MENJAGA KEUTUHAN NKRI H. Wiranto, SH. Diskusi ICMI “Ancaman Disintegrasi Nasional” Jumat, 11 Juli 2008
“Indonesia tidak akan pecah seperti Uni Soviet.” Ben Anderson dalam acara Fokus Akhir Pekan, Radio Netherland Jumat, 5 Februari 1999
Hingga sekarang, persoalan keutuhan NKRI selalu menjadi perbincangan menarik bagi semua kalangan di negeri ini. Selain masih adanya tuntutan beberapa anak bangsa yang secara verbal menyatakan akan memisahkan diri, kerentanan keutuhan NKRI semakin penting ditelaah dalam konteks kompetisi global yang merangsek langsung ke jantung persatuan dan kesatuan bangsa. Ancaman terhadap kedaulatan negara yang dulu bersifat konvensional (fisik) menghadapi penjajah serta pemberontakan dalam negeri, saat ini berkembang menjadi multidimensional (fisik dan non fisik), baik yang berasal dari luar maupun dalam negeri. Ancaman di era globalisasi yang ditandai dengan perkembangan kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi, komunikasi, dan informasi sangat
mempengaruhi
pola
dan
bentuk
ancaman.
Ancaman
tersebut dapat bersumber, baik dari permasalahan ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya maupun permasalahan keamanan yang terkait dengan kejahatan internasional, antara lain terorisme, imigran gelap, bahaya narkotika, pencurian kekayaan alam, bajak laut, dan perusakan lingkungan.
1
Pada setiap episode perjuangan bangsa, disadari adanya permasalahan
serta
solusi
yang
berbeda-beda.
Peluang
dan
ancaman kebangsaan yang hadir di era postkolonial bagaimanapun telah demikian berkembang. Ketika kolonialisme dan imperalialisme fisik telah berakhir, ancaman tidak otomatis berkurang. Pembukaan Undang-Undang
Dasar
1945
Pemerintah
Negara
Republik
melindungi
bangsa
dan
telah
mengamanatkan
Indonesia
seluruh
berkewajiban
tumpah
darah
bahwa untuk
Indonesia,
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan
ikut
melaksanakan
ketertiban
dunia
yang
berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Dari kewajiban melindungi bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, diamanatkan bahwa Pertahanan Negara bertujuan untuk menjaga dan melindungi kedaulatan negara, keutuhan wilayah dan keselamatan Pertahanan
segenap negara
bangsa
dari
diselenggarakan
segala oleh
bentuk
ancaman.
pemerintah
dan
dipersiapkan secara dini dengan sistem pertahanan negara melalui upaya membangun dan membina kemampuan dan daya tangkal negara dan bangsa, serta untuk menanggulangi setiap ancaman. Untuk menelaah lebih lanjut ancaman disintegrasi, pada langkah pertama, kita perlu membahas karakter khas nasionalisme Indonesia, yang berbeda dengan bangsa-bangsa lain. Hal ini penting untuk meminimalisasi generalisasi pada setiap persoalan ancaman disintegrasi Indonesia dengan kasus serupa yang terjadi pada bangsa lain.
Nasionalisme Indonesia Apabila kita tilik kembali, secara historis wacana tentang nasionalisme ini telah muncul sejak era kolonial. Bangsa-bangsa yang terjajah atau di bawah koloni dan imperial bangsa asing (Barat), terpacu untuk menuntut kemerdekaan, membentuk sebuah negara-bangsa yang dicita-citakan, lepas dari cengkeraman bangsa 2
asing. Oleh sebab itulah, konsep nasionalisme secara klasik, amat populer di negara-negara terjajah. Nasionalisme klasik, yang mendasari terbentuknya suatu bangsa dan eksistensinya lebih lanjut, sebagaimana dikonsepsikan oleh Ernest Renan (1882) dalam bukunya Apakah Bangsa Itu? dipersyaratkan setidaknya oleh adanya: (1) corak atau pengalaman bersama,
sehingga
tumbuh
akan
perasaan
senasib
sepenanggungan, terlepas dari latar belakang suku, agama, ras, dan antar-golongan; (2) eksistensi apa yang diidentifikasi bersama sebagai
musuh
bersama
kepemimpinan
yang
(common
mampu
enemies);
menggerakkan
(3)
dan
adanya
mengelola
segenap potensi kekuatan bangsa, sehingga menjadi bangsa yang besar. Dua poin awal bermuara pada munculnya solidaritas bersama yang bersifat substansial, sebagaimana dikatakan Renan, “Bangsa itu ialah suatu solidaritas besar.” Tanpa mampu membangun suatu kesadaran dan solidaritas bersama sebagai bangsa maka cita-cita untuk hidup bersama sebagai suatu bangsa tidak akan pernah terwujud.
Sementara
pengelolaan
sebuah
kepemimpinan
yang
poin
ketiga,
bangsa
yang
kuat,
terkait
dengan
memerlukan
memiliki
konteks
sumber
integritas
daya
kebangsaan
(nasionalis) yang tidak diragukan, serta mampu mengelola dan menyatukan
bangsanya,
mensinergikan
segala
potensi
untuk
kemajuan bangsa. Sesungguhnya para pendiri bangsa (the founding fathers) Indonesia di masa lampau amat menyadari konteks nasionalisme tersebut. Upaya para pendiri bangsa dalam menegaskan eksistensi Indonesia sebagai negara-bangsa (nation-state) terbingkai dalam suatu pandangan (falsafah) dasar, Pancasila. Pancasila sebagai dasar negara merupakan suatu rumusan yang mengakomodasi realitas pluralisme bangsa (Bhinneka Tunggal Ika).
3
Pada
momentum
Sumpah
Pemuda
(1928),
kesadaran
nasionalisme Indonesia telah hadir. Hal yang patut digarisbawahi, kehadiran bangsa Indonesia bukan didasarkan atas persamaan kelahiran, kesukuan, asal-usul, keturunan, kedaerahan, ras ataupun keagamaan,
tetapi
atas
persamaan
perasaan
kebangsaan
Indonesia, serta kehendak bersama untuk hidup bersatu di tanah air Indonesia
sebagai
berjuang
mencapai
suatu
bangsa
cita-cita
yang
secara
kebangsaan.
bersama-sama
Fakta
sejarah
ini
menunjukkan bahwa sesungguhnya bangsa Indonesia telah memiliki modal
yang
kuat
dalam
konteks
solidaritas
kebangsaan
(nasionalisme) yang telah terbentuk sejak era kolonial. NKRI lahir karena perasaan senasib sepenanggungan sebagai bangsa terjajah; bukan yang lain. Neo Kolonialisme Ancaman disintegrasi juga dipicu oleh kompleksnya persoalan yang muncul lantaran kekalahan Indonesia di pentas globalisasi. Saratnya
kepentingan
global
dan regional,
ditambah dengan
konsolidasi bangsa yang gagal membuat negeri ini terjerumus pada era neo kolonialisme. Indonesia sekarang tidak lagi menjadi tuan di negeri sendiri, lantaran berjuta ketergantungan hidup terhadap produk-produk asing. Bangsa ini sangat gampang didikte hegemoni negara adidaya. Beberapa faktor penyebab dapat diungkapkan. Pertama, negara berpenduduk terbesar nomor 4 di dunia ini merupakan pasar konsumen yang sangat potensial. Makanya mereka merasa perlu untuk menghabisi posisi Indonesia sebagai negara produsen. Kedua, mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam, dan jumlahnya terbesar di dunia. Apabila pemeluk Islamnya bersatu, akan sangat sulit dikendalikan oleh kekuatan adidaya, maka mereka merasa perlu untuk menghabisi semangat persatuan.
4
Ketiga, keberadaan Indonesia sebagai negara kepulauan yang tersebar di antara dua samudra dan dua benua juga menjadikannya faktor penentu dalam konteks geo-politik dan geo-ekonomi dunia, maka mereka merasa perlu untuk menghabisi kemandiriannya. Keempat, sumber daya alam Indonesia sangatlah besar. Jadi, Indonesia harus secepatnya mereka kuasai dan habisi sebelum mampu memproteksinya. Keberadaan Freeport, Newmont, Exxon Mobile, British Petroleum mengisyaratkan keberadaan mereka di Indonesia sebagai pembenaran atas hipotesis tersebut. Bahkan menurut MDGs, Indonesia ternyata masih dinilai tertinggal (falling further behind), menempati kursi yang sama dengan Bangladesh, Laos, PNG, Myanmar, dan Filipina. Sementara Malaysia, Thailand, dan bahkan Vietnam termasuk yang berstatus moving ahead (melesat maju). Sementara itu, dalam The Failed State Index 2007 yang dikeluarkan oleh Foreign Policy Washington DC, Indonesia menduduki peringkat 55 dari 177 negara yang berkategori failed state. Pada posisi 56 hingga 60 secara berurutan diduduki oleh Filipina, Iran, Georgia, Bolivia, dan Guatemala. Sangat jelas bahwa Indonesia tengah dijajah kembali. Kali ini dengan
biaya
menggunakan
yang
jauh
angkatan
lebih
murah
karena
tidak
perang
seperti
umumnya
lagi
perang
konvensional. Itu yang saya maksud dengan neo kolonialisme. Untuk lebih membuktikannya kita coba membuat daftar pertanyaan berikut ini.
5
ASPEK
IDEOLOGI
IDEOLOGI POLITIK EKONOMI EKONOMI
TIDAK/ BELUM
APAKAH PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI BANGSA MASIH DIPAHAMI DAN DIBANGGAKAN OLEH SELURUH RAKYATNYA? APAKAH SEMANGAT NASIONALISME MASIH TERUS BERKEMBANG? APAKAH DEMOKRASI YANG DIKEMBANGKAN SUDAH DIPAHAMI & DITERIMA MASYARAKATNYA? APAKAH PRODUKSI DALAM NEGERI MENGUASAI PASAR DOMESTIK? APAKAH PERUSAHAAN BESAR YANG MENGUASAI HAJAT HIDUP RAKYAT MASIH DIKUASAI OLEH NEGARA? APAKAH MILITER KITA MASIH DIPERHITUNGKAN SEBAGAI KEKUATAN YANG HANDAL DI KAWASAN ASIA TENGGARA?
MILITER KEPEMIM PINAN
YA/ SUDAH
INDIKATOR
APAKAH PEMERINTAH YANG MEWAKILI RAKYAT INDONESIA BERANI MENENTANG KEINGINAN ADIDAYA?
Lantas apa yang semestinya dilakukan? Solusinya, kita membutuhkan kepemimpinan nasional yang kuat dan kredibel untuk menghadapi ancaman disintegrasi ini. Kepemimpinan Nasional yang Kuat dan Kredibel Untuk menyelesaikan persoalan ancaman disintegrasi sangat dibutuhkan
kepemimpinan
nasional
yang
kuat
dan
kredibel.
Kepemimpinan yang kuat adalah kepemimpinan legitimatif; yang tidak gampang dirongrong oleh persoalan temporal. Kepemimpinan kuat akan membawa negeri ini pada keberlangsungan hidup berbangsa yang tidak terus-menerus dipenuhi oleh konflik domestik. Sementara itu, kepemimpinan yang tegas akan bermuara pada kepastian
hidup berbangsa dan tidak
terkatung-katung pada
kebimbangan melangkah. Kepemimpinan model ini harus didukung oleh prasyarat eksternal dan kapasitas pribadi. Prasyarat eksternal yang dimaksud adalah back-up politik yang kuat. Harus muncul satu kekuatan politik besar yang mampu mengungguli kekuatan politik lainnya. Dengan demikian, kekuatan tersebut, kecuali unggul dalam
6
suara, berarti kuat dalam bargaining serta menguasai pemerintahan dalam jangka yang cukup lama. Sedangkan
kapasitas
pribadi
yang
dimaksud
adalah
kepribadian STMJ.
Sadar bahwa pemimpin mengemban amanah dari Allah SWT dan diperoleh karena dukungan rakyat.
Tahu apa yang menjadi harapan dan keinginan rakyat. Mau dan mampu untuk mewujudkan harapan-harapan rakyat tersebut.
Jamin bahwa jabatan apa pun sejatinya hanyalah mewakili rakyat menuju kesejahteraan lahir dan batin. Semoga kondisi republik yang kita cintai ini akan semakin membaik; menjadi Indonesia yang bermartabat dan sejahtera, serta jauh dari ancaman disintegrasi. Amin.
7