Yoga Dk2p4 .docx

  • Uploaded by: Lovina Dama
  • 0
  • 0
  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Yoga Dk2p4 .docx as PDF for free.

More details

  • Words: 3,446
  • Pages: 15
DK1P4

PEMICU 4 Seorang laki-laki berusia 40 tahun datang ke dokter dengan keluhan nyeri pada otot tungkainya yang telah diamlaminya

sejak 1 tahun yang lalu yang diawali adanya luka terinfeksi. Dia menangani sendiri nyerinya terebut dengan obat yang dibelinya di toko obat atas anjuran temannya. Nyerinya akan hilang setelah minum obat, tetapi akan timbul lagi setelah beberapa jam kemudian sejak 6 bulan terakhir dirasakannya obatnya yang diminum baru memberi efek jika dosisnya ditingkatkan. Bila

tidak minum obat tersebut akan pusing, mual nyeri berlebihan.

Kata kunci

1. Laki-laki berusia 40 tahun 2. Nyeri pada otot tungkai sejak 1 tahun 3. Obat anti nyeri 4. Dosis obat yang diberikan Kata sulit  Terinfeksi  Dosis

 Mual  Pusing  Nyeri Identifikasi masalah

Laki-laki usia 40 tahun nyeri pada otot tungkainya mengonsumsi obat anti nyeri dengan dosis yang selalu ditingkatkan.

Pertanyaan terjaring

1. Definisi infeksi dan nyeri 2. Definsi obat anti nyeri, jenis, farmakokinetik, farmakodinamik, mekanisme, efek samping 3. Klasifikasi nyeri 4. Kerusakan otot saraf 5. Mekanisme nyeri 6. Penyebab ketergantungan pada obat 7. Mengapa dosis obat harus ditingkatkan 8. Patologi infeksi yang terkait sistem saraf 9. Pengaruh usis terhadap penyembuhan nyeri otot 10. Pengaruh nutrisi terhadap nyeri otot 11. Pengaruh obat terhadap penyembuhan nyeri otot 12. Macam-macam infeksi

DK2P4 1. Definisi Infeksi Dan Nyeri -Definisi Infeksi infeksi adalah invasi tubuh pathogen atau mikroorganisme yang mampu menyebabkan sakit (Perry & Potter, 2005). Infeksi adalah peristiwa masuk dan penggandaan mikroorganisme di dalam tubuh penjamu (Linda Tietjen, 2004) Infeksi adalah masuknya organisme ke dalam jaringan tubuh dan berkembang biak. Mikroorganisme seperti itu disebut agen yang menular. Jika mikroorganisme tidak memproduksi bukti-bukti kliis infeksinya disebut asymptomatic. (Aptejasumana, 2009) Sumber : http://www.library.upnvj.ac.id/pdf/s1keperawatan09/205312022/ba b2.pdf Pada tanggal 10 September 2014 - Definisi nyeri Secara umum nyeri adalah suatu rasa yang tidak nyaman, baik ringan maupun berat. Nyeri didefinisikan sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi seseorang dan eksistensinya diketahui bila seseorang pernah mengalaminya (Tamsuri, 2007). Menurut International Association for Study of Pain (IASP), nyeri adalah pengalaman perasaan emosional yang tidak menyenangkan akibat terjadinya kerusakan aktual maupun potensial, atau menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan. Menurut Engel (1970) menyatakan nyeri sebagai suatu dasar sensasi ketidaknyamanan yang berhubungan dengan tubuh dimanifestasikan sebagai penderitaan yang diakibatkan oleh persepsi jiwa yang nyata, ancaman atau fantasi luka. Nyeri adalah apa yang dikatakan oleh orang yang mengalami nyeri dan bila yang mengalaminya mengatakan bahwa rasa itu ada. Definisi ini tidak berarti bahwa anak harus mengatakan bila sakit. Nyeri dapat diekspresikan melalui menangis, pengutaraan, atau isyarat perilaku (Mc Caffrey & Beebe, 1989 dikutip dari Betz & Sowden, 2002).

Sumber : http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/20095/4/Chapter%20II.pdf pada tanggal 10 september 2014 2. Obat Anti Nyeri - Definisi Obat dan Obat Anti Nyeri Obat didefinisikan sebagai senyawa yang digunakan untuk mencegah, mengobati, mendiagnosis penyakit atau gangguan, atau menimbulkan suatu kondisi tertentu, misalnya membuat seseorang infertil, atau melumpuhkan otot rangka selama pembedahan (Gunawan et al., 2008). Menurut kamus perubatan Oxford edisi 2007, obat anti nyeri bermaksud suatu obat yang meredakan rasa nyeri. Obat anti nyeri ringan (aspirin dan parasetamol) digunakan untuk meredakan nyeri kepala, nyeri gigi dan nyeri reumatik ringan manakala obat anti nyeri yang lebih poten (narkotika atau opioid) seperti morfin dan petidin hanya digunakan untuk meredakan nyeri berat memandangkan ia bisa menimbulkan gejala dependensi dan toleransi. Sesetengah analgesik termasuk aspirin, indometasin dan fenilbutazon bisa juga meredakan demam dan inflamasi serta digunakan dalam kondisi rematik. - Jenis- Jenis Obat Anti Nyeri Berdasarkan sifat farmakologisnya, obat anti nyeri (analgesika) dibagi kepada dua kelompok yaitu analgesika perifer dan analgesika narkotika. Analgesika perifer (non-narkotika) terdiri dari obat-obat yang tidak bersifat narkotik dan tidak bekerja sentral manakala analgesika narkotika digunakan untuk meredakan rasa nyeri hebat misalnya pada pesakit kanker (Suleman, 2006).Obatobat anti nyeri perifer terdiri dari analgesik antipiretik, analgesik antiinflamasi, dan obat gout. Untuk memudahkan penggunaannya di klinik sebagai analgesik maupun anti-inflamasi, obat-obat ini dapat dibagikan kepada tiga kelompok yaitu : a. Obat yang berefek analgesik dan anti-inflamasi lemah, contohnya parasetamol. b. Obat- obat yang berefek analgesik dan anti-inflamasi ringan sampai sedang, contohnya derivat asam propionat yaitu ibuprofen.

c. Obat yang berefek analgesik dan anti-inflamasi kuat, yaitu derivat asam salisilat (aspirin), derivat pirazolon (fenilbutazon, dipiron), derivat asam asetat (diklofenak), dan derivat oksikan (piroksikam). Hampir semua obat-obat ini bekerja di perifer dengan menghambat biosintesis prostaglandin (Suleman, 2006). Obat-obat nalgesika narkotika pula disebut juga sebagai opioida (mirip opiat). Obat ini merupakan zat yang bekerja terhadap reseptor opioid khas di sistem saraf pusat, sehingga persepsi nyeri dan respons emosional terhadap nyeri berubah atau dikurangi. Analgesika narkotika ini dapat bertindak pada empat macam reseptor dalam tubuh untuk menimbulkan efeknya yaitu reseptor mu, kappa, delta dan sigma (Suleman, 2006). -Mekanisme Kerja Obat 1. Obat Anti Inflamasi Nonsteroid (OAINS) Hampir semua obat AINS mempunyai tiga jenis efek yang penting yaitu : a. Efek anti-inflamatori : memodifikasi reaksi inflamasi b. Efek analgesik : meredakan suatu rasa nyeri c. Efek antipiretik : menurunkan suhu badan yang meningkat Secara umumnya, semua efek-efek ini berhubungan dengan tindakan awal obat-obat tersebut yaitu penghambatan arakidonat siklooksigenase sekaligus menghambat sintesa prostaglandin dan tromboksan (Rang et al., 2003). Terdapat dua tipe enzim siklooksigenase yaitu COX-1 dan COX-2. COX-1 merupakan enzim konstitutif yang dihasilkan oleh kebanyakan jaringan termasuklah platlet darah (Rang et al., 2003). Enzim ini memainkan peranan penting dalam menjaga homeostasis jaringan tubuh khususnya ginjal, saluran cerna dan trombosit. Di mukosa lambung, aktivasi COX-1 menghasilkan prostasiklin yang bersifat sitoprotektif. COX-2 pula diinduksi dalam sel-sel inflamatori sebaik sahaja diaktivasi. Dalam hal ini, stimulus inflamatoar seperti sitokin inflamatori primer yaitu interleukin-1 (IL-1) dan tumour necrosis factor-α (TNF- α), endotoksin dan factor pertumbuhan (growth factors) yang dilepaskan menjadi sangat penting dalam aktivasi enzim tersebut.Ternyata sekarang COX-2

juga mempunyai fungsi fisiologis yaitu di ginjal, jaringan vaskular dan pada proses pembaikan jaringan. Tromboksan A2, yang disentesis trombosit oleh COX-1, menyebabkan agregasi trombosit, vasokonstriksi dan proliferasi otot polos. Sebaliknya prostasiklin yang disintesis oleh COX-2 di endotel makrovaskular melawan efek tersebut dan menyebabkan penghambatan agregasi trombosit, vasodilatasi dan efek anti-proliferatif (Gunawan et al., 2008). a. Efek Antipiretik Suhu tubuh yang normal diregulasi oleh pusat suhu di hipotalamus dengan cara mengatur keseimbangan antara penggunaan dan penghasilan panas. Demam berlaku apabila terdapat suatu gangguan pada termostat hipotalamus ini yang kemudiannya dapat menyebabkan suhu set-point tubuh meningkat. Di sinilah peran OAINS dalam mengembalikan suhu tubuh seperti semula. Selepas set-point kembali normal, bermulalah mekanisme regulasi (seperti dilatasi pembuluh darah superfisial, berkeringat dan lain-lain) beroperasi untuk menurunkan suhu tubuh. Walaubagaimanapun, suhu tubuh yang normal tidak akan terpengaruh oleh OAINS (Rang et al., 2003). OAINS dikenali juga sebagai antipiretik karena kebolehannya dalam menginhibisi produksi prostaglandin di hipotalamus. Sewaktu terjadi reaksi inflamasi, endotoksin dari bakteri akan menyebabkan perlepasan pirogen interleukin-1 (IL-1) dari makrofag yang seterusnya akan menstimulasi penghasilan prostaglandin tipe-E (PGEs) di hipotalamus di mana hal ini akan menyebabkan peningkatan set-point suhu tubuh. Pada waktu ini, COX-2 mungkin memainkan peranan penting karena ia diinduksi oleh IL-1 dalam pembuluh darah di hipotalamus. Enzim COX-3 juga mungkin memainkan peranan penting dalam mekanisme demam. Namun, terdapat bukti yang mengatakan bahawa prostaglandin bukan satu-satunya mediator demam, maka oleh itu OAINS mungkin mempunyai efek antipiretik tambahan dalam mekanisme yang masih lagi belum diketahui (Rang et al., 2003). b. Efek Analgesik OAINS terutamanya sangat efektif dalam meredakan rasa nyeri yang berhubungan dengan inflamasi atau kerusakan jaringan karena ia menurunkan

produksi prostaglandin yang mensensitisasikan nosiseptor kepada mediatormediator inflamasi seperti bradikinin. Oleh itu, zat-zat ini efektif dalam menanggulangi artritis, bursitis, nyeri pada otot dan vaskuler, nyeri gigi, dismenorea, nyeri semasa postpartum dan nyeri akibat metastase kanker tulang (semua kondisi yangberhubungan dengan peningkatan sintesis prostaglandin). Jika dikombinasikan dengan opioid, gabungan tersebut bisa meredakan nyeri paska operasi. Kebolehan obat ini dalam meredakan nyeri kepala mungkin berkait rapat dengan menurunkan efek vasodilatasi oleh prostaglandin pada pembuluh darah di serebri. Terdapat juga bukti yang mengatakan bahawa ia mempunyai efek sentral yang bertindak terutamanya pada medulla spinalis (Rang et al., 2003). c. Efek Anti-inflamatori Terdapat berbagai mediator kimiawi yang menyebabkan reaksi inflamasi dan alergi. Setiap respon seperti vasodilatasi, peningkatan permeabilitas vaskuler, akumulasi sel dan lain-lain bisa ditimbulkan oleh berbagai mekanisme yang berlainan. Lebih-lebih lagi, mediator- mediator yang berlainan diperlukan untuk berlakunya setiap reaksi inflamasi dan alergi yang berbeda dan sesetengah mediator juga mempunyai interaksi yang kompleks dengan zat-zat lain misalnya nitrik oksida (NO) dalam jumlah yang sedikit akan menstimulasi aktivitas siklooksigenase, tetapi dalam jumlah yang banyak akan menghambatnya (Rang et al., 2003).OAINS menurunkan hampir semua komponen respon inflamasi dan reaksi imun di mana COX-2 memainkan peranannya seperti : 1. Vasodilatasi 2. Edema (oleh mekanisme tidak langsung: vasodilatasi membantu tindakan mediator inflamasi seperti histamin yang meningkatkan permeabilitas venul postkapiler) 3. Nyeri Penghambat siklooksigenase tidak mempunyai efek terhadap proses (perembesan enzim lisosom, produksi oksigen radikal yang toksik) yang menyebabkan kerusakan jaringan pada kondisi inflamasi kronis seperti arteritis reumatoid, vaskulitis dan nefritis (Rang et al., 2003). Kesimpulannya, golongan obat ini menghambat enzim siklooksigenase sehingga konversi asam arakidonat menjadi PGG2 terganggu. Setiap obat menghambat

siklooksigenase dengan kekuatan dan selektivitas yang berbeda (Gunawan et al., 2008). - Efek Samping Obat Selain menimbulkan efek terapi yang sama, OAINS juga memiliki efek samping serupa, karena didasari oleh hambatan pada sistem biosintesis prostaglandin. Secara umum, golongan obat ini berpotensi menyebabkan efek samping pada berbagai sistem organ yaitu saluran cerna, ginjal, hati dan kulit. Efek samping terutama meningkat pada pasien usia lanjut karena paling sering membutuhkan OAINS dan umumnya membutuhkan banyak obat-obatan karena menderita berbagai penyakit. Hal ini juga bisa berlaku jika obat golongan ini digunakan pada jangka masa panjang (Gunawan et al., 2008). 1. Gangguan pada saluran cerna Gangguan pada gastrointestinal merupakan efek samping yang paling sering terjadi dari pemakaian obat ini yang disebabkan oleh hambatan dari enzim COX1. Enzim COX-1 penting untuk sintesa prostaglandin yang normalnya menghambat sekresi asam dan sebagai pelindung mukosa lambung. Gejala-gejala gastrointestinal yang sering berlaku adalah dispepsia, diare (tetapi kadang-kadang bisa konstipasi), mual dan muntah dan pada sesetengah kasus bisa terjadi perdarahan lambung dan tukak peptik. Terdapat kajian yang mengatakan bahawa penggunaan agen COX-2 selektif bisa mengurangkan kerusakan mukosa lambung tetapi berpotensi menimbulkan perubahan terhadap sistem kardiovaskuler pada sesetengah pasien (Boers, 2001; Fitzgerald dan Partonto, 2001). 2. Efek samping pada ginjal Dosis terapeutik bagi OAINS pada individu yang sehat bisa menyebabkan sedikit gangguan pada faal ginjal, tetapi pada pasien yang tidak sehat bisa menyebabkan insufisiensi ginjal akut (masih reversibel untuk menghentikan kerja obat). Hal ini berlaku karena obat ini menghambat biosintesa dari prostanoid (PGE2 dan prostaglandin I2 (PGI2, prostasiklin)) yang terlibat dalam pengaturan keseimbangan hemodinamik ginjal terutama sekali pada penyakit ginjal yang berhubungan dengan PGE2 . Penggunaan berlebihan OAINS secara habitual bertahun-tahun dihubungkan dengan terjadinya nefropati analgesik (Rang et al., 2003).

3. Efek samping pada kulit (reaksi inflamasi pada kulit) Reaksi pada kulit merupakan gejala kedua paling sering terjadi dari penggunaan obat ini, terutama asam mefenamik (frekuensi: 10-15%) dan sulindac (frekuensi:5-10%). Jenis-jenis reaksi pada kulit yang bisa dilihat adalah seperti ras ringan, urtikaria dan reaksi fotosensitifitas, hingga kejadian yang lebih fatal (jarang) (Rang et al., 2003). 4. Efek samping lain Efek-efek samping yang jarang berlaku termasuk gangguan pada sum-sum tulang dan penyakit hati (lebih cenderung terkena pada pasien yang mengalami gangguan hati). Kelebihan dosis parasetamol bisa menyebabkan gagal hati dan penggunaan aspirin pada pasien asma yang sensitif terhadap OAINS bisa menyebabkan asma lebih sering terjadi (Rang et al., 2003). - Aspek-aspek farmakologis obat-obat yang dijual bebas adalah seperti berikut : 1. Salisilat Obat ini mempunyai efek analgesika antipiretik dan anti-inflamasi kuat. Potensi efeknya menjadi standar perbandingan bagi obat analgesik lainnya. Efek analgesiknya lebih kecil dari kodein. Pada dosis tinggi (5-8 gr/hari) obat ini bersifat urikosurik. Obat ini mempengaruhi fungsi trombosit, memperpanjang waktu perdarahan dan menyebabkan hipoprotrombinemia. Absorbsinya baik melalui saluran cerna, sebagian kecil di lambung dan terbesar di usus halus. Biotransformasi salisilat terjadi di banyak jaringan terutama di mikrosoma dan mitokondria hati. Zat ini diekskresi dalam bentuk metabolitnya terutama melalui ginjal, sebagian kecil melalui keringat dan empedu (Suleman, 2006). Selain mempunyai efek analgesik dan antipiretik, obat (contohnya aspirin) ini juga mempunyai efek antiplatlet dengan menghambat siklooksigenase platlet secara irreversibel. Kesannya, ia dapat menurunkan insidens kejadian TIA (Transient Ischaemic Attack), angina yang tidak stabil, trombosis arteri koroner dengan infark miokard dan trombosis selepas coronary artery bypass grafting (Katzung, 2007).Antara efek samping yang bisa berlaku dari penggunaan obat ini adalah

salisilisme dan keracunan salisilat (Rang et al., 2003). Salisilisme bisa berlaku dengan konsumsi salisilat secara berulang dan dengan dosis yang tinggi. Gejalagejalanya merupakan tinnitus, vertigo, pendengaran menurun, dan kadang-kadang mual dan muntah (Rang et al., 2003). Keracunan salisilat pula berlaku jika diambil dalam dosis yang berlebihan. Pengambilannya dalam dosis yang besar menyebabkan perubahan keseimbangan asam-basa dan elektrolit manakala dalam dosis toksik bisa menyebabkan asidosis respiratori tidak terkompensasi dan asidosis metabolik. Perdarahan lambung yang berat dapat terjadi pada dosis besar dan pemberian kronik. Salisilat bersifat hepatotoksik, maka tidak dianjurkan untuk diberikan pada pasien dengan penyakit hati kronik. Zat ini juga dikatakan bisa mengakibatkan Sindrom Reye pada anak jika digunakan untuk infeksi varisela dan virus lainnya (Rang et al., 2003). U 2. Parasetamol (asetaminofen) Parasetamol merupakan obat analgesik- antipiretik non-narkotik yang paling sering digunakan. Obat ini mempunyai sifat anti-inflamasi yang lemah dan dilaporkan sebagai penghambat selektif bagi enzim COX-3 yang masih lagi dalam penelitian (Chandrasekaran et al., 2002). Obat ini tidak mengiritasi lambung dan berefek lemah terhadap trombosit serta tidak berpengaruh terhadap waktu perdarahan maupun sekresi asam urat. Absorbsinya cepat dan sempurna melalui saluran cerna. Konsentrasi tertinggi dalam plasma dapat dicapai dalam waktu 30 menit dan masa paruh plasma antara 1-3 jam. Distribusinya ke seluruh tubuh dan terikat dalam plasma setinggi 25%. Obat ini dimetabolisme di hepar pada mikrosoma hati. Sebagian besar (80%) zat ini dikonyugasi dengan asam glukuronat dan sebagian kecil dengan asam sulfat. Obat ini dapat juga dihidroksilasi, hasil metabolitnya dapat menimbulkan methemoglobin dan hemolisis eritrosit. Ekskresinya melalui ginjal, sebahagian kecil (3%) sebagai parasetamol (Suleman, 2006). Dalam dosis terapeutik, efek samping jarang ditemukan walaupun respon alergi kulit kadang-kadang berlaku. Pengambilan secara regular dalam dosis yang tinggi secara berlama-lama dapat meningkatkan resiko kejadian kerusakan ginjal. Efek toksisitasnya dapat terjadi nekrosis hepar, nekrosis tubulus renalis, serta koma hipoglikemi dan hepatoksisitas dapat terjadi pada dosis tunggal 10g (Suleman, 2006).

3. Ibuprofen Obat ini mempunyai efek analgesik yang kekuatannya sama dengan aspirin, dan efek anti-inflamasinya adalah ringan sampai sedang. Zat ini mempunyai efek iritasi gaster yang lebih ringan dari aspirin. Obat ini berpengaruh terhadap trombosit dan memperpanjang waktu perdarahan (Suleman, 2006). 4. Asam Mefenamat Obat ini mempunyai efek analgesik antipiretik yang tidak jauh berbeda dengan aspirin dan mempunyai efek iritasi gastrointestinal yang lebih berat , mempengaruhi trombosit, dan dapat menyebabkan anemia hemolitik. Asam mefenamat diabsorbsi secara lambat dari saluran pencernaan. Kadar puncak dalam plasma tercapai dalam 2-4 jam denagn waktu paruh sekitar 2-4 jam. Obat ini dimetabolisme di hepar dan kemudiannya diekskresikan sebagian besar melalui urin dan sebagian kecil (20%) melalui feses (Suleman, 2006). Sumber : http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/23336/4/Chapter%20II.pdf pada tanggal 10 september 2014 3. Klasifikasi Nyeri Nyeri dikelompokkan sebagai nyeri akut dan nyeri kronis. Nyeri akut biasanya datang tiba-tiba, umumnya berkaitan dengan cidera spesifik, jika kerusakan tidak lama terjadi dan tidak ada penyakit sistemik, nyeri akut biasanya menurun sejalan dengan penyembuhan. Nyeri akut didefinisikan sebagai nyeri yang berlangsung beberapa detik hingga enam bulan (Brunner & Suddarth, 1996). Berger (1992) menyatakan bahwa nyeri akut merupakan mekanisme pertahanan yang berlangsung kurang dari enam bulan. Secara fisiologis terjadi perubahan denyut jantung, frekuensi nafas, tekanan darah, aliran darah perifer, tegangan otot, keringat pada telapak tangan, dan perubahan ukuran pupil. Nyeri kronik adalah nyeri konstan atau intermiten yang menetap sepanjang satu periode waktu. Nyeri kronis dapat tidak mempunyai awitan yang ditetapkan dan sering sulit untuk diobati karena biasanya nyeri ini tidak memberikan respon

terhadap pengobatan yang diarahkan pada penyebabnya. Nyeri kronis sering didefenisikan sebagai nyeri yang berlangsung selama enam bulan atau lebih (Brunner & Suddarth, 1996 dikutip dari Smeltzer 2001). Menurut Taylor (1993) nyeri ini bersifat dalam, tumpul, diikuti berbagai macam gangguan, terjadi lambat dan meningkat secara perlahan setelahnya, dimulai setelah detik pertama dan meningkat perlahan sampai beberapa detik atau menit. Nyeri ini berhubungan dengan kerusakan jaringan, ini bersifat terusmenerus. Sumber : http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/20095/4/Chapter%20II.pdf pada tanggal 10 september 2014 4. Kerusakan otot saraf

Penyakit Saraf dan Otot adalah merupakan bagian dari penyakit saraf yang disebabkan terganggunya fungsi saraf tepi atau otot. Susunan Saraf Pusat terdiri dari Otak dan Medula Spinalis sedangkan Susunan Saraf Tepi terdiri dari sel saraf dan serabut-serabutnya yang dapat berasal dari otak seperti saraf kepala (saraf kranialis) atau medula spinalis seperti radiks dan nervi spinales. -

Anatomi

Saraf Tepi yang termasuk saraf kepala meliputi 1.olfaktorius 2. n. optikus 3. n. oftalmikus 4. n. trokhlearis 5. n. trigeminus 6. n. abduscens 7. n. fasialis 8. n. vestibulocochlearis 9. n glossofaringeus 10.n. vagus 11.n. accessorius 12. n. Hipoglosus

-

Patomekanisme

Gangguan faal pada saraf tepi dapat berasal dari gangguan biokemistri seperti terganggunya keseimbangan air dan elektrolit, inflamasi (radang), proses keganasan, trauma dan lain sebagainya. Untuk mempercepat hantaran impuls yang berupa muatan listrik dari proksimal ke distal serabut saraf (akson) mempunyai selubung yang disebut mielin. Mielin diproduksi oleh sel Schwann yang membalut akson dan pada titik tertentu mempunyai takik yang disebut nodus Ranvier. Adanya nodus Ranvier memungkinkan hantaran listrik meloncat sehingga lebih cepat sampai ke efektor (serabut saraf eferen), atau sebaliknya dari reseptor lebih cepat sampai ke sentral (serabut saraf aferen). Tidak semua serabut saraf bermielin, ada juga serabut saraf yang kecil dan pendek tidak bermielin dan saling menghubungkan sesama sel saraf di otak. Pada penyakit saraf tepi kerusakan dapat terjadi pada akson, disebut aksonopati, atau pada mielin (mielinolisis) dan kombinasi keduanya dapat saja terjadi. Pada gangguan di akson, proses kesembuhan berlangsung lama, tidak demikian halnya bila pada mielin lebih besar kemungkinan cepat kembali seperti semula. -

Epidemiologi

Insidens 1 atau 2 orang per 100,000 penduduk.[6] Seringkali parah dan menunjukkan kelumpuhan memanjat mula-mula kaki dan tungkai kemudian lengan dan tangan juga terkena tidak terkecuali otot pernafasan dan wajah. Karena merupakan lesi saraf tepi makan refleks tendon akan menghilang. Dengan pengobatan yang segera dengan penggantian plasma maka diharapkan kesembuhan segera terjadi. Pemberian imunoglobulin menolong. Dan jangan dilupakan pengobatan penunjang seperti pemberian neurotropik vitamin. Sebagian besar pasen dapat pulih normal kembali. GBS juga menjadi penyebab kelumpuhan yang tidak disebabkan oleh cedera di dunia.

5. Mekanisme Nyeri

6. Nyeri akut merupakan nyeri yang timbul secara mendadak dan cepat menghilang, yang tidak melebihi 6 bulan dan ditandai adanya peningkatan tegangan otot. Nyeri akut merupakan mekanisme pertahanan yang berlangsung kurang dari enam bulan, secara fisiologis terjadi perubahan

denyut jantung, frekuensi napas, tekanan darah, aliran darah perifer, tegangan otot, keringat pada telapak tangan,. Pasien dengan nyeri akut sering mengalami kecemasan. Nyeri akut biasanya berlangsung secara singkat misalnya nyeri pada patah tulang atau pembedahan abdomen, pasien yang mengalami nyeri akut biasanya menunjukan gelalagejala antara lain : respirasi meningkat, percepatan jantung dan tekanan darah meningkat 7. Nyeri akut biasanya awitannya tiba-tiba dan umumnya berkaitan dengan cidera spesifik. Nyeri akut mengidentifikasikan bahwa kerusakan atau cidera telah tarjadi. Hal ini menarik perhatian pada kenyataannya bahwa nyeri ini benar terjadi dan mengajarkan kepada kita untuk menghindari situasi serupa yang secara potensial menimbulkan nyeri. Jika kerusakan tidak lama terjadi dan tidak ada penyakit sistemik, nyeri akut biasanya menurun sejalan dengan terjadinya penyembuhan, nyeri ini pada umumnya terjadi kurang dari enam bulan dan biasanya kurang dari satu bulan. Nyeri akut dapat dijelaskan sebagai nyeri yang berlangsung daro beberapa detik hingga enam bulan. Cidera atau penyakit yang meenyababkan nyeri akut dapat sembuh secara spontan atau dapat memerlukan pengobatan. Fungsi nyeri akut ialah memberi peringatan akan cedera atau penyakit yang akan datang. Nyeri akut akhirnya menghilang dengan atau tanpa pengobatan setelah keadaan pulih pada araea yang rusak

6. Ketergantungan Obat Pemakaian morfin jangka panjang dapat menimbulkan ketergantungan baik secara fisik maupun psikis. Dalam kedaan ketergantungan tersebut apabila tidak diberikan morfin maka akan menimbulkan gejala-gejala withdrawal. Gejala ini juga akan muncul apabila diberikan antagonis reseptor dimana morfin berikatan, seperti nalokson, nalorfin, naltrekson atau levalorfan. Tanda-tanda terjadinya withdrawal meliputi demam hebat, peningkatan sekret hidung dan air mata, kedinginan, tegaknya bulu roma dan nyeri otot, penurunan nafsu makan, daya tahan tubuh dan berat badan. Pada keadaan yang parah hilangnya cairan tubuh dalam jumlah yang cukup besar mungkin terjadi akibat hipertermia,

hiperventilasi, emesis dan diare. Sedangkan gejala psikologis bisa meliputi gangguan tidur, cemas, gemetar, berkeringat dan halusinasi.(Reynolds, 1982; Wills, 1997; Suzuki et al., 2001; BPS-BNN, 2004). Sampai saat ini mekanisme yang mendasari terjadinya ketergantungan akibat penggunaan morfin masih belum jelas. beberapa penelitian melaporkan bahwa pemaparan morfin secara kronis akan menyebabkan peningkatan aktivitas adenilat siklase, akumulasi cAMP, aktivitas PKA dan aktivitas kanal Na+ sehingga terjadi peningkatan firing rate sel neuron. Pada saat penghentian stimulasi pada reseptor opioid µ maka inhibisi terhadap peningkatan firing rate sel tidak erjadi dan sel akan mengalami menjadi hipereksitasi (Nestler, 1997). Sumber : Junaidi Khotib, Daning Irawati, Pagan Pambudi, Toetik Aryani.Prospek Tipikal Antagonis Dopamin Sebagai Penanggulangan Ketergantungan Morfin. Fakultas Farmasi Universitas Airlangga. Di akses pada : http://download.portalgaruda.org/article.php?article=18374&val=1142&title= pada tanggal 10 september 2014

7.

Mengapa dosis obat harus ditingkatkan

8.

Patologi infeksi yang terkait sistem saraf

9.

Pengaruh usis terhadap penyembuhan nyeri otot

10. Pengaruh nutrisi terhadap nyeri otot 11. Pengaruh obat terhadap penyembuhan nyeri otot 12. Macam-macam infeksi

Related Documents

Yoga Dk2p4 .docx
December 2019 17
Yoga
June 2020 38
Yoga
June 2020 36
Yoga
November 2019 89
Yoga
May 2020 54
Yoga
November 2019 75

More Documents from ""

Yoga Dk2p4 .docx
December 2019 17
Riteriria Mayor .doc
December 2019 13
Makalah Keadilan.docx
December 2019 8
Tuberkulosisparu.docx
December 2019 15
Lisosom.docx
December 2019 7
Remrev-sca-nos-9-10-11.docx
December 2019 13