Windi Agustin _d1d016063.docx

  • Uploaded by: Tity Elviaa
  • 0
  • 0
  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Windi Agustin _d1d016063.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 4,483
  • Pages: 20
AKTIVITAS HARIAN DAN PERILAKU BURUNG UNTA BETINA (Struthio camelus Linnaeus, 1758) DI KEBUN BINATANG TAMAN RIMBO JAMBI

DISUSUN OLEH : ‘ WINDI AGUSTIN D1D016063

DOSEN PENGAMPU : JAUHAR KHABIBI S.Hut.,M.si

PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS KEHUTANAN UNIVERSITAS JAMBI 2019

I. PENDAHULUAN 1.1

Latar Belakang Konservasi sumber daya alam hayati merupakan pengelolaan sumber daya

alam hayati yang pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman dan nilainya (UU Nomor 5 Tahun 1990). Upaya dalam mempertahankan (melestarikan) populasi flora fauna dapat berupa konservasi exsitu maupun konservasi in-situ. Konservasi ex-situ adalah kegiatan konservasi diluar habitat aslinya, dimana satwa tersebut diambil, dipelihara pada suatu tempat tertentu yang kemudian dijaga keamanan maupun kesesuaian ekologinya. Konsep konservasi ex-situ harus memperhatikan kesejahteraan satwa, yaitu memenuhi seluruh standar minimum kesejahteraannya. Standar minimum kesejahteraan satwa diantaranya bebas dari rasa lapar dan haus, bebas dari ketidaknyamanan lingkungan, bebas dari rasa sakit, luka dan penyakit, bebas dari rasa takut dan tertekan serta bebas untuk berperilaku alami (Peraturan Dirjen PHKA No P.9/IV-SET/2011). Berdasarkan standar ini, sedikitnya suatu lembaga ex-situ harus mengelola dengan baik kandang, pakan, dan perawatan serta kesehatan dari satwa yang ada di penangkaran sehingga satwa tersebut mampu berkembangbiak dengan baik. Kegiatan yang dilakukan dalam konservasi ex-situ salah satunya adalah penangkaran satwa. Penangkaran diartikan sebagai suatu kegiatan untuk mengembangbiakan jenis-jenis satwa liar dan tumbuhan alam, bertujuan untuk memperbanyak populasinya dengan mempertahankan kemurnian jenisnya (Permenhut no P.19 Tahun 2005). Berdasarkan tujuannya, penangkaran dapat dibedakan dua macam, yakni penangkaran yang ditujukan untuk melestarikan jenis-jenis satwa yang berada dalam keadaan langka yang akan segera punah apabila perkembangbiakannya tidak dibantu oleh campur tangan manusia dan penangkaran yang ditujukan untuk mengembangbiakan jenis-jenis satwa liar yang memiliki nilai ekonomis tinggi (Thohari, 1987). Di provinsi Jambi, lembaga konservasi ex-situ yang melaksanakan program penangkaran adalah Kebun Binatang Taman Rimbo. Satwa yang berada di penangkaran cukup beragam, salah satunya dari jenis burung. Kegiatan 2

penangkaran burung tidak hanya sekedar untuk kegiatan konservasi jenis dan peningkatan populasi tetapi juga dapat dimanfaatkan untuk kegiatan pendidikan, penelitian, dan pengembangan wisata (Setio dan Takandjandji, 2007). Burung memiliki manfaat yang besar dalam menjaga keseimbangan ekosistem karena perannya di dalam rantai makanan, seperti sebagai pengendali serangga dan hama, membantu proses penyerbukan serta sumber plasma nuftah. Jenis-jenis burung yang berada di penangkaran Taman Rimbo tidak hanya yang berasal dari jenis lokal namun juga jenis yang berasal dari luar daerah Jambi lainnya. Salah satu jenis burung yang ditangkarkan adalah burung unta (Struthio camelus). Burung unta digolongkan dalam keluarga Ratitae yang berarti burung yang tidak bisa terbang dan merupakan burung terbesar di dunia. Pada daftar merah International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN) tahun 2014 burung unta tergolong kedalam status Least Concern (beresiko rendah). Burung unta merupakan unggas budidaya terbesar yang sudah lama dikembangkan menjadi industri khususnya di negara-negara maju seperti Amerika Serikat dan Eropa. Pesatnya perkembangan budidaya burung unta disebabkan oleh peluang bisnis yang menjajikan. Permintaan dunia akan daging burung unta terutama disebabkan sifat khasnya yang rendah kolestrol, kalori, lemak tetapi kaya akan protein. Produk burung unta lainnya seperti telur maupun produk samping seperti kulit masih mempunyai nilai ekonomis yang tinggi. Kulitnya yang spesifik lebih kuat dibandingkan kulit sapi atau buaya. Bulu yang mempuyai daya eloktrostatis banyak digunakan untuk pembersih pada industri pengecetan mobil dan komputer (Alfan, 2000). Keberhasilan upaya pengelolaan pengembangbiakan burung unta (Struthio camelus) sangat ditentukan oleh kemampuan pengelolaan dalam memiliki pengetahuan yang cukup tentang cara hidup serta perilaku harian yang dilakukan oleh burung unta (Struthio camelus) agar mampu diketahui kendala atau hambatan perkembangbiakan satwa ini. Aktivitas atau perilaku satwa merupakan ekspresi satwa terhadap faktor internal dan eksternal yang dilakukan sebagai suatu respon dari tubuh terhadap rangsangan dari lingkungannya (Suratmo, 1979). Perilaku satwa terjadi karena pengaruh genetis (perilaku bawaan lahir atau innate

3

behavior), perilaku satwa juga dapat terjadi karena akibat proses belajar atau pengalaman yang dapat disebabkan oleh lingkungan. Melalui penelitian yang berkaitan dengan aktivitas harian burung unta (Struthio camelus) diharapkan dapat memudahkan dalam menentukan tindakan yang tepat dan efektif dalam keberhasilan usaha penangkaran burung unta. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang “Aktivitas Harian Burung Unta (Struthio camelus Linnaeus, 1758) di Kebun Binatang Taman Rimbo Jambi”. 1.2

Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah mengamati aktivitas harian burung

unta (Struthio camelus) yang meliputi aktivitas makan, minum, defekasi, urinasi, grooming, lokomosi, istirahat, berjemur dan bersuara.

1.3

Manfaat Penelitian Memperoleh informasi mengenai aktivitas harian burung unta, serta menjadi

bahan masukan untuk perbaikan kegiatan penangkaran guna mendukung kegiatan pelestarian dan pemanfaatannya.

4

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1

Taksonomi Burung Unta (Struthio camelus) Klasifikasi burung unta menurut Ulrey dan Allen (1996) adalah sebagai

berikut: Kingdom : Animalia Filum

: Chordata

Kelas

: Aves

Ordo

: Struthioniformes

Famili

: Struthionidae

Genus

: Ratitae

Spesies

: Struthio camelus Linnaeus, 1758

Burung unta memiliki 6 sub spesies, satu diantaranya telah punah sejak tahun 1914 yaitu Struthio Camelus Syriacus yang berasal dari gurun pasir Syria, dua sub spesies yang mempunyai banyak kemiripan digabungkan menjadi satu, sehingga sekarang tinggal empat sub spesies. 2.2

Morfologi Burung Unta Burung merupakan salah satu kelompok terbesar vertebrta yang banyak

dikenal dan diperkirakan ada sekitar 8600 jenis yang tersebar di dunia. Burung termasuk hewan berdarah panas seperti binatang menyusui, tetapi burung sebenarnya lebih dekat berkerabat dengan reptil, yang berevolusi sekitar 135 juta tahun yang lalu serta

dapat menempati hampir seluruh habitat yang ada

(Mackinnon, 1992). Pengenalan tentang identifikasi morfologi burung merupakan perhatian terhadap kombinasi sifat burung termasuk penampilan tubuh, suara, perilaku dan tempat dimana burung tersebut hidup (habitat). Hal yang paling penting dalam melakukan pengamatan adalah mencatat dengan rinci tentang burung seperti apa yang dilihat oleh pengamat (MacKinnnon, 1992). Walaupun kebanyakan burung mampu terbang, namun terdapat beberapa spesies yang tidak mampu terbang seperti burung penguin, unta, rea, emu, kiwi, dan lain-lain (Jasin, 1992). Burung memiliki beberapa tipe cakar yang merupakan adaptasi dari pengaruh habitat dan fungsi, diantaranya cakar tajam untuk 5

mencengkram mangsanya, cakar pemanjat pohon, cakar penggali tanah dan sarasah, cakar berselaput untuk berenang, cakar kuat untuk berlari dan merobek mangsa (Djuhanda, 1983). Burung unta digolongkan dalam keluarga Ratitae yang berarti burung yang tidak bisa terbang dan merupakan burung terbesar di dunia. Burung unta tumbuh cepat di usia muda dan melambat seiring dengan bertambahnya usia mereka. Degen et al. (1991) menyatakan bahwa, pada 6 hari pertama anak burung unta mengalami penambahan berat badan sebesar 7,6 g/hari, naik 43,4 g/hari antara 614 hari, 114 g/hari antara 14-21 hari dan 145 g/hari antara 21-35. Tertinggi ratarata pertambahan berat badan yaitu 455 g yang terjadi antara 70 dan 98 hari. Du Preez et al. (1992) menunjukkan bahwa berat maksimum rata-rata burung unta berbeda antar daerah. Di Oudtshoorn, Afrika selatan, berat dewasa burung unta jantan 102,1 kg dan berat dewasa burung unta betina 98,4 kg sedangkan di Namibia 99,6 kg berat burung unta jantan dewasa dan 94,2 kg untuk berat burung unta betina dewasa. Menurut Aganga et al. (2003) burung unta merupakan herbivora monogastrik yang efektif mencerna serat tanaman, khususnya hemiselulosa dan selulosa yang dapat membuat kontribusi besar untuk energi metabolisme. Burung unta menghabiskan 70 sampai 80 % waktu pada siang hari untuk makan. Di alam liar, kebutuhan pakan burung unta terdiri dari 60 % tanaman, 15 % buah-buahan dan kacang-kacangan, 4 - 5 % telur serangga dan mamalia kecil serta sisa nya mereka mengkonsumsi pasir dan batu. Burung unta memiliki pertumbuhan badan yang cepat, terutama pada 210 hari pertama kehidupan mereka yang dapat mencapai 90-100 kg. Vertebrata tidak dapat mensintesis enzim yang diperlukan untuk mencerna serat tanaman, tetapi banyak herbivora dan beberapa burung telah mengatasi hal ini dengan adanya simbiosis dengan mikroorganisme dalam usus. Berbeda dengan saluran pencernaan ayam dan kalkun, burung unta tidak memiliki tembolok untuk menyimpan makanan. Namun burung unta memiliki perut yang relatif besar dan memungkinkan mereka untuk menyimpan makanan dalam jumlah yang banyak (Fuller, 1984)

6

Burung unta memiliki kaki yang panjang dan kuat. Uniknya, telapak kaki hanya mempunyai dua jari. Kaki inilah yang digunakan sebagai senjata untuk mempertahankan diri apabila terpaksa bertarung melawan musuhnya. Burung yang satu keluarga dengannya seperti burung Kasuari dan Emu mempunyai tiga jari sedangkan burung Rhea mempunyai empat jari. Oleh karena burung tersebut tidak bisa terbang, maka mempunyai keistimewaan dalam hal berjalan. Setiap langkah burung unta dapat mencapai panjang 6 - 8 meter dan kecepatan larinya dapat mencapai 60 km/jam serta dapat mempertahankan kecepatan tersebut dalam 10 sampai 20 menit (Halam, 1992). Untuk membedakan jenis kelamin burung unta dewasa cukup mudah, jika paruh dan kakinya berwarna merah berarti jenis kelamin jantan, tetapi jika paruh dan kakinya berwarna hitam keabu-abuan berarti jenis kelamin betina. Warna bulu burung unta jantan yang hitam lebih indah daripada warna bulu burung unta betina yang abu-abu (Iswanto dan Raharjo, 1996). Burung unta umumnya berkembang biak selama musim kemarau antara bulan Juli dan Oktober, dimana burung unta jantan akan menunjukkan ciri prilaku seksual seperti jongkok, memutar badan seolah menari dan membuka sayap. Sewaktu musim kawin, seekor burung unta betina dapat menghasilkan 6 - 8 butir telur dalam waktu 18 hari. Pernah ditemui di Afrika Utara dan Afrika Selatan, dalam satu lubang terdapat 15 hingga 30 butir telur (Brown dan Britton, 1980). Burung unta memiliki nisbah kelamin (sex ratio) dengan perbandingan satu jantan 3 sampai 5 betina (Thomson, 1965). Burung unta merupakan salah satu jenis burung yang berasal dari benua Afrika. Burung terbesar di dunia ini habitat asalnya adalah daerah savana dengan tumbuhan peneduh sebagai atap tempat beistirahat. Burung unta lebih menyukai tempat hidup yang kering, berpasir dan berbukit, tanah lapang atau padang yang luas serta tidak menyukai semak belukar burung unta dapat mencapai umur hingga 70 tahun (Harrison, 1982). Pemeliharan burung unta secara intensif dapat menampung sebanyak 30 ekor burung unta dengan luas kawasan sekitar 4 hingga 6 hektar (Abdul Razak, 2000). Burung unta juga mempunyai daya adaptasi yang baik di daerah tropis maupun sub tropis. Di habitat alaminya, burung ini hidup berkelompok kecil dan

7

kadangkala membaur diantara zebra. Burung unta akan berkelana jauh menghindari kekeringan untuk mencari sumber air dan makanan (Adi, 1996). 2.3

Tingkah Laku dan Aktivitas Burung Unta Tomaszewska et al. (1991) menyatakan bahwa tingkah laku satwa dapat

diklasifikasikan menjadi beberapa macam yaitu: a.

Ingestif : Tingkah laku makan, minum, menyusui, dan kegiatan lain yang berhubungan dengan hal tersebut

b.

Shelter seeking : Tingkah laku pencarian tempat berteduh, berlindung dari panas matahari atau suhu udara yang sangat dingin.

c.

Investigatory : tingkah laku ini merupakan karakteristik yang penting dari beberapa spesies satwa untuk melihat bahaya atau menemukan temannya.

d.

Alelomimetik : Tingkah laku kecendrungan untuk berkelompok dan terikat dalam tingkah laku yang sama pada waktu tertentu.

e.

Agonistik : Tingkah laku ini meliputi menonjolkan postur tubuh, melakukan pendekatan, menakut-nakuti, terbang, berselisih, berkelahi, melarikan diri dan tingkah laku yang ada hubungannya dengan agresivitas, kepatuhan, dan pertahanan.

f.

Eliminatif : tingkah laku defekasi dan urinasi. Tingkah laku ini biasa dimanfaatkan satwa untuk menandai aktivitas seksual, menandai daerah kekuasannya dan berkomunikasi dengan sesama jenisnya.

g.

Care-giving : Tingkah laku memberi perhatian dari induk kepada anaknya.

h.

Sexual or reproductive : Tingkah laku sexual pada jantan, dengan cara mengikuti betina, menggigit betina, mengeluarkan suara serak atau gaduh, mencium vagina betina dan hal lainnya. Perilaku sexual pada betina dengan menggosok-gosokan lehernya pada tubuh jantan.

i.

Playing : Tingkah laku bermain, berlari bersama, meloncat dan saling menaiki. Biasanya tingkah laku ini sering terlihat pada satwa yang masih muda. Burung unta merupakan burung yang hidup secara berkelompok yang

terdiri atas 20-30 ekor. Semakin besar suatu kelompok maka semakin aman. Kelompok besar telah mengurangi prilaku waspada burung unta terhadap

8

keberadaan predator sebesar 34,9 % dan menghabiskan waktu yang lebih bnyak untuk makan (McKeegan et al., 1997). Menurut Mushi et al. (2008) beberapa perilaku yang dilakukan oleh burung unta adalah sebabagai berikut: a)

Kantling: yaitu perilaku memamerkan dari burung unta jantan terhadap burung unta betina dengan maksud merayu serta menangkal pesaing burung unta jantan lain. Hal ini dilakukan dengan merebahkan lutut ketanah, mengipasi kedua sayap serta memukulkan kepala ke tulang belakang burung unta betina.

b)

Perilaku kenyamanan: yaitu dengan merawat bulu dan mandi pasir. Pembersihan tidak hanya terbatas pada bulu tetapi juga kepala, leher dan kaki. Jika tidak ada gangguan, burung unta dapat menghabiskan waktu 30 menit untuk membersihkan diri.

c)

Parental teaching: yaitu perilaku yang dilakukan dengan gerakan mematuk tanah.

d)

Thermo-regulation: yaitu perilaku dengan mengepakkan sayap ke paha, bernapas terengah-engah, menguap, biasanya terjadi pada sore hari untuk menurunkan suhu tubuh.

e)

Twirling and Dancing: perilaku ini terjadi ketika burung unta tiba-tiba ketakutan. Hal ini dilakukan dengan berbalik dan mengepakkan sayap mereka seolah-olah menari. Cooper dan Palmer (1994) mengemukakan bahwa burung unta liar

memakan berbagai macam tumbuhan, biji bijian, buah-buahan, bunga-bunga, tunas yang masih muda, serangga, dan vertebrata kecil. Bagian dalam perutnya kadang-kadang juga berisi benda-benda yang tidak biasa karena mereka mempunyai kebiasaan mematuk dan menelan benda-benda keras. Burung unta juga memakan cukup banyak pasir dan kerikil untuk membantu menghancurkan makanan di dalam alat pencernaannya. Makanan yang dipatuknya ditumpuk di kerongkongan sebelum ditelan melalui leher dan masuk ke dalam usus. Burung unta meminum air bila ditemukan, namun burung unta dapat bertahan hidup untuk jangka waktu yang relatif lama tanpa minum asalkan makanannya tumbuhan muda dan cukup

9

mengandung air. Oleh karena itu, pada musim kering, keberadaan makanan penyimpan air sangat membantu burung unta dalam memenuhi kebutuhan air (Degen et al. 1991). Burung unta merupakan satwa diurnal yang aktif melakukan aktivitas pada siang hari, sedangkan pada malam hari burung unta cenderung untuk tidur (Deeming, 1998). Hal ini didukung oleh Davies (2003), yang melaporkan bahwa burung unta cenderung untuk duduk saat matahari terbenam dan tidak aktif sepanjang malam. Saat burung unta memburu serangga atau vertebrata untuk dijadikan santapannya, burung unta akan bergerak zig-zag mengikuti kemana satwa buruannya tersebut berlari. Posisi makan burung unta yang senantiasa menurunkan lehernya, membuatnya mudah diserang predator-predator gurun dan savana seperti leopard, singa atau Cheetah. Untuk mengantisipasinya, burung unta sering menjulurkan lehernya yang panjang ke atas disela-sela mereka mencari makan. Hal itu dilakukan untuk mengamati daerah sekelilingnya terhadap tandatanda bahaya yang mengancam dirinya (Sambraus, 1994). Setelah tidak berada di habitat aslinya, burung unta atau yang sering juga disebut burung bodoh ini akan lebih rakus lagi. Burung unta akan memakan apa saja yang ditemukannya. Sebagai gambaran, di kebun binatang London disebutkan bahwa, burung unta pernah menelan beberapa benda yang tidak lazim untuk dimakan, seperti sarung tangan, sapu tangan, kancing baju, pensil, beberapa koin, sepasang kalung emas dan jam tangan (Lesson dan Summer, 1997). 2.4

Kegiatan Penangkaran Menurut Direktorat Jendral Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam

(Dirjen PHPA) (1985) penangkaran adalah semua kegiatan yang berkaitan dengan budidaya flora dan fauna liar dan pengelolaannya menyangkut usaha mengumpulkan bibit, mengembangbiakan, memelihara, membesarkan, dan restocking dengan tujuan mempertahankan kelestarian satwaliar dan tumbuhan alam tersebut, maupun memperbanyak populasinya untuk memenuhi kebutuhan manusia. Penangkaran dalam Peraturan Menteri Kehutanan No. P.19/MenhutII/2005 adalah suatu upaya perbanyakan melalui pengembangbiakan dan pembesaran tumbuhan dan satwa liar dengan tetap mempertahankan jenisnya.

10

Thohari (1987) mengemukakan bahwa, penangkaran diartikan sebagai suatu kegiatan untuk mengembangbiakan jenis-jenis satwa liar dan tumbuhan alam, bertujuan untuk memperbanyak populasinya dengan mempertahankan kemurnian jenisnya, sehingga kelestarian dan keberadaannya di alam dapat dipertahankan yang meliputi pula kegiatan mengumpulkan bibit atau induk, pembiakan atau perkawinan atau penetasan telur, pembesaran anak, serta restocking atau pemulihan populasinya di alam. Berdasarkan atas tujuannya, penangkaran dapat dibedakan dua macam, yakni penangkaran yang ditujukan untuk melestarikan jenis-jenis satwa yang berada dalam keadaan langka yang akan segera punah apabila perkembangbiakannya tidak dibantu oleh campur tangan manusia dan penangkaran yang ditujukan untuk mengembangbiakan jenis-jenis satwa liar yang memiliki nilai ekonomis tinggi. Menurut Helvoort et all. (1986), berdasarkan tujuannya penangkaran dibagi menjadi dua, yaitu untuk tujuan budidaya dan konservasi. Selanjutnya dijelaskan bahwa ada dua kriteria yang digunakan dalam menetapkan jenis-jenis satwa liar yang perlu ditangkar, yaitu : a.

Suatu jenis perlu ditangkar apabila secara alami populasinya mengalami penurunan secara tajam dari waktu ke waktu sehingga terancam punah.

b.

Suatu jenis perlu ditangkar apabila mempunyai potensi ekonomi tinggi dan tingkat pemanfaatan bagi manusia terus bertambah, sehingga kelestariannya terancam. Kebun Binatang berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan

Perkebunan Nomor: 479/Kpts-II/1998 memiliki kriteria sebagai berikut: 1) Sebagai

lembaga

konservasi

ex-situ

yang

melakukan

usaha

perawatan/pemeliharaan dan koleksi berbagai jenis satwa, baik yang dilindungi maupun yang tidak dilindungi undang-undang dan atau ketentuan CITES dalam rangka upaya pelestarian. 2) Sebagai tempat penangkaran jenis satwa liar dalam rangka pelestarian, khususnya untuk jenis yang terancam punah. 3) Sebagai

sarana

perlindungan

dan

pelestarian

alam,

pendidikan,

pengembangan ilmu pengetahuan dan penelitian serta sarana rekreasi yang sehat.

11

Kegiatan penangkaran burung didasarkan pada PP No. 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa serta PP No. 8 tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwaliar yang merupakan bagian dari upaya pemanfaatan jenis flora-fauna liar dengan tujuan agar dapat didayagunakan secara lestari untuk sebesar-besarnya demi kemakmuran rakyat. 2.5

Aktivitas Harian Burung Unta di Berbagai Penangkaran Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Amado et al. (2011)

bahwa, aktivitas yang dilakukan oleh burung unta terdiri dari: berdiri, berjalan, berlari, minum, makan, coprophagia (makan kotoran), lithophagia (makan batubatu kecil), aggresi (mendesis atau menendang diarahkan pada burung lain), mandi debu, waspada, duduk dengan kepala tinggi, duduk dengan kepala rendah, menari dan mematuk kayu atau pagar. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Mushi et al. (2008) di Mokolodi aktivitas yang dilakukan oleh burung unta adalah: Kantling, Aggression, Twirling, Vocalization, Parental Teaching, Pecking, Bathing, Thermoregulation dan Feather pecking.

2.6

Studi Kasus Penyakit Pada Burung Unta Berdasarkan hasil pemeriksaan terhadap sampel burung unta yang dilakukan

oleh Fakultas Kedokteran Hewan, Istitut Pertanian Bogor (1999) bahwa burung unta milik PT. Cisada Kemasuri di Desa Cipayungsari Kecamatan Cempaka, Kabupaten Purwakarta terserang penyakit Anthraks. Wabah penyakit Anthraks menyebabkan kematian yang akut pada burung unta. Selain menyerang burung unta, penyakit ini juga menginfeksi manusia dengan gejala gatal, kulit kemerahan, demam, mual, bisul pada kaki, bercak kemerahan pada kulit tangan, batuk dan diare.

12

III. METODE PENELITIAN 3.1

Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan april sampai mei 2019 Lokasi

penelitian di Kebun Binatang Taman Rimbo Jambi Jalan Ki Bajuri, Kelurahan Talang Bakung, Kecamatan Jambi Selatan, Kota Jambi.

3.2

Alat dan Objek Penelitian Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah tallysheet pengamatan,

meteran, kamera DSLR, teropong/binokuler, thermohygrometer, buku catatan, ‘alat tulis, dan alat pencatat waktu. Penelitian dilakukan terhadap satu ekor burung unta betina yang berada di Taman Rimbo Jambi sebagai objek yang diamati.

3.3

Jenis Data Jenis data yang diamati pada penelitian ini terdiri dari data primer dan data

sekunder. Data primer yang dikumpulkan terdiri dari aktivitas harian burung unta, pengelolaan kandang, pengelolaan pakan, perawatan kesehatan dan penyakit serta suhu dan kelembaban. Sedangkan data sekunder yang dikumpulkan meliputi kondisi lokasi Taman Rimbo, sejarah Taman Rimbo, Standar Operasional Prosedur (SOP) Taman Rimbo, jumlah tenaga kerja, asal usul satwa, serta kondisi satwa. Klasifkasi data tersebut dapat dilihat pada Tabel 1.

13

Tabel 1. Klasifikasi jenis data pengamatan Aspek Pengamatan

Jenis Data

Aktivitas Harian

a. b. c. d. e. f. g. h. i.

pengelolaan kandang

a. b. c. d. e.

Aktivitas makan Minum Defekasi Urinasi Lokomosi Grooming Istirahat Berjemur Bersuara

Klasifikasi Primer Sekunder         

Jenis dan ukuran kandang Konstruksi kandang Pengkayaan kandang Suhu dan kelembaban kandang Pengamanan dan perawatan kandang f. Perawatan kesehatan dan pengendalian penyakit

    

g. Adaptasi



Pengelolaan Pakan

a. b. c. d. e. f.

Jenis pakan Sumber pakan Volume pakan Waktu pemberian pakan Frekuensi pemberian pakan Cara pemberian pakan

     

Data Pendukung

a. b. c. d. e. f.

Kondisi lokasi kebun binatang Sejarah kebun binatang SOP pengelolaan kebun binatang Suhu dan kelembapan Asal usul satwa Kondisi satwa di kebun binatang

3.4



     

Metode Pengumpulan data

3.4.1 Data Primer a.

Pengamatan Aktivitas Harian Burung Unta (Srtuthio camelus) Pengumpulan data aktivitas harian dilakukan dengan metode focal animal

sampling. Metode focal animal sampling yaitu metode pengambilan data pengamatan tingkah laku yang menggunakan satu ekor individu satwa sebagai obyek pengamatan dan menggunakan teknik pencatatan tingkah laku satwa

14

tersebut pada interval waktu tertentu (Martin dan Bateson, 1993). Pengambilan dan pengumpulan data aktivitas harian dilakukan selama 10 hari. Pengamatan dilakukan selama 9 jam mulai dari pukul 07.00 – 12.00 dan pukul 13.00 - 17.00 WIB (540 menit) dengan interval pengamatan 10 menit. Terdapat satu individu burung unta yang diamati di Kebun Binatang Taman Rimbo Jambi berjenis kelamin betina yang diberi nama Upik. Burung unta tersebut memiliki usia ± 3 tahun, dengan kondisi sehat namun kondisi tubuh terlihat sangat kurus. Untuk mendapatkan data mengenai suhu dan kelembaban maka pengamatan dilakukan secara langsung (observasi). Pengukuran terhadap suhu dan kelembaban di dalam kandang dilakukan pada pagi hari (08.00 WIB), siang hari (12.00 WIB) dan sore hari (16.00 WIB) menggunakan thermohygrometer. b.

Aspek Pengelolaan Data mengenai aspek pengelolaan yang meliputi kondisi kandang,

menajemen pakan, perawatan kesehatan dan penyakit serta adaptasi dikumpulkan dengan beberapa metode yang terdapat pada Tabel 2. Tabel 2. Metode pengumpulan data aspek pengelolaan. Aspek Pengamatan Kondisi Kandang

Jenis Data -

Metode Penelitian

Jenis dan ukuran kandang Konstruksi kandang Pengkayaan kandang Suhu dan kelembaban kandang Adaptasi Pengamanan dan perawatan kandang

Observasi

Pakan

-

Jenis pakan Sumber pakan Waktu pemberian pakan Cara pemberian pakan Frekuensi pemberian paka

Observasi dan Wawancara pada animal keeper

Perawatan Kesehatan dan Penyakit

-

kondisi kesehatan satwa Jenis penyakit Upaya pengobatan Bentuk pencegahan kelengkapan dan kondisi fasilitas peralatan medis

Observasi, Wawancara kepada animal keeper dan dokter hewan.

15

- Observasi Metode observasi merupakan pengamatan yang dilakukan secara langsung di lapangan. Data dikumpulkan dengan menggunakan metode ini antara lain : Aktivitas harian, aspek pengelolaan kandang, pengelolaan pakan, perawatan kesehatan dan penyakit serta adaptasi burung unta. Data luas kandang diperoleh dengan melakukan pengukuran panjang, lebar, dan tinggi kandang secara langsung. Pengukuran suhu dan kelembaban dilakukan sebanyak 3 kali sehari yaitu pagi hari pada pukul 08.00 WIB, siang hari pada pukul 12.00 WIB, dan sore hari pada pukul 16.00 WIB. Thermohygrometer diletakan di kandang burung unta sepanjang hari pada tempat yang tidak terkena sinar matahari selama penelitian. - Wawancara Metode wawancara digunakan untuk mendapatkan data mengenai pengelolaan pakan (sumber pakan, waktu dan frekuensi pemberian pakan, dan cara pemberian pakan), perawatan kesehatan dan penyakit (jenis penyakit, upaya pengobatan dan pencegahan), adaptasi (teknik dan cara adaptasi, serta lama adaptasi). Wawancara dilakukan setelah selesai pengamatan aktivitas harian namun ada juga yang dilakukan disela-sela pengamatan. Narasumber yang diwawancarai adalah keeper burung unta, staf pengelola Kebun Binatang Taman Rimbo Jambi, dan dokter hewan. - Studi literatur Studi pustaka dilakukan untuk mengetahui informasi yang berkaitan dengan burung unta serta pengelolaan penangkaran satwa. 3.4.2 Data Sekunder Untuk mendukung penelitian ini, maka dilakukan wawancara kepada pengelola Taman Rimbo dan animal keeper burung unta mengenai kondisi lokasi Taman Rimbo, sejarah Taman Rimbo, Standar Opersional Prosedur (SOP) Taman Rimbo, jumlah tenaga kerja, asal usul satwa, dan kondisi satwa di Taman Rimbo. Selain itu, studi literatur dilakukan untuk mendukung data yang telah dikumpulkan dengan menghimpun informasi yang relevan dengan topik atau masalah yang sedang diteliti. Informasi tersebut diperoleh dari buku ilmiah,

16

laporan penelitian, skripsi, tesis dan disertasi, peraturan-peraturan, ketetapanketetapan, dan sumber-sumber tertulis baik tercetak maupun elektronik lainnya.

3.5

Analisis Data

3.5.1 Analisis Aktivitas Harian Data aktivitas harian burung unta ditabulasikan pada tally sheet (lembar kerja pengamatan). Untuk mengetahui waktu yang digunakan dari suatu perilaku dalam satu hari dihitung menggunakan rumus (Martin dan Bateson,1988): 𝐀

Persentase Frekuensi Perilaku (%) = 𝐁 x 100% Keterangan: A = Waktu yang digunakan untuk suatu tingkah laku dalam 1 hari pengamatan B = Total waktu pengamatan 1 hari (540 menit). Selain dianalisis secara kuantitatif, data hasil pengamatan aktivitas harian burung unta ini juga dianalisis secara deskriptif untuk menjelaskan secara rinci mengenai aktivitas yang dilakukan oleh burung unta. Data akan disajikan dalam bentuk gambar atau grafik untuk mempermudah menginterpretasikan data yang diperoleh. 3.4.3 Aspek pengelolaan Data primer dan data pendukung yang diperoleh meliputi pengelolaan kandang, pengelolaan pakan, adaptasi, perawatan kesehatan dan penyakit burung unta dianalisis secara deskriptif. Untuk mendukung data yang telah diperoleh maka data disajikan dalam bentuk bagan-bagan, tabel, dan gambar.

17

DAFTAR PUSTAKA Abdul. R. 2000. Kajian Kedayaan Hidup Burung Unta Ostrich (Srtuthio camelus) di Negeri Perilis. Biro Penyidikan dan Perundingan Universiti Teknologi Mara 40 450 Shah Alam. Selangor. Malaysia. Adi. L. 1996. Tarian ritual burung unta di gurun dan sabana. PT Ostricarta Lestari. Jakarta. A. Aganga. A.O. Aganga and U.J. Ompile. 2003. Ostrich Feeding and Nutrition. Pakistan Journal Of Nutrition. 2(2): 60-67. Alfan. F. 2000. Peranan Berbagai Zat Makanan Terhadap Tingkat Produktivitas Burung Unta (Struthio camelus). skripsi. Insitut Pertanian Bogor. Bogor. Alikodra HS. 2002. Pengelolaan Satwa liar. Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor. Agoramoorthy, G., and Harrison, B. 2002. Ethics and Animal Welfare Evaluations in South East Asian Zoos: A Case Study of Thailand, Journal of Applied AnimalWelfare Science. 5(1), 1-13 Amado, F.M. Xavier, B.D. Boere, V. Pereira, T.C. McManus, C. Bernal, M. 2011. Behavior Of Captive Ostrich Chick From 10 days to 5 Month Of Age. Revista Brasileira de Zootectnia. Black, D. 1995 . The anatomy and physiology of the ostrich . Proceedings of the Fifth Australian Ostrich Association Conference, Gold Coast, Qid. Australia. pp:11-14. Bentley DR. Hoy RR. 1972. Genetic control of the neuronal network generating cricket (Teleogryllus gryllus) song patterns. Anim Behav 20:478-492. Brown, L.H. & Britton, P.L. 1980. The Breeding Seasons of East African Birds. The East Africa Natural History Society, Nairobi, Kenya. Cooper. S. and T. Palmer. 1994. Observations on the Dietary choice of free ranging juvenile ostriches. Ostrich. 65: 251-255. Davies, S.J.J.F. (2003). "Birds I Tinamous and Ratites to Hoatzins". In Hutchins, Michael.Grzimek's Animal Life Encyclopedia 8 (2 ed.). Farmington Hills, MI: Gale Group.pp. 99–101. ISBN 0-7876-5784-0. Deeming, D.C. (1998), “Time activity budgets of adult ostriches (Struthio camelus) in a farming environment during the winter”, Applied Animal Behavioural Science, Vol 59, pp. 363-371.

18

DEFRA (Departement of Environment Food and Rural Affair). 2001. A Guide to Animal Welfare in Nature Conservation Grazing.Departementof Environment Food and Rural Affair. London. Degen, A.A, M. Kam, A. Rosenstrauch and I. Plavnik. 1991. Growth rate, total water volume, dry-matter intake and water consumption of domesticated ostriches (Struthio camelus). Anim. Melecut. 52:225-232. Djuhanda, T. 1983. Analisa Struktur Vertebrata Jilid I. Armico. Bandung. Du Preez, JJ, MJF Jarvis, D. Capatos and J. de Kock. 1992. A note on growth curves for the ostrich (Struthio camelus). Anim. Melecut. 54:150-152. Ensminger, M.E., J.E. Oldfield, and W.W. Hienemann. 1990. Feed and Nutrition. Second Edition. The Ensminger Publishing Company. USA. Fakultas Kedokteran Hewan. 1999. Penetapan Kasus Anthraks Pada Burung Unta. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Fuller, R. 1984. Microbial Activity In The Alimentary Tract Of Birds. Proceedings Of The Nutrition Society. 43, 55-61. Hallam, M.G. 1992. The Topaz introduction to Practical Ostrich Farming. Superior Print and Packaging, Harare, Zimbabwe. Harrison, C .J .O. 1982. The Encyclopedia of Birds. Peerage books, London. Hinde, R. A. 1970. Animal Behavior. Second Edition. John Willey and Son Inc. London. 11-16. IUCN. 2014. The IUCN Red List of Threatened Species. http://www.iucnredlist.org/details/45020636/0. [diakses 24 Maret 2017]. Jasin, M. 1992. Zoologi Vertebrata Untuk Perguruan Tinggi. Sinar Jaya. Surabaya. Jensen P. 2002. Behavioural genetis, evolution and domestication.The Ethology of Domestic Animals an Introductory Text. Oxon : CAB International. Pp. 13 – 30. Kementrian Kehutanan Republik Indonesia. 2005. Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia No.P.19/Menhut-II/2005 tentang penangkaran tumbuhan dan satwa liar.Kementrian Kehutanan.Jakarta. Lehner PN. 1979. Handbook of Ethological Methods. New York: Garland STPM Press.

19

20

Related Documents

Proposal Windi A. K.docx
October 2019 7
Proposal Windi A. K
October 2019 17
San Agustin
June 2020 19
San Agustin
May 2020 19

More Documents from "muranse"