NEW YEAR IN A MUSHOLLA
Malam akhir tahun segera datang dalam hitungan jam. Ibnu tidak ada acara kemana mana. Dia ingin menanti detik detik pergantian tahun dengan iktikaf di mushalla di kediaman gurunya, Buya Nur. Ya, malam itu adalah malam pergantian tahun. Banyak orang yang bersukaria dengan berbagai cara. Menyambut tahun baru lebih heboh dari menyambut kedatangan mempelai, ataupun menyambut jamaah hajji pulang dari tanah suci. Ada ada saja ide mereka. Mulai dari bakar jagung, bikin sate, pesta musik sambil berjoget, sampai dengan kebut kebutan, dan bakar petasan. Dan puncaknya adalah pesta kembang api pada detik detik awal tahun baru. Bagi Ibnu semuanya menimbulkan hiruk pikuk yang dangkal hampa makna. Berapa banyak waktu, energi, dan uang yang dihamburkan; entah untuk apa. Karena itu dia ingin mendapatkan pencerahan dari gurunya, yang sering disapa orang dengan sebutan Buya Nur. ”Buya. Kenapa tahun baru harus disambut dengan kegembiraan yang menghebohkan seluruh negeri?“, tanya Ibnu kepada gurunya. ”Entahlah, Ibnu. Saya sudah melewati lebih dari enampuluh tahun baru. Dan saya lihat dari tahun ke tahun semakin heboh. Sepertinya saya semakin jauh tertinggal dari kemajuan zaman“, jawab Buya Nur. ”Kedatangan tahun baru selalu bersamaan dengan berakhirnya waktu satu tahun yang telah berlalu. Ibarat perjalanan, tahun baru adalah langkah berikutnya dari rentetan langkah yang kita ayunkan dalam menapaki jalan kehidupan“, lanjut Buya sambil meghirup sorbat susu, minuman kesukaannya. Ibnu menantikan lanjutan ucapan Sang Guru. Dia tahu betul, bahwa diamnya Buya adalah sebagai persiapan untuk melanjutkan kata katanya. Diam seperti itu sudah seringkali dialaminya. Kadang-kadang bisa lama. Sepertinya Buya sengaja membikin Ibnu penasaran. Namun Ibnu faham betul kebiasaan gurunya. Semakin lama Buya diam, berarti akan semakin bernas isi ucapannya. Karena itu Ibnu menanti dengan sabar. ”Ibnu. Hidup ini adalah suatu perjalanan. Ibarat mobil, masing masing kita ini dibekali dengan bahan bakar full tank. Hanya saja ukuran tanki kita berbedabeda. Ada yang 80 liter atau lebih. Namun ada pula yang hanya 70, atau 60,
atau bahkan kurang dari 40 liter. Untuk setiap km yang telah kita tempuh, berarti isi tanki kita semakin berkurang”, lanjut Sang Guru. Ibnu diam. Dia berupaya untuk memahami makna ucapan Sang Guru. Memang Buya Nur gemar sekali mempergunakan berbagai analogi dalam menjelaskan sesuatu. Terkadang analoginya sederhana dan mudah difahami. Namun adakalanya analoginya sepertinya tidak nyambung dan sulit untuk dimengerti. Tapi analogi kali ini cukup sederhana. Ibnu dengan mudah memahaminya. Setiap km yang telah ditempuh berarti telah menghabiskan sejumlah bahan bakar. Artinya lagi, jumlah km yang masih bisa ditempuh akan semakin berkurang. “Ya, saya faham”, kata Ibnu dalam hatinya. Sepertinya
tahu
bahwa
Ibnu
sudah
faham,
Buya
Nur
segera
melanjutkan,”Ibnu. Bahwa bahan bakar dalam tanki semakin lama akan semakin berkurang, dan suatu saat pasti akan habis, adalah sebuah keniscayaan. Yang menjadi persoalan sekarang adalah, pada saat bahan bakar habis engkau sudah sampai dimana”. Sang
Guru
berhenti,
dan
kembali
menghirup
minumannya.
Ibnu
merenung. Dia berupaya keras untuk menangkap maksud ucapan Sang Guru. Walaupun pada mulanya masih samar samar, Ibnu dapat melihat isi kata kata gurunya. Memang adakalanya Ibnu memerlukan waktu untuk bisa menangkap isi ucapan Sang Guru. Kali ini Ibnu memahami dengan lebih cepat. Ibnu yakin, bahwa Sang Guru berbicara mengenai perjalanan rohani seseorang. Sebagai makhluk spiritual yang terkurung dalam jasad tubuh kasar, manusia pada hakekatnya adalah spiritual traveller, yang sedang menempuh perjalanan panjang menuju Hadirat Yang Lebih Tinggi. Alangkah menyedihkan, manakala saat bahan bakar habis, si pejalan masih setengah jalan. Atau bahkan lebih tragis lagi, kalau ternyata perjalanan yang sudah ditempuh, dengan menghabiskan banyak bahan bakar, tidak membawa seseorang kemana kemana, karena ternyata dia hanya berputar putar ditempat saja. ”Ibnu“, lanjut Buya, ”Bagi mereka yang faham akan makna tamsil yang baru saja saya kemukakan, maka tahun baru bukanlah waktu untuk berpesta. Justru itulah saat dimana kita harus merenung lebih dalam lagi. Sudah sejauh mana kita berjalan sepanjang tahun lalu, apa yang sudah kita peroleh dalam perjalanan itu, dan yang tidak kurang pentingnya bagaimana kelanjutan perjalanan kita untuk tahun yang akan datang“. Buya diam sejenak. Dia memandang jauh keluar seolah berupaya menyigi sesuatu dalam kegelapan
malam. Ibnu diam sambil menundukkan kepala. Dia lagi berusaha untuk mencerna ucapan Buya Nur. ”Ibnu. Saya sangat risau dengan kebanyakan saudara saudara kita. Mungkin mereka tidak tahu bahwa hidup itu adalah suatu perjalanan. Bagi yang mengetahui, mungkin ada yang tidak peduli bagaimana akhir perjalanannya. Dan sebagian lainnya mungkin lebih buruk kondisinya, tidak sadar bahwa dengan bergantinya tahun, sisa bahan bakar yang ada dalam tankinya semakin berkurang; sementara dia masih saja terpesona dengan gemerlapan jalan yang sedang ditempuhnya“. Tiba tiba rentetan bunyi petasan semakin ramai. Di arah pusat keramaian langit kelihatan terang dengan warna warni kembang api. Rupanya detik detik pergantian tahun sudah tiba. Puncak kegembiraan bagi kebanyakan orang. Ibnu mengangkat kepalanya. Memandang wajah Buya Nur, guru yang sangat dihomatinya. Buya Nur terlihat menatap jauh ke kegelapan malam. Wajahnya yang biasanya teduh kelihatan terusik dengan berbagai bunyi-bunyian pesta tahun baru. Ibnu seolah bisa membaca, bahwa gurunya sedang mengalami puncak kerisauan. Ironisnya, kerisauan gurunya adalah justru disaat banyak orang hanyut dalam kegembiraan. Waktu berlalu. Seolah merayap dengan pelan. Kemudian malam kembali hening. Semuanya sudah sebagaimana mestinya, hening dan senyap. Tanpa berbicara sepatahpun, Buya Nur, bangkit berdiri dan berjalan menuju kearah mimbar. Beberapa saat kemudian kedengaran suara takbir. Buya Nur khusuk menghadapkan wajah kepada Maha Pencipta. Ibnu merasa dirinya semakin kecil. Pelan pelan diapun bangkit. Kali ini Ibnu melakukan wudhuk dengan sangat khidmat. Dia melakukan wudhuk lahir dan bathin. Air matanya menetes bersamaan dengan tetesan air wudhuk di wajahnya. Dalam keheningan malam tahun baru, dia mengangkat kedua tangannya dan bertakbir. Ibnu larut dalam shalatnya. Dia tidak melihat lagi Buya Nur. Bahkan dia tidak melihat lagi sajadah tempat dia berdiri. Ya, Ibnu sudah larut dalam Pusaran Energi Yang Maha Perkasa.
Depok, akhir 2008 Syahril Bermawan.