Waste.docx

  • Uploaded by: Pjt Baristandpadang
  • 0
  • 0
  • April 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Waste.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 12,592
  • Pages: 35
Anonim, 2015. Syzygium myrtifolium Walp. Royal Botanic Garden, Kew. http://apps.kew.org/wcsp/namedetail.do?name_id=348617. Diakses pada tanggal 03 Februari 2015. Dalimartha, Setiawan. 2000. Atlas Tumbuhan Obat Indonesia Jilid 2. Jakarta: Trubus Agriwidya. Memon, A. H. et. al. 2014. Isolation, Characterization, Crystal Structure Elucidation, and Anticancer Study of Diethyl Cardamonin, Isolated from Syzygium campanulatum Korth. Evidence-Based Complementary and Alternative Medicine, Vol. 2014. Article ID 470179. Hindawi Publishing Corporation. Pelczar, M. J. dan E. C. S. Chan. 1986. Dasar-Dasar Mikrobiologi Jilid 1 (Penerjemah Ratna Siri Hadioetomo). Jakarta: UI-Press. Jilid 2 1988. Waluyo, Lud. 2008. Teknik dan metode dasar dalam Mikrobiologi. UMM Press: Malang https://florafaunaweb.nparks.gov.sg/Special-Pages/plant-detail.aspx?id=3156# National Parks Board, Singapore

Sterilisasi ialah suatu usaha untuk membebaskan alat-alat atau bahan dari segala macam bentuk kehidupan terutama mikroba Sterilisasi dengan menggunakan uap air panas bertekananalat yang digunakan adalah otoklaf. Alat ini terdiri atas suatu bejana tahan tekanan tinggi iyang dilengkapii dengan manometer, termometer dan klep bahaya. Alat-alat a tau bahan-bahan yang akan disterilkan dimasukkan kran pengeluaran uap dan pengeluaran kondensat (air yang mengembun) dibuka. Uap panas dimasukkan pelanpelan dengan memutar kran pemasukan uap.. pada otoklaf sekarang pula yang langsung menggunakan air sehingga uap air panas akan masuk ke ruang sterilisasi melalui lubanglubang yang terdapat pada angsang. Setelah uap air keluar dari kran-kran tersebut, kran pengeluaran kondensat dan kran pengeluaran air ditutup. Kemudian suhu atau tekanan dibiarkan naik sampai 121oC dengan tekanan ± 2 atm selama 15 – 30 menit. Apabila sterilisasi telah selesai maka otoklaf dibiarkan dingin sampai tekanan menunjukkan angka nol baru otoklaf dibuka. Sterilisasi dengan otoklaf merupakan cara yang paling baik; sebab uap air panas dengan tekanan tigngi memperbesar penetrasi uap air ke dalam sel-sel mikroba yang menyebabkan koagulasi protein-protein protoplasma. Koagulasi protein-protein protoplasma itulah yang menyebabkan cepatnya proses kematian mikroba (Sri Kumalaningsih dan Nur Hidayat, 1995, Mikrobiologi Hasil Pertanian Penerbit IKIP Malang) Bahan antimikrobial diartikan sebagai bahan yang mengganggu pertumbuhan dan metabolisme mikroba. Dalam penggunaan umum, istilah ini menyatakan penghambatan pertumbuhan, dan bila dimaksudkan untuk kelompok-kelompok organisme yang khusus, maka seringkali digunakan istilah-istilah seperti antibakterial dan antifungal. Beberapa bahan antimikrobial digunakan secara khusus utnuk mengobati infeksi. Ini disebut bahan terapeutik. Kata antibiotik diberikan kepada produk metabolik yang dihasilkan suatu organisme tertentu, yang dalam jumlah amat kecil bersifat merusak atau menghambat mikroorganisme lain. Dengan perkataan lain, antibiotik merupakan zat kimia yang dihasilkan oleh suatu mikroorganisme yang menghambat mikroorganiseme lain. Kloramfenikol (kloromisetin) Kloramfenikol merupakan antibiotik berspektrum luas yang aktif terhadap banyak bakteri gram positif dan gram negatif. Meskipun relatif tidak beracun bagi mamalia bila digunakan secara terapeutik, antibiotik ini dapat menyebabkan beberapa kelainan yang gawat di dalam darah beberapa pasien. Karena itu, baru dianjurkan pemakaiannya pada kasus-kasus yang tidak dapat diobati secara efektif dengan antibiotik lain. Cara kerja kloramfenikol bergabung dengan subunit-subunit ribosom sehingga mengganggu sintesis protein. Kerentanan suatu mikroorganisme terhadap antibiotik dan zat kemoterapeutik lain dapat ditentukan dengan teknik “pengenceran tabung” (tube dilution) atau teknik cawan “piringan kertas” (paper disk plate). Teknik pengenceran tabung menetapkan jumlah terkecil zat kemoterapeutik yang dibutuhkan untuk menghambat pertumbuhan organisme in vitro. Jumlah tersebut sebagai KHM (“konsentrasi hambat minimum” atau minimum inhibitory concentration). Metode cawan piringan kertas merupakan teknik yang paling umum dipakai untuk menetapkan kerentanan mikroorganisme terhadap zat kemoterapeutik. Piringan-piringan kertas kecil yang diresapi obat yang berbeda-beda dalam jumlah tertentu (dapat dibeli di pasara) diletakkan pada permukaan cawan yang telah diinokulasi. Setelah inkubasi, dilakukan pengamatan terhadap adanya zone penghambat (daerah jernih) di sekeliling piringan yang menunjukkan bahwa organisme itu dihambat pertumbuhannya oleh obat tersebut yang merembes dari piringan ke dalam agar. Baru-baru ini FDA (“Food and Drug Administration” yaitu badan yang mengawasi makanan dan obat-obatan di Amerika Serikat) menganjurkan penggunaan metode “piringan tunggal” (single disk) untuk pengujian kerentanan. Teknik ini mempunyai standardisasi yang tinggi jumlah zat antimikrobial yang terkandung dalam piringan kertas harus diketahui,

begitu pula medium ujinya, jumlah inokulum, keadaan inkubasi, dan perincian lainnya. Apabila uji kerentanan dilakukan sesuai dengan prosedur FDA, maka ukuran zone penghambatan dapat dikorelasikan dengan KHM obat yang dipakai untuk mikroorganisme yang diteliti (Michael J. Pelczar dan E. C. S. Chan, 1988, Dasar-dasar Mikrobiologi (penerjemah: Ratna Siri Hadioetomo) UI-Press: Jakarta). Senyawa hasil alam dihasilkan oleh makhluk hidup melalui proses biosintesa dalam sel.biosintesa yang berlangsung secara enzimatik dikenal juga sebagai metabolisme, sehingga produknya disebut juga metabolit yang terdiri dari metabolit primer, sentral dan sekunder. Metabolisme sentral adalah perantara (intermediet) untuk menghasilkan metabolit prrimer dan sekunder. Metabolit primer dan sekunder secara fundamental perbedaannya adalah pada fungsinya seperti berikut ini. 1. metabolit primer: peranan atau fungsinya sangat jelas seperti karbohidrat, lipid (lemak), asam amino dan protein, enzim dan asam nukleat (inti) dipelajari dalam: Biokimia 2. metabolit sekunder: peranannya kurang jelas (walaupun beberapa perannya sudah diketahui) seperti senyawa-senyawa fenolat, flavonoid, terpenoid (minyak atsiri) dan alkaloid. Senyawa bahan alam adalah senyawa bergugus fungsi jamak dan gugus fungsi tersebut berbeda-beda (polifungsional), sehingga penggolongannya tidak didasarkan pada gugus fungsi. Senyawa hasil alam digolongkan berdasarkan kemiripan kerangka strukturnya. Karakteristik persenyawaan fenol (senyawaan fenol) adalah mempunyai suatu cincin benzena (aromatik) dan mempunyai paling sedikit satu substituen hidroksil (–OH). Banyak senyawaan fenol yang terikat dengan gula yang dikenal sebagai glukosida yang biasa terdapat pada vacuola sel. Pada umumnya persenyawaan fenol terdapat pada tumbuhan seperti lignin (pembangun sel), antosianin (pigmen bunga) sedangkan eranan golongan fenolat yang lain masih merupakan dugaan. Cara klasik untuk uji kualitatif senyawaan fenol yang pa% dalam air atau etanol akan menimbulkan warna merah, ungu, biru atau hitam pekat. Sneyawaan fenol reaktif terhadap protein dengan membentuk kompleks sehingga sering terjadi hambatan kerja enzim pada ekstrak tumbuhan kasar. Sebaliknya senyawaan fenol peka terhadap enzim fenolase (terjadi degradasi) sehingga pada prosedur ekstraksi dilakukan dengan pelarut panas untuk menghambat kerja enzim fenolase. Triterpenoid dan steroid Triterpenoid dengan kerangka 6 isoprena (C-30) diturunkan dari suatu kerangka skualena diperoleh dari sejenis rumput laut. Turunan dari skualena adalah steroid yang kerangka dasarnya mempunyai empat cincin sebagai berikut

C Skualena

D Kerangka Steroid

A

B

Triterpenoid mempunyai rasa yang sangat pahit terutama terdapat dalam tumbuhan Rutaceae, Meliceae dan Simaroubeaceae seperti limonin dalam buah jeruk (digolongkan juga alkaloid karena rasa pahitnya) dan kukurbitasin D dalam tumbuhan Cucurbitaceae dan diosgonin. Dalam bentuk getah triterpenoid terdapat dalam tumbuhan Euphorbia dan Havea. Steroid pada umumnya adalah merupakan hormon (zat pemacu) seperti pada empedu dan reproduksi hewan dan manusia. Belakangan diketahui banyak juga tumbuhan yang mengandung steroid seperti Aramanthus alfalfa, Medicago sativa dan akar Polygala senega .

pada umumnya steroid mengandung gugus fungsional alkena dan alkohol dengan beberapa contoh berikut ini. Beberapa steroid lain adalah hormon reproduksi manusia yaitu testosteron (hormon laki-laki), ergosteron (hormon wanita), fukosteron, estron dan ekdisteron. Oleandrin adalah salah satu steroid yang terikat dengan glukosida. Karena strukturnya yang juga amfifilik yaitu terdiri dari bagian polar (hidrofilik = OH) dan bagian hidrofobik (hidrokarbon), maka steroid digolongkan juga sebagai lipida.

Since most active plant principles are toxic at elevated doses, a possible approach to developing an effective general bioassay might be simply to screen fir substances that are toxic to zoologic systems. Once such substances have been isolated, a battery of specific and more sophisticated bioassays could then be employed. Desiring a rapid, inexpensive, inhouse, bioassay for screening and fractionation monitoring of our physiologically active plant extracts, we have been using a tiny crustacean, brine shrimp, as the general bioassay tool. The eggs of brine shrimp, Artemia salina LEACH, are readily available at low cost in pet shops as a food for tropical fish, and they remain viable for years in the dry state. Upon being placed in a brine solution, the eggs hatch within 48 hours, providing large numbers of larvae (nauplii). Brine shrimp have been previously utilized in various bioassay systems. Among thee application have been the analysis of pesticide residues, mycotoxins, stream pollutants, anesthetics, dinoflagellate toxins, morphine-like compounds, toxicity of oil dispersants, cocarcinogenicity or phorbol esters, and toxicants in marine environments. Most workers have made use of the hatched nauplii, altough inhibition of hatching of the eggs has also been studied. In monitoring fractination studies, brine shrimp have previously shown utility with fungal extracts directed at isolation of mycotoxins. But for screening and fractination of active materials from higher plants, they have not been used. The organism is now suggested as a convenient probe for pharmacologic activities in plant extracts which may be manifested as toxicity towards the newly hatched nauplii. Result and discussion We have developed a method whereby compounds and extracts are tested at concentrations of 10, 100, and 1000 μg/ml after being applied to filter paper discs which are placed in vials containing brine and ten shrimp in each of five replicates. Survivors are counted after 24 hours and the percentage of deaths at each dose is recorded. These data can then be used to estimate LC50’s for comparison of potencies. To explore the range of natural products which could be detected in the bioassay, a number of known active natural compounds were tested. These results (Table I) demonstrated the general utility of the bioassay witth compounds of diverse structures and modes of activity. These results encourage further testing of the assay for its use in screening and eventual fractionation of active plant extracts. As a demonstration project, the ethanol extracts of seeds of 41 species of Euphorbiaceae were tested; this plant family is well-known to contain toxic compounds of diverse structures. Data for the bioassay of these extracts are shown in Table II; 9KB and 9PS cytotoxicities were determined and are shown for comparison. Eighteen of the euphorb extracts displayed toxicity (LC50 < 1000 μg/ml) in the brine shrimp bioassay. Several of these are known to contain physiologically active principles (see Table II for references). Of 24 species which showed 9PS activity (LC50 < 30 μg/ml), 14 were toxic to brine shrimp. The brine shrimp bioassay is not specific for antitumor or, indeed, any particular physiological action; but for a significant number (14 to 24) of the species with species with cytotoxic activity, it may be possible to monitor fractionation using principally the brine shrimp bioassay rather the more expensive and time-consuming cytotoxic assays. Occasional cross-monitoring in the more specific assay systems would be necessary to ensure that the activities continue to correlate. The brine shrimp bioassay is clearly a more general test than the 9KB assay in which only six species were active (LC50 ≤ 30 μg/ml) (Table II); only two of these showed significant activity in the brine shrimp assay. We suggest that this is simple bioassay system might be readily utilized by pharmacognosists and natural product utilized chemists in the detection and isolation of higher plant constituents with a variety of pharmacologic activities. It has the advantages of being rapid (24 hours following introduction of shrimp), inexpensive, and simple (e. g., no aseptic techniques are required). It easily utilizes a large number of continuously available organisms for statistical considerations and requires no special equipment or training and a relatively small amount of test sample (50 mg for crude extracts). Active compounds thus

obtained could then be subjected to more elaborate bioassays for specific pharmaccologic activities. Experimental Cytotoxicity testing 9KB and 9PS cytotoxicities were determined in the Purdue Cell Culture Laboratory following protocols established by the National Cancer Institute. Activities for extracts are considered significant when LC50’s are ≤ 30 μg/ml. Sample preparation Samples were prepared by dissolving 50 mg of compound or extract in 5 ml of methanol (solution A). solution B was prepared by diluting 0,5 ml of A to 10 ml with methanol. Appropriate amounts of solution (100 μl B, 50 μl A, and 500 μl A for 10, 100, and 1000 μg/ml, respectively) were transferred to 1,25 cm (1/2 in) discs of filter paper. The discs were dried in air, placed in 2 dram vials, and then dried further in vacuo for one hour. Control discs were prepared using only methanol. Five replicates were prepared for each dose level. Hatching the shrimp Brine shrimp eggs were hatched in a shallow rectangular dish (22 x 32 cm) filled with artificial sea water which war prepared with a commercial salt mixture and double-distilled water. A plastic divider with several 2 mm holes was clamped in the dish to make two unequal compartments. The eggs (ca. 50 mg) were sprinkled into the larger compartment which was darkened, while the smaller compartment was illuminated. After 24 hours the phototropic nauplii were collected by pipette from the lighted side, have been separated by the divider from their shells. Bioassay Ten shrimp were transferred to each sample vial using a 9 in disposable pipette, and artificial sea water was added to make 5 ml. the nauplii can be counted macroscopically in the stem of the pipette against a lighted back-ground. A drop of dry yeast suspension (red star) (3 mg in 5 ml artificial sea water) was addes as food to each vial. The vials were maintained under illumination. Survivors were counted, with the aid of 3 x magnifying glass, after 6 and 24 hours, and the percent death at each dose and control were determined. The 24 hours counts were more useful. In cases where control deaths occurred, the data were corrected using Abbott’s formula: % deaths = [(test – control)/control] x 100. LC50 determinations LC50’s and 95% confidence intervals were determined from the 24 hour counts using the probit analysis method described by Finney. In cases where data were insufficient for this technique, the dose-response data were transformed into a straight line by means of a logit transformation; the LD50 was derived from the best fit line obtained by linear regression analysis.

metode, menggunakan udang air garam (a. ssalina resapan), diusulkan sebagai bioassay sederhana untuk penelitian produk alami. prosedur menentukan nilai LC50 di Mg / mL senyawa aktif dan ekstrak dalam media air garam. kegiatan berbagai senyawa aktif yang dikenal diwujudkan sebagai racun bagi udang. Hasil skrining dengan ekstrak biji 41 spesies Euphorbiaceae dibandingkan dengan 9kb dan cytotoxicities 9PS. Metode ini cepat, handal, murah, dan nyaman sebagai alat genearl bioassay di rumah. Karena prinsip-prinsip tanaman yang paling aktif beracun pada dosis tinggi, pendekatan yang mungkin untuk mengembangkan bioassay umum yang efektif mungkin hanya untuk menyaring zat-zat yang beracun untuk zoologic sistem. Setelah zat tersebut telah diisolasi, baterai bioassay spesifik dan lebih canggih kemudian bisa digunakan. Menginginkan cepat, murah, di rumah, bioassay untuk screening dan monitoring fraksinasi ekstrak tumbuhan fisiologis aktif kami, kami telah menggunakan Crustacea kecil, udang air asin, sebagai alat uji hayati umum. Telur udang air garam, Artemia salina Leach, yang tersedia dengan biaya rendah di toko-toko hewan peliharaan sebagai makanan untuk ikan tropis, dan mereka tetap bertahan selama bertahun-tahun dalam keadaan kering. Setelah ditempatkan dalam larutan air garam, telur menetas dalam waktu 48 jam, memberikan sejumlah besar larva (nauplii). Udang air garam sebelumnya telah digunakan dalam berbagai sistem bioassay. Di antara aplikasi ini telah menjadi analisis residu pestisida, mikotoksin, polusi sungai, anestesi, racun dinoflagellata, senyawa morfin-seperti, toksisitas pendispersi minyak, cocarcinogenicity atau phorbol ester, dan racun di lingkungan laut. Sebagian besar pekerja telah menggunakan nauplii menetas, meskipun penghambatan penetasan telur juga telah dipelajari. Dalam pemantauan studi fraksinasi, udang air asin sebelumnya menunjukkan utilitas dengan ekstrak jamur diarahkan pada isolasi mikotoksin. Tapi untuk skrining dan fraksinasi bahan aktif dari tanaman yang lebih tinggi, mereka belum digunakan. Organisme ini sekarang disarankan sebagai probe nyaman untuk kegiatan farmakologis pada ekstrak tumbuhan yang dapat dimanifestasikan sebagai toksisitas terhadap nauplii yang baru menetas. Hasil dan diskusi Kami telah mengembangkan sebuah metode dimana senyawa dan ekstrak yang diuji pada konsentrasi 10, 100, dan 1000 mg / ml setelah diterapkan untuk menyaring cakram kertas yang ditempatkan dalam botol yang berisi air garam dan sepuluh udang di masing-masing lima ulangan. Selamat dihitung setelah 24 jam dan persentase kematian pada setiap dosis dicatat. Data ini kemudian dapat digunakan untuk memperkirakan LC50 untuk perbandingan potensi. Untuk mengeksplorasi berbagai produk alami yang dapat dideteksi dalam bioassay, sejumlah senyawa aktif alami yang dikenal diuji. Hasil ini (Tabel I) menunjukkan utilitas umum bioassay witth senyawa struktur dan cara aktivitas yang beragam. Hasil ini mendorong pengujian lebih lanjut dari uji untuk digunakan dalam skrining dan fraksinasi akhirnya ekstrak tumbuhan yang aktif. Sebagai proyek percontohan, ekstrak etanol dari biji dari 41 spesies Euphorbiaceae diuji; keluarga tanaman ini dikenal mengandung senyawa beracun dari struktur yang beragam. Data untuk bioassay ekstrak ditunjukkan pada Tabel II; 9KB dan 9PS cytotoxicities ditentukan dan ditampilkan untuk perbandingan. Delapan belas dari ekstrak euphorb ditampilkan toksisitas (LC50 <1000 ug / ml) dalam bioassay udang air garam. Beberapa di antaranya diketahui mengandung prinsip-prinsip fisiologis aktif (lihat Tabel II untuk referensi). Dari 24 spesies yang menunjukkan aktivitas 9PS (LC50 <30 mg / ml), 14 yang beracun untuk air garam udang. The udang air garam bioassay tidak spesifik untuk antitumor atau, memang, setiap tindakan fisiologis tertentu; tapi

untuk sejumlah besar (14 sampai 24) dari spesies dengan spesies dengan aktivitas sitotoksik, dimungkinkan untuk memantau fraksinasi menggunakan prinsipnya udang air garam bioassay agak lebih mahal dan memakan waktu tes sitotoksik. Lintas pemantauan sesekali dalam sistem pengujian yang lebih spesifik akan diperlukan untuk memastikan bahwa kegiatan terus berhubungan. The udang air garam bioassay jelas merupakan tes yang lebih umum daripada uji 9KB yang hanya enam spesies yang aktif (LC50 ≤ 30 mg / ml) (Tabel II); hanya dua di antaranya menunjukkan aktivitas yang signifikan dalam uji brine shrimp. Kami menyarankan bahwa ini adalah sistem bioassay sederhana mungkin dengan mudah dimanfaatkan oleh pharmacognosists dan produk alami kimia yang digunakan dalam deteksi dan isolasi konstituen tanaman yang lebih tinggi dengan berbagai kegiatan farmakologis. Ini memiliki keuntungan menjadi cepat (24 jam setelah pengenalan udang), murah, dan sederhana (misalnya, tidak ada teknik aseptik yang diperlukan). Ini dengan mudah memanfaatkan sejumlah besar organisme terus menerus tersedia untuk pertimbangan statistik dan tidak memerlukan peralatan khusus atau pelatihan dan jumlah yang relatif kecil dari sampel uji (50 mg untuk ekstrak mentah). Senyawa aktif yang diperoleh kemudian bisa dikenakan bioassay lebih rumit untuk kegiatan pharmaccologic tertentu. Eksperimental Pengujian sitotoksisitas 9KB dan 9PS cytotoxicities ditentukan di Purdue Sel Laboratorium Kultur mengikuti protokol yang ditetapkan oleh National Cancer Institute. Kegiatan untuk ekstrak dianggap signifikan ketika LC50 adalah ≤ 30 mg / ml. Persiapan sampel Sampel yang telah disiapkan dengan melarutkan 50 mg senyawa atau ekstrak dalam 5 ml metanol (larutan A). Solusi B dibuat dengan mengencerkan 0,5 ml A sampai 10 ml dengan metanol. Jumlah yang tepat dari solusi (100 ml B, 50 ml A, dan 500 ml A untuk 10, 100, dan 1000 mg / ml, masing-masing) dipindahkan ke 1,25 cm (1/2 in) cakram kertas filter. Cakram dikeringkan di udara, ditempatkan dalam 2 botol dram, dan kemudian dikeringkan lagi dalam vakum selama satu jam. Cakram kontrol disusun hanya menggunakan metanol. Lima ulangan disiapkan untuk setiap tingkat dosis. Penetasan udang Brine telur udang menetas di piring persegi panjang dangkal (22 x 32 cm) diisi dengan air laut buatan yang perang disiapkan dengan campuran garam komersial dan air suling ganda. Sebuah pembagi plastik dengan beberapa lubang 2 mm dijepit di piring untuk membuat dua kompartemen yang tidak sama. Telur (ca. 50 mg) yang ditaburi ke dalam kompartemen yang lebih besar yang gelap, sedangkan kompartemen kecil diterangi. Setelah 24 jam nauplii phototropic dikumpulkan oleh pipet dari sisi menyala, telah dipisahkan oleh pembagi dari cangkangnya. Bioassay Sepuluh udang dipindahkan ke masing-masing sampel botol menggunakan 9 di pipet sekali pakai, dan air laut buatan ditambahkan untuk membuat 5 ml. nauplii dapat dihitung secara makroskopik di batang pipet terhadap menyala back-ground. Setetes suspensi kering ragi (bintang merah) (3 mg dalam 5 ml air laut buatan) adalah addes sebagai makanan untuk setiap botol. Botol dipertahankan di bawah pencahayaan. Selamat dihitung, dengan bantuan 3 x kaca pembesar, setelah 6 dan 24 jam, dan kematian persen pada setiap dosis dan kontrol ditentukan. 24 jam jumlah yang lebih berguna. Dalam kasus di mana kematian kontrol terjadi, data dikoreksi menggunakan rumus Abbott:% kematian = [(uji - control) / control] x 100. Penentuan LC50 LC50 dan interval kepercayaan 95% ditentukan dari jumlah jam 24 dengan menggunakan

metode analisis probit dijelaskan oleh Finney. Dalam kasus di mana data yang tidak mencukupi untuk teknik ini, data dosis-respons yang berubah menjadi garis lurus dengan cara transformasi logit; LD50 itu berasal dari garis paling cocok diperoleh dengan analisis regresi linear.

Determination of the susceptibility of a bacterial pathogen to antimicrobial drugs can be done by one of two principal methods: dilution or diffusion. Dilution method Graded amounts of antimicrobial substances are incorporated into liquid or solid bacteriologic media. The media are subsequently required to inhibit the growth –or to killthe test bacteria. Agar dilution susceptibility tests are time consuming, and their use is limited to special circumstances. Broth dilution tests were cumbersome and little used when dilution had to be made in test tubes; however, the advent of prepared broth dilution series were many different drugs in micro-dilution plates has greatly enhanced and simplified the method. The advantage of micro-broth dilution tests is that they permit a quantitative result to be reported, indicating the amount of given drug necessary to inhibit (or kill) the microorganisms tested. Diffusion method The most widely used method is the disk diffusion test. A filter paper disk containing a measured quantity of drug is placed on the surface of a solid medium that has been inoculated on the surface with the test organism. After incubation, the diameter of the clear zone of inhibition surrounding the disk is taken as a measure of the inhibitory power of the drug against the particular test organism. This method is subject to many physical and chemical factors in addition to the simple interaction of drugs and organism (e. g. the nature of the medium and diffusibility, molecular size, and the stability of the drug). Nevertheless, standardization of conditions permits determination of the susceptibility of the organism. Interpretation of the result of diffusion tests must be based on comparisons between dilution and diffusion methods. Such comparisons have led to the establishment of reference standards. Linear regression lines can express the relationship between log of minimum inhibitory concentration in dilution tests and diameter of inhibition zones in diffusion tests. Use of a single disk for each antibiotic with careful standardization of the test conditions permits the report of susceptible or resistant for a microorganism by comparing the size of the inhibition zone against a standard of the same drug. Inhibition around a disk containing a certain amount of antimicrobial drug does not imply susceptibility to that same concentration of drug per mililiter of medium, blood, or urine.

Penentuan kerentanan bakteri patogen terhadap obat antimikroba dapat dilakukan dengan salah satu dari dua metode utama: pengenceran atau difusi. Metode dilusi Jumlah Dinilai zat antimikroba yang dimasukkan ke dalam media yang bakteriologis cair atau padat. Media selanjutnya diperlukan untuk menghambat pertumbuhan -atau untuk killbakteri uji. Uji kepekaan pengenceran agar memakan waktu, dan penggunaannya terbatas pada keadaan khusus. Tes dilusi kaldu yang rumit dan sedikit digunakan ketika pengenceran harus dilakukan dalam tabung uji; Namun, munculnya siap seri dilusi banyak obat yang berbeda dalam piring mikro-dilusi telah sangat ditingkatkan dan disederhanakan metode. Keuntungan dari tes cairan mikro-kaldu adalah bahwa mereka memungkinkan hasil kuantitatif untuk dilaporkan, yang menunjukkan jumlah diberi obat yang diperlukan untuk menghambat (atau membunuh) mikroorganisme diuji. Metode difusi Metode yang paling banyak digunakan adalah uji difusi disk. Sebuah disk kertas filter yang mengandung kuantitas yang diukur obat ditempatkan pada permukaan medium padat yang telah diinokulasi pada permukaan dengan organisme uji. Setelah inkubasi, diameter zona bening inhibisi sekitar disk diambil sebagai ukuran kekuatan penghambatan obat terhadap organisme uji tertentu. Metode ini tunduk pada banyak faktor fisik dan kimia di samping interaksi obat-obatan sederhana dan organisme (misalnya sifat medium dan diffusibility, ukuran molekul, dan stabilitas obat). Namun demikian, standarisasi kondisi memungkinkan penentuan kerentanan organisme. Interpretasi hasil tes difusi harus didasarkan pada perbandingan antara dilusi dan difusi metode. Perbandingan tersebut telah menyebabkan pembentukan standar acuan. Garis regresi linear dapat mengungkapkan hubungan antara log konsentrasi hambat minimum dalam tes dilusi dan diameter zona penghambatan dalam tes difusi. Penggunaan disk tunggal untuk setiap antibiotik dengan standarisasi yang cermat terhadap kondisi pengujian memungkinkan laporan rentan atau tahan untuk mikroorganisme dengan membandingkan ukuran zona inhibisi terhadap standar obat yang sama. Penghambatan sekitar disk yang berisi sejumlah obat antimikroba tidak berarti kerentanan terhadap konsentrasi yang sama obat per mililiter medium, darah, atau urin.

Ringkasan Tanaman metabolit sekunder saat ini merupakan subyek banyak kepentingan penelitian, namun ekstraksi mereka sebagai bagian dari fitokimia atau penyelidikan biologis merupakan tantangan khusus yang harus diatasi selama proses ekstraksi pelarut. Ekstraksi sukses dimulai dengan seleksi yang seksama dan persiapan sampel tanaman, dan review menyeluruh literatur yang sesuai untuk indikasi yang protokol yang cocok untuk kelas tertentu senyawa atau spesies tanaman. Selama ekstraksi bahan tanaman, penting untuk meminimalkan gangguan dari senyawa yang dapat coextract dengan senyawa sasaran, dan untuk menghindari kontaminasi ekstrak, serta untuk mencegah dekomposisi metabolit penting dan pembentukan artefak sebagai akibat dari kondisi ekstraksi atau kotoran pelarut. Bab ini menyajikan gambaran proses ekstraksi tanaman, dengan penekanan pada masalah umum yang dihadapi dan metode untuk mengurangi atau menghilangkan masalah ini. Selain umumnya protokol ekstraksi yang berlaku, metode disarankan untuk kelas kurang lebih selektif mengeluarkan spesifik senyawa, dan metode fitokimia disajikan untuk mendeteksi kelas senyawa yang biasa ditemui selama ekstraksi tanaman, termasuk kelompokkelompok yang dipilih dari metabolit sekunder dan mengganggu senyawa. pengeringan dan penggilingan Secara umum, bahan tanaman harus dikeringkan pada suhu di bawah 30? C untuk menghindari penguraian senyawa thermolabile. Demikian juga, harus dilindungi dari sinar matahari karena potensi transformasi kimia yang dihasilkan dari paparan radiasi ultraviolet. Untuk mencegah penumpukan panas dan kelembaban, sirkulasi udara di sekitar bahan tanaman sangat penting. Oleh karena itu, tidak harus dipadatkan, dan mungkin perlu untuk menggunakan kipas atau cara lain untuk memberikan aliran udara di sekitar atau melalui sampel pengeringan (lihat Catatan 8). Ketika bahan tanaman segar diperlukan untuk studi, disarankan untuk mengambil secepat mungkin menggunakan pelarut organik, seperti metanol (MeOH) atau etanol (EtOH), yang akan menonaktifkan enzim hadir di pabrik. Biasanya, ekstrak yang dihasilkan akan berisi sebagian besar air, dan, jika diinginkan, dapat dipartisi dengan pelarut organik yang bercampur dengan campuran hydroalcoholic. Jika bahan tanaman harus tanah sebelum ekstraksi, mungkin perlu untuk menggiling bahan dalam pelarut buffer, sehingga mencegah reaksi hidrolisis karena perubahan pH yang dapat terjadi ketika asam organik yang ada dalam kompartemen selular dilepaskan. Atau, bahan tanaman dapat dibekukan dan diangkut pada es kering, atau diawetkan dalam alkohol. Sejumlah kecil bahan tanaman dapat digiling menggunakan kopi atau rempah-rempah pabrik listrik, atau dalam lesung dan alu, dalam hal ini, penambahan sejumlah kecil pasir dapat membantu dalam proses. Penggilingan jumlah besar bahan tanaman biasanya terbaik dilakukan dengan menggunakan peralatan kominusi skala industri (lihat Catatan 9). Grinding meningkatkan efisiensi ekstraksi dengan meningkatkan luas permukaan bahan tanaman. Hal ini juga mengurangi jumlah pelarut yang dibutuhkan untuk ekstraksi dengan memungkinkan bahan untuk berkemas lebih padat. Meskipun mungkin tampak bahwa bahan tanaman penggilingan menjadi bubuk halus akan ideal, jika partikel yang terlalu halus, pelarut tidak dapat mengalir dengan mudah di sekitar mereka. Selain itu, gesekan penggilingan menghasilkan panas (lebih halus partikel yang dihasilkan, semakin banyak panas), berpotensi menyebabkan konstituen yang mudah menguap akan hilang, dan komponen thermolabile untuk menurunkan dan mengoksidasi. Tanaman yang mengandung komponen volatil dapat diekstraksi dengan distilasi uap dari bahan tanaman cincang kasar. Penggilingan sampel meningkatkan efisiensi ekstraksi dengan meningkatkan luas permukaan bahan tanaman. Hal ini juga mengurangi jumlah pelarut yang dibutuhkan untuk ekstraksi dengan memungkinkan bahan untuk menjadi lebih padat. Namun demikian jika partikel terlalu halus, pelarut tidak dapat mengalir dengan mudah di sekitar mereka. Selain itu, gesekan penggilingan menghasilkan panas (lebih halus partikel yang dihasilkan, semakin banyak panas) dan berpotensi menyebabkan konstituen yang mudah menguap akan hilang,

dan komponen yang labil terhadap panas berkurang atau teroksidasi (Jones dan Kinghorn, 2006).

Ekstraksi Berbagai teknik, bervariasi dalam biaya dan tingkat kompleksitas, dapat digunakan untuk ekstraksi bahan tanaman. Untuk sebagian besar aplikasi, relatif teknik sederhana, seperti perkolasi dan maserasi, efektif dan ekonomis. Beberapa aplikasi tertentu, bagaimanapun, memerlukan teknik ekstraksi yang lebih canggih dan mahal menggunakan peralatan khusus (lihat Catatan 10), seperti yang digunakan dalam penyulingan skala besar uap dan ekstraksi superkritis-cairan (SFE) (lihat Bab. 3). Metode ekstraksi pelarut dapat diklasifikasikan sebagai terus menerus atau terputus-putus. Dalam metode kontinyu (misalnya, perkolasi dan ekstraksi Soxhlet), pelarut mengalir melalui bahan tanaman terus menerus. Sebagai konstituen berdifusi dari bahan tanaman ke dalam pelarut sekitarnya, pelarut menjadi semakin jenuh, tetapi karena pelarut terus mengalir, pelarut jenuh diganti dengan pelarut yang kurang jenuh. Dalam kasus metode terputus, pelarut ditambahkan dan dihapus dalam batch. Oleh karena itu, sekali ekuilibrium tercapai antara konsentrasi zat terlarut di dalam bahan tanaman dan konsentrasi dalam pelarut, ekstraksi dasarnya berhenti sampai pelarut dialirkan dan diganti dengan pelarut baru. Terlepas dari teknik ekstraksi yang digunakan, solusi yang dihasilkan harus disaring untuk menghilangkan partikel yang tersisa. Ekstrak tanaman tidak harus disimpan dalam pelarut untuk waktu yang lama pada suhu kamar, atau di bawah sinar matahari, karena menyertai peningkatan risiko pembentukan artefak dan dekomposisi atau isomerisasi konstituen ekstrak (lihat Subpos 2.4.). Ekstrak dapat terkonsentrasi pada tekanan berkurang pada evaporator putar atau dikeringkan di bawah aliran nitrogen. Jika rotary evaporator digunakan, disarankan untuk menjaga suhu air mandi di bawah 40? C untuk mencegah dekomposisi komponen thermolabile. Terutama ketika penggalian sejumlah besar sampel tunggal, pelarut dikumpulkan dari evaporator kondensor rotary selama konsentrasi satu batch ekstraksi dapat didaur ulang untuk ekstraksi lebih lanjut bahwa sampel yang sama, namun penggunaan pulih pelarut dalam ekstraksi sampel lainnya tidak disarankan, karena dapat menyebabkan kontaminasi silang dari ekstrak kemudian. 2.3.1. Perkolasi dan Soxhlet Extraction Perkolasi adalah metode yang efisien ekstraksi, cocok untuk menengah untuk ukuran sampel yang besar. Berbagai kapal yang berbeda dapat berfungsi sebagai percolators. Persyaratan utama adalah bahwa mereka memiliki bukaan yang lebar di bagian atas untuk mengakomodasi penambahan dan penghapusan bahan tanaman, dan katup di dasar untuk mengatur aliran pelarut (lihat Catatan 11). Dengan katup tertutup Posisi, bahan tanaman ditambahkan ke wadah, meninggalkan ruang untuk ekspansi. Kemudian, pelarut cukup ditambahkan untuk menutupi sampel. Jika bahan tanaman terlalu longgar dikemas, tidak akan meresap secara efisien, dan mungkin perlu dikompresi untuk mengurangi jumlah pelarut yang dibutuhkan untuk menutupi sampel (kaca atau keramik berpori labware dapat digunakan sebagai bobot untuk mengompresi bahan tanaman). Bahan tanaman diperbolehkan untuk rendam selama beberapa jam atau semalam, dengan jumlah yang cukup pelarut yang ditambahkan untuk menjaga bahan tanaman tertutup. Selanjutnya, katup dibuka sedikit untuk memungkinkan pelarut mengalir perlahan ke dalam wadah. Laju aliran diatur untuk memastikan bahwa keluarnya pelarut hampir jenuh dengan zat terlarut, dan pelarut ditambahkan di bagian atas dari cerek penapis untuk menggantikan yang hilang dari bawah. Meskipun pada prinsipnya lebih efisien dan ekonomis dibandingkan pelarut maserasi (lihat Subpos 2.3.2.), Perkolasi biasanya tidak praktis untuk sejumlah kecil bahan tanaman atau sejumlah besar sampel. Ekstraksi Soxhlet, menggunakan perangkat yang tersedia secara komersial, adalah metode yang nyaman untuk ekstraksi kecil untuk volume moderat bahan tanaman. Karena ekstraksi berlangsung dalam sistem tertutup di mana pelarut

terus didaur ulang, jumlah pelarut yang dibutuhkan untuk ekstraksi Soxhlet minimal. Dalam extractors yang paling umum digunakan, namun, panas yang dibutuhkan untuk menggerakkan ekstraksi akan cenderung menyebabkan konstituen thermolabile untuk membentuk artefak atau produk dekomposisi. 2.3.2. Maserasi Maserasi adalah metode umum untuk ekstraksi sejumlah kecil bahan tanaman di laboratorium karena bisa dilakukan dengan mudah di dalam labu Erlenmeyer (labu dapat ditutup dengan parafilm atau aluminium foil untuk mencegah penguapan pelarut). Setelah setiap penambahan pelarut segar, bahan tanaman harus dibiarkan terendam semalam. Pelarut kemudian harus dituang melalui pemisah atau saringan dan pelarut segar ditambahkan ke dalam labu. Sampel tersebut kemudian dicampur dengan pelarut segar disertai pengadukan dan pengocokan, dan ditinggalkan untuk terendam lagi. Sonikasi sampel maserasi kadangkadang digunakan untuk mengurangi waktu yang dibutuhkan untuk ekstraksi menyeluruh. Umumnya setelah tiga kali penggantian pelarut, kandungan tanaman hampir sepenuhnya diperoleh. Sampel dalam jumlah besar juga dapat dimaserasi, biasanya dalam wadah besar dengan keran di dasar wadah, seperti perkolasi dengan skala besar, kecuali bahwa pelarut diganti dalam batch (Jones dan Kinghorn, 2006). 2.3.3. Pilihan Solvent Faktor-faktor yang harus dipertimbangkan ketika memilih sistem pelarut atau pelarut untuk mengekstraksi bahan tanaman meliputi kelarutan konstituen target, keamanan, kemudahan bekerja dengan pelarut, potensi pembentukan artefak, dan tingkat kemurnian pelarut. Mengikuti prinsip “like extracts like”, sering mungkin untuk menyesuaikan pilihan pelarut untuk memaksimalkan hasil dari senyawa yang diinginkan serta meminimalkan ekstraksi senyawa yang tidak diinginkan. Teknik ekstraksi khusus yang mencegah dekomposisi dari analit yang diinginkan atau yang efisien mengekstrak senyawa yang diinginkan sering dilaporkan. Tinjauan yang seksama terhadap literatur yang berhubungan dengan spesies dan kelas senyawa yang diselidiki dapat menghemat waktu dan usaha. Bahkan adanya sedikit informasi tentang metabolit sekunder dari spesies tertentu atau laporan fitokimia pada spesies lain dalam suatu genus atau famili dapat memberikan petunjuk tentang jenis senyawa yang diharapkan, jenis pelarut dan prosedur dapat digunakan untuk mengisolasi mereka. Selain itu ada baiknya untuk melakukan beberapa percobaan ekstraksi menggunakan pelarut dan teknik yang berbeda. Perbandingan total hasil ekstrak, hasil metabolit yang diinginkan, atau intensitas aktivitas biologis akan menunjukkan metode mana yang memberikan hasil terbaik. Tindakan pencegahan harus diambil untuk meminimalkan risiko kebakaran dan ledakan saat menggunakan dan menyimpan pelarut yang mudah terbakar dan pelarut yang cenderung membentuk peroksida peledak (seperti dietil eter dan pelarut eter yang mengandung lainnya) (lihat Catatan 13). Pelarut dengan titik didih rendah umumnya lebih mudah digunakan dari sudut pandang bahwa mereka lebih mudah berkonsentrasi. Aseton, kloroform (CHCl3), diklorometana (DCM), etil asetat (EtOAc), dan n-heksana / petroleum eter menguap relatif cepat, sedangkan air dan butanol lebih sulit untuk dipisahkan.

Bahan kimia yang digunakan dalam pengobatan menjadi pilihan bila mematikan dan bukan hanya menghambat pertumbuhan mikroba. Bahan kimia yang mematikan bakteri dinamakan bakterisidal, sedangkan bahan kimia yang menghambat pertumbuhan bakteri disebut bakteriostatik. Bahan antimikrobial dapat bersifat bakteriostatik pada konsentrasi rendah, namun bersifat bakterisidal pada konsentrasi tinggi. Bahan kemoterapeutik yang baik adalah mempunyai daya mematikan mikroba, namun tidak menyebabkan keracunan pada induk semang yang menggunakan bahan tersebut. Bahan yang demikian memiliki toksisitas selektif. Antibiotika adalah suatu substansi (zat-zat) kimia yang diperoleh dari atau dibentuk dan dihasilkan oleh mikroorganisme, dan zat-zat itu dalam jumlah yang sedikit pun mempunyai daya penghambat kegiatan mikroorganisme yang lain. Antibiotika tersebar di alam, dan memegang peranan penting dalam mengatur populasi mikroba dalam tanah, air, limbah dan kompos. Antibiotika berbeda dalam susunan kimia dan cara kerjanya. Antibiotika ada yang mempunyai spektrum luas, artinya antibiotika yang efektif digunakan bagi banyak spesies bakteri, baik kokus,k basil maupun spiril; ada juga antibiotikan berspektrum sempit, artinya hanya efektif digunakan untuk spesies tertentu. Mekanisme kerja antibiotika yaitu dengan mengganggu bagian-bagian yang peka di dalam sel,, yaitu: 1. antibiotika yang mempengaruhi dinding sel Sel kuman dikelilingi oleh struktur kaku yang disebut dinding sel, yang melindungi membran protoplasma di bawahnya dari trauma, baik mekanik maupun non mekanik. Setiap zat yang mampu merusak dinding sel atau mencegah sintesisnya, menyebabkan terbentuknya sel-sel yang peka terhadap tekanan osmotik. Contoh antibiotika ini adalah penisilin, sefalosporin, basitrasin, sikloserin, ristosetin dan vankomisin. 2. antibiotika yang mengganggu fungsi membran sel Membran sel yang memegang peranan vital dalam sel, yakni sebagai penghalang dengan permeabilitas selektif, melakukan pengangkutan aktif dan mengendalikan susunan dalam sel. Membran sel mempengaruhi konsentrasi metabolit dan bahan gizi di dalam sel dan merupakan tempat berlangsungnya pernafasan dan aktivitas biosintetik tertentu. beberapa antibiotika diketahui mampu merusak atau memperlemah satu atau lebih dari fungsi-fungsi tersebut. Bila fungsi-fungsi tersebut terganggu, maka akan menyebabkan gangguan terhadap kehidupan sel. Hanya beberapa antibiotika jenis ini yang dipakai untuk klinik, karena kebanyakan darinya bersifat toksik bagi manusia. Contohnya yaitu polimiksin, kolistin nistatin, amfotesirin B.ng menghambat sintesis protein 3. antibiotika yang menghambat sintesis protein Contoh : aktimiosin, rifampisin, streptomisin, tetrasiklin, kloramfenikol, eritromisin, klindamisin, linkomisin, kanamisin, neomisin, netilmisin dan tibramisin. Sintesis protein merupakan hasil akhir dari dua proses utama: yaitu trnaskripsi (sintesis asam ribonukleat) dan translasi (sintesis protein yang ARN-dependent). Antibiotika yang mampu menghambat salah satu proses ini, akan menghambat sintesis protein. 4. antibiotika yang menghambat sintesis asam nukleat Obat di atas merupakan penghambat efektif terhadap sintesis ADN. Sebenarnya, obatobat demikian membentuk kompleks dengan ADN melalui ikatan pada residu deoksiguanosin. Kompleks ADN-aktinomisin menghambat polimerase ARN yang tergantung pada ADN serta menahan pembentukan ARN-m. Aktinomisin menghambat replikasi virus ADN. Mitomisin menghasilkan hubungan silang yang kuat dari untaian komplementer ADN dan sebagai akibatnya menahan replikasi ADN. Aktinomisin dan mitomisin menghambat selsel kuman maupun sel binatang dan tidak cukup selektif untuk digunakan dalam khemoterapi antikuman. Rimfampisin menghambat pertumbuhan kuman melalui ikatan kuat pada polimerase ARN kuman yang tergantung ADN. Jadi dapat menghambat sintesis ARN kuman. Contoh: asam nalidiksat, novobisin, pirimetamin, sulfonamida dan trimetoprim.

== Antibiotika adalah senyawa kkimia khas yang dihasilkan oleh organisme hidup, termasuk turunan senyawa dan struktur analognya yang dibuat secara sintetik, dan dalam kadar rendah mampu menghambat proses penting dalam kehidupan satu spesies atau lebih mikroorganisme. Pada awalnya antibiotika diisolasi dari mikroorganisme, tetapi sekarang beberapa antibiotika telah didapatkan dari tanaman tinggi atau binatang. Penggolongan antibiotika berdasarkan spektrum aktivitasnya : 1. antibiotika dengan spektrum luas, efektif baik terhadap Gram positif maupun Gram negatif, contoh: turunan tetrasiklin, turunan amfenikol, turunan aminoglikosida, turunan makrolida, rifampisin, beberapa turunan penisilin, seperti ampisilin, amoksisilin, bakampisilin, karbenisiilin, hetasilin, pivampisiilin, sulbenisili, tikarsilin dan sebagian besar turunan sefalosforin. 2. antibiotika yang aktivitasnya lebih dominan terhadap bakteri Gram positif, contoh: basitrasin, eritromisin, sebagian besar turunan penisilin, seperti benzilpenisilin, penisilin G prokain, penisilin V, fenitisilin K, metisilin Na, nafsilin Na, oksasilin Na, kloksasilin Na, dikloksasilin Na dan floksasilin Na, turunan linkosamida, asam fusidat dan beberapa turunan sefalosporin. 3. antibiotika yang aktivitasnya lebih dominan terhadap bakteri Gram negatif, contoh: kolistin, polimiksin B sulfat dan sulfomisin 4. antibiotika yang aktivitasnya lebih dominan terhadap Mycobacteriae (antituberkulosis), contoh: streptomisin, kanamisin, sikloserin, rifampisin, viomisisn dan kapreomisin. 5. antibiotika yang aktif terhadap jamur (antijamur), contoh: grisofulvin, dan antibiotika polien, seperti nistatin, amfoterisin B dan kandisidin. 6. antibiotika yang aktif terhadap neoplasma (antikanker), contoh: aktinomisin, bleomisin, daunorubisin, mitomisin dan mitramisin.

1.1.1 Simplisia Menurut Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM, 2005) simplisia adalah bahan alamiah yang dipergunakan sebagai obat tradisional yang belum mengalami pengolahan apapun juga dan kecuali dinyatakan lain merupakan bahan yang dikeringkan. Secara umum, bahan tanaman harus dikeringkan pada suhu di bawah 30oC untuk menghindari penguraian senyawa yang labil terhadap panas. Demikian juga harus dilindungi dari sinar matahari karena potensi transformasi kimia yang dihasilkan dari paparan radiasi ultraviolet. Untuk mencegah penumpukan panas dan kelembaban, sirkulasi udara di sekitar bahan tanaman sangat penting. Oleh karena itu tidak boleh dipadatkan dan jika perlu digunakan kipas atau cara lain untuk memberikan aliran udara di sekitar atau melalui pengeringan sampel (Jones dan Kinghorn, 2006). Penggilingan sampel meningkatkan efisiensi ekstraksi dengan meningkatkan luas permukaan bahan tanaman. Hal ini juga mengurangi jumlah pelarut yang dibutuhkan untuk ekstraksi dengan memungkinkan bahan untuk menjadi lebih padat. Namun demikian jika partikel terlalu halus, pelarut tidak dapat mengalir dengan mudah di sekitar mereka. Selain itu, gesekan penggilingan menghasilkan panas (lebih halus partikel yang dihasilkan, semakin banyak panas) dan berpotensi menyebabkan konstituen yang mudah menguap akan hilang, dan komponen yang labil terhadap panas berkurang atau teroksidasi (Jones dan Kinghorn, 2006).

2.1.1.3. DRYING AND GRINDING If the plant is known to contain volatile or thermolabile compounds, it may be advisable to snap–freeze the material as soon as possible after collection. Once in the laboratory, the collected plants are washed or gently brushed to remove soil and other debris. Frozen samples can be stored in a freezer (at _20_C) or freeze-dried (lyophilized) (see Note 2). It is usual to grind them subsequently in a mortar with liquid nitrogen. Extracting the pulverized residue immediately or storing it in a freezer to prevent any changes in the profile of metabolites (1,2) is advisable. It is, however, a more common practice to leave the sample to dry on trays at ambient temperature and in a room with adequate ventilation. Dry conditions are essential to prevent microbial fermentation and subsequent degradation of metabolites. Plant material should be sliced into small pieces and distributed evenly to facilitate homogenous drying. Protection from direct sunlight is advised to minimize chemical reactions (and the formation of artifacts) induced by ultraviolet rays. To accelerate the drying process (especially in countries with high relative humidity), the material can be dried in an oven (see Note 3). This can also minimize enzymatic reactions (e.g., hydrolysis of glycosides) that can occur as long as there is some residual moisture present in the plant material. The dried plant material should be stored in sealed containers in a dry and cool place. Storage for prolonged periods should be avoided, as some constituents may decompose. The aim of grinding (i.e., fragmentation of the plant into smaller particles) is to improve the subsequent extraction by rendering the sample more homogenous, increasing the surface area, and facilitating the penetration of solvent into the cells. Mechanical grinders (e.g., hammer and cutting mills) are employed conveniently to shred the plant tissues to various particle sizes. Potential problems of grinding include the fact that some material (e.g., seeds and fruits rich in fats and volatile oils) may clog up the sieves and that the heat generated may degrade thermolabile metabolites.

2.1.2. Range of Extraction Methods A number of methods using organic and/or aqueous solvents are employed in the extraction of natural products. Supercritical fluid extraction (which uses carbon dioxide in a supercritical state as the extractant), a solvent-free and environment-friendly method of extraction, is discussed in Chapter 3. Solvent extraction relies on the principle of either ‘‘liquid–liquid’’ or ‘‘solid–liquid’’ extraction. Only the latter is described here, and theoretical and practical aspects related to liquid–liquid extraction are covered in Chapter 10. In solid–liquid extraction, the plant material is placed in contact with a solvent. While the whole process is dynamic, it can be

simplified by dividing it into different steps. In the first instance, the solvent has to diffuse into cells, in the following step it has to solubilize the metabolites, and finally it has to diffuse out of the cells enriched in the extracted metabolites. In general, extractions can be facilitated by grinding (as the cells are largely destroyed, the extraction relies primarily on the solubilization of metabolites) and by increasing the temperature (to favor solubilization). Evaporation of the organic solvents or freeze-drying (of aqueous solutions) yields dried crude extracts (see Note 4).

2.1.2.1. MACERATION This simple, but still widely used, procedure involves leaving the pulverized plant to soak in a suitable solvent in a closed container at room temperature. The method is suitable for both initial and bulk extraction. Occasional or constant stirring of the preparation (using mechanical shakers or mixers to guarantee homogenous mixing) can increase the speed of the extraction. The extraction ultimately stops when an equilibrium is attained between the concentration of metabolites in the extract and that in the plant material. After extraction, the residual plant material (marc) has to be separated from the solvent. This involves a rough clarification by decanting, which is usually followed by a filtration step. Centrifugation may be necessary if the powder is too fine to be filtered. To ensure exhaustive extraction, it is common to carry out an initial maceration, followed by clarification, and an addition of fresh solvent to the marc. This can be performed periodically with all filtrates pooled together. The main disadvantage of maceration is that the process can be quite time-consuming, taking from a few hours up to several weeks (3). Exhaustive maceration can also consume large volumes of solvent and can lead to the potential loss of metabolites and/or plant material (see Note 5). Furthermore, some compounds may not be extracted efficiently if they are poorly soluble at room temperature. On the other hand, as the extraction is performed at room temperature, maceration is less likely to lead to the degradation of thermolabile metabolites.

2.1.3. Selection of an Extraction Method and Solvent The ideal extraction procedure should be exhaustive (i.e., extract as much of the desired metabolites or as many compounds as possible). It should be fast, simple, and reproducible if it is to be performed repeatedly. The selection of a suitable extraction method depends mainly on the work to be carried out, and whether or not the metabolites of interest are known. If the plant material has been selected from an ethnobotanical point of view, it may be worthwhile reproducing the extraction methods employed traditionally (if they are reported)

to enhance the chances of isolating potential bioactive metabolites. Traditional methods rely principally on the use of cold/hot water, alcoholic, and/or aqueous alcoholic mixtures to obtain preparations that are used externally or administered internally as teas (e.g., infusions, decoctions). Boiling solvent can be poured on the plant material (infusion) or the plant can be immersed in boiling solvent (decoction). If a plant has already been investigated chemically, a literature search can indicate the extraction methods employed previously. However, this does not exclude the possibility of choosing an alternative method that may yield different metabolites. If a plant is being investigated for the first time, the lack of information on suitable extraction methods leaves the choice to the investigator. The selection will be governed by the nature and amount of material to be extracted. If large amounts are to be extracted, the ease of transfer from initial to bulk scale must also be considered. Extraction processes can employ water-miscible or water-immiscible solvents. The solvent selected should have a low potential for artifact formation, a low toxicity, a low flammability, and a low risk of explosion. Additionally, it should be economical and easily recycled by evaporation. These issues are particularly important in the case of bulk extraction where large volumes of solvents are employed. The main solvents used for extraction include aliphatic and chlorinated hydrocarbons, esters, and lower alcohols (Table 1) (see Note 10).

Extractions can be either ‘‘selective’’ or ‘‘total.’’ The initial choice of the most appropriate solvent is based on its selectivity for the substances to be extracted. In a selective extraction, the plant material is extracted using a solvent of an appropriate polarity following the principle of ‘‘like dissolves like.’’ Thus, nonpolar solvents are used to solubilize mostly lipophilic compounds (e.g., alkanes, fatty acids, pigments, waxes, sterols, some terpenoids, alkaloids, and coumarins). Medium-polarity solvents are used to extract compounds of intermediate polarity (e.g., some alkaloids, flavonoids), while more polar ones are used for more polar compounds (e.g., flavonoid glycosides, tannins, some alkaloids). Water is not

used often as an initial extractant, even if the aim is to extract water-soluble plant constituents (e.g., glycosides, quaternary alkaloids, tannins) (see Chap. 16). A selective extraction can also be performed sequentially with solvents of increasing polarity. This has the advantage of allowing a preliminary separation of the metabolites present in the material within distinct extracts and simplifies further isolation (7). In an extraction referred to as ‘‘total,’’ a polar organic solvent (e.g., ethanol, methanol, or an aqueous alcoholic mixture) is employed in an attempt to extract as many compounds as possible. This is based on the ability of alcoholic solvents to increase cell wall permeability, facilitating the efficient extraction of large amounts of polar and medium- to low-polarity constituents. The ‘‘total’’ extract is evaporated to dryness, redissolved in water, and the metabolites re-extracted based on their partition coefficient (i.e., relative affinity for either phase) by successive partitioning between water and immiscible organic solvents of varying polarity (see Chap. 10) (8,9). Specific protocols during which the pH of the extracting aqueous phase is altered to solubilize selectively groups of metabolites (such as acids or bases) can also be used. For instance, these are applied to the extraction of alkaloids (which occur mostly as water-soluble salts in plants). On treating the plant material with an alkaline solution, the alkaloids are released as free bases that are recovered following partition into a water-immiscible organic solvent (10). Subsequent liquid–liquid extractions and pH modifications can be performed to separate the alkaloids from other nonalkaloidal metabolites (see Chap. 10). Alternatively, alkaloids can be extracted from the plant material in their salt form under acidic conditions (11). Acidic extraction is also applied to the extraction of anthocyanins (12). However, one drawback of the acid–base treatment is that it can produce some artifacts and/or lead to the degradation of compounds (13–15). Finally, single solvents or solvent mixtures can be used in extraction protocols. When a solvent mixture is necessary, a binary mixture (two miscible solvents) is usually employed. In a Soxhlet extraction, it is preferable to use a single solvent simply because one of the solvents in the mixture may distill more rapidly than another. This may lead to a change in the solvent proportions in the extracting chamber.

Notes: Solvent removal should be done immediately after extraction to minimize the loss of compounds unstable in solution. Prolonged exposure to sunlight should also be avoided because of the potential for degradation. For organic solvents, the extract is concentrated by evaporation under reduced pressure (using a rotary evaporator) at a temperature below 40oC to minimize the degradation of thermolabile compounds. Precautions are required if extracts

contain some metabolites that foam (e.g., saponins), as these may spill into the solvent collecting flask. Small volumes of solvents (<5 mL) can be evaporated under a gentle stream of nitrogen gas. If an organic/aqueous mixture was used as the extractant, the sample is evaporated under reduced pressure and then freeze-dried (lyophilized). Freeze-drying relies on the removal of water from a frozen sample by sublimation under vacuum. The freezedried extract is best stored in a sealed container in a freezer (-20oC) until required to minimize degradation at room temperature.

2.1.1.3. PENGERINGAN DAN GRINDING

Jika suatu tanaman diketahui mengandung senyawa volatil atau thermolabile, dapat disarankan untuk membekukan bahan sesegera mungkin setelah pengumpulan. Setelah di laboratorium, tanaman yang terkumpul dicuci atau disikat dengan lembut untuk menghilangkan tanah dan pengotor lainnya. Sampel beku dapat disimpan dalam freezer (pada suhu 20oC) atau di keringbekukan (freeze-drying) (liofilisasi). Biasanya sampel kemudian digiling dalam lumpang dengan nitrogen cair. Sampel halus sebaiknya segera diekstraksi atau disimpan dalam freezer untuk mencegah perubahan profil metabolit (1,2). Dalam prakteknya, sampel umumnya dibiarkan mengering dalam nampan pada suhu kamar di sebuah ruangan dengan ventilasi yang cukup. Kondisi kering sangat penting untuk mencegah fermentasi mikroba dan degradasi metabolit. Bahan tanaman harus diiris kecil-kecil dan merata untuk memudahkan pengeringan yang homogen. Perlindungan dari sinar matahari langsung disarankan untuk meminimalkan reaksi kimia yang disebabkan oleh sinar ultraviolet. Untuk mempercepat

proses

pengeringan

(terutama

di

negara-negara

dengan

kelembaban relatif tinggi), bahan dapat dikeringkan dalam oven (dengan suhu di bawah 30oC untuk menghindari degradasi komponen termolabil). Hal ini juga dapat meminimalkan reaksi enzimatik (misalnya, hidrolisis glikosida) yang dapat terjadi selama terdapat sisa kelembaban dalam bahan tanaman. Bahan tanaman yang kering harus disimpan dalam wadah tertutup di tempat yang kering dan sejuk. penyimpanan dalam waktu lama harus dihindari, karena beberapa konstituen dapat terurai. Tujuan dari penggilingan (yaitu, fragmentasi tanaman menjadi partikel yang lebih kecil) adalah untuk meningkatkan proses ekstraksi dengan rendering sampel yang lebih homogen, meningkatkan luas permukaan, dan memudahkan penetrasi pelarut ke dalam sel. Penggiling mekanik (misalnya, palu dan memotong pabrik) dipekerjakan mudah untuk rusak jaringan tanaman untuk berbagai ukuran partikel. Potensi masalah dari penggilingan termasuk fakta bahwa beberapa bahan (misalnya, biji dan buah yang kaya lemak dan minyak

atsiri) dapat menyumbat saringan dan panas yang dihasilkan dapat menurunkan metabolit yang thermolabile.

2.1.2. Rentang Metode Ekstraksi Sejumlah metode menggunakan pelarut organik dan/atau berair digunakan dalam ekstraksi bahan alam. Ekstraksi fluida superkritis (yang menggunakan karbon dioksida dalam keadaan superkritis sebagai ekstraktan) sebagai metode ekstraksi bebas pelarut dan ramah lingkungan dibahas dalam Bab 3. Ekstraksi pelarut bergantung pada prinsip baik '' cair-cair '' atau '' padatcair '' ekstraksi. Hanya yang terakhir ini dijelaskan di sini, dan aspek teoritis dan praktis yang berkaitan dengan ekstraksi cair-cair yang dibahas dalam Bab 10. Pada ekstraksi padat-cair, bahan tanaman ditempatkan dalam kontak dengan pelarut. Sementara seluruh proses dinamis, dapat disederhanakan dengan membaginya menjadi langkah-langkah yang berbeda. Dalam langkah pertama, pelarut harus berdifusi ke dalam sel, pada langkah berikutnya pelarut harus melarutkan metabolit, dan akhirnya pelarut harus berdifusi keluar dari sel-sel diperkaya dalam metabolit yang diekstrak. Secara umum, ekstraksi dapat dibantu oleh grinding (sebagai sel yang sebagian besar hancur, ekstraksi bergantung terutama pada kelarutan metabolit) dan dengan meningkatkan suhu (untuk mendukung kelarutan). Penguapan pelarut organik atau membekukan-pengeringan (larutan berair) menghasilkan ekstrak kasar yang kering (lihat Catatan 4).

2.1.2.1. Kelelahan Teknik ekstraksi ini sederhana, tetapi masih banyak digunakan, prosedur melibatkan perendaman sampel halus dengan pelarut yang sesuai dalam wadah tertutup pada suhu kamar. Metode ini cocok untuk ekstraksi awal dan massal. Pengadukan sesekali atau konstan persiapan (menggunakan shaker mekanik atau mixer untuk menjamin pencampuran homogen) dapat meningkatkan kecepatan ekstraksi. Ekstraksi akhirnya berhenti ketika keseimbangan dicapai

antara konsentrasi metabolit dalam ekstrak dan dalam bahan tanaman. Setelah ekstraksi, bahan tanaman sisa (marc) harus dipisahkan dari pelarut. Ini melibatkan klarifikasi kasar oleh decanting, yang biasanya diikuti dengan langkah penyaringan. Sentrifugasi mungkin diperlukan jika bubuk yang terlalu halus akan disaring. Untuk memastikan ekstraksi lengkap, itu adalah umum untuk melaksanakan maserasi awal, diikuti oleh klarifikasi, dan penambahan pelarut segar untuk marc tersebut. Hal ini dapat dilakukan secara berkala dengan semua filtrat dikumpulkan bersama-sama. Kerugian utama maserasi adalah bahwa proses bisa sangat memakan waktu, mulai dari beberapa jam sampai beberapa minggu (3). Maserasi lengkap juga dapat mengkonsumsi volume besar pelarut dan dapat menyebabkan hilangnya potensi metabolit dan / atau bahan tanaman (lihat Catatan 5). Selain itu, beberapa senyawa tidak dapat diekstraksi secara efisien jika mereka kurang larut pada suhu kamar. Di sisi lain, sebagai ekstraksi dilakukan pada suhu kamar, maserasi kurang cenderung menyebabkan degradasi metabolit thermolabile.

2.1.3. Pemilihan Metode Ekstraksi dan pelarut Prosedur ekstraksi ideal harus lengkap (yaitu, ekstrak sebanyak metabolit yang diinginkan atau sebanyak senyawa mungkin). Ini harus cepat, sederhana, dan direproduksi jika itu harus dilakukan berulang-ulang. Pemilihan metode ekstraksi yang cocok tergantung terutama pada pekerjaan yang akan dilakukan, dan apakah atau tidak metabolit bunga dikenal. Jika bahan tanaman telah dipilih dari sudut pandang ethnobotanical pandang, mungkin bermanfaat mereproduksi metode ekstraksi yang digunakan secara tradisional (jika mereka dilaporkan) untuk meningkatkan peluang mengisolasi potensi metabolit bioaktif. Metode tradisional bergantung terutama pada penggunaan dingin / air panas, alkohol, dan / atau campuran alkohol berair untuk mendapatkan persiapan yang digunakan secara eksternal atau secara internal sebagai teh (misalnya, infus, decoctions). Mendidih pelarut dapat dituangkan pada bahan tanaman (infus) atau tanaman dapat direndam dalam

pelarut mendidih (rebusan). Jika tanaman sudah diteliti secara kimia, pencarian literatur dapat menunjukkan metode ekstraksi yang digunakan sebelumnya. Namun, ini tidak mengecualikan kemungkinan memilih metode alternatif yang dapat menghasilkan metabolit yang berbeda. Jika tanaman sedang diselidiki untuk pertama kalinya, kurangnya informasi tentang metode ekstraksi cocok meninggalkan pilihan untuk penyidik. Pemilihan akan diatur oleh sifat dan jumlah bahan yang akan diekstraksi. Jika jumlah besar yang akan diekstrak, kemudahan transfer dari awal untuk skala massal juga harus dipertimbangkan. Proses ekstraksi dapat menggunakan air-larut atau pelarut air bercampur. Pelarut yang dipilih harus memiliki potensi rendah untuk pembentukan artefak, toksisitas rendah, mudah terbakar rendah, dan risiko rendah ledakan. Selain itu, harus ekonomis dan mudah didaur ulang oleh penguapan. Isu-isu ini sangat penting dalam kasus ekstraksi massal di mana volume besar pelarut yang digunakan. Pelarut utama yang digunakan untuk ekstraksi termasuk alifatik dan hidrokarbon diklorinasi, ester, dan alkohol rendah (Tabel 1) (lihat Catatan 10). Ekstraksi dapat berupa '' selektif '' atau '' Total. '' Pilihan awal pelarut yang paling tepat berdasarkan selektivitas untuk zat yang akan diekstraksi. Dalam ekstraksi selektif, bahan tanaman diekstrak menggunakan pelarut dari polaritas yang sesuai mengikuti prinsip '' seperti larut seperti. '' Dengan demikian, pelarut nonpolar digunakan untuk melarutkan sebagian besar senyawa lipofilik (misalnya, alkana, asam lemak, pigmen, lilin, sterol, beberapa terpenoid, alkaloid, dan kumarin). Pelarut menengah-polaritas digunakan untuk mengekstrak senyawa polaritas menengah (misalnya, beberapa alkaloid, flavonoid), sedangkan yang lebih polar digunakan untuk senyawa polar lebih (misalnya, glikosida flavonoid, tanin, beberapa alkaloid). Air tidak digunakan sering sebagai ekstraktan awal, bahkan jika tujuannya adalah untuk mengekstrak larut dalam air tanaman konstituen (misalnya, glikosida, alkaloid kuartener, tanin) (lihat Bab. 16). Sebuah ekstraksi selektif juga dapat dilakukan secara berurutan dengan pelarut meningkatkan polaritas. Ini memiliki keuntungan yang memungkinkan pemisahan awal dari metabolit hadir dalam

materi dalam ekstrak yang berbeda dan menyederhanakan isolasi lebih lanjut (7). Dalam ekstraksi disebut sebagai '' total, '' pelarut polar organik (misalnya, etanol, metanol, atau campuran alkohol berair) digunakan dalam upaya untuk mengekstrak sebanyak senyawa mungkin. Hal ini didasarkan pada kemampuan pelarut alkohol untuk meningkatkan permeabilitas dinding sel, memfasilitasi ekstraksi efisien dalam jumlah besar kutub dan menengah untuk konstituen rendah polaritas. The '' total '' ekstrak diuapkan sampai kering, dilarutkan kembali dalam air, dan metabolit kembali diekstraksi berdasarkan koefisien partisi mereka (yaitu, relatif afinitas untuk kedua fase) oleh partisi berturut-turut antara air dan pelarut organik bercampur dari berbagai polaritas (lihat Chap. 10) (8,9). Protokol tertentu di mana pH fasa air penggalian diubah untuk melarutkan secara selektif kelompok metabolit (misalnya asam atau basa) juga dapat digunakan. Misalnya, ini diterapkan untuk ekstraksi alkaloid (yang terjadi sebagian besar sebagai garam yang larut dalam air pada tanaman). Memperlakukan bahan tanaman dengan larutan alkali, alkaloid yang dirilis sebagai basis bebas yang pulih setelah partisi menjadi pelarut organik tak larut air (10). Selanjutnya ekstraksi cair-cair dan modifikasi pH dapat dilakukan untuk memisahkan alkaloid dari metabolit nonalkaloidal lainnya (lihat Bab. 10). Atau, alkaloid dapat diekstraksi dari bahan tanaman dalam bentuk garam mereka di bawah kondisi asam (11). Ekstraksi asam juga diterapkan pada ekstraksi antosianin (12). Namun, salah satu kelemahan dari pengobatan asambasa adalah bahwa hal itu dapat menghasilkan beberapa artefak dan / atau menyebabkan degradasi senyawa (13-15). Akhirnya, pelarut tunggal atau campuran pelarut dapat digunakan dalam protokol ekstraksi. Ketika campuran pelarut diperlukan, campuran biner (dua pelarut larut) biasanya digunakan. Dalam ekstraksi Soxhlet, adalah lebih baik untuk menggunakan pelarut tunggal hanya karena salah satu pelarut dalam campuran dapat menyaring lebih cepat dari yang lain. Hal ini dapat menyebabkan perubahan dalam proporsi pelarut dalam ruang ekstraksi.

Catatan: Penghilangan pelarut harus dilakukan segera setelah ekstraksi untuk meminimalkan kerugian dari senyawa yang tidak stabil dalam larutan. Terlalu lama terkena sinar matahari juga harus dihindari karena dapat menilmbulkan potensi degradasi. Untuk pelarut organik, ekstrak dipekatkan dengan penguapan di bawah tekanan rendah (menggunakan rotary evaporator) pada suhu di bawah 40oC untuk meminimalkan degradasi senyawa thermolabil. Kewaspadaan diperlukan jika ekstrak mengandung beberapa metabolit yang busa (misalnya, saponin), karena ini mungkin tumpah ke dalam labu mengumpulkan pelarut. Volume kecil pelarut (<5 mL) dapat menguap di bawah aliran lembut dari gas nitrogen. Jika campuran organik/berair digunakan sebagai pelarut, sampel diuapkan pada tekanan yang rendah dilanjutkan dengan pengeringan-beku (freeze-drying) (lyophilized). Pengeringan beku bergantung pada penghilangan air dari sampel beku oleh sublimasi kondisi vakum. Ekstrak beku-kering yang terbaik disimpan dalam wadah tertutup di freezer (-20oC) hingga diperlukan untuk meminimalkan degradasi pada suhu kamar.

References 1. Schliemann, W., Yizhong Cai, Y., Degenkolb, T., Schmidt, J., and Corke, H.(2001) Betalains of Celosia argentea. Phytochemistry 58, 159–165. 2. Brown, G. D., Liang, G.-Y., and Sy, L.-K. (2003) Terpenoids from the seedsof Artemisia annua. Phytochemistry 64, 303–323. 3. Takahashi, H., Hirata, S., Minami, H., and Fukuyama, Y. (2001) Triterpeneand flavanone glycoside from Rhododendron simsii. Phytochemistry 56, 875–879. 4. Mohagheghzadeh, A., Schmidt, T. J., and Alfermann, A. W. (2002) Arylnaphthalenelignans from in vitro cultures of Linum austriacum. J. Nat. Prod. 65, 69–71. 5. Waksmundzka-Hajnos, M., Petruczynik, A., Dragan, A., Wianwska, D., Dawidowicz, A., and Sowa, I. (2004) Influence of the extraction mode on the yield of some furanocoumarins from Pastinaca sativa fruits. J. Chromatogr. B 800, 181–187. 6. Benthin, B., Danz, H., and Hamburger, M. (1999) Pressurized liquid extraction of medicinal plants. J. Chromatogr. A 837, 211–219. 7. Cottiglia, F., Dhanapal, B., Sticher, O., and Heilmann, J. (2004) New chromanone acids with antibacterial activity from Calophyllum brasiliens. J. Nat. Prod. 67, 537–541. 8. Lin, L.-C., Yang, L.-L., and Chou, C.-J. (2003) Cytotoxic naphthoquinones and plumbagic acid glucosides from Plumbago zeylanica. Phytochemistry 62, 619–622. 9. Akhtar, M. N., Atta-ur-Rahman, Choudhary, M. I., Sener, B., Erdogan, I., and Tsuda, Y. (2003) New class of steroidal alkaloids from Fritillaria imperialis. Phytochemistry 63, 115– 122.

10. Zanolari, B., Guilet, D., Marston, A., Queiroz, E. F., Paulo, M. Q., and Hostettmann, K. (2003) Tropane alkaloids from the bark of Erythroxylum vacciniifolium. J. Nat. Prod. 66, 497–502. 11. Zhang, X., Yea, W., Zhaoa, S., and Che, C.-T. (2004) Isoquinoline and isoindole alkaloids from Menispermum dauricum. Phytochemistry 65, 929–932. 12. Toki, K., Saito, N., Shigihara, A., and Honda, T. (2001) Anthocyanins from the scarlet flowers of Anemone coronaria. Phytochemistry 56, 711–715. 13. Kiehlmann, E. and Li, E. P. M. (1995) Isomerisation of dihydroquercetin. J. Nat. Prod. 58, 450–455. 14. Sulaiman, M., Martin, M. T., Pais, M., Hadi, H. A., and Awang, K. (1998) Desmosine, an artefact alkaloid from Desmos dumosus. Phytochemistry 49, 2191–2192. 15. Salim, A. A., Garson, M. J., and Craik, D. J. (2004) New Alkaloids from Pandanus amaryllifolius. J. Nat. Prod. 67, 54–57. 16. Funayama S., Ishibashi M., Ankaru Y., et al. (1989) Novel cytocidal antibiotics, glucopiericidinols A1 and A2. Taxonomy, fermentation, isolation, structure elucidation and biological characteristics. J. Antibiot. 42,1734–1740. 17. Cao S., Lee A. S. Y., Huang Y., et al. (2002) Agonodepsides A and B: two new depsides from a filamentous fungus F7524. J. Nat. Prod. 65, 1037–1038. 18. Chinworrungsee, M., Kittakoop, P., Isaka, M., Maithip, P., Supothina, S., and Thebtaranonth, Y. (2004) Isolation and structure elucidation of a novel antimalarial macrocyclic polylactone, menisporopsin A, from the fungus Menisporopsis theobromae. J. Nat. Prod. 67, 689–692. 19. Machida K., Trifonov I. S., Ayer W. A., et al. (2001) 3(2H)–Benzofuranones and chromanes from liquid cultures of the mycoparasitic fungus Coniothyrium minitans. Phytochemistry 58, 173–177. 20. Liu, Z., Jensen, P. R., and Fenical, W. (2003) A cyclic carbonate and related polyketides from a marine-derived fungus of the genus Phoma. Phytochemistry 64, 571–574. 21. Shiono, Y., Matsuzaka, R., Wakamatsu, H., Muneta, K., Murayama, T., and Ikeda, M. (2004) Fascicularones A and B from a mycelial culture of Naematoloma fasciculare. Phytochemistry 65, 491–496. 22. Yun, B.-S., Lee, I.-K., Cho, Y., Cho, S.-M., and Yoo, I.-D. (2002) New Tricyclic Sesquiterpenes from the fermentation Broth of Stereum hirsutum. J. Nat. Prod. 65, 786–788. 23. Gerth, K., Bedorf, N., Irschik, H., Hofle, G., and Reichenbach, H. (1994) The soraphens: a family of novel antifungal compounds from Sorangium cellulosum (Myxobacteria) I. Soraphen A1a: fermentation, isolation, biological properties. J. Antibiot. 47, 23–31. 24. Demain, A. L. (1999) Pharmaceutically active secondary metabolites of microorganisms. Appl. Microbiol. Biotechnol. 52, 455–463. 25. Phillipson, J. D. and Bisset, N. G. (1972) Quaternisation and oxidation of strychnine and brucine during plant extraction. Phytochemistry 11, 2547–2553. 26. Lavie, D., Bessalle, R., Pestchanker, M. J., Gottlieb, H. E., Frolow, F., and Giordano, O. S. (1987) Trechonolide A, a new withanolide type from Trechonaetes laciniata. Phytochemistry 26, 1791–1795. 27. Banthorpe, D. V. (1991) Classification of terpenoids and general procedures for their characterisation, in Methods in Plant Biochemistry, vol. 7 (Dey, P. M. and Harborne, J. B., eds.) Academic, New York.

Initial and Bulk Extraction. Ve´ronique Seidel

From: Methods in Biotechnology, Vol. 20, Natural Products Isolation, 2nd ed. Edited by: S. D. Sarker, Z. Latif, and A. I. Gray _ Humana Press Inc., Totowa, NJ

bioactivity to date. For example, there are at least 250,000 species of higher plants that exist on this planet, but merely 5–10% of these have been investigated so far. In addition, reinvestigation of previously studied plants has continued to produce new bioactive compounds that have drug potential. Much less is known about marine organisms than other sources of natural products. However, research up to now has shown that they represent a valuable source for novel bioactive compounds. With the development of new molecular targets, there is an increasing demand for novel molecular diversity for screening. Natural products certainly play a crucial role in meeting this demand through the continued investigation of the world’s biodiversity, much of which remains unexplored (4). With less than 1% of the microbial world currently known, advances in technologies for microbial cultivation and the extraction of nucleic acids from environmental samples from soil and marine habitats will offer access to an untapped reservoir of genetic and metabolic diversity (5). This is also true for nucleic acids isolated from symbiotic and endophytic microbes associated with terrestrial and marine macroorganisms. Advent, introduction, and development of several new and highly specific in vitro bioassay techniques, chromatographic methods, and spectroscopic techniques, especially nuclear magnetic resonance (NMR), have made it much easier to screen, isolate, and identify potential drug lead compounds quickly and precisely. Automation of these methods now makes natural products viable for high-throughput screening (HTS). 4. Extraction The choice of extraction procedure depends on the nature of the source material and the compounds to be isolated. Prior to choosing a method, it is necessary to establish the target of the extraction. There can be a number of targets; some of these are mentioned here. 1. An unknown bioactive compound. 2. A known compound present in an organism. 3. A group of compounds within an organism that are structurally related. 4. All secondary metabolites produced by one natural source that are not produced by a different ‘‘control’’ source, e.g., two species of the same genus or the same species grown under different conditions. 5. Identification of all secondary metabolites present in an organism for chemical fingerprinting or metabolomics study (see Chap. 9). It is also necessary to seek answers to the questions related to the expected outcome of the extraction. These include: 1. Is this extraction for purifying a sufficient amount of a compound to characterize it partially or fully? What is the required level of purity (see Note 1)? 2. Is this to provide enough material for confirmation or denial of a proposed structure of a previously isolated compound (see Note 2)? 3. Is this to produce as much material as possible so that it can be used for further studies, e.g., clinical trial?

The typical extraction process, especially for plant materials (see Chap. 13), incorporates the following steps: 1. Drying and grinding of plant material or homogenizing fresh plant parts (leaves, flowers, etc.) or maceration of total plant parts with a solvent. 2. Choice of solvents a. Polar extraction: water, ethanol, methanol (MeOH), and so on. b. Medium polarity extraction: ethyl acetate (EtOAc), dichloromethane (DCM), and so on. c. Nonpolar: n-hexane, pet-ether, chloroform (CHCl3), and so on.

3. Choice of extraction method a. Maceration. b. Boiling. c. Soxhlet. d. Supercritical fluid extraction. e. Sublimation. f. Steam distillation.

The fundamentals of various initial and bulk extraction techniques for natural products are detailed in Chapters 2 and 3. 5. Fractionation A crude natural product extract is literally a cocktail of compounds. It is difficult to apply a single separation technique to isolate individual compounds from this crude mixture. Hence, the crude extract is initially separated into various discrete fractions containing compounds of similar polarities or molecular sizes. These fractions may be obvious, physically discrete divisions, such as the two phases of a liquid–liquid extraction (see Chap. 10) or they may be the contiguous eluate from a chromatography column, e.g., vacuum liquid chromatography (VLC), column chromatography (CC), size-exclusion chromatography (SEC), solid-phase extraction (SPE), etc. (see Chaps. 5, 13–15). For initial fractionation of any crude extract, it is advisable not to generate too many fractions, because it may spread the target compound over so many fractions that those containing this compound in low concentrations might evade detection. It is more sensible to collect only a few large, relatively crude ones and quickly home in on those containing the target compound. For finer fractionation, often guided by an on-line detection technique, e.g., ultraviolet (UV), modern preparative, or semipreparative high-performance liquid chromatography (HPLC) can be used. 10. Assays Chemical, biological, or physical assays are necessary to pinpoint the target compound(s) from a complex natural product extract. At present, natural product research is more focused on isolating target compounds (assay-guided isolation) rather than trying to isolate all compounds present in any extract. The target compounds may be of certain chemical classes, have certain physical properties, or possess certain biological activities. Therefore, appropriate assays should be incorporated in the extraction and isolation protocol. assays of natural products (2): 1. Samples dissolved or suspended in a solvent different from the original extraction solvent must be filtered or centrifuged to get rid of any insoluble matter. 2. Acidified or basified samples should be readjusted to their original pH to prevent them from interfering with the assay. 3. Positive and negative controls should be incorporated in any assay. 4. Ideally, the assay should be at least semiquantitative, and/or samples should be assayed in a series of dilutions to determine where the majority of the target compounds resides. 5. The assay must be sensitive enough to detect active components in low concentration.

Physical assays may involve the comparison of various chromatographic and spectroscopic behaviors, e.g., HPLC, TLC, LC-MS, CE-MS LC-NMR, and so on, of the target compound with a known standard. Chemical assays involve various chemical tests for identifying the chemical nature of the compounds, e.g., FeCl3 can be used to detect phenolics, Dragendorff’s reagent for alkaloids, 2,2-diphenyl-1-picrylhydrazyl (DPPH) for antioxidant compounds (15,16), and so on. Bioassays can be defined as the use of a biological system to detect properties (e.g., antibacterial, antifungal, anticancer, anti-HIV, antidiabetic, etc.) of a crude extract, chromatographic fraction, mixture, or a pure compound. Bioassays could involve the use of in vivo systems (clinical trials, whole animal experiments), ex vivo systems (isolated tissues and organs), or in vitro systems (e.g., cultured cells). In vivo studies are more relevant to clinical conditions and can also provide toxicity data at the same time. Disadvantages of these studies are costs, need for large amount of test compounds/fractions, complex design, patient requirement, and difficulty in mode of action determination. In vitro bioassays are faster (ideal for HTS), and small amounts of test compounds are needed, but might not be relevant to clinical conditions. The trend has now moved from in vivo to in vitro. Bioassays available today are robust, specific, and more sensitive to even as low as picogram amounts of test compounds. Most of them can be carried out in full or semiautomation (e.g., using 96- or 384-well plates). There are a number of biological assays available to assess various activities, e.g., Drosophila melanogaster BII cell line assay for the assessment of compounds with ecdysteroid (see Note 4) agonist or antagonist activity (17), antibacterial serial dilution assay using resazurin as indicator

Natural Product Isolation An Overview Satyajit D. Sarker, Zahid Latif, and Alexander I. Gray From: Methods in Biotechnology, Vol. 20, Natural Products Isolation, 2nd ed. Edited by: S. D. Sarker, Z. Latif, and A. I. Gray _ Humana Press Inc., Totowa, NJ

Chemical taxonomy or chemotaxonomy is based on the principle that the presence of certain secondary metabolites is dictated by various enzymes involved in the biosynthesis of these compounds. These enzymes are strictly related to the genetic make up of the organism. Hence, chemical profiling of these secondary metabolites, either by complete isolation and identification, or by separation and on-line identification using modern hyphenated techniques, could provide useful information with regard to the taxonomic or even phylogenetic relationships among various species. From: Methods in Biotechnology, Vol. 20, Natural Products Isolation, 2nd ed. Edited by: S. D. Sarker, Z. Latif, and A. I. Gray _ Humana Press Inc., Totowa, NJ

Hyphenated Techniques Satyajit D. Sarker and Lutfun Nahar The separation technique using solvent partitioning involves primarily the use of two immiscible solvents in a separating funnel, and the compounds are distributed in two solvents according to their different partition coefficients. This method is relatively easy to perform and highly effective as the first step of the fairly large-scale separation of compounds from crude natural product extracts. 2. Partitioning Between Immiscible Solvents A crude natural product extract is generally an extremely complicated mixture of several compounds possessing varying chemical and physical properties. The fundamental strategy for separating these compounds is based on their physical and chemical properties that can be cleverly exploited to initially separate them into various chemical groups. However, in some cases, from the literature search of the related genera and families, it is possible to predict the types of compounds that might be present in a particular extract. This tentative prediction on the possible identity of the classes of compounds may help choose suitable extraction and partitioning methods, and solvents for extracting specific classes of compounds, for example, phenolics, saponins, alkaloids. Plant natural products are usually extracted with solvents of increasing polarity, for example, first n-hexane, diethylether, chloroform (CHCl3), to name a few, followed by more polar solvents, i.e., methanol (MeOH), depending on the chemical and physical nature of the target compounds. Alcoholic (MeOH or EtOH) extracts of plant materials contain a wide variety of polar and moderately polar compounds. By virtue of the cosolubility, many compounds, which are insoluble individually in pure state in MeOH or EtOH, can be extracted quite easily with these solvents.

Hence, Nernst’s partition law may not be applicable. A dried alcoholic extract can also be extracted directly with a suitable solvent. A typical partitioning scheme is presented in Fig. 1 (3). A MeOH extract is concentrated, and the volume is reduced to an appropriate level that can be handled easily with a separating funnel. The concentrated extract is then extracted with an equal volume of n-hexane, usually three times, to give a fraction containing nonpolar compounds, such as lipids, chlorophylls, and so on. The process is sometimes referred to as ‘‘defatting.’’ Although MeOH and n-hexane are not completely miscible, they are miscible to some extent. Sometimes, a small amount of water is added to MeOH to obtain a 95%-aqueous methanolic solution to get two distinct layers with similar volumes. The methanolic layer is evaporated to dryness and then dissolved in water. Occasionally it is not a solution, but a suspension. The solution (suspension) is partitioned between CHCl3, ethylacetate (EtOAc), and n-butanol (n-BuOH), successively. Partitioning with CHCl3 can be omitted depending on the chemical nature of the target compounds. Less polar compounds are present in the CHCl3- soluble fraction and polar compounds, probably up to monoglycosides, in the EtOAc-soluble one. The n-BuOH fraction contains polar compounds, mainly glycosides. Evaporation of the remaining water layer leaves polar glycosides and sugars as a viscous gum. However, separation by solvent partitioning cannot be always performed in a clearcut manner; overlapping of the compounds in successive fractions is usually found.

When using EtOAc as an extraction solvent, especially the technical grade solvent, researchers must remember that it contains a trace amount of acetic acid (AcOH), which may cause a trans-esterification of acetyl group to the hydroxyl groups, and have a catalytic effect on labile functional groups or delicate structures. When the acetates of some compounds are isolated from the EtOAc-soluble or subsequent n-BuOH-soluble fraction, it is suspected that trans-esterification may have produced the acetates of the original compounds as artifacts. Chloroform is an ideal solvent for extracting alkaloids owing to its slight acidic nature, because alkaloids tend to be soluble in acidic media. When water layer is to be extracted thoroughly with n-BuOH, n-BuOH saturated with water is frequently used. Although n-BuOH is not miscible with water, 9.1mL of n-BuOH is soluble in 100mL of water at 25_C. Therefore, when the water layer is extracted with n-BuOH unsaturated with water many times, the volume of the water layer drastically decreases. Usage of unbalanced volumes of solvents sometimes causes unexpected partitioning of compounds. When saponins are the major target, it is advisable that the glycoside fraction (nBuOH layer) is partitioned with a 1%-KOH solution to remove widely distributed phenolic compounds, such as flavonoids and related glycosides. Before concentrating the extract, the n-BuOH layer must be washed several times with water. In turn, re-extraction of the acidified alkaline layer gives a fraction rich in phenolic compounds. Some acylated saponins and flavonoids, present in plant extracts, are also hydrolyzed under alkaline conditions. Thus, at least a small-scale pilot experiment, such as tracing the fate of compounds by thin layer chromatography (TLC), is strongly recommended. However, this method is useful for the isolation of known alkali-resistant saponins on a large scale. Hideaki Otsuka From: Methods in Biotechnology, Vol. 20, Natural Products Isolation, 2nd ed. Edited by: S. D. Sarker, Z. Latif, and A. I. Gray _ Humana Press Inc., Totowa, NJ

Hipeprurisemia merupakan suatu keadaan dimana kadar asam urat di dalam darah meningkat karena kosumsi protein yang mengandung purin tinggi. Enzim xantin oxidase yang bekerja mengkatalis xantin menjadi asam urat berperan penting dalam penyakit ini. Fraksi etanol daun Afrika (Vernonia amygdalina Delile) mengandung triterpenoid, steroid, fenolik, flavonoid dan saponin sedangkan fraksi n-heksana mengandung alkaloid, steroid dan flavonoid. Uji aktivitas antihiperurisemia ekstrak daun afrika terhadap mencit putih jantan dengan variasi waktu 1, 2, 3 dan 4 jam diukur dengan alat uric acid meter. Data pengamatan dianalisis denganuji ANOVA dan dilanjutkan dengan DMRT menunjukkan

More Documents from "Pjt Baristandpadang"