BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Gangguan
muskuloskeletal
adalah
suatu
kondisi
yang
mempengaruhi sistem muskuloskeletal yang dapat terjadi pada tendon, otot, sendi, pembuluh darah dan atau saraf pada anggota gerak. Gejala dapat berupa nyeri, rasa tidak nyaman, kebas pada bagian yang terlibat dan dapat berbeda derajat keparahannya mulai dari ringan sampai kondisi berat, kronis dan lemah. Gangguan muskuloskeletal merupakan salah satu masalah utama kesehatan diseluruh dunia dengan prevalensi 35 – 50% (Lindgren dkk, 2010). Pada Nord –Trøndelag County di Norwegia terdapat 45% dari populasi orang dewasa melaporkan nyeri musculoskeletal kronis selama setahun terakhir (Hoff dkk, 2008). Gangguan muskuluskeletal diantaranya fraktur, dislokasi, sprain, strain dan sindrom compartemen. Dikehidupan sehari hari yang semakin padat dengan aktifitas masing-masing manusia dan untuk mengejar perkembangan zaman, manusia tidak akan lepas dari fungsi normal musculoskeletal terutama tulang yang menjadi alat gerak utama bagi manusia, tulang membentuk rangka penujang dan pelindung bagian tubuh dan tempat untuk melekatnya otot-otot yang menggerakan kerangka tubuh, namun dari ulah manusia itu sendiri, fungsi tulang dapat terganggu karena mengalami fraktur. Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas tulang atau tulang rawan umumnya di karenakan rudapaksa (Mansjoer, 2008). Sprain atau keseleo merupakan cedera umum yang dapat menyerang siapa saja, tetapi lebih mungkin terjadi pada individu yang terlibat dengan olahraga, aktivitas berulang, dan kegiatan dengan resiko
1
tinggi untuk kecelakaan. Sprain biasanya terjadi pada jari-jari, pergelangan kaki, dan lutut. Bila kekurangan ligamen mayor, sendi menjadi tidak stabil dan mungkin diperlukan perbaikan bedah. Strain atau regangan adalah berlebihan peregangan otot, lapisan fasia nya, atau tendon. Kebanyakan strain terjadi pada kelompok otot besar termasuk punggung bawah, betis dan paha belakang. Strain juga dapat diklasifikasikan sebagai tingkat pertama (otot ringan atau sedikit menarik), tingkat kedua (sedang atau otot robek pada tingkat menengah) dan tingkat ketiga (robek parah atau pecah).
B. Rumusan Masalah 1.
Bagaimana konsep dasar dari kegawatdaruratan muskuloskeletal?
2.
Bagaimana pathway dari Kegawatdaruratan Muskuloskeletal?
C. Tujuan 1.
Untuk
mengetahui
konsep
dasar
dari
kegawatdaruratan
muskuloskeletal. 2.
Untuk
mengetahui
pathway
dari
Kegawatdaruratan
Muskuloskeletal.
2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Kegawatan Muskuloskeletal Dikehidupan sehari hari yang semakin padat dengan aktifitas masing-masing manusia dan untuk mengejar perkembangan zaman, manusia tidak akan lepas dari fungsi normal musculoskeletal terutama tulang yang menjadi alat gerak utama bagi manusia, tulang membentuk rangka penujang dan pelindung bagian tubuh dan tempat untuk melekatnya otot-otot yang menggerakan kerangka tubuh, namun dari ulah manusia itu sendiri, fungsi tulang dapat terganggu karena mengalami fraktur. Gangguan
muskuloskeletal
adalah
suatu
kondisi
yang
mempengaruhi sistem muskuloskeletal yang dapat terjadi pada tendon, otot, sendi, pembuluh darah dan atau saraf pada anggota gerak. Gejala dapat berupa nyeri, rasa tidak nyaman, kebas pada bagian yang terlibat dan dapat berbeda derajat keparahannya mulai dari ringan sampai kondisi berat, kronis dan lemah. Gangguan muskuloskeletal merupakan salah satu masalah utama kesehatan diseluruh dunia dengan prevalensi 35 – 50% (Lindgren dkk, 2010). Pada Nord –Trøndelag County di Norwegia terdapat 45% dari populasi orang dewasa melaporkan nyeri musculoskeletal kronis selama setahun terakhir (Hoff dkk, 2008). Gangguan muskuluskeletal diantaranya fraktur, dislokasi, sprain, strain dan sindrom compartemen.
3
B. Jenis Kegawatan Muskuloskeletal 1.
Syndrome Kompartemen a
Definisi Sindrom Kompartemen merupakan suatu kondisi yang bisa mengakibatkan kecacatan hingga mengancam jiwa akibat terjadi peningkatan tekanan interstitial dalam sebuah ruangan terbatas yakni kompartemen osteofasia yang tertutup. Sebagian besar terjadi pada daerah lengan bawah dan kaki. Sehingga mengakibatkan berkurangnya perfusi jaringan dan tekanan oksigen jaringan. (ENA,2000:533) Sindrom kompartemen merupakan masalah yang terjadi saat perfusi jaringan dalam otot kurang yang dibutuhkan untuk kehidupan jaringan. Ini bisa disebabkan karena, penurunan kompartemen otot karena fasia yang membungkus otot terlalu ketat atau gips atau balutan yang menjerat,peningkatan isi kompartemen otot karena edema atau perdarahan sehubungan dengan berbagi masalah (Smeltzer & Bare, 2001). Insiden
sindrom
kompartemen
tergantung
pada
traumanya.Pada fraktur humerus atau fraktur lengan bawah, insiden dari sindrom kompertemen dilaporkan berkisar antara 0,6-2%. Prevalensi sindrom kompartemen meningkat pada kasus yang berhubungan dengan kerusakan vaskuler sindrom kompartemen yang sesungguhnya mungkin lebih besar dari yang dilaporkan karena sindrom kompartemen tersebut tidak terdeteksi pada pasien yang keadaan sangat buruk(Paula, Richard 2009). b
Klasifikasi Menurut
( Petrus Aprianto, 2017 )klasifikasi syndrome
kompartement dibagi menjadi 2 yaitu sebagai berikut :
4
1) Sindrom Kompartemen Akut Pasien merasakan nyeri yang tidak sesuai dengan cedera dan pembengkakan atau nyeri di daerah tersebut. Gejala lain termasuk nyeri hebat dengan gerakan pasif otot dalam kompartemen, hilangnya gerakan sadar pada otot yang terlibat, dan perubahan sensorik serta parestesia di daerah yang dipersarafi oleh saraf yang terlibat. 2) Sindrom Kompartemen kronik Pada sindrom kompartemen kronik, gejala mulai secara bertahap, biasanya dengan peningkatan beban latihan atau latihan pada permukaan keras. Rasa sakit digambarkan sebagai nyeri, terbakar, atau kram dan terjadi pada gerakan berulang, paling sering berlari namun juga pada menari, bersepeda, dan hiking. Rasa sakit biasanya terjadi pada sekitar waktu yang sama setiap kali pasien berpartisipasi dalam kegiatan ini (misalnya, setelah 15 menit berlari) dan bertambah atau tetap konstan jika aktivitas terus berlangsung. Rasa sakit menghilang atau berkurang setelah beberapa menit istirahat. Pada gejala yang berlanjut, sakit nyeri tumpul dapat menetap. Nyeri dapat terlokalisir pada kompartemen tertentu, meskipun beberapa kompartemen sering dapat terlibat. Rasa baal dan kesemutan dapat terjadi pada saraf yang terdapat di dalam kompartemen yang terlibat. Sindrom kompartemen kronik dapat dilihat pada sindrom berlebihan lainnya (misalnya, bersamaan dengan stres pada fraktur tibia).
5
c
Etiologi Penyebab sindrom kompartemen secara umum dibedakan menjadi dua: 1) Peningkatan volume intra-kompartemen dengan luas ruang kompartemen tetap; dapat disebabkan oleh:
Fraktur yang menyebabkan robekan pembuluh darah, sehingga darah mengisi ruang intra-kompartemen
Trauma langsung jaringan otot yang menyebabkan pembengkakan
Luka bakar yang menyebabkan perpindahan cairan ke ruang intra-kompartemen
2) Penurunan luas ruang kompartemen dengan volume intrakompartemen yang tetap
Kompresi tungkai terlalu ketat saat imobilisasi fraktur
Luka bakar yang menyebabkan kekakuan/ konstriksi jaringan ikat sehingga mengurangi ruang kompartemen
Menurut (Petrus Aprianto, 2017) terdapat berbagai penyebab dapat meningkatkan tekanan jaringan lokal yang kemudian memicu timbulnya sindrom kompartemen, yaitu antara lain: 1) Penurunan volume kompartemen Kondisi ini disebabkan oleh:
Penutupan defek fascia
Traksi internal berlebihan pada fraktur ekstremitas
2) Peningkatan tekanan eksternal •
Balutan yang terlalu ketat
•
Berbaring di atas lengan
•
Gips
3) Peningkatan tekanan pada struktur komparteman Beberapa hal yang bisa menyebabkan kondisi ini antara lain: •
Pendarahan atau Trauma vaskuler
6
•
Peningkatan permeabilitas kapiler
•
Penggunaan otot yang berlebihan
•
Luka bakar
•
Operasi
Sejauh ini penyebab sindroma kompartemen yang paling sering adalah cedera, dimana 45 % kasus terjadi akibat fraktur, dan 80% darinya terjadi di anggota gerak bawah. d
Manifestasi Klinis Pertama-tama akan muncul gejala sensasi nyeri seperti terbakar. Rasa nyeri terasa di bagian dalam otot tungkai bawah dan akan terasa lebih nyeri saat digerakkan. Nyeri harus dibedakan dari nyeri trauma primer akibat fraktur. Gejala lain yang sering menurut ( ENA 2005 ) adalah rasa kesemutan tungkai bawah yang memberat akibat terjepitnya saraf perifer. Rasa kesemutan pertama kali dirasakan pada jari pertama dan jari kedua kaki. Gejala klasik 5P (pain, pallor, parasthesia, pulselessness, poikilothermia). 1) Pain (nyeri) : nyeri yang hebat saat peregangan pasif pada otot-otot yang terkena, ketika ada trauma langsung. Nyeri merupakan gejala dini yang paling penting. Terutama jika munculnya nyeri tidak sebanding dengan keadaan klinik (pada anak-anak tampak semakin gelisah atau memerlukan analgesia lebih banyak dari biasanya). Otot yang tegang pada kompartemen merupakan gejala yang spesifik dan sering. 2) Pallor (pucat), diakibatkan oleh menurunnya perfusi ke daereah tersebut. 3) Pulselesness (berkurang atau hilangnya denyut nadi ) 4) Parestesia (rasa kesemutan)
7
5) Paralysis : Merupakan tanda lambat akibat menurunnya sensasi saraf yang berlanjut dengan hilangnya fungsi bagian yang terkena kompartemen sindrom. e
Patofisiologi Sindrom
Kompartemen
merupakan
suatu
kondisi
kecacatan yang dapat mengancam jiwa. Sindrom Kompartemen disebabkan oleh beberapa hal, yaitu, operasi, balutan yang terlalu ketat, kecelakaan lain seperti luka bakar,luka tusuk, luka tembak dan kejatuhan benda keras.Pada sindrom kompartemen terjadi peningkatan tekanan interstitial dalam sebuah ruangan terbatas yakni kompartemen osteofasial yang tertutup. Sehingga mengakibatkan berkurangnya perfusi jaringan dan tekanan oksigen. Patofisiologi hemostasis
jaringan
sindrom lokal
kompartemen normal
yang
melibatkan menyebabkan
peningkatan tekanan jaringan, penurunan aliran darah kapiler, dan nekrosis jaringan lokal yang disebabkan hipoksia. Tanpa memperhatikan penyebabnya, peningkatan tekanan jaringan menyebabkan obstruksi vena dalam ruang yang tertutup. Peningkatan tekanan secara terus menerus menyebabkan tekanan arteriolar intramuskuler bawah meninggi. Pada titik ini, tidak ada lagi darah yang akan masuk ke kapiler sehingga menyebabkan kebocoran ke dalam kompartemen, yang diikuti oleh meningkatnya tekanan dalam kompartemen. Penekanan terhadap saraf perifer disekitarnya akan menimbulkan nyeri hebat dan mempelihatkan bahwa bila terjadi peningkatan intrakompartemen, tekanan vena meningkat. Setelah itu, aliran darah melalui kapiler akan berhenti. Dalam keadaan ini penghantaran oksigen juga akan terhenti, Sehingga terjadi hipoksia jaringan (pale). Jika hal ini terus berlanjut, maka
8
terjadi iskemia otot dan nervus, yang akan menyebabkan kerusakan ireversibel komponen tersebut. Terdapat tiga teori yang menyebabkan hipoksia pada kompartemen sindrom yaitu, antara lain: 1) Spasme arteri akibat peningkatan tekanan kompartemen 2) Theori of critical closing pressure. Hal ini disebabkan oleh diameter pembuluh darah yang
kecil
dan
tekanan
mural
arteriol
yang
tinggi.Tekanan trans mural secara signifikan berbeda (tekanan arteriol-tekanan jaringan), ini dibutuhkan untuk memelihara patensi aliran darah. Bila tekanan jaringan meningkat atau tekanan arteriol menurun maka tidak ada lagi perbedaan tekanan. Kondisi seperti ini dinamakan dengan tercapainya critical closing pressure. Akibat selanjutnya adalah arteriol akan menutup. 3) Tipisnya dinding vena. Karena dinding vena itu tipis, maka ketika tekanan jaringan melebihi tekanan vena maka ia akan kolaps. Akan tetapi bila kemudian darah mengalir secara kontinyu dari kapiler, maka tekanan vena akan meningkat lagi melebihi tekanan jaringan, sehingga drainase vena terbentuk
kembali.
McQueen
dan
Court-Brown
berpendapat bahwa perbedaan tekanan diastolik dan tekanan kompartemen yang kurang dari 30 mmHg mempunyai korelasi klinis dengan sindrom kompartemen. Sindrom
kompartemen
menyebabkan
peningkatan
tekanan jaringan, penurunan aliran darah kapiler, dan nekrosis jaringan lokal. Peningkatan tekanan jaringan menyebabkan obstruksi vena dalam ruang yang tertutup. Peningkatan tekanan secara terus menerus menyebabkan tekanan arteriolar intramuskuler bagian bawah meninggi. Pada titik ini, tidak ada lagi
9
darah yang akan masuk kekapiler sehingga menyebabkan kebocoran ke dalam kompartemen, yang diikuti oleh meningkatnya tekanan dalam kompartemen. Perfusi darah melewati kapiler yang terhenti akan menyebabkan hipoksia jaringan. Hipoksia jaringan akan membebaskan substansi vasoaktif (histamin, serotonin) yang akan meningkatkan permeabilitas kapiler yang meningkatkan eksudasi cairan dan mengakibatkan peningkatkan tekanan dan cedera yang lebih hebat. Akibatnya konduksi saraf akan melemah, pH jaringan akan menurun akibat dari metabolisme anaerobik, dan kerusakan jaringan sekitar yang hebat. Bila berlanjut, otot-otot akan mengalami nekrosis dan membebaskan mioglobin. Akhirnya, fungsi ekstremitas akan hilang dan dalam keadaan terburuk dapat mengancam jiwa. Sindroma kompartemen kronik terjadi ketika tekanan kontraksi yang terus-menerus tetap tinggi dan mengganggu aliran darah. Sebaliknya, aliran arteri selama relaksasi otot akan semakin menurun, dan pasien akan mengalami kram otot. Bagian yang sering mengalami gejala adalah kompartemen anterior dan lateral dari tungkai bagian bawah. f
Komplikasi Menurut (Smeltzer & Bare, 2001) sindrom kompartemen jika tidak mendapatkan penanganan dengan segera, akan menimbulkan berbagai komplikasi antara lain: • Nekrosis pada syaraf dan otot dalam kompartemen • Kontraktur volkman, merupakan kerusakan otot yang disebabkan
oleh
terlambatnya
penanganan
sindrom
kompartemen sehingga timbuldeformitas pada tangan, jari, dan pergelangan tangan karena adanya trauma pada lengan bawa. • Trauma vascular
10
• Gagal ginjal akut • Sepsis • Acute respiratory distress syndrome (ARDS) g
Pemeriksaan Penunjang 1) Laboratorium a) Comprehensive metabolic panel (CMP) b) Complete blood cell count (CBC) c) Amylase and lipase assessment d) Prothrombin
time
(PT),
activated
partial
thromboplastin time (aptt) bila pasien diberi heparin e) Cardiac marker test (tes penanda jantung) f)
Urinalisasi and urine drug screen
g) Pengukuran level serum laktat h) Arterial blood gas (ABG) : cara cepat untuk mengukur deficit pH, laktat dan basa i)
Kreatinin fosfokinase dan urin myoglobin
j)
Serum myoglobin
k) Toksikologi urin : dapat membantu menentukan penyebab, tetapi tidak membantu dalam menentukan terapi pasiennya l)
Urin awal : bila ditemukan myologin pada urin, hal ini dapat mengarah ke diagnosis rhabdomyolisis
2) Imaging a) Rontgen
: pada ekstremitas yang terkena
b) USG
: USG membantu untuk mengevaluasi
aliran arteri dalam memvisualisasi Deep Vein Thrombosis (DVT). h
Penatalaksanaan Tujuan dari penanganan sindrom kompartemen adalah mengurangi defisit fungsi neurologis dengan lebih dulu
11
mengembalikan aliran darah lokal, melalui bedah dekompresi. Walaupun fasciotomi disepakati sebagai terapi yang terbaik, namun
beberapa
hal
seperti
penentuan
waktu
masih
diperdebatkan. Semua ahli bedah setuju bahwa adanya disfungsi neuromuskular adalah indikasi mutlak untuk melakukan fasciotomi. Penanganan kompartemen secara umum meliputi:
1) Terapi non bedah Pemilihan terapi ini adalah jika diagnosis kompartemen masih dalam bentuk dugaan sementara. Berbagai bentuk terapi ini meliputi: a) Menempatkan
kaki
mempertahankan
setinggi
ketinggian
jantung,
untuk
kompartemen
yang
minimal, elevasi dihindari karena dapat menurunkan aliran darah dan akan lebih memperberat iskemia b) Pada kasus penurunan ukuran kompartemen, gips harus di buka dan pembalut kontriksi dilepas. c) Pada kasus gigitan ular berbisa, pemberian anti racun dapat
menghambat
perkembangan
sindrom kompartemen. d) Mengoreksi hipoperfusi dengan cairan kristaloid dan produk darah. e) Pada peningkatan isi kompartemen, diuretik dan pemakainan manitol dapat mengurangi kompartemen.
Manitol
mereduksi
tekanan edema
seluler,dengan memproduksi kembali energi seluler yang normal dan mereduksi selotot yang nekrosis melalui kemampuan dari radikal bebas f)
HBO ( Hyperbaric oxygen) merupakan pilihan yang logis untuk kompartemen sindrom berkaitan dengan ischemic injury. HBO memiliki banyak manfaat, antara lain
dapat
mengurangi
12
pembengkakan
melalui
vasokonstriksi
oleh
oksigen
dan
mendukung
penyembuhan jaringan. Mekanismenya ialah ketika tekanan perfusi rendah, oksigen dapat diterima sehingga dapat terjadi penyembuhan jaringan.
2)
Terapi Bedah Fasciotomi
dilakukan
jika
tekanan
intra-
kompartemen mencapai >30 mmHg. Tujuan dilakukan tindakan ini adalah
menurunkan tekanan dengan
memperbaiki perfusi otot. Jika tekanannya <30 mm Hg maka tungkai cukup diobservasi dengan cermat dan diperiksa lagi pada jam-jam berikutnya. Kalau keadaan tungkai membaik, evaluasi terus dilakukan hingga fase berbahaya terlewati. Akan tetapi jika memburuk maka segera lakukan fasciotomi. Keberhasilan dekompresi untuk perbaikan perfusi adalah 6 jam. Terdapat dua teknik dalam fasciotomi yaitu teknik insisi tunggal dan insisi ganda .Insisi ganda pada tungkai bawah paling sering digunakan karena lebih aman dan lebih efektif, sedangkan insisi tunggal membutuhkan diseksi yang lebih luas dan resiko kerusakan arteri dan vena peroneal.
13
i
2.
Pathway
Multiple Fraktur a
Definisi Fraktur Multipel adalah garis patah lebih dari satu tapi pada tulang yang berlainan tempatnya, misalnya fraktur humerus, fraktur femur dan sebagainya. Fraktur Multiple adalah fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak pada tulang yang sama.
14
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas korteks tulang menjadi dua bagian atau lebih sehingga menimbulkan gerakan yang abnormal disertai krepitasi dan nyeri. Apabila terjadi fraktur maka tulang harus diimobilisasi untuk mengurangi terjadinya cedera berkelanjutan dan untuk mengurangi rasa sakit pasien. Fraktur adalah setiap retak atau patah pada tulang yang utuh. Kebanyakan fraktur disebabkan oleh trauma dimana terdapat tekanan yang berlebihan pada tulang, baik berupa trauma langsung dan trauma tidak langsung (Sjamsuhidajat & Jong, 2005). Fraktur lebih sering terjadi pada laki-laki daripada perempuan dengan umur dibawah 45 tahun dan sering berhubungan dengan olah-raga, pekerjaan, atau luka yang disebabkan oleh kecelakaan kendaraan bermotor. Sedangkan pada orang tua, wanita lebih sering mengalami fraktur daripada lakilaki yang berhubungan dengan meningkatnya insiden osteoporosis yang terkait dengan perubahan hormon pada monopouse (Reeves, Roux, Lockhart, 2001). Fraktur merupakan ancaman kepada
integritas seseorang akan
potensial atau mengalami
aktual
gangguan
fisiologis maupun psikologis yang dapat menimbulkan respon berupa nyeri. Nyeri tersebut adalah keadaan subjektif dimana seseorang memperlihatkan ketidak nyamanan
secara verbal
maupun non verbal. Respon seseorang terhadap nyeri dipengaruhi oleh emosi, tingkat kesadaran, latar belakang budaya, pengalaman masa lalu tentang nyeri dan pengertian nyeri. Nyeri mengganggu kemampuan seseorang untuk beristirahat, konsentrasi, dan kegiatan yang biasa dilakukan (Engram, 1999) b
Etiologi
15
1) Fraktur terjadi karena tekanan yang menimpa tulang kebih besar daripada daya tulang akibar trauma 2) Fraktur
karena
penyakit
tulang
seperti
Tumor
Osteoporosis yang disebut 3) Fraktur Patologis. 4) Fraktur Stress/ Fatique (akibat dari penggunaan tulang yang berulang-ulang). c
Manifestasi Klinis Gejala yang paling umum pada fraktur adalah rasa nyeri yang terlokalisir pada bagian fraktur. Biasanya pasien mengatakan ada yang menggigitnya atau merasakan ada tulang yang patah. Apa yang dikatakan pasien merupakan sumber informasi yang akurat. Pada pasien dengan multiple trauma, fraktur adalah trauma yang paling nyata dan dramatis juga hal yang paling serius. Oleh karena itu lakukan primary survey dan lakukan tindakan penanganan trauma dan lakukan stabilisasi jika memungkinkan. 1) Swelling Terjadi karena kebocoran cairan ekstra seluler dan darah dari pembuluh darah yang telah rupture pada fraktur pangkal tulang. 2) Deformitas Pada kaki dapat menandakan adanya trauma skeletal. 3) Tenderness Sampai palpitasi biasanya terlokalisir diatasbare trauma skeletal yang dapat dirasakan dengan penekanan secara halus di sepanjang tulang.
4) Krepitasi
16
Terjadi bila bagian tulang yang patah bergesekan dengan tulang yang lainnya. Hal ini dapat dikaji selama pemasangan splin. Jangan berusaha untuk mereposisi karena dapat menyebabkan nyeri trauma lebih lanjut. 5) Disability Juga termasuk karakteristik dari kebanyakan trauma skeletal pasien dengan fraktur akan berusaha menahan lokasi trauma tetap pada posisi yang nyaman dan akan menolak menggerakannya. Bahkan pada pasien dengan dislokasi akan menolak untuk menggerakkan ekstremitas yang mengalami dislokasi. 6) Exposed bone ends Didiagnosa sebagai trauma terbuka atau compound fraktur. Periksa pulsasi, gerakan dan sensori di bagian distal pada setiap pasien dengan trauma musculoskeletal. d
Jenis Fraktur 1) Fraktur Tertutup (Simple Fracture) Fraktur tertutup adalah keadaan patah tulang tanpa disertai hilangnya integritas kulit. Fraktur tertutup dapat menjadi
salah
satu
pencetus
terjadinya perdarahan
internal kekompartemen jaringan dan dapat menyebabkan kehilangan darah sekitar 500 cc tiap fraktur. Setiap sisi patahan memiliki
potensi
untuk menyebabkan
kehilangan darah dalam jumlah besar akibat laserasi pembuluh darah di dekat sisi patahan. Fraktur
tertutup
biasanya
disertai
dengan
pembengkakan dan hematom. Strain dan sprain mungkin akan memberikan gejala seperti fraktur tertutup. Dan karena diagnosis pasti terjadinya fraktur hanya dapat dilakukan dengan pemeriksaan radiologi, maka berilah
17
penanganan
strain
dan
sprain
seperti penanganan
tehadap fraktur tertutup. 2) Fraktur Terbuka (Compound Fracture) Fraktur terbuka adalah keadaan patah tulang yang disertai
gangguan integritas kulit. Hal ini biasanya
disebabkan oleh ujung tulang yang menembus kulit atau akibat laserasi kulit yang terkena benda-benda dari luar pada saat cedera. Komplikasi
yang dapat
terjadi pada fraktur
terbuka adalah perdarahan eksternal, kerusakan lebih lanjut pada
otot-otot dan
saraf
serta terjadinya
kontaminasi. Sangat penting untuk mengenal adanya luka didekat fraktur karena bisa menjadi pintu masuk dari kontaminasi kuman. Fraktur terbuka dapat ditemukan dengan mudah pada penderita trauma. Adanya
luka
terbuka didekat daerah yang diduga terjadi fraktur, harus dipertimbangkan sebagai fraktur terbuka dan harus diberikan penanganan seperti fraktur terbuka. Denyut nadi, pergerakan, sensasi dan warna kulit harus segera dinilai dan terus dilakukan penilaian ulang secara berkala.
e
Tipe Fraktur 1) Fraktur Trasversal Garis frakturnya memotong melintang dari arah luar sampai menembus bagian tengah secara tegak lurus
18
dari
tulang
biasanya
disebabkan
oleh kecelakaan
langsung. 2) Fraktur Greenstick Terjadi pada anak dimana tulang masih bisa dibengkokan seperti dahan yang masih muda dan garis frakturnya melintang lurus pada bagian luar dari tulang perpendicular sampai batas tengah tulang. 3) Fraktur Spiral Biasanya terjadi karena kecelakaan memutar (terpelintir) dan garis frakturnya tidak rata 4) Fraktur Oblique Garis fraktur melintang pada tulang tegak lurus dan oblik. 5) Fraktur Comminuted Dimana tulang terbagi menjadi lebih dari dua bagian.
f
Pemeriksaan Penunjang a.
Pemeriksaan rongent: Menentukan lokasi atau luasnya fraktur atau trauma.
b.
Scan tulang, tomogram, scan CT/MRI: Memperlihatkan fraktur: juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.
c.
Hitung
Darah
Lengkap:
Ht
mungkin
meningkat
(hemokonsentrasi) atau menurun (perdarahan bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh pada trauma multipel).
19
Peningkatan jumlah SDP adalah respon stress normal setelah trauma. d.
Arteriogram: dilakukan bila kerusakan vaskuler dicurigai.
e.
Kreatinin: Trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klirens ginjal.
f.
Profil Koagulasi : Perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, tranfusi multipel, atau cedera hati (Dongoes, 2012)
g
Penatalaksanaan Fraktur Kejadian fraktur jarang yang mengancam nyawa, meskipun
demikian penanganan pada kejadian yang
mengancam nyawa telah dilaksanakan sampai kondisi pasien stabil. Pertahankan jalan napas, control perdarahan, tutup luka terbuka pada dada dan lakukan resusitasi cairan. Jika telah selesai barulah identifikasi dan imobilisasi semua fraktur dan siapkan untuk transportasi. 1) Penatalaksanaan Fraktur •
Stabilkan jalan napas.
•
Kontrol perdarahan.
•
Tutup sucking chest wound (luka terbuka pada dada).
•
Resusitasi cairan.
•
Jika ada fraktur terbuka, balut luka sebelum melakukan pembidaian dan jangan mendorong kembali tulang yang terlihat.
•
Jangan pernah berusaha untuk meluruskan fraktur termasuk sendi-sendi,
meskipun
ada
beberapa
tulang pada fraktur yang dapat diluruskan. •
Tourniket tidak dianjurkan pada fraktur terbuka kecuali pada trauma amputasi atau anggota gerak yang sudah tidak dapat diselamatkan lagi.
20
•
Imobilisasi ekstremitas sebelum memindahkan pasien dan imobilisasi sendi bagian atas dan bawah dari tulang yang fraktur.
2) Tujuan Imobilisasi •
Untuk menjaga fraktur tertutup agar jangan menjadi fraktur terbuka. Hal ini mungkin terjadi jika ujung tulang yang fraktur masih dapat bergerak bebas ketika pasien dipindahkan.
•
Untuk
mencegah
kerusakan
sekitar
nervus,
pembuluh darah dan jaringan yang lain dari ujung tulang yang fraktur. •
Untuk meminimalkan perdarahan dan bengkak.
•
Untuk mengurangi nyeri.
21
Nama : Dyan Nitarahayu NIM
: P07220215017
WOC Multiple Fraktur Nama : Dyan Nitarahayu NIM
: P07220215017
WOC Multiple Fraktur
22
23
3.
Luka Bakar 48 Jam Pertama dan Grade 3 a
Definisi Combutsio (Luka bakar) adalah injury pada jaringan yang disebabkan oleh suhu panas (thermal), kimia, elektrik dan radiasi (Suriadi, 2010). Menurut Aziz Alimul Hidayat, A, (2008 Hal : 130) luka bakar adalah kondisi atau terjadinya luka akibat terbakar, yang hanya disebabbkan oleh panas yang tinggi, tetapi oleh senyawa kimia, llistrik, dan pemanjanan (exposure) berlebihan terhadap sinar matahari. Luka bakar adalah luka yang di sebakan oleh kontak dengan suhu tinggi seperti api,air panas,listrik,bahan kimia dan radiasi; juga oleh sebab kontak dengan suhu rendah,luka bakar ini bisa menyebabkan kematian ,atau akibat lain yang berkaitan dengan problem fungsi maupun estetika. (Kapita Selekta kedokteran edisi 3 jilid 2)
b
Etiologi 1) Luka Bakar Suhu Tinggi (Thermal Burn) a) Gas b) Cairan c) Bahan padat (Solid) 2) Luka Bakar Bahan Kimia (Chemical Burn) 3) Luka Bakar Sengatan Listrik (Electrical Burn) 4) Luka Bakar Radiasi (Radiasi Injury).
c
Klasifikasi Klasifikasi Luka bakar yaitu (Saputro, n.d.) 1) Berdasarkan penyebab: a) Luka bakar yang di sebabkan oleh radiasi b) Luka bakar yang disebabkan oleh air panas c) Luka bakar yang di sebabkan oleh listrik d) Luka bakar yang disebabkan oleh bahan atau zat kimia e) Luka bakar yang di sebabkan oleh api
24
2) Berdasarkan Luas luka bakar Luas luka bakar dapat ditentukan dengan cara “ Role of nine “ yaitu dengan tubuh dianggap 9 % yang terjadi antara:
Luka bakar ringan - Luka bakar grade I dan II luasnya kurang 15 % pada orang dewasa. - Luka bakar grade I dan II luasnya kurang 10 % pada anak, -
Luka bakar grade III luasnya kurang 2 %
Luka bakar sedang - Luka bakar grade II luasnya 15 – 25 % pada orang dewasa - Luka bakar grade II luasnya 10 – 20 % pada anak - Luka bakar grade II luasnya kurang 10 % Luka bakar berat - Luka bakar grade II luasnya lebih dari 25 % pada orang dewasa - Luka bakar grade II luasnya lebih dari 20 % pada anak
25
- Luka bakar grade III luasnya lebih dari 10 % - Luka bakar grade IV mengenai tangan, wajah, mata, telinga, kulit, genetalia serta persendian ketiak, semua penderita dengan inhalasi luka bakar dengan konplikasi berat dan menderita DM. 3) Berdasarkan kedalaman luka a) Derajat (I) satu Pada derajat satu, luka bakar akan sembuh dalam waktu singkat. Paling lambat 1 minggu tanpa dilakukan pengobatan apapun, kecuali apabila pada derajat I ini penderita kesakitan, bisa diberikan analgesic tetapi ingat berikan analgetic yang tidak menurunkan suhu tubuh. Dapat dilakukan peredaman pada air dengan suhu kamar. Ciri luka bakar derajat satu adalah hanya tampak kemerahan tanpa ada kerusakan jaringan kulit. Oleh karena itu pada luka derajat satu perlu di berikan obat-obat topical. b) Derajat (II) superfisial Luka bakar pada derajat dua ini kulit berwarna merah dan adanya bula (gelembung), organ kulit nseperti kelenjar sebasea, dan kelenjar kulit masih utuh. Pada luka bakar ini terjadi kerusakan epidermis yang di tandai rasa nyeri dan akan sembuh dalam waktu 10 sampai 14 hari, dapat pula diberikan pengompresan dengan menggunakan Nacl. Ingat bula tidak perlu dilakukan pemecahan. c) Derajat (III) dalam Luka bakar derajat tiga ini ditandai dengan seluruh dermis dan epidermis mengalami kerusakan, tidak dijumpai rasa nyeri dan kehilangan sensasi, oleh karena ujung-ujung saraf sensorik mengalami kerusakan atau kematian. Bahkan bisa merusak
26
jaringan lemak maupun otot, walaupun jaringan tersebut tidak mengalami nekrosis. Penyembuhan terjadi lama karena tidak terbentuk eitelisasi jaringan dasar luka yang spontan. Kulit yang terbakar berwarna bau-abu dan pucat terjadi koagulasi protein pada epidermis dan dermis yang dikenal sebagai eskar. d) Derajat (IV) Empat Luka bakar derajat ini semua jaringan sudah terjadi kerusakaan bahkan lebih dalaam lagi dapat menimbulkan jaringan nekrotik d
Patofisiologi Menurut Corwin, Elizabeth J (2009), Berat ringannya luka bakar tergantung pada faktor, agent, lamanya terpapar, area yang terkena, kedalamannya, bersamaan dengan trauma, usia dan kondisi penyakit sebelumnya. Derajat luka bakar terbagi menjadi tiga bagian; derajat satu (superficial) yaitu hanya mengenai epidermis dengan ditandai eritema, nyeri, fungsi fisiologi masih utuh, dapat terjadi pelepuhan, serupa dengan terbakar mata hari ringan. Tampak 24 jam setelah terpapar dan fase penyembuhan 3-5 hari. Derajat dua (partial) adalah mengenai dermis dan epidermis dengan ditandai lepuh atau terbentuknya vesikula dan bula, nyeri yang sangat, hilangnya fungsi fisiologis. Fase penyembuhan tanpa infeksi 7-21 hari. Derajat tiga atau ketebalan penuh yaitu mengenai seluruh lapisan epidermis dan dermis, tanpa meninggalkan sisa-sisa sel epidermis untuk mengisi kembali daerah yang rusak, hilangnya rasa nyeri, warnanya dapat hitam, coklat dan putih, mengenai jaringan termasuk (fascia, otot, tendon dan tulang). Fisiologi syok pada luka bakar akibat dari lolosnya cairan dalam sirkulasi kapiler secara massive dan berpengaruh pada sistem kardiovaskular
karena
hilangnya
atau
rusaknya
kapiler,
yang
menyebabkan cairan akan lolos atau hilang dari compartment intravaskuler kedalam jaringan interstisial. Eritrosit dan leukosit tetap
27
dalam sirkulasi dan menyebabkan peningkatan hematokrit dan leukosit. Darah dan cairan akan hilang melalui evaporasi sehingga terjadi kekurangan cairan. Kompensasi terhadap syok dengan kehilangan cairan maka tubuh mengadakan respon dengan menurunkan sirkulasi sistem gastrointestinal yang mana dapat terjadi ilius paralitik, tachycardia dan tachypnea merupakan kompensasi untuk menurunkan volume vaskuler dengan meningkatkan kebutuhan oksigen terhadap injury jaringan dan perubahan sistem.
Kemudian menurunkan perfusi pada ginjal, dan terjadi
vasokontriksi yang akan berakibat pada depresi filtrasi glomerulus dan oliguri. Repon luka bakar akan meningkatkan aliran darah ke organ vital dan menurunkan aliran darah ke perifer dan organ yang tidak vital. Respon metabolik pada luka bakar adalah hipermetabolisme yang merupakan hasil dari peningkatan sejumlah energi, peningkatan katekolamin; dimana terjadi peningkatan temperatur dan metabolisme, hiperglikemi karena meningkatnya pengeluaran glukosa untuk kebutuhan metabolik yang kemudian terjadi penipisan glukosa, ketidakseimbangan nitrogen oleh karena status hipermetabolisme dan injury jaringan. Kerusakan pada sel darah merah dan hemolisis menimbulkan anemia, yang kemudian akan meningkatkan curah jantung untuk mempertahankan perfusi. Pertumbuhan dapat terhambat oleh depresi hormon pertumbuhan karena terfokus pada penyembuhan jaringan yang rusak.Pembentukan edema karena adanya peningkatan permeabilitas kapiler dan pada saat yang sama terjadi vasodilatasi yang menyebabkan peningkatan tekanan hidrostatik dalam kapiler. Terjadi pertukaran elektrolit yang abnormal antara sel dan cairan interstisial dimana secara khusus natrium masuk kedalam sel dan kalium keluar dari dalam sel.
Dengan demikian mengakibatkan kekurangan sodium dalam
28
intravaskuler. Skema berikut menyajikan mekanisme respon luka bakar terhadap injury pada anak/orang dewasa dan perpindahan cairan setelah injury thermal. e
Manifestasi Klinis Manifestasi klinis menurut ( Suriadi, 2010) : 1) Riwayat terpaparnya 2) Lihat derajat luka bakar 3) Status pernapasan; tachycardia, nafas dengan menggunakan otot asesoris, cuping hidung dan stridor 4) Bila syok; tachycardia, tachypnea, tekanan nadi lemah, hipotensi, menurunnya pengeluaran urine atau anuria 5) Perubahan suhu tubuh dari demam ke hipotermi.
f
Komplikasi Cedera inhalasi biasanya timbul dalam 24 sampai 48 jam pertama pasca luka bakar: 1) Keracunan karbon monoksida Karakteristik tanda fisik tidak ada dan warna kulit merah bertanda cheery
hampir
tidak
pernah
terlihat
pada
pasien
luka
bakar. Manifestasi Susunan Syaraf Pusat dari sakit kepala sampai koma hingga kematian. 2) Distress pernafasan Penurunan oksigenasi arterial akibat rendahnya perfusi jaringan dan syok. Penyebab distress adalah edema laring atau spasme dan akumulasi lendir.Adapun tanda-tanda distress pernafasan yaitu serak, ngiler dan ketidakmampuan menangani sekresi.
3) Cidera pulmonal Inhalasi produk-produk terbakar tidak sempurna mengakibatkan pneumonitis kimiawi.Pohon pulmonal menjadi teriritasi dan
29
edematosa pada 24 jam pertama. Edema pulmonal terjadi sampai 7 hari setelah cedera. Pasien irasional atau tidak sadar tergantung tingkat hipoksia. Tanda-tanda cedera pulmonal adalah pernafasan cepat dan sulit, krakles, stridor dan batuk pendek. g
Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan laboratorim meliputi: HB, HMT, gula darah Natrium dan elektrolit, Ureum dan kreatinin, protein, urine lengkap, AGD (PO2 dan PCO2). Pemeriksaan radiologi: foto thoraks, EKG, CVP untuk mengetahuin tekanan sentral.
4.
Fraktur Multiple Costa a
Definisi Costa merupakan salah satu komponen pembentuk rongga dada yang memiliki fungsi untuk memberikan perlindungan terhadap organ didalamnya dan yang lebih penting adalah mempertahankan fungsi ventilasi paru. Fraktur Costa adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang / tulang rawan yang disebabkan oleh rudapaksa pada spesifikasi lokasi pada tulang costa. Fraktur costa akan menimbulkan rasa nyeri, yang mengganggu proses respirasi, disamping itu adanya komplikasi dan gangguan lain yang menyertai memerlukan perhatian khusus dalam penanganan terhadap fraktur ini. Pada anak fraktur costa sangat jarang dijumpai oleh karena costa pada anak masih sangat lentur.
b
Etiologi Costa merupakan tulang pipih dan memiliki sifat yang lentur. Oleh karena tulang ini sangat dekat dengan kulit dan tidak banyak memiliki pelindung, maka setiap ada trauma dada akan memberikan trauma juga kepada costa. Fraktur costa dapat terjadi dimana saja disepanjang costa tersebut.Dari keduabelas pasang costa yang ada, tiga costa pertama paling
30
jarang mengalami fraktur hal ini disebabkan karena costa tersebut sangat terlindung. Costa ke 4-9 paling banyak mengalami fraktur, karena posisinya sangat terbuka dan memiliki pelindung yang sangat sedikit, sedangkan tiga costa terbawah yakni costa ke 10-12 juga jarang mengalami fraktur oleh karena sangat mobile. Secara garis besar penyebab fraktur costa dapat dibagi dalam 2 kelompok : 1) Disebabkan trauma a) Trauma tumpul Penyebab trauma tumpul yang sering mengakibatkan adanya fraktur costa antara lain: Kecelakaan lalulintas, kecelakaan pada pejalan kaki, jatuh dari ketinggian, atau jatuh pada dasar yang keras atau akibat perkelahian. b) Trauma Tembus Penyebab trauma tembus yang sering menimbulkan fraktur costa : Luka tusuk dan luka tembak Trauma tajam lebih jarang mengakibatkan fraktur iga, oleh karena luas permukaan trauma yang sempit, sehingga gaya trauma dapat melalui sela iga. Fraktur iga terutama pada iga IV-X (mayoritas terkena). Perlu diperiksa adanya kerusakan pada organ-organ intratoraks dan intra abdomen. Kecurigaan adanya kerusakan organ intra abdomen (hepar atau spleen) bila terdapat fraktur pada iga VIII-XII. Kecurigaan adanya trauma traktus neurovaskular utama ekstremitas atas dan kepala (pleksus brakhialis, subklavia),bila terdapat fraktur pada iga I-III atau fraktur klavikula
2) Disebabkan bukan trauma Yang dapat mengakibatkan fraktur costa ,terutama akibat gerakan yang menimbulkan putaran rongga dada secara berlebihan
31
atau oleh karena adanya gerakan yang berlebihan dan stress fraktur,seperti pada gerakan olahraga : Lempar martil, soft ball, tennis, golf. c
Manifestasi Klinis 1) Sesak napas Pada fraktur costa terjadi pendorongan ujung-ujung fraktur masuk ke rongga pleura sehingga mengakibatkan terjadinya kerusakan struktur dan jaringan pada rongga dada lalu dapat terjadi pneumothoraks dan hemothoraks yang akan menyebabkan gangguan ventilasi sehingga menyebabkan terjadinya sesak napas. 2) Tanda-tanda insuffisiensi pernapasan: Sianosis, takipnea Pada fraktur costa terjadi gangguan pernapasan yang disertai meningkatnya penimbunan CO2 dalam darah (hiperkapnia) yang bermanifestasi menjadi sianosis. 3) Nyeri tekan pada dinding dada Pada fraktur costa terjadi pendorongan ujung-ujung fraktur masuk ke rongga pleura sehingga mengakibatkan terjadinya kerusakan struktur dan jaringan pada rongga dada dan terjadi stimulasi pada saraf sehingga menyebabkan terjadinya nyeri tekan pada dinding dada. 4) Kadang akan tampak ketakutan dan kecemasan Rasa takut dan cemas yang dialami pada pasien fraktur costa diakibatkan karena saat bernapas akan bertambah nyeri pada dada. 5) Adanya gerakan paradoksal
d
Klasifikasi 1) Menurut jumlah costa yang mengalami fraktur dapat dibedakan : Fraktur simple
32
Fraktur multiple 2) Menurut jumlah fraktur pada setiap costa dapat : Fraktur segmental Fraktur simple Fraktur comminutif 3) Menurut letak fraktur dibedakan : Superior (costa 1-3 ) Median (costa 4-9) Inferior (costa 10-12 ). 4) Menurut posisi : Anterial Lateral Posterior 5) Fraktur costa atas (1-3) dan fraktur Skapula Akibat dari tenaga yang besar Meningkatnya resiko trauma kepala dan leher, spinal cord, paru, pembuluh darah besar Mortalitas sampai 35% 6) Fraktur Costae tengah (4-9) :
Peningkatan signifikansi jika multiple. Fraktur kosta simple tanpa komplikasi dapat ditangani pada rawat jalan.
MRS jika pada observasi
Penderita dispneu
Mengeluh nyeri yang tidak dapat dihilangkan
Penderita berusia tua
Memiliki preexisting lung function yang buruk.
7) Fraktur Costae bawah (10-12) : Terkait dengan resiko injury pada hepar dan spleen
33
e
Pemeriksaan Diagnostik 1) Rontgen standar Rontgen thorax anteroposterior dan lateral dapat membantu diagnosis hematothoraks dan pneumothoraks ataupun contusio pulmonum, mengetahui jenis dan letak fraktur costae. Foto oblique membantu diagnosis
fraktur multiple pada orang dewasa.
Pemeriksaan Rontgen toraks harus dilakukan untuk menyingkirkan cedera toraks lain, namun tidak perlu untuk identifikasi fraktur iga. 2) EKG 3) Monitor laju nafas, analisis gas darah 4) Pulse oksimetri f
Patofisiologi Fraktur costa dapat terjadi akibat trauma yang datangnya dari arah depan,samping ataupun dari arah belakang.Trauma yang mengenai dada biasanya akan menimbulkan trauma costa,tetapi dengan adanya otot yang melindungi costa pada dinding dada,maka tidak semua trauma dada akan terjadi fraktur costa. Pada trauma langsung dengan energi yang hebat dapat terjadi fraktur costa pada tempat traumanya .Pada trauma tidak langsung, fraktur costa dapat terjadi apabila energi yang diterimanya melebihi batas tolerasi dari kelenturan costa tersebut.Seperti pada kasus kecelakaan dimana dada terhimpit dari depan dan belakang,maka akan terjadi fraktur pada sebelah depan dari angulus costa,dimana pada tempat tersebut merupakan bagian yang paling lemah. Fraktur costa yang “displace” akan dapat mencederai jaringan sekitarnya atau bahkan organ dibawahnya.Fraktur pada costa ke 4-9 dapat mencederai a.intercostalis ,pleura visceralis,paru maupun jantung ,sehingga dapat mengakibatkan timbulnya hematotoraks,pneumotoraks ataupun laserasi jantung.
34
g
Penatalaksanaan Berdasarkan letak fraktur maka dapat dibagi menjadi: 1) Fraktur 1-2 iga tanpa adanya penyulit/kelainan lain : konservatif (analgetika) 2) Fraktur >2 iga : waspadai kelainan lain (edema paru, hematotoraks, pneumotoraks) 3) Penatalaksanaan
pada
fraktur
iga
multipel
tanpa
penyulit
pneumotoraks, hematotoraks, atau kerusakan organ intratoraks lain, adalah: • Analgetik yang adekuat (oral/ iv / intercostal block) • Bronchial toilet • Cek Lab berkala : Hb, Ht, Leko, Tromb, dan analisa gas darah • Cek Foto Ro berkala Dengan blok saraf interkostal, yaitu pemberian narkotik ataupun relaksan otot merupakan pengobatan yang adekuat. Pada cedera yang lebih hebat, perawatan rumah sakit diperlukan untuk menghilangkan nyeri, penanganan batuk, dan pengisapan endotrakeal.
h
Pathway
35
5.
Fraktur Tulang Belakang a
Definisi Cedera tulang belakang adalah cedera mengenai cervicalis, vertebralis, dan lubalis akibat trauma ; jatuh dari ketinggian, kecelakaan lalu lintas, kecelakaan olah raga dsb. Medula spinalis terdiri dari 31 segmen jaringan syaraf yang masing-masing memiliki sepasang syaraf spinal
yang keluar
dari
kanalis
vertebralis
melalui
foramina
intervertebrales (lubang pada tulang vertebra). Berdasarkan tempat keluarnya, syaraf spinal dibagi menjadi 5 bagian yaitu: Saraf servikalis (8 pasang)
36
Saraf torakalis (12 pasang) Saraf lumbalis (5 pasang) Saraf sakralis (5 pasang) Saraf koksigeal (1 pasang) Semua saraf spinal kecuali bagian torakal, pada bagian ventralnya saling terjalin membantuk jalinan saraf yang disebut fleksus. Dengan demikian terbentuk lima buah fleksus yaitu: fleksus servikalis; brakialis, lumbalis, sakralis, koksigealis. Pada setiap fleksus ini terdapat cabangcabang yang menuju pada bagian-bagian yang dipersarafi. 1) Fleksus servikalis (C1-C4) Mempersarafi leher dan belakang kepala. Salah satu saraf yang penting adalah saraf frenikus yang memperdarafi diafragma. 2) Fleksus brakialis (C5-T1 / T2) Mempersarafi ekstrimitas atas. Cabang-cabangnya yang penting pada tangan adalah saraf radialis, medianus dan ulnaris. 3) Saraf-saraf torakal (T3-T11) Tidak membentuk fleksus tetapi keluar dari ruang interkostal sebagai saraf interkostalis. Mempersarafi otot-otot abdomen bagian atas, kulit dada dan abdomen. 4) Fleksus Lumbalis (T12-L4); fleksus sakralis (L4-S4) dan fleksus koksigealis (L4-saraf koksigealis) Bagian ini mempersarafi kulit dan otot-otot tubuh bagian bawah serta ekstrimitas bagian bawah. Saraf utama pada fleksus ini adalah saraf iskiadikus yang merupakan saraf terbesar dalam tubuh. Saraf isciadikus yang menembus bokong dan bagian belakang paha ini memiliki cabang yang sangat banyak. Cabang-cabangnya tersebut kemudian mempersarafi otot paha posterior, tungkai bawah, sebagian
37
besar kulit tungkai bawah. Sedangkan perineum dipersarafi khusus oleh pleksus koksigealis. b
Etiologi Cedera tulang belakang terjadi sebagai akibat : 1) Jatuh dari ketinggian, misal pohon kelapa, kecelakaan ditempat kerja. 2) Kecelakaan lalu lintas 3) Kecelakaan olah raga Cedera terjadi akibat hiperfleksi, hiperekstensi, kompresi atau rotasi tulang belakang. Didaerah torakal tidak banyak terjadi karena terlindung oleh struktur torak. Fraktur dapat berupa patah tulang sederhana, kompresi, kominutif, dan dislokasi, sedangkan kerusakan sumsum tulang belakang dapat berupa memar, kontusio, kerusakan melintang, laserasi dengan atau tanpa gangguan peredaran darah, atau perdarahan. Kelainan sekunder pada sumsum tulang belakang dapat disebabkan oleh hipoksemia dan iskemia. Iskemia disebabkan hipotensi, udem, atau kompresi. Perlu disadari bahwa kerusakan pada sumsum tulang belakang merupakan kerusakan yang permanent karena tidak akan terjadi regenerasi dari jaringan saraf. Pada fase awal setelah trauma tidak dapat dipastikan apakah gangguan fungsi disebabkan oleh kerusakan sebenarnya dari jaringan saraf atau disebabkan oleh tekanan, memar atau udem.
c
Manifestasi Klinis Gambaran klinik bergantung pada lokasi dan besarnya kerusakan yang terjadi. Kerusakan melintang manifestasinya : hilangnya fungsi motorik maupun sensorik kaudal dari tempat kerusakan di sertai syok spinal. Syok spinal terjadi pada kerusakan mendadak sumsum tulang belakang karena hilangnya rangsang dari pusat. Ditandai dengan: 1) Kelumpuhan flasid
38
2) Arefleksi 3) Hilangnya prespirasi 4) Gangguan fungsi rectum dan kandung kemih 5) Priapismus 6) Bradikardi dan hipotensi. Setelah syok spinal pulih kembali, akan terdapat hiperrefleksi. Terlihat pula tanda gangguan fungsi autonom, berupa kulit kering karena tidak berkeringat dan hipotensi ortostatik serta gangguan kandung kemih dan gangguan defekasi. Sindrom sumsum belakang bagian depan menunjukkan kelumpuhan otot lurik dibawah tempat kerusakan disertai hilangnya rasa nyeri dan suhu pada kedua sisinya, sedangkan rasa raba dan posisi tidak terganggu. Cedera sumsum belakang sentral jarang ditemukan. Keadaan ini pada umumnya terjadi akibat cedera didaerah servikal dan disebabkan oleh hiperekstensi mendadak sehingga sumsum belakang terdesak dari dorsal oleh ligamentum flavum yang terlipat. Manifestasinya berupa tetraparese parsial. Gangguan pada ekstermitas bawah lebih ringan daripada ekstremitas atas, sedangkan daerah perianal tidak terganggu. Sindrom Brown-Sequard disebabkan oleh kerusakan separuh lateral sumsum tulang belakang. Gejala klinik berupa gangguan motorik dan hilangnya rasa vibrasi dan posisi ipsilateral; di kontralateral terdapat gangguan rasa nyeri dan suhu. Kerusakan tulang belakang setinggi vertebra L1-L2 mengakibatkan anesthesia perianal, gangguan fungsi defekasi, miksi, impotensi serta hilangnya refleks anal dan refleks bulbokavernosa. Sindrom ini disebut sindrom konus medularis. Sindrom kauda equine disebabkan oleh kompresi pada radiks lumbo sacral setinggi ujung konus medularis dan menyebabkan kelumpuhan dan anesthesia di daerah lumbosakral yang mirip dengan sindrom konus medularis.
39
d
Patofisiologi Akibat suatu trauma mengenai tulang belakang mengakibatkan patah tulang belakang paling banyak servikalis dan lumbalis. Fraktur dapat berupa patah tulang sederhana, kompresi, kominutif, dan dislokasi. Sedangkan sumsum tulang belakang dapat berupa memar, kontusio, kerusakan melintang, laserasi dengan atau tanpa gangguan peredaran darah.
e
Pemeriksaan Penunjang 1) Sinar X spinal : untuk menentukan lokasi dan jenis cedera tulang belakang (fraktur atau dislokasi) 2) CT scan : untuk menentukan tempat luka/jejas 3) MRI : untuk mengidentifikasi kerusakan syaraf spinal 4) Foto rongent thorak : mengetahui keadaan paru 5) AGD : menunjukkan keefektifan pertukaran gas dan upaya ventilasi
40
f
6.
Pathway
Dislokasi a
Definisi Dislokasi adalah keluarnya pangkal tulang dari permukaan articular, kadang- kadang disertai dengan robeknya ligament yang seharusnya menahan pangkal tulang agar tetap berada pada tempatnya. Persendian yang biasanya terkenal adalah bahu, siku, panggul dan pergelangan.
b
Etiologi Etiologi tidak diketahui dengan jelas tetapi ada beberapa faktor predisposisi, diantaranya : •
Akibat kelainan pertumbuhan sejak lahir.
41
c
•
Trauma akibat kecelakaan
•
Trauma akibat pembedahan ortoped
Klasifikasi Dislokasi Dislokasi dapat diklasifikasikan sebagai berikut : 1) Dislokasi
congenital:
terjadi
sejak
lahir
akibat
kesalahan
pertumbuhan. 2) Dislokasi patologik: akibat penyakit sendi dan atau jaringan sekitar sendi. Misalnya tumor, infeksi, atau osteoporosis tulang. Ini disebabkan oleh kekuatan tulang yang berkurang. 3) Dislokasi traumatic: kedaruratan ortopedi (pasokan darah, susunan saraf rusak dan mengalami stress berat, kematian jaringan akibat anoksia) akibat oedema (karena mengalami pengerasan). Terjadi karena trauma yang kuat sehingga dapat mengeluarkan tulang dari jaringan disekeilingnya dan mungkin juga merusak struktur sendi, ligamen, syaraf, dan system vaskular. Kebanyakan terjadi pada orang dewasa. Berdasarkan tipe kliniknya dibagi menjadi : a) Dislokasi Akut Umumnya terjadi pada shoulder, elbow, dan hip. Disertai nyeri akut dan pembengkakan di sekitar sendi. b) Dislokasi Berulang. Jika suatu trauma Dislokasi pada sendi diikuti oleh frekuensi dislokasi yang berlanjut dengan trauma yang minimal, maka disebut dislokasi berulang. Umumnya terjadi pada shoulder joint dan patello femoral joint.Dislokasi biasanya sering dikaitkan dengan patah tulang/fraktur yang disebabkan oleh berpindahnya ujung tulang yang patah oleh karena kuatnya trauma, tonus atau kontraksi otot dan tarikan.
42
d
e
Manifestasi Klinis •
Nyeri
•
Perubahan kontur sendi
•
Perubahan panjang ekstremitas
•
Kehilangan mobilitas normal
•
Perubahan sumbu tulang yang mengalami dislokasi
•
Deformitas
•
Kekakuan
•
Kehilangan pulsasi
Patofisiologi Dislokasi biasanya disebabkan oleh jatuh pada tangan. Humerus terdorong kedepan, merobek kapsul atau menyebabkan tepi glenoid teravulsi. Kadang- kadang bagian posterolateral kaput hancur.Mesti jarang prosesus akromium dapat mengungkit kaput ke bawah dan menimbulkan luksasio erekta (dengan tangan mengarah ;lengan ini hampir selalu jatuh membawa kaput ke posisi dan bawah karakoid). Penyebab terjadinya dislokasi sendi ada tiga hal yaitu karena kelainan congenital yang mengakibatkan kekenduran pada ligamen sehingga terjadi penurunan stabilitas sendi. Dari adanya traumatic akibat dari gerakan yang berlebih pada sendi dan dari patologik karena adanya penyakit yang akhirnya terjadi perubahan struktur sendi. Dari 3 hal tersebut, menyebabkan dislokasi sendi. Dislokasi mengakibatkan timbulnya trauma jaringan dan tulang, penyempitan pembuluh darah, perubahan panjang ekstremitas sehingga terjadi perubahan struktur. Dan yang terakhir terjadi kekakuan pada sendi. Dari dislokasi sendi, perlu dilakukan adanya reposisi dengan cara dibidai.
f
Komplikasi 1) Komplikasi Dini
43
Cedera saraf : saraf aksila dapat cedera ; pasien tidak dapat mengkerutkan otot deltoid dan mungkin terdapat daerah kecil yang mati rasa pada otot tesebut.
Cedera pembuluh darah : Arteri aksilla dapat rusak.
Fraktur disloksi
2) Komplikasi Lanjut Kekakuan sendi bahu : Immobilisasi yang lama
dapat
mengakibatkan kekakuan sendi bahu, terutama pada pasien yang berumur 40 tahun.Terjadinya kehilangan rotasi lateral, yang secara otomatis membatasi abduksi.
g
Dislokasi yang berulang:terjadi kalau labrum glenoid robek atau
Kapsul terlepas dari bagian depan leher glenoid
Kelemahan otot
Penatalaksanaan Dislokasi Penatalaksanaan pada pasien dengan dislokasi adalah imobilisasi pasien pada posisinya saat pertama kali ditemukan. Jangan coba meluruskan atau mengurangi dislokasi kecuali jika ada seorang ahli. Lakukan imobilisasi pada bagian atas dan bawah sendi yang dislokasi untuk menjaga kestabilan waktu transport. Mungkin satu-satunya dislokasi yang paling berbahaya pada ektremitas bawah adalah dislokasi pada lutut, sedangkan dislokasi pada pergelangan, siku, bahu, panggul an pergelangan kaki masih dapat ditoleransi 2 atau 3 jam tanpa adanya bahaya kerusakan permanen. Bagaimanapun juga ketika menolong pasien dengan dislokasi lutut dan tidak ada pulsasi pada bagian distal. Maka harus dikoreksi dalam waktu 1 atau 2 jam setelah terjadi trauma. Dan seharusnya waktu sejak terjadinya kecelakaan hingga sampai ke rumah sakit tidak lebih dari 1 jam.
44
h
Pemeriksaan Penunjang
Foto X-ray : untuk menentukan arah dislokasi dan apakah disertai fraktur
Foto
rontgen
:
menentukan
luasnya
degenerasi
dan
mengesampingkan malignasi
Pemeriksaan radiologi : tampak tulang lepas dari sendi
Pemeriksaan laboratorium : darah lengkap dapat dilihat adanya tanda-tanda infeksi seperti peningkatan leukosit
45
Nama : Dyan Nitarahayu NIM
: P07220215017
WOC Dislokasi
46
7.
Sprain a
Definisi Sprain adalah injuri dimana sebagian ligament robek, biasanya disebabkan memutar secara mendadak dimana sendi bergerak melebihi batas normal. Organ yang sering terkena biasanya lutut, dan pergelangan kaki, cirri utamanya adalah nyeri, bengkak dan kebiruan pada daerah injuri. Untuk membedakan fraktur dan dislokasi, sprain biasanya tidak disertai deformitas.
Bagaimanapun
juga
lebih
bail
lakukan
penanganan sprain seperti penanganan fraktur lalu imobilisasi. Biarkan sendi yang mengalami sprain pada posisi elevasi dan berikan kompres dingin jika mungkin.
b
Etiologi
Sprain terjadi ketika sendi dipaksa melebihi lingkup gerak sendi yang normal, seperti melingkar atau memutar pergelangan kaki.
Sprain dapat terjadi di saat persendian anda terpaksa bergeser dari posisi normalnya karena anda terjatuh, terpukul atau terkilir.
c
Manifestasi Klinik
Nyeri
47
d
Inflamasi/peradangan
Ketidakmampuan menggerakkan tungkai.
Sama dengan strain (kram) tetapi lebih parah.
Edema, perdarahan dan perubahan warna yang lebih nyata.
Ketidakmampuan untuk menggunakan sendi, otot dan tendon.
Tidak dapat menyangga beban, nyeri lebih hebat dan konstan
Tingkatan Sprain 1) Sprain ringan / tingkat 1 : Merupakan robekan dari beberapa ligament akan tetapi tidak menghilangkan dan menurunkan fungsi sendi tersebut. Pasien bisa merawat sendiri selama proses rehabilitasi, atau setelah mendapatkan diagnosa dari dokter. Masa penyembuhan antara 2-6 minggu. Terjadi rasa sakit, pembengkakan kecil, sedikit perdarahan tetapi tidak terjadi leksitas abnormal. 2) Sprain sedang / tingkat 2 : Dimana terjadi kerusakan ligamen yang cukup lebih besar tetapi tidak sampai terjadi putus total. Terjadi rupture pada ligament sehingga
menimbulkan
penurunan
fungsi
sendi.
Untuk
pemulihannya membutuhkan bantuan fisioterapi dengan rentang waktu 2-6 minggu. Rasa sakit/nyeri,bengkak terjadi perdarahan yang lebih banyak. 3) Sprain tingkat 3 : Terjadi rupture komplit dari ligament sehingga terjadi pemisahan komplit ligament dari tulang. Untuk bisa pulih kembali maka diperlukan tindakan operasi dan fisioterapi dan rata-rata memakan waktu 8-10 minggu. pada tingkatan ini ligamen pada lutut mengalami putus secara total dan lutut tidak dapat digerakkan.
48
e
Patofisiologi Kekoyakan ( avulsion ) seluruh atau sebagian dari dan disekeliling sendi, yang disebabkan oleh daya yang tidak semestinya, pemelintiran atau mendorong / mendesak pada saat berolah raga atau aktivitas kerja. Kebanyakan keseleo terjadi pada pergelangan tangan dan kaki, jari-jari tangan dan kaki. Pada trauma olah raga (sepak bola) sering terjadi robekan ligament pada sendi lutut. Sendi-sendi lain juga dapat terkilir jika diterapkan daya tekanan atau tarikan yang tidak semestinya tanpa diselingi peredaan (Brunner & Suddart,2001: 2357)
f
Penatalaksanaan Prinsip utama penatalaksanaan sprain adalah mengurangi pembengkakan dan nyeri
yang terjadi.
Langkah
yang paling tepat
sebagai
penatalaksanaan tahap awal (24-48 jam) adalah prinsip RICE (rest, ice, compression, elevation), yaitu : 1) Rest (istirahat) Kurangi aktifitas sehari-hari sebisa mungkin. Jangan menaruh beban pada tempat yang cedera selama 48 jam. Dapat digunakan alat bantu seperti crutch (penopang/penyangga tubuh yang terbuat dari kayu atau besi) untuk mengurangi beban pada tempat yang cedera. 2) Es Letakkan es yang sudah dihancurkan kedalam kantung plastik atau semacamnya. Kemudian letakkan pada tempat yang cedera selama maksimal 2 menit guna menghindari cedera karena dingin. 3) Compression Untuk mengurangi terjadinya pembengkakan lebih lanjut, dapat dilakukan penekanan pada daerah yang cedera. Penekanan dapat dilakukan dengan perban elastik. Balutan dilakukan dengan arah dari daerah yang paling jauh dari jantung ke arah jantung.
49
4) Elevation Jika memungkinkan, pertahankan agar daerah yang cedera berada lebih tinggi daripada jantung. Sebagai contoh jika daerah pergelangan keki yang terkena, dapat diletakkan bantal atau guling dibawahnya supaya pergelangan kaki lebih tinggi daripada jantung. Tujuan daripada tindakan ini adalah agar pembengkakan yang terjadi dapat dikurangi.
5) Pembedahan. Mungkin diperlukan agar sendi dapat berfungsi sepenuhnya; pengurangan- pengurangan perbaikan terbuka terhadap jaringan yang terkoyak. 2) Kemotherapi Dengan analgetik Aspirin (100-300 mg setiap 4 jam) untuk meredakan nyeri dan peradangan. Kadang diperlukan Narkotik (codeine 30-60 mg peroral setiap 4 jam) untuk nyeri hebat. 3) Elektromekanis. Penerapan dingin dengan kantong es 24 0C Pembalutan
/
wrapping
eksternal.
Dengan
pembalutan,
cast atau pengendongan (sung) Posisi ditinggikan. Jika yang sakit adalah bagian ekstremitas.
8.
Strain a
Definisi Strain adaalah tarikan otot akibat penggunaan berlebihan, peregangan berlebihan, atau stress yang berlebihan. Strain adalah robekan mikroskopis tidak komplet dengan perdarahan ke dalam jaringan. Pasien
50
mengalami rasa sakit dan nyeri mendadak dengan nyeri tekan local pada pemakaian otot dan kontraksi isometric. (Brunner & suddarth, 2014) Strain adalah trauma pada jaringan yang halus atau spasme otot di sekitar sendi dan nyeri pada waktu digerakkan, pada strain tidak ada deformitas atau bengkak. Strain lebih baik ditangani dengan menghilangkan beban pada daerah yang mengalami injuri. Jika tidak ada keraguan pada injuri diatas, imobilisasi ekstremitas dan evaluasi dilanjutkan di ruang gawat darurat.
b
Etiologi
Strain terjadi ketika otot terulur dan berkontraksi secara mendadak, seperti pada pelari atau pelompat.
Pada strain akut : Ketika otot keluar dan berkontraksi secara mendadak.
Pada strain kronis : Terjadi secara berkala oleh karena penggunaaan yang
Berlebihan / tekanan berulang-ulang,menghasilkan tendonitis (peradangan pada tendon).
c
Manifestasi Klinis Gejala pada strain otot yang akut bisa berupa: 1) Nyeri 2) Spasme otot 3) Kehilangan kekuatan
51
4) Keterbatasan lingkup gerak sendi. 5) Strain kronis adalah cidera yang terjadi secara berkala oleh karena penggunaan berlebihan atau tekakan berulang-ulang, menghasilkan : 6) Tendonitis (peradangan pada tendon). Sebagai contoh, pemain tennis bisa mendapatkan tendonitis pada bahunya sebagai hasil tekanan yang terus- menerus dari servis yang berulang-ulang.
d
Patofisiologi Strain adalah kerusakan pada jaringan otot karena trauma langsung (impact) atau tidak langsung (overloading). Cedera ini terjadi akibat otot tertarik pada arah yang salah,kontraksi otot yang berlebihan atau ketika terjadi kontraksi ,otot belum siap,terjadi pada bagian groin muscles (otot pada kunci paha),hamstring (otot paha bagian bawah),dan otot guadriceps. Fleksibilitas otot yang baik bisa menghindarkan daerah sekitar cedera kontusio dan membengkak
e
Klasifikasi Strain 1) Derajat 1 / Mild Strain (Ringan) Derajat 1 / mild strain (ringan) yaitu adanya cidera akibat penggunaan
yang
berlebihan
pada
penguluran
unit
muskulotendinous yang ringan berupa stretching / kerobekan ringan pada otot/ligament. a) Gejala : Nyeri local dan Meningkat apabila bergerak / bila ada beban pada otot b) Tanda – tanda nya:
Adanya spasme otot ringan
Bengkak
Gangguan kekuatan otot
52
Fungsi yang sangat ringan
c) Komplikasi
Strain dapat berulang
Tendonitis
Perioritis
d) Perubahan Patologi Adanya inflamasi ringan dan mengganggu jaringan otot dan tendon namun tanda perdarahan yang besar. e) Terapi Biasanya sembuh dengan cepat dan pemberian istirahat, kompresi dan elevasi, terapi latihan yang dapat
membantu
mengembalikan kekuatan otot. 2) Derajat II/Medorate Strain (Ringan) Derajat II / medorate strain (ringan) yaitu adanya cidera pada unit muskulotendinous akibat kontraksi/pengukur yang berlebihan. a) Tanda dan Gejala
Nyeri local
Meningkat apabila bergerak/apabila ada tekanan otot
Spasme otot sedang
Bengkak
Tenderness
Gangguan kekuatan otot dan fungsi sedang
b) Komplikasi
Strain dapat berulang
Tendonitis
Peronitis
c) Terapi
53
Immobilisasi pada daerah cidera
Istirahat
Kompresi
Elevasi
d) Perubahan Patologi Adanya robekan serabut otot
3) Derajat III/Strain Severe (Berat) Derajat III/Strain Severe (Berat) yaitu adanya tekanan/penguluran mendadakyang cukup berat. Berupa robekan penuh pada otot dan ligament yang menghasilkan ketidakstabilan sendi. a) Gejala
Nyeri yang berat
Adanya stabilitas
Spasme
Kuat
Bengkak
Tenderness
Gangguan fungsi otot
b) Komplikasi Distabilitas yang sama c) Perubahan Patologi Adanya robekan/tendon dengan terpisahnya otot dengan tendon. d) Terapi Adanya robekan/tendon dengan terpisahnya otot dengan tendon. f
Manifestasi Klinis
Biasanya perdarahan dalam otot, bengkak, nyeri ketika kontraksi otot
54
g
h
Nyeri mendadak
Edema
Spasme otot
Haematoma
Komplikasi
Strain yang berulang
Tendonitis
Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan diagnostik yang dilakukan meliputi: 1) CT scan 2) MRI Dapat digunakan untuk menentukan derajat dari cedera tersebut. 3) Artroskopi Tindakan melihat bagian dalam sendi menggunakan kamera dengan lensa fiber optik melalui sayatan kulit yang sangat kecil. 4) Elektromiografi Electromyography pada otot berfungsi untuk mendeteksi adanya potensial listrik yang dihasilkan otot saat kontraksi dan relaksasi sehingga dapat digunakan untuk mengendalikan suatu sistem. Pemeriksaan dengan bantuan komputer lainnya untuk menilai fungsi otot dan sendi.
i
Penatalaksanaan
Istirahat. Akan mencegah cidera tambah dan mempercepat penyembuhan
Meninggikan
bagian
yang sakit,tujuannya
mengontrol pembengkakan.
55
peninggian
akan
Pemberian kompres dingin. Kompres dingin basah atau kering diberikan secara intermioten 20-48 jam pertama yang akan mengurangi perdarahan edema dan ketidaknyamanan.
Kelemahan biasanya berakhir sekitar 24 – 72 jam sedangkan mati rasa biasanya menghilang dalam 1 jam. Perdarahan biasanya berlangsung selama 30 menit atau lebih kecuali jika diterapkan tekanan atau dingin untuk menghentikannya. Otot, ligament atau tendon yang kram akan memperoleh kembali fungsinya secara penuh setelah diberikan perawatan konservatif.
9.
Kegawatan Flail Chest a
Definisi Flail chest adalah area toraks yang melayang, disebabkan adanya fraktur iga multipel berturutan lebih atau sama dengan 3 iga, dan memiliki garis fraktur lebih atau sama dengan 2 pada tiap iganya. Akibatnya adalah terbentuk area melayang atau flail yang akan bergerak paradoksal dari gerakan mekanik pernapasan dinding toraks. Area tersebut akan bergerak masuk pada saat inspirasi dan bergerak keluar pada saat ekspirasi (Sjamsuhidajat,2005).
b
Etiologi 1) Trauma : a) Trauma Tumpul Penyebab trauma tumpul yang sering mengakibatkan adanya fraktur costa antara lain : Kecelakaan lalu lintas,kecelakaan pada pejalan kaki, jatuh dari ketinggian, atau jatuh pada dasar yang keras atau akibat perkelahian. b) Trauma Tajam
56
Penyebab trauma tembus yang sering menimbulkan fraktur costa : Luka tusuk dan luka tembak 2)
Bukan trauma Yang dapat mengakibatkan fraktur costa, terutama akibat gerakan yang menimbulkan putaran rongga dada secara berlebihan atau oleh karena adanya gerakan yang berlebihan dan stress fraktur, seperti pada gerakan olahraga : Lempar martil, soft ball, tennis, golf.
c
Tanda Gejala Menurut Brunicardi (2006), tanda gejala dari flail chest adalah : 1) Nyeri dada 2) Gerakan
"paradoksal"
dari
(segmen)
dinding
toraks
saat
inspirasi/ekspirasi; tidak terlihat pada pasien dalam ventilator 3) Menunjukkan trauma hebat 4) Biasanya selalu disertai trauma pada organ lain (kepala, abdomen, ekstremitas) d
Komplikasi Komplikasi utama adalah gagal napas, sebagai akibat adanya ineffective air movement, yang seringkali diperberat oleh edema atau kontusio paru, dan nyeri. Pada pasien dengan flail chest tidak dibenarkan melakukan tindakan fiksasi pada daerah flail secara eksterna, seperti melakukan splint atau bandage yang melingkari toraks, oleh karena akan mengurangi
gerakan
mekanik
pernapasan
secara
keseluruhan
(Brunicardi, 2006) e
Patofisiologi Dada merupakan organ besar yang membuka bagian dari tubuh dan sangat mudah terkena tumbukan luka. Karena dada merupakan tempat jantung, paru dan pembuluh darah besar. Trauma dada sering menyebabkan gangguan ancaman kehidupan. Luka pada rongga thorak dan isinya dapat membatasi kemampuan jantung untuk memompa darah
57
atau kemampuan paru untuk pertukaran udara dan osigen darah. Bahaya utama berhubungan dengan luka dada biasanya berupa perdarahan dalam dan tusukan terhadap organ Luka dada dapat meluas dari benjolan yang relatif kecil dan goresan yang dapat mengancurkan atau terjadi trauma penetrasi. Luka dada dapat berupa penetrasi atau non penetrasi (tumpul). Luka dada penetrasi mungkin disebabkan oleh luka dada yang terbuka, memberi
kesempatan
bagi
udara
atmosfir
masuk
ke
dalam
permukaan pleura dan mengganggu mekanisme ventilasi normal. Luka dada penetrasi dapat
menjadi
bagi paru, kantung dan struktur thorak lain
f
Pathway
58
kerusakan
serius
10. Fraktur Cervikal a
Definisi Menurut FKUI (2000), fraktur adalah rusaknya dan terputusnya kontinuitas tulang, sedangkan menurut Boenges, ME., Moorhouse, MF dan Geissler, AC (2000) fraktur adalah pemisahan atau patahnya tulang. Back dan Marassarin (1993) berpendapat bahwa fraktur adalah terpisahnya kontinuitas tulang normal yang terjadi karena tekanan pada
59
tulang yang berlebihan. Jadi fraktur servikal adalah rusaknya dan terputusnya kontinuitas servikal. Ada tujuh tulang servikal vertebrae (tulang belakang) yang mendukung kepala dan menghubungkannya ke bahu dan tubuh. Sebuah fraktur (patah atau retak) di salah satu tulang leher disebut fraktur servikal atau kadang-kadang juga disebut patah tulang leher b
Etiologi Fraktur servikal paling sering disebabkan oleh benturan kuat, atau trauma pukulan di kepala. Atlet yang terlibat dalam olahraga impact, atau berpartisipasi dalam olahraga memiliki resiko jatuh akibat benturan di leher (ski, menyelam, sepak bola, bersepeda) terkait dengan fraktur servikal. Cedera medulla spinalis servikal disebabkan oleh trauma langsung yang mengenai tulang belakang di mana tulang tersebut melampaui kemampauan tulang belakang dalam melindungi saraf-saraf belakangnya. Menurut Emma, (2011) Trauma langsung tersebut dapat berupa :
c
Kecelakaan lalulintas
Kecelakaan olahraga
Kecelakaan industry
Jatuh dari pohon/bangunan
Luka tusuk
Luka tembak
Kejatuhan benda keras
Klasifikasi Cedera sevikal dapat terjadi akibat salah satu atau kombinasi dari mekanisme trauma berikut ini : axial loading fleksi
60
ekstensi rotasi lateral bending distraksi 1) Klasifikasi trauma servikal berdasarkan mekanismenya a) Trauma Hiperfleksi (1) Subluksasi anterior Terjadi robekan pada sebagian ligament di posterior tulang leher ; ligament longitudinal anterior utuh. Termasuk lesi stabil. Tanda penting pada subluksasi anterior adalah adanya angulasi ke posterior (kifosis) local pada tempat kerusakan ligament. Tanda-tanda lainnya : Jarak yang melebar antara prosesus spinosus Subluksasi sendi apofiseal
(2) Bilateral interfacetal dislocation Terjadi robekan pada ligamen longitudinal anterior dan kumpulan ligament di posterior tulang leher. Lesi tidak stabil. Tampak diskolasi anterior korpus vertebrae. Dislokasi total sendi apofiseal.
61
(3) Flexion tear drop fracture dislocation Tenaga fleksi murni ditambah komponen kompresi menyebabkan robekan pada ligamen longitudinal anterior dan kumpulan ligamen posterior disertai fraktur avulse pada bagian antero-inferior korpus vertebra. Lesi tidak stabil. Tampak tulang servikal dalam fleksi : Fragmen tulang berbentuk segitiga pada bagian anteroinferior korpus vertebrae Pembengkakan jaringan lunak pravertebral
(4) Wedge fracture
62
Vertebra terjepit sehingga berbentuk baji. Ligament longitudinal anterior dan kumpulan ligament posterior utuh sehingga lesi ini bersifat stabil.
(5) Clay shovelers fracture Fleksi tulang leher dimana terdapat kontraksi ligament posterior tulang leher mengakibatkan terjadinya fraktur oblik pada prosesus spinosus ; biasanya pada CVI-CVII atau Th1.
b) Trauma Fleksi-rotasi Terjadi dislokasi interfacetal pada satu sisi. Lesi stabil walaupun terjadi kerusakan pada ligament posterior termasuk kapsul sendi apofiseal yang bersangkutan. Tampak dislokasi anterior korpus
63
vertebra. Vertebra yang bersangkutan dan vertebra proksimalnya dalam posisi oblik, sedangkan vertebra distalnya tetap dalam posisi lateral.
Trauma Fleksi-rotasi (a. Tampak Lateral b. Tampak AP c. Tampak oblik) c) Trauma Hiperekstensi (1) Fraktur dislokasi hiperekstensi Dapat terjadi fraktur pedikel, prosesus artikularis, lamina dan prosessus spinosus. Fraktur avulse korpus vertebra bagian postero-inferior. Lesi tidak stabil karena terdapat kerusakan pada elemen posterior tulang leher dan ligament yang bersangkutan. (2) Hangmans fracture Terjadi fraktur arkus bilateral dan dislokasi anterior C2 terhadap C3. d) Ekstensi-rotasi Terjadinya fraktur pada prosesus artikularis satu sisi e) Kompresi vertical Terjadinya fraktur ini akibat diteruskannya tenaga trauma melalui kepala, kondilus oksipitalis, ke tulang leher. (1) Bursting fracture dari atlas (jeffersons fracture)
64
(2) Bursting fracture vertebra servikal tengah dan bawah
2) Klasifikasi berdasarkan derajat kestabilan Stabilitas dalam hal trauma tulang servikal dimaksudkan tetap utuhnya komponen ligament-skeletal pada saat terjadinya pergeseran satu segmen tulang leher terhadap lainnya. a) Stabil
65
Cedera dianggap stabil jika bagian yang terkena tekanan hanya bagian medulla spinalis anterior, komponen vertebral tidak bergeser dengan pergerakan normal, ligamen posterior tidak rusak sehingga medulla spinalis tidak terganggu, fraktur kompresi dan burst fraktur adalah contoh cedera stabil. Cedera tidak stabil artinya cedera yang dapat bergeser dengan gerakan normal karena ligamen posteriornya rusak atau robek, Fraktur medulla spinalis disebut tidak stabil jika kehilangan integritas dari ligamen posterior. b) Tidak stabil Menentukan stabil atau tidaknya fraktur membutuhkan pemeriksaan radiograf. Pemeriksaan radiografi minimal ada 4 posisi yaitu anteroposterior, lateral, oblik kanan dan kiri. Dalam menilai stabilitas vertebra, ada tiga unsur yamg harus dipertimbangkan yaitu kompleks posterior (kolumna posterior), kompleks media dan kompleks anterior (kolumna anterior). d
Komplikasi 1) Syok neurogenik yaitu hasil dari kerusakan jalur simpatik yang desending pada medulla spinalis. Kondisi ini mengakibatkan kehilangan tonus vasomotor dan kehilangan persarafan simpatis pada jantung sehingga menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah visceral serta ekstermitas bawah maka akan terjadi penumpukan darah dan konsekuensinya terjadi hipotensi 2) Syok spinal dimana keadaan flasid dan hilangnya refleks, terlihat setelah terjadinya cedera medulla spinalis. Padas yok spinal mungkin akan tampak seperti lesi komplit walaupun tidak seluruh bagian rusak 3) Hipoventilasi, hal ini trejadi disebabkan karena paralisis otot intercostal yang merupakan hasil dari cedera yang mengenai medulla spinalis bagian di daerah servikal bawah atau torakal atas
66
4) Hiperfleksia autonomic yang dikarakteristikkan oleh sakit kepala berdenyut, keringat banyak, kongesti nasal, bradikardi dan hipertensi e
Patofisiologi Menurut Black dan Matassarin (1993) serta Patrick dan Woods (1989). Ketika patah tulang, akan terjadi kerusakan di korteks, pembuluh darah, sumsum tulang dan jaringan lunak. Akibat dari hal tersebut adalah terjadi perdarahan, kerusakan tulang dan jaringan sekitarnya. Keadaan ini menimbulkan hematom pada kanal medulla antara tepi tulang dibawah periostium dengan jaringan tulang yang mengatasi fraktur. Terjadinya respon inflamsi akibat sirkulasi jaringan nekrotik adalah ditandai dengan vasodilatasi dari plasma dan leukoit. Ketika terjadi kerusakan tulang, tubuh mulai melakukan proses penyembuhan untuk memperbaiki cidera, tahap ini menunjukkan tahap awal penyembuhan tulang. Hematon yang terbentuk bisa menyebabkan peningkatan tekanan dalam sumsum tulang yang kemudian merangsang pembebasan lemak dan gumpalan lemak tersebut masuk kedalam pembuluh darah yang mensuplai organ-organ yang lain. Hematom menyebabkan dilatasi kapiler di otot, sehingga meningkatkan tekanan kapiler, kemudian menstimulasi histamin pada otot yang iskhemik dan menyebabkan protein plasma hilang dan masuk ke interstitial. Hal ini menyebabkan terjadinya edema. Edema yang terbentuk akan menekan ujung syaraf, yang bila berlangsung lama bisa menyebabkan syndroma comportement.
f
Jenis Fraktur Cervikal C1 dan C2
1) Dislokasi Atlanto Oksipital Cedera terputusnya atlantooksipital cukup jarang dan terjadi akibat distraksi dan fleksi traumatic yang hebat. Kebanyakan pasien akan meninggal akibat destruksi batang otak dan apneu atau
67
mendapat gangguan neurologis (trgantung pada ventilator dan tetraplegi). Sedikit pasien dapat bertahan bila langsung mendapatkan resusitasi di tempat kejadian. Cedera ini ditemukan pada 19% dengan cedera spinal fatal dan biasanya merupakan kematian pada shaken body syndrome dimana bayi meninggal setelah di guncang. 2) Fraktur atlas (C1) Tulang atalas tipis, berbentuk cincin dengna permukaan sendi yang luas. Fratur atlas tejadi 5% dari fraktur tulang servikal akut. Kira-kira 40% fraktur atlas berhubung an dengan fraktur aksis (C2). Fraktur tersering C1 adalah burst fracture (Fraktur Jefferson). Mekanisme trauma yang biasa terjadi adalah axial loading, yang terjadi bila ada beban berat jatuh secara vertical ke kepala pasien atau pasien jatuh ke permukaan dengan kepala berada pada posisi netral. Fraktur jefferseon meliputi terputusnya kedua ring anterior dan posterior C1 dengan bergesernya massa lateral kea rah lateral. Fraktur ini paling baik dilihat dengan pandangan open mouth dari C1 dan C2 dan dengan CT-scan axial. Bila patahan tulang tampak bergeser lebih dari 7 mm pada foto proyeksi frontal, kemungkinan ligamentum transversumnya robek. Konfirmasi tentang cedera ligamentum ini dipastikan bersasarkan adanya gerakan abnormal antara odontoid dan atlas pada pemeriksaan radiologis. Pada pasien yang selamat, fraktur ini biasanya tidak berhubungan dengan fraktur medulla spinalis. Namun fraktur ini tidak stabil dan pertama kali harus ditanganni dengan collar neck. Tindakan operasi (fusi) ditujukan untuk kasus yang ligamennya ikut cedera. Tindakan operasi adalah fiksasi antara oksiput dengan lamina dan pada saat pascabedah dipasang jaket halo 3) Subluksasi rotasi C1 Subluksasi rotasi C1 paling sering dijumpai pada ank-anak. Dapat terjadi spontan setelah trauma, dengan infeksi saluran napas
68
atas atau dengan rheumatoid arthritis. Pasien datang dengan rotasi kepala persisten. Cedera ini paling baik juga dilihat dengan open mouth odontoid view walaupun gambaran radiologis dapat membingungkan. Pada cedera ini odontoid tidak terletak sama dari kedua lateral mass 24 C1. Pasien tidak boleh dipaksa untuk melawan rotasi, tapi harus diimobilisasi dalam posisi terotasi.
4) Fraktur aksis (C2) Aksis adalah tulang vertebra servikal terbesar dan bentuknya berbeda dengan yang lain. Sehingga tulang ini mudah menderita bermacam-macam fraktur tergantung dari gaya dan arahnya. Fraktur C2 kira-kira terjadi pada 18% dari semua cedera servikal. 5) Fraktur Odontoid Kira-kira 60% dari fraktur C2 terjadi pada prossesus odontoid, tonjolan tulang seperti pasak yang menonjol ke atas dan dalam keadaan normal berhubungan dengan arkus anterior C1. Prossesus odontoid terikat ditempatnya oleh ligamentum transversum. Fraktur odontoid bisa dilihat dengan foto servikal lateral atau dengan proyeksi open mouth. Namun biasanya CT scan dibuat untuk meyakinkan. Fraktur odontoid tipe 1 terjadi pada ujung odontoid dan relative jarang terjadi. Fraktur odontoid tipe 2 tejadi pada dasar dens dan merupakan fraktur odontoid tersering. Pada anak berusia kurang dari 6 tahun masih terdapat lempeng epifisis dan mungkin tampak seperti garis fraktur. Fraktur odontoid tipe 3 terjadi pada dasar dens dan berlanjut secara oblik kearah korpus aksis. Tindakan operasi stabilisasi fraktur tipe II dilakukan dengan mengikat lamina C1 dan prosessus spinosus C2, atau memasang klem Halifax. Prosedur alternative lain yang dapat diterapkan untuk
69
fraktur tipe II adalah memasang sekrup melalui sumbu tulang ke dalam prosesus odontoid melalui pendekatan anterolateral dan pemantauan fluroskopi. Fraktur tipe III biasangya akan pulih hanya dengan stabilisasi melalui pemasangan traksi servikal. 6) Fraktur elemen posterior C2 Hangman’s fracture terjadi pada elemen posterior C2 yang merupakan pars interkularis. Fraktur jenis ini terjadi ira-kira 20% dari semua fraktur aksis dan biasanya diakibatkan cedera hiperekstensi. Dinamakan Hangman karena sesuai dengan kelainan yang terjadi pada orang yan dihukum gantung dengan simpul di depan dagu. Fraktur hangman jarang menimulkan deficit neurologis mengingat fraktur menimbulkan pemisahan antara korpus C2 dengan elemen osterior. Fraktur Hangman dibedakan menjadi tiga tipe. Tipe I merupakan fraktur yang stabil, dimana pergeseran atau angulasi di sini hanya minimal saja serta cukup diterapi dengan pemasangan collar neck. Tipe II menunjukkan angulasi dan translasi yang bermakna dan penanganannya adalah pemasangan jaket Halo. Tipe II adalah fraktur yang menimbulkan dislokasi faset C2 bilateral dan sangat tidak stabil sehingga untuk kasus ini perlu dioperasi untuk stabilisasi. Pasien dengan fraktur ini harus diimobilisasi eksternal sampai mendapatkan terapi spesialistik.
g
Penatalaksanaan Prinsip dasar pengelolaan cedera spinal adalah dengan melakukan proteksi sepanjang columna vertebralis agar tidak terjadi gerakan baik fleksi, ekstensi, rotasi maupun lateral bending. Proteksi spinal yang dilakukan adalah dengan memasang semi rigid servikal collar dan memfiksasi penderita pada long spine board. Yang perlu diperhatikan pada prosedur proteksi spinal ini adalah sesegera mungkin melakukan upaya menegakkan diagnosis ada tidaknya cedera spinal.
70
Tujuan utama terapi pembedahan adalah melakukan dekompresi terhadap medulla spinalis dan melakukan instrumentasi stabilisasi jika memang didapati keadaan tulang belakang yang tidak stabil. Prognosis penderita sangat tergantung dari beratnya cedera dan lamanya pertolongan hingga tindakan pembedahan. Terapi medikamentosa segera diberikan begitu penderita dicurigai menderita cedera spinal, selama transport hingga saat menjelang pembedahan. Pengelolaan suportif dan medikamentosa berupa : 1) bantuan ventilasi nafas pada penderita yang mengalami paralisis otot nafas 2) Cairan intravena dan penanganan renjatan neurogenik 3) obat
medikamentosa
seperti
:
glukokortikoid
steroid
metilprednisolon dosis tinggi, opiate reseptor antagonis nalokson, non glukokortikoid steroid tirilazad, monocyaloganglioside. Prinsip umum : 1) Pikirkan selalu kemungkinan adanya cedera spinal 2) Mencegah terjadinya cedera kedua 3) Waspada akan tanda yang menunjukkan jejas lintang 4) Lakukan evaluasi dan rehabilitasi Tindakan : 1) Adakan imobilisasi di tempat kejadian (dasar papan) 2) Optimaliasi faal ABC : jalan napas,pernapasan dan perderan darah 3) Penanganan kelainan yang lebih urgen (pneumotoraks) 4) Pemerikasaan neurologis untuk menentukan tempat lesi 5) Pemeriksaan radiologis (kadang diperlukan) 6) Tindak bedah (dekompresi,reposisi dan stabilisasi) 7) Pencegahan penyulit : ileus paralitik -> sonde lambung 8) Penyulit kelumpuhan kandung kemih -> kateter
71
h
Pathway
72
11. Fraktur Pelvis a
Definisi Patah tulang panggul atau fraktur pelvis adalah gangguan struktur tulang dari pelvis. Pada orang tua, penyebab paling umum adalah jatuh dari posisi berdiri. Namun, fraktur yang berhubungan dengan morbiditas dan mortalitas terbesar melibatkan pasukan yang signifikan misalnya dari kecelakaan kendaraan bermotor atau jatuh dari ketinggian.
b
Etiologi Dua pertiga dari fraktur panggul terjadi akibat kecelakaan lalu lintas. Sepuluh persen diantaranya di sertai trauma pada alat-alat dalam rongga panggul seperti uretra, buli-buli, rektum serta pembuluh darah dengan angka mortalitas sekitar 10 %. Patah tulang pelvis harus dicurigai apabila ada riwayat trauma yang menekan tubuh bagian bawah atau apabila terdapat luka serut, memar, atau hematom di daerah pinggang, sacrum, pubis atau perineum.
c
Klasifikasi Fraktur Pelvis Tile membagi fraktur pelvis ke dalam cidera yang stabil, cidera yang secara rotasi tak stabil dan cidera yang secara rotasi dan vertikal tak stabil. 1) Tipe A/stabil; ini temasuk avulsi dan fraktur pada cincin pelvis dengan sedikit atau tanpa pergeseran.
A1 : fraktur panggul tidak mengenai cincin
A2: stabil, terdapat pergeseran cincin yang minimal dari fraktur
2) Tipe B yaitu secara rotasi tidak stabil tapi secara vertikal stabil. Daya rotasi luar yang mengena pada satu sisi pelvis dapat merusak dan membuka simfisis biasa disebut fraktur open book atau daya rotasi internal yaitu tekanan lateral yang dapat menyebabkan fraktur pada
73
rami iskiopubik pada salah satu atau kedua sisi juga disertai cidera posterior tetapi tida ada pembukaan simfisis.
B1 : open book ipsilateral
B2 : kompresi lateral kontralateral (bucket-handle)
B3 : kompresi lateral
3) Tipe C yaitu secara rotasi dan vertical tak stabil, terdapat kerusakan pada ligament posterior yang keras dengan cidera pada salah satu atau kedua sisi dan pergeseran vertical pada salah satu sisi pelvis, mungkin juga terdapat fraktur acetabulum.
C1 : unilateral
C2 : bilateral 7
C3 : disertai fraktur asetabulum Pada cidera tipe A pasien tidak mengalami syok berat tetapi merasa
nyeri bila berusaha berjalan. Terdapat nyeri tekan local tetapi jarang terdapat kerusakan pada viscera pelvis. Foto polos pelvis dapat mempelihatkan fraktur. Pada cidera tipe B dan C pasien mengalami syok berat, sangat nyeri dan tidak dapat berdiri, tidak dapat kencing. Mungkin terdapat darah di meatus eksternus. Nyeri tekan dapat bersifat local tapi sering meluas, dan usaha menggerakkan satu atau kedua ossis ilii akan sangat nyeri. Salah satu kaki mungkin mengalamai anastetik sebagian karena mengalami cidera saraf skiatika. Cidera ini sangat hebat sehingga membawa resiko tinggi terjadinya kerusakan visceral, perdarahan di dalam perut dan retroperitoneal, syok, sepsis dan ARDS. Angka kematian juga cukup tinggi.
74
d
Penanganan Fraktur Pelvis 1) Periksa ABCD 2) Identifikasi mekanisme trauma yang menyebabkan kemungkinan fraktur pelvis misalnya terlempar dari sepeda motor, crush injury, pejalan kaki ditabrak kendaraan, tabrakan sepeda motor. 3) Periksa daerah pelvis adanya ekhimosis, perianal atau hematoma scrotal, darah di meatus uretra. 4) Periksa tungkai akan adanya perbedaan panjang atau asimetri rotasi panggul. 5) Lakukan pemeriksaan rectum, posis dan mobilitas kelenjar prostat, teraba fraktur, atau adanya darah pada kotoran. 6) Lakukan pemeriksaan vagina, raba fraktur, ukuran dan konsistensi uterus, adanya darah. Perlu diingat bahwa penderita mungkin hamil. 7) Jika dijumpai kelainan pada pemeriksaan diatas, jika mekanisme trauma menunjang terjadinya fraktur pelvis, lakukan pemeriksaan ronsen pelvis AP (mekanisme trauma dapat menjelaskan tipe fraktur). 8) Jika pada pemeriksaan diatas normal, lakukan palpasi tulang pelvis untuk menemukan tempat nyeri. 9) Tentukan stabilitas pelvis dengan hati-hati melakukan tekanan anterior-posterior dan lateral-medial pada SIAS. Pemeriksaan mobilitas aksial dengan melakukan dorongan dan tarikan tungkai secara hati-hati, tentukan stabilitas kranial-kaudal. 10) Perhatian pemasangan kateter urine, jika tidak ada kontraindikasi, atau lakukan pemeriksan retrograde uretrogram jika terdapat kecurigaan trauma uretra. 11) Penilaian foto ronsen pelvis, perhatian kasus pada fraktur yang sering disertai
kehilangan
darah
banyak,
misalnya
fraktur
yang
meningkatkan volume pelvis, karena tulang pelvis berbentuk
75
lingkaran jarang kerusakan hanya pada satu tempat saja. Pada fraktur yang meningkatkan volume pelvis, misalnya vertical shear dan fraktur open-book, sering disertai Perdarahan banyak.
76
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan Trauma
muskuloskletal
biasanya
menyebabkan
disfungsi
struktur
disekitarnya dan struktur pada bagian yang dilindungi atau disangganya. Gangguan yang paling sering terjadi akibat trauma muskuloskletal adalah kontusio, strain, sprain dan dislokasi. Kontusio merupakan suatu istilah yang digunakan untuk cedera pada jaringan lunak yang diakibatkan oleh kekerasan atau trauma tumpul yang langsung mengenai jaringan, seperti pukulan, tendangan, atau jatuh. Sprain adalah bentuk cidera berupa penguluran atau kerobekan pada ligament (jaringan yang menghubungkan tulang dengan tulang) atau kapsul sendi, yang memberikan stabilitas sendi. Strain adalah bentuk cidera berupa penguluran atau kerobekan pada struktur muskulo-tendinous (otot dan tendon) sedangkan Dislokasi adalah terlepasnya kompresi jaringan tulang dari kesatuan sendi.
77
DAFTAR PUSTAKA
Advance Trauma Life Support. 2001. Edisi keenam. American Collage of Surgeons Alamat Web: http://repository.usu.ac.id/bitstream/handle/123456789/57030/Chapter%20II.pdf?seq uence=4 Diakses pada tanggal 16 Juli 2019. Pukul 19.25 Alamat Web: http://eprints.ums.ac.id/21989/1/02._NASKAH_PUBLIKASI.pdf Diakses pada tanggal 16 Juli 2019. Pukul 20.00 Alamat Web: http://eprints.unsri.ac.id/5913/1/Course_Manual.pdf Diakses pada tanggal 16 Juli 2019. Pukul 22.00 Kneale, Julia D (ed). 2011. Keperawatan Ortopedik dan Trauma Edisi 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC Keith, More dan Arthur F. Dalley. 2013. Anatomi Berorientasi Klinis Jilid 2. Jakarta: Erlangga Helmi, Zairin Noor. 2012. Buku Ajar Gangguan Muskuloskeletal. Jakarta: Salemba Medika
78