan dari jaksa penuntut umum agar namanya dikeluarkan dari berkas perkara untuk diajukan secara terpisah. 102 Plato memprediksi kemungkinan munculnya praktik penegakan hukum yang sekalipun sejalan dengan suatu undang-undang tetapi bertentangan dengan hak asasi manusia atau bertentangan dengan rasa keadilan. Namun dibalik ketidaksempurnaan hukum tersebut, eksistensi hukum tetap merupakan satu perangkat untuk mengatasi kekuasaan tiranik karena kekuasaan tiranik senantiasa mengancam kehidupan individu warga negara dan masyarakat. 103 Inti dari pendapat ini menempatkan perangkat hukum sebagai instrumen yang secara nyata memberikan perlindungan terhadap kepentingan masyarakat. Perlindungan hukum bagi kepentingan masyarakat dapat dilihat sebagai bagian penting dari proses penegakan hukum. RUU KUHAP juga tidak menentukan perihal ketidakhadiran terdakwa setelah dilakukan upaya secara paksa karena terdakwa tidak ditemukan atau melarikan diri

102

M. Yahya Harahap, Op. Cit, hlm. 115.

103

Karen G. Turner, et.al.(eds), The Limits of the Rule Of Law in China, (Washington: University of Washington Press, 2000), hlm. 5.

Surung Pasaribu : Kepastian Hukum Bagi Terdakwa Yang Dikeluarkan Demi Hukum Dari Rumah Tahanan Negara (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai ), 2009 USU Repository © 2008

namun hanya menentukan proses pemeriksaan dengan mengambilalih ketentuan dari KUHAP. Dalam Pasal 147 RUU KUHAP ditentukan bahwa: (1). hakim membuka sidang perkara atas nama terdakwa dengan menyebut identitasnya dan menyatakan sidang terbuka untuk umum. (2). ketentuan ayat (1) tidak berlaku terhadap perkara kesusilaan, terdakwa dibawah umur, dan tindak pidana yang menyangkut rahasia negara. (3). meminta Penuntut Umum membawa masuk terdakwa ke ruang sidang. (4). hakim ketua menanyakan identitas terdakwa. (5). sesudah hakim menanyakan identitas terdakwa, hakim mempersilakan Penuntut Umum membacakan dakwaannya. (6). jika dalam pemeriksaan terdakwa yang tidak ditahan tidak hadir pada sidang yang telah ditetapkan, hakim ketua meneliti apakah terdakwa telah dipanggil secara sah. (7). jika ternyata terdakwa dipanggil secara tidak sah, hakim ketua menunda sidang dan memerintahkan dipanggil lagi untuk hadir pada sidang berikutnya. (8). jika dalam suatu perkara ada lebih dari seorang terdakwa dan tidak semua terdakwa hadir pada hari sidang, pemeriksaan terhadap terdakwa yang hadir dapat dilangsungkan. (9). hakim ketua sidang memerintahkan agar terdakwa yang tidak hadir tanpa alasan yang sah setelah dipanggil secara sah untuk kedua kalinya, dihadirkan dengan paksa pada sidang pertama berikutnya. (10). panitera mencatat laporan dari penuntut umum tentang pelaksanaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (6) dan menyampaikannya kepada hakim ketua sidang. Jika dicermati maka dapat diketahui bahwa RUU KUHAP juga tidak mengatur lebih lanjut bagaimana terhadap terdakwa yang tidak hadir tanpa alasan yang sah setelah dipanggil secara sah untuk kedua kalinya, dihadirkan dengan paksa pada sidang pertama berikutnya tetap tidak dapat dihadirkan pada sidang berikutnya. Lilik Mulyadi mengemukakan bahwa apabila sidang tetap dilanjutkan terhadap terdakwa yang tidak hadir tersebut maka akan berpotensi terhadap pelanggaran hak asasi manusia dalam due process of law. Oleh karena itu, bagi terdakwa yang tidak hadir atau tidak dapat dihadirkan walau telah dilakukan dengan paksa pada sidang Surung Pasaribu : Kepastian Hukum Bagi Terdakwa Yang Dikeluarkan Demi Hukum Dari Rumah Tahanan Negara (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai ), 2009 USU Repository © 2008

berikutnya hendaknya terdakwa tersebut dikeluarkan dari berkas perkara sehingga apabila terdakwa tersebut dapat ditemukan maka akan diadili dalam perkara tersendiri. 104

C. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Batas Waktu Penahanan Habis Sebelum Pemeriksaan Selesai Batas waktu penahanan yang telah habis dapat terjadi dalam setiap tingkat pemeriksaan baik dalam penyidikan, penuntutan maupun pemeriksaan di pengadilan. Batas waktu penahanan yang telah habis bukan saja terhadap penahanan yang tidak dilakukan perpanjangan namun meliputi penahanan yang tidak mungkin lagi dilakukan perpanjangan penahanannya dan penahanan yang telah sama dengan pidana yang dijatuhkan. Pembahasan penelitian ini dibatasi hanya terhadap faktorfaktor penyebab terdakwa dikeluarkan demi hukum dari tahanan karena batas waktu penahanan yang telah habis dalam tingkat pemeriksaan di pengadilan. Rangkaian tingkat pemeriksaan dalam sistem peradilan pidana merupakan suatu upaya untuk menegakkan hukum karena telah terjadi suatu peristiwa hukum atau perbuatan pelanggaran hukum. 105 Dalam prakteknya, timbul permasalahan atau

104

Lilik Mulyadi, RUU KUHAP Dari kepanjen.net/artikel/, diakses tanggal 26 April 2009.

Perspektif

Seorang

Hakim,

http://pn-

105

Ini berarti penegakan hukum dapat juga terjadi dalam keadaan normal atau bukan karena pelanggaran hukum. Hal ini disebabkan karena hukum berfungsi sebagai alat perlindungan kepentingan manusia seperti harus terpenuhinya syarat-syarat meletakkan jaminan untuk peminjaman uang di bank atau harus terpenuhinya syarat-syarat bagi orang yang akan melangsungkan perkawinan. Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum; Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Penerbit Liberty, 1999), hlm. 145.

Surung Pasaribu : Kepastian Hukum Bagi Terdakwa Yang Dikeluarkan Demi Hukum Dari Rumah Tahanan Negara (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai ), 2009 USU Repository © 2008

kendala

yang

mempengaruhinya

penegakan

hukum.

Soerjono

Soekanto 106

mengatakan bahwa secara konsepsional, maka inti dan arti penegakan hukum terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidahkaidah yang mantap dan mengejawantahkan dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir untuk menciptakan, memilihara dan mempertahankan kedamaian

hidup.

Pelaksanaannya

terletak

pada

faktor-faktor

yang

mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut mempunyai arti yang netral sehingga dampak positif atau negatifnya terletak pada faktor-faktor tersebut, yakni: 1. faktor hukumnya sendiri, yakni peraturan perundang-undangan; 2. faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum; 3. faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum; 4. faktor masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum tersebut berlaku atau diterapkan; 5. faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, ciptadan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup. Friedman menyatakan bahwa penegakan hukum dipengaruhi oleh sub sistem hukum itu sendiri yang terdiri dari materi hukum (substance of law), struktur hukum (structure of law) dan budaya hukum (legal culture). Urutan penyebutan sub sistem ini tidak menunjukkan prioritas namun merupakan satu kesatuan yang tidak dapat

106

Soerjono Soekanto, Op.Cit, hlm. 5 - 8.

Surung Pasaribu : Kepastian Hukum Bagi Terdakwa Yang Dikeluarkan Demi Hukum Dari Rumah Tahanan Negara (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai ), 2009 USU Repository © 2008

dipisahkan karena tiap sub sistem saling mempengaruhi satu dengan lainnya. Substance of law adalah peraturan-peraturan yang dipakai oleh para pelaku hukum pada waktu melakukan perbuatan-perbuatan serta hubungan-hubungan hukum atau seperangkat aturan, norma, dan pola prilaku nyata manusia yang berada dalam sistem itu. Substance of law dapat pula diartikan sebagai produk yang dihasilkan oleh orang yang berada dalam sistem hukum itu dalam bentuk keputusan yang dikeluarkan seperti putusan hakim. Structure of law adalah pola yang memperlihatkan tentang bagaimana hukum itu dijalankan menurut ketentuan formalnya yakni memperlihatkan bagaimana pengadilan, pembuat hukum dan lain-lain badan serta proses hukum itu berjalan dan dijalankan. Sistem hukum terus berubah namun bagian-bagian sistem itu berubah dalam kecepatan yang berbeda dan setiap bagian berubah tidak secepat bagian tertentu lainnya. Struktur sistem hukum terdiri dari beberapa unsur, yakni: jumlah dan ukuran pengadilan, yurisdiksi dan cara naik banding dari satu pengadilan ke pengadilan lain. Legal culture adalah unsur yang terpenting dalam sistem hukum yakni tuntutan dan permintaan. Tuntutan datangnya dari rakyat atau para pemakai jasa hukum. Dibelakang tuntutan itu, kecuali didorong oleh kepentingan terlihat juga faktor ide, sikap, keyakinan, harapan dan pendapat mengenai hukum. Budaya hukum mengandung potensi untuk dipakai sebagai sumber informasi guna menjelaskan sistem hukum. 107

107

Satjipto Rahardjo, Hukum Dan Masyarakat, (Bandung: Angkasa, 1984), hlm. 166 - 167.

Surung Pasaribu : Kepastian Hukum Bagi Terdakwa Yang Dikeluarkan Demi Hukum Dari Rumah Tahanan Negara (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai ), 2009 USU Repository © 2008

Dari penelitian yang dilakukan, maka dalam kaitannya dengan terdakwa yang dikeluarkan demi hukum dari tahanan namun pemeriksaannya belum selesai dapat diidentifikasi beberapa faktor yang mempengaruhinya, yakni: 1. faktor struktur hukum, yakni penundaan sidang karena tuntutan pidana terhadap terdakwa belum selesai sehingga persidangan tidak dapat dilanjutkan.108 2. faktor budaya hukum, yakni: pengunduran sidang hingga beberapa kali karena saksi tidak hadir. 109 Jika ditelaah secara yuridis normatif maka dapat dicermati bahwa KUHAP sebagai pedoman hukum acara pidana hanya mengatur tentang batas waktu penahanan namun tidak mengatur tentang batas waktu pemeriksaan di pengadilan. Tiadanya pengaturan ini menimbulkan akibat terjadinya ketidakpastian hukum dalam rangkaian proses pemeriksaan dalam perkara pidana sehingga dapat dimungkinkan seorang masih berstatus sebagai terdakwa selama bertahun-tahun lamanya karena pemeriksaannya belum selesai. Kekosongan (kevakuman) pengaturan ini juga meliputi terhadap tiadanya pengaturan batas waktu pemeriksaan dalam tingkat penyidikan oleh kepolisian dan penuntutan oleh kejaksaan. Mencermati pengaruh dari faktor ini maka harus dilakukan pembaharuan hukum pidana dengan mengkaji ulang KUHAP sebagai substances of law khususnya terhadap pentingnya pengaturan batas

108

Hasil wawancara dengan Oloan Exodus Hutabarat, S.H., Hakim pada Pengadilan Negeri Tanjung Balai pada tanggal 16 April 2009. 109

Hasil wawancara dengan PDE. Pasaribu, S.H., M.H., Kepala Seksi Tindak Pidana Umum Pada Kejaksaan Negeri Tanjung Balai pada tanggal 16 April 2009.

Surung Pasaribu : Kepastian Hukum Bagi Terdakwa Yang Dikeluarkan Demi Hukum Dari Rumah Tahanan Negara (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai ), 2009 USU Repository © 2008

waktu pemeriksaan di penyidikan, penuntutan maupun pemeriksaan di sidang pengadilan yang bersifat kasuistis secara berimbang proporsional. 110 Pembaharuan hukum pidana pada hakikatnya merupakan upaya melakukan peninjauan dan penilaian kembali (reorientasi dan reevaluasi) nilai-nilai sosio politik, sosio filosofik dan sosio kultural yang melandasi dan memberi isi terhadap muatan normatif dan substantif hukum pidana yang dicita-citakan 111 yang bertujuan sebagai berikut: 1. usaha-usaha yang terdiri atas kegiatan-kegiatan memperbaiki, mengurangi, menambah hukum yang berlaku atau menggantikannya dengan yang baru sesuai dengan kebutuhan, situasi dan kondisi di Indonesia. 2. memenuhi persyaratan tertentu yang menunjang pengembangan kebenaran, keadilan, dan kesejahteraan rakyat berdasarkan UUD 1945 sebagai pengamalan Pancasila. 3. pengembangan landasan filosofis, etis, dan yuridis tertentu. 4. pengembangan bahasa yang tepat dalam peraturan perundang-undangan, agar dapat dipahami dan dihayati oleh banyak orang sebagai subyek dan obyek hukum, sehingga mendukung penerapannya. 5. pengadaan dan partisipasi alat penegak hukum yang memahami dan menghayati makna hukum sebagai sarana dan dasar pembangunan kebenaran, keadilan, dan kesejahteraan. 6. pemahaman dan penghayatan reformasi hukum sebagai suatu bentuk perwujudan pelayanan kesejahteraan manusia. Hukum harus dapat mendukung pelayanan terhadap sesama manusia yang mempunyai permasalahan dalam berbagai bidang penghidupan dan kehidupan. 112

110

Menurut Oloan Exodus Hutabarat, S.H., yang diperlukan adalah agar KUHAP mengatur batas waktu jaksa penuntut umum untuk mengajukan tuntutan pidana. Hasil wawancara dengan Oloan Exodus Hutabarat, S.H., Hakim pada Pengadilan Negeri Tanjung Balai pada tanggal 16 April 2009. 111

Tongat, Pidana Kerja Sosial Dalam Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia, (Jakarta: Penerbit Djambatan, 2001), hlm. 22. 112

Arief Gosita, “Reformasi Hukum Yang Berpihak Kepada Rakyat dan Keadilan (Beberapa Catatan),” Jurnal Keadilan Lembaga Kajian Hukum dan keadilan, Vol 1 No. 2 Desember 2000, hlm. 51.

Surung Pasaribu : Kepastian Hukum Bagi Terdakwa Yang Dikeluarkan Demi Hukum Dari Rumah Tahanan Negara (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai ), 2009 USU Repository © 2008

Adanya pengaturan batas waktu proses pemeriksaan tersebut akan menjadikan institusi yang berada dalam sistem peradilan pidana bekerjasama secara terpadu. Pengaturan ini akan menjadikan struktur hukum menjalankan fungsinya secara efektif. Dengan adanya pengaturan tersebut maka internal kejaksaan harus menyesuaikan pengaturan tentang tenggang waktu mengajukan rencana tuntutan oleh kejaksaan negeri sampai dengan kepada kejaksaan tinggi maupun kejaksaan agung dalam perkara tertentu. Lambatnya tuntutan pidana oleh jaksa penuntut umum dikemukakan berdasarkan hasil wawancara sebagai berikut: Sering dilakukan pengunduran sidang karena tuntutan pidana dari jaksa penuntut umum belum siap. Biasanya dalam perkara tertentu seperti tindak pidana narkotika, psikotropika, illegal logging, perkara minyak tanah dengan alasan rencana tuntutan pidana dari kejaksaan agung belum diterima padahal batas waktu penahanan akan habis. Ternyata setelah dilakukan pengunduran sidang, rencana tuntutan pidana dari kejaksaan agung juga belum diterima jaksa penuntut umum sampai dengan batas waktu penahanan habis. 113 Pemeriksaan dalam sidang pengadilan dilakukan melalui beberapa tahapan yang telah ditentukan dalam KUHAP. Terdakwa yang didampingi oleh penasihat hukum, sering menggunakan hak untuk mengajukan eksepsi (keberatan) terhadap dakwaan jaksa penuntut umum. Dalam kaitan ini, meskipun telah dilakukan penundaan sidang selama 2 (dua) minggu agar jaksa penuntut umum menyiapkan tanggapan atas eksepsi (keberatan) tersebut, namun ada dijumpai jaksa penuntut umum belum menyiapkannya sehingga dilakukan penundaan lagi. Keadaan ini

113

Hasil wawancara dengan Oloan Exodus Hutabarat, S.H., Hakim pada Pengadilan Negeri Tanjung Balai pada tanggal 16 April 2009.

Surung Pasaribu : Kepastian Hukum Bagi Terdakwa Yang Dikeluarkan Demi Hukum Dari Rumah Tahanan Negara (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai ), 2009 USU Repository © 2008

dilanjutkan lagi ketika mengajukan tuntutan pidana dengan alasan rencana tuntutan pidana dari kejaksaan agung belum diterima. 114 Selain faktor yang berasal dari materi dan struktur hukum, faktor budaya hukum masyarakat yang berstatus sebagai saksi juga sangat mempengaruhi terhadap rangkaian proses pemeriksaan di sidang pengadilan. Masyarakat yang menjadi saksi dalam perkara pidana sangat dibutuhkan sebagai alat bukti yang penting untuk mencari kebenaran materil namun beberapa kali ditemukan bahwa saksi tidak hadir dipersidangan sampai dengan dikeluarkannya surat perintah membawa. Kehadiran saksi tersebut sangat diperlukan karena kesaksiannya merupakan “kunci” dari peristiwa hukum yang didakwakan. Apabila keterangan dalam berita acara penyidikan dibacakan tanpa saksi periksa di persidangan, terdakwa atau penasihat hukumnya menyatakan keberatan dengan alasan kesaksian tersebut bukan alat bukti yang sah. Hal ini mengakibatkan terjadinya penundaan sidang untuk beberapa kali. 115 Beberapa faktor tersebut pada hakikatnya merupakan kendala-kendala dalam penegakan hukum yang menuntut syarat adanya ketundukan, kepatuhan atau ketaatan dari masyarakat kepada hukum yang memiliki keterkaitan dengan 3 (tiga) sub sistem hukum. Hal tersebut akan terwujud jika hukum yang ada mampu mengakomodasi rasa keadilan masyarakat, didukung oleh sistem penegakan hukum yang baik dan tumbuhnya kesadaran hukum masyarakat. Dalam kaitannya dengan sistem peradilan 114

Hasil wawancara dengan Oloan Exodus Hutabarat, S.H., Hakim pada Pengadilan Negeri Tanjung Balai pada tanggal 16 April 2009. 115

Hasil wawancara dengan Oloan Exodus Hutabarat, S.H., Hakim pada Pengadilan Negeri Tanjung Balai pada tanggal 16 April 2009.

Surung Pasaribu : Kepastian Hukum Bagi Terdakwa Yang Dikeluarkan Demi Hukum Dari Rumah Tahanan Negara (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai ), 2009 USU Repository © 2008

pidana sebagai upaya penanggulangan kejahatan melalui sarana penal yang berfungsi untuk menyelesaikan konflik yang membahayakan keamanan dan ketertiban masyarakat, maka hanya akan efektif apabila memiliki 4 (empat) syarat, yaitu: 1. kepercayaan masyarakat

akan

memperoleh

keadilan sebagaimana

yang

diharapkan. 2. kepercayaan sebagai lembaga yang mengekspresikan nilai-nilai kejujuran, mentalitas yang tidak korup dan nilai-nilai utama lainnya. 3. kepercayaan dari masyarakat bahwa waktu dan biaya yang dikeluarkan tidak akan sia-sia. 4. kepercayaan sebagai tempat untuk memperoleh perlindungan hukum. 116 Beberapa faktor tersebut secara umum telah terjadi dalam penegakan hukum sebagaimana hasil penelitian dalam Buku Reformasi Hukum di Indonesia yang menyatakan bahwa lemahnya penegakan hukum di Indonesia disebabkan: a. kurangnya rasa hormat masyarakat pada hukum. b. tidak adanya konsistensi penerapan peraturan oleh aparat pengadilan. c. mekanisme pengadilan tidak efektif. d. penegakan hukum yang korupsi dan keberpihakan yang menguntungkan pemerintah. 117

116

Satjipto Rahardjo, Hukum dan Perubahan Sosial, (Bandung: Penerbit Alumni, 1986), hlm.

107. 117

Sunarmi, Membangun Sistem Peradilan di Indonesia, http://library.usu.ac.id/, diakses tanggal 26 April 2009.

Surung Pasaribu : Kepastian Hukum Bagi Terdakwa Yang Dikeluarkan Demi Hukum Dari Rumah Tahanan Negara (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai ), 2009 USU Repository © 2008

Dalam perspektif budaya hukum, maka kepatuhan masyarakat tidak akan terwujud tanpa adanya kepercayaan. Kepercayaan masyarakat dipengaruhi oleh wibawa hukum yang tercermin dari substansi hukum dan performa aparat penegak hukum. Hukum akan memiliki wibawa di hadapan masyarakat jika substansi hukum yang ada mampu mengakomodasi nilai-nilai keadilan masyarakat dan ditegakkan oleh aparat hukum yang profesional dan memiliki integritas moral yang tinggi. 118

118

Muhammad Endriyo Susila, Reaktualisasi Supremasi Hukum Pasca Reformasi (Dalam Perspektif Hukum Pidana, (Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, 2002), hlm. 6.

Surung Pasaribu : Kepastian Hukum Bagi Terdakwa Yang Dikeluarkan Demi Hukum Dari Rumah Tahanan Negara (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai ), 2009 USU Repository © 2008

BAB IV PROSEDUR PENGELUARAN TAHANAN DEMI HUKUM DARI RUMAH TAHANAN NEGARA

A. Rumah Tahanan Negara Sebagai Tempat Penahanan Dalam Proses Pemeriksaan Perkara Pidana Rumah tahanan pada awalnya dikenal dengan istilah penjara sebagai suatu bentuk pidana yang dikenal dengan istilah pidana pencabutan kemerdekaan atau pidana kehilangan kemerdekaan yang berasal dari Inggris atas inisiatif Gereja Anglikan dalam tahun 1553 dan kemudian dilanjutkan dengan inisiatif untuk mendirikan sebuah penjara. Negara Belanda juga menganut sistem pidana kehilangan kemerdekaan dan pada tahun 1589 mendirikan penjara yang dikenal dengan istilah tuchthuis, yakni tempat hukuman bagi laki-laki dan spinhuis sebagai tempat hukuman bagi perempuan. Pada tuchthuis, si terhukum diberikan pekerjaan yang bermanfaat serta pendidikan mental sedangkan pada spinhuis si terhukum disuruh memintal kain dan menenun. 119 Sebelum Belanda menjajah Indonesia, pemerintahan dengan corak kerajaan di nusantara tidak menerapkan pidana pencabutan kemerdekaan atau pidana kehilangan kemerdekaan melainkan pidana pembuangan, pidana badan berupa pemotongan anggota badan atau dicambuk, pidana mati dan pidana denda atau berupa pembayaran ganti rugi. Sejak Belanda menjajah Indonesia, eksistensi pidana pencabutan 119

Bakhtiar Agus Salim, Pidana Penjara Dalam Stelsel Pidana di Indonesia, (Medan: Penerbit Monora, 1986), hlm. 74 - 75.

Surung Pasaribu : Kepastian Hukum Bagi Terdakwa Yang Dikeluarkan Demi Hukum Dari Rumah Tahanan Negara (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai ), 2009 USU Repository © 2008

kemerdekaan diterapkan dan mengalami perkembangan dengan 3 (tiga) macam penjara, yaitu: 1. Bui sebagai tempat dibatas pemerintahan kota; 2. Ketingkwartier sebagai tempat untuk orang pembantaian; 3. Vrouwentuchthuis sebagai tempat menampung orang perempuan bangsa Belanda karena kasus pelanggaran terhadap kesusilaan. 120 Pada tahun 1918 mulai berlaku Reglemen penjara 1917 No. 708 yang mulai berlaku sejak 1 Januari 1918 berdasarkan Pasal 29 Wetboek Van Strafrecht (WvS) dalam Bab I ditentukan bahwa Reglement penjara berlaku diseluruh rumah tahanan negara yang dipergunakan atau akan dipergunakan untuk tempat tinggal orang terpenjara. Eksistensi rumah tahanan negara mendapat pengakuan dalam Pasal 22 KUHAP yang menentukan selain penahanan kota dan penahanan rumah, ada juga yang disebut dengan penahanan rumah tahanan negara. Dalam ketentuan tersebut dinyatakan suatu kebijakan hukum pidana bahwa selama rumah tahanan negara belum ada pada suatu tempat maka penahanan dapat dilakukan di kantor kepolisian, di kejaksaan, di lembaga pemasyarakatan, di rumah sakit dan dalam keadaan yang mendesak dapat dilakukan di tempat lain. Eksistensi rumah tahanan negara semakin mendapat legitimasi dengan diundangkannya Peraturan Pemerintah 27 Tahun 1983 Tentang Pelaksanaan KUHAP yang menentukan agar pada setiap kabupaten dan kota dibentuk 120

Andi Hamzah, Suatu Tinjauan Ringkas Sistem Pemidanaan di Indonesia, (Jakarta: Akademika Pressindo, 1983), hlm. 27.

Surung Pasaribu : Kepastian Hukum Bagi Terdakwa Yang Dikeluarkan Demi Hukum Dari Rumah Tahanan Negara (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai ), 2009 USU Repository © 2008

rumah tahanan negara. Bahkan apabila dipandang perlu, menteri dapat membentuk atau menunjuk rumah tahanan negara di luar tempat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang merupakan cabang dari rumah tahanan negara. Mengingat pembangunan rumah tahanan negara memerlukan modal yang cukup besar dan waktu yang relatif lama, maka diambil kebijaksanaan untuk menetapkan selain sebagai tempat untuk membina narapidana maka fungsi lain dari lembaga pemasyarakatan adalah sebagai pelayanan dan perawatan tahanan yang masih dalam proses pemeriksaan. Selain itu diambil kebijaksanaan menetapkan lembaga pemasyarakatan menjadi rumah tahanan negara. Kebijaksanaan ini dituangkan dalam Keputusan Menteri Kehakiman Nomor: M.3.UM.01.06 Tahun 1983 tentang Penetapan Lembaga Pemasyarakatan Tertentu Sebagai Rumah Tahanan Negara. Dalam peraturan tersebut ditetapkan bahwa ditetapkan beberapa ruangan dalam lembaga pemasyarakatan sebagai rumah tahanan negara sebagai tempat tertentu untuk menahan tersangka atau terdakwa yang sedang dalam proses pemeriksaan baik dalam tingkat penyidikan, penuntutan maupun pemeriksaan di sidang pengadilan. Semua tahanan di tempatkan dalam rumah tahanan negara yang dipisahkan berdasarkan jenis kelamin, umur dan tingkat pemeriksaan. Keputusan Menteri Kehakiman No. M.02.0410 Tahun 1990 tentang Pola Pembinaan Narapidana dan Tahanan menentukan pemasyarakatan adalah bagian dari tata peradilan pidana dalam bidang pelayanan tahanan, pembinaan narapidana, anak negara dan bimbingan klien pemasyarakatan yang dilaksanakan secara terpadu Surung Pasaribu : Kepastian Hukum Bagi Terdakwa Yang Dikeluarkan Demi Hukum Dari Rumah Tahanan Negara (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai ), 2009 USU Repository © 2008

dengan tujuan agar mereka setelah menjalani pidananya dapat kembali menjadi warga masyarakat yang baik. Ketentuan ini juga mendapat penegasan kembali malalui Pasal 2 dan 3 Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 yang intinya menggariskan pemasyarakatan bertujuan agar wagar binaan tidak mengulangi tidak pidananya sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, berperan dalam pembangunan serta

hidup secara wajar sebagai warga negara yang baik dan

bertanggung jawab. Dari beberapa landasan yuridis tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa lembaga pemasyarakatan memiliki 2 (dua) fungsi yaitu sebagai tempat pembinaan narapidana dan sebagai tempat perawatan tahanan selama menjalani proses pemeriksaan. Sebagai organ yang membidangi pelayanan dan perawatan tahanan maka rumah tahanan negara merupakan unit pelaksana teknis dari lembaga pemasyarakatan yang berada di bawah naungan Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia. Unit pelaksana teknis lainnya yang berada di bawah naungan Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia adalah Balai Pemasyarakatan sebagai unit untuk melaksanakan bimbingan klien pemasyarakatan. Ini berarti, sistem pemasyarakatan memiliki 2 (dua) tujuan utama yakni: selain bertujuan dalam bidang pembinaan dan pembimbingan narapidana juga dalam bidang pelayanan dan perawatan baik tersangka atau terdakwa yang ditahan dan masih dalam proses pemeriksaan dalam sistem peradilan pidana. Secara garis besarnya, unit pelaksana teknis tersebut adalah:

Surung Pasaribu : Kepastian Hukum Bagi Terdakwa Yang Dikeluarkan Demi Hukum Dari Rumah Tahanan Negara (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai ), 2009 USU Repository © 2008

a. rumah tahanan negara sebagai unit pelaksana teknis pemasyarakat tempat tersangka atau terdakwa ditahan selama proses peradilan. b. lembaga pemasyarakatan sebagai unit pelaksana teknis pemasyarakatan untuk membina dan membimbing narapidana dewasa, wanita maupun anak. c. balai pemasyarakatan sebagai unit pelaksana teknis pemasyarakatan yang melaksanakan bimbingan klien. Sebagai

unit

pelaksana

teknis

pemasyarakatan,

maka

Lembaga

Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai merupakan instansi yang berada di bawah naungan Kantor Wilayah Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Sumatera Utara. Selain berfungsi sebagai tempat untuk membina narapidana, maka Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai juga berfungsi sebagai rumah tahanan bagi terdakwa yang sedang menjalani proses pemeriksaan baik pada tingkat penyidikan, penuntutan maupun pemeriksaan di depan pengadilan. Perawatan tahanan dalam rumah tahanan negara bagi tersangka atau terdakwa dimulai dari proses penerimaan pada saat pertama kali terdakwa masuk ke lembaga pemasyarakatan yang diawali dengan proses pendaftaran. Dalam Standard Minimum Rules, article 7 tentang pendaftaran disebutkan bahwa: 1. di setiap tempat di mana orang-orang dipenjarakan, hendaknya disediakan buku pendaftaran terjilid dengan halaman bernomor unit, dimana dicatat segala sesuatu tentang orang terpenjara yang diterima: a. keterangan-keterangan tentang identitasnya. b. alasan-alasan penahanannya serta dasar hukumnya. Surung Pasaribu : Kepastian Hukum Bagi Terdakwa Yang Dikeluarkan Demi Hukum Dari Rumah Tahanan Negara (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai ), 2009 USU Repository © 2008

c. hari, jam masuk dan tanggal bebasnya. 2. tidak seorangpun boleh diterima tanpa adanya perintah penahanan yang sah, yang perintahnya dimasukan dalam daftar. Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tidak menentukan tentang proses penerimaan tersangka atau terdakwa yang sedang dalam proses pemeriksaan melainkan menentukan tentang pendaftaran narapidana yang meliputi: a. pencatatan: 1. putusan pengadilan. 2. jati diri dan 3. barang atau uang yang dibawa. b. pemeriksaan kesehatan. c. pembuatan pasfoto. d. pengembalian sidik jari dan e. pembuatan berita acara serah terima terpidana. 121 Proses penerimaan tahanan dalam rumah tahanan negara berpedoman kepada Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1983 jo Keputusan Menteri Kehakiman No. M.04.UM.01.06 Tahun 1983. Dari ketentuan ini maka dalam penerimaan tahanan harus diperhatikan 2 (dua) hal sebagai berikut: Pertama; mencatat tahanan dalam buku register daftar tahanan berdasarkan tingkat pemeriksaan. Ini berarti, rumah tahanan negara menyediakan buku register tahanan penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan. Kedua; setiap tahanan harus disertai surat perintah 121

Lihat Pasal 11 Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.

Surung Pasaribu : Kepastian Hukum Bagi Terdakwa Yang Dikeluarkan Demi Hukum Dari Rumah Tahanan Negara (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai ), 2009 USU Repository © 2008

penahanan. Rumah tahanan negara dilarang untuk menerima tahanan jika tidak disertai dengan surat perintah penahanan yang sah yang dikeluarkan oleh pejabat yang bertanggung jawab secara yuridis atas penahanan. Ketiga; penggeledahan badan. Tindakan ini merupakan wewenang yang diberikan hukum tanpa memerlukan izin dari ketua pengadilan negeri. Oleh karenanya, rumah tahanan negara menyediakan buku register barang dari hasil penggeledahan. Keempat; membuat daftar bulanan tahanan. Laporan bulanan tahanan disampaikan kepada Direktur Jenderal Pemasyarakatan dan tembusannya disampaikan kepada kantor wilayah dan pejabat yang melakukan penahanan. Kelima; memberitahukan tahanan yang hamper habis masa penahanannya atau perpanjangan penahanannya. Pemberitahuan ini penting sehubungan dengan penjalinan kerjasama yang baik untuk menghindari kelalaian pihak yang bertanggung jawab secara yuridis atas penahanan. Pelayanan dan perawatan terhadap tersangka atau terdakwa didasarkan pada 3 (tiga) pandangan, yakni: Pertama; tiap orang adalah manusia dan harus diperlakukan sebagai manusia meskipun telah tersesat, tidak boleh selalu ditunjukkan pada narapidana bahwa itu penjahat sebaliknya ia selalu merasa bahwa ia dipandang dan diperlakukan sebagai manusia. Kedua; tiap orang adalah makhluk kemasyarakatan, tidak orang yang hidup diluar masyarakat narapidana harus kembali ke masyarakat sebagai warga yang berguna dan sedapat-dapatnya tidak terbelang dan pidana pada hakikanya hanya kehilangan kemerdekaan bergerak. 122

122

Muhammad Mustafa, Bantuan Hukum Untuk Terpidana Penjara (warga Tersisih) dari Buku Beberapa Pemikiran Mengenai Bantuan Hukum Ke arah Bantuan Hukum Struktural, (Bandung: Alumni, 1981), hlm. 118 -119.

Surung Pasaribu : Kepastian Hukum Bagi Terdakwa Yang Dikeluarkan Demi Hukum Dari Rumah Tahanan Negara (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai ), 2009 USU Repository © 2008

Terdapat perbedaan perlakuaan antara tersangka atau terdakwa yang sedang dalam proses pemeriksaan dengan narapidana yang sedang menjalani pidana. Perbedaan tersebut pada prinsipnya bahwa narapidana mendapatkan perlakuan pembinaan maupun pembimbingan dan hak-hak lainnya sehubungan dengan pidana yang sedang dijalani. Secara lengkap, Pasal 14 ayat (1) Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan menentukan bahwa narapidana berhak: a. b. c. d. e. f. g. h. i. j. k. l. m.

melakukan ibadah sesuai dengan agama atau kepercayaannya. mendapatkan perawatan, baik perawatan rohani maupun jasmani. mendapatkan pendidikan dan pengajaran. mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak. menyampaikan keluhan. mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa yang lainnya yang tidak dilarang. mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan. menerima kunjungan keluarga, penasehat hukum atau orang tertentu lainnya. mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi). mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi keluarga. mendapatkan pembebasan bersyarat. mendapatkan cuti menjelang bebas dan mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Rancangan Undang-undang Sistem Pemasyarakatan Tahun 2005 juga menentukan hak narapidana. Dalam Pasal 28 ditentukan bahwa hak yang diberikan pada dasarnya sama dengan ketentuan pada Pasal 14 Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 dengan menambahkan catatan pada penjelasan tentang berapa kali seorang narapidana dapat dikunjungi dalam sebulan. Berbeda dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan yang tidak menentukan secara konkrit tentang kewajiban narapidana, maka dalam rumusan Rancangan UndangSurung Pasaribu : Kepastian Hukum Bagi Terdakwa Yang Dikeluarkan Demi Hukum Dari Rumah Tahanan Negara (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai ), 2009 USU Repository © 2008

undang Sistem Pemasyarakatan Tahun 2005 ditentukan dalam Pasal 29 RUU bahwa narapidana mempunyai kewajiban: a. mengikuti program pembinaan yang meliputi kegiatan perawatan jasmani dan rohani serta kegiatan tertentu lainnya dengan tertib. b. mengikuti bimbingan dan pendidikan agama sesuai dengan agama dan kepercayaannya. c. mengikuti kegiatan latihan kerja yang dilaksanakan selama 7 (tujuh) jam sehari. d. mematuhi peraturan tata tertib lapas selama mengikuti program kegiatan. e. memelihara sopan santun, bersikap hormat dan berlaku jujur dalam segala perilakunya, baik terhadap sesama penghuni dan lebih khusus terhadap seluruh petugas. f. menjaga keamanan dan ketertiban dalam hubungan interaksi sesama penghuni. g. melaporkan kepada petugas segala permasalahan yang timbul dalam penyelenggaraan pembinaan narapidana, lebih khusus terhadap masalah yang dapat memicu terjadinya gangguan keamanan dan ketertiban. h. menghindari segala bentuk permusuhan, pertikaian, perkelahian, pencurian dan pembentukan kelompok-kelompok solidaritas diantara penghuni didalam lembaga pemasyarakatan. i. menjaga dan memelihara segala barang inventaris yang diterima dan seluruh sarana dan prasarana dalam penyelenggaraan pembinaan narapidana. j. menjaga kebersihan badan dan lingkungan dalam lapas. Perbedaan status tersebut menimbulkan perbedaan perlakuan antara tahanan dengan narapidana. Bagi tahanan tidak mendapatkan pembinaan dan pembimbingan serta hak-hak dari pidana yang sedang dijalani. Secara garis besarnya, hak tersangka atau terdakwa selama berada dalam rumah tahanan negara dibedakan dalam 2 (dua) kelompok yaitu hak bersifat umum dan hak yang bersifat khusus. Hak yang bersifat umum adalah hak tersangka atau terdakwa yang berkaitan dengan perkara yang sedang dihadapinya. Hak-hak ini diatur dalam ketentuan Pasal 50 sampai dengan Pasal 63 yaitu:

Surung Pasaribu : Kepastian Hukum Bagi Terdakwa Yang Dikeluarkan Demi Hukum Dari Rumah Tahanan Negara (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai ), 2009 USU Repository © 2008

1. hak untuk mendapatkan pemeriksaan dari penyidik serta berhak agar prosesnya disegerakan untuk dilakukan penuntutan dan pemeriksaan di muka pengadilan. 2. hak untuk mendapatkan bantuan hukum baik dari seorang maupun dari beberapa advokat dan berhak untuk menghubungi dan dihubungi oleh advokat selama berada dalam penahanan. 3. berhak menghubungi dan menerima kunjungan dari dokter pribadi baik untuk kepentingan kesehatan maupun yang ada hubungannya dengan perkara yang sedang dihadapi. 4. hak untuk menghubungi dan menerima kunjungan dari keluarga, baik untuk kepentingan pribadi maupun untuk jaminan penangguhan penahanan. 5. hak untuk menghubungi dan menerima kunjungan rohaniawan. Hak yang bersifat khusus adalah hak tersangka atau terdakwa atas perlakuan yang baik terhadap dirinya. Dalam Pasal 5 Keputusan Menteri Kehakiman No. M.04.UM.01.06/1983 ditentukan bahwa tahanan dilakukan perawatan yang meliputi makanan, pakaian, tempat tidur, kesehatan, rohani dan jasmani. Pada prinsipnya, hak ini dikelompokkan kepada kebutuhan jasmani dan kebutuhan rohani. Pasal 8 Keputusan Menteri Kehakiman No. M.04.UM.01.06/1983 Tahun 1983 menentukan bahwa: 1. pada setiap rumah tahanan negara ditugaskan dokter yang ditunjuk oleh menteri kehakiman. 2. dokter tersebut bertugas memelihara dan merawat kesehatan para tahanan.

Surung Pasaribu : Kepastian Hukum Bagi Terdakwa Yang Dikeluarkan Demi Hukum Dari Rumah Tahanan Negara (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai ), 2009 USU Repository © 2008

3. rumah tahanan negara dapat mengadakan kerjasama dengan dinas kesehatan atau dengan rumah sakit terdekat. Lebih lanjut Pasal 9 menentukan bahwa perawatan kesehatan bagi tahanan yang sakit keras dan fasilitas pengobatan dalam rumah tahanan negara tidak memadai, maka perawatan dapat dilakukan di rumah sakit di luar rumah tahanan negara setelah mendapatkan izin terlebih dahulu dari pejabat yang bertanggung jawab secara yuridis atas penahanan. Perawatan kesehatan tahanan dilakukan secara terus menerus baik berupa pemeliharaan kesehatan para tahanan yang sehat dengan jalan melakukan pemeriksaan kesehatan secara periodik maupun perawatan kesehatan yang bertujuan untuk menyembuhkan penyakit. Jika menurut dokter dari rumah tahanan negara, perawatan tidak dimungkinkan karena berbagai sebab seperti fasilitas yang tidak memadai maka sesuai dengan Pasal 9 Keputusan Menteri Kehakiman No. M.04.UM.01.06/1983 tersebut, perawatan dapat dilakukan di rumah sakit yang berada di luar rumah tahanan negara. Kata “perawatan” merupakan bentuk perlakuan yang lebih manusiawi dibandingkan dengan prinsip penjeraan dalam prinsip penjara yang telah menjurus ke arah yang lebih rasional. Yang paling tua ialah pembalasan (revenge) atau tujuan untuk memuaskan pihak yang dendam baik masyarakat sendiri maupun pihak yang dirugikan atau menjadi korban kejahatan. Tujuan yang berlaku saat ini ialah variasi dari bentuk-bentuk penjeraan (deterrent) baik ditujukan kepada pelanggar hukum itu

Surung Pasaribu : Kepastian Hukum Bagi Terdakwa Yang Dikeluarkan Demi Hukum Dari Rumah Tahanan Negara (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai ), 2009 USU Repository © 2008

sendiri maupun kepada mereka yang mempunyai potensi menjadi penjahat. 123 Secara umum, aliran tentang pemidanaan terdiri dari teori retributif atau teori absolut, teori relatif atau teori deterrence dan teori integratif atau teori penggabungan. Menurut teori pengayoman, tujuan hukum adalah untuk mengayomi manusia baik secara aktif maupun pasif. Secara aktif dimaksudkan sebagai upaya untuk menciptakan suatu kondisi kemasyarakatan yang manusiawi dalam proses yang berlangsung secara wajar. Sedangkan yang dimaksudkan secara pasif adalah mengupayakan

pencegahan

atas

tindakan

yang

sewenang-wenang

dan

penyalahgunaan hak. Usaha mewujudkan pengayoman tersebut termasuk di dalamnya adalah: a. mewujudkan ketertiban dan keteraturan; b. mewujudkan kedamaian sejati; c. mewujudkan keadilan; d. mewujudkan kesejahteraan dan keadilan sosial. 124 Berbeda dengan sistem penjeraan yang dalam pelaksanaannya mengingkari martabat kemanusiaan, maka sistem pemasyarakatan dirasakan lebih manusiawi yang memandang manusia diciptakan menyandang aspek individualitas (pribadi) dan aspek sosialitas (bermasyarakat). Kewajiban menghormati hak asasi tercermin dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang menjiwai keseluruhan pasal dan 123

Andi Hamzah, Sistem Pemasyarakatan dan Pemidanaan Indonesia, (Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 1985), hlm. 16. 124

Dudu Duswara Machmudin, Pengantar Ilmu Hukum; Sebuah Sketsa, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2003), hlm. 28.

Surung Pasaribu : Kepastian Hukum Bagi Terdakwa Yang Dikeluarkan Demi Hukum Dari Rumah Tahanan Negara (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai ), 2009 USU Repository © 2008

batang tubuhnya yang termanifestasi dalam keseluruhan asas-asas pelaksanaan pembinaan narapidana tersebut. Dalam masyarakat Pancasila, kedua-duanya menduduki posisi yang seimbang. Keduanya saling melengkapi sekaligus saling membatasi. Keserasian antara dua kepentingan tersebut menjamin terwujudnya keadilan, ketenteraman dan keselarasan dalam masyarakat. 125

B. Mekanisme Yuridis Pengeluaran Demi Hukum Terhadap Terdakwa Atas Penahanan Yang Telah Habis Lembaga pemasyarakatan menyediakan beberapa ruangan yang berfungsi sebagai rumah tahanan negara bagi tersangka atau terdakwa yang sedang dalam proses pemeriksaan. Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan tidak mengatur tentang tugas dari petugas pemasyarakatan dalam bidang pelayanan dan perawatan tahanan melainkan menentukan tugas pembinaan, pengamanan dan pembimbingan narapidana. Hal tersebut dapat dicermati karena Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan merupakan pengaturan yang berkaitan dengan hak-hak narapidana dan bagaimana seharusnya narapidana diperlakukan. Pembentukan pengaturan hukum tersebut dilatarbelakangi oleh sistem pemenjaraan yang sangat menekankan pada unsur balas dendam dan penjeraan yang disertai dengan lembaga “rumah penjara” secara berangsur-angsur dipandang sebagai suatu sistem dan sarana

125

M. Sholehuddin, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2003), hlm. 112.

Surung Pasaribu : Kepastian Hukum Bagi Terdakwa Yang Dikeluarkan Demi Hukum Dari Rumah Tahanan Negara (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai ), 2009 USU Repository © 2008

yang tidak sejalan dengan konsep rehabilitasi dan reintegrasi sosial. Nilai-nilai yang terdapat dalam pengaturan tersebut pada awalnya merupakan pokok-pokok pemikiran Sahardjo dalam pidatonya tanggal 5 Juli 1963 pada acara penerimaan gelar Doktor Honoris Causa dari Unversitas Indonesia. Pemikiran tersebut dijadikan sebagai acuan kerangka pemikiran dalam Konferensi Dinas Direktorat Pemasyarakatan di Lembang Jawa Barat pada tanggal 27 April 1964 dan kemudian menjadi cikal bakal nilai dasar yang dianut dalam sistem pemasyarakatan. 126 Dari sejarah hukumnya, maka pengaturan hukum ini dimaksudkan untuk mengganti peraturan yang berasal dari warisan kolonial yang berkaitan dengan kepenjaraan dengan sistem yang menekankan kepada pembalasan dan merendahkan harkat dan martabat manusia karena tidak sesuai dengan kondisi pada saat ini yakni berikut: 1. ordonantie op de Voorwaardilijke Invrijheidstelling (Stb. 1917-149. 27 Desember 1917 jo. Stb. 1926-488); 2. gestichtenreglement (Stb. 1917-708, 10 Desember 1917); 3. dwangopveodingsregling (Stb. 1017-741, 24 Desember 1917); dan 4. uitvoeringsordonantie op de Voorwaardelijke Veroordeling (Stb. 1926-487. 6 November 1926) sepanjang yang berkaitan dengan pemasyarakatan. 127

126

Konferensi tersebut menghasilkan 10 (sepuluh) rumusan prinsip namun tidak ada yang berkaitan secara langsung dengan fungsi, tugas dan wewenang lembaga pemasyarakatan melainkan menyangkut hak-hak narapidana yang menyatakan bahwa essensi pemidanaan hanyalah kehilangan kemerdekaan namun tetap memperhatikan hak-hak keperdataan narapidana sehingga disediakan dan dipupuk sarana yang dapat mendukung rehabilitatif, korektif dan edukatif untuk mencapai pembinaan sebagai tujuan dari pemidanaan. Lihat C. I. Harsono, Sistem Baru Pembinaan Narapidana, (Jakarta: Penerbit Djambatan, 1995), hlm. 2. 127

Lihat Pasal 53 Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.

Surung Pasaribu : Kepastian Hukum Bagi Terdakwa Yang Dikeluarkan Demi Hukum Dari Rumah Tahanan Negara (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai ), 2009 USU Repository © 2008

Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan tidak menyebutkan tugas dari petugas pemasyarakatan dalam bidang pelayanan dan perawatan tahanan melainkan menyebutkan tugas pembinaan, pengamanan dan pembimbingan warga binaan pemasyarakatan. Dalam Pasal 8 ayat (1) Undangundang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan ditentukan bahwa petugas pemasyarakatan

merupakan

pejabat

fungsional

penegak

hukum 128

yang

melaksanakan tugas di bidang pembinaan, pengamanan dan pembimbingan warga binaan pemasyarakatan. Ketentuan tersebut merupakan pengaturan yang bersifat parsial yang hanya menegaskan dalam menjalankan tugasnya, kedudukan petugas pemasyarakatan merupakan penegak hukum. Pengaturan tersebut tidak bersifat menyeluruh karena Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan merupakan pengaturan hukum yang berkaitan dengan hak-hak narapidana. Sebagai unit pelaksana teknis yang berada di bawah naungan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia maka tugas dan fungsi petugas pemasyarakatan diatur dalam peraturan yang dikeluarkan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. 128

Meskipun Pasal 5 ayat (1) Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat telah menentukan status advokat sebagai penegak hukum namun bukan berarti dengan sendirinya termasuk dalam bahagian sistem peradilan pidana. Sistem merupakan satu kesatuan di mana jika satu organ tidak terpenuhi atau tidak menjalankan fungsinya maka sistem tidak akan berjalan. Dalam menjalankan tugasnya, advokat dapat memberikan jasa hukum baik di luar maupun di dalam pengadilan meliputi berbagai bidang perkara baik pidana, perdata, perdata agama, tata usaha negara, pidana militer maupun pengajuan permohonan judicial review ke mahkamah konstitusi. Kehadiran advokat baik mendampingi maupun mewakili kepentingan hukum seseorang didasarkan oleh hak. Dalam hukum pidana juga merupakan hak setiap orang untuk didampingi oleh advokat (penasihat hukum) bukan kewajiban. Namun, dalam perkara tertentu yang diancam lebih dari 15 tahun atau ancaman 5 tahun dengan syarat sebagai orang yang tidak mampu memang harus didampingi oleh advokat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 KUHAP.

Surung Pasaribu : Kepastian Hukum Bagi Terdakwa Yang Dikeluarkan Demi Hukum Dari Rumah Tahanan Negara (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai ), 2009 USU Repository © 2008

Berpedoman kepada Keputusan Menteri Kehakiman Nomor: M.3.UM.01.06 Tahun 1983 tentang Penetapan Lembaga Pemasyarakatan Tertentu Sebagai Rumah Tahanan Negara maka kepala lembaga pemasyarakatan memiliki 2 (dua) fungsi, yakni: 1. sebagai kepala pembinaan, pengamanan dan pembimbingan bagi narapidana; dan 2. sebagai kepala pelayanan dan perawatan tahanan. Dalam menjalankan tugas dan fungsi tersebut, kedudukan lembaga pemasyarakatan merupakan bahagian akhir dalam sistem peradilan pidana yang dinyatakan dalam Penjelasan Pasal 8 ayat (1) Undang-undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan yang menentukan bahwa: Pemasyarakatan yang merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam tata peradilan pidana adalah bagian integral dari tata peradilan terpadu (integrated criminal justice system). Dengan demikian, pemasyarakatan baik ditinjau dari sistem, kelembagaan, cara pembinaan dan petugas pemasyarakatan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari satu rangkaian proses penegakan hukum. Kata

“bagian

akhir”

menunjukkan

bahwa

lembaga

pemasyarakatan

merupakan bahagian yang terpenting dalam hukum pidana yakni sebagai tempat pemidanaan yang merupakan puncak dari seluruh proses mempertanggungjawabkan perbuatan pelanggaran hukum. 129 Sebagai puncak dimaksudkan bahwa lembaga 129

Tujuan pengenaan pidana atau pemidanaan selalu menjadi perdebatan para ahli ukum pidana dari waktu ke waktu. Tidak mengherankan apabila para ahli hukum akan gembira sekali jika dapat menentukan dengan pasti tujuan yang ingin dicapai dengan adanya penjatuhan pidana dan pemidanaan itu. Berbagai kritik tentang dasar moral dan kinerja hukum pidana dan sistem peradilan pidana, dalam mencegah dan menanggulangi tindak pidana juga diorientasikan kepada tujuan-tujuan ini. Kegagalan menentukan hal ini, menyebabkan hukum pidana kehilangan dasar keberlakuannya. Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, (Jakarta: Kencana Prenada Media, 2006), hlm. 127 - 128.

Surung Pasaribu : Kepastian Hukum Bagi Terdakwa Yang Dikeluarkan Demi Hukum Dari Rumah Tahanan Negara (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai ), 2009 USU Repository © 2008

pemasyarakatan memiliki fungsi sentral untuk mencapai tujuan dari hukum pidana sebagai norma yang bertujuan agar narapidana tidak mengulangi perbuatannya. Posisi ini mengisyaratkan bahwa lembaga pemasyarakatan sudah sepatutnya mendapatkan perhatian yang serius. Dalam

menjalankan

tugas

sebagai

penegak

hukum

maka

petugas

pemasyarakatan yang menjalankan fungsi melakukan pelayanan dan perawatan tahanan di rumah tahanan negara berpedoman kepada hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sebagai tahanan yang berstatus baik sebagai tersangka maupun terdakwa yang sedang dalam proses pemeriksaan maka petugas pemasyarakatan berpedoman kepada pengaturan yang berkaitan dengan penahanan yang diatur dalam Pasal 24 sampai dengan Pasal 29 KUHAP yang bertujuan agar petugas pemasyarakatan tidak melanjutkan atau menahan seseorang tanpa dasar yang sah. Untuk menghindari penahanan yang tidak sah maka dalam penerimaan tahanan yang pertama sekali dilakukan oleh petugas pemasyarakatan adalah meneliti surat perintah penahanan karena petugas pemasyarakatan dilarang untuk menerima tahanan jika tidak disertai dengan surat perintah penahanan yang sah yang dikeluarkan oleh pejabat yang bertanggung jawab secara yuridis atas penahanan. Jika setelah diteliti surat perintah penahanan dinyatakan sah, maka selanjutnya dilakukan pencatatan dalam buku register daftar tahanan berdasarkan tingkat pemeriksaan. Penelitian dan pencatatan dalam buku register daftar tahanan bersifat imperatif yang

Surung Pasaribu : Kepastian Hukum Bagi Terdakwa Yang Dikeluarkan Demi Hukum Dari Rumah Tahanan Negara (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai ), 2009 USU Repository © 2008

dilanjutkan dengan mencocokkan identitas yang disebutkan dalam surat perintah penahanan dengan tahanan itu sendiri. KUHAP merupakan pembaharuan yang berkaitan dengan hukum acara lebih memberikan kepastian hukum jika dibandingkan dengan HIR dalam hal penahanan. Dalam HIR tidak ditentukan dengan pasti masa atau batas waktu penahanan sehingga ditemukan tersangka atau terdakwa yang tidak mendapatkan kepastian hukum karena telah ditahan dalam waktu yang relatif lama namun belum dilakukan pemeriksaan di depan sidang pengadilan.Berbeda dengan KUHAP yang menentukan dengan pasti batas waktu penahanan dengan konsekuensi yuridis jika tidak diperpanjang maka tersangka atau terdakwa yang ditahan akan dikeluarkan demi hukum. Mengingat akan fungsinya untuk mencapai tujuan penegakan hukum, maka lembaga pemasyarakatan memiliki keterkaitan dengan lembaga kepolisian, kejaksaan dan pengadilan dalam upaya penanggulangan kejahatan. Keterkaitan tersebut diwujudkan dalam bentuk hubungan kerjasama secara terpadu layaknya bejana berhubungan dengan pengertian setiap masalah dalam satu komponen akan menimbulkan dampak pada komponen lainnya. Apabila keterpaduan dalam sistem bekerjasama tidak dilakukan, maka ada 3 (tiga) kerugian yang dapat diperkirakan timbul yakni: a. kesukaran dalam menilai sendiri keberhasilan atau kegagalan masing-masing instansi sehubungan dengan tugas mereka bersama. b. kesulitan dalam memecahkan sendiri masalah-masalah pokok dari masing-masing instansi. Surung Pasaribu : Kepastian Hukum Bagi Terdakwa Yang Dikeluarkan Demi Hukum Dari Rumah Tahanan Negara (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai ), 2009 USU Repository © 2008

c. karena tanggung jawab masing-masing instansi sering kurang jelas terbagi, maka setiap instansi tidak perlu memperhatikan efektifitas dari sistem peradilan pidana. 130 Keterpaduan dalam sistem bekerjasama tersebut dilakukan dengan koordinasi antar lembaga yang dalam perkembangannya, koordinasi itu menimbulkan kesepahaman bersama bahwa pengeluaran demi hukum terhadap tahanan karena batas waktu penahanannya telah habis tidak bersifat imperatif melainkan masih memerlukan koordinasi dengan pejabat yang bertanggung jawab secara yuridis atas penahanan. Dalam Pasal 28 Keputusan Menteri Kehakiman Nomor: M.3.UM.01.06 Tahun 1983 tentang Penetapan Lembaga Pemasyarakatan Tertentu Sebagai Rumah Tahanan Negara ditentukan bahwa bagi kepala rumah tahanan negara yang mengeluarkan tahanan demi hukum harus melalui beberapa tahap, yaitu: a. 10 (sepuluh) hari sebelum berakhir masa penahanan, kepala rumah tahanan negara harus memberitahukan kepada pejabat yang bertanggung jawab secara yuridis atas penahanan dan dilanjutkan dengan komunikasi langsung 3 (tiga) hari sebelum berakhir masa penahanan jika tidak ada tanggapan. b. tahanan dapat dibebaskan setelah lebih dahulu berkoordinasi dengan pejabat yang bertanggung jawab secara yuridis atas penahanan. Keputusan tersebut dilatarbelakangi oleh Surat Edaran Bersama antara Ketua Mahkamah Agung dengan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan tanggal 19 November 1983 No. MA/PAN/368/XI/1983-EI.UM.04.11.227 yang menentukan beberapa persyaratan yang

130

Mardjono Reksodiputro, Op. Cit, hlm. 14.

Surung Pasaribu : Kepastian Hukum Bagi Terdakwa Yang Dikeluarkan Demi Hukum Dari Rumah Tahanan Negara (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai ), 2009 USU Repository © 2008

mengikat yang harus dilakukan kepala rumah tahanan negara sebelum mengeluarkan tahanan demi hukum karena penahanannya telah habis. Dalam Pasal 3 ditentukan sebagai berikut: a. pemberitahuan akan berakhir masa penahanan merupakan kewajiban bagi kepala rumah tahanan negara kepada pejabat yang bertanggung jawab secara yuridis atas penahanan. b. pemberitahuan tersebut dilakukan 10 (sepuluh) hari sebelum batas waktu penahanan berakhir dan dilanjutkan dengan komunikasi langsung 3 (tiga) hari sebelum berakhir masa penahanan jika tidak ada tanggapan. c. dalam hal perpanjangan penahanan menurut KUHAP tidak dimungkinkan lagi, kepala rumah tahanan negara tidak wajib mengeluarkan tahanan demi hukum apabila perkara yang didakwakan berupa tindak pidana subversi, narkotika dan perkara-perkara lain yang menarik perhatian masyarakat. d. pengeluaran tahanan demi hukum dalam perkara tersebut harus dilakukan dengan tahapan: 1. kepala rumah tahanan negara mengadakan koordinasi dengan ketua pengadilan negeri. 2. ketua pengadilan negeri melaporkan hasil koordinasi kepada mahkamah agung atau ketua muda bidang hukum pidana umum. 3. mahkamah agung yang akan memberi keputusan mengenai pengeluaran tahanan demi hukum setelah mengadakan konsultasi dengan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan. Lebih lanjut Pasal 4 Surat Edaran Bersama antara Ketua Mahkamah Agung dengan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan tanggal 19 November 1983 No. MA/PAN/368/XI/1983Surung Pasaribu : Kepastian Hukum Bagi Terdakwa Yang Dikeluarkan Demi Hukum Dari Rumah Tahanan Negara (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai ), 2009 USU Repository © 2008

EI.UM.04.11.227 ditentukan bahwa dalam hal lamanya tahanan yang dijalani terdakwa sudah sama dengan pidana penjara yang dijatuhkan oleh pengadilan negeri, sedang perkara tersebut masih dalam taraf pemeriksaan kasasi maka kepala rumah tahanan negara tidak dibenarkan untuk mengeluarkan terdakwa dari tahanan demi hukum akan tetapi harus menanyakan lebih dahulu pengeluaran itu kepada mahkamah agung. Secara yuridis, batas waktu penahanan berakhir karena: Pertama; tidak dimungkinkan dilakukan perpanjangan penahanan. Kedua; tidak diperpanjang namun masih dimungkinkan dilakukan perpanjangan penahanan dan Ketiga; pidana yang dijatuhkan telah sama dengan penahanan yang dijalani. Dengan adanya beberapa ketentuan tersebut maka kepala rumah tahanan negara tidak dapat mengeluarkan tahanan demi hukum karena telah habis batas penahanannya sebelum melakukan tahapan-tahapan tersebut. Ini berarti, pengeluaran tahanan demi hukum karena batas waktu penahanan telah habis tidak sepenuhnya menjadi hak dan wewenang kepala rumah tahanan negara melainkan telah menjadi wewenang bersama antara kepala rumah tahanan negara dengan pejabat yang bertanggung jawab secara yuridis atas penahanan. Persyaratan tersebut bukan saja terhadap penahanan yang masih dimungkinkan perpanjangan penahanan namun juga meliputi penahanan yang tidak mungkin lagi diperpanjang menurut KUHAP sepanjang yang berkaitan dengan tindak pidana subversi, narkotika dan perkara-perkara lain yang menarik perhatian masyarakat. Dalam prakteknya setelah dilakukan koordinasi, pejabat yang bertanggung jawab secara yuridis atas penahanan akan mempertahankan penahanan dengan jalan mengeluarkan surat perintah penahanan. Secara implisit, Surat Edaran Bersama dan Keputusan Menteri tersebut menentukan bahwa

Surung Pasaribu : Kepastian Hukum Bagi Terdakwa Yang Dikeluarkan Demi Hukum Dari Rumah Tahanan Negara (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai ), 2009 USU Repository © 2008

tindakan kelalaian mengeluarkan surat perintah penahanan dapat dibenarkan dengan jalan koordinasi.131 Keadaan ini sangat bertentangan dengan tugas dan fungsi kepala rumah tahanan negara yang mewajibkan penahanan berdasarkan surat perintah penahanan dan alasan yang sah. Sepanjang tahun 2008, rumah tahanan negara Klas II B Tanjung Balai telah mengeluarkan tahanan demi hukum sebanyak 12 (dua belas) orang dengan perician 3 (orang) terdakwa keluar demi hukum dalam proses pemeriksaan di Pengadilan Negeri Tanjung Balai dan 9 (sembilan) orang terdakwa keluar demi hukum dalam proses pemeriksaan di Pengadilan Tinggi Sumatera Utara sebagaimana dapat dilihat dalam tabel berikut ini: Tabel 1 : Terdakwa Yang Keluar Demi Hukum Dari Rumah Tahanan Negara (Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai) Dalam Proses Pemeriksaan di Pengadilan Negeri Tanjung Balai Pada Tahun 2008 No Nama Perkara Batas Tanggal Keterangan Penahanan Keluar 1 MJM Narkotika 23 Maret 24 Maret Tidak ada surat perpanjangan penahanan 2 Pnm 50 02 Juli 03 Sept Tidak dimungkinkan KUHP perpanjangan menurut KUHAP dan terdakwa mengajukan banding 3 Msd 50 02 Juli 03 Sept Tidak dimungkinkan KUHP perpanjangan menurut KUHAP dan terdakwa mengajukan banding Sumber: Seksi Binadik dan Giatja Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai

131

Persyaratan harus melakukan koordinasi atau konsultasi itu jelas-jelas merupakan “intervensi” atas hak dan wewenang kepala rumah tahanan negara dalam menjalankan fungsi pembebasan tahanan demi hukum. Intervensi tersebut dilakukan oleh instansi yang bertanggung jawab secara yuridis atas penahanan. Berdasarkan uraian ini, pelaksanaan fungsi pembebasan demi hukum yang seharusnya menjadi hak dan wewenang yang diberikan oleh undang-undang kepada kepala rumah tahanan negara sudah tidak murni dan tidak konsekuen lagi. Lihat M. Yahya Harahap, Op. Cit, hlm. 180 - 181.

Surung Pasaribu : Kepastian Hukum Bagi Terdakwa Yang Dikeluarkan Demi Hukum Dari Rumah Tahanan Negara (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai ), 2009 USU Repository © 2008

Terdakwa MJM yang dikeluarkan demi hukum sedang tersangkut dalam perkara narkotika. Untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan, majelis hakim yang memeriksa dan mengadili perkara tersebut telah mengeluarkan penetapan untuk menahan terdakwa selama 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal 23 Pebruari 2008 sampai dengan 23 Maret 2008. Dengan demikian, penahanan terdakwa dapat dimungkinkan dilakukan perpanjangan oleh Ketua Pengadilan Negeri Tanjung Balai selama 60 (enam puluh) hari sesuai dengan Pasal 28 ayat (4) KUHAP. Sesuai dengan Pasal 3 Surat Edaran Bersama antara Ketua Mahkamah Agung dengan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan tanggal 19 November 1983 No. MA/PAN/368/XI/1983-EI.UM.04.11.227, rumah tahanan negara Klas II B Tanjung Balai telah memberitahukan kepada Ketua Pengadilan Negeri Tanjung Balai tentang akan berakhirnya batas waktu penahanan. Akan tetapi, rumah tahanan negara Klas II B Tanjung Balai tidak menerima penetapan perpanjangan penahanan dan kemudian pada tanggal 24 Maret ditindaklanjuti dengan mengirimkan pemberitahuan pengeluaran tahanan demi hukum. Menarik untuk dicermati, rumah tahanan negara mengenyampingkan prosedur untuk mengeluarkan tahanan demi hukum yang ditentukan dalam Surat Edaran Bersama antara Ketua Mahkamah Agung dengan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan. Dalam Pasal 3 ditentukan bahwa dalam hal perpanjangan penahanan menurut KUHAP tidak dimungkinkan lagi, kepala rumah tahanan negara tidak wajib mengeluarkan tahanan demi hukum apabila perkara yang didakwakan berupa tindak pidana subversi, narkotika dan perkara-perkara lain yang menarik perhatian masyarakat. Pengeluaran tahanan demi hukum dalam perkara Surung Pasaribu : Kepastian Hukum Bagi Terdakwa Yang Dikeluarkan Demi Hukum Dari Rumah Tahanan Negara (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai ), 2009 USU Repository © 2008

tersebut harus dilakukan dengan tahapan: kepala rumah tahanan negara mengadakan koordinasi dengan ketua pengadilan negeri dan ditindaklanjuti dengan hasil koordinasi kepada mahkamah agung atau ketua muda bidang hukum pidana umum. Pengeluaran tahanan demi hukum merupakan wewenang mahkamah agung setelah mengadakan konsultasi dengan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan. Dalam tingkat pemeriksaan di pengadilan, maka Pasal 20 ayat (3) dan Pasal 21 ayat (2) KUHAP menjadi pedoman bagi rumah tahanan negara dalam melakukan penerimaan tahanan yakni penahanan atau perpanjangan penahanan oleh hakim hanya dapat dilakukan dengan penetapan. Ini berarti, dengan tidak dikeluarkannya surat perpanjangan penahanan maka batas waktu penahanan telah berakhir dan sesuai dengan Pasal 19 ayat (7) Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksana KUHAP maka kepala rumah tahanan negara harus mengeluarkan tahanan yang telah habis masa penahanan dan atau perpanjangan penahanan. Hierarki perundang-undangan tidak mengenal atau mengakui surat edaran sebagai sumber hukum formil karena itu dalam hal-hal yang berkaitan dengan penahanan maka KUHAP tetap dijadikan pedoman. Eksistensi surat edaran mahkamah agung bukan sebagai sumber hukum formil dikemukakan oleh R. Subekti bahwa: Gagasan seorang menteri kehakiman ataupun sebuah surat edaran mahkamah agung bukan suatu sumber hukum formil seperti juga suatu seminar bukan sumber hukum formil. Ini sepintas lalu kami kemukakan karena kadang-kadang kami baca dalam sebuah risalah atau memori banding atau kasasi, suatu dalil yang didasarkan pada suatu seminar hukum.132

132

Subekti, Pembinaan Hukum Nasional, (Bandung: Alumni, 1975), hlm. 31.

Surung Pasaribu : Kepastian Hukum Bagi Terdakwa Yang Dikeluarkan Demi Hukum Dari Rumah Tahanan Negara (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai ), 2009 USU Repository © 2008

Secara teknis ilmu perundang-undangan, Surat Edaran Bersama dan Keputusan Menteri tersebut harus dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat karena itu kepala rumah tahanan negara dapat mengeluarkan tahanan demi hukum dengan alasan penahanan telah berakhir. Menurut hierarki perundang-undangan, kedudukan KUHAP lebih tinggi dari Keputusan Menteri sehingga KUHAP dapat mengenyampingkannya sesuai dengan asas lex superior derogat lex inferior.133 Artinya, tanpa persyaratan yang ditentukan dalam Surat Edaran Bersama dan Keputusan Menteri tersebut maka kepala rumah tahanan negara berhak dan berwenang untuk mengeluarkan tahanan dengan alasan penahanan yang telah habis sebagai konsekuensi yuridis dari kata demi hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 sampai dengan Pasal 29 KUHAP. Terdakwa Pnm dan Msd mengajukan upaya hukum banding pada tanggal 03 September 2008 terhadap putusan Pengadilan Negeri Tanjung Balai yang diputus pada tanggal 28 Agustus 2008. Untuk kepentingan pemeriksaan, terdakwa Pnm dan Msd telah menjalani perpanjangan penahanan selama 60 (enam puluh) hari sejak tanggal 04 Mei 2008 dan berakhir pada tanggal 02 Juli 2008. Menurut Pasal 28 KUHAP, sejak tanggal berakhirnya penahanan maka terdakwa Pnm dan Msd harus dikeluarkan demi hukum karena 133

Bandingkan dengan pendapat Menteri Kehakiman - Sahardjo dan Ketua Mahkamah Agung - Wirjono Prodjodikoro yang menganggap burgerlijk wetboek tidak sebagai undang-undang melainkan hanya rechts book melalui Surat Edaran Mahkamah Agung No. 3 Tahun 1963. Apapun yang menjadi alasan keluarnya surat edaran tersebut maka langkah ini merupakan tindakan inkonstitusional karena sebuah surat edaran yang dibuat oleh mahkamah agung tidak dapat mengampingkan ketentuan dalam pasal-pasal burgerlijk wetboek yang kedudukan sebagai suatu kodifikasi hukum. Kalaupun ketentuan dalam pasal-pasal burgerlijk wetboek hendak dicabut atau dinyatakan tidak berlaku berhubung tidak bersesuaian dengan keadilan hukum nasional maka tindakan pencabutan atau pernyataan tidak berlakunya harus dilakukan melalui sebuah undang-undang pula bukan melalui secarik surat edaran yang dikeluarkan oleh mahkamah agung berhubung bentuk resminya dari burgerlijk wetboek itu sebuah undang-undang atau kitab undang-undang. Lihat Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perorangan & Kekeluargaan di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hlm. 50 - 51.

Surung Pasaribu : Kepastian Hukum Bagi Terdakwa Yang Dikeluarkan Demi Hukum Dari Rumah Tahanan Negara (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai ), 2009 USU Repository © 2008

tidak dimungkinkan lagi untuk dilakukan perpanjangan penahanan. Terdakwa Pnm dan Msd dikeluarkan demi hukum pada tanggal 03 September 2008 dari rumah tahanan negara pada Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai. Ini berarti, Terdakwa Pnm dan Msd tetap berada dalam tahanan selama 62 (enam puluh dua) hari tanpa surat penetapan secara tertulis dari Ketua Pengadilan Negeri Tanjung Balai. Proses pengeluaran terdakwa Pnm dan Msd tidak dilakukan dengan konsultasi melainkan dengan mengirimkan surat pemberitahuan pengeluaran tahanan demi hukum yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan Negeri Tanjung Balai. Tabel 2 : Terdakwa Yang Keluar Demi Hukum Dari Rumah Tahanan Negara (Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai) Dalam Proses Pemeriksaan di Pengadilan Tinggi Sumatera Utara (Banding) Pada Tahun 2008 No

Nama

Perkara

1

AS

263 KUHP

2

LRM

3

Rmdh

4

SA

5

ASM

6

Jmd

7

Erd

8

TS

9

ES

363 KUHP 363 KUHP 363 KUHP 363 KUHP 363 KUHP 363 KUHP 363 KUHP 363 KUHP

Batas Penahanan 02 Maret

Tanggal Keluar 03 Maret

Keterangan

28-12-2007

15 Maret

28-12-2007

15 Maret

Tidak dimungkinkan perpanjangan menurut KUHAP Tidak ada surat perpanjangan penahanan Idem

28-12-2007

15 Maret

Idem

28-12-2007

15 Maret

Idem

28 April

05 Juni

28 April

05 Juni

Pidana telah sesuai dengan penahanan Idem

15 Juli

29 Juli

Idem

15 Juli

29 Juli

Idem

Sumber: Seksi Binadik dan Giatja Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai Surung Pasaribu : Kepastian Hukum Bagi Terdakwa Yang Dikeluarkan Demi Hukum Dari Rumah Tahanan Negara (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai ), 2009 USU Repository © 2008

Berdasarkan penetapan dari Ketua Pengadilan Tinggi Sumatera Utara, terdakwa AS dilakukan perpanjangan penahanannya selama 60 (enam puluh) hari sejak tanggal 03 Januari 2008 sampai dengan 02 Maret 2008. Sejak 10 (sepuluh) hari sampai dengan 3 (tiga) hari sebelum batas waktu penahanan berakhir, telah dilakukan pemberitahuan akan habisnya masa penahanan namun rumah tahanan negara Klas II B Tanjung Balai belum menerima putusan perkara atas nama terdakwa AS tersebut. Surat Edaran Bersama antara Ketua Mahkamah Agung dan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan tidak menentukan prosedur pengeluaran terdakwa demi hukum yang perkaranya sedang diperiksa dalam tingkat banding namun hanya menentukan prosedur pengeluaran terdakwa yang perkaranya sedang diperiksa dalam tingkat kasasi adalah wewenang dari mahkamah agung. Berpedoman kepada KUHAP, maka terdakwa AS dikeluarkan demi hukum pada tanggal 03 Maret 2008. Berbeda dengan terdakwa LRM, Rmdh, SA dan ASM tidak dikeluarkan demi hukum meskipun penetapan penahanan tidak pernah dikeluarkan oleh Ketua Pengadilan Tinggi Sumatera Utara. Untuk kepentingan pemeriksaan pada tingkat pengadilan negeri, para terdakwa ditahan selama 30 hari sejak tanggal 29 November 2007 dan berakhir sampai dengan tanggal 28 Desember 2007. Perkara para terdakwa diputus tanggal 17 Desember 2007 dan pada tanggal 19 Desember 2007, jaksa penuntut umum mengajukan upaya hukum banding ke Pengadilan Tinggi Sumatera Utara, namun tidak pernah dikeluarkan penetapan penahanannya. Setelah 78 (tujuh puluh delapan) hari tanpa penetapan penahanan, para terdakwa dikeluarkan demi hukum dari rumah tahanan negara pada Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai.

Surung Pasaribu : Kepastian Hukum Bagi Terdakwa Yang Dikeluarkan Demi Hukum Dari Rumah Tahanan Negara (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai ), 2009 USU Repository © 2008

Terdakwa Jmd dan Erd dikeluarkan demi hukum karena pidana yang diputus oleh Pengadilan Negeri Tanjung Balai telah sama dengan penahanan yang telah dijalani meskipun perkara para terdakwa sedang dalam pemeriksaan banding di Pengadilan Tinggi Sumatera Utara. Demikian pula dengan perkara terdakwa TS dan ES telah diputus dengan hukuman 6 (enam) bulan 15 (lima belas) hari oleh Pengadilan Negeri Tanjung Balai namun dikeluarkan demi hukum meskipun pemeriksaan perkara banding belum diputus oleh Pengadilan Tinggi Sumatera Utara. Pasal 27 Keputusan Menteri Kehakiman Nomor: M.3.UM.01.06 Tahun 1983 tentang Penetapan Lembaga Pemasyarakatan Tertentu Sebagai Rumah Tahanan Negara juga menentukan tentang penahanan yang dijalani telah sama dengan hukuman yang telah dijatuhkan dari putusan yang telah berkekuatan hukum tetap, maka kepala rumah tahanan negara harus melaksanakan pembebasan. Pembebasan narapidana berbeda dengan dikeluarkannya terdakwa demi hukum dari tahanan. Pembebasan menunjukkan telah dijalaninya pemidanaan oleh narapidana sedangkan dikeluarkan demi hukum berarti dikeluarkan karena habis batas waktu penahanan sedangkan proses pemeriksaan belum selesai. Pelaksanaan pembebasan merupakan tugas dan wewenang yang melekat pada fungsi kepala rumah tahanan negara berdasarkan hukum. Untuk melaksanakan pembebasan ini tidak memerlukan surat perintah dari instansi manapun. Kelalaian melaksanakan pembebasan merupakan tindakan penahanan yang tidak sah menurut Pasal 95 KUHAP yakni penahanan yang lebih lama daripada pidana yang dijatuhkan yang dapat dituntut ganti kerugian. Surung Pasaribu : Kepastian Hukum Bagi Terdakwa Yang Dikeluarkan Demi Hukum Dari Rumah Tahanan Negara (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai ), 2009 USU Repository © 2008

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan Dari beberapa uraian bab-bab dimuka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Berbeda dengan HIR yang tidak menentukan batas waktu dalam melakukan penahanan maka dalam KUHAP perihal penahanan lebih memberikan kepastian hukum dan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia. Penahanan menurut HIR tidak membatasi jangka waktu sehingga dapat berkelanjutan tanpa batas dan tanpa berkesudahan. Pengaturan yang demikian menimbulkan dampak kepastian hukum tidak terjamin dan perampasan kemerdekaan seseorang dengan sewenang-wenang. Untuk lebih memberikan perlindungan terhadap hak asasi manusia dari perbuatan perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang, maka KUHAP telah menentukan secara limitatif dan terperinci wewenang penahanan yang dapat dilakukan dengan memberikan batas waktu. 2. Bagi terdakwa yang batas waktu penahanan telah habis maka harus dikeluarkan demi hukum sesuai dengan redaksi “harus sudah mengeluarkan tahanan demi hukum” maka dalam mengeluarkan tersangka atau terdakwa yang ditahan di rumah tahanan negara, tidak dibutuhkan prosedur tertentu. Oleh karena itu, maka sejak batas waktu penahanan habis maka pejabat yang bertanggung jawab secara yuridis atas penahan harus mengeluarkan tersangka atau terdakwa dari tahanan tanpa syarat.

Surung Pasaribu : Kepastian Hukum Bagi Terdakwa Yang Dikeluarkan Demi Hukum Dari Rumah Tahanan Negara (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai ), 2009 USU Repository © 2008

3. Pengeluaran demi hukum terhadap terdakwa yang telah habis masa penahanannya tidak dapat diterapkan seutuhnya karena ada Surat Edaran Bersama antara Ketua Mahkamah Agung dengan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan tanggal 19 November 1983 No. MA/PAN/368/XI/1983-EI.UM.04.11.227 yang tidak konsisten dengan KUHAP yakni tindakan kelalaian mengeluarkan surat perintah penahanan dapat dibenarkan dengan jalan koordinasi. Dari penelitian ditemukan bahwa sepanjang tahun 2008 rumah tahanan negara Klas II B Tanjung Balai telah mengeluarkan tahanan demi hukum tanpa syarat sesuai dengan KUHAP.

B. Saran 1. Agar kepala rumah tahanan negara segera mengeluarkan tersangka atau terdakwa jika telah melebihi batas waktu penahanan atau tanpa disertai surat perintah penahanan. 2. Agar Surat Edaran Bersama antara Ketua Mahkamah Agung dengan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan

tanggal

19

November

1983

No.

MA/PAN/368/XI/1983-

EI.UM.04.11.227 ditinjau kembali dengan mengganti norma hukum yang konsisten dengan jiwa KUHAP. 3. Agar penegak hukum dalam sistem peradilan pidana memperhatikan batas waktu penahanan sehingga tidak mengalami hambatan dalam proses peradilan pidana menuju tercapainya kepastian hukum .

Surung Pasaribu : Kepastian Hukum Bagi Terdakwa Yang Dikeluarkan Demi Hukum Dari Rumah Tahanan Negara (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai ), 2009 USU Repository © 2008

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Achmad, Keterpurukan Hukum di Indonesia (Penyebab dan Solusinya), Jakarta: Penerbit Ghalia, 2001 Ali, Zainuddin, Filsafat Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2006 Anonim, Garis-Garis Besar Haluan Negara 1999-2004, TAP MPR IV/MPR/1999, Jakarta: Sinar Grafika, 1999 Arief, Barda Nawawi, “Pokok-pokok Pikiran Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka”, Makalah sebagai Bahan Masukan untuk Penyusunan Laporan Akhir Tim Pakar Departemen Kehakiman Periode 1998/1999” _______, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2005 _______, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2005 _______, Pembaharuan Hukum Pidana Dalam Perspektif Kajian Perbandingan, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2005 Atmasasmita, Romli, Sistem Peradilan Pidana: Perspektif Eksistensialisme dan Abilisionisme, Bandung: Bina Cipta, 1986 _______, Kapita Selekta Hukum Pidana dan Kriminologi, Bandung: Penerbit Mandar Maju, 1995 _______, Reformasi Hukum, Hak Asasi Manusia & Penegakan Hukum, Bandung: CV. Mandar Maju, 2001 Chazawi, Adami, Pelajaran Hukum Pidana; Bagian 1, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2002 Friedman, W., Teori & Filsafat Hukum; Telaah Kritis Atas Teori-Teori Hukum (Susunan I), Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1993 _______, Teori & Filsafat Hukum; Telaah Kritis Atas Teori-Teori Hukum (Susunan II), Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1993

Surung Pasaribu : Kepastian Hukum Bagi Terdakwa Yang Dikeluarkan Demi Hukum Dari Rumah Tahanan Negara (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai ), 2009 USU Repository © 2008

Gosita, Arief, “Reformasi Hukum Yang Berpihak Kepada Rakyat dan Keadilan (Beberapa Catatan),” Jurnal Keadilan Lembaga Kajian Hukum dan keadilan, Vol 1 No. 2 Desember 2000 Hamzah, Andi, Suatu Tinjauan Ringkas Sistem Pemidanaan di Indonesia, Jakarta: Akademika Pressindo, 1983 _______, Sistem Pemasyarakatan dan Pemidanaan Indonesia, Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 1985 _______, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia Dari Retribusi, Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 1986 Hanitijo, Ronny, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988 Harahap, Krisna, HAM dan Upaya Penegakannya di Indonesia, Bandung: PT. Grafitri Budi Utami, 2003 Harahap, M. Yahya, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP; Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali, Jakarta: Sinar Grafika, 2002 _______, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP; Penyidikan dan Penuntutan, Jakarta: Sinar Grafika, 2002 Harkrisnowo, Harkristuti, Mendorong Kinerja Polri Melalui Pendekatan Sistem Managemen Terpadu, Jakarta: Pidato pada Dies Natalis Ke - 57 PTIK dalam rangka Wisuda Sarjana Ilmu Kepolisian Angkatan XXXVIII/Arygya Hwardaya, 2003 Harsono, C. I., Sistem Baru Pembinaan Narapidana, Jakarta: Penerbit Djambatan, 1995 Huda, Chairul, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Jakarta: Kencana Prenada Media, 2006 Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 1 No. 4 - Desember 2004 Kartanegara, Satochid, Hukum Pidana; Kumpulan Kuliah, Jakarta: Balai Lektur Mahasiswa, Tanpa Tahun

Surung Pasaribu : Kepastian Hukum Bagi Terdakwa Yang Dikeluarkan Demi Hukum Dari Rumah Tahanan Negara (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai ), 2009 USU Repository © 2008

Kartono, Kartini, Patologi Sosial, Jakarta: Rajawali Pers, 1993 Lamintang, P.A.F., Kitab Undang-undang Hukum Pidana Dengan Pembahasan Secara Yuridis Menurut Yurisprudensi dan Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana, Bandung: Penerbit Sinar Baru, 1984 _______, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Penerbit Sinar Baru, 1990 Loqman, Loebby, Hak Asasi Manusia (HAM) dalam Hukum Acara Pidana (HAP), Jakarta: Datacom, 2002 Lubis, T. Mulya, Hukum dan Ekonomi, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1992 Machmudin, Dudu Duswara, Pengantar Ilmu Hukum; Sebuah Sketsa, Bandung: PT. Refika Aditama, 2003 Manan, Bagir, Dasar-Dasar Konstitusional Peraturan Perundang-undangan Nasional, Sinar Grafika, Jakarta, 1993 Mertokusumo, Sudikno dan A. Pitlo, Bab-bab tentang Penemuan Hukum, Bandung:, Citra Aditya Bakti, 1993 Mertokusumo, Sudikno, Mengenal Hukum; Suatu Pengantar, Yogyakarta: Penerbit Liberty, 1999 Mujahidin, Ahmad, Peradilan Satu Atap Di Indonesia, Bandung: Refika Aditama, 2007 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori Dan Kebijakan Hukum Pidana, Bandung: PT. Alumni, 2005 Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1995 _______, Demokratisasi, Hak Asasi Manusia dan Reformasi Hukum di Indonesia, Jakarta: The Habibie Center, 2002 _______, Hak Asasi Manusia, dan Reformasi Hukum di Indonesia, Jakarta: The Habibie Center, 2002 Mulyadi, Lilik, RUU KUHAP Dari Perspektif Seorang Hakim, http://pnkepanjen.net/artikel/, diakses tanggal 26 April 2009. Surung Pasaribu : Kepastian Hukum Bagi Terdakwa Yang Dikeluarkan Demi Hukum Dari Rumah Tahanan Negara (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai ), 2009 USU Repository © 2008

Mustafa, Muhammad, Bantuan Hukum Untuk Terpidana Penjara (warga Tersisih) dari Buku Beberapa Pemikiran Mengenai Bantuan Hukum Ke arah Bantuan Hukum Struktural, Bandung: Alumni, 1981 Nasution, Adnan Buyung, Implementasi Perlindungan Hak Asasi Manusia dan Supremasi Hukum, Makalah Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII, Denpasar, 14 - 18 Juli 2003. Nasution, Bahder Johan, Hukum Ketenagakerjaan; Kebebasan Berserikat Bagi Pekerja, Bandung: CV. Mandar Maju, 2004 Nasution, Bismar, Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum, Makalah, disampaikan pada Dialog Interaktif tentang Penelitian Hukum dan Hasil Penulisan Hukum pada Majalah Akreditasi, Fakultas Hukum USU, tanggal 18 Februari 2003 Pangaribuan, Luhut M.P., Hukum Acara Pidana, Jakarta: Djambatan, 2006 Paparan Jaksa Agung Republik Indonesia pada Apel Kasatwil Kepolisian Republik Indonesia, “Kebijakan dan Strategis dalam Penegakan Hukum di Bidang Penuntutan”, Semarang, 16 Februari 2001 Pillai, V.N., The Administration of Criminal Justice: Unity in Deversity; dalam Criminal Justice in Asia: The Quest for an Integrative Approach, Tokyo, UNAFEI, 1982 Prakoso, Djoko, Masalah Pemberian Pidana Dalam Teori dan Praktek Pengadilan, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1984 Prasetyo, Teguh dan Abdul Halim Barkatullah, Ilmu Hukum & Filsafat Hukum, Yogyakarta: Penerbit Pustaka pelajar, 2007 Prodjohamidjojo, Martiman, Memahami Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia 2, Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 1997 Rahardjo, Satjipto, Hukum Dan Masyarakat, Bandung: Angkasa, 1984 _______, Hukum dan Perubahan Sosial, Bandung: Penerbit Alumni, 1986 _______, Ilmu Hukum, Bandung: Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, 2000 Rasjidi, Lili dan I. B. Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, Bandung: Penerbit Mandar Maju, 2003 Surung Pasaribu : Kepastian Hukum Bagi Terdakwa Yang Dikeluarkan Demi Hukum Dari Rumah Tahanan Negara (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai ), 2009 USU Repository © 2008

Rasyidi, Lili dan Ira Rasyidi, Pengantar Filsafat dan Teori Hukum, Bandung: PT. Citra Adtya Bakti, 2001 Reksodiputro, Mardjono, Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana, Jakarta: Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia, 1994 _______, Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Peran Penegak Hukum Melawan Kejahatan, Jakarta: Lembaga Kriminologi Universitas Indonesia, 1994 Remmelink, Jan, Hukum Pidana, Komentar Atas Pasal-Pasal Terpenting Dari KUHP Belanda dan Padanannya dalam KUHP Indonesia, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1993 Saifullah, Refleksi Sosiologi Hukum, Bandung: Refika Aditama, 2007 Salim, Bakhtiar Agus, Pidana Penjara Dalam Stelsel Pidana di Indonesia, Medan:, Penerbit Monora, 1986 Sanit, Arbi, Perwakilan Politik di Indonesia, Jakarta: Rajawali, 1985 Sholehuddin, M., Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2003 Simarmata, Ricardo, Socio-Legal Studies Dan Gerakan Pembaharuan Hukum, http://www.huma.or.id/document/, diakses tanggal 26 April 2009 Soekanto, Soerjono, Beberapa Permasalahan Hukum Dalam Kerangka Pembangunan di Indonesia, Yakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1984 _______, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta: Rajawali, 1993 _______, Metodologi Research, Yogyakarta: Andi Offset, 1998 Soekanto, Soeryono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1985 Soetiksno, Mr., 1976, Filsafat Hukum Bagian 2, Penerbit Pradnya Paramita, Jakarta Subekti, R., Pembinaan Hukum Nasional, Bandung: Alumni, 1975 Sujatno, Adi, Buku Saku Hak Asasi Manusia Bagi Petugas Pemasyarakatan, Jakarta, Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, 2002 Surung Pasaribu : Kepastian Hukum Bagi Terdakwa Yang Dikeluarkan Demi Hukum Dari Rumah Tahanan Negara (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai ), 2009 USU Repository © 2008

Sunarmi, Membangun Sistem Peradilan di Indonesia, http://library.usu.ac.id/, diakses tanggal 26 April 2009. Sunarso, Siswanto, Wawasan Penegakan Hukum di Indonesia, Bandung, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, 2005 Sunggono, Bambang dan Aries Harianto, Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia, Bandung, Penerbit Mandar Maju, 2001 Susila, Muhammad Endriyo, Reaktualisasi Supremasi Hukum Pasca Reformasi (Dalam Perspektif Hukum Pidana, Yogyakarta, Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, 2002 Sutherland, Edwin H, Asas-asas Kriminologi, Bandung: Alumni, 1969 Syahrani, Riduan, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2004 Taneko, Soleman B., Pokok-Pokok Studi Hukum Dalam masyarakat, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1993 Tongat, Pidana Kerja Sosial Dalam Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia, Jakarta: Penerbit Djambatan, 2001 Turner, Karen G., et.al.(eds), The Limits of the Rule Of Law in China, Washington, University of Washington Press, 2000 Usman, Rachmadi, Aspek-Aspek Hukum Perorangan & Kekeluargaan di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2006 Waluyo, Bambang, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Jakarta: Sinar Grafika, 2002 Wignjosoebroto, Soetandyo, “Hubungan Negara dan Masyarakat Dalam Konteks Hak-Hak Asasi Manusia: Sebuah Tinjauan Historik Dari Perspektif Relativisme Budaya Politik”, Makalah Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII, Denpasar 14 - 18 Juli 2003 Zainuddin, A. Rahman, Hak Asasi Manusia di Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1994

Surung Pasaribu : Kepastian Hukum Bagi Terdakwa Yang Dikeluarkan Demi Hukum Dari Rumah Tahanan Negara (Studi Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Tanjung Balai ), 2009 USU Repository © 2008

More Documents from "orbit orion"

09e01776.pdf
December 2019 24
Shelter Topologi.docx
April 2020 5
When You Come.docx
August 2019 31
When You Come.docx
August 2019 41