Wrap Up Skenario 1 A4.docx

  • Uploaded by: dianafista
  • 0
  • 0
  • April 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Wrap Up Skenario 1 A4.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 9,958
  • Pages: 41
SKENARIO 1 URIN KEMERAHAN Seorang anak laki-laki berusia 5 tahun dibawa ibunya ke dokter dengan keluhan buang air kecilkemerahan seperti air cucian daging sejak dua hari yang lalu. Keluhan disertai dengan buang air kecil menjadi sedikit. Satu minggu yang lalu pasien mengalami demam dan nyeri tenggorokan, sudah diperiksa ke dokter, diberi obat antibiotik dan sembuh. Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum compos mentis, tekanan darah 140/90 mmHg, denyut nadi 100x/menit, suhu 37,5℃, frekuensi nafas 34x/menit, edema tidak ada, jantung dan paru dalamm batas normal. Urinalisis didapatkan proteinuria dan hematuria.

1

KATA SULIT 1. Urinalisis : pemeriksaan yang bertujuan untuk diagnosis pada saluran kemih 2. Proteinuria : kondisi dimana urin mengandung jumlah proteini yang tidak normal. Protein >150 mg/dl. Normal urin sewaktu <10 mg/dl, normal urin 24 jam >100 mg/dl 3. Hematuria : kondisi dimana urin mengandung eritrosit

PERTANYAAN 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.

Apa yang menyebabkan urin kemerahan? Kenapa buang air kecil sedikit? Apa hubungan nyeri tenggorokan dangan keluhan pasien? Mengapa terjadi proteinuria? Mengapa tekanan darah tinggi? Apa diagnosisnya? Apa saja faktor yang menyebabkan penyakit? Pemeriksaan apa yang dilakukan? Apa gejala penyakit teraebut?

JAWABAN 1. - Kegagalan fungsi ginjal yang menyebabkan darah masuk ke kandung kemih. - Karna ada kerusakan glomerulus. 2. Inflamasi glomerulus - fungsi ginjal terganggu – laju filtrasi menurun – produksi urin menurun. 3. Infeksi saluran napas – peradangan – kompleks antigen antibodi – bakteri bersifat retrogenik bersikulasi di darah – aktivasi komplemen – melepas substansi yang menarik netrfil untuk melepas sitokin – kerusakan glomerulus. 4. Kerusakan glomerulus dan tubulus, dan overflow 5. Karna ada kerusakan di ginjal maka SRAA juga akan terganggu sehingga tekanan darah meningkat. 6. Glomerulonefritis akut pasca infeksi streptococcus pada anak. 7. Infeksi streptococcus. 8. Darah lengkap. UPR, titer ASTO, fungsi ginjal dan hati. 9. - riwayat infeksi saluran napas 1-2 minggu sebelumnya atau infeksi kulit 3-6 minggu sebelumnya. - Hematuria makroskopis atau oedem dikedua kelopak mata dan tungkai. - Pada stadium lebih lanjut dapat ditemukan penurunan kesadaran. - Oligoria dan anuria.

2

HIPOTESIS Infeksis streptococcus menyebabkann terjadinya infeksi saluran pernapasan yang menimbulkan kompleks antigen antibodi sehngga menyebabkan kerusakan glomerulus yaitu glomerulonefritis akut pasca infeksi streptococcus pada anak. Gejalannya yaitu riwayat infeksi saluran napas atau kulit, hematuria, oedema, penurunan kesadaran, oligoria dan anuria. Untuk menegakkan diagnosis dapat dilakukan pemeriksaan darah lengkap, UPR, titer ASTO, fungsi ginjal dan hati.

SASARAN BELAJAR 1. Memahami dan Menjelaskan Anatomi Ginjal dan Saluran Kemih 1.1 Makroskopis 1.2 Mikroskopis 2. Memahami dan Menjelaskan Fungsi Ginjal dan Sistem Renin Angiostensin Aldosteron 3. Memahami dan Menjelaskan Glomerulonefritis Akut 3.1 Definisi 3.2 Epidemiologi 3.3 Etiologi 3.4 Klasifikasi 3.5 Patofisiologi 3.6 Manifestasi Klinis 3.7 Diagnosis dan Diagnosis Banding 3.8 Tatalaksana dan Pencegahan 3.9 Komplikasi 3.10 Prognosis 4. Memahami dan Menjelaskan Pemeriksaan Penunjang Glomerulonefrtis Akut 4.1 Gambaran PA 4.2 Gambaran Laboratorium

3

1. Memahami dan Menjelaskan Anatomi Ginjal dan Saluran Kemih 1.1 Makroskopis a. Ginjal

Ginjal merupakan organ yang berada di rongga abdomen, berada di belakang peritoneum, dan terletak di kanan kiri kolumna vertebralis sekitar vertebra T12 hingga L3. Ginjal pada orang dewasa berukuran panjang 11-12 cm, lebar 5-7 cm, tebal 2,3-3 cm, berbentuk seperti biji kacang dengan lekukan mengahadap ke dalam, dan berukuran kira-kira sebesar kepalan tangan manusia dewasa. Berat kedua ginjal kurang dari 1% berat seluruh tubuh atau kurang lebih antara 120-150 gram. Kedua ginjal dibungkus oleh dua lapisan lemak yaitu lemak pararenal dan lemak perirenal yang dipisahkan oleh sebuah fascia yang disebut fascia gerota. Dalam potongan frontal ginjal, ditemukan dua lapisan ginjal di distal sinus renalis, yaitu korteks renalis (bagian luar) yang berwarna coklat gelap dan medulla renalis (bagian dalam) yang berwarna coklat terang. Pada medulla renalis terdiri dari kira-kira 12 piramis renalis yang masing- masing memiliki papilla renalis di bagian apeksnya. Di antara piramis renalis terdapat kolumna renalis yang memisahkan setiap piramis renalis (Snell, 2006). Di bagian sinus renalis terdapat bangunan berbentuk corong yang merupakan kelanjutan dari ureter dan disebut pelvis renalis. Masingmasing pelvis renalis membentuk dua atau tiga kaliks mayor dan masing-masing kaliks mayor tersebut akan bercabang lagi menjadi dua atau tiga kaliks minor. Secara umum, ginjal terdiri dari beberapa bagian: a.

b. c. d. e.

Korteks, yaitu bagian ginjal di mana di dalamnya terdapat/terdiri dari korpus renalis/Malpighi (glomerulus dan kapsul Bowman), tubulus kontortus proksimal dan tubulus kontortus distalis. Medula, yang terdiri dari 9-14 pyiramid. Di dalamnya terdiri dari tubulus rektus, lengkung Henle dan tubukus pengumpul (ductus colligent). Columna renalis bertini, yaitu bagian korteks di antara pyramid ginjal Processus renalis, yaitu bagian pyramid/medula yang menonjol ke arah korteks Hilus renalis, yaitu suatu bagian/area di mana pembuluh darah, serabut saraf atau duktus memasuki/meninggalkan ginjal.

4

Papilla renalis, yaitu bagian yang menghubungkan antara duktus pengumpul dan calix minor. g. Calix minor, yaitu percabangan dari calix major. h. Calix major, yaitu percabangan dari pelvis renalis. i. Pelvis renalis, disebut juga piala ginjal, yaitu bagian yang menghubungkan antara calix major dan ureter. j. Ureter, yaitu saluran yang membawa urine menuju vesica urinaria. f.

Ginjal diliputi oleh suatu capsula cribosa tipis mengkilat yang berikatan dengan jaringan dibawahnya dan dapat dilepaskan dengan mudah dari permukaan ginjal yang disebut fascia renalis. Fascia renalis dibagi menjadi dua yaitu lamina anterior dan lamina posterior. Kearah kiri dan kana bersatu dengan fascia transversa abdominalis membentuk rongga yang diisi oleh lemak yang disebut corpus adiposum. Ginjal juga memiliki selubung, yang langsung membungkus ginjal disebut capsula fibrosa, sedangkan yang membungkus lemak-lemak disebut capsula adipose. Posisi ginjal dipertahankan oleh bantalan lemak yang tebal. Ginjal tidak jatuh karena ada A.renalis yang berfungsi sebagai axis dari craniolateral ke caudomedial. Di puncak atas ginjal terdapat topi yang disebut glandula supra renalis, yang kanan berbentuk pyramid sedangkan kiri berbentuk bulan sabit. Vaskularisasi ginjal berasal dari arteri renalis yang merupakan cabang dari aorta abdominalis di distal arteri mesenterica superior. Arteri renalis masuk ke dalam hillus renalis bersama dengan vena, ureter, pembuluh limfe, dan nervus kemudian bercabang menjadi arteri interlobaris. Memasuki struktur yang lebih kecil, arteri interlobaris ini berubah menjadi arteri interlobularis lalu akhirnya menjadi arteriola aferen yang menyusun glomerulus. Ginjal memiliki persarafan simpatis dan parasimpatis. Ginjal mendapatkan persarafan melalui pleksus renalis yang seratnya berjalan bersama dengan arteri renalis. Untuk persarafan simpatis ginjal melalui segmen T10-L1 atau L2, melalui n.splanchnicus major, n.splanchnicus imus dan n.lumbalis. Saraf ini berperan untuk vasomotorik dan aferen viseral. Sedangkan persarafan simpatis melalui n.vagus. Impuls sensorik dari ginjal berjalan menuju korda spinalis segmen T10-11 dan memberikan sinyal sesuai dengan level dermatomnya. Syntopi Ginjal Ginjal Kiri Anterior

Ginjal Kanan

Dinding dorsal gaster

Lobus kanan hati

Pankreas

Duodenum pars descendens

Limpa

Fleksura hepatica

Vasa lienalis

Usus halus

Usus halus Fleksura lienalis

5

Posterior

Diafragma, M.psoas major, M.quadratus lumborum, M.transversus abdominis (aponeurosis), N.subcostalis, N.iliohypogastricus, A.subcostalis, Aa.lumbales 12(3), Costae 12 (ginjal kanan) dan Costae 11-12 (ginjal kiri).

b. Ureter Ureter merupakan saluran muskuler silindris urine yang mentranspor urin dari ginjal menuju vesica urinaria Terdapat sepasang ureter yang terletak retroperitoneal, masing-masing satu untuk setiap ginjal. Memiliki panjang sekitar 25-30 cm, terbentang dari ginjal sampai vesika urinaria. Fungsi menyalurkan urin ke vesika urinaria. ( Roger Watson, 2002 ) Ureter terbagi atas dua bagian yaitu Pars abdominalis (pada cavum abdominalis) dan Pars pelvica (pada rongga panggul). Batas keduanya diambil suatu bidang yang disebut aditus pelvis. Pada pria ureter menyilang superficial di dekat ujungnya di dekat ductus defferen, sedangkan pada wanita ureter lewat diatas fornix lateral vagina namun di bawah ligamentum cardinal dan A.uterina. Vaskularisasi ureter pada bagian atas mendapat perdarahan dari A.renalis, bagian tengah oleh arteri testicularis atau arteri ovarica, dan didalam pelvis (ureter bawah) mendapat perdarahan dari A.vesicalis inferior. Persyarafan ureter oleh segmen T10-L1 atau L2 melalui pleksus renalis, pleksus aorticus, serta pleksus hipogastricus superior dan inferior melalui neuron-neuron simpatis. c. Vesica Urinaria

Sering juga disebut kandung kemih atau buli-buli, merupakan tempat untuk menampung urine yang berasal dari ginjal melalui ureter, untuk selanjutnya diteruskan ke uretra dan lingkungan eksternal tubuh melalui mekanisme relaksasi sphincter. Vesica urinaria terletak di lantai pelvis (pelvic floor), bersama-sama dengan organ lain seperti rektum, organ reproduksi, bagian usus halus, serta pembuluh-pembuluh darah, limfatik dan saraf. Vesica Urinaria mempunyai 4 bagian, yaitu : a. Apex vesicale, dihubungkan ke cranial oleh urachus sampai ke umbilicus membentuk ligamentum vesico umbilicale mediale. 6

b. Corpus vesicae, antara apex dan fundus. c. Fundus (basis) vesicae, sesuai dengan basis. d. Cervix vesicae, sudut caudal mulai uretra dengan ostium uretra internum. Serta mempunyai tiga permukaan (superior dan inferolateral dextra dan sinistra) serta empat tepi (anterior, posterior, dan lateral dextra dan sinistra). Lapisan dalam vesica urinaria pada muara masuknya ureter terdapat plica ureterica yang menonjol. Ketika VU ini kosong maka plica ini terbuka sehingga urin dapat masuk dari ginjal melalui ureter, sedangkan ketika VU penuh maka plica ini akan tertutup karena terdorong oleh urin sehingga urin tidak akan naik ke atas ureter. Membran mukosa VU pada waktu kosong membentuk lipatan yang sebagian menghubungkan kedua ureter membentuk plica interureterica. Bila dihubungkan dengan ostium uretra internum maka akan membentuk segitiga yang disebut trigonum vesicae (litaudi). Dinding vesica urinaria terdiri dari otot m.detrusor (otot spiral, longitudinal, sirkular). Vesicae urinaria diperdarahi oleh a.vesicalis superior dan inferior. Namun pada perempuan, a.vesicalis inferior digantikan oleh a.vaginalis. Sedangkan persarafan pada vesica urinaria terdiri atas persarafan simpatis dan parasimpatis. Persarafan simpatis melalui n.splanchnicus minor, n.splanchnicus imus, dan n.splanchnicus lumbalis L1-L2. Adapun persarafan parasimpatis melalui n.splanchnicus pelvicus S2-S4, yang berperan sebagai sensorik dan motorik. d. Uretra Uretra merupakan saluran yang membawa urine keluar dari vesica urinaria menuju lingkungan luar. Terdapat beberapa perbedaan uretra pada pria dan wanita. Uretra pada pria memiliki panjang sekitar 15-20 cm dan juga berfungsi sebagai organ seksual (berhubungan dengan kelenjar prostat), sedangkan uretra pada wanita panjangnya sekitar 4-5 cm ( Daniel S, Wibowo, 2005 ). Selain itu, Pria memiliki dua otot sphincter yaitu m.sphincter interna (otot polos terusan dari m.detrusor dan bersifat involunter) dan m.sphincter externa (di uretra pars membranosa, bersifat volunter), sedangkan pada wanita hanya memiliki m.sphincter externa (distal inferior dari kandung kemih dan bersifat volunter). Pada pria, uretra dapat dibagi atas: a. Pars prostatica, uretra melalui prostat. Panjangnya sekitar 3cm. b. Pars membranaceae, melalui trigonum urogenitalis. Panjangnya sekitar 2 cm. c. Pars spongiosa, berjalan di dalam corpus cavernosum uretra, dimulai dari fossa intratubularis sampai dengan pelebaran uretra yang disebut fossa terminalis (fossa naviculare uretra).

7

VASKULARISASI Masing-masing ginjal mendapat cabang langsung dari arta abdominalis (arteri renalis). Di dalam hillus bercabang menjadi arteri segmentalis kemudian bercabang menjadi arteri interlobaris yang berjalan di antara piramid ginjal. Pada perbatasan korteks dan medula ginjal arteri interlobaris bercabang menjadi arteri arteri arkuata atau arsiformis yang meninggalkan pembuluh asalnya hampir tegak lurus menelusuri dasar piramid medula dan berjalan sejajar dengan permukaan ginjal. Arteri ini kemudian bercabang-cabang lagi. Cabang-cabang arteri ini berjalan secara radier ke tepian korteks dan dikenal sebagai arteri interlobularis. Dari arteri interlobularis ini terdapat banyak cabangcabang menjadi vasa aferen yang mendarahi glomerulus. Kapiler-kapiler glomerulus kembali menyatu membentuk arteriol lain yakni vasa eferen yang dilalui oleh darah yang tidak terfiltrasi dan meninggalkan glomerulus dan masuk ke dalam komponen tubulus. Arteriol eferen bercabang- cabang menjadi plexus capiler peritubular yang berada pada cortex dan vasa recta yang turun ke medula. Vasa recta ada yang dipercabangkan langsung dari arteri interlobularis / dari arteri arcuata tanpa melalui glomerulus di sebut Vasa recta a glomerular. Medulla

Cortex

Aorta abdominalis ↓ A. renalis Dextra & sinistra Setinggi VL1, masuk melalui hilum renalis ↓ A. Segmentalis (A. Lobaris) ↓ A. Interlobaris ↓ A. Arquata ↓ A. Interlobularis ↓ A. afferen ↓ Cortex renalis

A. Efferen ↓ V. Interlobularis ↓ V. Arquata ↓ V. Interlobaris ↓ V. V. Segmentalis (V. Lobaris) ↓ V. Renalis Dextra & sinistra ↓ V. Cava Superior ↓ Atrium Dextra

8

ke dalam glomerulus (capsula bowman) ↓ Filtrasi darah 1.2 Mikroskopis Ginjal Secara histologi ginjal terbungkus dalam kapsul atau simpai jaringan lemak dan simpai jaringan ikat kolagen. Organ ini terdiri atas bagian korteks dan medula yang satu sama lain tidak dibatasi oleh jaringan pembatas khusus, ada bagian medula yang masuk ke korteks dan ada bagian korteks yang masuk ke medula. Bangunan-bangunan: a. Korpus Malphigi terdiri atas kapsula Bowman (bangunan berbentuk cangkir) dan glomerulus (jumbai /gulungan kapiler). b. Bagian sistem tubulus yaitu tubulus kontortus proksimalis dan tubulus kontortus distal. Medula ginjal terdiri atas beberapa bangunan yang merupakan bagian sistim tubulus yaitu pars descendens dan descendens ansa Henle, bagian tipis ansa Henle, duktus ekskretorius (duktus koligens) dan duktus papilaris Bellini.

a. Korpus Malphigi Korpus Malphigi terdiri atas 2 macam bangunan yaitu kapsul Bowman dan glomerulus. Kapsul Bowman sebenarnya merupakan pelebaran ujung proksimal saluran keluar ginjal (nefron) yang dibatasi epitel. Bagian ini diinvaginasi oleh jumbai kapiler (glomerulus) sampai mendapatkan bentuk seperti cangkir yang berdinding ganda. Dinding sebelah luar disebut lapis parietal (pars parietal) sedangkan dinding dalam disebut lapis viseral (pars viseralis) yang melekat erat pada jumbai glomerulus. Ruang diantara ke dua lapisan ini sebut ruang Bowman yang berisi cairan ultrafiltrasi. Dari ruang ini cairan ultra filtrasi akan masuk ke dalam tubulus kontortus proksimal. Glomerulus merupakan bangunan yang berbentuk khas, bundar dengan warna yang lebih tua daripada sekitarnya karena sel-selnya tersusun lebih padat. Glomerulus merupakan gulungan pembuluh kapiler. Glomerulus ini akan diliputi oleh epitel pars viseralis kapsul Bowman. Di sebelah luar terdapat ruang Bowman yang akan menampung cairan ultra filtrasi dan meneruskannya ke tubulus kontortus proksimal. Ruang ini dibungkus oleh epitel pars parietal kapsul Bowman. 9

Kapsul Bowman lapis parietal pada satu kutub bertautan dengan tubulus kontortus proksimal yang membentuk kutub tubular, sedangkan pada kutub yang berlawanan bertautan dengan arteriol yang masuk dan keluar dari glomerulus. Kutub ini disebut kutub vaskular. Arteriol yang masuk disebut vasa aferen yang kemudian bercabang-cabang lagi menjadi sejumlah kapiler yang bergelung-gelung membentuk kapiler. Pembuluh kapiler ini diliputi oleh sel-sel khusus yang disebut sel podosit yang merupakan simpai Bowman lapis viseral. Sel podosit ini dapat dilihat dengan mikroskop elektron. Kapiler-kapiler ini kemudian bergabung lagi membentuk arteriol yang selanjutnya keluar dari glomerulus dan disebut vasa eferen, yang berupa sebuah arteriol. . b. Tubulus Ginjal (Nefron) Tubulus Kontortus Proksimal Tubulus kontortus proksimal berjalan berkelok-kelok dan berakhir sebagai saluran yang lurus di medula ginjal (pars desendens Ansa Henle). Dindingnya disusun oleh selapis sel kuboid dengan batas-batas yang sukar dilihat. Inti sel bulat, bundar, biru dan biasanya terletak agak berjauhan satu sama lain. Sitoplasmanya bewarna asidofili (kemerahan). Permukaan sel yang menghadap ke lumen mempunyai paras sikat (brush border). Tubulus ini terletak di korteks ginjal. Fungsi tubulus kontortus proksimal adalah mengurangi isi filtrat glomerulus 80-85 persen dengan cara reabsorpsi via transport dan pompa natrium. Glukosa, asam amino dan protein seperti bikarbonat, akan diresorpsi.

Ansa Henle Ansa henle terbagi atas 3 bagian yaitu bagian tebal turun (pars asendens), bagian tipis (segmen tipis) dan bagian tebal naik (pars asendens). Segmen tebal turun mempunyai gambaran mirip dengan tubulus kontortus proksimal, sedangkan segmen tebal naik mempunyai gambaran mirip tubulus kontortus distal. Segmen tipis ansa henle mempunyai tampilan mirip pembuluh kapiler darah, tetapi epitelnya sekalipun hanya terdiri atas selapis sel gepeng, sedikit lebih tebal sehingga sitoplasmanya lebih jelas terlihat. Selain itu lumennya tampak kosong. Ansa henle terletak di medula ginjal. Fungsi ansa henle adalah untuk memekatkan atau mengencerkan urin.

10

Tubulus kontortus distal

Tubulus kontortus distal berjalan berkelok-kelok. Dindingnya disusun oleh selapis sel kuboid dengan batas antar sel yang lebih jelas dibandingkan tubulus kontortus proksimal. Inti sel bundar dan bewarna biru. Jarak antar inti sel berdekatan. Sitoplasma sel bewarna basofil (kebiruan) dan permukaan sel yang mengahadap lumen tidak mempunyai paras sikat. Bagian ini terletak di korteks ginjal. Fungsi bagian ini juga berperan dalam pemekatan urin. I.

II.

Apparatus juksta glomerularis 1. Makula densa 2. Sel juksta glomerularis 3. Sel Polkissen/Sel Lacis (sel mesangial ekstra glomerularis) Makula densa 1. Sel dinding tubulus distal yang berada dekat dengan glomerulus berubah menjadi lebih tinggi dan tersusun lebih rapat, disebut makula densa 2. Makula densa merupakan bagian dari Apparatus juksta glomerularis 3. Mampu mengatur kecepatan filtrasi glomerulus

III.

Sel juksta glomerularis

11

1. Modifikasi sel otot polos tunika media dinding arteriol afferen menjadi sel sekretorik besar bergranula 2. Granula mengandung renin IV.

Mesangial ekstraglomerular/Polkissen 1. Sel lacis / polkissen(bantal) /pole cushion. 2. Terdapat diantara makula densa, vas afferen dan vas efferen 3. Bentuk gepeng, panjang, byk prosesus sitoplasma halus dg jalinan mesangial. 4. Berasal dari mesenchyme, mempunyai kemampuan fagositosis a. Berhubungan dengan sel mesangial intraglomerular b. Tertanam didalam matrix mesangial

Duktus koligen Saluran ini terletak di dalam medula dan mempunyai gambaran mirip tubulus kontortus distal tetapi dinding sel epitelnya jauh lebih jelas, selnya lebih tinggi dan lebih pucat. Duktus koligen tidak termasuk ke dalam nefron. Di bagian medula yang lebih ke tengah beberapa duktus koligen akan bersatu membentuk duktus yang lebih besar yang bermuara ke apeks papila. Saluran ini disebut duktus papilaris (Bellini). Muara ke permukaan papil sangat besar, banyak dan rapat sehingga papil tampak seperti sebuah tapisan (area kribrosa). Fungsi duktus koligen adalah menyalurkan kemih dari nefron ke pelvis ureter dengan sedikit absorpsi air yang dipengaruhi oleh hormon antidiuretik (ADH). Di samping bagian korteks dan medula, pada ginjal ada juga bagian korteks yang menjorok masuk ke dalam medula membentuk kolom mengisi celah di antara piramid ginjal yang disebut sebagai kolumna renalis Bertini. Sebaliknya ada juga jaringan medula yang menjorok masuk ke dalam daerah korteks membentuk berkas-berkas yang disebut prosessus Fereni

12

2. Ureter Secara histologik ureter terdiri atas lapisan mukosa, muskularis dan adventisia. Lapisan mukosa terdiri atas epitel transisional yang disokong oleh lamina propria. Epitel transisional ini terdiri atas 4-5 lapis sel. Sel permukaan bervariasi dalam hal bentuk mulai dari kuboid (bila kandung kemih kosong atau tidak teregang) sampai gepeng (bila kandung kemih dalam keadaan penuh/teregang). Sel-sel permukaan ini mempunyai batas konveks (cekung) pada lumen dan dapat berinti dua. Selsel permukaan ini dikenal sebagai sel payung.

Lamina propria terdiri atas jaringan fibrosa yang relatif padat dengan banyak serat elastin. Lumen pada potongan melintang tampak berbentuk bintang yang disebabkan adanya lipatan mukosa yang memanjang. Lipatan ini terjadi akibat longgarnya lapis luar lamina propria, adanya jaringan elastin dan muskularis. Lipatan ini akan menghilang bila ureter diregangkan. Lapisan muskularisnya terdiri atas atas serat otot polos longitudinal disebelah dalam dan sirkular di sebelah luar (berlawan dengan susunan otot polos di saluran cerna). Lapisan adventisia atau serosa terdiri atas lapisan jaringan ikat fibroelsatin. Fungsi ureter adalah meneruskan urin yang diproduksi oleh ginjal ke dalam kandung kemih. Bila ada batu disaluran ini akan menggesek lapisan mukosa dan merangsang reseptor saraf sensoris sehingga akan timbul rasa nyeri yang amat sangat dan menyebabkan penderita batu ureter akan berguling-gulung, keadaan ini dikenal sebagai kolik ureter. 3. Vesica Urinaria

13

Tunika mukosa VU dilapisi oleh epitel transisional dengan ketebalan 5-6 lapisan, namun pada saat sel meregang menjadi 2-3 lapisan. Pada permukaan sel dapat ditemukan sel payung. Waktu vesika teregang, sel pada lapisan paling atas menjadi gepengengatur pengeluaran urin. Otot polosnya sfingter internal Tunika muskularisnya terdiri dari 3 lapisan otot yaitu bagian luar terdapat otot polos tersusun secara: 1. Lapisan dalam berjalan longitudinal, distal terhadap leher vesica berjalan circular mengelilingi urethra pars prostatica, menjadi sphincter urethra interna (involuntary) 2. Lapisan tengah berakhir pada leher vesica 3. Lapisan luar, longitudinal, berjalan sampai ke ujung prostat pada laki2, dan pada wanita berjalan sampai ke meatus externus urethrae 4. Uretra - Uretra Wanita Pendek sekitar 4-5 cm, dilapisi oleh epiter berlapis gepeng dan terkadang ada yang dilapisi oleh epitel bertingkat toraks. Ditengah-tengah uretra terdapat sfingter eksterna / muscular bercorak.. - Uretra Pria 

 

Pars prostatica • Pada bagian distal terdapat tonjolan kedalam lumen: verumontanum. Ductus ejaculatorius bermuara dekat verumontanum • Dilapisi epitel transitional Pars membranosa • Dilapisi epitel bertingkat torak • Dibungkus oleh sphincter urethra externa (voluntary) Pars bulbosa dan pendulosa • Ujung distal lumen urethra melebar: fossa navicularis. • Umumnya dilapisi epitel bertingkat torak dan epitel selapis torak, dibeberapa tempat terdapat epitel berlapis gepeng. • Kelenjar Littre, kelenjar mukosa yang terdapat disepanjang urethra, terutama pada pars pendulosa.

5. Glandula Prostat Jenis epitelnya berlapis atau bertingkat dan bervariasi dari silindris sampai kubus rendah tergantung pada status endokrin dan kegiatan kelenjar.Sekret mengandung fosfatase asam. Konkremen (corpora amylacea) merupakan kondensasi sekret yg mungkin mengalami perkapuran

14

2. Memahami dan Menjelaskan Fungsi Ginjal dan Sistem Renin Angiostensin Aldosteron Fungsi ginjal yaitu 1. Membuang bahan sisa terutama senyawaan nitrogen seperti urea dan kreatinin yang dihasilkan dari metabolisme makanan oleh tubuh, bahan asing dan produk sisa. 2. Mengatur keseimbangan air dan elektrolit 3. Mengatur keseimbangan asam dan basa. 4. Menghasilkan renin yang berperan dalam pengaturan tekanan darah. 5. Menghasilkan eritropoietin yang mempunyai peran dalam proses pembentukan eritrosit di sumsum tulang. 6. Produksi dan ekskresi urin Terdapat 3 proses dasar yang berperan dalam pembentukan urin yaitu filtrasi glomerulus reabsorbsi tubulus, dan sekresi tubulus.

15

1. Filtrasi glomerulus Proses penyaringan besar-besaran plasma (hampir bebas protein) dari kapiler glomerulus ke dalam kapsula bowman. Filtrasi darah terjadi di glomerulus, dimana jaringan kapiler dengan struktur spesifik dibuat untuk menahan komonen selular dan medium-molekular-protein besar kedalam vascular system, menekan cairan yang identik dengan plasma di elektrolitnya dan komposisi air. Cairan ini disebut filtrate glomerular. Struktur kapiler glomerular terdiri atas 3 lapisan yaitu : endothelium capiler, membrane dasar, epiutelium visceral. Endothelium kapiler terdiri satu lapisan sel yang perpanjangan sitoplasmik yang ditembus oleh jendela atau fenestrate (Guyton.2008). Tekanan darah kapiler glomerulus adalah gaya utama yang menginduksi filtrasi glomerulus. Gaya-gaya yang berperan dalam filtrasi glomerulus, yaitu:

16

1. Tekanan Darah Kapiler Glomerulus Tekanan cairan yang ditimbulkan oleh darah di dalam kapiler glomerulus, bergantung pada kontraksi jantung dan resistensi terhadap aliran darah yang ditimbulkan oleh arteriol aferen dan eferen. Gaya ini merupakan satusatunya gaya yang mendorong filtrasi. Tekanan darah kapiler glomerulus, dengan nilai rata-rata diperkirakan sebesar 55 mmHg.

Gambar 2. Gaya- Gaya dalam Filtrasi Glomerulus 2. Tekanan Koloid Plasma Gaya ini ditimbulkan oleh distribusi tidak seimbang protein-protein plasma dikedua sisi membrane glomerulus karena tidak dapat dilfiltrasi. Besar gaya osmotic ini diperkirakan sebesar 30 mmHg. 3. Tekanan Hidrostatik Kapsul Bowman Tekanan yang ditimbulkan oleh cairan di bagian awal tubulus, diperkirakan sekitar 15 mmHg. Tekanan ini, cenderung mendorong cairan keluar kapsul Bowman melawan filtrasi cairan di glomerulus menuju kapsul Bowman. Jumlah filtrat yg dibentuk per satuan waktu dikenal sebagai Laju Filtrasi Glomerulus. LFG normal 125 ml/menit atau 180 L/hari. LFG dipengaruhi oleh : (1) Tekanan filtrasi netto, yaitu tekanan dan aliran darah ginjal (2) Koefisien filtrasi, yaitu luas permukaan kapiler glomerulus yang dapat melakukan filtrasi dan permeabilitas membran kapiler-kapsula Bowman. Mekanisme control dalam mengatur LFG berfungsi untuk menyesuaikan aliran darah glomerulus dengan mengatur jari-jari arteriol aferen. 1) Otoregulasi Perubahan spontan LFG akan dicegah oleh mekanisme regulasi instrinsik yang dilakukan oleh ginjal, yaitu dengan mengubah-ubah caliber arteriol aferen sehingga resistensi terhadap aliran pembuluh ini dapat disesuaikan. Mekanisme : a. Tekanan darah meningkat → LFG meningkat → Konstriksi arteriol aferen → penurunan aliran darah ke dalam glomerulus → LFG kembali normal. b. Tekanan darah menurun → LFG menurun → Dilatasi arteriol aferen → darah banyak masuk → tekanan darah glomerulus meningkat → LFG kembali normal. 17

2) Kontrol simpatis ekstrinsik Kontrol ekstrinsik yang diperantai oleh sinyal system saraf simpatis ke arteriol aferen, ditujukan untuk mengatur tekanan darah arteri. Sistem saraf parasimpatis tidak memiliki pengaruh apapun pada ginjal. Pada control ini, reflex baroreseptor yang berada di arkus aorta dan sinus karotis mempengaruhi LFG dalam regulasi jangka panjang tekanan darah arteri. Mekanisme autoregulasi LFG-tubulo glomerular feedback  Ada 2 mekanisme umpan balik : - Mekanisme umpan balik vasodilator arteriol afferent - Mekanisme umpan balik vasokonstriktor arteriol efferent Kombinasi kedua umpan balik ini disebut Tubuloglomerular feedback •

Mekanisme umpan balik vasodilator afferent Aliran filtrat glomeruli yang sangat sedikit ke dalam tubuli  konsentrasi ion Cl pada macula densa   dilatasi arteriol afferent  aliran darah renal  ke glomerulus  tekanan gromerulus   laju filtrasi glomerulus kembali 



Mekanisme umpan balik vasokonstriktor arteriol efferent Laju filtrasi glomerulus rendah  reabsorpsi berlebihan ion Cl  konsentrasi ion Cl pada makula densa   sel juxtaglomerular sekresi renin  pembentukan angiotensin II  Angiotensin II menimbulkan konstriksi pada arteriol afferent  tekanan glomerulus meningkat  laju filtrasi glomerulus kembali normal

2. Reabsorpsi tubulus

Perpindahan zat dari lumen tubulus menuju plasma kapiler peritubulus. Tubulus proksimal bertanggung jawab terhadap reabsorbsi bagian terbesar dari filtered solute. Kecepatan dan kemampuan reabsorbsi dan sekresi dari tubulus renal tiak sama. Tubulus proksimal tersusun dan mempunyai hubungan dengan kapiler peritubular yang memfasilitasi pergherakan dari komponen cairan tubulus melalui 2 jalur : - Jalur transeluler, kandungan ( substance ) dibawa oleh sel dari cairn tubulus melewati epical membrane plasma dan dilepaskan ke cairan interstisial dibagian darah dari sel, melewati basolateral membrane plasma. 18

-

Jalur paraseluler, kandungan yang tereabsorbsi melewati jalur paraseluler bergerak dari cairan tubulus menuju zonula ocludens yang merupakan struktur permeable yang mendempet sel tubulus proksimal satu daln lainnya. Paraselluler transport terjadi dari difusi pasif.

Di tubulus proksimal terjadi transport Na melalui Na, K pump. Di kondisi optimal, Na, K, ATPase pump manekan tiga ion Na kedalam cairan interstisial dan mengeluarkan 2 ion K ke sel, sehingga konsentrasi Na di sel berkurang dan konsentrasi K di sel bertambah. Selanjutnya disebelah luar difusi K melalui canal K membuat sel polar. Jadi interior sel bersifat negative . pergerakan Na melewati sel apical difasilitasi spesifik transporters yang berada di membrane. Pergerakan Na melewati transporter ini berpasangan dengan larutan lainnya dalam satu pimpinan sebagai Na ( contransport ) atau berlawanan pimpinan ( countertransport ) (sherwood, 2006). Substansi diangkut dari tubulus proksimal ke sel melalui mekanisme ini ( secondary active transport ) termasuk gluukosa, asam amino, fosfat, sulfat, dan organic anion. Pengambilan active substansi ini menambah konsentrasi intraseluler dan membuat substansi melewati membrane plasma basolateral dan kedarah melalui pasif atau difusi terfasilitasi. Reabsorbsi dari bikarbonat oleh tubulus proksimal juga di pengaruhi gradient Na (Sherwood, 2006) Hampir 99% dari cairan filtrate direabsorpsi kembali bersama zat-zat yang terlarut didalam cairan filtrate tersebut. Akan tetapi tidak semua zat-zat yang terlarut dapat direabsorpsi dengan sempurna, antara lain glukosa dan asam amino. Mekanisme terjadinya reabsorpsi pada tubulus melalui dua cara yaitu: a. Transfort aktif Zat-zat yang mengalami transfort aktif pada tubulus proksimal yaitu ion Na+, K+, PO4-, NO3-, glukosa dan asam amino. Terjadinya difusi ion-ion khususnya ion Na+, melalui sel tubulus kedalam pembuluh kapiler peritubuler disebabkan perbedaan ptensial listrik didalam ep-itel tubulus (-70mvolt) dan diluar sel (-3m volt). Perbedaan electrochemical gradient ini membentu terjadinya proses difusi. Meningkatnya difusi natrium diesbabkan permiabilitas sel tubuler terhadap ion natrium relative tinggi. Keadaan ini dimungkinkan karena terdapat banyak mikrovilli yang memperluas permukaan tubulus. Proses ini memerlukan energi dan dapat berlangsung terus-menerus. b. Transfor pasif Terjadinya transport pasif ditentukan oleh jumlah konsentrasi air yang ada pada lumen tubulus, permiabilitas membrane tubulus terhadap zat yang terlarut dalam cairan filtrate dan perbedaan muatan listrikpada dinding sel tubulus. Zat yang mengalami transfor pasif, misalnya ureum, sedangkan air keluar dari lumen tubulusmelalui prosese osmosis. Perbedan potensial listrik didalam lumen tubulus dibandingkan diluar lumen tubulus menyebabkan terjadinya proses dipusi ion Na+ dari lumen tubulus kedalam sel epitel tubulus dan selanjutnya menuju kedalam sel peritubulus. Bersamaan dengan perpindahan ion Na+ diikuti pula terbawanya ion 19

Cl-, HCO3- kedalam kapiler peritubuler. Kecepatan reabsorsi ini ditentukan pula oleh perbedaan potensial listrik yang terdapat didalam dan diluar lumen tubulus. Sedangkan sekresi tubulus melalui proses: sekresi aktif dan sekresi pasif. Sekresi aktif merupakan kebalikan dari transpor aktif. Dalam proses ini terjadi sekresi dari kapiler peritubuler kelumen tubulus. Sedangkan sekresi pasif melalui proses difusi. Ion NH3- yang disintesa dalam sel tubulus selanjutnya masuk kedalam lumen tubulus melalui proses difusi. Dengan masuknya ion NH3- kedalam lumen tubulus akan membantu mengatur tingkat keasaman cairan tubulus. Kemampuan reabsorpsi dan sekresi zat-zat dalam berbagai segmen tubulus berbeda-beda. 3. Sekresi Tubulus Proses ketiga ginjal. Sekresi tubulus adalah pemindahan selektif bahan-bahan dari kapiler peritubulus ke dalam lumen tubulus. Proses ini adalah rute kedua bagi masuknya bahan ke dalam tubulus ginjal dari darah. Hanaya sekitar 20% plasma yang mengalir melalui kapiler glomerulus difiltrasi dalam kapsula bowman, sisanya 80% mengalir melalui arteriol eferen ke dalam kapiler pertubulus. Secara cepat dengan mengekstraksi sejumlah bahan tertentu dari 80% plasma yang tidak terfiltrasi di kapiler peritubulus dan memindahkan ke bahan yang sudah ada di tubulus sebagai urin. (Sherwood,2014) Sistem Renin-Angiotensin-Aldosteron

20

3. Memahami dan Menjelaskan Glomerulonefritis Akut 3.1 Definisi Glomerulonefritis adalah penyakit inflamasi atau non inflamasi pada glomerulus yang menyebabkan perubahan permeabilitas, perubahan struktur, dan fungsi glomerulus. Data imunopatologik dan eksperimental menyokong bahwa kerusakan glomerulus pada GN merupakan mekanisme imunopatologik. (IPD edisi 6) 3.2 Epidemiologi Glomerulonefritis akut dapat terjadi secara sporadik ataupun epidemik. Insidensinya meningkat pada kelompok sosioekonomi rendah, berkaitan dengan higiene yang kurang baik dan jauh dari tempat pelayanan kesehatan.Rasio terjadinya glomerulonefritis sesudah infeksi pada pria dibanding wanita adalah 2:1. Penyakit ini dapat terjadi pada segala usia, namun seringnya terjadi pada anak-anak, terutama usia 2-6 tahun. GNAPS jarang terjadi pada anak kurang dari 2 tahun dan lebih dari 20 tahun. Glomerulonefritis akut dapat menjadi penyakit epidemik, terutama disebabkan Streptokokus beta hemolitikus grup A tipe nefritogenik. Kejadian glomerulonefritis pasca streptokokus sudah mulai menurun pada negara maju, namun masih terus berlanjut pada negara berkembang. Pada beberapa negara berkembang, glomerulonefritis pasca streptokokus tetap menjadi bentuk sindrom nefritik yang paling sering ditemui. Attack rate dari glomerulonefritis akut terlihat memiliki pola siklus, yaitu sekitar setiap 10 tahun. Data epidemiologi bersifat nasional belum ada dan laporan dari pusat ginjal dan hipertensi masih terbatas. Hal ini di sebabkan biopsi ginjal tak selalu dapat di lakukan dalam menegakan diagnosis etiologi glomerulonefritis akut. Data Perhimpunan Nefrologi Indonesia (Pernefri) menunjukan bahwa glomerulonefritis akut sebagai penyebab PGTA yang menjalani hemodialisis mencapai 39% pada tahun 2000. Sidabutar RP dan kawan melaporkan 177 kasus glomerulonefritis yang lengkap dengan biopsi ginjal dari 459 kasus rawat inap yang di kumpulkan dari 5 rumah sakit selama 5 tahun. Dari 177 yang di lakukan biopsi ginjal didapat 35,6% menunjukan manifestasi klinik sindrom nefrotik , 19,2% sindrom nefrotik akut, 3,9% glomerulonefritis progresif cepat, 15,3% dengan hematuria, 19,3% proteinuria dan 6,8% hipertensi. 3.3 Etiologi Sebagian besar (75%) glomerulonefritis akut paska streptokokus timbul setelah infeksi saluran pernapasan bagian atas, yang disebabkan oleh kuman Streptokokus beta hemolitikus grup A. Infeksi kuman streptokokus beta hemolitikus ini mempunyai resiko terjadinya glomerulonefritis akut paska streptokokus berkisar 10-15%.penyebab lain diantaranya: 1. Bakteri : streptokokus grup C, meningococcocus, Sterptoccocus Viridans, Gonococcus, Leptospira, Mycoplasma Pneumoniae, Staphylococcus albus, Salmonella typhi dll

21

2. Virus : hepatitis B, varicella, vaccinia, echovirus, parvovirus, influenza, parotitis epidemika dl 3. Parasit : malaria dan toksoplasma Streptococcus Sterptococcus adalah bakteri gram positif berbentuk bulat yang secara khas membentuk pasangan atau rantai selama masa pertumbuhannya. Merupakan golongan bakteri yang heterogen. Lebih dari 90% infeksi streptokkus pada manusia disebabkan oleh Streptococcus hemolisis β grup A. Grup ini diberi spesies nama S. Pyogenes. S. pyogenes β-hemolitik grup A mengeluarkan dua hemolisin, yaitu: 1. Sterptolisin O Suatu protein (BM 60.000) yang aktif menghemolisis dalam keadaan tereduksi (mempunyai gugus-SH) tetapi cepat menjadi tidak aktif bila ada oksigen. Streptolisin O bertanggung jawab untuk beberapa hemolisis yang terlihat ketika pertumbuhan dipotong cukup dalam dan dimasukkan dalam biakan pada lempeng agar darah. Sterptolisin O bergabung dengan antisterptolisin O, suatu antibodi yang timbul pada manusia setelah infeksi oleh setiap streptococcus yang menghasilkan sterptolisin O. Antibodi ini akan menghambat hemolisis oleh sterptolisin O. Fenomena ini merupakan dasar tes kuantitatif untuk antibodi. Titer serum antisterptolisin O (ASTO) yang melebihi 160-200 unit dianggap abnormal dan menunjukkan adanya infeksi sterptococcus yang baru saja terjadi atau adanya kadar antibodi yang tetap tinggi setelah serangan infeksi pada orang yang hipersensitifitas. 2. Sterptolisin S Zat penyebab timbulnya zone hemolitik disekitar koloni sterptococcus yang tumbuh pada permukaan lempeng agar darah. Sterptolisin S bukan antigen, tetapi zat ini dapat dihambat oleh penghambat non spesifik yang sering ada dalam serum manusia dan hewan dan tidak bergantung pada pengalaman masa lalu dengan sterptococcus. Habitat dari bakteri ini pada tubuh manusia adalah di tenggorokan dan juga kulit. Penyakit yang sering disebabkan diantaranya adalah faringitis, demam rematik dan glomerulonefritis. (Jawetz et.al, 2005) Klasifikasi 1. Sumber Terjadinya Kelainan a. Glomerulonefritis Primer, kelainan ginjal yang penyakit dasarnya berasal dari ginjal itu sendiri. Glomerulonefritis Non Proliferatif 1. Glomerulonefritis Lesi Minimal (GNLM) Merupakan salah satu jenis glomerulonefritis yang dikaitkan dengan sindroma nefrotik, sehingga disebut juga sebagai nefrosis lupoid. Pemeriksaan dengan mikroskop cahaya dan IF menunjukkan gambaran glomerolus yang normal. Pada pemeriksaan mikroskop elektron menunjukkan hilangnya foot processes sel epitel visceral glomerolus

2. Glomerulosklerosis Fokal dan Segmental (GSFS)

22

Secara klinis memberikan gambaran sindroma nefrotik dengan gejala proteinuria masif, hipertensi, hematuria, dan sering disertai dengan gangguan fungsi ginjal. Pemeriksaan mikroskop cahaya menunjukkan sklerosis glomerolus yang mengenai bagian atau segmen tertentu. Obliterasi kapiler glomerolus terjadi pada segmen glomerolus dan dinding kapiler mengalami kolaps. Kelainan ini disebut hialinosis yang terdiri dari IgM dan komponen C3. Glomerolus yang lain dapat normal ataupun membesar dan pada sebagian kasus ditemukan penambahan jumlah sel. 3. Glomerulonefritis Membranosa (GNMN) Disebut juga nefropati membranosa dan sering menjadi penyebab utama sindroma nefrotik. Pada sebagian besar kasus penyebabnya tidak diketahui, sedangkan pada kasus yang lain sering dikaitkan dengan SLE, infeksi hepatitis virus B atau C, tumor ganas, atau pun akibat obat (misalnya, preparat emas, penisilinamin, OAINS). Pemeriksaan mikroskop cahaya tidak menunjukkan kelainan berarti. Sedangkan pada pemeriksaan mikroskop IF ditemukan deposit IgG dan komponen C3 berbentuk granular pada dinding kapiler glomerolus. Dengan pewarnaan khusus tampak konfigurasi spike like pada MBG. Gambaran histopatologi pada mikroskop cahaya, IF dan mikroskop elektron sangat bergantung pada stadium penyakitnya. Glomerulonefritis Proliferatif 1. Glomerulonefritis Membranoproliferatif (GNMP) 2. Glomerulonefritis Mesangioproliferatif (GNMsP) 3. Glomerulonefritis Kresentik

4. Nefropati IgA Nefropati IgA biasanya dijumpai pada pasien dengan glomerulonefritis akut, sindroma nefrotik, hipertensi dan gagal ginjal kronik. Nefropati IgA juga sering dijumpai pada kasus dengan gangguan hepar, saluran cerna atau kelainan sendi. Gejala nefropati IgA asimtomatis dan terdiagnosis karena kebetulan ditemukan hematuria mikroskopik. Adanya episode hematuria makroskopik biasanya didahului infeksi saluran nafas atas atau infeksi lain atau non infeksi misalnya olahraga dan imunisasi. 5. Nefropati IgM

23

b.

Glomerulonefritis Sekunder, kelainan ginjal yang penyakit dasarnya berasal dari penyakit sistemik, seperti: DM, SLE, mieloma multiple, amiloidosis. 2. Derajat Penyakit a. Glomerulonefritis Akut (GNA) Suatu reaksi imunologis pada ginjal terhadap bakteri atau virus tertentu. Mayoritas bakteri penyebanya adalah streptococcus. b. Glomerulonefritis Kronik (GNK) Adanya hematuria dan proteinuria yang menetap akibat dari terjadinya eksaserbasi berulang dari glomerulonefritis akut. (IPD-UI, 2007; IKA-UI, 1997)

3.4 Klasifikasi Klasifikasi

Keterangan

DISTRIBUSI Difus

Mengenai semua glomerulus; bentuk yang paling sering terjadi menyebabkan gagal ginjal kronik.

Fokal

Hanya sebagian glomerulus yang abnormal.

Lokal

Hanya sebagian rumbai glomerulus yang abnormal, misalnya satu simpai kapiler.

BENTUK KLINIS GLOMERULONEFRITIS Akut

Jenis gangguan klasik dan jinak yang hampir selalu diawali oleh infeksi streptokokus dan disertai endapan kompleks imun pada membrane basalis glomerulus (GBM) dan perubahan ploriferatif selular.

Subakut

Bentuk glomerulonephritis yang progresif cepat, ditandai dengan perubahan-perubahan proliferative selular nyata yang merusak glomerulus sehingga dapat mengakibatkan kematian karena uremia dalam jangka waktu beberapa bulan sejak timbulnya penyakit.

Kronik

Glomerulonefritis progresif lambat yang berjalan menuju perubahan sklerotik dan obliteratif pada glomerulus; ginjal mengisut dan kecil; kematian akibat uremia; seluruh perjalanan penyakit berlangsung 2-40 tahun.

GAMBARAN HISTOLOGIK

24

Perubahan Minimal

Perubahan Proliferatif

Disebut juga nefrosis lipoid atau penyakit podosit. Glomerulus tampak normal atau hampir normal pada mikroskop cahaya, sedangkan pada mikroskop electron terlihat adanya penyatuan podosit. Hanya bentuk GN mayor yang tidak memperlihatkan imunopatologi. Biasanya berwujud sebagai syndrome nefrotik pada anak usia 1-5 tahun. Berespon baik dengan terapi kortikosteroid. Prognosis sangat baik. Endapan immunoglobulin, komplemen, dan fibrin akan menyebabkan proliferasi sel-sel endotel, mesangium dan epitel. Kemudian mengakibatkan pembentukan sabit yang dapat melingkari dan menyumbat rumbai glomerulus dan itu merupakan tanda yang bahaya. Sering ditemui pada GN progesif cepat dan GN kronik yang sudah lanjut. Nefropati IgA (Berger disease) dan nefropati IgM juga dikelompokan dalam GN proliferatif. Pemeriksaan mikroskop cahaya GNMP memperlihatkan proliferasi sel mesengial dan infiltrasi leukosit serta akumulasi matrik ekstraseluler. Infiltrasi makrofag ditemukan pada glomerulus dan terjadi penebalan MBG serta double contour. Pemeriksaan mikroskop IF ditemukan endapan IgG, IgM dan C3 pada dinding kapiler yang berbentuk granular.

3.5 Patofisiologi Glomerulonefritis paska streptokokus merupakan penyakit prototipe dari glomerulonefritis akut akibat infeksi. Meskipun terdapat rekognisi awal dari asosiasi antara infeksi streptokokal dan glomerulonefritis akut, mekanisme patogenik dari penyakit ini belum sepenuhnya dimengerti. Secara konseptual, glomerulonefritis paska streptokokus dapat diakibatkan sekunder terhadap efek toksik langung dari protein streptokokal terhadap glomerulus, atau produk streptokokal tersebut dapat menginduksi kerusakan akibat imun kompleks. Hal ini dapat terjadi akibat berbagai mekanisme: (1) dengan membawa antigen ke glomerulus (antigen ditanamkan), (2) dengan deposisi kompleks imun yang bersirkulasi, (3) dengan mengalterasi antigen ginjal normal, menyebabkannya menjadi self-antigen, atau (4) dengan menginduksi 25

respon autoimun terhadap self-antigen (antigenic mimicry). Diduga bahwa lebih dari satu antigen streptokokal dapat berperan dalam patogenesis glomerulonefritis paska streptokokus, dan lebih dari satu mekanisme patogenik dapat ikut serta. Beberapa protein streptokokal telah diimplikasikan dalam patogenesis glomerulonefritis paska streptokokus. Molekul protein M yang menonjol dari permukaan streptokokus grup A mengandung epitop yang dapat melakukan cross-reaction dengan antigen glomerular. M protein tipe V, VI, dan XIX telah menunjukkan kemampuan untuk merangsang antibodi yang bereaksi dengan beberapa protein myokardium dan otot skelet. Sebaliknya, antibodi monoklonal yang dihasilkan terhadap korteks ginjal manusia menunjukan cross-reaction dengan protein M tipe VI dan XII, membuktikan bahwa beberapa jenis protein M memiliki determinan antigenik yang serupa dengan glomerulus. Spektrum agen infeksi yang berkaitan dengan glomerulonefritis paska infeksi atau peri-infeksi ternyata tidak hanya terpaku pada streptococcus, melainkan juga staphylococcus, bakteri batang gram negatif, serta bakteri intraseluler. Dan selain itu, populasi yang beresiko terhadap glomerulonefritis peri-infeksi sekarang ikut mencakup pecandu alkohol, pengguna obat-obatan IV, dan pasien dengan ventricular atrial shunts. Namun glomerulonefritis paska streptokokus tetap menjadi glomerulonefritis infeksi yang paling banyak diteliti dan didokumentasikan. 1. Terbentuknya kompleks antigen-antibodi yang melekat pada membrana basalis glomerulus dan kemudian merusaknya. 2. Proses auto-imun kuman Streptococcus yang nefritogen dalam tubuh menimbulkan badan autoimun yang merusak glomerulus. 3. Streptococcus nefritogen dan membran basalis glomerulus mempunyai komponen antigen yang sama sehingga dibentuk zat anti yang langsung merusak membrana basalis ginjal.

Kompleks imun atau anti Glomerular Basement Membrane (GBM) antibodi yang mengendap/berlokasi pada glomeruli akan mengaktivasi komplemen jalur klasik atau alternatif dari sistem koagulasi dan mengakibatkan peradangan glomeruli, menyebabkan terjadinya :

1. Hematuria, Proteinuria, dan Silinderuria (terutama silinder eritrosit) 2. Penurunan aliran darah ginjal sehingga menyebabkan Laju Filtrasi Ginjal (LFG) juga menurun. Hal ini berakibat terjadinya oligouria dan terjadi retensi air dan garam akibat 26

kerusakan ginjal. Hal ini akan menyebabkan terjadinya edema, hipervolemia, kongesti vaskular (hipertensi, edema paru dengan gejala sesak nafas, rhonkhi, kardiomegali), azotemia, hiperkreatinemia, asidemia, hiperkalemia, hipokalsemia, dan hiperfosfatemia semakin nyata, bila LFG sangat menurun. 3. Hipoperfusi yang menyebabkan aktivasi sistem renin-angiotensin. Angiotensin 2 yang bersifat vasokonstriktor perifer akan meningkat jumlahnya dan menyebabkan perfusi ginjal semakin menurun. Selain itu, LFG juga makin menurun disamping timbulnya hipertensi.

Angiotensin 2 yang meningkat ini akan merangsang kortek adrenal untuk melepaskan aldosteron yang menyebabkan retensi air dan garam ginjal dan akhirnya terjadi hipervolemia dan hipertensi.

27

28

3.6 Manifestasi Klinis Gejala klinis GNAPS terjadi secara tiba-tiba, 7–14 hari setelah infeksi saluran nafas (faringitis), atau 3-6 minggu setelah infeksi kulit (piodermi). Gambaran klinis GNAPS sangat bervariasi, kadang-kadang gejala ringan atau tanpa gejala sama sekali, kelainan pada urin ditemukan secara kebetulan pada pemeriksaan rutin. Pada anak yang menunjukkan gejala berat, tampak sakit parah dengan manifestasi oliguria, edema, hipertensi, dan uremia dengan proteinuria, hematuria dan ditemukan cast. Kerusakan pada dinding kapiler gromelurus mengakibatkan hematuria/kencing berwarna merah daging dan albuminuria., Gejala overload cairan berupa sembab3 (85%), sedangkan di Indonesia 76.3% kasus menunjukkan gejala sembab orbita dan kadang-kadang didapatkan tanda-tanda sembab paru (14%), atau gagal jantung kongestif (2%). Hematuria mikroskopik ditemukan pada hampir semua pasien (di Indonesia 99.3%).6 Hematuria gros (di Indonesia6 53.6%) terlihat sebagai urin berwarna merah kecoklatan seperti warna coca-cola. Penderita tampak pucat karena anemia akibat hemodilusi. Penurunan laju filtrasi glomerulus biasanya ringan sampai sedang dengan meningkatnya kadar kreatinin (45%). Takhipnea dan dispnea yang disebabkan kongesti paru dengan efusi pleura sering ditemukan pada penderita glomerulonefritis akut. Takikardia, kongesti hepar dan irama gallop timbul bila terjadi gagal jantung kongesti. Proteinuria (di Indonesia 98.5%) biasanya bukan tipe proteinuria nefrotik. Gejala sindrom nefrotik dapat terjadi pada kurang dari 5% pasien. Hipertensi ringan sampai sedang terlihat pada 6029

80% pasien ( di Indonesia 61.8%) yang biasanya sudah muncul sejak awal penyakit. Tingkat hipertensi beragam dan tidak proporsional dengan hebatnya sembab. Bila terdapat kerusakan jaringan ginjal, maka tekanan darah akan tetap tinggi selama beberapa minggu dan menjadi permanen bila keadaan penyakitnya menjadi kronis. Hipertensi selalu terjadi meskipun peningkatan tekanan darah mungkin hanya sedang. Hipertensi terjadi akibat ekspansi volume cairan ekstrasel (ECF) atau akibat vasospasme masih belum diketahui dengan jelas. Kadang-kadang terjadi krisis hipertensi yaitu tekanan darah mendadak meningkat tinggi dengan tekanan sistolik > 200 mm Hg, dan tekanan diastolik > 120 mmHg. Sekitar 5% pasien rawat inap mengalami ensefalopati hipertensi (di Indonesia 9.2%), dengan keluhan sakit kepala hebat, perubahan mental, koma dan kejang.3,6 Patogenesis hipertensi tidak diketahui, mungkin multifaktorial dan berkaitan dengan ekspansi volume cairan ekstraseluler. Ensefalopati hipertensi meskipun jarang namun memerlukan tindakan yang cepat dan tepat untuk menyelamatkan nyawa pasien. Kadang kadang terdapat gejala-gejala neurologi karena vaskulitis serebral, berupa sakit kepala dan kejang yang bukan disebabkan karena ensefalopati hipertensi. Adanya anuria, proteinuria nefrotik, dan penurunan fungsi ginjal yang lebih parah, mungkin suatu glomerulonefritis progresif cepat yang terjadi pada 1% kasus GNAPS. Gejala-gejala GNAPS biasanya akan mulai menghilang secara spontan dalam 1-2 minggu. Kelainan urin mikroskopik termasuk proteinuria dan hematuria akan menetap lebih lama sekitar beberapa bulan sampai 1 tahun atau bahkan lebih lama lagi. Suhu badan tidak beberapa tinggi, tetapi dapat tinggi sekali pada hari pertama. Gejala gastrointestinal seperti muntah, tidak nafsu makan, konstipasi dan diare tidak jarang menyertai penderita GNA. 3.7 Diagnosis dan Diagnosis Banding 1. Anamnesis Hal pertama yang harus di tanyakan adalah identitas pasien, riwayat penyakit secara umum, khususnya pernah mengalami infeksi bakteri, terutama streptococcus, riwayat kesehatan keluarga, riwayat sosial dan ekonomi, pernah mengkonsumsi OAINS, preparat emas, heroin, ataupun imunosupresif dan apakah terdapat edema tungkai atau pun kelopak mata. 2. Pemeriksaan Fisik Pada pasien dengan SNA, pemeriksaan fisik dan tekanan darah kadang dalam batas normal; tetapi kebanyakan pada pemeriksaan ditemukan adanya edema, hipertensi, dan oliguria. - Edema sering pada daerah muka, terutama daerah periorbital - Hipertensi sering ditemukan pada 80% kasus SNA - Hematuria, baik pada pemeriksaan makroskopik atau mikroskopik - Skin rash - Kelainan neurologis ditemukan pada kasus hipertensi malignant atau hipertensi encepalopaty. - Artritis - Tanda-tanda lain : Faringitis, Impetigo, ISPA, Murmur (menunjukan adanya endokarditis), Nyeri perut, Kenaikan berat badan, Purpura palpebra pada pasien dengan Henoch Schoenlein purpura 30

3. Pemeriksaan Penunjang KELAINAN LABORATORIUM Urinalisis Urinalisis menunjukkan adanya hematuria makroskopik ditemukan hampir pada 50% penderita, proteinuria (+1 sampai +4), kelainan sedimen urine dengan eritrosit disformik, leukosituria serta torak selulet, granular, eritrosit(++), albumin (+), silinder lekosit (+) dan lain-lain. Kadang-kadang kadar ureum dan kreatinin serum meningkat dengan tanda gagal ginjal seperti hiperkalemia, asidosis, hiperfosfatemia dan hipokalsemia. Kadang-kadang tampak adanya proteinuria masif dengan gejala sindroma nefrotik. Komplemen hemolitik total serum (total hemolytic complement) dan C3 rendah pada hampir semua pasien dalam minggu pertama, tetapi C4 normal atau hanya menurun sedikit, sedangkan kadar properdin menurun pada 50% pasien. Keadaan tersebut menunjukkan aktivasi jalur alternatif komplomen. - Proteinuria : Secara kualitatif proteinuria berkisar antara negatif sampai dengan ++, jarang terjadi sampai dengan +++. Bila terdapat proteinuria +++ harus dipertimbangkan adanya gejala sindrom nefrotik atau hematuria makroskopik. Secara kuantitatif proteinuria biasanya kurang dari 2 gram/ m2 LPB/24 jam, tetapi pada keadaan tertentu dapat melebihi 2 gram/ m2 LPB/24 jam. Hilangnya proteinuria tidak selalu bersamaan dengan hilangnya gejala-gejala klinik, sebab lamanya proteinuria bervariasi antara beberapa minggu sampai beberapa bulan sesudah gejala klinik menghilang. Sebagai batas 6 bulan, bila lebih dari 6 bulan masih terdapat proteinuria disebut proteinuria menetap yang menunjukkan kemungkinan suatu glomerulonefritis kronik yang memerlukan biopsi ginjal untuk membuktikannya. - Hematuria mikroskopik Hematuria mikroskopik merupakan kelainan yang hampir selalu ada, karena itu adanya eritrosit dalam urin ini merupakan tanda yang paling penting untuk melacak lebih lanjut kemungkinan suatu glomerulonefritis. Begitu pula dengan torak eritrosit yang dengan pemeriksaan teliti terdapat pada 60-85% kasus GNAPS. Adanya torak eritrosit ini merupakan bantuan yang sangat penting pada kasus GNAPS yang tidak jelas, sebab torak ini menunjukkan adanya suatu peradangan glomerulus (glomerulitis). Meskipun demikian bentuk torak eritrosit ini dapat pula dijumpai pada penyakit ginjal lain, seperti nekrosis tubular akut. Darah -

Reaksi serologis Infeksi streptokokus pada GNA menyebabkan reaksi serologis terhadap produk-produk ekstraselular streptokokus, sehingga timbul antibodi yang titernya dapat diukur, seperti antistreptolisin O (ASO), antihialuronidase (AH ase) dan antideoksiribonuklease (AD Nase-B). Titer ASO merupakan reaksi serologis yang paling sering diperiksa, karena mudah dititrasi. Titer ini meningkat 70-80% pada GNAPS. Sedangkan kombinasi titer ASO, AD Nase-B dan AH ase yang meninggi, hampir 100% menunjukkan adanya infeksi streptokokus sebelumnya. Kenaikan titer ini dimulai pada hari ke-10 hingga 14 sesudah infeksi streptokokus dan mencapai puncaknya pada minggu ke- 3 hingga 5 dan 31

-

-

-

-

mulai menurun pada bulan ke-2 hingga 6. Titer ASO bisa normal atau tidak meningkat akibat pengaruh pemberian antibiotik, kortikosteroid atau pemeriksaan dini titer ASO. Sebaliknya titer ASO jarang meningkat setelah piodermi. Hal ini diduga karena adanya jaringan lemak subkutan yang menghalangi pembentukan antibodi terhadap streptokokus sehingga infeksi streptokokus melalui kulit hanya sekitar 50% kasus menyebabkan titer ASO meningkat. Di pihak lain, titer AD Nase jelas meningkat setelah infeksi melalui kulit. Aktivitas komplemen Penurunan C3 sangat mencolok pada pasien glomerulonefritis akut pascastreptokokus dengan kadar antara 20-40 mg/dl (harga normal 50-140 mg.dl). Komplemen serum hampir selalu menurun pada GNAPS, karena turut serta berperan dalam proses antigenantibodi sesudah terjadi infeksi streptokokus yang nefritogenik. Penurunan C3 tidak berhubungan dengann parahnya penyakit dan kesembuhan. Pengamatan ini memastikan diagnosa, karena pada glomerulonefritis yang lain yang juga menunjukkan penuruanan kadar C3, ternyata berlangsung lebih lama. Di antara sistem komplemen dalam tubuh, maka komplemen C3 (B1 C globulin) yang paling sering diperiksa kadarnya karena cara pengukurannya mudah. Umumnya kadar C3 mulai menurun selama fase akut atau dalam minggu pertama perjalanan penyakit, kemudian menjadi normal sesudah 4-8 minggu timbulnya gejala-gejala penyakit. Bila sesudah 8 minggu kadar komplemen C3 ini masih rendah, maka hal ini menunjukkan suatu proses kronik yang dapat dijumpai pada glomerulonefritis membrano proliferatif atau nefritis lupus. Laju endap darah LED umumnya meninggi pada fase akut dan menurun setelah gejala klinik menghilang. Walaupun demikian LED tidak dapat digunakan sebagai parameter kesembuhan GNAPS, karena terdapat kasus GNAPS dengan LED tetap tinggi walaupun gejala klinik sudah menghilang. Radiografi o Foto thorak diperlukan pada pasien dengan batuk, dengan atau tanpa hemoptysis. o Foto abdomen diperlukan pada suspek abses viseral, atau abses dada. o Echocardiografi pada pasien dengan murmur, atau positif adanya endokarditis pada kultur darah atau efusi perikardial. o Ultrasonografi ginjal untuk mengevaluasi ukuran ginjal, untuk mengetahui adanya fibrosis. Ukuran ginjal kurang dari 9 cm menandakan adanya luka dan kemungkinan kecil untuk kembali seperti semula. Histopatologi Makroskopis ginjal tampak agak membesar, pucat dan terdapat titik-titik perdarahan pada korteks. Mikroskopis tampak hampir semua glomerulus terkena, sehingga dapat disebut glomerulonefritis difusa. Tampak proliferasi sel endotel glomerulus yang keras sehingga mengakibatkan lumen kapiler dan ruang simpai Bowman menutup. Di samping itu terdapat pula infiltrasi sel epitel kapsul, infiltrasi sel polimorfonukleus dan monosit. Pada pemeriksaan mikroskop elektron akan tampak membrana basalis

32

menebal tidak teratur. Terdapat gumpalan humps di subepitelium yang mungkin dibentuk oleh globulin-gama, komplemen dan antigen Streptokokus. Indikasi biopsi ginjal pada anak dengan kondisi berikut ini: 1. Riwayat keluarga dengan penyakit glomerulus 2. Usia < 4 thn atau > 15 tahun 3. Memiliki riwayat penyakit dengan gejala yang sama 4. Disertai gagal ginjal kronis 5. GFR < 50% dari usia normal 6. Hematuria makroskopis lebih dari 3 bulan 7. Hematuria mikroskopis lebih dari 1 tahun 8. Kadar C3 menurun lebih dari 3 bulan 9. Proteinuria yang bertahan > 6 bulan 10. Tidak mendapatkan informasi yang lengkap  Diagnosis Banding Banyak penyakit ginjal atau di luar ginjal yang memberikan gejala seperti GNAPS. 1. Penyakit ginjal a. Glomerulonefritis kronik eksaserbasi akut Kelainan ini penting dibedakan dari GNAPS karena prognosisnya sangat berbeda. Perlu dipikirkan adanya penyakit ini bila pada anamnesis terdapat penyakit ginjal sebelumnya dan periode laten yang terlalu singkat, biasanya 1-3 hari. Selain itu adanya gangguan pertumbuhan, anemia dan ureum yang jelas meninggi waktu timbulnya gejala-gejala nefritis dapat membantu diagnosis. b. Penyakit ginjal dengan manifestasi hematuria Penyakit-penyakit ini dapat berupa glomerulonefritis fokal, nefritis herediter (sindrom Alport), IgA-IgG nefropati (Maladie de Berger) dan benign recurrent haematuria. Umumnya penyakit ini tidak disertai edema atau hipertensi. Hematuria mikroskopik yang terjadi biasanya berulang dan timbul bersamaan dengan infeksi saluran napas tanpa periode laten ataupun kalau ada berlangsung sangat singkat. c. Rapidly progressive glomerulonefritis (RPGN) RPGN lebih sering terdapat pada orang dewasa dibandingkan pada anak. Kelainan ini sering sulit dibedakan dengan GNAPS terutama pada fase akut dengan adanya oliguria atau anuria. Titer ASO, AH ase, AD Nase B meninggi pada GNAPS, sedangkan pada RPGN biasanya normal. Komplemen C3 yang menurun pada GNAPS, jarang terjadi pada RPGN. Prognosis GNAPS umumnya baik, sedangkan prognosis RPGN jelek dan penderita biasanya meninggal karena gagal ginjal. 2. Penyakit-penyakit sistemik Beberapa penyakit yang perlu didiagnosis banding adalah purpura Henoch-Schöenlein, eritematosus dan endokarditis bakterial subakut. Ketiga penyakit ini dapat menunjukkan gejala-gejala sindrom nefritik akut, seperti hematuria, proteinuria dan kelainan sedimen yang lain, tetapi pada apusan tenggorok negatif dan titer ASO normal. Pada HSP dapat dijumpai purpura, nyeri abdomen dan artralgia, sedangkan pada GNAPS tidak ada gejala demikian. Pada SLE terdapat kelainan kulit dan sel LE positif pada pemeriksaan darah, yang tidak ada pada GNAPS, sedangkan pada SBE 33

tidak terdapat edema, hipertensi atau oliguria. Biopsi ginjal dapat mempertegas perbedaan dengan GNAPS yang kelainan histologiknya bersifat difus, sedangkan ketiga penyakit tersebut umumnya bersifat fokal. 3. Penyakit-penyakit infeksi GNA bisa pula terjadi sesudah infeksi bakteri atau virus tertentu selain oleh Group A βhemolytic streptococci. Beberapa kepustakaan melaporkan gejala GNA yang timbul sesudah infeksi virus morbili, parotitis, varicella, dan virus ECHO. Diagnosis banding dengan GNAPS adalah dengan melihat penyakit dasarnya 3.8 Tatalaksana dan Pencegahan 1. Istirahat Istirahat di tempat tidur terutama bila dijumpai komplikasi yang biasanya timbul dalam minggu pertama perjalanan penyakit GNAPS. Sesudah fase akut, tidak dianjurkan lagi istirahat di tempat tidur, tetapi tidak diizinkan kegiatan seperti sebelum sakit. Lamanya perawatan tergantung pada keadaan penyakit. Dahulu dianjurkan prolonged bed rest sampai berbulan-bulan dengan alasan proteinuria dan hematuria mikroskopik belum hilang. Kini lebih progresif, penderita dipulangkan sesudah 10-14 hari perawatan dengan syarat tidak ada komplikasi. Bila masih dijumpai kelainan laboratorium urin, maka dilakukan pengamatan lanjut pada waktu berobat jalan. Istirahat yang terlalu lama di tempat tidur menyebabkan anak tidak dapat bermain dan jauh dari temantemannya, sehingga dapat memberikan beban psikologik. 2. Diet Jumlah garam yang diberikan perlu diperhatikan. Bila edema berat, diberikan makanan tanpa garam, sedangkan bila edema ringan, pemberian garam dibatasi sebanyak 0,5-1 g/hari. Protein dibatasi bila kadar ureum meninggi, yaitu sebanyak 0,5-1 g/kgbb/hari. Asupan cairan harus diperhitungkan dengan baik, terutama pada penderita oliguria atau anuria, yaitu jumlah cairan yang masuk harus seimbang dengan pengeluaran, berarti asupan cairan = jumlah urin + insensible water loss (20-25 ml/kgbb/ hari) + jumlah keperluan cairan pada setiap kenaikan suhu dari normal (10 ml/kgbb/hari). 3. Antibiotik Pemberian antibiotik pada GNAPS sampai sekarang masih sering dipertentangkan. Pihak satu hanya memberi antibiotik bila biakan hapusan tenggorok atau kulit positif untuk streptokokus, sedangkan pihak lain memberikannya secara rutin dengan alasan biakan negatif belum dapat menyingkirkan infeksi streptokokus. Biakan negatif dapat terjadi oleh karena telah mendapat antibiotik sebelum masuk rumah sakit atau akibat periode laten yang terlalu lama (> 3 minggu). Terapi medikamentosa golongan penisilin diberikan untuk eradikasi kuman, yaitu Amoksisilin 50 mg/kgbb dibagi dalam 3 dosis selama 10 hari. Jika terdapat alergi terhadap golongan penisilin, dapat diberi eritromisin dosis 30 mg/kgbb/hari. 4. Obat Efektivitas penggunaan obat imunosupresif pada glomerolusnefritis masih belum seragam. Pengobatan imunosupresif mempertimbangkan beberapa fsktor seperti etiologi, faktor pasien, efek samping dan prognosis. Kortikosteroid efektif untuk beberapa glomerolusnefritis karena dapat menghambat sitokin proinflamasi. 34

Pengobatan lanjutan dengan kombinasi kortikosteroid dan imunosupresif lain diperlukan pada glomerolusnefritis yang resisten dan tergabntung steroid atau kambuh berulang. Siklofosfamid, klorambusil dan azatioprin diketahui mempunyai efek antiproliferasi dan dapat menekan inflamasi glomerulus. Diuretik diberikan untuk mengatasi retensi cairan dan hipertensi. 5. Simptomatik a. Bendungan sirkulasi Hal paling penting dalam menangani sirkulasi adalah pembatasan cairan, dengan kata lain asupan harus sesuai dengan keluaran. Bila terjadi edema berat atau tandatanda edema paru akut, harus diberi diuretik, misalnya furosemid. Bila tidak berhasil, maka dilakukan dialisis peritoneal. b. Hipertensi Tidak semua hipertensi harus mendapat pengobatan. Pada hipertensi ringan dengan istirahat cukup dan pembatasan cairan yang baik, tekanan darah bisa kembali normal dalam waktu 1 minggu. Pada hipertensi sedang atau berat tanpa tanda-tanda serebral dapat diberi kaptopril (0,3-2 mg/kgbb/hari) atau furosemid atau kombinasi keduanya. Selain obat-obat tersebut diatas, pada keadaan asupan oral cukup baik dapat juga diberi nifedipin secara sublingual dengan dosis 0,25-0,5 mg/kgbb/hari yang dapat diulangi setiap 30-60 menit bila diperlukan. Pada hipertensi berat atau hipertensi dengan gejala serebral (ensefalopati hipertensi) dapat diberi klonidin (0,002-0,006 mg/kgbb) yang dapat diulangi hingga 3 kali atau diazoxide 5 mg/ kgbb/hari secara intravena (I.V). Kedua obat tersebut dapat digabung dengan furosemid (1 – 3 mg/kgbb) c. Gangguan ginjal akut Hal penting yang harus diperhatikan adalah pembatasan cairan, pemberian kalori yang cukup dalam bentuk karbohidrat. Bila terjadi asidosis harus diberi natrium bikarbonat dan bila terdapat hiperkalemia diberi Ca glukonas atau Kayexalate untuk mengikat kalium. PEMANTAUAN Pada umumnya perjalanan penyakit GNAPS ditandai dengan fase akut yang berlangsung 1-2 minggu. Pada akhir minggu pertama atau kedua gejalagejala seperti edema, hematuria, hipertensi dan oliguria mulai menghilang, sebaliknya gejala-gejala laboratorium menghilang dalam waktu 1-12 bulan. Kadar C3 yang menurun (hipokomplemenemia) menjadi normal kembali sesudah 2 bulan. Proteinuria dan hematuria dapat menetap selama 6 bln–1 tahun. Pada keadaan ini sebaiknya dilakukan biopsi ginjal untuk melacak adanya proses penyakit ginjal kronik. Proteinuria dapat menetap hingga 6 bulan, sedangkan hematuria mikroskopik dapat menetap hingga 1 tahun. Dengan kemungkinan adanya hematuria mikroskopik dan atau proteinuria yang berlangsung lama, maka setiap penderita yang telah dipulangkan dianjurkan untuk pengamatan setiap 4-6 minggu selama 6 bulan pertama. Bila ternyata masih terdapat hematuria mikroskopik dan atau proteinuria, pengamatan diteruskan hingga 1 tahun atau sampai kelainan tersebut menghilang. Bila sesudah 1 tahun masih dijumpai satu atau kedua kelainan tersebut, perlu dipertimbangkan biopsi ginjal. 35

Rujukan kepada Konsultan Ginjal Anak Meskipun GNAPS merupakan penyakit yang bersifat self limiting disease, masih terdapat kasus-kasus yang perjalanan penyakitnya tidak khas sebagai GNAPS, sehingga memerlukan rujukan kepada Konsultan Ginjal Anak untuk tindakan khusus (antara lain biopsi ginjal). Indikasi rujukan tersebut adalah sebagai berikut: 1. Gejala-gejala tidak khas untuk GNAPS : - Periode laten pendek - Adanya penyakit ginjal dalam keluarga - Pernah mendapat penyakit ginjal sebelumnya - Usia di bawah 2 tahun atau di atas 12 tahun 2. Adanya kelainan-kelainan laboratorik yang tidak khas untuk GNAPS : - Hematuria makroskopik > 3 bulan - Hematuria mikroskopik > 12 bulan - Proteinuria > 6 bulan - Kadar komplemen C3 tetap rendah > 3 bulan - Laju Filtrasi Glomerulus < 50% menetap > 4 bulan - Kadar komplemen C4 rendah, ANCA (+), ANA (+), anti ds DNA (+) atau anti GBM (+) Pencegahan  

Perilaku hidup bersih dan sehat seperti mencuci tangan bersih dengan sabun, merawat kebersihan kulit, segera mengobati infeksi kulit terutama yang disebabkan oleh Skabies. Perlu dilakukan pemeriksaan adanya faktor risiko infeksi GNAPS terhadap siapa saja yang kontak dekatdengan pasien seperti tinggal serumah atau seasrama dalam jangka waktu 2 minggu sebelum onset penyakit. 3.9 Komplikasi - Glomerulonefritis kronik sebagai kelanjutan dari glomerulonefritis akut yang tidak mendapat pengobatan secara tuntas. - Gagal ginjal akut dengan manifestasi oliguria sampai anuria yang dapat berkurangnya filtrasi glomerulus. Gambaran seperti insufiiensi ginjal akut dengan uremia, hiperfosfatemia, hiperkalemia. Walaupun oliguria atau anuria yang lama jarang terdapat pada anak, jika hal ini terjadi diperlukan peritoneum dialysis (bila perlu). - Enselopati hipertensi merupakan gejala serebrum karena hipertensi. Terdapat gejala berupa gangguan penglihatan, pusing, muntah dan kejang-kejang. Hal ini disebabkan karena spasme pembuluh darah local dengan anoksia dan edema otak. - Gangguan sirkulasi berupa dispnea, ortopnea, terdapatnya ronkhi basah, pembesaran jantung dan meningginya tekanan darah yang buka saja disebabkan spasme pembuluh darah, tetapi juga disebabkan oleh bertambahnya volume plasma. Jantung dapat membesar dan terjadi gagal jantung akibat hipertensi yang menetap dan kelainan di miokardium. - Anemia yang timbul karena adanya hipovolemia disamping sintesis eritropoetik yang menurun.

36

3.10

Prognosis

Penyakit ini dapat sembuh sempurna dalam waktu 1-2 minggu bila tidak ada komplikasi, sehingga sering digolongkan ke dalam self limiting disease. Walaupun sangat jarang, GNAPS dapat kambuh kembali. Pada umumnya perjalanan penyakit GNAPS ditandai dengan fase akut yang berlangsung 1-2 minggu, kemudian disusul dengan menghilangnya gejala laboratorik terutama hematuria mikroskopik dan proteinuria dalam waktu 1-12 bulan. Pada anak 85-95% kasus GNAPS sembuh sempurna, sedangkan pada orang dewasa 50-75% GNAPS dapat berlangsung kronis, baik secara klinik maupun secara histologik atau laboratorik. Pada orang dewasa kira-kira 1530% kasus masuk ke dalam proses kronik, sedangkan pada anak 5-10% kasus menjadi glomerulonefritis kronik. Walaupun prognosis GNAPS baik, kematian bisa terjadi terutama dalam fase akut akibat gangguan ginjal akut (Acute kidney injury), edema paru akut atau ensefalopati hipertensi. 4. Memahami dan Menjelaskan Pemeriksaan Penunjang Glomerulonefrtis Akut 4.1 Gambaran PA Makroskopis ginjal tampak agak membesar, pucat dan terdapat titik-titik perdarahan pada korteks. Mikroskopis tampak hampir semua glomerulus terkena, sehingga dapat disebut glomerulonefritis difusa. Tampak proliferasi sel endotel glomerulus yang keras sehingga mengakibatkan lumen kapiler dan ruang simpai Bowman menutup. Di samping itu terdapat pula infiltrasi sel epitel kapsul, infiltrasi sel polimorfonukleus dan monosit. Pada pemeriksaan mikroskop elektron akan tampak membrana basalis menebal tidak teratur. Terdapat gumpalan humps di subepitelium yang mungkin dibentuk oleh globulin-gama, komplemen dan antigen Streptococcus.

Gambar 8. Histopatologi gelomerulonefritis dengan mikroskop cahaya pembesaran 20× 37

Keterangan gambar : Gambar diambil dengan menggunakan mikroskop cahaya (hematosylin dan eosin dengan pembesaran 25×). Gambar menunjukkan pembearan glomerular yang membuat pembesaran ruang urinary dan hiperselluler. Hiperselluler terjadi karnea proliferasi dari sel endogen dan infiltasi lekosit PMN

Gambar 9. Histopatologi glomerulonefritis dengan mikroskop cahaya pembesaran 40×

Gambar 10. Histopatologi glomerulonefritis dengan mikroskop electron keterangan gambar : gambar diambil dengan menggunakan mikroskop electron. Gambar menunjukjan proliferadi dari sel endothel dan sel mesangial juga infiltrasi lekosit yang bergabung dnegan deposit electron di subephitelia.(lihat tanda panah)

38

Gambar 11. Histopatologi glomerulonefritis dengan immunofluoresensi keterangan gambar : gambar diambil dengan menggunakan mikroskop immunofluoresensi dengan pembesaran 25×. Gambar menunjukkan adanya deposit immunoglobulin G (IgG) sepanjang membran basalis dan mesangium dengan gambaran ”starry sky appearence”

4.2 Gambaran Laboratorium Urinalisis menunjukkan adanya proteinuria (+1 sampai +4), hematuria makroskopik ditemukan hampir pada 50% penderita, kelainan sedimen urine dengan eritrosit disformik, leukosituria serta torak selulet, granular, eritrosit(++), albumin (+), silinder lekosit (+) dan lainlain. Kadang-kadang kadar ureum dan kreatinin serum meningkat dengan tanda gagal ginjal seperti hiperkalemia, asidosis, hiperfosfatemia dan hipokalsemia. Kadang-kadang tampak adanya proteinuria masif dengan gejala sindroma nefrotik. Komplomen hemolitik total serum (total hemolytic comploment) dan C3 rendah pada hampir semua pasien dalam minggu pertama, tetapi C4 normal atau hanya menurun sedikit, sedangkan kadar properdin menurun pada 50% pasien. Keadaan tersebut menunjukkan aktivasi jalur alternatif komplomen.1,4,7 Penurunan C3 sangat mencolok pada pasien glomerulonefritis akut pascastreptokokus dengan kadar antara 20-40 mg/dl (harga normal 50-140 mg.dl). Penurunan C3 tidak berhubungan

39

dengann parahnya penyakit dan kesembuhan. Kadar komplomen akan mencapai kadar normal kembali dalam waktu 6-8 minggu. Pengamatan itu memastikan diagnosa, karena pada glomerulonefritis yang lain yang juga menunjukkan penuruanan kadar C3, ternyata berlangsung lebih lama.2,12 Adanya infeksi sterptokokus harus dicari dengan melakukan biakan tenggorok dan kulit. Biakan mungkin negatif apabila telah diberi antimikroba. Beberapa uji serologis terhadap antigen sterptokokus dapat dipakai untuk membuktikan adanya infeksi, antara lain antisterptozim, ASTO, antihialuronidase, dan anti Dnase B. Skrining antisterptozim cukup bermanfaat oleh karena mampu mengukur antibodi terhadap beberapa antigen sterptokokus. Titer anti sterptolisin O mungkin meningkat pada 75-80% pasien dengan GNAPS dengan faringitis, meskipun beberapa starin sterptokokus tidak memproduksi sterptolisin O.sebaiknya serum diuji terhadap lebih dari satu antigen sterptokokus. Bila semua uji serologis dilakukan, lebih dari 90% kasus menunjukkan adanya infeksi sterptokokus. Titer ASTO meningkat pada hanya 50% kasus, tetapi antihialuronidase atau antibodi yang lain terhadap antigen sterptokokus biasanya positif. Pada awal penyakit titer antibodi sterptokokus belum meningkat, hingga sebaiknya uji titer dilakukan secara seri. Kenaikan titer 2-3 kali berarti adanya infeksi. Krioglobulin juga ditemukan GNAPS dan mengandung IgG, IgM dan C3. kompleks imun bersirkulasi juga ditemukan. Tetapi uji tersebut tidak mempunyai nilai diagnostik dan tidak perlu dilakukan secara rutin pada tatalaksana pasien.

40

DAFTAR PUSTAKA Behrman, dkk. (2000). Ilmu Kesehatan Anak Nelson. Volume 3. Jakarta: EGC Junqueira,et.all,Histologi Dasar, Teks dan Atlas.edisi 12, EGC, Jakarta,2012 Kapita Selekta Kedokteran : Glomerulonefritis Akut, Edisi Ke – 2 , Media Aesculapius FKUI, 1982, 601 – 602. Noer, Muhammad Syaifullah : Glomerulonefritis, Buku Ajar Nefrologi Anak, Jilid II, Ikatan Dokter Anak Indonesia, Jakarta, 1996, 318 – 326. Richard E. Behrman, Victor C. Vaughn : Glomerulonefritis Akut Dalam Nelson Textbook of Pediatrics, Alih Bahasa dr. R.F. Maulana, M.Sc ; EGC, Jakarta, 1992, 89 – 104. Sherwood, Lauralee. 2015.. Fisiologi Manusia :Sistem Kemih. Ed. 8. Jakarta : EGC Sofwan. Achmad, Syam, Edward.2019.Anatomi Systema Urogenitale .Jakarta: Bagian Anatomi Universitas Yarsi Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak FKUI : Glomerulonefritis Akut, Ilmu Kesehatan Anak, Buku Kuliah 2, Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI, Jilid 2, jakarta, 1985, 835 – 839.

41

Related Documents


More Documents from "Nerissa Rahadian"

Pbl Sk 1.docx
April 2020 10
Pbl Sk 1 Mpt.docx
April 2020 9