Wela.docx

  • Uploaded by: Rahma Luthfa
  • 0
  • 0
  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Wela.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 1,533
  • Pages: 6
Proses persalinan menyebabkan nyeri yang teramat sangat bagi sebagian besar perempuan. McGill Pain Questionnaire menempatkan skala nyeri melahirkan berada di antara cancer pain dan nyeri amputasi jari. Selama persalinan kala satu, nyeri terutama dialami karena rangsangan nosiseptor dalam adneksa, uterus, dan ligamen pelvis. Banyak penelitian yang mendukung bahwa nyeri persalinan kala I adalah akibat dilatasi serviks dan segmen uterus bawah, dengan distensi lanjut, peregangan, dan trauma pada serat otot dan ligamen yang menyokong struktur ini (Sharma et.al, 2007). Teknik analgesia epidural atau WELA (Walking Epidural Labour Analgesia) merupakan teknik persalinan yang bebas nyeri menggunakan teknik seperti anestesi epidural, dimana ibu dapat melakukan persalinan normal bebas nyeri, ibu tetap dapat mengejan, dan dapat bergerak (Preston, 2010). Pada tahun 1903, dokter kandungan mengakui bahwa wanita lebih suka berjalan selama tahap pertama persalinan dan mulai merekomendasikan agar mereka diizinkan untuk bebas bergerak. Kemudian, studi obstetri menunjukkan manfaat ambulasi selama persalinan dan mendorongnya. Sejak itu, banyak penelitian telah dilakukan mengenai manfaat potensial dari teknik ini . Beberapa penelitian ini menilai kepuasan pasien dengan WELA. Kepuasan ditemukan identik pada kelompok ambulatory dan non-ambulatory, tetapi tercatat bahwa wanita dengan analgesia epidural non-ambulatory

pada persalinan sebelumnya, lebih

mendukung pendekatan ambulatory (Karraz, 2002). Teknik WELA menjadi sangat populer di banyak fasilitas bersalin karena menghasilkan analgesik sensorik yang baik dengan tetap mempertahankan kekuatan motorik untuk bergerak. Seperti halnya teknik apa pun kita harus menyeimbangkan risiko dan manfaat untuk pasien individu. Teknik WELA memberikan kepuasan pasien yang lebih besar. Dalam upaya untuk mencapai tujuan ini, harus tetap di ingat prinsip untuk "tidak membahayakan" dan mengembangkan kriteria ketat untuk ambulasi yang aman. Pada saat yang sama, kita harus ingat bahwa ada risiko yang menyertai dalam menggunakan dosis yang lebih besar dari opioid neuraxial; terutama sedasi ibu, pruritus, depresi pernapasan dan, dengan meningkatnya dosis kumulatif dapat meningkatkan risiko neonatal depresi (Douglas, 1998). Beberapa studi obstetri menunjukkan bahwa keuntungan dari ambulasi selama proses persalinan. Sebuah studi menunjukkan bahwa ambulasi selama persalinan dapat

mempersingkat durasi persalinan, mengurangi kebutuhan analgesik dan juga meningkatkan APGAR Score (Flynn, et.al., 1978). Pada penelitian yang dilakukan oleh Karraz tahun 2002 pada 221 wanita dengan kehamilan tanpa komplikasi dan riwayat operasi sectio cesaria sebelumnya, usia kehamilan 36-42 minggu dalam persalinan yang dibagi dalam 2 kelompok yaitu ambulatory dan nonambulatory menyimpulkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara kedua kelompok tersebut dalam cara persalinan, kebutuhan konsumsi oxytocin dan anestesi. Satusatunya hal yang berbeda adalah durasi persalinan, di mana durasi pada kelompok dengan ambulasi lebih singkat (173.4±109.9 min vs.236.4±130.6 min; P=0.001). Penelitian case control yang dilakukan oleh de la Chapelle, et.al., tahun 2005 untuk meneliti pengaruh WELA terhadap persalinan spontan pada nulipara menyimpulkan bahwa meskipun dikaitkan dengan tahap persalinan pertama yang berkepanjangan, WELA terbukti aman untuk wanita nulipara dan bayi mereka. Sementara pada studi prospektif yang dilakukan oleh Sharma, et.al pada tahun 2007 untuk menentukan dosis serta regimen yang efektif untuk WELA menyimpulkan bahwa 0,1% bupivacaine dengan 0,0002% fentanyl dapat memaksimalkan pereda nyeri persalinan dan meminimalkan efek samping. Penelitian tersebut melibatkan 50 wanita dengan janin tunggal presentasi kepala. Kemudian kateter epidural dimasukkan ke dalam L2-3/L3-4 ruang interspinous. Bolus awal 10 ml (0,1% bupivacaine dan 0,0002% fentanyl) disuntikkan setelah efikasi blok ditegakkan, kemudian infus epidural regimen yang sama diberikan dengan dosis 5ml/jam. Pada tahap pertama persalinan, 80% ibu melahirkan menunjukkan reaksi yang baik terhadap pereda nyeri (VAS 1-3) sesuai standar protokol, sementara 20% lainnya membutuhkan satu atau lebih bolus tambahan. Pada tahap kedua, zat analgesik juga dapat bekerja dengan cukup baik (VAS 4-6) untuk sebagian besar peserta. Insidensi sectio cesaria berkisar antara 4-6%. Tidak ada efek samping mayor yang dilaporkan. Beberapa persyaratan untuk melakukan tindakan WELA, antara lain (Reena, 2014): 1. Atas permintaan pasien 2. Panggul ibu tidak sempit dan tidak memiliki riwayat operasi cesaria sebelumnya. 3. Tempat serta fasilitas emergency yang memadai 4. Informed consent 5. Dilakukan oleh dokter spesialis anestesi.

WELA dilakukan saat proses persalinan telah terjadi, yaitu ditandai dengan adanya kontraksi rahim dan rasa nyeri, biasanya dilakukan setelah pembukaan serviks 2 cm. Pada teknik ini obat analgesi disuntikan melalui interspace L2-3 atau L3-4 menuju ruang epidural (sama seperti pelaksanaan anestesi epidural). Adapun blok yang kita inginkan setinggi T10S5 yang mempersarafi uterus dan jalan lahir pada proses persalinan (Latief,et.al., 2007). Teknik analgesia epidural bisa dilakukan dengan posisi duduk (sitting position) maupun posisi miring (lateral decubitus), dengan menggunakan jarum epidural, pungsi dapat kita lakukan pada interspace L2-3 atau L3-4. Lalu kateter epidural dimasukkan ke dalam ruang epidural. Sebelum memasukkan obat analgesi, kita dapat melakukan pemberian dosis uji (test dose) terlebih dahulu. Obat yang dipakai adalah Lidocain 1,8 cc ditambah dengan Pehacain 1,2 cc. Hasil dosis uji dikatakan negatif apabila setelah 3 menit tidak didapati gejala analgesi subarakhnoid maupun peningkatan susunan saraf simpatis. Kemudian kita dapat memasukkan obat analgesia epidural. Berikut indikasi anestesi epidural / WELA (Reena, 2014): a) Pasien yang merasakan sangat nyeri dalam persalinan b) Persalinan kala I yang lama dan sangat nyeri c) Pasien dengan perasaan cemas dan takut d) Pasien sendiri yang meminta e) Kehamilan dengan kelainan sistem kardiovaskuler, seperti pada: pre eklampsia dan eklampsia f)

Kehamilan dengan penyakit sistem pernafasan

WELA tidak bisa diterapkan pada hal-hal yang merupakan kontra indikasi, antara lain (Reena, 2014): a) Ibu menolak b) Infeksi lokal ditempat tusukan c) Bleeding disorder dan kelainan koagulopati d) Alergi terhadap obat analgetik e) Infeksi sistemik akut dapat menyebabkan abses epidural f) Bekas sectio caesarea g) Dehidrasi yang sulit diresusitasi Komplikasi yang mungkin terjadi akibat analgesia epidural / WELA pada persalinan antara lain: a) Hipotensi

Hipotensi (penurunan tekanan darah arteri sistolik sebesar 20% - 30% atau lebih rendah dari 100 mmHg). Hipotensi disebabkan oleh karena blok serabut saraf simpatis yang menimbulkan vasodilatasi, kehilangan mekanisme kompensasi sindrom hipotensi terlentang (supine hypotensive syndrome) selain itu pada ibu hamil juga terjadi “aorto caval syndrome” dimana uterus menekan v.cava dan aorta sehingga aliran balik ke jantung terganggu. Pencegahan yang dilakukan adalah dengan mendorong rahim ke kiri, pemberian cairan kristaloid 500 – 1000 ml, oksigenasi, jika tekanan darah tetap rendah kurang dari 90mmHg dapat diberikan vasopresor (ephedrine 10 mg). b) High Blokade Pada high blockade dapat menyebabkan hipotensi dan paralisis pernafasan. c) Menggigil Penyebab pasti pada menggigil belum diketahui, bisa diakibatkan suhu ruangan yang dingin, penguapan tubuh yang mengalami vasodilatasi. Penanggulangan: pasien diselimuti, suhu ruangan dihangatkan, oksigenasi, bila belum berhasil dapat diberikan petidin dengan dosis 12,5 mg iv. d) Mual dan Muntah Keluhan mual dan muntah dapat disebabkan karena hipotensi atau efek samping dari oksitoksik (metergin atau sintosinon). e) Penyuntikan zat analgetika lokal di luar ruangan epidural 1.

Didalam ruang subaraknoid Dapat terjadi analgesia subaraknoid total sehingga pasien dapat mengalami penurunan kesadaran, hipotensi berat, dan mengalami gagal nafas. Hal ini dapat dicegah dengan uji dosis.

2.

Di dalam pembuluh darah Dapat terjadi reaksi toksik, adapun tanda dan gejala klinisnya berupa sakit kepala, kesemutan, kesulitan bicara, gangguan pengelihatan, kedutan otot, kejang dan koma. Bila gejala klinis berat maka perlu dilakukan resusitasi jantung paru dan diberikan obat anti kejang.

Penatalaksanaan

analgesia

epidural

pada

persalinan

berbeda

dengan

cara

menghilangkan nyeri yang konvensional. Karena itu diperlukan pengawasan yang lebih baik dan instruksi khusus terhadap pasien. Adapun penatalaksanaan analgesia epidural terdiri atas (Latief,et.al., 2007): 1) Persiapan

Teknik analgesia epidural / WELA harus dilakukan diruang bersalin yang telah dilengkapi dengan alat dan obat resusitasi untuk penanggulangan efek samping yang tidak diinginkan. Sebelum dilakukan analgesia epidural, harus dilakukan pemeriksaan fisik, terutama tanda- tanda vital kemudian diikuti pemeriksaan penunjang. Tindakan analgesia dapat dimulai jika pembukaan mulut rahim pada multipara telah mencapai 3-4 cm atau 4-6cm pada primipara, lama kontraksi 3040 detik atau lebih dengan waktu antara 3 menit atau kurang. 2) Posisi Pasien jangan diposisikan terlentang karena dapat mencetuskan atau memperberat sindrom hipotensi terlentang. 3) Pemantauan Fungsi-fungsi vital harus dipantau secara periodik, terutama tekanan darah, nadi dan denyut jantung janin. Pemantauan dilakukan setiap 5 menit selama 20 menit pertama penyuntikan kemudian dilanjutkan tiap 10 menit. 4) Pengosongan kantong buli- buli, karena dapat terjadi retensi urin yang dapat menyebabkan perasaan nyeri didaerah suprapubik yang sukar dihilangkan oleh analgesia epidural. 5) Kemajuan persalinan, karena pasien tidak merasakan atau menyadari adanya kontraksi rahim, maka kemajuan persalinan harus dinilai secara aktif, dengan melakukan palpasi abdomen berkala. 6) Dosis ulang, diberikan berdasarkan kemajuan partus dan perasaan nyeri yang diderita pasien. Pada pre eklampsia, indikasi pemberian dosis ulang dilakukan jika terjadi kenaikan tekanan darah, walaupun pasien belum merasakan nyeri.

Daftar Pustaka de la Chapelle, A., Carles, M., Gleize, V., Dellamonica, J., Lallia, A., Bongain, A. and Raucoules-Aimé, M. (2006). Impact of walking epidural analgesia on obstetric outcome of nulliparous women in spontaneous labour. International Journal of Obstetric Anesthesia, 15(2), pp.104-108 Karraz, M. (2003). Ambulatory epidural anesthesia and the duration of labor. International Journal of Gynecology & Obstetrics, 80(2), pp.117-122. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR. Induksi dan Rumatan Anesthesia. Petunjuk Praktis Anesthesiologi Edisi Kedua. Jakarta: Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Inonesia; 2007; 3: 33-5 M.J., Douglas. (1998). Walking Epidural Analgesia in Labour. Can J Anaesth. 45(7), pp.607611 Paul A, Reena, Afzal M, Bandyopadhyay K, Mishra A. (2014). Labor epidural analgesia: Past, present and future. Indian Journal of Pain, 28(2), pp.71 Preston, R. (2010). Walking epidurals for labour analgesia: do they benefit anyone?. Canadian Journal of Anesthesia/Journal canadien d'anesthésie, 57(2), pp.103-106. Sharma, R., Setlur, R., Bhargava, A. and Vardhan, S. (2007). Walking Epidural : An Effective Method of Labour Pain Relief. Medical Journal Armed Forces India, 63(1), pp.44-46

More Documents from "Rahma Luthfa"

Wela.docx
November 2019 4
Bab V, Fartoks
October 2019 39
Bk Soal Dan Jwbn Neww.docx
October 2019 53
Kata Pengantar.docx
May 2020 27
B. Madur Rara.docx
May 2020 31