03 - Inflated Ego. Expanding Without Growth

  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View 03 - Inflated Ego. Expanding Without Growth as PDF for free.

More details

  • Words: 1,324
  • Pages: 5
INFLATED EGO Expanding Without Growth

Malam itu hujan sangat lebat. Ibnu hampir tidak jadi berangkat ke Musholla Buya Nur. Namun karena sudah sangat ingin menyampaikan hasil telaahannya atas gambar dan coretan Buya Nur, akhirnya dia memutuskan untuk menempuh hujan. Ibnu berpikir, biarlah basah daripada harus menunggu sampai pekan depan. Ibnu mendapat jadwal hanya sekali dalam sepekan untuk ketemu secara privat dengan Buya Nur. Diluar malam yang telah ditentukan itu, Buya Nur banyak menerima tamu disamping mengajar beberapa murid lain. Tamu dan murid Buya Nur datang dari berbagai kalangan. Mulai dari mahasiswa, dosen, pedagang, pegawai negeri, dokter, kontraktor dan bahkan polisi atau tentara. Belum lagi tamu yang datang dari luar kota, yang adakalanya tidur menginap di musholla Buya Nur. Kesibukan Buya Nur ditambah lagi dengan orang yang datang untuk berobat. Ya disamping sebagai guru, entah semenjak kapan mulainya, Buya Nur juga dikenal masyarakat sebagai tempat mengadu bagi orang orang yang sudah hampir putus harapan untuk sembuh. Buya sendiri sebetulnya tidak suka dianggap sebagai healer. Tetapi Buya lebih tidak suka lagi membiarkan orang berputus asa. “Ibnu, sudah berapa lama kita belajar bersama?”, Tanya Buya Nur begitu beliau duduk menyandar. Ibnu sedikit kaget dengan pertanyaan tersebut. Dia memperkirakan Buya akan menanyakan hasil telahaannya atas pelajaran pekan lalu. Tapi kok tiba tiba malah Buya menanyakan hal yang hampir tidak ada hubungannya. “Rasanya belum dua tahun Buya”, jawab Ibnu. Memang kalau dihitung hitung benar baru sekitar 20 bulan Ibnu menjadi murid Buya. Ibnu terkenang saat awal perkenalannya dengan Buya Nur yang betul betul diluar dugaan. Dia teringat bagaimana dia pertama kali berkunjung ke Musholla Buya Nur dalam keadaan sedang kalut, sedang down, dihimpit masalah. Tetapi kenangan Ibnu tidak berlanjut, karena Buya bertanya lagi: ”Apa saja yang sudah kamu pelajari Ibnu?“ Ibnu berpikir sejenak. Kemudian menjawab: ”Buya. Alhamdulillah saya sudah

lancar

baca

Al-Quran.

Makhraj

dan

tajwid

saya

sudah

banyak

1

kemajuannya Buya. Terima kasih atas bimbingan Buya”. Ibnu diam sejenak. Memang pertama datang ditempat Buya, bacaan Al-Quran nya payah. Makhraj dan tajwidnya amburadul. Ibnu sempat merasa minder dengan murid murid Buya yang lain yang umumnya sudah lancar bacaannya. “Buya, saya sudah belajar fiqih dasar. Buya sudah memperbaiki wudhuk, shalat dan puasa saya. Saya sudah tahu apa apa yang menjadi syarat, rukun, wajib dan sunat dalam thaharah, shalat, dan shaum. Buya juga sudah mengajarkan perihal ibadah hajji dan zakat”. Ibnu berhenti sebentar mengingat ingat apa apa yang sudah dipelajarinya dari Buya Nur. ”Saya juga mengikuti pelajaran Buya mengenai rukun iman. Selain itu saya banyak mengikuti taklim Buya mengenai muamalah, akhlaq, dan juga sirah nabi”. Ibnu diam sejenak. Kemudian dia melanjutkan: ”Dan Buya juga menerima saya secara privat sekali dalam sepekan. Dalam pertemuan seperti itu banyak hal yang saya pelajari dari Buya. Saya tidak tahu ilmu apa namanya, namun yang jelas setiap kali bertemu Buya, seperti malam ini, dada saya terasa semakin lapang”. Ibnu diam. Buya Nur pun diam. Di luar hujan sudah mulai reda. Hanya tiupan angin yang masih terasa agak kencang, sehingga dahan dahan pohon mendesah desah diayun angin. Dinginnya udara malam mulai terasa menggigit. Buya Nur lalu meneguk sorbat susunya. Agaknya dinginnya angin malam inilah yang membuat Buya sangat menyukai minuman tradisional itu. Memang Buya seringkali bergadang. Hampir setiap malam Buya menerima tamu, memberikan konsultasi, dan membimbing murid muridnya. Kemudian Buya juga melanjutkan dengan qiyamullail, sebelum beristirahat. Ibnu tidak tahu berapa jam Buya tidur dalam semalam, karena biasanya sebelum waktu shubuh Buya sudah duduk lagi di mihrab. “Ibnu. Mulai hari ini kamu lanjutkan belajar dengan ustadz-ustadz yang lain. Untuk tahsin Al-Quran kamu temui Ustadz Muhsin. Untuk masalah Aqidah dan Fiqih sebaiknya kamu temui Ustadz Abdul Syukur dan Ustadz Zul. Mereka adalah ustadz yang mengajar di Pondok Nurulhidayah, tidak jauh dari sini. Bahkan kalau kamu mau, di Nurulhidayah mereka juga menerima murid untuk belajar Bahasa Arab”. Setelah meneguk minumannya, Buya melanjutkan: “Sedangkan untuk ilmu-ilmu yang lain, saya kira kamu harus mondok. Kalau kamu mau menjadi santri benaran, bukan santri ngalong seperti sekarang, temuilah Kiyai Ali pimpinan Nurulhidayah”.

2

Ibnu terdiam, kemudian dengan harap harap cemas bertanya: “Buya. Apakah itu berarti saya tidak boleh bertemu Buya lagi?”. “Ibnu. Mulai hari ini saya tidak akan memberi pelajaran apa apa. Saya hanya akan membantu kamu membuka wawasan; berdiskusi. Silakan datang setiap pekan seperti malam ini. Sedangkan ilmu yang lain kamu pelajarilah dari ustadz-ustadz yang saya sebutkan tadi”. Mendengar itu Ibnu merasa sangat lega. Ya, Buya benar. Ilmu ilmu yang lain bisa dipelajarinya dari ustadz lain. Tetapi pencerahan seperti yang senantiasa dia terima setiap pekan, rasanya hanya Buya Nur lah yang pas buat Ibnu. Ibnu menarik nafas dalam dalam dengan sangat lega. Wajahnya cerah. “Ibnu. Pernahkah kamu mencoba merendam karet gelang ke dalam minyak tanah?”, Buya bertanya. “Belum Buya. Ada apa gerangan Buya?” jawab Ibnu tidak mengerti kemana arah pembicaraan Buya. “Karet gelang itu akan mengembang. Ukurannya membesar. Kelihatan lebih bagus. Tetapi rapuh. Saya harap kamu jangan seperti itu. Dengan keberadaan kamu di musholla ini, hendaknya kamu jangan mengembang, memuai, tetapi rapuh dan tidak bertumbuh. Inilah yang disebut orang sebagai inflated ego. Orang yang baru belajar satu dua kitab, dan mendengar ceramah satu dua orang ustadz, merasa dirinya sudah pintar. Egonya memuai. Dia mulai melihat orang lain sebagai yang lebih bodoh. Dan lebih parah lagi, orang yang mengalami

inflated

ego

ini

akan

cenderung

menyalah-nyalahkan

orang.

Bilamana ada sesuatu yang tidak sesuai dengan apa yang sudah dipelajarinya, atau dengan apa yang pernah didengar dari ustadznya, dia akan memvonis sebagai salah, sesat, dan berbagai istilah lainnya dengan nada melecehkan. Seolah kebenaran hanyalah milik dia”. Buya Nur diam sejenak. Kelihatan dia sedang berpikir untuk melanjutkan kalimatnya. Sepertinya Buya Nur agak kesulitan mencari kata kata yang tepat untuk mengungkapkan apa yang ingin disampaikannya kepada Ibnu. “Inflated ego. Ya, karet gelang yang direndam dalam minyak tanah, akan terlihat lebih besar dan indah. Tetapi kalau ditimbang, bobotnya tetap sama seperti asalnya; dan malah menjadi rapuh. Karet itu tidak tumbuh, melainkan hanya mengembang. Tapi sang karet merasa dia sudah tumbuh, dan merasa dia sudah lebih besar, sehingga merasa lebih kuat. Dalam masyarakat, kalau kamu mau memperhatikan, akan bisa ditemukan orang orang yang mengalami inflated

3

ego. Ciri utama orang yang mengalami inflated ego adalah over acting, petantang petenteng. Mungkin karena merasa pintar, berilmu, kaya, atau berpangkat. Apapun bisa menjadi pemicu, Ibnu. Seseorang yang tidak waspada, bila menerima nikmat Allah, akan menjadi sombong, dihinggapi inflated ego. Bahkan orang yang baru pulang melaksanakan ibadah hajji pun tidak sedikit yang mengalaminya“. Buya

kembali

menghirup

sorbatnya.

Setelah

diam

sejenak

Buya

melanjutkan: ”Dan orang seperti itu, berpotensi untuk menimbulkan masalah bagi lingkungannya”. Di luar semakin dingin. Angin tidak lagi bertiup. Pepohonan pun tidak lagi mendesah. Semuanya hening. Seakan-akan alam sedang bersiap siap menunggu turunnya Maha Pencipta ke langit dunia. Buya Nur berdiri. Seperti biasanya dia melangkah menuju mihrab dan segera tenggelam dalam shalatnya. Ibnu merenung. Dia teringat pada bulan bulan pertama belajar dengan Buya Nur, dia juga hampir mengalami inflated ego. Tetapi dia ingat betul nasehat Buya yang dengan tegas mengatakan: ”Ibnu. Kamu tidak boleh sombong. Kamu mungkin merasa sudah punya ilmu. Perasaan itu mengecoh. Yang telah dan akan kamu peroleh selama belajar disini barulah bau nya ilmu. Saya peringatkan agar kamu jangan sampai mabuk dengan bau tersebut. Tetaplah rendah hati. Dan belajarlah dari orang banyak. Kamu harus senantiasa iqra’. Membaca lingkungan sekitarmu. Jadikanlah orang orang disekitarmu menjadi guru. Jadikanlah alam dan lingkunganmu sebagai kitab yang terbuka. Karenanya banyaklah belajar dari orang orang yang engkau jumpai. Dan jangan lupa banyaklah membaca alam dan lingkungan sekitar“. Ibnu mengangguk angguk dengan khidmat. Dia semakin faham maksud Buya dengan nasehatnya tempo hari. “Alhamdulillah”, ucap Ibnu dalam hati. Dia sangat bersyukur dipertemukan Allah dengan sosok seperti Buya Nur. Bayangan pengalamannya tempo hari mulai muncul kembali. Tetapi Ibnu, tidak mau hanyut dengan kenangan masa lalunya. Dia bangkit berdiri menuju ke tempat wudhuk. Tak lama kemudian Ibnu sudah menghadap ke kiblat. Dia mengangkat tangannya sambil membisikkan kalimat takbir. Segera setelah itu, segala sesuatu menjadi tiada. Yang ada hanyalah sujudnya Buya Nur dan sujudnya Ibnu. Bahkan sujud itu sendiripun tiada. Yang ada hanyalah Dia. Allahuakbar.

4

Depok, medio Januari 2009 Syahril Bermawan

5

Related Documents