Woc 10 Meningitis.docx

  • Uploaded by: NAZUA
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Woc 10 Meningitis.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 5,989
  • Pages: 38
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Meningitis adalah inflamasi akut pada meninges. Organisme penyebab meningitis bakterial memasuki area secara langsung sebagai akibat cidera traumatik atau secara tidak langsung bila dipindahkan dari tempat lain di dalam tubuh ke dalam cairan serebrospinal (CSS). Berbagai agens dapat menimbulkan inflamasi pada meningens termasuk bakteri, virus, jamur, dan zat kimia (Betz, 2009). Berdasarkan data WHO tahun 2014, setiap tahunnya 400 juta orang yang tinggal di 26 negara dari “African Meningitis Belt” (dari Senegal ke Ethiopia) terserang meningitis. Di daerah ini lebih dari 900.000 kasus dilaporkan terjadi dalam 20 tahun terakhir (1995-2014). Dari kasus ini 10% mengakibatkan kematian, sementara 10-20% lainnya menyebabkan masalah sistem neurologis. Di Indonesia sendiri, menurut data Kementerian Kesehatan Indonesia, pada 2010 jumlah kasus meningitis terjadi pada laki-laki mencapai 12.010 pasien, pada wanita sekitar 7.371 pasien, dan dilaporkan pasien yang meninggal dunia sebesar 1.025. Data dari RSUD Dr. Soetomo pada 2010 terdapat 40 pasien didiagnosis meningitis. Sebanyak 60 persen laki-laki dan 40 persen wanita. Dari angka itu, dilaporkan 7 pasien meninggal dunia. Pada tahun 2011, dilaporkan ada 36 pasien didiagnosis meningitis. Sekitar 67 persen pasien laki-laki dan sekitar 33 persen wanita. Sebelas di antaranya meninggal dunia. Menurut studi yang dirilis The New England Journal of Medicine, gejala umum yang terjadi pada penderita meningitis adalah sakit kepala, leher kaku disertai demam, kebingungan atau perubahan kesadaran, muntah, fotofobia atau meningkatnya kepekaan terhadap cahaya, dan fonofobia alias kepekaan terhadap suara yang juga meningkat. Namun, dari 696 kasus yang mereka teliti, ditemukan tiga gejala yang pasti akan muncul pada penderita meningitis—sesuatu yang pasti terjadi,

2

yang bisa dijadikan indikator pendeteksi dini. Di antaranya adalah demam tinggi tiba-tiba, kuduk yang kaku, dan perubahan mental mendadak. Ketiganya terjadi pada 44 hingga 46 persen penderita meningitis yang disebabkan bakteri. Namun, sekitar 95 persen pasien pasti merasakan dua di antaranya. Gejala kuduk yang kaku dialami hingga 70 persen pasien dewasa. Pada anak-anak gejala-gejala di atas sering kali luput. Biasanya mereka hanya jadi lebih rewel dan mengeluh sakit kepala. Ciri lain yang mungkin muncul adalah ruam merah pada kulit. Meski tak seperti selesma atau flu, meningitis juga dapat menular. Biasanya dari ciuman, bersin atau batuk, tetapi tidak bisa disebarkan hanya dengan menghirup udara yang sama dengan penderita meningitis. Dalam penelitian itu disebutkan bahwa risiko kematian meningitis yang disebabkan bakteri sangat tinggi, bergantung pada usia penderita dan penyebab. Pada bayi prematur dan anak baru lahir berusia hingga tiga bulan, 20 hingga 30 persen mungkin meninggal jika sudah terkena meningitis bakterial. Menurut WHO, meningitis bahkan termasuk ke dalam lima penyakit paling mematikan untuk anak-anak baru lahir di dunia. Risiko kematian ini turun sedikit untuk anak-anak berusia di atas tiga tahun hingga 16 tahun, hingga 2 persen, tapi kembali naik sampai 19 hingga 37 persen jika terjadi pada orang dewasa. Sekitar 80 persen kasus pada umur ini disebabkan oleh bakteri Neisseria meningitides dan Streptococcus pneumonia. Meningitis adalah kegawatdaruratan neurologik yang mengancam jiwa, yang memerlukan diagnosis dan terapi cepat. Penanganan meningitis memerlukan pendekatan interdisipliner. Penegakan diagnosa meningitis juga sulit jika hanya mengandalkan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Hasil pemeriksaan cairan serebrospinal (CSS) harus diinterpretasikan secara hatihati. Pemahaman karakter pasien sangat dibutuhkan dalam memberikan manajemen

kegawatdaruratan

pasien

dengan

meningitis

kolaborasi dalam pemberian antibiotik empirik yang tepat.

terutama

3

B. Rumusan Masalah Bagaimana konsep manajemen kegawatdaruratan pasien dengan meningitis dihubungkan dengan asuhan keperawatan NANDA NIC-NOC?

C. Tujuan 1. Tujuan umum Mahasiswa/ (i) dapat menerapkan dan mengembangkan pola pikir secara

ilmiah

dalam

melaksanakan

praktik

manajemen

kegawatdaruratan pasien dengan meningitis serta mendapatkan pengalaman dalam memecahkan masalah. 2. Tujuan khusus Agar mahasiswa/ (i) mampu mengetahui dan memahami tentang: a. Pengertian meningitis b. Etiologi meningitis c. Web Of Caution (WOC) meningitis d. Tanda dan gejala meningitis e. Pemeriksaan fisik (fokus pada penyakit) meningitis f. Pemeriksaan penunjang meningitis g. Komplikasi meningitis h. Asuhan Keperawatan meningitis i. Algoritma penanganan kasus (mandiri dan kolaborasi) meningitis j. SOP pemeriksaan lumbal pungsi k. Evidance Based Nursing (EBN).

D. Manfaat 1. Bagi Penulis

4

Diharapkan agar penulis mempunyai tambahan wawasan dan pengetahuan dalam asuhan keperawatan kegawatdaruratan pasien dengan meningitis. 2. Bagi Institusi Pelayanan Menjadi acuan dalam memberikan asuhan keperawatan kegawatdaruratan pada pasien meningitis. 3. Bagi Institusi Pendidikan Sebagai sumber bacaan atau referensi untuk meningkatkan kualitas pendidikan keperawatan dan sebagai masukan dalam peningkatan asuhan keperawatan kegawatdaruratan pada pasien meningitis.

E. Sistematika Penulisan Dalam penyusunan makalah ini dibagi dalam beberapa bab, yaitu: Bab I

: Berisi pendahuluan yang terdiri dari latar belakang belakang, rumusan masalah, tujuan dan sistematika penulisan.

Bab II

: Berisi tinjauan pustaka yang terdiri dari konsep dasar dasar penyakit dan asuhan keperawatan kegawatdaruratan pasien dengan meningitis.

Bab III

: Berisi tinjauan kasus yang terdiri dari bentuk asuhan keperawatan

kegawatdaruratan

pasien

dengan

meningitis. Bab IV

: Berisi penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

5

A. Pengertian Meningitis adalah radang pada selaput otak yang dapat disebabkan oleh bakteri, virus, parasit, jamur, dan keadaan non infeksi seperti neoplasma (Arydina, Triono, & Herini, 2014). Meningitis adalah peradangan pada meningen (membran yang mengelilingi otak dan medulla spinalis/sumsum tulang belakang) yang disebabkan oleh virus, bakteri, atau jamur (Baughman & Hackley, 2003).

Gambar 2.1 Perbedaan meninges normal dan meningitis

B. Etiologi Meningitis memiliki beberapa tipe berdasarkan penyebabnya yaitu aseptik, septik, dan jamur. a. Meningitis aseptik mengacu pada meningitis yang disebabkan virus atau infeksi sekunder dari ensefalitis, abses otak, limfoma, leukimia, atau darah di ruang subarakhnoid. Virus yang dapat menyebabkan meningitis yaitu herpes simpleks, cacar, rabies, dan HIV (Muttaqin, 2008). b. Meningitis septik mengacu pada meningitis yang disebabkan oleh bakteri. Bakteri yang paling sering menginfeksi yaitu Neisseria meningitidis, meskipun Streptococcus pneumoniae dan Haemophilus influenzae juga menjadi agen penyebab meningitis (Muttaqin, 2008).

6

c. Meningitis jamur terjadi apabila jamur telah menyebar dalam aliran darah. Bentuk umun dari meningitis jamur yaitu meningitis jamur kriptokokus (Meningitis Foundation of America Inc., 2013). Faktor-faktor yang meningkatkan risiko meningitis bakteri yaitu penggunaan tembakau atau infeksi virus pada saluran pernapasan atas. Otitis media dan mastoiditis juga dapat meningkatkan resiko meningitis bakteri karena bakteri dapat menyeberang membran epitel dan masuk ke dalam ruang sub-arachnoid. Orang dengan penurunan sistem kekebalan tubuh juga beresiko tinggi menderita penyakit meningitis bakteri. Infeksi meningeal umumnya berawal dari satu atau dua cara yaitu baik melalui aliran darah akibat infeksi lain (selulitis) atau oleh ekstensi langsung (setelah cedera traumatik pada tulang wajah). Dalam kasus yang jumlahnya kecil penyebab meningitis adalah iatrogenik atau sekunder akibat prosedur invasif (pungsi lumbal) atau alat bantu (alat pemantau TIK) (Baughman & Hackley, 2003).

Penyebab Meningitis Bakterial berdasarkan usia dan faktor risiko diantaranya: Tabel 2. 1 Penyebab Meningitis Bakterial berdasarkan Usia dan Faktor Risiko

Neonatus (usia < 3 bulan)

Escherichia coli; Streptococcus grup B; Listeria monocytogenes

Bayi dan anak (usia > 3 bulan)

S. pneumonia; N. meningitidis; H. influenzae

Dewasa usia < 50 tahun

S. pneumonia; N. meningitidis

(imunokompeten) Dewasa usia > 50 tahun

S. pneumonia; N. meningitidis; Listeria monocytogenes

Fraktur kranium/pasca-bedah saraf

Staphylococcus epidermidis; Staphylococcus aureus; bakteri gram negatif (Klebsiella, Proteus, Pseudomonas, E. coli);

7

Streptococcus grup A dan D; S. pneumonia; H. influenzae Kebocoran CSS

Bakteri gram negatif; S. pneumonia

Kehamilan

Listeria monocytogenes

Imunodefensial

Listeria monocytogenes; bakteri gram negatif; S. pneumonia; Pseudomonas aeruginosa; Streptococcus grup B; Staphylococcus aerus (Ropper et al., 2008)

C. Klasifikasi Diagnosis pasti penyakit meningitis ditegakkan dengan pemeriksaan cairan serebrospinal (CSS) melalui pungsi lumbal. Klasifikasi meningitis dapat dibedakan menurut penyebabnya sebagai berikut (Mesranti, 2011). 1. Meningitis karena virus (aseptik) Meningitis karena virus ditandai dengan cairan serebrospinal yang jernih serta rasa sakit penderita tidak terlalu berat. Umumnya meningitis virus dapat sembuh tanpa perawatan khusus dan jarang berakibat fatal. Meningitis virus paling sering disebabkan oleh enterovirus. Meningitis virus dapat menyebar melalui pernapasan dan sekret tenggorokan seperti saat berciuman, batuk, bersin, pinjam atau meminjam cangkir, lipstik atau rokok. Periode inkubasi meningitis virus dapat berkisar beberapa hari sampai beberapa minggu sejak penderita terinfeksi sampai munculnya gejala (Meningitis Foundation of America Inc., 2013).

2. Meningitis karena bakteri (septik) Meningitis bakteri ditandai dengan cairan serebrospinal yang tampak kabur, keruh atau purulen. Meningitis bakteri sangat berbahaya dan mengancam kehidupan karena dapat menyebabkan kerusakan otak,

8

pendengaran, dan disabilitas. Pada meningitis bakteri, sangat penting untuk mengetahui jenis bakteri yang menjadi penyebab meningitis sehingga dapat diberikan antiobiotik tertentu untuk pengobatannya. Seseorang dengan penurunan kekebalan tubuh atau sedang menjalani prosedur pembedahan sangat beresiko tertular meningitis bakteri. Gejala pada meningitis bakteri dapat muncul dengan cepat dalam waktu 3-7 hari. Kejang dan koma merupakan gejala yang umum dari infeksi bakteri yang sudah parah (Mesranti, 2011; Meningitis Foundation of America Inc., 2013). 3. Meningitis jamur Meningitis jamur terjadi apabila jamur telah menyebar dalam aliran darah. Bentuk umun dari meningitis jamur yaitu meningitis jamur kriptokokus. Meningitis jamur biasanya terjadi pada seseorang dengan sistem imun yang lemah seperti pasien kanker dan AIDS. Meningitis jamur tidak menular dari orang ke orang tetapi menular melalui injeksi obat-obatan seperti steroid. Meningitis jamur juga dapat menular melalui inhalasi pada lingkungan yang terkontaminasi feses burung (Meningitis Foundation of America Inc., 2013).

Meningitis dibagi menjadi 2 golongan berdasarkan perubahan yang terjadi pada cairan otak, yaitu: 1. Meningitis Serosa Adalah radang selaput otak araknoid dan piameter yang disertai cairan otak yang jernih. Penyebab terseringnya adalah Mycobacterium tuberculosa. Penyebab lainnya virus, Toxoplasma gondhii dan Ricketsia.

2. Meningitis Purulenta Adalah radang bernanah arakhnoid dan piameter yang meliputi otak dan medula spinalis. Penyebabnya antara lain : Diplococcus pneumoniae (pneumokokus), Neisseria meningitis (meningokokus),

9

Streptococcus haemolyticuss, Staphylococcus aureus, Haemophilus influenzae, Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae, Peudomonas aeruginosa (Satyanegara, 2010).

D. Manifestasi Klinis Baughman & Hackley (2003) menjelaskan bahwa tanda dan gejala meningitis adalah sebagai berikut. a. Sakit kepala dan demam merupakan gejala awal yang sering timbul. b. Kaku kuduk (stiff neck) merupakan tanda awal meningitis. Usaha untuk memfleksikan kepala sangat sulit pada penderita meningitis karena mengalami kejang otot pada leher. c. Tanda kernig positif (Kernig’s sign) yaitu ketika pasien berbaring dengan paha difleksikan ke abdomen, pasien akan merasa kesakitan.

Gambar 2.2 Kernig Sign

10

d. Tanda Brudzinki positif (Brudzinski’s sign) yaitu ketika leher pasian dibungkukkan ke arah dada, pasien secara spontan menekuk lututnya ke atas.

Gambar 2.3 Brudzinki Sign

e. Fotofobia yaitu peka terhadap cahaya. f. Ruam kulit berupa bintik-bintik merah yang tersebar (tidak terjadi pada semua orang). g. Perubahan tingkat kesadaran berkaitan dengan tipe bakteri yang menyerang. h. Disorientasi dan kerusakan memori merupakan hal yang umum pada awal penyakit. i. Letargi, tidak memberikan respons, dan koma dapat berkembang sejalan dengan perkembangan penyakit. j. Peningkatan tekanan intrakranial (TIK) merupakan gejala sekunder akibat akumulasi eksudat purulen.

11 Nama : Dyan Nitarahayu NIM

: P07220215017

WOC Meningitis Abses otak karena Neisseria meningitidis, Haemophilus, Streptococcus pneumonia, dan Eschercia coli.

-

Pneumonia Empiema Osteomielitis Endokarditis Infeksi menyebar menyerang SSP

-

Sinusitis Otitis media Ensefalitis Mielitis

Port de entry mikroorganisme

Mikroorganisme menyebabkan kerusakan jaringan meningens

Iritasi nervus cranialis

Rusaknya Blood Brain Barier

Fotofobia, diplopia

Akumulasi monosit, makrofag, sel T helper, dan fibroblas

Memicu respon inflamasi meningens

Edema

Pelapasan pirogen endogen (Sitokin)

MENINGITIS

Peningkatan massa intrakranial

Kemotaksis Interleukin-1 Interleukin-6

Menghasilkan eksudat dalam ruang subarakhnoid

Merangsang saraf vagus

CSS mengental

Sinyal mencapai sistem saraf pusat

Menyumbat vili arachnoidalis

Pembentukan prostaglandin otak

Obstruksi CSS

Merangsang hipotalamus meningkatkan titik patokan suhu (set point)

Menggigil, meningkatkan suhu basal

Meningkatkan tekanan intrakranial

Peningkatan TIK >33mmHg Menurunkan aliran darah ke otak

HIDROSEFALUS Hipoksia jaringan

Iskemia jaringan

Cedera jaringan

Merangsang pusat vasomotor

Cedera berlanjut Peningkatan darah sistemik

Hipertermia [00007] Infark cerebri 1. Penanganan demam 2. Monitor vital sign

Mencetuskan kejang

Risiko Cedera [00035]

12

Manajemen Lingkungan

Rangsangan pusat inhibisi jantung

Bradikardi

Manajemen syok

Risiko syok [00205]

Hipoventilasi

pH meningkat

PaCo2 menurun

Gangguan ventilasi spontan [000033]

1. Man. ventilasi mekanik 2. Terapi oksigen

Merangsang nosiseptor

Dihantarkan Serabut tipe Āð Serabut tipe C

Medula spinalis Traktus neospinotalamus

Traktus paleospinotalamus

Sistem aktivasi retikuler

Sistem aktivasi retikuler

Area grisea

Talamus

Hipotalamus dan sistem limbik

Talamus

Otak (korteks somatosensorik) Persepsi nyeri

1. Man. nyeri 2. Mon. vital sign

Nyeri akut [00132]

13

E. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan fisik awal adalah status present yaitu gangguan kesadaraan dapat berupa hanya rewel sampai penurunan kesadaran yang dapat diukur sesuai dengan Glasgow Coma Scale (GCS) pediatri. Pemeriksaan lingkar kepala dilakukan untuk menilai apakah ada hidrosefalus atau peningkatan tekanan intra kranial. Anak kurang dari satu tahun sering didapatkan ubun-ubun yang membonjol. Peningkatan tekanan intrakranial menyebabkan papil edema pada pemeriksaan mata. Strabismus akibat penekanan pada saraf abdusen dan dilatasi pupil yang tidak berespon terhadap cahaya terjadi karena penekanan saraf okulomotorik. Bradikardi dan hipertensi arteri dapat terjadi karena tekanan pada batang otak (Stefan dan Florian, 2000). Tanda rangsang meningeal dapat diperiksa dengan beberapa parasat antara lain pemeriksaan kaku kuduk, tanda Kernig, tanda Brudzinski I dan Brudzinski II. Pemeriksaan kaku kuduk (nuchal rigidity) dapat dilakukan dengan menekuk leher secara pasif. Pemeriksaan kaku kuduk dikatakan positif bila terdapat tahanan sehinggga dagu tidak dapat menempel pada dada. Tahanan juga terasa apabila leher diposisikan hiperektensi, diputar atau digerakkan ke samping. Kaku kuduk dapat disertai dengan hiperekstensi tulang belakang, disebut opistotonus. Tanda Kernig diperiksa pada penderita dalam posisi telentang, dilakukan fleksi tungkai atas tegak lurus, kemudian dicoba meluruskan tungkai bawah pada sendi lutut. Tungkai bawah dapat membentuk sudut lebih dari 135 derajat terhadap tungkai atas dalam keadaan normal. Pemeriksaan ini sukar dilakukan pada bayi di bawah umur enam bulan (Martin dan Urs, 2006). Tanda Brudzinski I (Brudzinski's Neck Sign) diperiksa dengan meletakkan satu tangan pemeriksa di bawah kepala penderita dan tangan lainnya di dada penderita untuk mencegah agar badan tidak terangkat. Kemudian kepala penderita difleksikan ke dada secara pasif (tidak dipaksa). Rangsang meningeal dikatakan positif jika kedua tungkai bawah fleksi pada sendi panggul dan sendi lutut. Brudzinski II (Brudzinski's Contralateral Leg

14

Sign) diperiksa dengan cara fleksi tungkai penderita pada sendi panggul secara pasif. Rangsang dikatakan positif bila terjadi fleksi tungkai lainnya pada sendi panggul dan sendi lutut. Hasil akan tampak lebih jelas bila pada waktu fleksi panggul dan sendi lutut tungkai lain dalam keadaan ekstensi (Haslam, 2007).

F. Komplikasi Pasien dengan meningitis yang muncul dengan tingkat gangguan kesadaran, berisiko tinggi mengalami gejala neurologis atau kematian. Kejang pada episode meningitis juga merupakan faktor risiko kematian atau sekuel neurologis, terutama jika kejangnya berkepanjangan atau sulit dikendalikan. Pada meningitis bakteri, beberapa faktor risiko dikaitkan dengan kematian dan cacat neurologis. Skor risiko telah diturunkan dan divalidasi pada orang dewasa dengan meningitis bakteri. Skor ini mencakup variabel berikut, yang terkait dengan hasil klinis yang merugikan (Schut et al., 2012): 1. Usia yang lebih tua 2. Meningkatnya detak jantung 3. Skor Skala Glosgow Coma Scale yang lebih rendah 4. Kelumpuhan saraf kranial 5. Jumlah leukosit CSF lebih rendah dari 1000/μL 6. Gram-possitive cocci pada pewarnaan gram CSF Meningitis bakteri lanjut dapat menyebabkan kerusakan otak, koma, dan kematian. Pada 50% pasien, beberapa komplikasi dapat terjadi pada hari-hari sampai minggu setelah infeksi. Sekuel jangka panjang terlihat sebanyak 30% orang yang selamat dan bervariasi dengan agen etiologi, usia pasien, fitur presentasi, dan kursus di rumah sakit. Pasien biasanya memiliki perubahan SSP yang halus. Komplikasi serius meliputi: 1. Gangguan pendengaran 2. Kebutaan kortikal

15

3. Disfungsi saraf kranial lainnya 4. Kelumpuhan 5. Hipertoni otot 6. Ataxia 7. Retradasi mental 8. Kelumpuhan fokal 9. Efusi subdural 10. Hidrosefalus 11. Atrofi serebral Faktor risiko gangguan pendengaran setelah meningitis pneumokokus adalah jenis kelamin wanita, usia lanjut, meningitis berat, dan infeksi dengan serotipe pneumokokus tertentu. [11] Komplikasi tertunda meliputi: 1. Turunnya pendengaran atau tuli 2. Disfungsi saraf kranial lainnya 3. Seizures multiple 4. Kelumpuhan fokal 5. Efusi subdural 6. Hidrosefalus 7. Defisit intelektual 8. Ataxia 9. Kebutaan 10. Sindrom waterhouse-friderichsen 11. Gangren perifer Kejang adalah komplikasi yang umum dan penting, terjadi pada sekitar seperlima pasien. Insiden ini lebih tinggi pada pasien yang berusia di bawah 1 tahun, mencapai 40%. Sekitar satu setengah dari pasien dengan komplikasi ini mengalami kejang berulang. Pasien mungkin meninggal akibat cedera SSP iskemik atau komplikasi sistemik. Bahkan dengan terapi antimikroba yang efektif, komplikasi neurologis yang signifikan telah dilaporkan terjadi pada sebanyak 30%

16

orang yang selamat dari meningitis bakteri. Pemantauan yang ketat untuk pengembangan komplikasi ini sangat penting. Kematian untuk meningitis bakteri paling tinggi di tahun pertama kehidupan, menurun pada usia paruh baya, dan meningkat lagi di usia senja. Meningitis bakteri berakibat fatal pada 1 dari 10 kasus, dan 1 dari setiap 7 orang yang selamat ditinggalkan dengan cacat berat, seperti tuli atau cedera otak.

G. Pemeriksaan Penunjang Meningitis dapat ditegakkan berdasarkan riwayat medis, pemeriksaan fisik, dan tes diagnostik tertentu. Tes diagnostik yang dapat dilakukan untuk penegakan diagnosa adalah sebagai berikut (Mesranti, 2011; Mayo Clinic, 2015). 1. Lumbal pungsi Lumbal pungsi biasanya dilakukan untuk menganalisa jumlah sel dan protein cairan cerebrospinal (CSS), dengan syarat tidak ditemukan adanya peningkatan tekanan intrakranial. Analisis cairan serebrospinal dari pungsi lumbal yaitu sebagai berikut: a. Meningitis bakteri: tekanan meningkat, cairan keruh/berkabut, jumlah sel darah putih dan protein meningkat, glukosa meningkat, kultur positif terhadap beberapa jenis bakteri. b. Meningitis virus: tekanan bervariasi, cairan CSS biasanya jernih, sel darah putih meningkat, glukosa dan protein biasanya normal, kultur biasanya negatif.

17

Gambar 2.4 Lumbal pungsi

2. Pemeriksaan darah Pemeriksaan

darah

dilakukan

untuk

mengetahui

kadar

hemoglobin, jumlah leukosit, Laju Endap Darah (LED), kadar glukosa, kadar ureum, elektrolit, dan kultur darah. Pada kultur darah, darah yang diambil dari vena dikirim ke laboratorium dan dilihat apakah terdapat pertumbuhan mikroorganisme terutama bakteri. Sampel darah juga dapat diuji menggunakan pewarnaan gram sehingga dapat diamati pada mikroskop.

3. Pemeriksaan radiologis Pemeriksaan x-ray dan computerized tomography (CT) scan kepala, dada, atau sinus dapat menunjukkan adanya pembengkakan atau peradangan.

18

Gambar 2.5 CT otak normal

Gambar 2.6 CT edema otak

19

H. Asuhan Keperawatan 1. Pengkajian a. Primary survey 1) Airway a) Suction b) Guedel airway c) Intubasi trakhea dengan leher ditahan (imobilisasi) pada posisi netral 2) Breathing Inspeksi apakah klien batuk, produksi sputum, sesak napas, penggunaan otot bantu napas, dan peningkatan frekuensi pernapasan yang sering didapatkan pada klien meningitis disertai adanya gangguan pada sistem pernapasan. Palpasi thoraks hanya dilakukan apabila terdapat deformitas pada tulang dada pada klien dengan efusi pleura masif (jarang terjadi pada klien dengan meningitis). Auskultasi bunyi napas tambahan seperti ronkhi pada klien dengan meningitis tuberkulosa dengan penyebaran primer di paru. 3) Circulation Tekanan darah dapat normal atau meningkat, hipotensi terjadi pada tahap lanjut, takikardi, bunyi jantung normal pada tahap dini, disritmia, kulit dan membran mukosa pucat, dingin, sianosis pada tahap lanjut. 4) Dissability Menilai kesadaran dengan cepat, apakah sadar, hanya respon terhadap nyeri atau atau sama sekali tidak sadar. Tidak dianjurkan mengukur GCS. 5) Eksposure Lepaskan baju dan penutup tubuh pasien agar dapat dicari semua cidera yang mungkin ada, jika ada kecurigan cedera leher atau tulang belakang, maka imobilisasi in line harus dikerjakan

20

(Muttaqin, 2008). b. Secondary survey 1) Keluhan utama Pada pasien meningitis dapat ditemukan keluhan utama berupa suhu tubuh meningkat, kejang, dan kesadaran menurun. 2) Riwayat penyakit dahulu Kemungkinan pasien menderita HIV/AIDS, ensefalitis, abses otak, limfoma, leukimia, perdarahan otak yang dapat menyebabkan meningitis. Pasien post pembedahan dan cedera kepala dapat menjadi faktor resiko meningitis karena adanya port d’ entry mikroorganisme. 3) Riwayat penyakit keluarga Keluarga ada yang menderita penyakit yang disebabkan oleh virus contohnya Herpes simplex, cacar, dan lain-lain; bakteri contoh: Staphylococcus Aureus, Streptococcus, E. Coli, dan lain-lain. 4) Pemeriksaan fisik (B1-B6) Setelah melakukan anamnesa yang mengarah pada keluhan klien, pemeriksaan fisik sangat berguna untuk mendukung data dari pengkajian anamnesis. Pemeriksaan fisik dilakukan secara persistem (B1-B6) dengan fokus pada pemeriksaan B3 (brain) yang terarah dan dihubungkan dengan keluhan-keluhan dari klien. Pemeriksaan fisik dimulai dengan memeriksa TTV. Pada klien meningitis biasanya didapatkan peningkatan suhu tubuh lebih dari normal yaitu 38-48oC, kemerahan, panas, kulit kering, dan berkeringat. Keadaan ini biasanya dihubungkan dengan proses inflamasi dan iritasi meningen yang sudah menggangu pusat pengatur suhu tubuh (Muttaqin, 2008).

B1 Breathing

21

Inspeksi apakah terdapat batuk, produksi sputum, sesak nafas, penggunaan otot bantu nafas, dan peningkatan frekuensi pernafasan yang sering didapatkan pada pasien meningitis yang disertai adanya gangguan pada sistem pernafasan. Auskultasi bunyi napas tambahan seperti ronkhi pada pasien meningitis tuberkulosa dengan penyebaran primer dari paru. B2 Blood Penurunan denyut nadi dapat terjadi berhubungan dengan tanda-tanda peningkatan TIK. Apabila disertai peningkatan frekuensi pernafasan sering berhubungan dengan peningkatan laju metabolism umum dan adanya infeksi pada sistem pernafasan sebelum mengalami meningitis. Tekanan darah bisanya normal atau meningkat karena tanda-tanda peningkatan TIK. Pemeriksaan darah juga dilakukan untuk mengetahui kadar hemoglobin, jumlah leukosit, Laju Endap Darah (LED), kadar glukosa, kadar ureum, elektrolit, dan kultur darah. B3 Brain Pengkajian B3 merupakan pemeriksaan fokus dan lebih lengkap dibandingkan pengkajian pada sistem lainya. a) Tingkat kesadaran Tingkat kesadaran pasien meningitis biasanya berkisar pada tingkat letargi, stupor dan semi koma. Tingkat kesadaran dapat dinilai menggunakan GCS (Glasgow Coma Scale) Penilaian GCS: Membuka Mata (Eye) Nilai 4

Spontan

3

Rangsang suara (pasien disuruh membuka mata)

2

Rangsang nyeri

1

Tidak membuka mata

22

Respon Bicara (Verbal) 5

Baik dan tidak terdapat disorientasi

4

Kacau (terdapat disorientasi tempat dan waktu)

3

Tidak tepat (mengucapkan kata-kata tetapi tidak dalam bentuk kalimat dan kata-kata tidak tepat)

2

Mengerang (tanpa mengucapkan kata-kata)

1

Tidak terdapat jawaban Respon Gerakan (Motorik)

6

Menuruti perintah

5

Mengetahui lokasi nyeri

4

Refleks menghindari nyeri

3

Refleks fleksi

2

Refleks ekstensi

1

Tidak terdapat reflex

Skala Glasgow Coma Pediatri

Tanda

Respon

Nilai

Buka mata

Spontan

4

Terhadap suara

3

Terhadap sakit

2

Tidak ada

1

Terorientasi

5

Kata-kata

4

Suara-suara

3

Menangis

2

Tidak ada

1

Mengikuti perintah

5

Lokalisasi sakit

4

Fleksi terhadap sakit

3

Ekstensi terhadap sakit

2

Respon verbal terbaik

Respon motor terbaik

23

Tidak ada

1

NILAI AGREGAT NORMAL Lahir sampai 6 bulan

9

6 bulan sampai 12 bulan

11

1 sampai 2 tahun

12

2 sampai 5 tahun

13

lebih dari 5 tahun

14

b) Pemeriksaan 12 saraf kranial (Muttaqin, 2008) 1. Saraf I (N.Olfaktorius) Biasanya pada klien meningitis tidak ada kelainan dan fungsi penciuman tidak ada kelainan. 2. Saraf II (N.Optikus) Tes ketajaman penglihatan pada kondisi normal, pemeriksaan papiledema mungkin didapatkan. 3. Saraf III, IV & VI (N.Okulomotor, N.Troklearis, N.Abdusen) Pemeriksaan fungsi dan reaksi pupil pada pasien meningitis yang tidak disertai penurunan kesadaran biasnya tanpa kelainan. Pada pasien dengan penurunan tingkat kesadaran, tanda-tanda perubahan dari fungsi dan reaksi pupil akan didapatkan. Pasien mengeluh fotofobia atau sensitif yang terhadap cahaya. 4. Saraf V (N.Trigeminus) Umumnya tidak ditemukan paralisis pada otot wajah dan refleks kornea biasanya tidak ada kelainan.

5. Saraf VII (N.Fasialis) Persepsi pengecapan dalam batas normal, wajah simetris.

24

6. Saraf VIII (N.Vestibulo-Koklearis) Tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan tuli persepsi. 7. Saraf IX dan X (N.Glosofaringeus dan N.Vagus) Kemampuan menelan baik. 8. Saraf XI (N.Aksesorius) Tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus dan trapezius. Adanya usaha dari pasien untuk melakukan fleksi leher dan kaku kuduk (rigiditas nukal). 9. Saraf XII (N.Hipoglosus) Lidah simetris tidak ada deviasi pada satu sisi dan tidak ada fasikulasi (kedutan) dan indra pengecapan biasanya normal. c) Sistem motorik Kekuatan otot menurun, kontrol keseimbangan dan koordinasi pada meningitis tahap lanjut mengalami perubahan. d) Pemeriksaan refleks Refleks patologis akan didapatkan pada klien meningitis dengan tingkat kesadaran koma yaitu adanya refleks babinski (+).

Gambar 2.7 Pemeriksaan babinski

e) Gerakan involunteer

25

Tidak ditemukan adanya tremor, kedutan saraf, dan distonia (kontraksi otot terus-menerus yang tidak terkontrol oleh pasien yang dapat menyebabkan kesalahan postur). Pada keadaan tertentu pasien biasanya mengalami kejang umum, terutama pada anak dengan meningitis disertai peningkatan suhu tubuh yang tinggi. f) Sistem sensorik Pemeriksaan sensorik pada meningitis biasanya didapatkan sensasi raba, nyeri dan suhu normal, tidak ada perasaan

abnormal

dipermukaan

tubuh.

Sensasi

proprioseptif (gerak, sikap, getar, tekan) dan diskriminatif (mengetahui benda dengan perabaan) normal. Iritasi meningen mengakibatkan sejumlah tanda yang mudah dikenali yang umumnya terlihat pada semua tipe meningitis. Tanda tersebut adalah rigiditas nukal (kaku kuduk), tanda kernig (+) dan adanya tanda brudzinski. B4 Bladder Pemeriksaan

pada

sistem

perkemihan

biasanya

didapatkan berkurangnya volume haluaran urin.

B5 Bowel Mual sampai muntah karena peningkatan produksi asam lambung. Pemenuhan nutrisi pada pasien meningitis menurun karena anoreksia dan adanya kejang. B6 Bone Adanya bengkak dan nyeri pada sendi-sendi besar (khususnya lutut dan pergelangan kaki). Ptekia dan lesi purpura yang didahului oleh ruam.

26

Gambar 2.8 Ruam merah pada pasien meningitis

Pada penyakit yang berat dapat ditemukan ekimosis (perdarahan bawah kulit) yang besar pada wajah dan ekstremitas. Klien sering mengalami penurunan kekuatan otot dan kelemahan fisik secara umum sehingga menggangu aktivitas hidup sehari-hari (ADL). 5) Pemeriksaan Diagnostik Pemeriksaan diagnostik rutin pada klien meningitis meliputi laboratorium klinik rutin (HB, Leukosit, LED, trombosit, retikulosit, glukosa). 6) Pemeriksaan laboratorium Pemeriksaan laboratorium yang khas pada meningitis adalah analisis cairan otak. Lumbal fungsi tidak bisa dilakukan pada pasien dengan peningkatan tekanan intrakranial. Analisis cairan otak diperiksa untuk mengetahui jumlah sel, protein dan konsentrasi glukosa. Kadar glukosa darah dibandingkan dengan kadar glukosa cairan otak. Normalnya, kadar glukosa cairan otak adalah 2/3 dari nilai serum glukosa dan pada pasien meningitis kadar glukosa cairan otaknya menurun dari nilai normal. Untuk mengetahui jenis mikroba, maka organism penyebab infeksi dapat diidentifikasi melalui kultur kuman pada cairan serebrospinal dan darah.

27

7) Pemeriksaan lainnya meliputi foto rontgen paru, CT scan kepala. CT scan dilakukan untuk menentukan adanya edema serebri atau penyakit saraf lainnya. Hasilnya biasanya normal, kecuali pada penyakit yang sudah sangat parah. 8) Lumbal Pungsi Lumbal pungsi biasanya dilakukan untuk menganalisa hitung jenis sel dan protein, cairan cerebrospinal, dengan syarat tidak ditemukan adanya peningkatan TIK. Meningitis bakteri: tekanan meningkat, cairan keruh/berkabut, leukosit dan protein meningkat, glukosa menurun, kultur posistif terhadap beberapa jenis bakteri. Meningitis virus: tekanan bervariasi, CSS jernih, leukositosis, glukosa dan protein normal, kultur biasanya negative Glukosa & LDH: meningkat LED: meningkat (Muttaqin, 2008). 2. Diagnosa Keperawatan Diagnosa keperawatan yang dapat diangkat pada kasus meningitis sesuai dengan pathway adalah sebagai berikut (NANDA, 2015). a. Resiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak berhubungan dengan peradangan dan edema pada otak dan selaput otak. b. Hipertermia berhubungan dengan inflamasi pada meningen dan peningkatan metabolisme tubuh c. Nyeri akut (kepala) berhubungan dengan iritasi selaput dan jaringan otak d. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan tingkat kesadaran e. Defisit perawatan diri berhubungan dengan penurunan tingkat kesadaran f. Gangguan rasa nyaman berhubungan dengan kontraksi otot sekitar saraf servikal

28

g. Gangguan

citra

tubuh

berhubungan

penumpukan

cairan

serebrospinal dalam otak h. Resiko cedera berhubungan dengan penurunan tingkat kesadaran.

29

3. Rencana Tindakan Keperawatan No 1

Diagnosa

Tujuan dan Kriteria Hasil (NOC)

Intervensi (NIC)

Resiko

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama Monitor TIK

ketidakefektifan

...x24 jam ketidakefektifan perfusi jaringan otak

1.1 Monitor status neurologi pasien

perfusi jaringan otak tidak terjadi dengan kriteria hasil:

1.2 Monitor jumlah dan karakteristik cairan serebrospinal

berhubungan dengan a) Warna kulit pada ekstremitas dalam batas

1.3 Monitor intake dan output pasien

peningkatan

1.4 Monitor suhu dan WBC pasien

TIK

dan edema serebral

normal b) Peningkatan tingkat kesadaran

1.5 Posisikan pasien dengan kepala dan leher dalam posisi netral

c) TTV dalam batas normal (TD: 120/80, RR 16- 1.6 Monitor lingkungan yang dapat menstimulus peningkatan TIK 20x/mnt, Nadi 80-100x/mnt, Suhu 36,5- 1.7 Kolaborasi pemberian antibiotik 37,5oC)

2

Hipertermia

Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama Penanganan demam

berhubungan dengan ...x24 jam pengaturan suhu tubuh pasien normal

2.1 Monitor suhu sesering mungkin

inflamasi

2.2 Monitor IWL (Insensible Water Loss)

meningen

pada dengan kriteria hasil: dan a) Suhu tubuh dalam rentang normal (36,537,5oC)

2.3 Monitor tekanan darah, nadi, dan RR 2.4 Selimuti pasien 2.5 Berikan cairan IV

30

No

Diagnosa peningkatan metabolisme tubuh

Tujuan dan Kriteria Hasil (NOC) b) Nadi dan RR dalam rentang normal (Nadi 80100x/menit, RR 16-20x/menit)

Intervensi (NIC) 2.6 Anjurkan untuk kompres pada lipatan paha dan ketiak 2.7 Kolaborasi pemberian obat antipiretik

c) Melaporkan kenyamanan suhu tubuh

3

Nyeri akut (kepala) Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama Manajemen nyeri berhubungan dengan ...x24 jam pasien dapat mengontrol nyeri dengan iritasi selaput dan kriteria hasil: jaringan otak

a) Menggunakan metode non-analgetik untuk mengurangi nyeri b) Menggunakan analgetik sesuai kebutuhan c) Melaporkan nyeri sudah terkontrol

3.1 Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan faktor presipitasi 3.2 Observasi reaksi non-verbal dari ketidaknyamanan 3.3 Gunakan teknik komunikasi

terapeutik untuk mengetahui

pengalaman nyeri pasien 3.4 Kontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri seperti suhu ruangan, pencahayaan, dan kebisingan 3.5 Ajarkan teknik non-farmakologi untuk mengatasi nyeri 3.6 Kolaborasi pemberian analgetik.

31

4. Discharge Planning Sebelum pasien pulang, perawat hendaknya memberikan rencana tindak lanjut atau discharge planning kepada pasien agar penyakit pasien tidak bertambah buruk. Rencana tindak lanjut yang dapat diberikan kepada pasien meningitis yaitu sebagai berikut: a. Anjurkan untuk minum obat sesuai petunjuk dokter dan menghubungi petugas kesehatan terdekat apabila obat dirasa tidak dapat memperbaiki gejala yang dirasakan. Bawalah obat saat melakukan kontrol ke pusat kesehatan. b. Anjurkan untuk istirahat yang cukup dengan pencahayaan yang redup apabila kepala terasa nyeri. c. Jangan berbagi makanan, minuman, alat makan, atau alat mandi. d. Hubungi petugas kesehatan terdekat apabila terdapat gejala pasien susah bangun, kaku kuduk, atau kejang. e. Anjurkan keluarga untuk memberikan dukungan kepada pasien untuk mempercepat proses penyembuhan.

32

I. Penatalaksanaan 1. Penatalaksanaan Keperawatan Penatalaksanaan keperawatan pada pasien dengan meningitis adalah sebagai berikut (Hidayat, 2008; Baughman & Hackley, 2003): a. Pemantauan berat badan, elektrolit serum, pertahankan status hidrasi seperti turgor kulit, jumlah urin, osmolaritas urin, berat jenis urin, input output, dan berat badan. b. Lindungi pasien dari cedera sekunder saat kejang atau saat mengalami perubahan tingkat kesadaran c. Bantu kebutuhan aktivitas dengan memberikan mobilisasi atau fisioterapi pada saat tidak kejang dan panas untuk mempertahankan range of motion (ROM). d. Lakukan fisioterapi paru dan batuk efektif apabila ditemukan adanya masalah kurangnya oksigenasi. e. Cegah terjadinya komplikasi terkait imobilitas pasien seperti dekubitus (pressure ulcers) karena tirah baring lama f. Berikan lingkungan yang tenang dan bebas dari kebisingan atau yang dapat memberikan stimulus yang besar.

33

2. Penatalaksanaan Medis Meningitis bakterial adalah kegawatdaruratan medik. Secara umum, tata laksana meningitis bakterial dapat dilihat pada gambar berikut (Tunnel et al., 2004): Algoritma tatalaksana meningitis bakterial

Diduga mengalami meningitis bakteri

Defisit neurologik fokal, riwayat kejang, riwayat penyakit neurologis dengan massa intrakranial

Tidak

Ya

Kultur darah dan pungsi lumbal CITO

Kultur darah CITO

Dexamethasone + terapi antibiotik empirik

Dexamethasone + terapi antibiotik empirik

Hasil analisis CSS sesuai meningitis bakterial

CT scan kepala: kontraindikasi pungsi lumbal tak ada

Pewarnaan gram dan kultur CSS

Pungsi lumbal

Dexamethasone + terapi antibiotik spesifik

34

Penatalaksanaan medis lebih bersifat mengatasi etiologi dan perawat perlu menyesuaikan dengan standar pengobatan sesuai tempat bekerja yang berguna sebagai bahan kolaborasi dengan tim medis. Penatalaksanaan medis dalam pemberian obat antikonvulsan dan antibiotik. Antibiotik yang digunakan merupakan antibiotik yang mampu melewati barier darah otak ke ruang subarakhnoid dalam konsentrasi yang cukup untuk menghentikan perkembangan bakteri. Biasanyya menggunakan sefaloposforin generasi keempat atau sesuai dengan hasil uji resistensi antibiotik agar pemberian antimikroba lebih efektif digunakan (Muttaqin, 2008). 1) Obat infeksi (meningitis tuberkulosa). a) Isoniazid 10 – 20 mg/kg BB / 24 jam, oral , 2x sendiri maksimal 500mg selama 1 ½ tahun b) Rifampisin 10 – 15 mg/kgBB/24 jam , oral, 1 x sehari selama 1 tahun c) Streptomisin sulfat 20 – 40 mg/ kg BB/ 24 jam, IM , 1-2 x sehari selama 3 bulan 2) Obat anti-infeksi (meningitis bakterial) a) Sefalosporin generasi ketiga b) Amfisilin 150 – 200 mg (400mg)/kgBB/24jam, IV, 4 – 6 x sehari. c) Kloramfenikol 50 mg/kgBB/24jam IV 4xsehari 3) Pengobatan simtomatis : a) Antikonvulsi, diazepam IV ; 0,2 – 0,5 mg/kgBB/dosis atau rektal 0,4-0,6 mg/kgBB atau Feniton 5mg/kgBB/24jam, 3xsehari atau Fenobarbital 5-7mg/kgBB/24jam, 3xsehari b) Antipiretik : parasetamol / asam salisilat 10 mg/kgBB/dosis c) Antiedema serebri: Diuretik oosmotik (seperti manitol) dapat digunakan untuk megobati edema serebri d) Pemenuhan oksigenasi dengan O2

35

e) Pemenuhan hidrasi atau pencegahan syok hipovolemik: pemberian tambahan volume cairan intravena

Pemilihan antibiotik yang tepat adalah langkah yang krusial, karena harus bersifat bakterisidal pada organisme yang dicurigai dan dapat masuk ke CSS dengan jumlah yang efektif. Pemberian antibiotik harus segera dimulai sambil menunggu hasil tes diagnostik dan nantinya dapat diubah setelah ada temuan laboratorik (Ropper et al., 2005). Terapi Empirik pada Meningitis Bakterialis

Terapi Antibiotik Spesifik pada Meningitis Bakterial

36

J. Algoritma Penatalaksanaan Keperawatan dan Kolaborasi Pemeriksaan Penunjang : 1. Pemeriksaan pungsi lumbal a. Meningitis serosa : tekanan bervariasi, leukositosis, glukosa protein normal, kultur (-). b. Meningitis purulent : Tekanan meningkat, cairan keruh, leukositosis, protein ↑, Glukosa↓, kultur (+) 2. Pemeriksaan darah a. Meningitis serosa : Leukosit ↑ b. Purulenta : Leukosit ↑ 3. Pemeriksaan radiologi a. Meningitis serosa : Foto dada, foto kepala, ct-scan b. Meningitis purulenta : Foto kepala (periksa mastoid, sinus paranasal, gigi geligi) dan foto dada.

Anamnesa: 1. Subjektif a. Keluhan utama : Panas tinggi, kejang, ↓ kesadaran, sakit kepala b. Riwayat penyakit dahulu : Infeksi jalan nafas atas, otitis media, mastoiditis, anemia sel sabit, hemoglobinopatis, tindakan bedah saraf, trauma kepala. 2. Objektif a. Trias meningitis : demam, nyeri kepala, dan kaku kuduk b. Suhu tubuh 38-41℃ c. Kemerahan pada kulit, turgor kering, berkeringat d. Penurunan kesadaran (letargi), (supor), (semi koma), tanda kernik, brudinzinski + e. Pemeriksaan saraf kranial N1-N12

Meningitis

Primary Survey

Airway

a. Pada pasien dengan meningitis biasanya terjadi ↓ kesadaran sehingga menyebabkan lidah jatuh ke belakang dan dapat menyubat saluran napas. b. Bunyi napas tambahan seperti ronkhi pada klien dengan meningitis tuberkulosa dengan penyebaran primer di paru.

[00031] Ketidakefektifan bersihan jalan napas [00032] Ketidakefektifan pola napas

Manajemen : 1. Buka jalan napas 2. Identifikasi pemasangan OPA/ NPA/ LMA 3. Suction jika diperlukan 4. Auskultasi suara napas sebelum dan sesudah suction 5. Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi.

Breathing

Circulation

Disability

Inspeksi : Batuk, produksi sputum, penggunaan otot bantu napas. Auskultasi : Bunyi napas tambahan seperti ronkhi pada klien dengan meningitis tuberkulosa dengan penyebaran primer di paru.

Hipertermi, tekanan darah dapat normal atau meningkat, hipotensi terjadi pada tahap lanjut, bunyi jantung normal pada tahap dini, disritmia, kulit dan membran mukosa pucat, dingin, sianosis pada tahap lanjut.

Menilai kesadaran dengan cepat, apakah sadar, hanya respon terhadap nyeri atau atau sama sekali tidak sadar. Tidak dianjurkan mengukur GCS.

[00032] Ketidakefektifan pola napas [00030] Gangguan pertukaran gas

Manajemen : 1. Identifikasi pemenuhan kebutuhan oksigenasi 2. Berikan terapi oksigenasi sesuai kebutuhan 3. Monitor pernapasan (frekuensi, irama, kedalaman) 4. Auskultasi bunyi napas

[00007] Hipertermia [00204] Ketidakefektifan perfusi jaringan perifer

Exposure

Lepaskan baju dan penutup tubuh pasien agar dapat dicari semua cidera yang mungkin ada, jika ada kecurigan cedera leher atau tulang belakang.

[00035]Risiko cidera

Manajemen : Imobilisasi Manajemen : 1. Terapi cairan melalui IV line 2. Identifikasi adanya tandatanda syok 3. Monitor status neurologi pasien 4. Monitor intake dan output cairan 5. Monitor suhu dan WBC 6. Kolaborasi dalam pemberian antipiretik dan antibiotik

37

BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Meningitis adalah radang pada selaput otak yang dapat disebabkan oleh bakteri, virus, parasit, jamur, dan keadaan non infeksi seperti neoplasma. Gejalanya dikenal dengan trias meningitis, yaitu adanya demam, sakit kepala dan kaku kuduk. Pemeriksaan fisik yang biasanya dilakukan untuk mengenali gejala Meningitis adalah kaku kuduk dan rangsang meningeal sign. Sementara, pemeriksaan penunjang yang sangat dibutuhkan adalah CSS melalui lumbal pungsi. Penatalaksanaan medis lebih bersifat mengatasi etiologi dan perawat perlu menyesuaikan dengan standar pengobatan sesuai tempat bekerja yang berguna sebagai bahan kolaborasi dengan tim medis.

B. Saran 1. Bagi Institusi Pendidikan Diharapkan institusi dapat memberikan tambahan literatur tentang manajemen kegawatdaruratan meningitis, baik dari konsep maupun pengkajian dan pemeriksaan fisik serta penatalaksanaan awal yang harus diberikan, sehingga dapat dijadikan referensi bagi mahasiswa dan update ilmu pengetahuan. 2. Bagi Tenaga Kesehatan Penatalaksanaan yang efektif dan efisien pada pasien untuk mendapatkan hasil maksimal dan mencegah terjadinya komplikasi. 3. Bagi Mahasiswa Diharapkan

mahasiswa

mampu

mengetahui

pengkajian,

pemeriksaan fisik, dan manajemen kegawatdaruratan neurologi sehingga dapat menerapkannya pada praktik klinik keperawatan di kemudian hari.

DAFTAR PUSTAKA

38

Arydina, Triono, A., & Herini, E. 2014. Bacterial Meningeal Score (BMS) Sebagai Indikator Diagnosis Meningitis Bakterialis di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta. Jurnal Sari Pediatri, Vol. 15, No. 5, 274-280. Baughman, D., & Hackley, J. 2003. Medical Surgical Nursing 10th Edition. Philadelphia. Bulechek, Gloria, Howard K, Joanne M., Cheryl M. 2012. Nursing Interventions Classification (NIC) Sixth Edition. Elsevier Mosby. Hidayat, A. A. 2008. Pengantar Ilmu Kesehatan Anak untuk Pendidikan Kebidanan. Jakarta: Salemba Medika. Mayo Clinic Staff. 2015. Diseases and Conditions Meningitis. http://www.mayoclinic.org/diseases-conditions/meningitis/basics/testsdiagnosis/con-20019713. Meningitis Foundation of America inc. 2013. Understanding Meningitis. http://www.musa.org/understanding_meningitis. Mesranti, M. 2011. Karakteristik Penderita Meningitis Rawat Inap di RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2005-2008. http://repository.usu.ac.id/ handle/123456789/23705. Moorhead, Sue, Marion Johnson, Meridean L. Maas, Elizabeth Swanson. 2012. Nursing Ooutcomes Classification (NOC): Measurement of Health Outcomes Fifth Edition. Elsivier Mosby. Muttaqin, A. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Dengan Gangguan Sistem Persarafan. Jakarta: Salemba Medika. NANDA. 2015. Diagnosis Keperawatan: Definisi dan Klasifikasi 2012-2014. Jakarta: EGC. Price, S, Wilson L. M. 2006. Patofisiologi Edisi 6. Jakarta: EGC Puspitawati, Ira. 2009. Psikologi Faal. Jakarta: Universitas Gunadarma Schut, E. S., Brouwer, M. C., Scarborough, M., Mai, N. T. H., Thwaites, G. E., Farrar, J. J., … van de Beek, D. (2012). Validation of a dutch risk score predicting poor outcome in adults with bacterial meningitis in vietnam and malawi. PLoS ONE, 7(3), 5–9. https://doi.org/10.1371/journal.pone.0034311

Related Documents

Woc Aki.docx
April 2020 22
Woc Bph.doc
April 2020 27
Woc Myelitis.docx
June 2020 18
Woc Nia.docx
December 2019 26
Woc Sc.docx
October 2019 37

More Documents from "Sella Plk"