Zulkifli Sahrin Lasomba (841414009) Keperawatan Ung 2018.pdf

  • Uploaded by: Gustin Hunou
  • 0
  • 0
  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Zulkifli Sahrin Lasomba (841414009) Keperawatan Ung 2018.pdf as PDF for free.

More details

  • Words: 16,951
  • Pages: 100
PENGARUH JENIS CAIRAN INFUS TERHADAP KEJADIAN PHLEBITIS DI RSUD Dr. M.M. DUNDA LIMBOTO

SKRIPSI Diajukan Sebagai Salah Satu Persyaratan Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu (S1) Keperawatan

Oleh ZULKIFLI SAHRIN LASOMBA NIM: 841414009

UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO FAKULTAS OLAHRAGA DAN KESEHATAN PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN 2018

SURAT PERNYATAAN Saya yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang disusun dalam memenuhi salah satu persyaratan menempuh ujian akhir di Universitas Negeri Gorontalo dengan judul “Pengaruh Jenis Cairan Infus Terhadap Kejadian Phlebitis di RSUD Dr. M.M. Dunda Limboto”, adalah benarbenar hasil karya sendiri. Adapun bagian-bagian tertentu yang saya kutip dari hasil karya orang lain telah dituliskan sumbernya dengan jelas sesuai dengan norma, kaidah, etika penulisan dan buku pedoman penulisan karya ilmiah Universitas Negeri Gorontalo. Apabila dikemudian hari ditemukan seluruh atau sebagian skripsi ini bukan hasil karya diri sendiri atau terdapat plagiat dalam bagian-bagian tertentu, maka saya bersedia menerima sanksi pencabutan gelar akademik yang penulis sandang dan sanksi lainnya sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku

Gorontalo,

Juli 2018

Zulkifli Sahrin Lasomba

iv

MOTTO DAN PERSEMBAHAN Tekanan berbanding lurus dengan gaya jadi kalo tidak mau hidup banyak tekanan jangan banyak gaya (Anonim) Orang tua adalah pelita dalam hidup, perkataan orang tua adalah jalan menuju sukses dalam hidup. (Zulkifli Sahrin Lasomba) Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah SWT atas berkah dan rahmat melimpah yang terus diberikan, sehingga Skripsi ini dapat diselesaikan. Tak pernah ada niat menyerah dalam proses ini karena bahagia orang tua adalah tujuan. Kupersembahkan karya kecil ini untuk kedua orang tuaku yang selalu berdoa untuk keberhasilanku. Teruntuk ibuku tercinta KIM KARIM Skripsi ini mungkin tak seenak masakanmu, tapi sama-sama dibuat dengan perjuangan, peluh keringat, serta cinta. Skripsi ini akan jadi bukti kecil bahwa putra yang kau kandung selama 9 bulan 10 hari ini juga bisa jadi kebanggaanmu. Teruntuk ayahku tercinta SAHRIN HASAN LASOMBA Konsul dan revisiku mungkin tak seberat perjuanganmu mencari nafkah, tapi sama-sama dibuat dengan harapan akan menjadi modal untuk suksesku nanti. Skripsi ini menjadi bukti kecil bahwa jagoanmu bisa menaklukkan salah satu tantangan hidupnya demi menjadi dewasa dan menjadi ayah yang hebat sepertimu Dan tuntuk kedua orang tuaku tercinta Terima kasih untuk setiap motivasi, cinta serta pengertian yang kau berikan pada anakmu ini. Walaupun ucapan terima kasih tidak dapat membalas semua pengorbanan yang kalian berikan, tapi sekali lagi terima kasih, terima kasih, dan terima kasih

ALMAMATERKU TERCINTA TEMPATKU MENIMBA ILMU PENGETAHUAN DAN PENGALAMAN UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO 2018

iv

ABSTRAK Zulkifli Sahrin Lasomba. 2018. Pengaruh Jenis Cairan Infus Terhadap Kejadian Phlebitis di RSUD Dr. M.M. Dunda Limboto. Skripsi, Progam Studi Sarjana Keperawatan, Fakultas Olahraga dan Kesehatan, Universitas Negeri Gorontalo. Pembimbing I dr. Nanang Roswita Paramata, M.Kes dan Pembimbing II Ns. Ibrahim Suleman, S.Kep, M.Kep. Pemasangan infus merupakan tindakan keperawatan yang bertujuan untuk pemberian hidrasi intravena atau makanan. Pada terapi intravena digunakan berbagai cairan infus dengan tingkat osmolaritas yang berbeda-beda, semakin tinggi osmolaritas suatu cairan dapat meningkatkan kemungkinan komplikasi dari pemasangan infus, salah satunya adalah phlebitis. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan antara skala phlebitis pada pemasangan infus dengan menggunakan jenis cairan hipertonik dan cairan isotonik di RSUD Dr. M. M. Dunda Limboto. Jenis penelitian ini adalah observasional analitik dengan pendekatan cross sectional study. Populasi penelitian adalah pasien yang terpasang infus dengan teknik accidental sampling sebanyak 30 responden. Analisa data dilakukan dengan menggunakan uji Mann-Withney. Hasil Penelitian menunjukkan terdapat perbedaan yang bermakna antara skala phlebitis pada kelompok pasien pengguna cairan infus hipertonik dan cairan infus isotonik sebagai terapi intravena di RSUD Dr. M.M. Dunda Limboto dengan nilai probabilitas sebesar 0.001 (p < 0.05). Kesimpulan dari penelitian ini adalah 86.7% dengan infus hipertonik yang mengalami phlebitis, sedangkan nilai VIP Score tertinggi skala 3. Dan 33.3% dengan infus isotonik yang mengalami phlebitis. Sedangkan skala tertinggi pada penilaian VIP Score adalah phlebitis skala 2. Diharapkan hasil penelitian ini dapat meningkatkan kesadaran dalam pencegahan phlebitis sehingga dapat meminimalisir phlebitis dan menurunkan derajat phlebitis yang terjadi.

Kata Kunci : Jenis Cairan Infus, Kejadian Phlebitis

viii

KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pengaruh Jenis Cairan Infus Terhadap Kejadian Phlebitis di RSUD Dr. M.M. Dunda Limboto”. Penulisan skripsi ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai gelar Sarjana Keperawatan di Universitas Negeri Gorontalo. Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini banyak dihadapkan dengan berbagai hambatan, Alhamdulillah berkat rahmat dan petunjuk serta izin dari Allah SWT, juga berkat kemauan serta kesungguhan hati, skripsi ini dapat terselesaikan. Oleh sebab itu, penulis ingin menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan baik secara langsung maupun tidak langsung. Penulis menyampaikan terima kasih dengan rasa hormat dan tulus ikhlas kepada dr. Nanang Roswita Paramata sebagai Pembimbing I dan Ns. Ibrahim Suleman, S.Kep., M.Kep selaku pembimbing II yang telah meluangkan waktu, tenaga, pikiran dan kasih sayang untuk memberikan bimbingan, koreksi, saran dan motivasi. Ucapan terima kasih juga penulis tujukan kepada : 1.

Prof. Dr. H. Syamsu Qamar Badu, M.Pd selaku Rektor Universitas Negeri Gorontalo (UNG), terima kasih atas fasilitas yang telah diberikan selama kulah di Univeritas Negeri Gorontalo

2.

Prof. Dr. Ir. Mahludin H. Baruwadi, M.Pd selaku wakil rektor I, Bapak Supardi Nani, SE, M.Si selaku Wakil Rektor II, Dr. Fence M. Wantu, SH, MH selaku wakil

vii

rektor III, dan Prof. Dr. Hasanudin Fatsah, M.Hum selaku wakil rektor IV Universitas Negeri Gorontalo 3.

Dr. Hj. Linjte Boekoesoe, M.Kes selaku Dekan Fakultas Olahraga dan Kesehatan, Wakil dekan I Risna Podungge, S.Pd, M.Pd, Wakil Dekan II dr. Zuhriana K. Yusuf, M.Kes, Wakil Dekan III Ruslan, S.Pd, M.Pd, dan seluruh staf tata usaha, terima kasih telah memberikan bantuan selama penulis menempuh pendidikan di Fakultas Olahraga dan Kesehatan Universitas Negeri Gorontalo

4.

dr. Nanang Roswita Paramata, M.Kes, selaku Ketua Jurusan Keperawatan sekaligus pembimbing akademik, Ns. Rhein Djunaid, S.Kep M.Kes, selaku Sekretaris Jurusan Keperawatan dan seluruh staff Dosen Keperawatan, terima kasih telah memberikan ilmunya dan segala waktunya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

5.

Dr. Hj. Linjte Boekoesoe, M.Kes dan Ns. Ita Sulistiani Basir, S.Kep., M.Kep selaku dosen penguji, terima kasih atas kesediaan dan keikhlasannya meluangkan waktu untuk menguji, membimbing, mengarahkan, dan memberikan motivasi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

6.

Kepala KESBANGPOL Provinsi Gorontalo, Direktur Utama RSUD Dr. M.M Dunda Limboto bersama staff, terima kasih atas segala fasilitas, bantuan dan kerjasamanya selama penulis melakukan penelitian.

7.

Ns. Mohammad Tamam, S.Kep, untuk setiap bantuan dan solusi dalam permasalahan penelitian.

viii

8.

Saudara penulis Najma Widya Lasomba, yang sudah sangat membantu bukan hanya dalam menyelesaikan skripsi tapi juga dalam hidup.

9.

Sahabat terbaik selama ini, Eka Pratiwi Puluhulawa yang selalu menemani, memotivasi, membantu dan berbagi suka dan duka selama dalam pendidikan.

10. Seluruh teman-teman Cardio A, keluarga di kampus yang jadi teman berbagi tawa yang bisa jadi pelepas stress dan menambah stress. 11. Keluarga besar angkatan Cardio 2014 yang bersama-sama melewati perkuliahan di keperawatan UNG. 12. Semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu yang telah membantu penulis baik secara langsung maupun tidak langsung dalam penyusunan skripsi ini. Semoga Allah SWT memberikan balasan kebaikan dunia dan akhirat, atas segala bantuan yang telah diberikan kepada penulis. Dalam penulisan skripsi ini, penulis menyadari sepenuhnya bahwasanya masih banyak kekurangan-kekurangan dan masih jauh dari kesempurnaan, maka penulis mengharapkan adanya kritik dan saran yang bersifat membangun dari semua pihak. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang keperawatan dan dunia kesehatan pada umumnya. Gorontalo,

Juli 2018

Penulis

ix

DAFTAR ISI HALAMAN SAMPUL ...................................................................................... i LOGO UNG ....................................................................................................... ii HALAMAN JUDUL.......................................................................................... iii HALAMAN PERNYATAAN ........................................................................... iv PERSETUJUAN PEMBIMBING...................................................................... v LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................... vi MOTO DAN PERSEMBAHAN ....................................................................... vii LEMBAR ABSTRAK ....................................................................................... viii ABSTRACT ....................................................................................................... ix KATA PENGANTAR ....................................................................................... x DAFTAR ISI ...................................................................................................... xiii DAFTAR TABEL .............................................................................................. xvi DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... xvii DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... xviii BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................... 1 1.1. Latar Belakang ......................................................................................... 1 1.2. Identifikasi Masalah ................................................................................. 4 1.3. Rumusan Masalah .................................................................................... 5 1.4. Tujuan Penelitian ..................................................................................... 5 1.4.1. Tujuan Umum ................................................................................. 5 1.4.2. Tujuan Khusus ................................................................................ 5 1.5. Manfaat Penelitian ................................................................................... 6 1.5.1. Manfaat Teoritis .............................................................................. 6 1.5.2. Manfaat Praktis ............................................................................... 6 BAB II KAJIAN TEORITIS DAN HIPOTESIS .................................................. 7 2.1. Kajian Teoritis.......................................................................................... 7 2.1.1. Pemasangan Infus (Terapi Intravena) ............................................. 7 2.1.2. Phlebitis ........................................................................................... 10 2.1.3. Cairan Infus .................................................................................... 15 2.2. Kajian Penelitian yang Relevan ............................................................... 22

xiii

2.3. Kerangka Berpikir .................................................................................... 25 2.3.1. Kerangka Teori ............................................................................... 25 2.3.2. Kerangka Konsep ............................................................................ 26 2.4. Hipotesis Penelitian.................................................................................. 26 BAB III METODE PENELITIAN ....................................................................... 27 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian.................................................................... 27 3.2. Desain Penelitian ...................................................................................... 27 3.3. Variabel Penelitian ................................................................................... 27 3.3.1. Variabel Independen ....................................................................... 27 3.3.2. Variabel Dependen .......................................................................... 27 3.3.3. Definisi Operasional........................................................................ 28 3.4. Populasi dan Sampel ................................................................................ 30 3.4.1 Populasi ........................................................................................... 30 3.4.2 Sampel .............................................................................................. 30 3.5.Teknik Pengumpulan Data ........................................................................ 30 3.5.1. Data Primer ..................................................................................... 30 3.5.2. Data Sekunder ................................................................................. 30 3.6. Teknik Analisis Data ................................................................................ 31 3.6.1. Pengolahan Data ............................................................................. 31 3.6.2. Teknik Analisis ............................................................................... 32 3.7. Hipotesis Statistik .................................................................................... 32 3.8. Etika Penelitian ........................................................................................ 33 3.9. Alur Penelitian ......................................................................................... 35 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN .............................................................. 36 4.1. Hasil Penelitian ........................................................................................ 36 4.1.1. Gambaran Lokasi Penelitian........................................................... 36 4.1.2. Karakteristik Responden ................................................................ 37 4.1.3. Analisis Univariat ........................................................................... 41 4.1.4. Analisis Bivariat ............................................................................. 44 4.2. Pembahasan.............................................................................................. 44 4.2.1. Skala Phlebitis Pada Penggunaan Jenis Cairan Infus Hipertonik .. 44

xiv

4.2.2. Skala Phlebitis Pada Penggunaan Jenis Cairan Infus Isotonik ...... 48 4.2.3. Perbedaan Antara Skala Phlebitis Pada Pemasangan Infus Dengan Menggunakan Jenis Cairan Hipertonik dan Cairan Isotonik. ......................................................................................... 51 4.3. Keterbatasan Penelitian ............................................................................ 53 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................ 54 5.1. Kesimpulan .............................................................................................. 54 5.2. Saran ........................................................................................................ 54 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 56 LAMPIRAN .......................................................................................................... 59

xv

DAFTAR TABEL Tabel 2.1 VIP (Visual Infusion Phlebitis) Score oleh Andrew Jakson ............14 Tabel 2.2 Cairan infus kristaloid yang biasa digunakan ..................................17 Tabel 2.3 Larutan koloid yang umum digunakan.............................................20 Tabel 3.1 Definisi Operasional .........................................................................28 Tabel 4.1 Kategori Usia Menurut Depkes RI (2009) Pengguna Cairan Hipertonik.........................................................................................37 Tabel 4.2 Kategori Usia Menurut Depkes RI (2009) Pengguna Cairan Isotonik .............................................................................................38 Tabel 4.3 Distribusi data jenis kelamin responden ..........................................39 Tabel 4.4 Distribusi data ruang perawatan responden .....................................39 Tabel 4.5 Distribusi data lama terpasang infus ................................................40 Tabel 4.6 Distribusi data riwayat penggantian infus responden ......................40 Tabel 4.7 Distribusi skala phlebitis masing-masing responden hipertonik ......41 Tabel 4.8

Distribusi data skala phlebitis pada penggunaan jenis cairan infus hipertonik .........................................................................................42

Tabel 4.9 Distribusi skala phlebitis masing-masing responden isotonik .........43 Tabel 4.10 Distribusi data skala phlebitis pada penggunaan jenis cairan infus isotonik .............................................................................................43 Tabel 4.11 Tabel distribusi hasil uji Mann-Withney skala phlebitis pada penggunaan jenis cairan infus hipertonik dan isotonik ....................44

xiii

DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1 Kerangka Teoritis ............................................................................25 Gambar 2.2 Kerangka Konsep ............................................................................26 Gambar 3.1 Alur Penelitian.................................................................................35

xiv

DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1 Instrumen Penelitian .......................................................................59 Lampiran 2 Dokumentasi Penelitian ..................................................................62 Lampiran 3 Master Table ...................................................................................63 Lampiran 4 Output SPSS ...................................................................................64

xviii

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah Pemasangan infus merupakan tindakan keperawatan yang bertujuan untuk pemberian hidrasi intravena atau makanan dan administrasi. Pada pasien dengan masalah sirkulasi salah satu tindakan yang sering dilakukan untuk menangani masalah tersebut adalah dengan terapi intravena (Dougherty, 2008). Terapi intravena harus diregulasi secara berkelanjutan karena perubahan yang terjadi pada keseimbangan cairan dan elektrolit yang dibutuhkan pasien, namun dengan terpasangnya infus yang terus menerus dan dalam jangka waktu tertentu tentunya akan meningkatkan kemungkinan komplikasi dari pemasangan infus, salah satunya adalah phlebitis (Potter & Perry, 2010). Phlebitis merupakan inflamasi vena yang ditandai dengan adanya daerah yang merah, nyeri dan pembengkakan di daerah penusukan atau sepanjang vena yang disebabkan oleh iritasi kimia maupun mekanik seperti komplikasi cairan atau obat yang diinfuskan (terutama pH dan tonisitasnya), ukuran dan lokasi kanula dimasukkan. Pemasangan

jalur

IV

yang tidak

sesuai,

dan

masuknya

mikroorganisme pada saat penusukan, serta lama pemasangan jalur intravena dapat meningkatkan resiko phlebitis (Smeltzer, 2013). Menurut WHO pada tahun 2013 angka kejadian phlebitis di negara maju seperti Amerika, terdapat 8% orang mengalami phlebitis per tahun. Sedangkan hasil survey lainya, sebanyak 10.0% orang mengalami phlebitis terjadi di negara Asia Tengga dengan Malaysia yang mendapatkan angka kejadian phlebitis dengan persetase 12.7%.

1

Perbandingan jumlah kejadian phlebitis dengan jumlah pasien yang mendapat terapi infus merupakan salah satu indikator mutu asuhan keperawatan dimana lebih dari 80% pasien rawat akut mendapatkan terapi intravena sebagai bagian rutin dari perawatan rumah sakit (Depkes, 2013). Menurut Departemen Kesehatan RI, pada tahun 2013 angka kejadian phlebitis di Indonesia sejumlah 50,11 % untuk Rumah Sakit Pemerintah . Sedangkan untuk Rumah Sakit Swasta sebesar 32,70 %, hal ini masing sangat tinggi dibandingan standar kejadian phlebitis yaitu dari total pasien yang dirawat hanya 1,5% yang mengalami phlebitis (Depkes, 2013). Berdasarkan data yang didapatkan melalui Tim Infection Prevention Control Nurse (IPCN) RSUD Dr. M.M. Dunda Limboto, Selama tahun 2017 terdapat 1.138 kejadian phlebitis dimana pada triwulan pertama terjadi 431 insiden phlebitis dan ditemukan 256 kejadian phlebitis pada triwulan kedua. Memasuki periode triwulan ke 3 angka kejadian phlebitis didapatkan sebanyak 249 insiden, sedangkan pada triwulan keempat tahun 2017 terdapat 202 kasus phlebitis yang dilaporkan oleh tim IPCN. Data data diatas menunjukkan angka kejadian phlebitis yang terjadi di RSUD Dr. M.M. Dunda Limboto masih sangat tinggi. Dari hasil wawancara yang dilakukan dengan kepala ruangan, jenis cairan yang meningkatkan resiko phlebitis adalah cairan infus dengan jenis kristaloid, khusunya pada pemberian cairan dengan tingkat osmolaritas yang tinggi (Hipertonik). Tingginya angka kejadian phlebitis dapat disebabkan oleh beberapa faktor yakni diantaranya adalah faktor kimia dan mekanis. Phlebitis kimia disebabkan oleh cairan atau obat-obatan yang digunakan melalui kanula. Faktor

2

utama terjadinya phlebitis kimia adalah pH dan osmolaritas (tingkat konsentrasi cairan/obat). pH darah normal terletak antara 7,35 – 7,45 dan cenderung basa. pH cairan yang diperlukan dalam pemberian terapi adalah 7 yang berarti adalah netral. Jadi apabila obat atau cairan infus yang mempunyai kadar diluar dari rentang nilai di atas sangat berpotensi merusak tunica intima dari pembuluh darah yang meningkatkan resiko terjadiya phlebitis (Beverly, 2017). Selain faktor jenis cairan phlebitis juga bisa disebabkan faktor mekanis karena iritasi pembuluh darah, yang bisa datang dari ukuran kateter yang tidak sesuai yakni kateter yang terlalu besar untuk pembuluh darah yang kecil, gerakan kateter, trauma saat insersi, atau faktor bahan dan tingkat kekakuan kateter. (Lisa Gorski, 2016). Faktor-faktor tersebut didukung oleh penelitian Neneng Fitria Ningsih pada tahun 2014 dengan judul hubungan terapi cairan intravena terhadap kejadian phlebitis di irna bedah RSUD Selasih Kabupaten Pelalawan. Mendapatkan hasil sebagian besar responden yang mendapatkan terapi cairan intravena berjenis hipertonis mengalami kejadian phlebitis. Kejadian phlebitis dapat berdampak bagi pasien menimbulkan dampak yang nyata yaitu ketidaknyamanan pasien, pergantian kateter baru, menambah lama perawatan, dan akan menambah biaya perawatan di rumah sakit. Bagi mutu pelayanan rumah sakit akan menyebabkan izin operasional sebuah rumah sakit dicabut dikarenakan tingginya angka kejadian infeksi phlebitis, beban kerja atau tugas bertambah bagi tenaga kesehatan, dapat menimbulkan terjadinya tuntutan (malpraktek), menurunkan citra dan kualitas pelayanan rumah sakit (Darmadi, 2008). Selain dampak kerugian yang terurai diatas, bahaya serius phlebitis adalah

3

komplikasi lebih lanjut yang timbul akibat terbentuknya trombus yang selanjutnya menjadi trombophlebitis. Trombophlebitis adalah peradangan dinding vena dan biasanya disertai pembentukan bekuan darah. Bekuan darah ini bersifat jinak namun jika terlepas kemudian mengalir dalam darah dan masuk ke jantung maka dapat menimbulkan gumpalan darah yang bisa menjadi penyebab tersumbatnya atrioventikular jantung dan secara mendadak dapat menimbulkan kematian (Smeltzer, 2013). Berdasarkan uraian diatas maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai “Pengaruh jenis cairan infus di RSUD Dr. M. M. Dunda Limboto” 1.2.Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya maka dapat diidentifikasi masalah sebagai berikut: 1. Tingginya angka kejadian phlebitis di negara maju dengan prevalensi 8% per tahun, dan 10% di negara Asia Tenggara. 2. Masih tingginya angka kejadian phlebitis di Indonesia dengan prevalensi 50,11 % untuk Rumah Sakit Pemerintah sedangkan untuk Rumah Sakit Swasta sebesar 32,70 %, 3. Masih tingginya angka kejadian phlebitis di RSUD Dr. M.M. Dunda Limboto yakni sebanyak 1.138 angka kejadian phlebitis melalui laporan yang diterima oleh tim IPCN rumah sakit. dimana pada triwulan pertama terjadi 431 insiden phlebitis dan ditemukan 256 kejadian phlebitis pada triwulan kedua. Memasuki periode triwulan ke 3 angka kejadian phlebitis didapatkan sebanyak 249

4

insiden, sedangkan pada triwulan keempat tahun 2017 terdapat 202 kasus phlebitis. 4. Tingginya resiko terjadinya phlebitis dapat disebabkan jenis cairan dengan tonisitas tinggi yang merupakan hipertonik. 1.3.Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas dapat diambil rumusan masalah yakni “Apakah terdapat perbedaan antara skala phlebitis pada pemasangan infus dengan menggunakan jenis cairan hipertonik dan cairan isotonik di RSUD Dr. M. M. Dunda Limboto?” 1.4.Tujuan Penelitian 1.4.1. Tujuan Umum Untuk mengetahui perbedaan antara skala phlebitis pada pemasangan infus dengan menggunakan jenis cairan hipertonik dan cairan isotonik di RSUD Dr. M. M. Dunda Limboto. 1.4.2. Tujuan Khusus a. Untuk mengetahui skala phlebitis pada pemasangan infus dengan menggunakan jenis cairan hipertonik di RSUD Dr. M. M. Dunda Limboto. b. Untuk mengetahui skala phlebitis pada pemasangan infus dengan menggunakan jenis cairan isotonik di RSUD Dr. M. M. Dunda Limboto. c. Untuk menganalisis perbedaan antara skala phlebitis pada pemasangan infus dengan menggunakan jenis cairan hipertonik dan cairan isotonik di RSUD Dr. M. M. Dunda Limboto.

5

1.5.Manfaat Penelitian 1.5.2

Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara teoritis

khususnya tambahan ilmu bagi dunia kesehatan khususnya pada upaya menurunkan angka kejadian phlebitis serta mencegahnya. 1.5.2

Manfaat Praktis

1. Bagi Institusi 1) Menambah referensi baru tentang pengaruh jenis cairan infus di RSUD Dr. M. M. Dunda Limboto. 2) Dapat menjadi referensi untuk penelitian selanjutnya tentang pengaruh jenis cairan infus di RSUD Dr. M. M. Dunda Limboto. 2. Bagi Pelayanan Kesehatan 1) Dapat menambah referensi pelayanan kesehatan tentang pengaruh jenis cairan infus di RSUD Dr. M. M. Dunda Limboto. 2) Dapat memberikan referensi dalam peningkatan mutu pelayanan kesehatan, khususnya di bidang keperawatan dalam menurunkan serta mencegah kejadian phlebitis. 3. Bagi Peneliti Selanjutnya Dapat menjadi bahan referensi untuk meneliti lebih lanjut tentang pengaruh jenis cairan infus terhadap kejadian plebitis di RSUD Dr. M. M. Dunda Limboto.

6

BAB II KAJIAN TEORITIS DAN HIPOTESIS 2.1. Kajian Teoritis 2.1.1. Pemasangan Infus (Terapi Intravena) A. Pengertian Terapi intravena adalah tindakan memasukkan cairan, elektrolit, obat intravena dan nutrisi kedalam tubuh melalui pembuluh darah vena. Untuk memberikan suplai cairn dalam tubuh melalui intravaskuler, terapi ini merupakan metode paling efektif dan efisien. Pemasangan infus diberikan atas dasar instruksi dari dokter dan perawat bertanggung jawab dalam pemeliharaan terapi tersebut (Potter & Perry, 2010) Terapi intravena adalah tindakan untuk menyediakan akses dengan tujuan pemberian hidrasi intravena atau makanan dan administrasi pengobatan. Terapi ini menggunakan kanula yang biasanya dimasukkan untuk terapi jangka pendek maupun untuk injeksi bolus atau infus singkat dalam perawatan di rumah ataupun di unit rawat jalan (Dougherty, 2008). Terapi intravena adalah terapi yang bertujuan untuk mensuplai cairan melalui vena ketika pasien tidak mampu mendapatkan makanan, cairan elektrolit lewat mulut, untuk menyediakan kebutuhan garam untuk menjaga kebutuhan cairan, untuk menyediakan kebutuhan gula (glukosa/dekstrosa) sebagai bahan bakar untuk metabolisme, dan untuk menyediakan beberapa jenis vitamin yang mudah larut melalui intravena serta untuk memberikan medium untuk pemberian obat secara intravena (Aryani, et al., 2009).

7

Berdasarkan beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa terapi intravena atau pemasangan infus merupakan tindakan infasif yang bertujuan mensuplai cairan, obat maupun pemenuhan nutrisi melalui pembuluh darah vena dengan menggunakan infus set. B. Tujuan Pemberian

terapi

intravena

dilakukan

dengan

tujuan

untuk

memperbaiki atau mencegah ketidakseimbangan cairan dan elektrolit, terapi ini umumnya diberikan pada klien sakit kronis. Selain itu pemasangan infus juga deiberikan untuk pengobatan melalui intravena (Setiawan, 2014). C. Komplikasi Beberapa komplikasi yang dapat terjadi dalam pemasangan infus menurut Priska (2009): 1) Hematoma, yakni darah mengumpul dalam jaringan tubuh akibat pecahnya pembuluh darah arteri vena, atau kapiler, terjadi akibat penekanan yang kurang tepat saat memasukkan jarum, atau “tusukan” berulang pada pembuluh darah. 2) Infiltrasi, yakni masuknya cairan infus ke dalam jaringan sekitar (bukan pembuluh darah), terjadi akibat ujung jarum infus melewati pembuluh darah. 3) Phlebitis, atau bengkak (inflamasi) pada pembuluh vena, terjadi akibat infus yang dipasang tidak dipantau secara ketat dan benar.

8

D. SOP Pemasangan infus Tindakan untuk mengatasi gangguan atau masalah kebutuhan cairan dan elektrolit adalah pemasangan infus, berikut merupakan standar operasional prosedur pada pemasangan infus menurut Sujono & Harmoko (2016): I. Alat dan Bahan 1. Standar infus. 2. Perangkat infus (infus set). 3. Cairan sesuai dengan kebutuhan pasien. 4. Jarum infus / abbocath atau sejenisnya sesuai dengan ukuran. 5. Pengalas. 6. Torniquet / pembendung. 7. Kapas alcohol 70%. 8. Plester. 9. Gunting. II. Prosedur Kerja 1. Cuci tangan. 2. Jelaskan prosedur yang akan dilakukan 3. Hubungkan cairan dengan infus set dengan memasukkan ke dalam botol infus (cairan) 4. Isi cairan ke dalam infuse set dengan menekan bagian ruang tetesan hingga ruangan tetesan terisi sebagian dan buka penutup hingga selang terisi dan keluar udaranya 5. Letakkan pengalas

9

6. Lakukan pembendungan dengan torniquet 7. Gunakan sarung tangan 8. Desinfeksi daerah yang akan ditusuk 9. Lakukan penusukan dengan arah jarum ke atas 10. Cek apakah sudah mengenai vena. 11. Keluarkan jarum infus sehingga yang tertinggal dalam vena hanya jarum yang terbuat dari plastik 12. Hubungkan dengan selang infus dan buka tetesan. Lakukan desinfeksi dengan betadine dan tutup dengan kasa steril. 13. Berikan tanggal, jam pelaksanaan infus pada plester 14. Catat respon yang terjadi 15. Cuci tangan. 2.1.2. Phlebitis A. Pengertian Phlebitis merupakan inflamasi vena yang ditandai dengan adanya daerah yang merah, nyeri dan pembengkakan di daerah penusukan atau sepanjang vena yang disebabkan oleh iritasi kimia maupun mekanik. Komplikasi cairan atau obat yang diinfuskan (terutama pH dan tonisitasnya), ukuran dan tempat kanula dimasukkan. Pemasangan jalur IV yang tidak sesuai, dan masuknya mikroorganisme pada saat penusukan, serta lama pemasangan jalur intravena dapat meningkatkan resiko phlebitis (Smeltzer, 2013). Menurut Journal of Human Science phlebitis, yang didefinisikan sebagai radang tunika Intima, yang harus diperhatikan adalah komplikasi

10

terkait dengan kateter intravena periferal dan, terjadi antara 0,1% dan 63,3% pasien dengan kateter intravena perifer (Dilek, Ismet, & Ayse, 2016). Phlebitis merupakan suatu peradangan pada pembuluh darah (vena) yang dapat terjadi karena adanya injury misalnya oleh faktor kerusakan pada endotelium dinding pembuluh darah khususnya vena yang sering disebabkan oleh komplikasi dari terapi intravena berupa iritasi kimia maupun mekanik (Engram, 2011). Berdasarkan beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan phlebitis adalah inflamasi akibat injury kimia maupun mekanik yang terjadi pada tunika intima vena sehingga menimbulkan respon kemerahan, nyeri dan bengkak pada daerah insersi kateter maupun sepanjang vena. B. Manifestasi Klinis dan Klasifikasi Tanda dan gejala Phlebitis termasuk nyeri/nyeri tekan, eritema, kehangatan, pembengkakan, indurasi, purulensi, atau vena cord teraba. Menurut etiologinya phlebitis diklasifikasikan menjadi 4 yakni kimia, mekanis, bakterial, dan post-infus (Gorski, Hadaway, Hagle, Orr, & Doellman, 2016). a) Phlebitis kimia Phlebitis kimia disebabkan oleh cairan atau obat-obatan yang digunakan melalui kanula. Faktor utama terjadinya phlebitis kimia adalah pH dan osmolaritas (tingkat konsentrasi cairan/obat). pH darah normal terletak antara 7,35 – 7,45 dan cenderung basa. pH cairan yang diperlukan dalam pemberian terapi adalah 7 yang berarti adalah netral. Jadi apabila obat atau cairan infus yang mempunyai kadar diluar dari rentang nilai di atas sangat

11

berpotensi merusak tunika intima dari pembuluh darah yang meningkatkan resiko terjadiya phlebitis (Beverly, 2017). Contoh jenis cairan infus yang dimaksud adalah dekstrosa >10%. Ada kalanya suatu larutan diperlukan konsentrasi yang lebih asam untuk mencegah terjadinya karamelisasi dekstrosa dalam proses sterilisasi autoclaf, jadi larutan yang mengandung glukosa, asam amino, dan lipid yang biasa digunakan dalam nutrisi parenteral lebih bersifat flebitogenik. Larutan sering dikategorikan sebagai larutan isotonik, hipotonik atau hipertonik, sesuai dengan osmolalitas total larutan tersebut dibanding dengan osmolalitas plasma. Larutan isotonik adalah larutan yang memiliki osmolalitas total sebesar 280 – 310 mOsm/L seperti natrium klorida 0.9%, larutan yang memliki osmolalitas lebih rendah dibandikan cairan tubuh disebut hipotonik seperti setengah salin normal (natrium klorida 0.45%), sedangkan yang melebihi tingkat osmolaritas cairan tubuh disebut larutan hipertonik adalah cairan yang bisa meningkatkan resiko phlebitis seperti natrium klorida 3% (Kozier, ERB, Berman, & Snyder, 2016). Tonisitas suatu larutan tidak hanya berpengaruh terhadap status fisik klien akan tetapi juga berpengaruh terhadap tunika intima pembuluh darah. Dinding tunika intima akan mengalami trauma pada pemberian larutan apa bila larutan tersebut memiliki osmolaritas tinggi (> 900mOsm / L). Obat tertentu (tergantung pada dosis dan lama infus), seperti potassium klorida, amiodaron, dan beberapa antibiotik; partikulat dalam infus; kateter yang terlalu besar untuk pembuluh darah dengan hemodilusi yang tidak adekuat;

12

dan larutan antiseptik kulit yang tidak sepenuhnya kering dan masuk ke dalam vena selama insersi kateter (Gorski, Hadaway, Hagle, Orr, & Doellman, 2016). b) Phlebitis Mekanis Phlebitis mekanis biasa terjadi karena insersi kanula yang dilakukan oleh tenaga yang kurang ahli atau lokasi penusukan yang dekat dengan persendian, kanula yang tidak diamankan dengan baik maupun manipulasi kanula yang dilakukan saat pemasukan obat maupun cairan lain (Beverly, 2017). Phlebitis mekanis juga dapat disebabkan oleh iritasi pembuluh darah, yang bisa datang dari kateter yang terlalu besar untuk pembuluh darah yang kecil, gerakan kateter, trauma saat insersi, atau faktor bahan dan tingkat kekakuan kateter (Gorski, Hadaway, Hagle, Orr, & Doellman, 2016). c) Phlebitis Bakterial Bakterial phlebitis berhubungan dengan insersi kateter secara darurat yang memungkinkan kurangnya tindakan aseptik (Gorski, Hadaway, Hagle, Orr, & Doellman, 2016). Sehingga bakteri memasuki vena dan menyebabkan inflamasi.

Baik phlebitis kimia maupun mekanik dapat menghasilkan

jaringan-jaringan rusak akibat inflamasi, yang dapat menjadi media perkembangbiakan mikro organisme. Begitu bakteri kontak dengan perangkat infus, mereka mengeluarkannya zat seperti lem yang menyebabkan bakteri menempel. Lapisan zat licin ini disebut biofilm. Antibiotik dan sel darah putih tidak bisa menembus lapisan ini untuk membunuh bakteri.

13

Flushing bisa menyebabkan biofilm putus dan masuk ke aliran darah pasien, dengan risiko yang terkait dari bakteriemia (Beverly, 2017). d) Phlebitis Post Infus Meski jarang terjadi, terjadi setelah infus dilepas setelah 48 jam karena salah satu faktor di atas (Gorski, Hadaway, Hagle, Orr, & Doellman, 2016). Hal ini jarang terjadi karena phlebitis dengan skala terrendah akan sembuh setelah kanula dilepaskan. Dalam beberapa kasus jenis phlebitis ini juga bisa terjadi setelah 96 jam post infus. Hal-hal yang dapat dilakukan untuk mengurangi resiko post infus phlebitis adalah: 1. Mengganti infus yang terpasang kurang dari 24-48 jam 2. Mengobservasi lokasi bekas penusukan kanula selama kurang lebih 48 jam post infus. 3. Mengajarkan pasien tentang tanda dan gejala phlebitis (Beverly, 2017). C. Skala Penilaiaan Phlebitis Tabel 2.1. VIP (Visual Infusion ) Score oleh Andrew Jakson SKOR

KEADAAN AREA PENUSUKAN

PENILAIAN

0

Tempat suntikan tampak sehat

Tak ada tanda phlebitis

1

Salah satu dari berikut jelas a. Nyeri area penusukan b. Adanya eritema di area penusukan

2

Dua dari berikut jelas ; a. Nyeri area penusukan b. Eritema c. pembengkakan

Stadium dini phlebitis

3

Semua dari berikut jelas ; a. nyeri sepanjang kanul b. eritema c. indurasi

Stadium moderat phlebitis

Mungkin tanda dini phlebitis

14

Lanjutan tabel 2.1 SKOR KEADAAN AREA PENUSUKAN

PENILAIAN

4

Semua dari berikut jelas ; a. nyeri sepanjang kanul b. eritema c. indurasi d. venous chord teraba

Stadium lanjut atau awal thrombophlebitis

5

Semua dari berikut jelas ; a. nyeri sepanjang kanul b. eritema c. indurasi d. venous chord teraba e. demam

Stadium lanjut thrombophlebitis

Sumber: (Gorski, Hadaway, Hagle, Orr, & Doellman, 2016) 2.1.3. Cairan Infus A. Pengertian Menurut Kamus saku kedokteran, keperawatan & kesehatan Mosby. Cairan infus terdiri dari 2 kata cairan/fluida yang berarti zat, seperti cairan atau gas, yang mampu mengalir dan menyesuaikan bentuknya dengan wadah karena terdiri dari molekul yang mampu mengubah posisi dengan harga satu sama lain tanpa memisahkan dari massa total. Dan infus yang berarti tindakan memasukkan (larutan) ke dalam tubuh melalui pembuluh darah untuk tujuan terapeutik. Jadi dapat disimpulkan bahwa cairan infus adalah suatu substansi atau zat yang dialirkan masuk ke dalam tubuh melalui pembuluh darah untuk suatu tujuan terapi (Hartanto, 2008). B. Jenis dan klasifikasi Cairan infus dibedakan menjadi 3 jenis yakni krisataloid, koloid, darah dan produk darah. Kristaloid adalah air dengan kandungan elektrolit (misalnya natrium, kalium, kalsium, klorida) yang membentuk larutan yang dapat

15

melewati membran semi permeabel sel. Sedangkan koloid mengandung zat terlarut dalam bentuk protein besar atau molekul berukuran serupa lainnya Cairan koloid tidak bisa melewati dinding kapiler dan masuk ke dalam sel. Darah dan produk darah terdiri dari plasma, sel darah merah, sel darah putih, dan platelet (Hills, 2013). a) Cairan kristaloid Cairan kristaloid merupakan larutan elektrolit yang tidak mengandung molekul dengan martikel berukuran besar. cairan ini cukup baik untuk terapi awal kekurangan cairan atau hipovolemia karena lebih banyak tersedia, murah, mudah dipakai dan tidak menyebabkan reaksi alergi atau anafilaksis (Hardisman, 2015). Cairan kristaloid adalah cairan utama yang digunakan untuk terapi IV pra-rumah

sakit.

diklasifikasikan

Kristaloid menurut

terdapat "tonisitas"

dalam

berbagai

mereka.

sediaan

tonisitas

dan

kristaloid

menggambarkan konsentrasi elektrolit (zat terlarut) dilarutkan dalam air, dibandingkan dengan plasma tubuh (cairan di sekitar sel). Berikut merupakan klasifikasi cairan kristaloid menurut Wilson, Shannon, & Shields, (2010): a. Isotonik Kristaloid isotonik memiliki tonisitas yang sama dengan plasma tubuh. Bila diberikan kepada pasien yang terhidrasi normal, kristaloid isotonik tidak menyebabkan pergeseran air yang signifikan antara pembuluh darah dan sel. Dengan demikian, tidak ada osmosis (atau minimal) yang terjadi.

16

b. Hipertonik Kristaloid hipertonik memiliki tonisitas yang lebih tinggi daripada plasma tubuh. Pemberian kristaloid hipertonik menyebabkan air bergeser dari ruang ekstravaskular ke dalam aliran darah, meningkatkan volume intravaskular. Pergeseran osmotik ini terjadi saat tubuh mencoba untuk mencairkan konsentrasi elektrolit yang lebih tinggi yang terkandung di dalam cairan infus dengan memindahkan air ke ruang intravaskular. c. Hipotonik Kristaloid hipotonik memiliki tonisitas yang lebih rendah dari pada plasma tubuh. Pemberian kristaloid hipotonik menyebabkan air bergeser dari ruang intravaskular ke ruang ekstravaskular, dan akhirnya masuk ke sel jaringan. Karena larutan infus yang diberikan adalah hipotonik, ini menciptakan lingkungan di mana ruang ekstravaskular memiliki konsentrasi elektrolit yang lebih tinggi. Perubahan osmotik menyebabkan tubuh memindahkan air dari ruang intravaskular ke sel dalam upaya untuk mencairkan elektrolit. Tabel 2.2 Cairan infus kristaloid yang biasa digunakan Jenis Cairan

Dekstrosa 5% dalam air

Tipe

Isotonik

Penggunaan

Pertimbangan Keperawatan

1. Gunakan hati-hati pada pasien ginjal dan jantung 1. Kehilangan 2. Dapat menyebabkan cairan kelebihan cairan 2. Dehidrasi 3. Dapat menyebabkan 3. Hypernatraemia hiperglikemia atau diuresis osmotik

17

Lanjutan tabel 2.3 Jenis Tipe Cairan

0.9% Sodium Klorida (Normal Salin-NaCl)

Isotonik

Ringer Laktat (Hartmanns)

Isotonik

0.45% Sodium Klorida (1/2 Normal Salin)

Hipotonik

Dekstrosa 5% dalam ½ Hipertonik Normal Salin

Dekstrosa 5% dalam Hipertonik Normal Salin

Dekstrosa 10% dalam air

Hipertonik

Penggunaan

Pertimbangan Keperawatan

1. Bisa menyebabkan kelebihan cairan 1. Syok 2. Hiponatremia 2. Gunakan dengan hati-hati pada pasien dengan gagal 3. Transfusi darah 4. Resusitasi jantung atau edema 3. Dapat menyebabkan 5. Penolakan hiponatremia, fluida hypernatraemia, 6. Ketoasidosis hiperkloremia atau penipisan diabetes (KAD) kalori 1. Dehidrasi 2. Luka bakar 1. Mengandung potasium, 3. Kehilangan jangan gunakan dengan Cairan penderita gagal ginjal Gastrointestinal 2. Jangan gunakan dengan bagian bawah penyakit hati, tidak bisa 4. Kehilangan memetabolisme laktat darah akut 5. Hipovolemia 1. Gunakan dengan hati-hati 1. Penggantian air 2. Dapat menyebabkan kolaps kardiovaskular atau 2. KAD peningkatan tekanan 3. Hilangnya cairan lambung intrakranial dari nasogastrik 3. Jangan gunakan dengan penyakit hati, trauma atau atau muntah luka bakar 1. Gunakan hanya saat gula 1. KAD stadium darah turun di bawah 250mg lanjut / dl 1. Perlakuan sementara dari shock jika 1. Kontra indikasi untuk pasien ekspander penyakit jantung dan ginjal plasma tidak tersedia 2. Krisis Addison 1. Penggantian air 2. Kondisi dimana 1. Monitor kadar gula dalam beberapa nutrisi darah dengan glukosa diperlukan

Sumber: (Hills, 2013) 18

b) Cairan Koloid Larutan koloid adalah cairan IV yang mengandung zat terlarut dalam bentuk protein besar atau molekul berukuran serupa lainnya. Protein dan molekul sangat besar sehingga tidak bisa melewati dinding kapiler dan masuk ke sel. Dengan demikian, koloid tetap berada dalam pembuluh darah untuk waktu yang lama dan secara signifikan dapat meningkatkan volume intravaskular (volume darah). Protein juga memiliki kemampuan untuk menarik air dari sel ke pembuluh darah. Namun, meski pergerakan air dari sel ke dalam aliran darah bisa bermanfaat dalam jangka pendek, pergerakan terus menerus ke arah ini bisa menyebabkan sel kehilangan terlalu banyak air dan mengalami dehidrasi. Koloid berguna dalam menjaga volume darah, namun penggunaannya di lapangan terbatas. Koloid mahal, memiliki persyaratan penyimpanan yang spesifik, dan memiliki umur simpan yang pendek. Hal ini membuat penggunaannya lebih sesuai di lingkungan rumah sakit. Namun, hal itu penting karena dalam insiden korban jiwa, Tenaga medis gawat darurat mungkin diminta untuk membantu pemberian koloid di rumah sakit, lapangan atau selama pengangkutan pasien yang cedera parah. Larutan koloid yang umum digunakan mencakup fraksi protein plasma, albumin rendah garam, dekstran, dan hetastarch (Wilson, Shannon, & Shields, 2010). Penggunaan cairan koloid dapat memperberat gangguan ginjal yang terjadi bahkan bisa menginduksi terjadinya gagal ginjal akut (acute renal failure: ARF) yang disebut sebagai gagal ginjal akut hipertonik (hypertonic

19

ARF) karena sifat cairan koloid itu sendiri yang merupakan hypertonic fluids (Hardisman, 2015). Tabel 2.3 Larutan koloid yang umum digunakan Koloid

Penggunaan

Pertimbangan Keperawatan

1. Mempertahankan cairan tetap di dalam pembuluh darah 2. Memertahankan volume 3. Sering digunakan untuk mengganti protein dan mengobati syok

1. Dapat menyebabkan anafilaksis (reaksi alergi yang parah dan seringkali cepat progresif yang berpotensi mengancam jiwa) - awasi / Albumin laporkan wheeze, batuk terus(Plasma protein) menerus, sulit bernapas / 4% or 20% ngobrol, tenggorokan sesak, pembengkakan pada bibir, mata, lidah, wajah, kehilangan kesadaran. . 2. Dapat menyebabkan kelebihan cairan dan edema paru 1. Memindahkan cairan 1. Dapat menyebabkan kelebihan ke pembuluh darah cairan dan hipersensitivitas Dkstran 2. Ekspansi vaskular 2. Meningkatnya risiko (Polisakarida) 3. Memperpanjang pendarahan 40 atau 70 respon hemodinamik 3. Kontraindikasi pada gangguan perdarahan, gagal jantung saat diberikan dengan HES kronis dan gagal ginjal 1. Memindahkan cairan 1. Dapat menyebabkan kelebihan ke pembuluh darah cairan dan hipersensitivitas Hetastarch (HES) 2. Ekspansi vaskular 2. Meningkatnya risiko (Starch syntetik) pendarahan 6% atau 10% 3. Kontraindikasi pada gangguan perdarahan, gagal jantung kronis dan gagal ginjal 1. Oliguris diuresis 1. Dapat menyebabkan kelebihan 2. Mengurangi edema cairan Manitol serebral 2. Dapat menyebabkan (Alkohol gula) 3. Menghilangkan racun ketidakseimbangan elektrolit 5% atau 10% 3. Dehidrasi seluler 4. Ekstravasasi dapat menyebabkan nekrosis Sumber: (Hills, 2013)

20

c) Darah dan produk darah Produk darah dan darah (mis., Platelet, sel darah merah yang dikemas, plasma) adalah cairan yang sangat diperlukan. Tidak seperti koloid dan kristaloid, hemoglobin (dalam sel darah merah) membawa oksigen ke sel. Volume intravaskular tidak hanya meningkat, tapi cairan yang diberikan juga bisa mengangkut oksigen ke sel. Bagaimanapun darah adalah komoditas yang berharga dan harus dilestarikan agar berguna bagi orang-orang yang paling membutuhkan. Penggunaannya di lapangan umumnya terbatas pada layanan medis bergerak atau insiden korban massal. Penggunaan universal darah negatif O menjadikannya pilihan ideal untuk administrasi dalam situasi darurat (Wilson, Shannon, & Shields, 2010). Darah dan produk darah terdiri dari plasma, sel darah merah (eritrosit), sel darah putih (leukosit), dan platelet (trombosit). Plasma adalah bagian cair dari darah yang sering digunakan untuk menambahkan volume ke sistem perdarahan setelah banyak kehilangan darah. Kriopresipitat merupakan sumber protein plasma terkonsentrasi dan digunakan untuk mengobati beberapa masalah perdarahan. Eritrosit membawa oksigen dari paru-paru ke bagian tubuh yang lain dan kemudian membawa karbon dioksida kembali ke paru-paru. Kehilangan darah yang parah, baik perdarahan akut atau kehilangan darah kronis, defisit makanan atau masalah eritropoetik sumsum tulang dapat menyebabkan jumlah sel darah merah rendah - yang disebut anemia. Transfusi seluruh darah atau sel darah merah yang dikemas diperlukan untuk mengobati kehilangan darah akut atau

21

anemia. Leukosit membantu melawan infeksi, bakteri dan zat lain yang masuk ke dalam tubuh. Bila jumlah sel darah putih menjadi terlalu rendah, maka disebut Neutropenia. Suntikan G-CSF mungkin diperlukan untuk mengobati Neutropenia. Trombosit membantu darah menggumpal. Transfusi trombosit diberikan saat jumlah trombosit di bawah normal (Hills, 2013). 2.2. Kajian penelitian yang relevan 1. Pada penelitian yang dilakukan oleh Titin Nurhasanah pada tahun 2016 dengan judul Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Terjadinya Phlebitis Di RSUD Ungaran Kabupaten Semarang. Menggunakan desain penelitian survey analitik dengan pendekatan Cohort, yaitu peneliti mempelajari tentang jenis cairan, jenis obat, tempat insersi dan ukuran kateter dengan kejadian phlebitis dengan menggunakan lembar observasi dan pengumpulan data pada waktu yang sama tanpa dilakukan tindak lanjut atau pengulangan pengukuran. Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien rawat inap di RSUD

Ungaran yang terpasang infus. Populasi rata-rata pasien rawat inap yang terpasang infus selama 1 tahun yaitu pada tahun 2015 sebanyak 644 pasien rawat inap. Dengan jumlah sampel yang digunakan dalam penelitian ini yaitu sebagian pasien rawat inap di RSUD Ungaran. Penelitian didapatkan Hasil bahwa dari 86 responden yang mengalami phlebitis sebanyak 41 responden (47.7%). Hasil uji Chi Square didapatkan variabel yang berpengaruh terhadap kejadian phlebitis adalah jenis cairan dengan, dan ukuran kateter. Perbedaan dengan penelitian ini adalah pada penelitian yang dilakukan Titin Nurhasanah bertujuan untuk mengetahui faktor

22

penyebab phlebitis sedangkan pada penelitian ini peneliti ingin menganalisis pengaruh jenis cairan infus terhadap kejadian phlebitis, hal lain yang membedakan adalah pada penelitian yang relevan ini menggunakan desain pendekatan Cohort sedangkan penelitian ini menggunakan pendekatan cross sectional dan perbedaan lainya adalah uji hipotesis yang digunakan yakni menggunakan chi square sedangkan pada penelitian ini akan menggunakan uji one way anova sebagai uji utama dan kruskal-wallis sebagai uji alternatif. 2. Hasil ini juga di dukung oleh penelitian Neneng Fitria Ningsih pada tahun 2014 dengan judul Hubungan Terapi Cairan Intravena Terhadap Kejadian Phlebitis Di Irna Bedah RSUD Selasih Kabupaten Pelalawan. Dengan jenis penelitian kuantitatif dengan desain penelitian adalah cross sectional. Populasi pada penelitian ini adalah seluruh pasien yang di rawat di Irna bedah dengan jumlah sampel sebayak 15 orang. Penelitian ini mendapatkan hasil sebagian besar responden di Irna Bedah RSUD Selasih Kabupaten Pelalawan Tahun 2014 yang mendapatkan terapi cairan intravena berjenis hipertonis mengalami kejadian phlebitis. Dan terdapat hubungan antara terapi cairan intravena terhadap kejadian phlebitis di Irna Bedah RSUD Selasih Kabupaten Pelalawan Tahun 2014. Perbedaan dengan penelitian ini adalah lokasi penelitian. Hal lain yang membedakan adalah uji hipotesis yang digunakan yakni menggunakan chi square sedangkan pada penelitian ini akan menggunakan uji one way anova sebagai uji utama dan kruskal-wallis sebagai uji alternatif.

23

3. Penelitian lain yang berhubungan adalah penelitian yang dilakukan oleh Wahyu Rizky pada tahun 2016 yang berjudul analisis faktor yang berhubungan dengan kejadian phlebitis pada pasien yang terpasang kateter intravena di ruang bedah Rumah Sakit Ar. Bunda Prabumulih. Penelitian ini menggunakan deskripsi korelasi dengan metode cross sectional. Responden yang digunakan sebanyak 92 responden dengan menggunakan total sampling Penelitian ini mendapatkan hasil bahwa ada hubungan antara usia dan jenis cairan intravena terhadap kejadian phlebitis dengan pengaruh signifikan nilai p=0,000. Selain itu, perawatan kateter intravena dan penyakit penyerta tidak ada hubungan yang signifikan dengan kejadian phlebitis dengan nilai p=0,643. Perbedaan dengan penelitian ini adalah pada penelitian yang dilakukan Wahyu Rizky bertujuan untuk mengetahui faktor penyebab phlebitis sedangkan pada penelitian ini peneliti ingin menganalisis pengaruh jenis cairan infus terhadap kejadian phlebitis, hal lain yang membedakan adalah pada penelitian yang relevan ini menggunakan uji hipotesis chi square sedangkan pada penelitian ini akan menggunakan uji one way anova sebagai uji utama dan kruskalwallis sebagai uji alternatif.

24

2.3. Kerangka Berpikir 2.3.1. Kerangka Teori Penanganan pasien dengan masalah sirkulasi

Intervensi utama : Pemasangan Terapi intravena (Infus) (Dougherty, 2008) Komplikasi yang dapat terjadi pada pemasangan infus: 1. Hematoma 2. Infiltrasi 3. Phlebitis (Priska, 2009) Faktor resiko kejadian phlebitis

Kimia 1. Jenis cairan infus 2. Jenis obat via IVFD

Mekanik 1. Ukuran kateter tidak sesuai 2. Lokasi penusukan dekat sendi 3. Kanula tidak aman 4. Trauma saat insersi kateter 5. Gerakan kateter 6. Faktor bahan kateter

Bakterial

Kurangnya tindakan aseptik saat insersi kateter

Post-infus Phlebitis saat 48-96 jam post-infus

(Gorski, Hadaway, Hagle, Orr, & Doellman, 2016) Gambar 2.1 Kerangka Teoritis

25

2.3.2. Kerangka Konsep

Jenis Cairan Infus

Phlebitis

Gambar 2.2 Kerangka Konsep Keterangan: Variabel independen

Variabel dependen

Garis pengaruh

2.4. Hipotests Penelitian “Ada perbedaan antara skala phlebitis pada pemasangan infus dengan menggunakan jenis cairan hipertonik dan cairan isotonik di RSUD Dr. M. M. Dunda Limboto”

26

BAB III METODE PENELITIAN 3.1.Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di RSUD Dr. M. M. Dunda Limboto. Alasan pemilihan RSUD Dr. M. M. Dunda Limboto sebagai tempat penelitian adalah masih tingginya angka kejadian phlebitis yang dilaporkan pada tahun 2017 yakni 1.138 kejadian. Penelitian ini dilakukan pada 21 Maret hingga 6 Mei 2018 3.2.Desain Penelitian Desain riset yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasional analitik dengan pendekatan cross sectional yaitu di mana subjek penelitian hanya diobservasi sekali saja dan pengukuran dilakukan terhadap status karakter atau variabel subjek penelitian diamati pada waktu yang sama (Notoatmodjo, 2012). 3.3.Variabel Penelitian Variabel penelitian adalah suatu atribut atau sifat atau nilai dari orang, obyek atau kegiatan yang mempunyai variasi tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2016). 3.3.1. Variabel Independen Variabel independen (bebas) adalah variabel yang mempengaruhi atau menjadi sebab perubahannya atau timbulnya variabel dependen (Sugiyono, 2016). Dalam penelitian ini yang menjadi variabel bebasnya adalah jenis cairan infus. 3.3.2. Variabel Dependen Variabel dependen (terikat) adalah variabel yang dipengaruhi oleh variabel bebas, variabel terikat sering disebut sebagai variabel akibat, karena adanya

27

variabel bebas (Sugiyono, 2016). Dalam penelitian ini yang menjadi variabel terikat adalah phlebitis. 3.3.3. Definisi Operasional Definisi operasional adalah unsur penelitian yang memberitahukan bagaimana caranya mengukur suatu variabel. Dengan kata lain definisi operasional adalah semacam petunjuk pelaksanaan bagaimana mengukur suatu variabel. Definisi operasional adalah suatu informasi ilmiah yang amat membantu peneliti lain yang ingin menggunakan variabel yang sama. Dengan informasi tersebut dia akan mengetahui bagaimana cara mengukur variabel itu dilakukan. Dengan demikian dia dapat menentukan apakah prosedur pengukuran yang sama akan dilakukan atau diperlukan prosedur pengukuran yang baru (Siswanto, Susila, & Suyanto, 2014). Tabel 3.1 Definisi Operasional Definisi Variabel operasional 1. Jenis cairan Mengobservasi infus penggunaan (Independen) cairan yang digunakan pada terapi intravena menurut tonisitasnya.

Alat ukur Check list dengan menggunakan lembar observasi SOP Pemasangan infus

Hasil ukur 1= Hipertonik 2= Isotonik

Skala ukur -

28

Lanjutan tabel 3.1. Variabel 2. Phlebitis (Dependen)

Definisi operasional Manifestasi yang muncul pada pasien yang menjalani terapi intravena, gejala yang muncul yakni nyeri/nyeri tekan, eritema, kehangatan, pembengkakan, indurasi, purulensi, atau vena cord teraba pada lokasi insersi

Alat ukur Lembar observasi menggunakan Visual Infusion Phlebitis 0 = Tempat suntikan tampak sehat 1 = Nyeri area penusukan, Adanya eritema di area penusukan 2 = Nyeri area penusukan, Eritema, pembengkakan 3 = nyeri sepanjang kanul, eritema, indurasi 4 = nyeri sepanjang kanul, eritema, indurasi, venous chord teraba 5 = nyeri sepanjang kanul, eritema, indurasi, venous chord teraba, demam

Hasil ukur Tidak Phlebitis = VIP Score Skala 0, 1

Skala ukur Interval

Phlebitis = VIP Score Skala 2, 3, 4, 5 0 = Tak ada tanda phlebitis 1 = Mungkin tanda dini phlebitis 2 = Stadium dini phlebitis 3 = Stadium moderat phlebitis 4 = Stadium lanjut atau awal thrombophlebitis 5 = Stadium lanjut thrombophlebitis

29

3.4.

Populasi dan Sampel

3.4.1. Populasi Menurut otoatmodjo (2012) “Populasi adalah keseluruhan objek penelitian atau objek yang diteliti”. Populasi dari penelitian ini merupakan pasien yang terpasang infus. Namun jumlah populasi dalam penelitian ini belum diketahui. 3.4.2. Sampel Sampel menurut Sugiyono (2016) “Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimilki oleh populasi”. Dalam penelitian ini Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah accidental sampling, yaitu pengambilan sampel secara aksidental (accidental) dengan mengambil kasus atau responden yang kebetulan ada atau tersedia di suatu tempat sesuai dengan konteks penelitian (Notoatmodjo, 2012). Jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 30 orang responden. Dengan kriteria lama observasi yang homogen 3.5. Teknik Pengumpulan Data 3.5.1. Data primer Data primer adalah data yang diperoleh peneliti secara langsung, melalui lembar observasi data karakteristik responden serta wawancara langsung tentang kejadian phlebitis 3.5.2. Data sekunder Data seknuder adalah data yang diperoleh peneliti dari sumber yang sudah ada melalui rekam medik di RSUD Dr. M. M. Dunda Limboto.

30

3.6. Teknik Analisis Data 3.6.1. Teknik Pengolahan Data Tahap-tahap pengolahan data menurut Sujarweni (2014) yaitu: 1. Pengumpulan Data Tahap pengumpulan data dilakukan melalui instrumen pengumpulan data. Dalam penelitian ini instrumen yang digunakan adalah lembar observasi SOP dan VIP Score. 2. Editing Pada tahap ini data yang telah dikumpulkan dilakukan pemeriksaan kejelasan dan kelengkapan pengisian instrumen pengumpulan data. 2. Entry Pada tahap ini data diproses untuk keperluan analisa data. Data diproses menggunakan aplikasi Komputer dengan program SPSS (Statistical Product and Service Solution). 3. Tabulasi Setelah data diproses menggunakan program SPSS kemudian data dikelompokkan ke dalam tabel kerja, kemudian data di analisis. 4. Pengujian Hipotesis Tahap ini adalah tahap pengujian terhadap hipotesis penelitian yang dibuat apakah diterima atau ditolak, serta mempunyai makna yang signifikan atau tidak.

31

3.6.2. Teknik Analisis Data Data dalam penelitian ini dianalisi sebagai berikut: 1. Analisis univariat Analisis

univariat

bertujuan

untuk

menjelaskan

atu

mendeskripsikan karakteristik setiap variabel penelitian dalam bentuk persentase distribusi frekuensi dalam hal ini skala phlebitis pada jenis cairan infus hipertonik dan cairan isotonik. 1. Analisis bivariat Analisis bivariat dilakukan terhadap dua variabel yang diduga berhubungan atau berkorelasi yaitu variabel independen dengan variabel dependen. Dalam penelitian ini peneliti menganalisis perbedaan antara skala phlebitis pada pemasangan infus dengan menggunakan jenis cairan hipertonik dan cairan isotonik dengan menggunakan uji Mann-Withney karena data tidak terdistribusi normal. Analisis data bivariat diolah dengan menggunakan aplikasi SPSS. 3.7.Hipotesis Statistik H1 : Ada perbedaan antara skala phlebitis pada pemasangan infus dengan menggunakan jenis cairan hipertonik dan cairan isotonik di RSUD Dr. M. M. Dunda Limboto. H0 : Tidak ada perbedaan antara skala phlebitis pada pemasangan infus dengan menggunakan jenis cairan hipertonik dan cairan isotonik di RSUD Dr. M. M. Dunda Limboto.

32

3.8.Etika Penelitian Menurut Notoadmojo, (2012) masalah etika keperawatan yaitu: Dalam penelitian ini penulis menggunakan pasien sebagai responden (subjek). Oleh karena itu untuk melindungi keselamatan dan menjaga kerahasiaan responden, peneliti menggunakan prinsip kemanfaatan, menghormati hak

azasi, prinsip

keadilan, prinsip autonomi dan kepercayaan. Notoadmojo, 2012 secara umum terdapat empat prinsip utama dalam etika penelitian keperawatan : 1.

Menghormati harkat dan martabat manusia (Respect for human dignity). Penelitian harus dilaksanakan dengan menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia. Subjek memiliki hak asasi dan kebebasan untuk menentukan pilihan ikut atau menolak penelitian (autonomy).Tidak boleh ada paksaan atau penekanan tertentu agar subjek bersedia ikut dalam penelitian.Subjek dalam penelitian juga berhak mendapatkan informasi yang terbuka dan lengkap tentangp elaksanaan penelitian meliputi tujuan dan manfaat penelitian, prosedur penelitian, resiko penelitian, keuntungan yang mungkin didapat dan kerahasiaan informasi

2.

Menghormati privasi dan kerahasiaan subjek (Respect for privacy and confidentiality) Manusia sebagai subjek penelitian memiliki privasi dan hak asasi untuk mendapatkan kerahasiaan informasi. Namun tidak bisa dipungkiri bahwa penenlitian menyebabkan terbukanya informasi tentang subjek. Sehingga peneliti perlu merahasiakan berbagai informasi yang menyangkut privasi

33

subjek yang tidak ingin identitas dan segala informasi tentang dirinya diketahui oleh orang lain. Prinsip ini dapat diharapkan dengan cara meniadakan identitas seperti nama dan alamat subjek kemudian diganti dengan kode tertentu. Dengan demikian segalain formasi yang menyangkut identitas subjek tidak terekspos secara luas. 3.

Mengormati dan keadilan dan inklusivitas (respect for justice inclusiveness) Prinsip keterbukaan dalam penelitian mengandung makna bahwa penelitian memberikan keuntungan dan beban secara merata sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan subjek

4.

Memperhitungkan manfaat dan kerugian yang ditimbulkan (balancing harm and benefits) Prinsip ini mengandung makna bahwa setiap penelitian harus mempertimbangkan manfaat yang sebesar-besarnya bagi subjek penelitian dan populasi dimana hasil penelitian diterapkan (beneficience). Kemudian meminimalisir resiko / dampak yang merugikan bagi subjek penelitian (nonmaleficience).

34

3.9.Alur Penelitian Studi pendahuluan Permohonan penelitian Pengambilan sampel penelitian berdasarkan kriteria Penjelasan tentang penelitian dan persetujuan untuk menjadi responden Peneliti dan perawat di ruangan berperan sebagai Enumerasi, yaitu petugas lapangan yang membantu tim dengan menggunakan metode observasi dan wawancara / survey. Mengobservasi jenis cairan yang digunakan pada pasien yang terpasang infus (Hipertonik / Isotonik) Post test: Menilai derajat phlebitis dengan VIP Score Pengumpulan data dan pengolahan data Hasil Penelitian Gambar 3.1 Alur Penelitian

35

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Hasil Penelitian 4.1.1. Gambaran Lokasi Penelitian RSUD Dr. M.M Dunda Limboto terletak diwilayah administrasi Kabupaten Gorontalo yang berlokasi di Jalan Achmad A. Wahab (Eks. Jl. Jend. Ahmad Yani Nomor 53) kelurahan Hunggaluwa Kecamatan Limboto Kabupaten Gorontalo, lokasi kedua berada di Jl. MbuI Bungale kelurahan Hepuhulawa dan memiliki luas bangunan ± 6505, 436 M² dan Luas Lahan ± 7360 M². Surat dari komisi Akreditasi RS Nomor: KARS-SERT/567/VI/2012 tentang Akreditasi Dasar untuk 5 (lima) pelayanan yakni UGD, Pelayanan Medik, Pelayanan Keperawatan, Rekam Medis Dan Administrasi manajemen. Surat dari komisi Akreditasi RS (KARS) Nomor : 939/KARS/IX/2017 tentang pemberitahuan hasil akreditasi RSUD Dr.M.M Dunda Limboto dengan Lulus Tingkat Paripurna. Dalam perkembangannya RSUD Dr. M.M. Dunda Limboto menjadi Badan Pengelola berdasarkan SK. Bupati Gorontalo Nomor 171 Tahun 2002 tentang Pembentukan Organisasi dan Tata Kerja Rumah Sakit Umum Daerah Dr. M.M. Dunda Kab. Gorontalo. Dengan ditetapkannya sebagai Badan Layanan Umum Daerah maka sejak Tahun Anggaran 2001 RSUD Dr. M.M Dunda Limboto mulai dikembangkan secara bertahap, dengan mempunyai kapasitas 239 tempat tidur berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor: HK.03.05/I/1077/2011, RSUD Dr. M.M Dunda Limboto berubah tipe menjadi Kelas B.

36

Pada tahun 2017 jumlah tempat tidur yang dimiliki RSUD Dr. M.M Dunda Limboto adalah 253 buah. BOR ( Bed Occupancy Rate ) RSUD Dr. M.M Dunda Limboto yang dicapai pada tahun 2017 menjadi 74,3 %. Jumlah dokter umum pada tahun 2017 sejumlah 22 orang, untuk dokter spesialis RSUD Dr. M.M Dunda Limboto memiliki 21 orang dokter, dan untuk tenaga dokter gigi yang berjumlah 3 orang dokter. Jumlah tenaga perawat yang terbanyak, dengan jumlah 190 perawat yakni 144 orang tenaga PNS dan 46 orang tenaga kontak. Tenaga bidan saat ini sejumlah 32 orang yakni 24 orang tenaga PNS dan 8 orang tenaga kontrak, dan perawat gigi sejumlah 1 orang. tenaga kefarmasian yang dimiliki RSUD Dr. M.M Dunda Limboto di tahun 2017 berjumlah 21 orang yang terdiri dari tenaga kefarmasian 11 orang yakni tenaga PNS 7 orang dan tenaga kontrak 4 orang serta apoteker 10 orang yakni terdiri dari 7 orang tenaga PNS dan 3 orang tenaga kontrak. 4.1.2. Karakteristik Responden 1. Karakteristik Responden Berdasarkan Usia Dari hasil penelitian yang telah dilakukan di RSUD Dr. M.M Dunda Limboto, didapatkan distribusi usia responden sebagai berikut: Tabel 4.1 Kategori Usia Menurut Depkes RI (2009) Pengguna Cairan Hipertonik No Kategori Usia Jumlah (n) Frekuensi (%) 1 26-35 Tahun 1 6.67 2 36-45 Tahun 3 20.0 3 46-55 Tahun 5 33.33 4 56-65 Tahun 5 33.33 5 > 65 Tahun 1 6.67 Total 15 100 Mean 52.33 Sumber: Data Primer 2018

37

Pada tabel 4.1 kategori umur menurut Depkes RI (2009) pengguna cairan hipertonik diketahui bahwa rata-rata usia responden adalah 52 tahun. Sedangkan frekuensi responden terbanyak dengan kategori usia 46-55 tahun dan 56-65 tahun dengan jumlah masing-masing 5 responden (33.33%). Pada tabel tersebut juga menunjukkan usia responden dengan cairan hipertonik yang paling sedikit adalah responden dengan usia 26-35 Tahun dan >65 Tahun, yakni masing masing sebanyak 1 orang responden dengan jumlah frekuensi 6.67%. Tabel 4.2 Kategori Usia Menurut Depkes RI (2009) Pengguna Cairan Isotonik No

Kategori Usia

1 2 3 4 5 6 7

12-16 Tahun 17-25 Tahun 26-35 Tahun 36-45 Tahun 46-55 Tahun 56-65 Tahun > 65 Tahun Total Mean Sumber: Data Primer 2018

Jumlah (n)

Frekuensi (%)

1 4 2 3 2 3 1 15

6.67 26.67 13.33 20.00 13.33 20.00 6.67 100 44.93

Pada tabel 4.2 kategori umur menurut Depkes RI (2009) pengguna cairan isotonik dapat diketahui bahwa rata-rata umur responden adalah 45 tahun. Sedangkan frekuensi usia terbanyak adalah responden dengan kategori usia 17-25 tahun dengan jumlah 4 responden (26.67%). Sedangkan frekuensi usia responden yang paling sedikit adalah responden dengan kategori 12-16 Tahun dan >65 Tahun, yakni masing-masing sebanyak 1 orang responden dengan jumlah frekuensi 6.67%.

38

2. Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin Dari hasil penelitian yang telah dilakukan di RSUD Dr. M.M Dunda Limboto, didapatkan distribusi jenis kelamin responden sebagai berikut: Tabel 4.3 Distribusi data jenis kelamin responden No

Jenis Kelamin

1 2

Perempuan Laki-Laki Total Sumber: Data Primer 2018

Jumlah (n)

Frekuensi (%)

15 15 30

50.0 50.0 100

Berdasarkan tabel 4.3 distribusi data jenis kelamin responden dapat diketahui bahwa responden dengan jenis kelamin laki-laki sebanyak 15 responden (50.0%) dan perempuan sebanyak 15 reponden (50.0%). 3. Karakteristik Responden Berdasarkan Ruang Perawatan Dari hasil penelitian yang telah dilakukan di RSUD Dr. M.M Dunda Limboto, didapatkan distribusi jenis kelamin responden sebagai berikut: Tabel 4.4 Distribusi data ruang perawatan responden No Ruang Perawatan Jumlah (n) 1 IRINA H 11 2 IRINA F 19 Total 30 Sumber: Data Primer 2018

Frekuensi (%) 36.7 63.3 100

Berdasarkan tabel 4.4 distribusi data ruang perawatan responden dapat diketahui bahwa responden yang dirawat di ruangan IRINA H sebanyak 11 responden (36.7%) dan responden yang dirawat di ruangan IRINA F sebanyak 19 reponden (63.3%). 4. Karakteristik Responden Berdasarkan Lama Terpasang Infus Dari hasil penelitian yang telah dilakukan di RSUD Dr. M.M Dunda Limboto, didapatkan distribusi lama terpasang infus responden sebagai berikut: 39

Tabel 4.5 Distribusi data lama terpasang infus No

Lama Terpasang Infus

1 2 3 4 5 6

2 Hari 3 Hari 4 Hari 5 Hari 6 Hari 7 Hari Total Mean Sumber: Data Primer 2018

Jumlah (n)

Frekuensi (%)

4 11 9 1 4 1 30

13.3 36.7 30.0 3.3 13.3 3.3 100 2.77

Berdasarkan tabel 4.5 distribusi data lama terpasang infus responden dapat diketahui bahwa rata-rata responden terpasang infus selama 3 hari. Sedangkan responden terbanyak adalah responden yang terpasang infus selama 3 hari sebanyak 11 responden (36.7%) dan responden yang paling sedikit adalah responden yang terpasang infus selama 5 dan 7 hari yakni berjumlah masing masing 1 responden (3.3%). 5. Karakteristik Responden Berdasarkan Riwayat Penggantian Infus Dari hasil penelitian yang telah dilakukan di RSUD Dr. M.M Dunda Limboto, didapatkan distribusi riwayat penggantian infus responden sebagai berikut: Tabel 4.6 Distribusi data riwayat penggantian infus responden No 1 2 3 4

Riwayat Penggantian Infus

0 Kali 1 Kali 2 Kali 4 Kali Total Mean Sumber: Data Primer 2018

Jumlah (n)

Frekuensi (%)

17 10 2 1 30

56.7 33.3 6.7 3.3 100 1.57

40

Berdasarkan tabel 4.6 distribusi data riwayat penggantian infus responden dapat diketahui bahwa rata-rata responden memiliki riwayat penggantian infus sebanyak 2 kali. Sedangkan responden terbanyak adalah responden yang belum memiliki riwayat penggantian infus, yakni sebanyak 17 responden (56.7%) dan responden yang paling sedikit adalah responden memiliki riwayat penggantian infus sebanyak 4 kali, dengan jumlah 1 responden (3.3%). 4.1.3. Analisis Univariat 1. Skala phlebitis pada penggunaan jenis cairan infus hipertonik Adapun analisis univariat dari skala phlebitis pada penggunaan jenis cairan infus hipertonik disajikan dalam tabel berikut ini. Tabel 4.7 Distribusi skala phlebitis masing-masing responden hipertonik Skala Phlebitis No Responden Interpretasi Skala (VIP Score) 1 Responden 1 3 Phlebitis 2 Responden 2 2 Phlebitis 3 Responden 3 2 Phlebitis 4 Responden 4 3 Phlebitis 5 Responden 5 3 Phlebitis 6 Responden 6 0 Tidak Phlebitis 7 Responden 7 2 Phlebitis 8 Responden 8 3 Phlebitis 9 Responden 9 2 Phlebitis 10 Responden 10 2 Phlebitis 11 Responden 11 3 Phlebitis 12 Responden 12 2 Phlebitis 13 Responden 13 1 Tidak Phlebitis 14 Responden 14 2 Phlebitis 15 Responden 15 3 Phlebitis Mean 2.20 Sumber: Data Primer 2018

41

Berdasarkan Tabel 4.7 Distribusi skala phlebitis masing-masing responden hipertonik dapat diketahui bahwa terdapat 13 responden (86.7%) mengalami phlebitis dengan rata-rata phlebitis skala 2. Tabel 4.8 Distribusi data skala phlebitis pada penggunaan jenis cairan infus hipertonik Skala Phlebitis No Jumlah (n) Frekuensi (%) (VIP Score) 1 0 1 6.7 2 1 1 6.7 3 2 7 46.7 4 3 6 40.0 Total 15 100 Sumber: Data Primer 2018 Pada tabel 4.8 distribusi data skala phlebitis pada penggunaan jenis cairan infus hipertonik dapat diketahui bahwa phlebitis paling sering terjadi dengan skala 2 (VIP Score) dengan jumlah 7 responden (46.7%) dan phlebitis paling jarang terjadi dengan skala 1 (VIP Score) dengan jumlah 1 responden (6.7%). Dari tabel tersebut juga dapat disimpulkan bahwa total kejadian phlebitis adalah 13 responden dan tidak phlebitis (skala 0 VIP Score) sejumlah 2 responden. 2. Skala phlebitis pada penggunaan jenis cairan infus isotonik Adapun analisis univariat dari skala phlebitis pada penggunaan jenis cairan infus isotonik disajikan dalam tabel berikut ini.

42

Tabel 4.9 Distribusi skala phlebitis masing-masing responden isotonik Skala Phlebitis No Responden Interpretasi Skala (VIP Score) 1 Responden 1 0 Tidak Phlebitis 2 Responden 2 0 Tidak Phlebitis 3 Responden 3 2 Phlebitis 4 Responden 4 2 Phlebitis 5 Responden 5 1 Tidak Phlebitis 6 Responden 6 0 Tidak Phlebitis 7 Responden 7 0 Tidak Phlebitis 8 Responden 8 2 Phlebitis 9 Responden 9 0 Tidak Phlebitis 10 Responden 10 1 Tidak Phlebitis 11 Responden 11 0 Tidak Phlebitis 12 Responden 12 2 Phlebitis 13 Responden 13 1 Tidak Phlebitis 14 Responden 14 1 Tidak Phlebitis 15 Responden 15 2 Phlebitis Mean 0.98 Sumber: Data Primer 2018 Berdasarkan Tabel 4.9 Distribusi skala phlebitis masing-masing responden hipertonik dapat diketahui bahwa haya terdapat 5 responden (33.3%) yang mengalami phlebitis dengan rata-rata phlebitis skala 1. Tabel 4.10 Distribusi data skala phlebitis pada penggunaan jenis cairan infus isotonik Skala Phlebitis No Jumlah (n) Frekuensi (%) (VIP Score) 1 0 6 40.0 2 1 4 26.7 3 2 5 33.3 Total 15 100 Sumber: Data Primer 2018 Pabel 4.10 distribusi data skala phlebitis pada penggunaan jenis cairan infus isotonik dapat diketahui bahwa phlebitis paling sering terjadi dengan skala 2 (VIP Score) dengan jumlah 5 responden (40.0%) dan phlebitis paling jarang terjadi dengan skala 1 (VIP Score) dengan jumlah 4 responden (26.7%).

43

4.1.4. Analisis Bivariat Adapun hasil analisis bivariat perbedaan antara skala phlebitis pada pemasangan infus dengan menggunakan jenis cairan hipertonik dan cairan isotonik di RSUD Dr. M. M. Dunda Limboto. Tabel 4.11 Tabel distribusi hasil uji Mann-Withney skala phlebitis pada penggunaan jenis cairan infus hipertonik dan isotonik Median Std. Std. Error Karakteristik n (minimum- Mean P Deviasi of Mean maksimum) Hipertonik 15 2 (0-3) 2.20 0.862 0.223 0.001* Isotonik 15 1 (0-2) 0.93 0.884 0.228 Sumber: Data Primer 2018 Ket: *Uji Nonparametrik Berdasarkan tabel 4.11 distribusi hasil uji Mann-Withney skala phlebitis pada penggunaan jenis cairan infus hipertonik dan isotonik diperoleh nilai median untuk skala phlebitis pada jenis cairan infus hipertonik adalah 2 dengan mean 2.20, standar deviasi 0.0862 dan standard error of mean adalah 0.0223. sedangkan nilai median untuk skala phlebitis pada jenis cairan infus isotonik adalah 1 dengan mean 0.93, standar deviasi 0.0884 dan standard error of mean adalah 0.228. dari uji tersebut juga didapatkan nilai probabilitas Sig. (2-tailed) sebesar 0.001 (p < 0.05) sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang bermakna antara skala phlebitis pada kelompok responden yang menggunakan cairan infus hipertonik dan cairan infus isotonik sebagai terapi intravena. 4.2. Pembahasan 4.2.1. Skala Phlebitis Pada Penggunaan Jenis Cairan Infus Hipertonik Hasil dari penelitian yang dilakukan pada 15 orang responden menunjukkan bahwa pada penggunaan jenis cairan infus yang bersifat hipertonik seperti

44

aminofluid dapat menyebabkan kejadian phlebitis sebanyak 13 responden (86.7%) dan 2 responden lainya (13.3%) tidak mengalami phlebitis. Pada penilaian menggunakan Visual Infusion Phlebitis, didapatkan skor tertinggi yakni skala 3 dengan gejala nyeri sepanjang kanul, eritema dan endurasi yang mengindikasikan stadium moderat phlebitis. namun dari 15 orang responden terdapat 7 responden mengalami phlebitis dengan skala 2 dengan gejala nyeri area penusukan, eritema dan pembengkakan yang mengindikasikan stadium dini phlebitis, hal ini menunjukkan phlebitis paling sering terjadi dengan skala 2 (46.7%). Sedangkan phlebitis paling jarang terjadi dengan skala 0 dan 1 (6.7%). Berdasarkan observasi dilapangan, gejala phlebitis rata-rata muncul pada hari ke 3 pasien terpasang infus. Skala phlebitis tertinggi yang muncul pada penggunaan cairan hipertonik adalah skala 3 berdasarkan penilaian VIP Score yang mengindikasikan bahwa responden tersebut telah berada pada stadium moderat phlebitis dengan gejala nyeri sepanjang kanul, eritema dan endurasi yang mengindikasikan stadium moderat phlebitis. Tingginya stadium phlebitis pada pengunaan cairan aminofluid yang merupakan cairan koloid disebabkan karena cairan tersebut mengandung zat terlarut dalam bentuk protein besar atau molekul berukuran serupa lainnya. Protein dan molekul sangat besar sehingga tidak bisa melewati dinding kapiler dan masuk ke sel. Dengan demikian, koloid tetap berada dalam pembuluh darah untuk waktu yang lama dan secara signifikan dapat meningkatkan volume intravaskular (volume darah) sehingga menyebabkan sifat dari cairan koloid tersebut menjadi cairan hipertonik. Cairan hipertonik merupakan cairan infus yang nilai total osmolaritasnya lebih besar dari osmolaritas plasma sehingga dapat menyebabkan

45

kerusakan pada tunika intima pembuluh darah dan menyebabkan phlebitis. Hal ini didukung oleh Gorski, Hadaway, Hagle, Orr, & Doellman, (2016) yang mengatakan osmilaritas suatu cairan infus tidak hanya berpengaruh terhadap status fisik klien akan tetapi juga berpengaruh terhadap tunika intima pembuluh darah. Dinding tunika intima akan mengalami trauma pada pemberian larutan apa bila larutan tersebut memiliki osmolaritas tinggi (> 900mOsm / L). Hasil dari penelitian ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Wahyu Rizky pada tahun 2016 tentang analisis faktor yang berhubungan dengan kejadian phlebitis pada pasien yang terpasang kateter intravena di ruang bedah rumah sakit Ar. bunda prabumulih yang mendapatkan sebagian besar (54%) responden yang mendapat terapi cairan hipertonik mengalami phlebitis. Hal ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Chandra Agustini, Wasisto Utomo & Agrina (2017) tentang analisis faktor yang berhubungan dengan kejadian phlebitis pada pasien yang terpasang infus di ruang medikal chrysant Rumah Sakit Awal Bros Pekanbaru. Berdasarkan hasil penelitian didapatkan data bahwa responden yang mengalami phlebitis dengan cairan hipertonik yaitu sebanyak 13 orang (65%). Namun pada hasil penelitian ini juga menunjukkan meski menggunakan jenis cairan hipertonik sebagai terapi terdapat 1 responden (6.7%) yang mendapat VIP Score skala 1 dengan gejala nyeri pada area penusukan atau adanya eritema di area penusukan yang hanya menunjukkan kemungkinan untuk terjadinya tanda dini phlebitis, selain itu juga terdapat 1 responden (6.7%) yang tidak mengalami phlebitis atau mendapatkan VIP Score terendah dengan skala 0 (tempat penusukan

46

tampak sehat). Peneliti berasumsi rendahnya skala phlebitis yang muncul meski menggunakan cairan dengan osmolaritas tinggi dapat disebabkan karena perawat diruangan telah melakukan tindakan pencegahan resiko phlebitis. Hal ini dibuktikan dengan wawancara yang dilakukan dengan perawat di ruangan, yang mengatakan selama terpasang infus, perawat akan melakukan perawatan infus dan memberitahu seluruh pasien tentang resiko yang mungkin terjadi saat mendapat terapi cairan, khususnya cairan yang memiliki resiko tinggi menyebabkan phlebitis seperti cairan-cairan hipertonik, sehingga ada beberapa pasien yang telah mengetahui cara untuk mencegah terjadinya phlebitis. Selain itu perawat di ruangan juga menyarankan kepada pasien untuk mengurangi aktivitas sehingga mengurangi gerakan maupun gesekan yang terjadi disekitar kanula. Hal ini karena selain disebabkan oleh faktor kimiawi jenis cairan, faktor mekanis juga dapat menyebabkan phlebitis contohnya gesekan dan gerakan yang terjadi pada area kanula. Hasil ini sejalan dengan pendapat Gorski, Hadaway, Hagle, Orr, & Doellman, (2016) yang mengatakan bahwa phlebitis mekanis juga dapat disebabkan oleh iritasi pembuluh darah, yang bisa datang dari kateter yang terlalu besar untuk pembuluh darah yang kecil, gerakan kateter, trauma saat insersi, atau faktor bahan dan tingkat kekakuan kateter. Hasil ini juga didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Ika Nur Jannah, Suhartono, dan Mateus Sakundarno Adi pada tahun 2016 tentang prevalensi phlebitis pada pasien rawat inap dengan infus di RSUD Tugurejo Semarang yang mendapatkan hasil bahwa faktor lainya yang meningkatkan resiko kejadian phlebitis adalah aktifitas pasien.

47

Dari hasil penelitian yang dilakukan peneliti, serta teori yang mendukung dan penelitian sebelumnya, peneliti berkesimpulan bahwa cairan dengan osmolaritas tinggi dapat menyebabkan phlebitis dan mendapat skor VIP tertingi dengan skala 3. 4.2.2. Skala Phlebitis Pada Penggunaan Jenis Cairan Infus Isotonik. Berdasarkan penelitian yang dilakukan pada 15 orang responden menunjukkan hasil bahwa sebagian besar penggunaan jenis cairan yang bersifat isotonik seperti NaCL 0.9% dan Ringer Laktat sebagai terapi intravena menyebabkan kejadian phlebitis sebanyak 5 responden (33.3%) dan 10 responden lainya (66.7%) tidak mengalami phlebitis. Penelitian ini juga mendapatkan hasil bahwa skala tertinggi yang timbul pada penilaian 15 orang responden dengan VIP Score adalah phlebitis skala 2 dengan gejala nyeri area penusukan, eritema dan pembengkakan yang mengindikasikan stadium dini phlebitis yang jumlah 5 responden (33.3%). Berdasarkan observasi dilapangan, gejala phlebitis rata-rata muncul pada hari ke 3 pasien terpasang infus. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dengan penggunaan cairan isotonik jarang menyebabkan phlebitis, terbukti dengan 6 responden (40%) tidak mengalami phlebitis dan 4 responden (26.7%) hanya mendapatkan VIP Score dengan skala 1 dengan gejala nyeri pada area penusukan atau adanya eritema di area penusukan yang hanya menunjukkan kemungkinan untuk terjadinya tanda dini phlebitis. Hal ini dapat disebabkan oleh nilai osmolaritas total jenis cairan infus isotonik sama dengan osmolaritas plasma, sehingga meminimalisir terjadinya iritasi maupun rusaknya tunika intima pembuluh darah. Hal ini didukung oleh Wilson, Shannon,

48

& Shields, (2010) yang mengatakan bahwa jenis cairan infus sotonik yang memiliki osmolaritas yang sama dengan plasma tubuh. Bila diberikan kepada pasien yang terhidrasi normal, isotonik tidak menyebabkan pergeseran air yang signifikan antara pembuluh darah dan sel. Dengan demikian, tidak ada osmosis (atau minimal) yang terjadi sehingga kejadian phlebitis sangat minim terjadi. Hasil dari penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Sepvi Fitriyanti pada tahun 2015 tentang faktor yang mempengaruhi terjadinya phlebitis di Rumah Sakit Bhayangkara TK II. H.S. Samsoeri Mertojoso Surabaya yang mendapatkan hasil hanya 5 responden (7.4%) dari total 44 responden yang mendapat terapi cairan isotonik mengalami phlebitis. Pada hasil penelitian ini juga terdapat 5 responden (33.3%) mengalami phlebitis dengan VIP Score skala 2 atau stadium dini phlebitis. Menurut asumsi peneliti hal ini dapat disebabkan oleh faktor jenis cairan yang digunakan responden, yakni sebagian besar responden yang mendapat skala 2 tersebut menggunakan cairan ringer laktat. Meskipun RL merupakan cairan isotonik, jika diberikan dalam jumlah banyak dapat menyebabkan alkalosis yakni kondisi penurunan tingkat keasaman darah, pada terapi cairan pH yang dibutuhkan adalah 7 atau netral, sehingga pergeseran pH darah tersebut dapat meningkatkan resiko phlebitis. Hal ini sejalan dengan Beverly (2017) yang mengatakan faktor utama terjadinya phlebitis kimia adalah pH dan osmolaritas (tingkat konsentrasi cairan/obat). pH darah normal terletak antara 7,35 – 7,45 dan cenderung basa. pH cairan yang diperlukan dalam pemberian terapi adalah 7 yang berarti adalah netral. Jadi apabila obat atau cairan infus yang mempunyai kadar diluar dari rentang nilai di atas sangat berpotensi

49

merusak tunika intima dari pembuluh darah yang meningkatkan resiko terjadiya phlebitis. Hal ini juga didukung oleh penelitian Wahyu Rizky da Supriyatiningsih pada tahun 2016 tentang surveillance kejadian phlebitis pada pemasangan kateter intravena pada pasien rawat inap di Rumah Sakit Ar. Bunda Prabumulih yang mendapatkan hasil bahwa jenis cairan Otsu RL paling banyak menimbulkan phlebitis yaitu sebesar 29.4%. Selain itu faktor lain seperti tingkat aktivitas pasien yang tinggi meski telah diingatkan perawat untuk mengurangi aktivitas. Berdasarkan observasi di lapangan dan wawancara dengan responden, sebagian besar pasien yang mendapat terapi cairan isotonik adalah pasien yang masih aktif beraktivitas tanpa bantuan perawat maupun orang lain. Tingginya aktivitas pasien dapat menyebabkan terjadinya gesekan dan gerakan pada lokasi kanula intravena, yang beresiko tinggi merusak tunika intima pembuluh darah dan dapat menyebabkan phlebitis. Hal ini didukung oleh Gorski, Hadaway, Hagle, Orr, & Doellman, (2016) yang mengatakan bahwa etiologi phlebitis diklasifikasikan menjadi 4 yakni kimia, mekanis, bakterial, dan post-infus. Hasil ini juga didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Ika Nur Jannah, Suhartono, dan Mateus Sakundarno Adi pada tahun 2016 tentang prevalensi phlebitis pada pasien rawat inap dengan infus di RSUD Tugurejo Semarang yang mendapatkan hasil bahwa faktor lainya yang meningkatkan resiko kejadian phlebitis adalah aktifitas pasien. Dari hasil penelitian yang dilakukan peneliti, serta teori yang mendukung dan penelitian sebelumnya, peneliti berkesimpulan bahwa cairan dengan

50

osmolaritas sama dengan osmolariitas cairan tubuh tidak menyebabkan phlebitis dan mendapat skor VIP tertingi dengan skala 2. 4.2.3. Perbedaan Antara Skala Phlebitis Pada Pemasangan Infus Dengan Menggunakan Jenis Cairan Hipertonik dan Cairan Isotonik. Sebanyak 30 responden dilakukan penelitian untuk mengidentifikasi dan menganalisis perbedaan skala phlebitis yang dipengaruhi oleh jenis cairan infus yang digunakan. 15 orang sampel menggunakan cairan dengan jenis hipertonik dan 15 sampel lainya menggunakan jenis cairan isotonik sebagai terapi intravena. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pada penggunaan cairan hipertonik mendapatkan nilai VIP Score skala 3 dengan jumlah 6 responden, sedangkan pada penilaian VIP Score yang dilakukan kepada responden yang menggunakan cairan jenis isotonik sebagai terapi intravena menunjukkan bahwa skala tertinggi yaitu skala 2 dengan jumlah 5 responden. Setelah dilakukan uji normalitas data didapatkan bahwa nilai p < 0.05 yang menunjukkan bahwa data kedua kelompok tidak terdistribusi normal dan harus menggunakan uji nonparametrik, dalam hal ini adalah uji Mann-Withney untuk menganalisa perbedaan antara skala phlebitis dari kedua kelompok responden tersebut. Hasil uji Mann-Withney memperoleh nilai probabilitas Sig. (2-tailed) sebesar 0.001 (p < 0.05) yang menunjukkan bahwa terdapat perbedaan skala phlebitis pada kedua jenis cairan infus tersebut. Menurut peneliti terdapatnya perbedaan antara skala phlebitis pada penggunaan jenis cairan hipertonik dan jenis cairan isotonik disebabkan karena adanya perbedaan tingkat osmolaritas dari masing masing jenis cairan. Cairan isotonik memiliki osmolaritas yang sama dengan plasma tubuh. Bila diberikan kepada pasien yang terhidrasi normal, cairan isotonik tidak menyebabkan

51

pergeseran air yang signifikan antara pembuluh darah dan sel. Dengan demikian, tidak ada osmosis (atau minimal) yang terjadi sehingga resiko terjadinya phlebitis sangat minim terjadi. Sedangkan cairan hipertonik memiliki osmolaritas yang lebih tinggi dari pada plasma tubuh. Pemberian cairan hipertonik menyebabkan air bergeser dari ruang ekstravaskular ke dalam aliran darah, meningkatkan volume intravaskular. Pergeseran osmotik ini terjadi saat tubuh mencoba untuk mencairkan konsentrasi elektrolit yang lebih tinggi yang terkandung di dalam cairan infus dengan memindahkan air ke ruang intravaskular sehingga dapat menggangu integritas tunika intima pembuluh darah dan menyebabkan tingginya resiko terjadi phlebitis. Hal ini sejalan dengan Beverly (2017) yang mengatakan bahwa semakin tinggi tingkat osmolaritas suatu cairan yang masuk melalui kanula intravena maka semakin berpotensi merusak tunika intima dari pembuluh darah yang meningkatkan resiko terjadiya phlebitis. Dan Gorski, Hadaway, Hagle, Orr, & Doellman, (2016) mengatakan bahwa osmilaritas suatu cairan infus tidak hanya berpengaruh terhadap status fisik klien akan tetapi juga berpengaruh terhadap tunika intima pembuluh darah. Dinding tunika intima akan mengalami trauma pada pemberian larutan apa bila larutan tersebut memiliki osmolaritas tinggi (> 900mOsm / L). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Dragana Milutinovic, Dragana Simin & Dravor Zec (2015) tentang risk factor for phlebitis: a questionnaire study of nurses’ perception yang mendapatkan hasil bahwa pengobatan dan cairan infus dengan osmolaritas tinggi adalah faktor resiko phlebitis, sedangkan omolaritas rendah tidak.

52

Dari hasil penelitian yang dilakukan peneliti, serta teori yang mendukung dan penelitian sebelumnya, peneliti berkesimpulan bahwa terdapat perbedaan yang bermakna antara skala phlebitis pada kelompok pasien yang menggunakan cairan infus hipertonik dan cairan infus isotonik sebagai terapi intravena di RSUD Dr. M.M. Dunda Limboto. 4.3. Keterbatasan Penelitian 1. Penggunaan metode cross sectional hanya dapat mengukur kedua variabel dalam satu waktu, sehingga peneliti kurang bisa mengamati perubahanperubahan yang mungkin dapat terjadi disebabkan oleh variabel tersebut atau variabel-variabel lain yang bisa mempengaruhi. 2. Waktu penelitian yang terbatas sehingga jumlah sampel yang digunakan tidak banyak. 3. Penelitian ini merupakan penelitian pertama bagi peneliti, sehingga masih memiliki banyak kekurangan.

53

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan Berdasarkan hasil dari penelitian dan penjelasan pada pembahasan maka ditarik kesimpulan: 1. Terdapat 13 responden (86.7%) dengan terapi cairan hipertonik yang mengalami phlebitis. Sedangkan nilai Visual Infusion Phlebitis (VIP) Score tertinggi yang didapatkan adalah phlebitis skala 3. 2. Terdapat 5 responden (33.3%) dengan terapi cairan isotonik yang mengalami phlebitis. Sedangkan skala tertinggi yang didapatkan pada penilaian VIP Score adalah phlebitis skala 2. 3. Terdapat perbedaan yang bermakna antara skala phlebitis pada kelompok pasien yang menggunakan cairan infus hipertonik dan cairan infus isotonik sebagai terapi intravena di RSUD Dr. M.M. Dunda Limboto dengan nilai probabilitas sebesar 0.001 (p < 0.05). 5.2. Saran 1. Bagi Institusi Diharapkan menjadi referensi untuk institusi pendidikan keperawatan dalam penelitian tentang pengaruh jenis cairan infus terhadap kejadian phlebitis khususnya dalam mengidentifikasi dan menganalisis skala phlebitis yang disebabkan faktor-faktor penyebab phlebitis.

54

2. Bagi Pelayanan Kesehatan Diharapkan bagi pelayanan kesehatan khususnya rumah sakit untuk dapat meningkatkan

dan

mengembangkan

program-program

pencegahan

phlebitis sehingga dapat meminimalisir phlebitis dan menurunkan derajat phlebitis yang terjadi. 3. Bagi Peneliti Selanjutnya a. Peneliti selanjutnya disarankan untuk menambah jumlah sampel dan jenis cairan yang diobservasi. b. Peneliti selanjutnya disarankan meneliti faktor-faktor lain yang dapat menyebabkan phlebitis, seperti faktor ukuran vena, tingkat aktifitas pasien, campuran jenis cairan dan obat-obatan yang digunakan.

55

DAFTAR PUSTAKA Agustini, C., Utomo, W., & Agrina. (2017). Analisis Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Phlebitis Pada Pasien Yang Terpasang Infus di Ruang Medikal Chrysant Rumah Sakit Awal Bros Pekan Baru. Jurnal Online Mahasiswa, 5. Aryani, R., Mulyani, S., Lestari, T., Tutiany, Mumpuni, & Maradwiyana, B. (2009). Prosedur Klinik Keperawatan Pada Mata Ajar Kebutuhan Dasar Manusia. Jakarta: TIM. Beverly, H. (2017). Peripheral IV Cannule (PIVC): Saving a line just save a life. Nursing Review Proffesional Development, 1-2. Darmadi. (2008). Infeksi Nosokomial: Problematika dan Pengendalianya. Jakarta: Salemba Meduka. Depkes, R. (2013). Mutu Pelayanan Berdasarkan Kompetensi Tenaga Kerja. Direktorat Pelayanan Keperawatan & Meduk Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Dilek, S., Ismet, E., & Ayse, A. (2016). Phlebitis Associated With Peripheral Intravenous Catheters and Nursing Care. Journal of Human Science, 1. Diakses dari https://www.jhumansciences.com/ojs/index.php/IJHS/article/view/3674/1834 Dougherty, L. (2008). Akses Vena Sentral: Perawatan dan Tata Laksana. Jakarta: Erlangga. Engram, B. (2011). Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah Volume 3. Jakarta: EGC. Fitriyanti, S. (2015). Faktor Yang Mempengaruhi Terjadinya Phlebitis di Rumah Sakit Bhayangkara TK II. H.S. Samsoeri Mertojoso Surabaya . E-Journal UNAIR, 6. Gorski, L., Hadaway, L., Hagle, M. E., Orr, M., & Doellman, D. (2016). Infusion Therapy Standards of Practice. Journal of Infusion Nursing, S95. Diakses dari http://source.yiboshi.com/20170417/1492425631944540325.pdf Hardisman. (2015). Fisiologi dan Aspek Klinis Cairan Tubuh dan Elektronik. Yogyakarta: Gosyen Publishing. Hartanto, H. (2008). Kamus Saku Mosby: Kedokteran, Keperawatan & Kesehatan Edisi 4. Jakarta: EGC.

56

Hills, J. (2013). Management of IV Fluids and Electrolytes. Distributed Simulation Project, 8-14. Diakses dari http://www.utas.edu.au/__data/assets/pdf_file/0020/528041/Managementof-IV-Fluids-and-Electrolyte-Balance-slides.pdf Jannah, I. N., Suhartono, & Adi, M. S. (2016). Prevalensi Phlebitis Pada Pasien Rawat Inap Dengan Infus di RSUD Tugurejo Semarang. Jurnal Kesehatan Masyarakat, 4. Kozier, B., ERB, G., Berman, A., & Snyder, S. J. (2016). Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep, Proses & Praktik Edisi 7, Volume 2. Jakarta: EGC. Milutinovic, D., Simin, D., & Zec, D. (2015). Risk Factor For Phlebitis: A Questionnaire Study of Nurses’ Perception . Jurnal Internasional, 1. Ningsih, N. F. (2015). Hubungan Terapi Cairan Intravena Terhadap Kejadian Phlebitis di Irna Bedah RSUD Selasih Kabupaten Pelalawan. Jurnal Keperawatan, 1-7. Diakses dari http://journal.stkiptam.ac.id/index.php/ners/article/view/203/127 Notoatmodjo, S. (2012). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta. Nurhasanah, T. (2016). Faktor-Faktor yang Berhubungan Dengan Terjadinya Phlebitis di RSUD Unggaran Kabupaten Semarang. Jurnal Keperawatan, 1. Diakses dari https://www.pdfcoke.com/document/341747387/faktor-faktor Potter, P. A., & Perry, A. G. (2010). Fundamental Keperawatan, Edisi 7 Buku 3. Jakarta: Salemba Medika. Priska. (2009). Ilmu Praktik Keperawatan. Jakarta: Rineka Cipta. Rizky, W. (2016). Analisis Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Phlebitis pada Pasien yang Terpasang Kateter Intravena di Ruang Bedah Rumah Sakit Ar. Bunda Prabumulih. Jurnal Ners and Midwifery Indonesia, 1. Scales, K. (2005). Vascular Access: A Guide to Peripheral Venous Cannulation. Art & Science Intravenous Therapy Focus, 3. Diakses dari https://rcni.com/sites/rcn_nspace/files/ns2005.08.19.49.48.c3935.pdf Setiawan, D. (2014). Alat Kesehatan Untuk Praktik Klinik & SOP. Jakarta: Nuha Medika. Siswanto, Susila, & Suyanto. (2014). Metodologi Penelitian Kesehatan dan Kedokteran. Yogyakarta: Bursa Ilmu. Smeltzer, S. C. (2013). Buku Ajar Keperawatan Medukal Bedah Brunner & Suddarth Edisi 8 Volume 1. Jakarta: EGC.

57

Sugiyono. (2016). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif R&D. Bandung: Alfabeta. Sujarweni, W. V. (2014). Metode Penelitian: Lengkap, Praktis, Mudah Dipahami. Jakarta: Pustaka Baru Press. Sujono, R., & Harmoko. (2016). Standard Operating Prosedure Dalam Praktek Klinik Keperawatan Dasar. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Wilson, B. A., Shannon, M. T., & Shields, K. (2010). Pearson Intravenous Drug Guide 2011-2012. International: Pearson. Diakses dari http://catalogue.pearsoned.co.uk/samplechapter/0131186116.pdf

58

Lampiran 1. Instrumen Penelitian LEMBAR OBSERVASI A. PENGANTAR Sehubungan dengan kegiatan yang akan saya lakukan yaitu penelitian mengenai “Pengaruh Jenis Cairan Infus Terhadap Kejadian Phlebitis Pada Pemasangan Infus di RSUD Dr. M.M. Dunda Limboto”, maka saya selaku peneliti memohon kesediaan saudara untuk menjadi responden dalam kegiatan ini. Demikian informasi yang saya sampaikan, atas kesediaan saudara saya ucapkan terima kasih. B. IDENTITAS Nama

:

Umur

:

Jenis kelamin

:

Ruangan perawatan

:

Lama terpasang infus

:

Riwayat penggantian infus : Riwayat cairan infus

:

Ukuran kateter

:

PENELITI

ZULKIFLI SAHRIN LASOMBA

59

INFORMED CONSENT RESPONDEN

Setelah mendapat informasi yang jelas tentang tujuan dan manfaat penelitian ini, maka saya: Nama: ……………………………………………………………………….. Umur: ……………………………………………………………………….. Alamat: ……………………………………………………………………… …………………………………………………… …………………………. Menyatakan bahwa saya setuju dan bersedia menjadi responden dalam penelitian yang berjudul “PENGARUH JENIS CAIRAN INFUS TERHADAP KEJADIAN PHLEBITIS DI RSUD DR. M.M. DUNDA LIMBOTO” dengan penuh kesadaran dan tanpa paksaan dari siapapun.

Gorontalo,………………2018 RESPONDEN

……………………………

60

JENIS CAIRAN INFUS  HIPERTONIK

 ISOTONIK

LEMBAR OBSERVASI VISUAL INFUSION PHLEBITIS (VIP) SCORE SKOR

KEADAAN AREA PENUSUKAN

0

Tempat suntikan tampak sehat

1

Salah satu dari berikut jelas a. Nyeri area penusukan b. Adanya eritema di area penusukan

2

Dua dari berikut jelas ; a. Nyeri area penusukan b. Eritema c. pembengkakan

3

Semua dari berikut jelas ; a. nyeri sepanjang kanul b. eritema c. indurasi

4

Semua dari berikut jelas ; a. nyeri sepanjang kanul b. eritema c. indurasi d. venous chord teraba

5

Semua dari berikut jelas ; a. nyeri sepanjang kanul b. eritema c. indurasi d. venous chord teraba e. demam

PENILAIAN

Keterangan scoring: 0

= Tak ada tanda phlebitis

1

= Mungkin tanda dini phlebitis

2

= Stadium dini phlebitis

3

= Stadium moderat phlebitis

4

= Stadium lanjut atau awal thrombophlebitis

5

= Stadium lanjut thrombophlebitis

61

Lampiran 2. Dokumentasi Penelitian

Observasi Skala Phlebitis Pada Responden

62

Lampiran 3. Master Table NO

UMUR

JENIS  KELAMIN

RUANGAN  RAWAT

LAMA  TERPASANG  (HARI)

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30

38 30 61 74 63 47 53 44 65 50 61 56 47 53 43 43 44 55 58 21 23 49 75 13 56 74 21 53 68 21

P P L L L P L L L L P L P L L P L P P L P P L P P P L P P L

IRINA H IRINA F IRINA F IRINA F IRINA H IRINA F IRINA H IRINA F IRINA F IRINA F IRINA F IRINA H IRINA F IRINA F IRINA H IRINA H IRINA F IRINA H IRINA H IRINA F IRINA F IRINA F IRINA H IRINA F IRINA F IRINA H IRINA F IRINA F IRINA F IRINA H

6 2 2 7 5 4 3 6 4 3 6 3 3 4 3 3 4 2 3 4 4 4 3 4 4 3 2 6 3 3

WAKTU  LAMA  RIWAYAT  TIMBULNYA  PENGGANTIAN  OBSERVASI  GEJALA (HARI KE) (HARI) INFUS (KALI) 1 1 0 4 1 0 0 1 0 0 1 0 1 0 0 0 0 1 0 0 0 0 1 0 2 1 0 1 1 1

3 3 3 3 4 3 3 3 4 3 3 3 3 4 3 3 3 3 3 4 3 3 3 4 3 3 3 3 3 3

3 2 2 2 4 TIDAK ADA 3 3 4 3 3 3 3 4 3 TIDAK ADA TIDAK ADA 2 3 4 TIDAK ADA TIDAK ADA 3 4 2 TIDAK ADA 2 3 3 3

UKURAN  JENIS CAIRAN KATETER 20 20 20 20 20 20 22 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 20 22 20 20 20 20 20 20

HIPERTONIK HIPERTONIK HIPERTONIK HIPERTONIK HIPERTONIK HIPERTONIK HIPERTONIK HIPERTONIK HIPERTONIK HIPERTONIK HIPERTONIK HIPERTONIK HIPERTONIK HIPERTONIK HIPERTONIK ISOTONIK ISOTONIK ISOTONIK ISOTONIK ISOTONIK ISOTONIK ISOTONIK ISOTONIK ISOTONIK ISOTONIK ISOTONIK ISOTONIK ISOTONIK ISOTONIK ISOTONIK

NAMA CAIRAN

SKALA  PHLEBITIS

AMINOFULID AMINOFULID AMINOFULID AMINOFULID AMINOFULID AMINOFULID AMINOFULID AMINOFULID AMINOFULID AMINOFULID AMINOFULID AMINOFULID AMINOFULID AMINOFULID AMINOFULID NaCL NaCL NaCL RINGER LAKTAT RINGER LAKTAT NaCL NaCL RINGER LAKTAT NaCL RINGER LAKTAT NaCL RINGER LAKTAT NaCL NaCL RINGER LAKTAT

3 2 2 3 3 0 2 3 2 2 3 2 1 2 3 0 0 2 2 1 0 0 2 0 1 0 2 1 1 2

63

Lampiran 4. Output SPSS a. Output Karakteristik Responden Statistics UmurHipertonik Valid

UmurIsotonik

15

15

0

0

Mean

52.33

44.93

Std. Error of Mean

2.953

5.337

Median

53.00

49.00

47a

21

11.437

20.669

Minimum

30

13

Maximum

74

75

785

674

N Missing

Mode Std. Deviation

Sum

a. Multiple modes exist. The smallest value is shown

UmurHipertonik Frequency

Percent

Valid Percent

Cumulative Percent

Valid

30

1

6.7

6.7

6.7

38

1

6.7

6.7

13.3

43

1

6.7

6.7

20.0

44

1

6.7

6.7

26.7

47

2

13.3

13.3

40.0

50

1

6.7

6.7

46.7

53

2

13.3

13.3

60.0

56

1

6.7

6.7

66.7

61

2

13.3

13.3

80.0

63

1

6.7

6.7

86.7

65

1

6.7

6.7

93.3

74

1

6.7

6.7

100.0

15

100.0

100.0

Total

64

UmurIsotonik Frequency

Percent

Valid Percent

Cumulative Percent

13

1

6.7

6.7

6.7

21

3

20.0

20.0

26.7

23

1

6.7

6.7

33.3

43

1

6.7

6.7

40.0

44

1

6.7

6.7

46.7

49

1

6.7

6.7

53.3

53

1

6.7

6.7

60.0

55

1

6.7

6.7

66.7

56

1

6.7

6.7

73.3

58

1

6.7

6.7

80.0

68

1

6.7

6.7

86.7

74

1

6.7

6.7

93.3

75

1

6.7

6.7

100.0

15

100.0

100.0

Valid

Total

Statistics Umur

Valid

Jenis

Ruang

Lama

Riwayat

Ukuran

Kelamin

Rawat

Terpasang

Penggantian

Kateter

30

30

30

30

30

30

0

0

0

0

0

0

Mean

10.13

1.50

1.63

2.77

1.57

1.07

Std. Error of Mean

1.041

.093

.089

.243

.141

.046

Median

10.50

1.50

2.00

2.50

1.00

1.00

2a

1a

2

2

1

1

5.704

.509

.490

1.331

.774

.254

32.53

.259

.240

1.771

.599

.064

N Missing

Mode Std. Deviation Variance

3

Minimum

1

1

1

1

1

1

Maximum

20

2

2

6

4

2

304

45

49

83

47

32

Sum

a. Multiple modes exist. The smallest value is shown

65

Umur Frequency

Percent

Valid Percent

Cumulative Percent

Valid

13

1

3.3

3.3

3.3

21

3

10.0

10.0

13.3

23

1

3.3

3.3

16.7

30

1

3.3

3.3

20.0

38

1

3.3

3.3

23.3

43

2

6.7

6.7

30.0

44

2

6.7

6.7

36.7

47

2

6.7

6.7

43.3

49

1

3.3

3.3

46.7

50

1

3.3

3.3

50.0

53

3

10.0

10.0

60.0

55

1

3.3

3.3

63.3

56

2

6.7

6.7

70.0

58

1

3.3

3.3

73.3

61

2

6.7

6.7

80.0

63

1

3.3

3.3

83.3

65

1

3.3

3.3

86.7

68

1

3.3

3.3

90.0

74

2

6.7

6.7

96.7

75

1

3.3

3.3

100.0

30

100.0

100.0

Total

JenisKelamin Frequency

Percent

Valid Percent

Cumulative Percent

Valid

Perempuan

15

50.0

50.0

50.0

Laki-laki

15

50.0

50.0

100.0

Total

30

100.0

100.0

66

RuangRawat Frequency

Percent

Valid Percent

Cumulative Percent

Valid

Irina H

11

36.7

36.7

36.7

Irina F

19

63.3

63.3

100.0

Total

30

100.0

100.0

LamaTerpasang Frequency

Percent

Valid Percent

Cumulative Percent

Valid

2

4

13.3

13.3

13.3

3

11

36.7

36.7

50.0

4

9

30.0

30.0

80.0

5

1

3.3

3.3

83.3

6

4

13.3

13.3

96.7

7

1

3.3

3.3

100.0

30

100.0

100.0

Total

RiwayatPenggantian Frequency

Percent

Valid Percent

Cumulative Percent

Valid

0

17

56.7

56.7

56.7

1

10

33.3

33.3

90.0

2

2

6.7

6.7

96.7

4

1

3.3

3.3

100.0

30

100.0

100.0

Total

UkuranKateter Frequency

Percent

Valid Percent

Cumulative Percent

Valid

20

28

93.3

93.3

93.3

22

2

6.7

6.7

100.0

30

100.0

100.0

Total

67

b. Output Univariat Statistics Hipertonik Valid

Isotonik

15

15

0

0

Mean

2.20

.93

Std. Error of Mean

.223

.228

Median

2.00

1.00

2

0

.862

.884

Minimum

0

0

Maximum

3

2

33

14

N Missing

Mode Std. Deviation

Sum

Hipertonik Frequency

Percent

Valid Percent

Cumulative Percent

Valid

0

1

6.7

6.7

6.7

1

1

6.7

6.7

13.3

2

7

46.7

46.7

60.0

3

6

40.0

40.0

100.0

15

100.0

100.0

Total

Isotonik Frequency

Percent

Valid Percent

Cumulative Percent

0

6

40.0

40.0

40.0

1

4

26.7

26.7

66.7

2

5

33.3

33.3

100.0

15

100.0

100.0

Valid Total

68

c. Output Bivariat Tests of Normality Kolmogorov-Smirnova

Kelompok

Statistic

df

Shapiro-Wilk

Sig.

Statistic

df

Sig.

Hipertonik

.275

15

.003

.790

15

.003

Isotonik

.255

15

.010

.782

15

.002

Gabungan a. Lilliefors Significance Correction

Descriptive Statistics N

Mean

Std. Deviation

Minimum

Maximum

Percentiles 25th

50th

75th

(Median) Gabungan

30

1.57

1.073

0

3

.75

2.00

2.00

Kelompok

30

1.50

.509

1

2

1.00

1.50

2.00

Ranks Kelompok

Gabungan

N

Mean Rank

Sum of Ranks

Hipertonik

15

20.57

308.50

Isotonik

15

10.43

156.50

Total

30

Test Statisticsa Gabungan Mann-Whitney U Wilcoxon W Z Asymp. Sig. (2-tailed) Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)]

36.500 156.500 -3.301 .001 .001b

a. Grouping Variable: Kelompok b. Not corrected for ties.

69

Descriptives Kelompok

Statistic Mean

Hipertonik

Std. Error

2.20

95% Confidence Interval for

Lower Bound

1.72

Mean

Upper Bound

2.68

5% Trimmed Mean

2.28

Median

2.00

Variance

.743

Std. Deviation

.862

Minimum

0

Maximum

3

Range

3

Interquartile Range

1

Skewness Kurtosis

.223

-1.205

.580

1.800

1.121

.93

.228

Gabungan Mean 95% Confidence Interval for

Lower Bound

.44

Mean

Upper Bound

1.42

5% Trimmed Mean

Isotonik

.93

Median

1.00

Variance

.781

Std. Deviation

.884

Minimum

0

Maximum

2

Range

2

Interquartile Range

2

Skewness Kurtosis

.142

.580

-1.783

1.121

70

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN FAKULTAS OLAHRAGA DAN KESEHATAN UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO Jurnal Keperawatan

2018

PENGARUH JENIS CAIRAN INFUS TERHADAP KEJADIAN PHLEBITIS DI RSUD DR. M.M. DUNDA LIMBOTO Zulkifli Sahrin Lasomba1, Nanang R. Paramata2, Ibrahim Suleman3 1. Mahasiswa Program Studi Sarjana Keperawatan 2. Dosen Program Studi Sarjana Keperawatan 3. Dosen Program Studi Sarjana Keperawatan ABSTRAK Zulkifli Sahrin Lasomba. 2018. Pengaruh Jenis Cairan Infus Terhadap Kejadian Phlebitis di RSUD Dr. M.M. Dunda Limboto. Skripsi, Progam Studi Sarjana Keperawatan, Fakultas Olahraga dan Kesehatan, Universitas Negeri Gorontalo. Pembimbing I dr. Nanang Roswita Paramata, M.Kes dan Pembimbing II Ns. Ibrahim Suleman, S.Kep, M.Kep. Pemasangan infus merupakan tindakan keperawatan yang bertujuan untuk pemberian hidrasi intravena atau makanan. Pada terapi intravena digunakan berbagai cairan infus dengan tingkat osmolaritas yang berbeda-beda, semakin tinggi osmolaritas suatu cairan dapat meningkatkan kemungkinan komplikasi dari pemasangan infus, salah satunya adalah phlebitis. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan antara skala phlebitis pada pemasangan infus dengan menggunakan jenis cairan hipertonik dan cairan isotonik di RSUD Dr. M. M. Dunda Limboto. Jenis penelitian ini adalah observasional analitik dengan pendekatan cross sectional study. Populasi penelitian adalah pasien yang terpasang infus dengan teknik accidental sampling sebanyak 30 responden. Analisa data dilakukan dengan menggunakan uji Mann-Withney. Hasil Penelitian menunjukkan terdapat perbedaan yang bermakna antara skala phlebitis pada kelompok pasien pengguna cairan infus hipertonik dan cairan infus isotonik sebagai terapi intravena di RSUD Dr. M.M. Dunda Limboto dengan nilai probabilitas sebesar 0.001 (p < 0.05). Kesimpulan dari penelitian ini adalah 86.7% dengan infus hipertonik yang mengalami phlebitis, sedangkan nilai VIP Score tertinggi skala 3. Dan 33.3% dengan infus isotonik yang mengalami phlebitis. Sedangkan skala tertinggi pada penilaian VIP Score adalah phlebitis skala 2. Diharapkan hasil penelitian ini dapat meningkatkan kesadaran dalam pencegahan phlebitis sehingga dapat meminimalisir phlebitis dan menurunkan derajat phlebitis yang terjadi.

Kata Kunci : Jenis Cairan Infus, Kejadian Phlebitis Daftar Pustaka : 31 (2005-2017)

Zulkifli Sahrin Lasomba / 841414009

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN FAKULTAS OLAHRAGA DAN KESEHATAN UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO Jurnal Keperawatan

PENDAHULUAN Pemasangan infus merupakan tindakan keperawatan yang bertujuan untuk pemberian hidrasi intravena atau makanan dan administrasi, namun dengan terpasangnya infus yang terus menerus dan dalam jangka waktu tertentu tentunya akan meningkatkan kemungkinan komplikasi dari pemasangan infus, salah satunya adalah phlebitis (Potter & Perry, 2010). Phlebitis merupakan inflamasi vena yang ditandai dengan adanya daerah yang merah, nyeri dan pembengkakan di daerah penusukan atau sepanjang vena yang disebabkan oleh iritasi kimia maupun mekanik seperti komplikasi cairan atau obat yang diinfuskan (Smeltzer, 2013). Menurut WHO pada tahun 2013 angka kejadian phlebitis di negara maju seperti Amerika, terdapat 8% orang mengalami phlebitis per tahun. Sedangkan hasil survey lainya, sebanyak 10.0% orang mengalami phlebitis terjadi di negara Asia Tengga dengan Malaysia yang mendapatkan angka kejadian phlebitis dengan persetase 12.7%. Menurut Departemen Kesehatan RI, pada tahun 2013 angka kejadian phlebitis di Indonesia sejumlah 50,11 % untuk Rumah Sakit Pemerintah . Sedangkan untuk Rumah Sakit Swasta sebesar 32,70 %, hal ini masing sangat tinggi dibandingan standar kejadian phlebitis yaitu dari total pasien yang dirawat hanya 1,5% yang mengalami phlebitis (Depkes, 2013). Berdasarkan data yang didapatkan melalui Tim Infection Prevention Control Nurse (IPCN) RSUD Dr. M.M. Dunda Limboto, Selama tahun 2017 terdapat 1.138

2018

kejadian phlebitis dimana pada triwulan pertama terjadi 431 insiden phlebitis dan ditemukan 256 kejadian phlebitis pada triwulan kedua. Memasuki periode triwulan ke 3 angka kejadian phlebitis didapatkan sebanyak 249 insiden, sedangkan pada triwulan keempat tahun 2017 terdapat 202 kasus phlebitis yang dilaporkan oleh tim IPCN. Data data diatas menunjukkan angka kejadian phlebitis yang terjadi di RSUD Dr. M.M. Dunda Limboto masih sangat tinggi. Dari hasil wawancara yang dilakukan dengan kepala ruangan, jenis cairan yang meningkatkan resiko phlebitis adalah cairan infus dengan jenis hipertonik. Tingginya angka kejadian phlebitis dapat disebabkan oleh beberapa faktor yakni diantaranya adalah faktor kimia dan mekanis. Phlebitis kimia disebabkan oleh cairan atau obatobatan yang digunakan melalui kanula. (Beverly, 2017). Selain faktor jenis cairan phlebitis juga bisa disebabkan faktor mekanis karena iritasi pembuluh darah (Lisa Gorski, 2016). Faktorfaktor tersebut didukung oleh penelitian Neneng Fitria Ningsih pada tahun 2014 dengan judul hubungan terapi cairan intravena terhadap kejadian phlebitis di irna bedah RSUD Selasih Kabupaten Pelalawan. Mendapatkan hasil sebagian besar responden yang mendapatkan terapi cairan intravena berjenis hipertonis mengalami kejadian phlebitis. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di Ruangan Interna RSUD Dr. M.M. Dunda Limboto. Penelitian ini

Zulkifli Sahrin Lasomba / 841414009

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN FAKULTAS OLAHRAGA DAN KESEHATAN UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO Jurnal Keperawatan

menggunakan rancangan penelitian deskriptif analitik dengan pendekatan cross sectional dan menggunkan Teknik pengambilan sampling menggunakan Accidental Sampling. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Skala phlebitis pada penggunaan jenis cairan infus hipertonik No

Responden

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15

Responden 1 Responden 2 Responden 3 Responden 4 Responden 5 Responden 6 Responden 7 Responden 8 Responden 9 Responden 10 Responden 11 Responden 12 Responden 13 Responden 14 Responden 15 Mean

Skala Phlebitis (VIP Score) 3 2 2 3 3 0 2 3 2 2 3 2 1 2 3

Interpretasi Skala Phlebitis Phlebitis Phlebitis Phlebitis Phlebitis Tidak Phlebitis Phlebitis Phlebitis Phlebitis Phlebitis Phlebitis Phlebitis Tidak Phlebitis Phlebitis Phlebitis 2.20

Sumber: Data Primer 2018 Pada tabel diatas dapat diketahui bahwa terdapat 13 responden (86.7%) mengalami phlebitis dengan rata-rata phlebitis skala 2. Skala Phlebitis No (VIP Score) 1 0 2 1 3 2 4 3 Total

Jumlah (n)

Frekuensi (%)

1 1 7 6 15

6.7 6.7 46.7 40.0 100

Sumber: Data Primer 2018 Pada tabel diatas dapat diketahui bahwa phlebitis paling sering terjadi dengan skala 2 dengan jumlah 7 responden (46.7%) dan phlebitis paling jarang terjadi dengan skala 1 dengan jumlah 1 responden (6.7%). Berdasarkan observasi

2018

dilapangan, gejala phlebitis rata-rata muncul pada hari ke 3 pasien terpasang infus. Skala phlebitis tertinggi yang muncul pada penggunaan cairan hipertonik adalah skala 3 berdasarkan penilaian VIP Score. Tingginya stadium phlebitis pada pengunaan cairan aminofluid yang merupakan cairan hipertonik. Cairan hipertonik merupakan cairan infus yang nilai total osmolaritasnya lebih besar dari osmolaritas plasma sehingga dapat menyebabkan kerusakan pada tunika intima pembuluh darah dan menyebabkan phlebitis. Hal ini didukung oleh Gorski, Hadaway, Hagle, Orr, & Doellman, (2016) yang mengatakan osmilaritas suatu cairan infus tidak hanya berpengaruh terhadap status fisik klien akan tetapi juga berpengaruh terhadap tunika intima pembuluh darah. Dinding tunika intima akan mengalami trauma pada pemberian larutan apa bila larutan tersebut memiliki osmolaritas tinggi (> 900mOsm / L). Hasil dari penelitian ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Wahyu Rizky pada tahun 2016 tentang analisis faktor yang berhubungan dengan kejadian phlebitis pada pasien yang terpasang kateter intravena di ruang bedah rumah sakit Ar. bunda prabumulih yang mendapatkan sebagian besar (54%) responden yang mendapat terapi cairan hipertonik mengalami phlebitis. 2. Skala phlebitis pada penggunaan jenis cairan infus isotonik No

Responden

Skala Phlebitis (VIP Score)

Interpretasi Skala

Zulkifli Sahrin Lasomba / 841414009

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN FAKULTAS OLAHRAGA DAN KESEHATAN UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO Jurnal Keperawatan

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15

Responden 1 Responden 2 Responden 3 Responden 4 Responden 5 Responden 6 Responden 7 Responden 8 Responden 9 Responden 10 Responden 11 Responden 12 Responden 13 Responden 14 Responden 15 Mean

0 0 2 2 1 0 0 2 0 1 0 2 1 1 2

Tidak Phlebitis Tidak Phlebitis Phlebitis Phlebitis Tidak Phlebitis Tidak Phlebitis Tidak Phlebitis Phlebitis Tidak Phlebitis Tidak Phlebitis Tidak Phlebitis Phlebitis Tidak Phlebitis Tidak Phlebitis Phlebitis 0.98

Sumber: Data Primer 2018 Pada tabel diatas dapat diketahui bahwa haya terdapat 5 responden (33.3%) yang mengalami phlebitis dengan rata-rata phlebitis skala 1. No 1 2 3

Skala Phlebitis (VIP Score) 0 1 2 Total

Jumlah (n)

Frekuensi (%)

6 4 5 15

40.0 26.7 33.3 100

Sumber: Data Primer 2018 Pada tabel diatas dapat diketahui bahwa phlebitis paling sering terjadi dengan skala 2 (VIP Score) dengan jumlah 5 responden (40.0%) dan phlebitis paling jarang terjadi dengan skala 1 (VIP Score) dengan jumlah 4 responden (26.7%). Berdasarkan observasi dilapangan, gejala phlebitis rata-rata muncul pada hari ke 3 pasien terpasang infus. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dengan penggunaan cairan isotonik jarang menyebabkan phlebitis, terbukti dengan 6 responden (40%) tidak mengalami phlebitis dan 4 responden (26.7%) hanya mendapatkan VIP Score dengan skala 1. Hal ini dapat disebabkan oleh nilai osmolaritas total jenis cairan infus isotonik sama dengan osmolaritas plasma, sehingga

2018

meminimalisir terjadinya iritasi maupun rusaknya tunika intima pembuluh darah. Hal ini didukung oleh Wilson, Shannon, & Shields, (2010) yang mengatakan bahwa jenis cairan infus sotonik yang memiliki osmolaritas yang sama dengan plasma tubuh. Bila diberikan kepada pasien yang terhidrasi normal, isotonik tidak menyebabkan pergeseran air yang signifikan antara pembuluh darah dan sel. Dengan demikian, tidak ada osmosis (atau minimal) yang terjadi sehingga kejadian phlebitis sangat minim terjadi. Hasil dari penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Sepvi Fitriyanti pada tahun 2015 tentang faktor yang mempengaruhi terjadinya phlebitis di Rumah Sakit Bhayangkara TK II. H.S. Samsoeri Mertojoso Surabaya yang mendapatkan hasil hanya 5 responden (7.4%) dari total 44 responden yang mendapat terapi cairan isotonik mengalami phlebitis. 3. Perbedaan Antara Skala Phlebitis Pada Pemasangan Infus Dengan Menggunakan Jenis Cairan Hipertonik dan Cairan Isotonik. Karakteri stik

n

Median (minimummaksimum)

Mean

Std. Deviasi

Hipertonik Isotonik

15 15

2 (0-3) 1 (0-2)

2.20 0.93

0.862 0.884

Std. Error of Mean 0.223 0.228

P

0.001*

Sumber: Data Primer 2018 Ket: *Uji Nonparametrik Berdasarkan tabel tersebut diperoleh nilai median untuk skala phlebitis pada jenis cairan infus hipertonik adalah 2 dengan mean 2.20, standar deviasi 0.0862 dan standard error of mean adalah 0.0223. sedangkan nilai median untuk skala phlebitis pada jenis cairan infus isotonik adalah 1 dengan mean 0.93, standar deviasi 0.0884 dan standard error of mean adalah 0.228. dari uji tersebut juga Zulkifli Sahrin Lasomba / 841414009

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN FAKULTAS OLAHRAGA DAN KESEHATAN UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO Jurnal Keperawatan

didapatkan nilai probabilitas Sig. (2tailed) sebesar 0.001 (p < 0.05) sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang bermakna antara skala phlebitis pada kelompok responden yang menggunakan cairan infus hipertonik dan cairan infus isotonik sebagai terapi intravena. Menurut peneliti terdapatnya perbedaan antara skala phlebitis pada penggunaan jenis cairan hipertonik dan jenis cairan isotonik disebabkan karena adanya perbedaan tingkat osmolaritas dari masing masing jenis cairan. Cairan isotonik memiliki osmolaritas yang sama dengan plasma tubuh. Bila diberikan kepada pasien yang terhidrasi normal, cairan isotonik tidak menyebabkan pergeseran air yang signifikan antara pembuluh darah dan sel. Dengan demikian, tidak ada osmosis (atau minimal) yang terjadi sehingga resiko terjadinya phlebitis sangat minim terjadi. Sedangkan cairan hipertonik memiliki osmolaritas yang lebih tinggi dari pada plasma tubuh. Pemberian cairan hipertonik menyebabkan air bergeser dari ruang ekstravaskular ke dalam aliran darah, meningkatkan volume intravaskular. Pergeseran osmotik ini terjadi saat tubuh mencoba untuk mencairkan konsentrasi elektrolit yang lebih tinggi yang terkandung di dalam cairan infus dengan memindahkan air ke ruang intravaskular sehingga dapat menggangu integritas tunika intima pembuluh darah dan menyebabkan tingginya resiko terjadi phlebitis. Hal ini sejalan dengan Beverly (2017) yang mengatakan bahwa semakin tinggi tingkat osmolaritas suatu cairan yang masuk melalui kanula intravena maka

2018

semakin berpotensi merusak tunika intima dari pembuluh darah yang meningkatkan resiko terjadiya phlebitis. Dan Gorski, Hadaway, Hagle, Orr, & Doellman, (2016) mengatakan bahwa osmilaritas suatu cairan infus tidak hanya berpengaruh terhadap status fisik klien akan tetapi juga berpengaruh terhadap tunika intima pembuluh darah. Dinding tunika intima akan mengalami trauma pada pemberian larutan apa bila larutan tersebut memiliki osmolaritas tinggi (> 900mOsm / L). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Dragana Milutinovic, Dragana Simin & Dravor Zec (2015) tentang risk factor for phlebitis: a questionnaire study of nurses’ perception yang mendapatkan hasil bahwa pengobatan dan cairan infus dengan osmolaritas tinggi adalah faktor resiko phlebitis, sedangkan omolaritas rendah tidak. PENUTUP a. Kesimpulan Berdasarkan hasil dari penelitian dan penjelasan pada pembahasan maka ditarik kesimpulan: 1. Terdapat 13 responden (86.7%) dengan terapi cairan hipertonik yang mengalami phlebitis. Sedangkan nilai Visual Infusion Phlebitis (VIP) Score tertinggi yang didapatkan adalah phlebitis skala 3. 2. Terdapat 5 responden (33.3%) dengan terapi cairan isotonik yang mengalami phlebitis. Sedangkan skala tertinggi yang didapatkan pada penilaian VIP Score adalah phlebitis skala 2.

Zulkifli Sahrin Lasomba / 841414009

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN FAKULTAS OLAHRAGA DAN KESEHATAN UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO Jurnal Keperawatan

3. Terdapat perbedaan yang bermakna antara skala phlebitis pada kelompok pasien yang menggunakan cairan infus hipertonik dan cairan infus isotonik sebagai terapi intravena di RSUD Dr. M.M. Dunda Limboto dengan nilai probabilitas sebesar 0.001 (p < 0.05). b. Saran 1. Bagi Institusi Diharapkan menjadi referensi untuk institusi pendidikan keperawatan dalam penelitian tentang pengaruh jenis cairan infus terhadap kejadian phlebitis khususnya dalam mengidentifikasi dan menganalisis skala phlebitis yang disebabkan faktorfaktor penyebab phlebitis. 2. Bagi Pelayanan Kesehatan Diharapkan bagi pelayanan kesehatan khususnya rumah sakit untuk dapat meningkatkan dan mengembangkan programprogram pencegahan phlebitis sehingga dapat meminimalisir phlebitis dan menurunkan derajat phlebitis yang terjadi. 3. Bagi Peneliti Selanjutnya a. Peneliti selanjutnya disarankan untuk menambah jumlah sampel dan jenis cairan yang diobservasi. b. Peneliti selanjutnya disarankan meneliti faktor-faktor lain yang dapat menyebabkan phlebitis, seperti faktor ukuran vena, tingkat aktifitas pasien,

2018

campuran jenis cairan dan obat-obatan yang digunakan. DAFTAR PUSTAKA Agustini, C., Utomo, W., & Agrina. (2017). Analisis Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Phlebitis Pada Pasien Yang Terpasang Infus di Ruang Medikal Chrysant Rumah Sakit Awal Bros Pekan Baru. Jurnal Online Mahasiswa, 5. Aryani, R., Mulyani, S., Lestari, T., Tutiany, Mumpuni, & Maradwiyana, B. (2009). Prosedur Klinik Keperawatan Pada Mata Ajar Kebutuhan Dasar Manusia. Jakarta: TIM. Beverly, H. (2017). Peripheral IV Cannule (PIVC): Saving a line just save a life. Nursing Review Proffesional Development, 1-2. Darmadi.

(2008). Infeksi Nosokomial: Problematika dan Pengendalianya. Jakarta: Salemba Meduka.

Depkes, R. (2013). Mutu Pelayanan Berdasarkan Kompetensi Tenaga Kerja. Direktorat Pelayanan Keperawatan & Meduk Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Dilek, S., Ismet, E., & Ayse, A. (2016). Phlebitis Associated With

Zulkifli Sahrin Lasomba / 841414009

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN FAKULTAS OLAHRAGA DAN KESEHATAN UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO Jurnal Keperawatan

Peripheral Intravenous Catheters and Nursing Care. Journal of Human Science, 1. Diakses dari https://www.jhumansciences.com/ojs/in dex.php/IJHS/article/view/ 3674/1834 Dougherty, L. (2008). Akses Vena Sentral: Perawatan dan Tata Laksana. Jakarta: Erlangga. Engram, B. (2011). Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah Volume 3. Jakarta: EGC. Fitriyanti, S. (2015). Faktor Yang Mempengaruhi Terjadinya Phlebitis di Rumah Sakit Bhayangkara TK II. H.S. Samsoeri Mertojoso Surabaya . E-Journal UNAIR, 6. Gorski, L., Hadaway, L., Hagle, M. E., Orr, M., & Doellman, D. (2016). Infusion Therapy Standards of Practice. Journal of Infusion Nursing, S95. Diakses dari http://source.yiboshi.com/ 20170417/1492425631944 540325.pdf Hardisman. (2015). Fisiologi dan Aspek Klinis Cairan Tubuh dan Elektronik. Yogyakarta: Gosyen Publishing. Hartanto, H. (2008). Kamus Saku Mosby: Kedokteran, Keperawatan & Kesehatan Edisi 4. Jakarta: EGC.

2018

Hills, J. (2013). Management of IV Fluids and Electrolytes. Distributed Simulation Project, 8-14. Diakses dari http://www.utas.edu.au/__ data/assets/pdf_file/0020/5 28041/Management-ofIV-Fluids-and-ElectrolyteBalance-slides.pdf Jannah, I. N., Suhartono, & Adi, M. S. (2016). Prevalensi Phlebitis Pada Pasien Rawat Inap Dengan Infus di RSUD Tugurejo Semarang. Jurnal Kesehatan Masyarakat, 4. Kozier, B., ERB, G., Berman, A., & Snyder, S. J. (2016). Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep, Proses & Praktik Edisi 7, Volume 2. Jakarta: EGC. Milutinovic, D., Simin, D., & Zec, D. (2015). Risk Factor For Phlebitis: A Questionnaire Study of Nurses’ Perception . Jurnal Internasional, 1. Ningsih, N. F. (2015). Hubungan Terapi Cairan Intravena Terhadap Kejadian Phlebitis di Irna Bedah RSUD Selasih Kabupaten Pelalawan. Jurnal Keperawatan, 1-7. Diakses dari http://journal.stkiptam.ac.i d/index.php/ners/article/vi ew/203/127 Notoatmodjo, S. (2012). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.

Zulkifli Sahrin Lasomba / 841414009

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN FAKULTAS OLAHRAGA DAN KESEHATAN UNIVERSITAS NEGERI GORONTALO Jurnal Keperawatan

Nurhasanah, T. (2016). FaktorFaktor yang Berhubungan Dengan Terjadinya Phlebitis di RSUD Unggaran Kabupaten Semarang. Jurnal Keperawatan, 1. Diakses dari https://www.pdfcoke.com/d ocument/341747387/fakto r-faktor Potter, P. A., & Perry, A. G. (2010). Fundamental Keperawatan, Edisi 7 Buku 3. Jakarta: Salemba Medika. Priska.

(2009). Ilmu Keperawatan. Rineka Cipta.

Praktik Jakarta:

Rizky, W. (2016). Analisis Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Phlebitis pada Pasien yang Terpasang Kateter Intravena di Ruang Bedah Rumah Sakit Ar. Bunda Prabumulih. Jurnal Ners and Midwifery Indonesia, 1. Scales, K. (2005). Vascular Access: A Guide to Peripheral Venous Cannulation. Art & Science Intravenous Therapy Focus, 3. Diakses dari https://rcni.com/sites/rcn_ nspace/files/ns2005.08.19. 49.48.c3935.pdf

2018

Setiawan, D. (2014). Alat Kesehatan Untuk Praktik Klinik & SOP. Jakarta: Nuha Medika. Siswanto, Susila, & Suyanto. (2014). Metodologi Penelitian Kesehatan dan Kedokteran. Yogyakarta: Bursa Ilmu. Smeltzer, S. C. (2013). Buku Ajar Keperawatan Medukal Bedah Brunner & Suddarth Edisi 8 Volume 1. Jakarta: EGC. Sugiyono. (2016). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif R&D. Bandung: Alfabeta. Sujarweni, W. V. (2014). Metode Penelitian: Lengkap, Praktis, Mudah Dipahami. Jakarta: Pustaka Baru Press. Sujono, R., & Harmoko. (2016). Standard Operating Prosedure Dalam Praktek Klinik Keperawatan Dasar. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Wilson, B. A., Shannon, M. T., & Shields, K. (2010). Pearson Intravenous Drug Guide 2011-2012. International: Pearson. Diakses dari http://catalogue.pearsoned. co.uk/samplechapter/0131 186116.pdf

Zulkifli Sahrin Lasomba / 841414009

CURRICULUM VITAE A. Data Pribadi Nama lengkap

: Zulkifli Sahrin Lasomba

Nama Panggilan

: Zuki, Kiki

Tempat/Tanggal Lahir

: Gorontalo, 6 Juli 1996

Angkatan

: 2014

Agama

: Islam

Jenis Kelamin

: Laki-Laki

Status

: Mahasiswa

B. Pendidikan Formal 1. Sekolah Dasar Tahun

: 2002-2008

Nama Institusi

: SDN 14 Kota Barat

Alamat

: Kel. Buladu, Kec. Kota Barat, Kota Gorontalo

2. Sekolah Menengah Pertama Tahun

: 2008-2011

Nama Institusi

: SMP Negeri 1 Kota Gorontalo

Alamat

: Kel. Limba U II, Kec. Kota Selatan, Kota Gorontalo

3. Sekolah Menengah Atas Tahun

: 2011-2014

Nama Institusi

: SMA Negeri 3 Kota Gorontalo

Alamat

: Kel. Limba U II, Kec. Kota Selatan, Kota Gorontalo

4. Perguruan Tinggi Tahun

: 2014-2018

Nama Institusi

: Universitas Negeri Gorontalo

Alamat

: Jl. Jend. Sudirman No 6, Dulalowo Timur, Kota Tengah, Kota Gorontalo

C. Kegiatan Yang Pernah diikuti 1. Peserta Masa Orientasi Mahasiswa Baru (MOMB) Universitas Negeri Gorontalo tahun 2014 2. Peserta Latihan Kepemimpinan tingkat I jurusan Keperawatan Universitas Negeri Gorontalo tahun 2014 3. Panitia Pelaksana Seminar Keperawatan “Bedah Undang-Undang Keperawatan” tahun 2014 4. Peserta Seminar Nasional Kesehatan “Remaja dan Seks Bebas” tahun 2015 5. Peserta Seminar Nasional Keperawatan “Mewujudkan Generasi Perawat Profesional dalam Menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean” tahun 2015 6. Peserta Seminar Nasional Keperawatan “Komitmen Pemerintah dalam Implementasi Undang-Undang Keperwatan” tahun 2015 7. Panitia Pelaksana Pelatihan Interpretasi EKG tahun 2016 8. Peserta Seminar Nasional Keperawatan “Nursing Education Quality and Nursing Service Quality in ASEAN Economic Community Era” tahun 2016 9. Peserta Seminar Nasional Keperawatan “Deteksi Dini dan Penatalaksanaan Penyakit Mata” tahun 2016 10. Peserta Seminar Keperawatan “The First Gorontalo International Nursing Conference” tahun 2017 11. Peserta Aplikasi Ilmu Keperawatan Rumah Sakit Toto Kabila Bonebolango tahun 2017 12. Peserta Aplikasi Ilmu Keperawatan Jiwa Rumah Sakit Cimahi tahun 2017 13. Peserta KKS TEMATIK DESTANA di Desa Diloniyohu, Kec. Boliyohuto, Kab. Gorontalo tahun 2018 D. Pengalaman Organisasi 1. Anggota Himpunan Mahasiswa Jurusan Keperawatan periode 2015-2016 2. Ketua Himpunan Mahasiswa Jurusan Keperawatan periode 2016-2017

Related Documents


More Documents from ""