Tugas Fikih Perbandingan: Zakat Profesi Dan Permasalahannya ZAKAT PROFESI A. Pendahuluan Zakat profesi yang juga biasa disebut dengan zakat penghasilan, sebenarnya tergolong istilah baru dalam fikih islam. Sebab, dalam buku-buku fikih klasik, yang jamak disebut 'kitab kuning", jarang sekali –untuk tidak mengatakan sama sekali tidak- ditemukan kajian yang secara spesifik membahas masalah zakat profesi, seperti yang kita kenal sekarang ini. Mungkin karena itulah, dikalangan massyarakat awam, zakat profesi ini sering disebut zakat mal saja. Dan ini tidak keliru. Cuma, baru mewakili separuh kebenaran. Sebab, kecuali zakat fitrah, istilah zakat mal juga mencakup kelima jenis zakat lainnya; hewan, hasil tani/kebun, niaga, tambang dan emas/perak. Sementara itu, sering dan sebangun dengan perkembangan aktifitas ekonomi masyarakat secara umum, dan masyarakat muslim khususnya, telah muncul berbagai macam profesi, yang tidak dikenal pada masa-masa awal sejarah islam. Akibatnya, memang tidak gampang menemukan padanan hukum yang bisa dijadikan acuan untuk mewajibkan zakat penghasilan yang diperoleh, misalnya, seorang pengacara eksekutif, pengarang, dokter, wartawan, analisis laboratium, perogaramer atau pengusaha kafe, wartel, salon dan berbagai jenis profesi lainnya. Sebab, mereka bukan peternak hewan, bukan petani, bukan pedagang dan bukan penambang. Pengasilan meraka pun bukan dalam bentuk emas atau perak. Padahal, sebagian mereka boleh jadi mendapatkanp pennghasilan yang jauh lebih besar dari pada penghasilan seorang petani, pedagang, peternak, dan penambang, yang meskipun kecil-kecilan, tetap diwajibkan membayar zakat. Karena itu, sungguh sangat tidak adil dan tentu saja bertentangan dengan misi keadilan islam dan keperpihakannnya kepada kaum dhuafa, bila ada kelompok masyarakat yang berpenghasilan renda (petani, pedagang, peternak, dan penambang kecil) diwajibkan membayar zakat dengan alasan telah "dibahas tuntas" dalam buku-buku fikih klasik, sementara ada kelompok masyarakat muslim lainnya yang berpenghasilan lebih tinggi, tapi justru "dibiarkan" tidak membayar zakat, dengan alasan bahwa profesi mereka tidak memiliki padanan hukumnya dalam fikih klasik. Sebagai respon atas kepincangan itulah, maka sejak sekitar paruh kedua abad ke20,sejumlah ulama fikih modern yang dikenal memiliki integritas keilmuan kridibel, secara intensif dan sistematis mulai berlomba dan meniliti, membahas dan mengkaji. Akhirnya, mereka sampai pada kesimpulan hukum (fatwa) untuk memberlakukan satu jenis zakat, yang kemudian populer, dengan istilah zakat profesi atau zakat penghasilan. Sekedar menyebut diantaranya, ada dua ulama islam yang sangat berjasa dalam mensosialisasikan zakat profesi ini di Negara-negara arab dan berbagai Negara yang berpenduduk mayoritas muslim, termasuk umat islam Indonesia. Pertama, dr. yusuf qardawy, asal mesir, lewat karyanya yang berjudul ; fiqhu al-zakat, yang telah diterjemahkan ke berbagai bahasa, termasuk bahasa Indonesia. Kedua, dr.wahwah alzuhaily, asal suria, melalui karyanya yang berjudul al-fiqh al-islam wa adillatuhu. Namun demikian, perlu segera ditegaskan bahwa meskipun tidak ditemukan kajian zakat profesi secara spesifik dalam buku-buku fikih klasik, bukan berarti bahwa zakat yang sejenis dengan zakat profesi sama sekali tidak dikenal dalam sejarah fikih islam. Imam ahmad bin hanbal (164-241 H/780-855 M) misalnya, pernah berpendapat bahwa bila seorang muslim menyewakan rumahnya, dan nilai sewa itu mencapai jumlah minimal yang wajib dizakati (nishab), maka pemilik rumah itu harus segera mengeluarkan zakatnyta ketika menerima uang sewaan tersebut, dan tidak harus menunggu masa satu tatun (haul). Menyewakan rumah disini bisa diqiyaskan dengan menyewakan tenaga atau keahlian. Sebab, pada intinya, bekerja pada suatu perusahaan atau instansi adalah menyewakan keahlian. Imam malik bin anas (w. 93 H/711 M) dalam bukunya al-muwatta' meriwayatkan dari ibnu syihab, "bahwa muawiyah bin abu safyan adalah khalifah pertama yang memberlakukan dan memungut zakat untuk (penghasilan yang berupa) bonus atau insentif tetap". Pengelolaan dan pemungutan zakat yang paling sistematis dan terarah dalam sejarah islam, termasuk pemungutan zakat berbagai jenis profesi ketika itu, terjadi pada masa kekuasaan khalifah ke-8 dinasti umayyah, yakni umar bin abdul aziz (w. 719M), yang memang dikenal sebagai tokoh mujtahid di zamannya. Di masa umar bin abdul aziz inilah, "zakat penghasilan" dikelola secara ketat dan mencakup berbagai jenis penghasilan yang
Tugas Fikih Perbandingan: Zakat Profesi Dan Permasalahannya dikenal pada masa itu, seperti zakat untuk gaji prajurit islam, zakat bonus, zakat hadiah/hibah, bahka zakat al-muzhalim 9satu harta yang pernah disita oleh penguasa sebelumnya dan dikembalikan pada pemilik aslinya oleh penguasa (baru). Karena posisi zakat yang amat penting dan strategis dalam memberdayakan ekonomi umat, maka selain diwajibkan, juga ada ayat khusus yang memberikan hak dan wewenang kepada penguasa/pemerintah islam untuk memungut zakat dari orang-orang yang mampu dan kaya. Allah swt. berfirman: ambillah (pungutlah) zakat dari sebagian harta mereka (yakni orang-orang yang berkecukupan) untuk membersihkan dan mensucikan mereka (dari beban dosa), dan doakanlah mereka. Susungguhnya doamu untuk para pembayar zakat itu akan menciptakan ketentraman bagi mereka. Dan sungguh allah swt. Maha pendengar dan maha mengetahui. Sebagian besar ulama berpendapat bahwa perintah ambillah atau pungutlah zakat di ayat ini adalah perintah wajib yang harus dilaksanakan oleh pengelola dan penyelenggara Negara islam. Ayat 103 pada surat al-taubat ini pula yang dapat dijadikan argumentasi bahwa agar lebih efektif dan terarah, pemungutan dan penyaluran zakat mestinya dilakukan oleh lembaga resmi pemerintah. Namun, sebagian besar Negara yang bependuduk mayoritas muslim saat ini tidak menjadikan instrument zakat sebagai tugas kenegaraan. Sebagian umat islam, lewat kesadaran perorangan, tetap saja menghitung dan membayar sendiri zakatnya. Mungkin kerena itulah, sekarang ini, sulit mendapatkan data akurat tentang seberapa besar potensi zakat dikalangan umat islam Indonesia khususnya, dan umat islam di dunia secara kesuluruhan. Memang, harus diakaui bahwa berbagai Negara muslim, telah dibentuk berbagai badan dan lembaga pengelola dan pemungut zakat, seperti BAZIZ (badan zakat, infak dan sadaqah) di Indonesia. Namun, berbagai badan dan lembaga tersebut tidak memiliki pijakan hukum kenegaraan (undang-undang) yang memberikan wewenang untuk "memaksakan" pembayaran zakat. Seperti yang berlaku dan dipraktekkan pada pemungutan pajak dan sistem keuangan Negara-negara modern. Patut disyukuri bahwa di Indonesia, sejak tahun 1999, telah disahkan UU. No. 38, 1999 tentang pengelolahan zakat. Namun, sejauh ini, pelaksanaan UU zakat itu masih jauh dari harapan. Dan sulit membayangkan bahwa UU tentang zakat ini akan diimplementasikan sekuat dan serapi UU perpajakan. Sebab, untuk sampai ke arah itu, minimal diperlukan sebuah dirjen khusus untuk zakat, baik di bawah depertemen keuangan atau depertemen agama, dan juga didukung oleh sosialisasi hukum zakat yang peraktis. Tetapi, harus diakui bahwa pengesahan UU zakat ini adalah sebuah langkah yang sangat penting dan sangat strategis. Syukurlah, bahwa ketiadaan badan atau lembaga pengelola zakat yang memiliki kekuatan paksa secara hukum kenegaraan ini, justru tidak mengendurkan semangat umat islam menunaikan kewajiban zakatnya. B. Mengenal Zakat Profesi Bila hanya mengacu pada kajian konvensional tentang zakat mal (harta), yang banyak ditemukan pada buku-buku fikih, baik yang klasik maupun yang modern sekalipun, maka kita akan berhadapan dengan sederet kesulitan. Memang harus diakui bahwa berdagang, bertani, berternak dan bertambang adalah jenis pekerjaan atau profesi, yang juga bertujuan mendapatkan penghasilan dari usahanya. Tapi, penghasilan yang diperoleh seorang muslim yang murni sebagai "orang gajian", seperti karyawan pada suatu perusahaan dan instansi, atau sebagai tenaga professional, tidak pernah dibahas secara spesifik oleh para ulama fikih klasik. Padahal di zaman modern ini, banyak sekali jenis profesi baru yang muncul seiring dengan perkembangan aktifitas ekonomi masyarakat. Seperti disebutkan dalam pendahuluan, sungguh tidak adil dan bertentangan dengan prinsip keadilan islam, bila petani dan pedagang kecil yang nota bene penghasilannya kecil, justru diwajibkan membayar zakat. Sementara seorang eksklusif dan programer yang mungkin bergaji jutaan rupiah per bulan,justru dibiarkan tidak membayar zakat. Tetapi, meskipun zakat profesi yang kita kenal sekarang ini tidak pernah menjadi topik pembahasan secara rinci dalam khazanah islam klasik, namun bukan berarti bahwa para ulama islam klasik itu sama sekali tidak pernah membahas zakat, yang sejenis dengan zakat profesi. Imam ahmad bin hanbal misalnya, dikisahkan pernah menghidupi dirinya dengan menyewakan rumahnya, berpendapat seorang muslim yang menyewakan rumahnya, dan
Tugas Fikih Perbandingan: Zakat Profesi Dan Permasalahannya nilai sewanya itu mencapai nishab (jumlah minimal untuk dikenakan zakat), maka dia harus langsung mengeluarkan zakatnya, ketika dia menerima uang sewaan tersebut, tanpa harus menunggu syarat satu haul (satu tahun). Menyewakan rumah di sini bisa diqiyaskan dengan menyewakan tenaga ataupun keahlian pada sebuah perusahaan atau instansi, pada intinya, adalah menyewakan keahlian. Namun, menurut dr. yusuf qardawy, padanan hukum zakat profesi yang paling tepat adalah zakat Al-Mal Al-Mustafad (harta yang diperoleh melalui satu jenis proses kepemilikan yang baru dan halal). Jenis-jenis Al-Mal Al-Mustafad mencakup antara lain; (1) Al-Amalah (penghasilan yang diperoleh dalam bentuk upah atau gaji atas pekerjaan tertentu); (2) Al-A'thiyah (sejenis bonus atau insentif tetap yang diterima secara teratur oleh prajurit Negara islam dari baitul mal); (3) Al-Mazhalim (jenis harta yang disita secara tidak sah oleh penguasa terdahulu, dan telah dianggap hilang oleh pemilik aslinya, sehingga kalau harta itu dikembalikan kepada pemilik aslinya, maka harta tersebut dikategorikan sebagai harta yang diperoleh dengan kepemilikan baru, dan karena itu, wajib dizakati. Imam malik dalam bukunya al-muwatta' meriwayatkan dari ibnu syihab, "bahwa muawiyah bin abu safyan adalah khalifah islam pertama yang mulai memungut zakat dari bonus dan insentif tetap untuk prajurit islam". Simpulnya, bahwa apa yang kemudian disebut sebagai zakat profesi atau zakat penghasilan, sesungguhnya lebih banyak mengacu pada praktek atua fatwa Al-Salaf AlShalih (generasi awal islam yang shalih), yang kemudian dikombinasikan dengan prinsipprinsip dasar islam dan interpretasi terhadap ayat al-qur'an dan sunnah nabi. Sebab, memang tidak ada ayat al-qur'an dan sunnah nabi yang secara langsung berbicara tentang zakat profesi, dalam pengertian yang tidak kita kenal sekarang ini, tidak aneh, bila zakat profesi ini tampak seperti barang asing bagi sebagian umat islam. C. Makna Profesi Gambaran tentang zakat profesi ini mungkin akan lebih jelas bila kita menelusuri kosakata yang dipakai dalam bahasa arab modern untuk menyebutkan istilah profesi dan professional. Namun, sebelumnya, ada satu catatan penting yang perlu dicermati; bahasa arab adalah bahasa yang sangat sedikit menyerap bahasa asing. Biasanya, setiap kali muncul istilah baru dari bahasa asing, para ahli bahasa arab, lewat upaya perorangan atau lembaga kehasaan resmi, biasanya langsung mencari dan merumuskan padanannya yang paling pas dengan kosakata bahasa arab. Mereka menyerap bahasa asing bila benar tidak ada padanannya dalam bahasa arab, seperti kata demokrasi, yang dalam bahasa arab juga AlDimuqrathiyah (Cuma mendapatkan tambahan Alif-Lam di awal kata, dan Ya' Al-Nisbah di akhir kata). Di Negara-negara arab modern, kosakata profesi atau profession diterjemahkan dan dipopulerkan dengan dua kosakata bahasa arab, yaitu; 1. Al-Mihnah (seringnya dipakai untuk menunjuk pekerjaan yang lebih mengandalkan pekerjaan otak). Karena itu, kaum professional disebut Al-Mihaniyyun atau Ashab Al-Mihnah, seperti pengacara, penulis, intelektual, dokter, konsultan, pekerjaan kantoran dan sejenisnya. 2. Al-Hirfah (lebih sering dipakai untuk menunjuk jenis pekerjaan yang mengandalkan tangan atau otot), misalnya, para pengerajin, pande besi, tukang las, mekanik bengkel, tukang jahit dan konveksi, buruh bangunan dan sebagainya. Mereka ini disebut ashab al-hirfah (tukang). Anehnya, ism fa'il (kata pelaku) dari al-hirfah ini, yaitu al-muhtarifun terkadang juga dipakai untuk menyebut kaum professional. Sebenarnya, memang tidak gampang menarik garis demokrasi yang jelas dan tajam anatara kerja otak dan kerja otot. Sebab, di masa modern ini, banyak sekali jenis pekerjaan, selain mengandalkan tenaga (otot), juga pada saat yang sama, memerlukan kemampuan intelektual (otak). Pada bengkel-bengkel besar, yang tentu saja dikelolah secara professional, para mekaniknya, selain dituntut memiliki keahlian teknis (dalam arti tukang), juga dituntut memiliki pengetahuan intelektual untuk mengasah kemampuan analisis mereka sesuai dengan bidang pekerjaannya. Dan ini biasanya diperoleh lewat sistem traning (pelatihan) yang berjenjang dan berkesinambungan. Kesimpulannya, akan lebih aman dari sudut pandang hukum fikih, bila kita tidak membedakan anatara profesi yang mengandalkan kerja otak di satu pihak dan pekerjaan yang mengandalkan kerja otot atau tenaga fisik.
Tugas Fikih Perbandingan: Zakat Profesi Dan Permasalahannya Adapun penghasilan, gaji atau upah, yang diperoleh dari dua ketegori pekerjaan di atas (al-mihnah dan al-hirfah) biasanya disebut al-kasb (pengahasilan atau pendapatan). Dalam kaitan ini, allah swt. berfirman, wahai orang-orang beriman, infaqkanlah (keluarkanlah zakat) dari sebagian penghasilan halal yang kamu dapatkan (qs. Al-baqarah [2]; 267). Mungkin, ciri khas utama kaum professional adalah bahwa mereka bekerja dibidang pelayanan atau jasa. Jadi, bukan penjualan dan pembelian barang lewat proses jual beli. Pada umumnya, kaum professional bekerja pada pihak lain (perorangan atau lembaga), dan untuk itu, mereka mendapatkan imbalan atau penghasilan lewat sistem upah, gaji ataupun bonus. Akan tetapi, sebuah profesi dan seorang professional juga dimungkinkan berdiri sendiri, dalam arti bukan sebagai karyawan yang terikat dengan pihak lain, misalnya, praktek seorang dokter dan konsultan hukum. Di sini mereka menjual jasa kepada kliennya. Dengan demikian, kalau dikaitkan dengan kajian zakat profesi, dapat dikatakan bahwa profesi adalah; (1) segala jenis pekerjaan selain bertani, berdagang/berniaga, bertambang, berternak; (2) pekerjaan yang lebih banyak bergerak di bidang jasa atau pelayanan, pekerjaan itu pada umumnya dilaksanakan perdasarkan basis ilmu dan teori tertentu; (3) imbalan atau penghasilannya biasanya berupa upah atau gaji dalam bentuk mata uang, baik bersifat tetap atau tidak tetap. Dikatakan selain bertani, berdagang, bertambang, berternak, karena keempat jenis pkerjaan ini sudah ditentukan nilai zakatnya. Sementara kalimat imbalan atau penghasilan yang didapatkan biasanya berbentuk upah atau gaji, agar tidak mencakup jenis pekerjaan yang mengandung unsur dagang (proses jual beli). Semua jenis penghasilan yang didapatkan oleh para professional tersebut, bila memenuhi syarat nishab dan haul, maka harus dikeluarkan zakatnya. Jenis zakat inilah yang kemudian disebut dengan istilah zakat profesi. Sebagian sarjana muslim menyebutkan zakat penghasilan. Namun, untuk menghindari kesalah pahaman dengan jenis penghasilan dari usaha lain seperti berdagang dan bertani, maka penulis lebih memilih menggunakan istilah zakat profesi. D. Persinggungan Zakat Profesi Dengan Zakat Niaga Diantara jenis zakat mal yang dikatakan paling banyak memiliki kemiripan dengan zakat profesi adalah zakat niaga. Dalam banyak kasus, memang sering sulit menarik garis demokrasi yang jelas dan tajam adalah kedua zakat tersebut. Sebab, ada beberapa profesi yang juga memiliki sifat dan ciri-ciri niaga, sehingga penghasilannya sulit dipilih untuk menentukan mana yang bersumber dari niaga/dagang, dan mana yang dari jalur profesi. Usaha bengkel, misalnya, selain menjual jasa pelayanan dan perawatan (karena itu, penghasilannya dikenakan zakat profesi), juga pada umumnya menjual suku cadang (karena itu, keuntungan dan modalnya dikenakan zakat niaga). Dengan kata lain, dalam menjual suku cadang, sebuah bengkel lebih berfungsi sebagai agen penjalan alias berdagang; membeli barang dan berniat menjualnya kembali, dengan harapan mendapatkan margin keuntungan. Dalam kasus bengkel ini, tentu sang pemililk atau pengusaha bengkel itu akan sulit memilah-milah penghasilannya. Kalau pun dilakaukan pembukuan yang serapi mungkin, tetap saja akan merepotkan. Karena itu, solusi rasionalnya adalah menentukan bagian penghasilan yang dominan. Jadi, kalau penghasilan dari pelayanan jasa bengkel lebih dominan, maka seluruh penghasilannya dikenakan zakat profesi. Tapi kalau penjaulan suku cadang lebih dominan, maka seluruh penghasilannya dikenakan zakat niaga. Kalau perbandingannya seimbang, maka pemillik bengkel berhak menentukan salah satu dari zakat niaga atau zakat profesi. Solusi seperti ini tidak menabrak hukum fikih. Sebab besaran zakat niaga dan zakat profesi sama-sama 2,5 persen. Lebih pelik lagi, kalau persoalan ini ditarik ke industri-industri besar yang biasanya menguasai lini produksi dari hulu ke hilir. Selain memproduksi barang, industri besar juga mendistribusikan dan bahkan memiliki divisi penjualan khusus dalam bentuk anak perusahaan, yang berfungsi sebagai agen yang berdiri sendiri (bisa berupa toko penjualan grosir atau eceran). Kerena itu, keuntungan yang didapatkan dari proses memproduksi barang dikenakan zakat profesi, sementara keuntungan dari distribusi dan penjualan dikenakan zakat niaga.
Tugas Fikih Perbandingan: Zakat Profesi Dan Permasalahannya Namun, mengacu pada difinisi niaga dalam buku-buku fikih, akan segera tampak perbedaan antara zakat profesi dan zakat niaga yang mudah diindetifikasi. Disebutkan bahwa "harta niaga adalah segala barang atau harta, yang dibeli dan diniatkan untuk dijual kembali dengan maksud memperoleh margin keuntungan". Dengan demikian, harta niaga memiliki dua ciri khas utama, yaitu (1) niat untuk diperjualbelikan dan (2) proses jual beli itu sendiri. Artinya, bila seorang membeli sebuah barang dan sejak awal sudah berniat untuk menjalnya kembali (alias bukan untuk digunakan sendiri atau dihibahkan atau diproses ulang), maka ketika barang tersebut benar-benar dijual keembali, berarti hasil penjualannya dan modalnya wajib dikenakan zakat niaga sebesar 2,5 persen, bila memenuhi syarat nishab dan haul. Sementara dalam zakat niaga di atas, dengan gambelang memperlihatkan perbedaan yang cukup signifikan dengan zakat profesi. Cuma, harus tetap hati-hati. Sebab, terdapat banyak persamaan antara zakat naiga dan zakat profesi. E. Padanan Hukum Dan Nilai Zakat Profesi Seperti disebutkan sebelumnya bahwa zakat profesi memang tidak memiliki pijakan dalil langsung,baik dari al-qur'an maupun sunnah nabi, maka adalah sangat krusial untuk membahas soal padanan hukum zakat profesi. Dengan kata lain, untuk mendapatkan kepastian tentang hukum zakat profesi, maka zakat profesi itu perlu dibandingkan- untuk selanjutnya diqiyaskan- dari salah satu dari lima jenis zakat yang sudah dikenal dan diperaktekkan pada zaman rasulullah saw. Metode perbandingan (analogi) inilah yang dalam ilmu ushul fikih disebut qiyas. Tetapi, dengan metode qiyas ini pun, ternyata tidak gampang untuk secara tegas menentukan padanan hukum zakat profesi. Karena itu, seperti disebutkan sebelumnya, al-qardhawy justru mengqiyaskannya dengan jenis zakat Al-Mal Al-Mustafad. Cuma sekali lagi, karena tidak ada daling langsung dari al-qur'an dan sunnah nabi yang membahas soal zakat profesi, maka qiyas adalah satu-satunya jalan yang dapat ditempuh. Qiyas ini, antara lain, akan menentukan berapa nilai (persentase) zakat profesi. Sebab, seperti diketahui, zakat untuk masing-masing lima jenis zakat mal memang berbedabeda. Emas, misalnya, nilai zakatnya sebesar 2,5 persen per tahun. Zakat niaga sebesar 2,5 persen terhadap modal dan keuntungan per tahun. Sementara zakat pertanian tadah hujan sebesar 10 persen, dan 5 persen untuk hasil pertanian yang dikelola den digarap dengan irigasi. Adapun nilai zakat tambang sebesar 20 persen. Jadi, katakanlah, zakat profesi dipadankan atau diqiyaskan dengan zakat tambang, maka nilai zakat profesi menjadi 20 persen. Sementara kalau dipadankan dengan zakat emas atau zakat niaga, maka nilai zakatnya Cuma sebesar 2,5 persen. Oleh kerena hampir semua penghasilan profesi diterima dalam bentuk mata uang keras, maka para ulama modern sepakat bahwa hukum zakat profesi disamakan dengan hukum zakat naqd (emas dan perak). Seperti diketahui, dalil yang dipakai untuk mewajibkan zakat terhadap emas dan perak adalah antara lain; 1. Firman allah swt. "….sesungguhnya orang yang mengumpulkan atau menumpuk emas dan perak, dan tidak membelanjakannya di jalan allah (tidak dizakati), maka sampaikanlah kepada mereka tentang ancaman dan siksaan yang pedih" (qs. Ataubat: 34). 2. Firman allah swt. "wahai orang-orang beriman, infaqkanlah (keluarkanlah zakat) dari sebagian penghasilan halal yang kamu dapatkan" (qs. Al-baqarah; 267) 3. Hadis nabi: sabda rasulullah saw, yang disampaikan oleh ali bin abi thalib, "kalau anda memiliki 200 dirham (perak), maka harus dikeluarkan zakatnya sebesar 5 dirham (yakni sebesar 2,5 persen). Dan kalau anda memiliki 20 dinar (emas), maka wajib dikeluarkan zakatnya sebesar 0,5 (setengah) dinar (yakni sebesar 2,5 persen). 4. Di hadis lain, rasulullah saw. Bersabda, mata uang perak dikenakan zakat sebesar rub'u al-usyr (2.5 persen). Keempat dalil di atas, yang aslinya merupakan dalil untuk zakat emas dan perak, juga dijadikan pijakan hukum untuk mewajibkan dan menentukan besaran nilai zakat profesi. Oleh kerena nilai zakat emas dan perak adalah 2,5 persen per tahun, maka nilai zakat profesi pun sebesar 2,5 persen terhadap saldo bersih, yang memenuhi nishab (setara dengan 85 gram emas), setelah dipotong kebutuhan pokok dan utang.
Tugas Fikih Perbandingan: Zakat Profesi Dan Permasalahannya F. Syarat-Syarat Zakat Profesi Perlu segera ditegaskan bahwa tidak semua penghasilan profesi wajib dikenakan zakat, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi. Dan syarat-syarat zakat profesi ini sebenarnya tidak berbeda dengan syarat-syarat yang berlaku pada jenis zakat lainnya. Secara singkat penghasilan dari suatu profesi wajib dan harus dikeluarkan atau dibayarkan zakatnya, bila memenuhi empat syarat sebegai berikut: 1. Memenuhi nishab (jumlah minimal), yang nilainya setara dengan 85 gram emas. Jadi, kalau diasumsikan harta rata-rata emas dalam sebulan (atau setahun) sekitar rp. 81.000 per gram, berarti penghasilan yang wajib dizakati adalah saldo bersih penghasilan yang mencapai (81.000 x 85 gram) rp. 6.885.000 (dibulatkan menjadi rp. 7.000.000). Kalau saldo bersi itu kurang dari nishab, maka tidak wajib dizakati. Kalaupun dikeluarkan, bukan zakat profesi namanya, tetapi sedekah atau infaq biasa. 2. Penghasilan tersebut sudah tersimpan atau telah dimiliki selama satu tahun. 3. Jumlah saldo bersih dihutang setelah dikeluarkan atau dipotong kebutuhan pokok (sandang, pangan, papan, tranportasi, kesehatan, dan pendidikan). 4. Jumlah saldo minimal itu harus bebas dari kewajiban utang (seperti kridit rumah, kendaraan yang dipakai kerja dan jenis utang untuk kebutuhan pokok lainnya). Kalau setelah dipotong utang, dan saldo bresihnya tidak memenuhi nishab, maka saldo penghasilan itu tidak wajib dizakati. Cuma saja, utang disini mestinya dihitung berdasarkan tanggal jatuh tempo priodiknya. Dengan kata lain, kalau jatuh tempo suatu utang bersifat bulanan, maka harus disesuaikan dengan saldo minimal bulanan juga. Artinya, saldo minimal bulanan tidak bisa diperhadapkan dengan total utang (kridit) secara keseluruhan, yang mungkin bisa berlangsung bertahun-tahun. Agar lebih singkat, praktis dan mudah dipahami, keempat syarat di atas bisa dirangkum menjadi dua syarat saja, yaknni; 1. Zakat peofesi dikenakan pada saldo penghasilan yang memenuhi nishab (setara 85 gram emas), setelah dipotong utang dan kebutuhan pokok. 2. Pembayaran zakat profesi itu dihitung dan dibayarkan satu kali dalam setahun. G. Mengukur Kebutuhan Pokok Allah swt. berfirman, ….dan mereka bertanya kepadamu (Muhammad) tentang harta apa yang harus disedekahkan/dizakati, maka katakanlah al-'afwu (yakni harta yang lebih dari kebutuhan pokok)..(qs. Al-baqarah: 219). Seperti disebutkan sebelumnya, penghasilan yang wajib dizakati adalah saldo bersih, yang telah memenuhi nishab, setelah dikurangi/dipotong kebutuhan pokok dan utang. Pertanyaannya adalah, bagaimana mengukur besar kebutuhan pokok ini? Dan komponen kebutuhan apa saja, yang dapat diketegorikan sebagai kebutuhan pokok? Kebutuhan pokok ini identik dengan kebutuhan hidup minimum (KHM) dalam kajian upah perburuan nasional, yang biasanya dipublikasikan biro pusat statistik (BPS) secara periodik setiap tahun. Biasanya, nilai KHM ini berbeda-beda antar satu wilayah dengan wilayah lainnya secara nasional. Dalam ilmu fikih, sebenarnya, tidak ada penejelasan rinci tentang kebutuhan pokok ini. Menurut ibnu malik, kreteria kebutuhan pokok adalah "semua jenis kebutuhan yang bila tidak dipenuhi, dapat menimbulkan kebinasaan pada diri seseorang, misalnya, kebutuhan pangan, perumahan, alat perang dan pakaian yang dibutuhkan untuk musim panas dan dingin. Difinisi seperti ini tentu sangan umum dan fleksibel. Kata al-halak (kebinasaan) dalam kutipan itu, antara lain, dapat diartikan kematian, sakit, kelaparan, kecelakaan. Namun, di zaman modern ini, berdasarkan realitas kehidupan ekonomi dan social yang kasat mata, paling tidak ada enam jenis kebutuhan hidup, yang beleh diketegorikan sebagai kebutuhan pokok, dan bisa berlaku umum untuk semua orang, kapanpun dan dimanapun, yaitu; 1. Pangan (Makanan Dan Minuman) Kebutuhan pangan juga merupakan kebutuhan pokok semua orang, yang juga sangat relatif. Namun, untuk alasan kepraktisan, standar yang dapat digunakan acuan adalah perinsip empat sehat lima sempurna atau prinsip gizi seimbang (yang diasumsikan telah memenuhi sumber energi untuk memenuhi kebutuhan kalori; sumber zat pembangunan
Tugas Fikih Perbandingan: Zakat Profesi Dan Permasalahannya untuk memenuhi kebutuhan protein; sumber zat pengatur untuk memenuhi kebutuhan vitamin dan mineral). 2. Sandang (Pakaian) Pakaian adalah salah satu kebutuhan pokok manusia. Cuma, memang agak pelik mengukur secara pasti berapa besar kebutuhan minimal seseorang dalam soal pakaian. Dalam kitab-kitab fikih klasik sekalipun, tidak ada penjelasan berapa persisnya jumlah baju, celana, sarung, pakaian dalam, alas kaki (sepatu,sandal, kaus kaki), yang dianggap sebagai kebutuhan pokok. Para ulama klasik hanya mengatakan, pakaian yang dibutuhkan untuk menghindari panas (di musim panas), dan menghindari dingin (di musim dingin). Dengan devinisi yang sangat umum dan fleksibel seperti ini, jumlah pakaian memang tidak jelas. Lagi pula, ada beberapa jenis pakaian yang merupakan kebutuhan pokok bagi seseorang, seperti dasi bagi perusahaan yang mewajibkan karyawannya mengenakan dasi. Sementara bagi orang lain, desi adalah kebutuhan skunder. Oleh kerana memang sulit mengukur secara pasti jumlah kebutuhan pokok dalam soal pakaian ini, maka setiap muslim memerlukan semacam kearifan tersendiri dalam menghitung jumlah pakaian sebagai kebutuhan pokok. Kreteria sederhana dan praktis yang mungkin dapat dijadikan acuan adalah tidak mengorbankan penampilan, tapi juga tidak sampai berlebihan. 3. Papan (Perumahan) Kebutuhan akan tempat tinggal (rumah) juga merupakan kebutuhan pokok. Dan kebutuhan pokok di sini juga harus mencakup seluruh bentuk pengeluaran yang berkaitan dengan rumah tinggal ini, seperti biaya perawatan, keamanan dan sejenisnya. 4. Kesehatan Hidup sehat adalah salah satu prinsip agama islam, yang sering tidak mendapatkan porsi perhatian yang memadai. Padahal, peradaban dan masyarakat madani hanya mungkin dibangun oleh masyarakat yang sehat jasmani dan rohani, di zaman modern ini, biaya kesehatan setiap orang bukan lagi sekedar biaya obat ketika sakit. Tetapi lebih penting adalah juga biaya pemeliharaan dan perawatan kesehatan sebagai tindakan pencegahan. 5. Tranportasi Di dalam kajian tentang zakat, biaya tranportasi ini nyaris tidak mendapatkan perhatian yang signifikan. Padahal, di zaman modern ini, belanja harian untuk biaya tranportasi dari dan ke tempat kerja adalah salah satu item belanja yang tidak terelakkan. Dan besaran nilai belanja tranportasi ini, khususnya bagi mereka yang memiliki kendaraan pribadi, memang kadang sulit diperkirakan. Ada saja yang rusak dan perlu diganti atau diservis. 6. Pendidikan Para ulama islam sepakat bahwa pendidikan merupakan kebutuhan pokok muslim, tanpa kecuali. Kebodohan dianggap sebagai begian dari kebinasaan. Bahkan kebodohan disamakan dengan kelaparan. Kerana itu, bila makan adalah kebutuhan pokok setiap muslim, begitu pula pendidikan. Pengeluaran atau belanja rutin untuk pendidikan ini bisa mencakup antara lain, biaya sekolah dan kursus anak, biaya seminar, pembelian buku-buku agama (yang menyajikan informasi desar tentang agama), pembelian buku yang diperlukan untuk perluasan wawasan dan lain sebagainya. Seluru atau keenam item kebutuhan pokok di atas harus dihitung dengan cermat dan juga arif, lalu dikurangi dengan total penghasilan. Bila saldo bersihnya masih memenuhi nishab, maka itulah yang dikeluarkan zakatnya. Dan kalau keenam jenis kebutuhan pokok di atas diterapkan secara ketat, maka sesungguhnya banyak umat muslim yang mungkin mengira dirinya wajib zakat, padahal ternyata tidak. Belakangan, sebagian muslim menghitung dan membayar zakat ketika menerima gaji bulanan, dan sebelum dipotong biaya kebutuhan pokok. Tentu saja, tindakan ini tidak salah, tapi islam adalah agama yang sangat manusiawi, dan tidak menggunakan prinsip pemaksaan terhadap umatnya yang belum memenuhi syarat untuk menjalankan suatu perintah keagamaan. Kalau memang sanggup dan tidak merepotkan silahkan saja dilakukan. Tapi, kalau akan menyulitkan kehidupan keseharian, islam telah menyediakan alternatif pembayaran zakat yang cukup melegakan, prinsipnya jangan dipaksakan.
Tugas Fikih Perbandingan: Zakat Profesi Dan Permasalahannya
H. Wacana Baru Zakat Profesi 1. Barang Modal Dan Bagaimana Menzakatinya Diantara persoalan yang paling menarik tersebut adalah bagaimana menzakati harta kekayaan yang oleh ilmu ekonomi disebut sebagai barang modal ? persoalan barang modal ini sebenarnya telah dibahas oleh Dr. yusus al-qardawy dalam bukunya, fiqh al-zakat, dan istilah yang digunakan untuk menyebut barang modal ini adalah al-mustaghallat (barang atau harta yang aslinya tidak dikenakan zakat terhadap barang itu sendiri, dan tidak juga diperdagangkan. Tapi, barang itu dijadikan sarana untuk memperoleh penghasilan, baik lewat penyewaan atau sebagai sarana untuk memperoduksi barang yang bisa dijual). Dengan definisi ini, dan setelah melakukan penelitian yang sangat mendalam dan komperhensif, al-qardhawy berkesimpulan bahwa harta kekayaan yang dikategorikan al-mustaghallat adalah harta yang wajib dizakati. Kesimpulan ini mengacu kepada argumentasi kaidah fikih; bahwa illat (sebab) yang mengakibatkan suatu barang wajib dizakati adalah bila materi barang tersebut dijadikan sebagai obyek pertambahan nilai. Barang yang dijadikan sebagai obyek pertambahan nilai tersebut terbagi menjadi dua jenis; a. jenis barang yang dikenakan zakat terhadap modal dan hasilnya (produknya), misalnya, barang daganagan, yang dikenakan zakat sebesar 2,5 persen, setelah cukup satu tahun. b. Jenis barang yang dizakati produknya saja. Dengan kata lain, barang modalnya tidak dikenakan zakat. Misalnya, zakat hasil pertanian/ perkebunan. Lahan pertaniannya tidak dikenakan zakat. Sementara hasil pertaniannya saja yang langsung dikenakan zakat ketika dipanen, tanpa harus menunggu masa satu tahun. Nilai zakatnya 5 persen kalau digarap dengan irigasi, dan atau 10 persen kalau dikelola dengan sistem tadah air hujan atau mata air. Menurut al-qardhawy, karena argumentasi illat pertambahan nilai ini pula, yang menjadi alasan kuat sehingga emas perhiasan wanita, rumah tempat singgah dan tanah pertanian tidak dikenakan zakat. Sebab, ketiga jenis barang ini nilainya tidak berkembang dan tidak bertambah di tangan pemiliknya. Contoh lain yang sering dikemukakan adalah peralatan cukur yang dipakai seorang tukang cukur, seperti gunting, sisir, dan tempat cukurnya. Atau peralatan tukang kayu, seperti gergaji, palu, tang, obeng dan perkakas lainya. Semua jenis peralatan tukang cukur dan tukang kayu tersebut tidak dikenakan zakat, karena tidak bertambah nilainya. Bahkan sebaliknya, justru mengalami penyusutan. Dengan demikian, lanjut al-qardhawy, dapat dikatakan bahwa prinsip pertambahan merupakan syarat utama untuk memberlakukan wajib zakat bagi suatu jenis barang. Namun, argumentasi pertambahan nilai ini sebenarnya tidak terlalu kuat. Sebab, sekarang ini, emas perhiasan, rumah tinggal dan lahan pertanian adalah jenis barang yang juga bisa bertambah nilainya berdasarkan teori permintaan dan penawaran. Kerena itu, kalau sekedar pertambahan nilai sehingga suatu barang dikenakan zakat, mestinya ketiga barang ini juga dikenakan zakat. Tapi, ternyata berbagai hadis nabi menegaskan bahwa ketiga jenis barang itu tidak boleh dikenakan zakat. Karena itu, penulis berkesimpulan, semua jenis barang yang bersifat barang modal tidak boleh dikenakan zakat. Sebab, barang modal adalah barang yang tidak diperjual belikan, meskipun digunakan sebagai sarana untuk memperoleh penghasilan, dan nilainya bisa bertambah dan menyusut selama periode tertentu. Karena itu, barang seperti kendaraan yang dipakai sebagai tranportasi ke dan dari tempat kerja juga tidak dikenakan zakat. Posisinya persis seperti kuda, yang dipakai sebagai kendaraan pemiliknya, yang memang tidak wajib dizakati. Lagi pula, tidak ada perbedaan yang signifikan antara peralatan cukur dan peralatan pabrik bagi seorang pemilik pabrik, kecuali dalam segi modal dan skala bisnisnya. Peralatan cukur dipakai untuk memperoleh penghasilan, demikian pula peralatan pabrik digunakan untuk memproduksi barang guna mendapatkan penghasilan lewat penjualan barang produksinya.
Tugas Fikih Perbandingan: Zakat Profesi Dan Permasalahannya 2. Gaji Dan Penggabungan Penghasilan Sejenis Dalam kajian hukum zakat, dikenal kaidah yang mengatakan "penggabungan dua atau lebih penghasilan sejenis". Jika demikian, maka penghasilan yang didapat dari gaji sebagai karyawan pada sebuah perusahaan, bisa digabungkan dengan penghasilan yang diperoleh dari usaha bengkel atau wartel dan sejenisnya. Sebab, penghasilan dari usaha bengkel dan wartel ini sejenis dengan penghasilan yang diperoleh dari gaji sebagai pegawai pada sebuah perusahaan. Demikian juga dengan hibah atau hadiah dalam bentuk uang tunai dari pihak tertentu. Semua tahu, selain menerima gaji pokok, seorang karyawan juga menerima berbagai jenis tunjangan, yang kadang lebih besar jumlahnya dibanding gaji pokok. Belum lagi tambahan penghasilan yang berupa bonus dan insentif, THR dan seterusnya. Selain itu, hampir setiap karyawan mendapatkan penghasilan bunga atas tabungan gajinya di perbankan. Maka, semua jenis penghasilan tambahan yang sejenis dengan gaji ini digabungkan atau ditambahakan ke saldo bersih, lalu dikeluarkan zakatnya sebesar 2,5 persen. Singkatnya, berikut adalah beberapa penghasilan yang sejenis dengan gaji atau upah, yang harus digabungkan menjadi satu sebelum menghitung dan membayar zakat profesi: (1) berbagai jenis tunjangan; (2) bonus; (3) hibah atau hadiah; (4) bunga atas simpanan di dunia perbankan; (5) sumbangan; (6) penghasilan yang diperoleh dari berbagai jenis usaha yang bergerak di bidang jasa, dan lain sebagainya. Satu obyek zakat tidak boleh dikenakan zakat ganda. Dalam dunia perpajakan modern, kita mengenal istilah pajak ganda yang tidak dibolehkan terhadap satu obyek pajak selama periode tertentu (biasanya satu tahun). Di dalam zakat pun, tidak boleh mengenakan zakat ganda terhadap satu obyek zakat selama periode satu tahun. Dalam kaitan ini, rasulullah saw.bersabda, "tidak diperbolehkan mengenakan zakat ganda terhadap satu obyek zakat", selama periode satu tahun. Karena itu, salah satu manfaat syarat haul yang telah dibahas adalah untuk memastikan tidak terjadinya zakat ganda. Misalnya, ketika menerima penghasilan atau gaji bulan januari 2008 sebesar Rp. 7.000.000, si zaki (orang yang zakat) langsung mengeluarkan zakatnya, sebab telah memenuhi nishab. Maka gaji bulan januari itu tidak lagi dikeluarkan zakatnya, ketika menghitung dan membayar zakat gaji bulan februari 2008. Tetapi, di Indonesia, tidak terlalu banyak orang yang berpenghasilan atau menerima gaji bulanan, yang senilai 85 gram emas (atau sekitar Rp. 7.000.000). menurut sejumlah sumber, gaji para karyawan dan staf di Indonesia rata-rata berkisar Rp.1.000.000- 3.000.000 per bulan. Dengan demikian, nishab zakat baru akan tercapai setelah beberapa bulan gaji. Dan katakanlah, nishab itu baru terpenuhi setelah 6 bulan gaji (januari – juni 2008), dan langsung dizakati pada akhir juni 2008, maka saldo akumulasi gaji enam bulan ini (januari – juni 2008), tidak beleh lagi dikenakan zakat selama periode satu tahun, yakni sampai bulan juni 2009. Karena itu, untuk menghindari zakat ganda ini, setiap muslim harus menghitung dengan cermat mana uang yang telah dikeluarkan zakatnya, dan mana yang belum dizakati, selama periode satu tahun. I. Kerancuan Ushul Fiqh Berdasarkan hadis mu'adz yang terkenal, ada tiga tahap menetapkan hukum dalam islam. Tetapkanlah dalam al-Qur'an, jika ada aturannya di sana. Jika tidak ada, cari dalam al-sunnah. Jika tidak ada dalam kedua-duanya, gunakanlah ra'yu (pendapat). Jadi, untuk kasus-kasus baru yang tidak ada rujukannya di dalam al-Qur'an dan al-sunnah, kita boleh menggunakan pendapat sendiri.untuk itu tidak diperlukan dalil naqly (karena dianggap tidak ada). Bila konsisten pada aksioma ini,kita harus mengasumsikan dua hal. Pertama, ada kasus yang tidak dapat dijawab oleh al-Qur'an dan al-sunnah. Ini berarti sumber syari'at itu tidak lengkap,tidak universal, dan tidak selalu relevan. Kedua, ijtihad adalah proses penetapan hukum yang rasional. Asumsi pertama-al-qur'an dan al-sunnah- tidak lengkap tentu sangat sukar diterima. Banyak dalil yang menjelaskan bahwa agama ini sudah sempurna, dan al-qur'an dapat menjadi penjelasan untuk segala persoalan (tibyanan likulli syar'i). asumsi kedua juga sukar
Tugas Fikih Perbandingan: Zakat Profesi Dan Permasalahannya dibenarkan. Bila mujtahid dapat menetapkan syari'at dengan nalarnya, maka ia sudah menyaingi allah dan rasulnya. Berangkat dari kemelut ini, para ulama-antara lain- menghasilkan kesimpulan (yang masih tetap rancu).yaitu, mereka membagi hukum islam dalam dua bagian besar: urusan ibadat dan urusan adapt (keduniaan). Berdasarkan hadis nabi yang polpuler " antum a'lamu bi umuri dunyakum (kamu lebih tahu urusan duniamu)," terjadilah pemisahan pendekatan diantara keduanya. Dalam urusan ibadat, kita tidak boleh menggunakan nalar.tidak ada ijtihad di situ. Bila tidak ada dalam al-Qur'an danal-sunnah maka jangan lakukan. Dibuatlah kaidah :" apa pun (yang ditambah-tambah) dalam ibadat hukumnya haram, jika tidak ada dalil yang memerintahkan (dalam al-Qur'an dan al-sunnah). Karena zakat itu termasuk urusan ibadat, maka tidak boleh melakukan sesuatu yang tidak ada dalilnya. Zakat profesi tidak diatur dalam syari'at; kerena itu tidak wajib. Kaum modernis berpendapat tidak ada qiyas dalam urusan ibadat. Qiyas adalah penggunaan ra'yu,dan ra'yu tidak dibenarkan dalam dalam urusan ibadat. Anehnya, dalam satu diskursus mereka menggunakan qiyas, seperti penentuan zakat profesi. Karena tidak ada dalil yang tegas tentang zakat profesi (yang sekarang disebut dengan al-mal almustafad), maka meraka menggunakan qiyas (analogi). Dengan melihat 'illat (sebab hukum) yang sama, mereka meng-qiyas-kan zakat profesi dengan aturan zakat yang sudah ada. Yang musykil-seperti lazimnya bila kita menggunakan qiyas- adalah ketidakjelasan tentang harus si-qiyas-kan ke mana. Syaikh Muhammad al-ghazali meng-qiyas-kan zakat profesi dengan zakat pertanian. Di sini berlaku nishab (batas minimal wajib zakat), tetapi tidak berlaku hawl (masa satu tahun pemilikan). Zakat profesi, seperti zakat pertanian, dikeluarkan kapan saja kita memperoleh penghasilan. Ada juga ulama yang meng-qiyas-kan zakat profesi dengan emas dan perak. Menurut sebagian ulama (dan ini masih diperdebatkan), di sini berlaku nishab dan hawl. Bila diqiyas-kan dengan emas, maka nishabnya itu 85 gram ( + Rp. 1.700.000). bila di-qiyas-kan dengan perak, maka jumlah nishabnya 653 gram ( + Rp. 326.000). karena ada hawl maka jumlah nishab itu haruslah setelah penghasilan dijumlahkan selama satu tahun. Yang menjadi kemusykilan adalah penggunaan standar (emas atau perak)?. Menurut hemat penulis, yang pantas digunakan adalah dengan menggunakan standar emas, hal ini didasarkan pada –di samping lebih umum- kemudahan bagi penzakat. Karena bila menggunakan standar perak maka bila pengahasilan selama sebulan sebesar Rp. 30.000 maka harus mengeluarkan zakat. Tampak bahwa meng-qiyas-kan zakat profesi kepada pertanian, perak dan emas dan lain-lain adalah sangat musykil. Memilih satu diantaranya hanya mejadi selera seorang pemilih. Tidak ada keterangan terkuat. Semuanya lemah. Umumnya mereka ber-istidlal kepada surah al-baqarah ayat 267, "infakkanlah sebagian yang baik-baik dari hasil usahamnu dan hasil-hasil yang kami keluarkan dari bumi…" di sini kewajiban infak dari hasil usaha direndangkan dengan infak dari hasil-hasil "yang kami keluarkan dari bumi". Apa yang "kami keluarkan dari bumi" ? emas dan perak, pertanian, juga barang tambang dan barang temuan. Jika di-qiyas-kan dengan yang pertama, zakat profesi menjadi dua setengah persen; dan dengan yang kedua menjadi sepuluh persen; dengan yang ketiga menjadi 20 persen. Walhasil, surah al-baqarah 267 tidak dapat menyelesaikan kemusykilan. J. Meluruskan Ushul Fiqh Marilah kita lihat lagi konsep ijtihad. Ijtihad haruslah diartikan sebagai konsep menetapkan keputusan dengan meggali dalil-dalilnya dari al-qur'an dan al-sunnah. Jadi, sumber hukum islam hanya adadua itu. Kita percaya setiap kasus baru pasti ditunjukkan jawabanya dalam al-qur'an dan al-sunnah. Bila betul-betul kasus itu tidak terjawab oleh kedua sumber itu, maka kita berpegang pada kaidah al-bara'atul al-ashliyyah. Pada pokoknya bila allah tidak menyebutkan atau memberikan petunjuknya yang jelas, maka kita jangan mengasumsikan bahwa allah lupa; tetapi allah ingin memberikan keleluasaan kepada manusia. Mengenai zakat profesi, apakah ada dalil di dalam al-qur'an atau al-sunnah tentang zakat professional tanpa menggunakan qiyas?. Jawabanya: ada, yaitu surah al-anfal ayat 41. biasanya ayat ini deterjemahkan sebagai berikut: dan hendaklah kamu ketahui bahwa apaapa yang kamu rampas dalam peperangan, sebenarnya seperlimanya untuk allah, untuk rasul, kerabat, anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang dalam perjalanan.
Tugas Fikih Perbandingan: Zakat Profesi Dan Permasalahannya Secara singkat, di luar zakat,ada kewajiban mengeluarkan perlimaan dari pekerjaanpekerjaan yang tidak dikenai kewajiban zakat; pekerjaan ini kita sebut sekarang sebagai profesi. Pandangan ini sebetulnya bukan hal yang baru. Di antara mazhab-mazhab dalam islam, mazhab ahlul bait (mazhab ja'fari) sudah lama menetapkan kewajiban perlimaan ini. Para fuqoha' mereka menetapkan perlimaan dari (1) rampasan perang, (2) barang tambang, (3) barang temuan, (4) barang-barang lautan seperti mutiara, (5) barang yang bercampur antara halal dan haram, lau tidak diketahui dengan pasti yang mana, dan (6) kelebihan pendapatan setelah dipotong oleh mu'nah. K. Kesimpulan bahwa apa yang kemudian disebut sebagai zakat profesi atau zakat penghasilan, sesungguhnya lebih banyak mengacu pada praktek atua fatwa Al-Salaf Al-Shalih (generasi awal islam yang shalih), yang kemudian dikombinasikan dengan prinsip-prinsip dasar islam dan interpretasi terhadap ayat al-qur'an dan sunnah nabi. Sebab, memang tidak ada ayat alqur'an dan sunnah nabi yang secara langsung berbicara tentang zakat profesi, dalam pengertian yang tidak kita kenal sekarang ini, tidak aneh, bila zakat profesi ini tampak seperti barang asing bagi sebagian umat islam.
DAFTAR PUSTAKA Hooker, M.B, Islam Mazhab Indonesia, Bandung: Teraju 2003 Rahmad, Jalaluddin, Islam Aktual, Bandung: Mizan 2003 Hasaballah, Ali, Ushul Al-Tasyri' Al-Islami, Cairo: Dar Al-Ma'arif, 1964 Hamid, Syamsul Rijal, Buku Pintar Agama, Jakarta: Peneber Salam, 1999