Waerebo Tugas.pdf

  • Uploaded by: Merta Sedana
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Waerebo Tugas.pdf as PDF for free.

More details

  • Words: 7,220
  • Pages: 38
Arsitektur dan Interior Etnik Nusantara Suku Manggarai, NTT 1. Topografi wilayah suku Manggarai

Gambar: 1 Topografi Wilayah Sumber: https://murinlapan93.blogspot.com/2018/04/letak-astronomis-topografi-dan-iklim.html

Kabupaten manggarai timur dilihat dari topografinya merupakan daerah dataran tinggi yang didominasi oleh bentuk permukaan daratan yang bergelombang (pegunungan). Pola topografi ini sedikit banyak mempengaruhi bentuk tata guna lahan yang ada, yaitu daerah timur sepanjang jalan lintas flores yang relatif kemiringan lahannya agak rendah dipergunakan sebagai kawasan pemukiman. Selain itu dilokasi ini juga dimanfaatkan warga untuk daerah persawahan dan peternakan. Lahan dengan tingkat lekukan tinggi rendah yang berada di utara, dan sebagian selatan merupakan daerah hutan lindung dan perkebunan milik rakyat yang ditanami kopi, kemiri, kakao/coklat, dan vanili.

2. Geografis wilayah suku Manggarai Kabupaten Manggarai merupakan salah satu dari 16 Kabupaten/Kota yang terdapat di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Secara geografis wilayah Kabupaten Manggarai terletak diantara 80 LU - 80.30 LS dan 119, 300 –12, 300 BT. Terletak di bagian barat pulau Flores, dengan batas-batas wilayah sebagai berikut: a. Sebelah Barat dengan Kabupaten Manggarai Barat, b. Sebelah Utara dengan Laut Flores, c. Sebelah Timur dengan Kabupaten Ngada, dan d. Sebelah Selatan dengan Laut Sawu. 264

Luas wilayah Kabupaten Manggarai ialah 4.188,9 Km2. Secara administratif, Kabupaten Manggarai terbagi menjadi 12 Kecamatan, 227 Desa dan 27 Kelurahan. Pusat pemerintahan kabupaten di Kota Ruteng-Kecamatan Langke Rembong. Tahun 2004 jumlah penduduk mencapai sebanyak 484.015 jiwa dan 103.861 KK, dan Tingkat Kepadatan penduduk sebesar 115,55 jiwa / Km2. 3. Karateristik budaya a. Sistem religius (homo religius) Sistem religious merupakan produk manusia sebagai homo religius. Manusia yang memiliki kecerdasan pikiran dan perasaan luhur tanggap bahwa diatas kekuatan dirinya terdapat kekuatan lain yang maha besar. Karena itu manusia takut sehingga menyembahnya dan lahirlah kepercayaan yang sekarang menjadi agama. Pada dasarnya orang Manggarai menganut sistem religi yakni “Monoteis” adanya kepercayaan terhadap wujud tertinggi yang di sebut “Mori Kraeng- Mori jari dedek”. Tetapi dari segi adat orang Manggarai juga menyembah hal-hal yang gaib, sehingga munculnya kepercayaan Animisme dan Dinamisme. b. Compang (mesbah) Merupakan suatu tempat yang didirikan di tengah-tengah kampung dan bermakna sebagai kebersamaan. Compang pada umumnya berbentuk bulat (lingkaran). Orang Manggarai mempercayai bahwa dalam compang tersebut terdapat kekuatan yang super natural untuk menjaga suatu wilayah yang biasa di sebut “Naga beo” untuk menjaga ketentraman warga kampung dalam kehidupan sehari-hari. Orang manggarai akan melakukan acara ritual pada saat tertentu dengan memeberikan persembahan atau yang sering di sebut “takung” melambangkan sebagai tanda ucapan terima kasih. Compang yang berbentuk bulat mengandung makna yakni kekerabatan. Sehingga orang manggarai mengeluarkan istilah = Muku ca pu’u toe woleng curup (kesatuan kata); Ipung ca tiwu neka woleng wintuk (kesatuan tindakan); Teu ca ambong neka woleng lako (kesatuan langkah). Compang adalah sebuah tempat khusus untuk persembahan yang letaknya di tengah kampong, tersusun dari batu pilihan dan di tengahnya diletakkan batu ceper (watu lempe). Persembahan ditujukan kepada para roh kampong (naga tanah), roh leluhur (wura agu ceki) dan Wujud Tertinggi (Morin agu Ngaran, Jari agu Dedek-Tuhan Sang Pemilik, Tuhan Pencipta dan Pengada). Bentuk Compang hampir sama untuk setiap tempat di Manggarai.Ada yang bulat telur atau elips, ada juga yang segi empat. 265

Pada umumnya, di atas sebuah Compang terdapat haju langke (pohon beringin) yang sengaja ditanam. Soal letak Compang, kerap Compangmemiliki posisi antara rumah adat (Mbaru Gendang) dan kuburan (boa). Tinggi Compang bervariasi. Mulai dari 50cm sampai 150cm. Lebarnya mulai dari 100cm sampai 200cm. Panjangnya mulai dari 200cm hingga 300cm. Tak ada tata aturan baku yang secara khusus membahas sola ukuran. Yang pasti, tinggi, lebar dan panjangnya cukup untuk melangsungkan persembahan sesuai dengan maksud dan intensi.

Gambar: 2 Compang Sumber: http://kanisiusdeki.blogspot.com/2016/04/compang-orang-manggarai_62.html

1. Arti Compang bagi masyarakat Mannggarai Substansi kehadiran sebuah Compang orang Manggarai ada dalam lima pusaran filosofi kehidupan orang Manggarai yakni Mbaru bate ka’eng (rumah tempat tinggal), umat bate duat (kebun tempat bekerja dan menghasilkan panenan), natas bate labar (lapangan bermain), wae bate teku (sumber air untuk ditimba) dan compang bate takung (tempat persembahan). Compang memiliki arti yang sangat penting dalam siklus kehidupan orang Manggarai. Di Companglah tempat tinggal dari naga golo/naga beo (roh kampong). Naga golo/beo ini menjadi penjaga dan pelindung kampong dari berbagai hal. Khususnya segala malapetaka dan bala yang menimpa kampong. Compang juga menjadi situs sacral yang melaluinya kampong mendapat rejeki kehidupan. Di setiap penti weki peso (upacara syukur tahunan secara komunal), di Compang dipersembahkan syukuran kepada penjaga dan pelindung kampong, para leluhur serta Sang Pencipta. Compang juga menjadi sumber kekuatan. Di setiap warga 266

kampung hendak pergi ke area pertempuran (raha rumbu tanah, rampas), para pelaku perang mengelilingi Compang tujuh kali. Dalam ritus-ritus besar, semisal membuka lingko weru (kebun komunal baru), membangun rumah adat baru (pande mbaru gendang weru), Roko Molas Poco (pengambilan tiang utama mbaru gendang dari hutan), tetua adat mengawalinya dengan takung (persembahan) di Compang untuk meminta restu sekaligus mohon kesuksesan dari acara dimaksud. Compang menjadi simbol kekuatan, persatuan, perlindungan dan juga jembatan relasi antara manusia yang masih hidup dengan dunia roh (penjaga kampong, leluhur, Tuhan), alam semesta dan seluruh kosmos. Di beberapa tempat, ada yang menyebutnya “compang dari” yang menurut hemat saya tidak tepat karena meluruhkan arti compang sebenarnya sebagai tempat suci. Compang bukan saja sebuah tempat menerima panas matahari (dari leso), tetapi situs di mana kehidupan dihubungkan secara intens dengan tata ciptaan, pemiliknya, penjaganya dan penciptanya. 2. Simbolisasi Compang bagi masyarakat Manggarai ompang berhubungan erat dengan lima filosofi kehidupan orang Manggarai; dengan rumah (adat, tinggal), kebun, sumber air dan lapangan bermain. Karena itu, pertama nian, Compang berada dalam satu kesatuan siklus kehidupan orang Manggarai. Compang tidak bisa dilepas-pisahkan dari elemen-elemen lain pemersatu kehidupan orang Manggarai. Namun orang Manggarai juga sadar bahwa dalam dirinya (in se), Compang memiliki nilai yang sangat kaya. Karena itu, muncullah simbolisasi Compang pada berbagai tempat. Dari eksistensi Compang bermunculan model penafsiran yang pada intinya membangun konsep nilai yang diaraskan padanya. Sama halnya dengan rumah adat, Mbaru Gendang, yang kaya arti kemudian diberi interpretasi baru sekaligus ditempatkan di berbagai kantor bupati dan SKPD.

Compang

menjadi simbol kesucian, kekuatan, persatuan pada berbagai tempat lain, semisal kantor bupati di tiga kabupaten Manggarai Raya. Simbolisasi terhadap Mbaru Gendang dan Compang masih terus dilakukan. Simbolisasi itu datang dari ruang interpretasi untuk mendukung maksud baik tertentu. Selama arasnya masih berhubungan dengan konsep persatuan, kesatuan dan kemaslahatan komunitas masyarakat. Namun kriteriumnya selalu dalam satu hal ini: pendirian compang atau mbaru gendang dalam versi interpretasi harus 267

karena kehendak bersama melalui bantang cama-reje leleng (putuskan secara bersama) dalam lonto leok (rembug bersama). Karena itu adalah inti dari kehadiran simbol-simbol itu. c. Sistem organisasi kemasyarakatan (homo socius) Manusia sadar bahwa tubuhnya lemah namun memiliki akal maka disusunlah organisasi kemasyarakatan dimana manusia bekerja sama untuk meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Sejak zaman dahulu masyarakat Manggarai sudah mengenal sistem organisasi sosial dalam bentuk lembaga adat pada suatu wilayah. Dalam lembaga adat terdapat Tu,a golo, Tu,a Gendang dan Tu, Teno.

1. Tu,a golo merupakan orang dari keturunan tertua (ranga kae) yang di pilih secara musyawarah dan berlaku secara turun-temurun. Tugas dan fungsi tu’a golo adalah mengatur tata kehidupan masyarakat dalam segi kehidupan. Tugas Tu’a Golo adalah sebagai pemimpin rakyat gendang dalam hal urusan harian seperti ketertiban warga gendang, menjaga keamanan warga dan kebun warga. Dan persyaratan menjadi Tu’a Golo adalah orang yang bijaksana, mampu menyelesaikan masalah dalam wilayah gendang. Dalam musyawarah gendang, dia adalah pemimpin sidang, khusus di luar kekuasaan Tu’a Teno. Tetapi dia harus taat kepada kebijaksanaan Tu’a Gendang yang merupakan sesepuh-sesepuh agung gendang. 2. Tu,a gendang merupakan kekuasaan tertinggi yang mengepali rumah adat dan berhak atas gong, gendang sebagai pengangkat upara adat. Apabila ada musyawarah yang berkaitan dengan adat harus di lakukan di rumah gendang. Tu,a gendang bertanggungjawab atas pelaksanaan serta kelancaranya suatu musyawah tersebut. 3. Tu’a gendang sangat berkaitan erat dengan urusan kebun komunal (lingko) yang sering di uncap dalam istilah gendang’n onen lingko’n pe’ang . pembukaan kebun baru dianggap sah apabila telah di resmikan seacra adat, yang berarti tu,a gendang yang berhak dan bertanggung jawab atas pembukaan kebun baru tersebut. 4. Tu,a teno melaksanakan hal-hal yang teknis dalam pembukaan kebun (lingko) yang di pandang mampu dan bijak dalam mengatur untuk kepentingan bersama dalam pembukaan kebun setra semua urusan adat yang berkaitan dengan kebun. Tu,a teno menjalankan tugasnya setelah mendapat persetujuan dari tu,a gendang dari hasil musyawarah

268

d. Sistem pengetahuan (homo safiens)

Gambar: 3 Peralatan suku Manggarai Sumber: https://www.behance.net/gallery/42427375/Wae-ReboVillageAbove-The-Clouds

Merupakan prodak manusia sebagai homo safiens. Pengetahuan dapat diperoleh dari pemikiran sendiri maupun dari orang lain. Sejak dulu, orang Manggarai memiliki pengetahuan tentang alam sekitarnya, baik fauna maupun flora dengan seluruh ekosistemnya. Sistem dan pola hidup masyarakat Manggarai yang agraris mengharuskan mereka memiliki pengetahuan yang cukup tentang flora, tentang tanaman atau tumbuh-tumbuhan yang bermanfaat bagi kehidupannya. Begitupun pengetahuan tentang fauna dimiliki secara turun temurun karena orang Manggarai pada dasarnya senang beternak dan berburu.

e. Sistem mata pencaharian hidup dan system ekonomi (homo ekonomicus) Merupakan produk manusia sebagai homo economicus, yaitu menjadikan tingkat kehidupan manusia secara umum terus meningkat. Aktivitas ekonomi sudah sangat kenal lama oleh masyarakat Manggarai bahkan seusia masa peadaban yang dimilikinya. Sama halnay dengan sub-sistem sosial yang lain. Masyarakat Manggarai senantiasa melekat pada nuansa-nuansa religi. Pesta kebun adalah acara syukuran atas Mori agu dedek dan kepada arwah nenek moyang atas hasill padi dan jagung yang di peroleh. 269

Begitu pula upacara penanaman benih atau upacara silih yang dilakukan agar kebun atau ladang terhindarkan dari berbagai hama penyakit yang mengganggu tanaman.

Gambar: 4 Mata Pencaharian Sumber: http://menujutimur.com/wp-content/uploads/2013/06/memilih-biji.jpg

Sejak tahun 1938, pembukaan sawah dengan sistem irigasi sudah dikenal di Manggarai. Semula sistem irigasi persawahan ini kurang diminati masyarakat karena terasa asing. Tapi, setelah melihat hasil pekerjaan orang yang mengerjakan jauh lebih baik dan menjanjikan, maka sistem irigasi pun secara berangsur-angsur mulai ditiru dan kemudian malah menjadi kegiatan primadona. f. Sistem peralatan hidup dan tehnologi (homo faber)

Gambar: 5 Mata Pencaharian Sumber: http://menujutimur.com/wp-content/uploads/2013/06/memilih-biji.jpg

270

Bersumber dari pemikirannya yang cerdas dan dibantu dengan tangannya manusia dapat membuat dan mempergunakan alat, dengan alat-alat ciptaannya itulah manusia dapat lebih mampu mencukupi kebutuhannya. Masyarakat Manggarai di masa lalu sudah mengenal bahkan mampu menghasilkan peralatan atau perkakas yang dibutuhkan untuk kehidupannya. Secara tradisional, mereka sudah dapat membangun rumah. Dalam hal pembuatan rumah, misalnya di Manggarai dikenal lima tahapan yang sekaligus menggambarkan konstruksi segi lima. Konstruksi segi lima ini berkaitan dengan latar belakang filosofis dan sosiologis. Angka ini memang dipandang sebagai angka keramat karena secara kausalistis dihubungkan dengan rempa lima (lima jari kaki), mosa lima (lima jari dalam ukuran pembagian kebun komunal), sanda lima, wase lima, lampek lima. Untuk pakaian, orang Manggarai sebelum mereka mengenal tenun ikat, bahan pakaiannya terbuat dari kulit kayu cale (sejenis sukun). Sementara untuk perhiasan sebelum mereka mengenal logam, perhiasan mereka umumnya terbuat dari tempurung kelapa, kayu atau akar bahar. Begitupun teknologi pembuatan minuman tradisional juga sudah dikenal cama di masyarakat Manggarai, yakni proses pembuatan atau mencampur air enau dengan kulit damer sehingga menghasilkan alkohol berkadar tinggi seperti arak atau tuak. Masyarakat Manggarai sejak dulu juga sudah mengenal cara pembuatan obat-obatan yang berasal dari daundaunan, misalnya londek jembu yaitu pucuk daun jambu untuk mengobati sakit perut, kayu sita, untuk pengombatan disentri. Sebelum mengenal logam, untuk alat-alat pertanian, masyarakat Manggarai sudah mengenal perkakas dari bambu, kayu atau tanah liat untuk mengolah tanah pertanian. Sementara alat perburuan yang dikenal yakni bambu runcing, lidi enau, tali ijuk. g. Sistem bahasa (homo longuens) Mengutip hasil penelitian Pastor P.J. Verheijen, SVD yang dilakukannya sebelum 1950 menyebutkan bahwa di Manggarai terdapat enam bahasa, yaitu bahasa Komodo di pulau Komodo, bahasa Werana di Manggarai Tenggara, bahasa Rembong di Rembong yang wilayahnya meluas ke Ngada Utara, bahasa Kempo di wilayah Kempo, bahasa Rajong di wilayah Rajong dan bahasa Manggarai Kuku yang termasuk atas lima kelompok dialeg, termasuk bahasa Manggarai Timur Jauh. Pengelompokkan bahasa tersebut sekaligus mengisyaratkan secara umum kelompok budaya di Manggarai yang erat kaitannya dengan corak kesatuan genealogis, sebab kesatuan genealogis yang lebih besar di Manggarai adalah Wa’u (klen patrilineal) dan 271

perkawinan pun patrilokal. Dalam kesatuan genealogis inilah bahasa terpelihara baik secara turun temurun. h. Penti Upacara Penti merupakan salah satu Upacara adat bagi orang Manggarai, Flores NTT yang hingga saat ini masih terus di lestarikan. Sebuah ritus adat warisan leluhur Manggarai sebagai media ungkapan syukur kepada Tuhan atas hasil panen yang di peroleh selama setahun dan di kenal pula sebagai perayaan tahun baru bagi orang Manggarai. Pada upacara Penti biasanya dilakukan pada bulan Agustus-September Rumah Adat (Mbaru Gendang) Manggarai sebagai symbol antropologis dengan ijuk di bawah tanduk Kerbau (ranggakabar) melambangkan dikaitkan dengan bahasa lambang dan bahasa tanda simbol tanduk Kerbau pada rumah adat daerah rembong simbol prinsip kemanusiaan yaitu nilai kemanusiaan dengan ini melambangkan persatuan dan kesatuan yang kokoh dan tak terpisahkan (Adrianus Marselus Nggoro, 2013:187). 1. Pada kerucut atap rumah adat Manggarai melambangkan tanggung jawabnya kepala rumah adat (ata lami) . 2. Tanduk Kerbau (rangga kaba) yang biasa ditancap di bubungan Rumah adat melambangkan keperkasaan dan kebesaran.

Gambar: 6 ritual Penti Sumber: http://menujutimur.com/wp-content/uploads/2013/06/memilih-biji.jpg

Penti dilakukan sebagai tanda syukur kepada Mori Jari Dedek (Tuhan Pencipta) dan kepada arwah nenek moyang atas semua hasil jerih payah yang telah diperoleh dan dinikmati, juga sebagai tanda celung cekeng wali ntaung (musim yang berganti dan tahun yang beralih). Upacara ini biasa dilakukan setelah semua panenan rampung (sekitar Juni-September). Jikalau sanggup, acara ini dilakukan setiap tahun tetapi 272

seringkali tiga atau lima tahun sekali. Ada keyakinan bahwa jika acara ini tidak dilakukan, akan membuat Mori Jari Dedek marah. Kalau hal itu terjadi, akan ada bencana-bencana yang menimpa masyarakat Manggarai. Ritual adat Penti, yaitu suatu upacara adat merayakan syukuran atas hasil panen yang dirayakan bersama-sama oleh seluruh warga desa. Bahkan ajang prosesi serupa juga dijadikan momentum reuni keluarga yang berasal dari suku Manggarai. Ritual Penti dimulai dengan acara berjalan kaki dari rumah adat menuju pusat kebun atau Lingko, yang ditandai dengan sebuah kayu Teno. Di sini, akan dilakukan upacara Barong Lodok, yaitu mengundang roh penjaga kebun di pusat Lingko, supaya mau hadir mengikuti perayaan Penti.

Lantas kepala adat mengawali rangkaian ritual dengan melakukan Cepa atau makan sirih, pinang, dan kapur. Tahapan selanjutnya adalah melakukan Pau Tuak alias menyiram minuman tuak yang disimpan dalam bambu ke tanah. Urutan prosesi tiba pada acara menyembelih seekor babi untuk dipersembahkan kepada roh para leluhur. Tujuannya, supaya mereka memberkahi tanah, memberikan penghasilan, dan menjauhkan dari malapetaka. Para peserta pun mulai melantunkan lagu pujian yang diulangi sebanyak lima kali, lagu itu disebut Sanda Lima. Usai itu, rombongan kembali ke rumah adat sambil menyanyikan lagu yang syairnya menceritakan kegembiraan dan penghormatan terhadap padi yang telah memberikan kehidupan. Ritual Barong Lodok yang pertama ini dilakukan keluarga besar yang berasal dari rumah adat Gendang. Upacara serupa juga dilakukan keluarga besar dari rumah adat Tambor. Keduanya dipercaya sebagai cikal bakal suku Manggarai. Puncak acara Penti ditandai dengan berkumpulnya kepala adat kampung, ketua sub klen, kepala adat yang membagi tanah, kepala keluarga, dan undangan dari kampung lain. Mereka berdiskusi membahas berbagai persoalan berikut jalan keluarnya (Adrianus Marselus Nggoro, 2013:197-198).

273

4. Kesenian a. Tarian Caci

Gambar: 7 Tarian Caci Sumber: https://www.kamerabudaya.com 1.

Sejarah Tari caci Caci adalah komunikasi antara Tuhan dan manusia. “Ca” berarti satu dan “Ci” berarti uji. Jadi Tuhan menguji para pemain satu lawan satu, untuk menguji apakah mereka bersalah atau tidak. Salah satu lambang ujian ini adalah cambuk yang melambangkan kilatan petir. Kilat adalah penghakiman dari Tuhan. Namun kilat juga menghubungkan langit dan bumi. Caci adalah simbol Tuhan, kesatuan, ibu pertiwi dan bapak langit. Perisai ditangan kanan adalah lambang rahim dan ibu pertiwi. Tongkat anyaman di tangan kiri yang juga berfungsi sebagai pelindung adalah lambang langit. Para penari haruslah menjaga ucapan, emosi, sportifitas sehingga tidak ada dendam antara penari pasca melakukan tarian ini. Caci yang memainkan peranan penting sebagai lambang seni dan budaya Manggarai, Nusa Tenggara Timur, dipahami sebagai ritual dengan makna mendalam bagi masyarakat, juga menjadi atraksi pertunjukan dan menarik. Tarian Caci dipertunjukkan pada upacara Penti (Tahun baru atas rasa syukur setelah panen), Upacara Pesso Beo (Selamatan Kampung), menyambut pengantin baru, tamu penting serta upacara lainnya. Tabuhan gendang diiringi nyanyian tradisional masyarakat Manggarai (Lando & Mbaku) menandakan sebuah pertarungan akan dimulai. Iringan musik dilakukan oleh pihak 274

perempuan. 4 lelaki pun bersiap untuk menunjukkan aksinya dengan berbekal cambuk dan perisai. Pertarungan ini ada di dalam pertunjukkan Tari Caci, tarian tradisional dari Manggarai, Nusa Tenggara Timur, sebagai rasa syukur menyambut musim panen. Namun saat ini tarian ini tidak hanya dilakukan saat menyambut musim panen saja, tetapi juga dipentaskan saat menyambut tamu yang berkunjung ke tempat ini. Penari yang bersenjatakan cambuk disebut Paki dan berperan sebagai penyerang. Bagi masyarakat sekitar, Paki melambangkan kekuatan pria. Paki juga dilambangkan sebagai sebuah keberanian, kejantanan dan keperkasaan dan Paki ini menjadi daya tarik sendiri bagi wanita Manggarai. Cambuk yang digunakan terbuat dari kulit kerbau yang dikeringkan. Sedangkan penari yang memegang perisai disebut Ta’ang, menggunakan perisai yang disebut Nggiling serta busur bambu berjalin rotan atau yang biasa disebut Agang.

Gambar: 8 Alat Tarian Caci Sumber: https://www.kamerabudaya.com

Ta’ang akan menangkis lecutan cambuk Paki. Masyarakat Manggarai Barat melambangkan Ta’ang sebagai sosok wanita atau ibu. untuk melindungi kepala dan wajah, para penari menggunakan penutup hiasan kepala yang disebut Panggal. Panggal terbuat dari kulit kerbau keras berlapis kain beraneka warna. Panggal melambangkan Rang, Kharisma dan kekuatan orang Manggarai.

275

Gambar 9 pakaian Tarian Caci Sumber: https://www.kamerabudaya.com

Atribut lainnya yang digunakan para Paki dan Ta’ang adalah celana panjang berwarna putih yang dipadu dengan kain tenun khas Manggarai, Nusa Tenggara Timur dengan warna dasar hitam yang diikat sepanjang lutut. Celana putih dan kain tersebut melambangkan kepolosan, kemurahan, ketulusan hati, kesantunan dan sikap patuh orang Manggarai. Pada bagian pinggan terpasang Ndeki, berbentuk seperti kuncir kuda terbuat dari rotan dengan bulu kambing putih. Pada bagian pinggang belakang terdapat lonceng yang akan berbunyi mengikuti gerakan dari Paki dan Ta’ang.

Gambar: 11 Persiapan Tarian Caci Sumber: https://www.kamerabudaya.com

276

Empat penari tersebut akan dibagi menjadi 2 kelompok. Mereka akan bergantian bertukar posisi sebagai penyerang dan penangkis. Jika cambuk mengenai bagian mata atau kepala maka pemain dinyatakan kalah dan diganti regu berikutnya. Tarian Caci harus dilakukan dengan hati-hati, bila cambukan gagal ditangkis maka pemain akan terluka. Namun masyarakat Manggarai menganggap bekas luka ini sebagai lambang maskulinitas. Karena ketegangannya, tarian ini pun banyak diminati wisatawan baik asing ataupun mancanegara.

Gambar: 10 Para Wanita mengiringi Tarian Caci Sumber: https://www.kamerabudaya.com

Caci itu ada 3 makna yaitu Naring, Hiang, dan Mengkes. Naring artinya memuji, Hiang artinya menghormati dan Mengkes artinya bergembira. Jadi Tarian Caci adalah sebuah tarian yang dilakukan dengan perasaan gembira dan dilakukan untuk menghormati serta memuju Sang Tuhan. Setiap penari Caci pasti dan harus tahu akan ketiga hal tersebut. Hal lain yang diajarkan oleh tarian ini diantaranya kepahlawanan, kelincahan, keindahan, olah raga dan kemurnian hati.

Gambar: 12 Atribut Tarian Caci Sumber: https://www.kamerabudaya.com

277

Dalam tarian caci, penari yang bertarung haruslah berbeda kampung dan bukan kerabat sendiri. Meskipun dianggap sebagai tarian sekaligus olah raganya para lelaki, namun tidak semua lelaki bisa menarikan tarian ini. Beberapa syarat yang perlu diperhatikan untuk melakukan tarian ini antara lain memiliki tubuh yang kuat, tahu bagaimana cara untuk menyerang dan bagaimana cara untuk bertahan yang baik, luwes dan dapat menyanyikan lagu daerah. Saat tarian ini berlangsung, warga kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur, umumnya juga menghidangkan beberapa ekor kerbau sebagai santapan bersama. b. Kain Songke 1. Sejarah kain songke Pada tahun 1613-1640 kerajaan Gowa Makasar-Sulawesi Selatan pernah berkuasa di hampir seluruh wilayah Manggarai Raya. Pertemuan dengan berbagai macam kepentingan budaya melahirkan sesuatu yang baru bagi kebuadaayan orang Manggarai termasuk di dalamnya masalah berbusana sehingga kebudayaan dari Makasar sebagiannya dibawa ke Manggarai termasuk juga masalah kain yang dipakai. Orang Makasar menyebut songke dengan sebutan songket, tetapi orang Manggarai lebih mengenalnya dengan sebutan songke. 2. Makna Kain songke Jika ditelusuri dari sisi sejarah, dahulu songke hanya dipakai oleh orang-orang tertentu saja yang kedudukannya jauh lebih tinggi dari masyarakat biasa (golongan bangsawan) yang orang Manggarai sebut kraeng (tuan) atau daeng bagi orang Makasar. Kaum bangsawan itu menganggap bahwa songke merupakan wengko weki (kain pelindung tubuh). Dapat dibilang bahwa songke merupakan jejak budaya orang Manggarai.

Gambar: 13 Kain Songke Manggarai Sumber: http://www.ariesrutung.com

278

Sementara Seni kriya songke sarat dengan nilai dan simbol. Warna dasar hitam pada songke melambangkan sebuah arti kebesaran dan keagungan orang Manggarai serta kepasrahan bahwa semua manusia akhirnya akan kembali pada Yang Maha Kuasa. Sedangkan aneka motif bunga pada kain songke mengandung banyak makna sesuai motif itu sendiri seperti motif wela kawong bermakna interdependensi antara manusia dengan alam sekitarnya serta Motif ranggong (laba-laba) bersimbol kejujuran dan kerja keras.

3. Alat pembuatan Kain songke Alat-alat yang digunakan untuk menenun songke adalah sebagai berikut: 1. Lihu, kayu yang diletakan di bagian belakang pinggang sebagai penahan beban (berang) 2. Pesa, kayu yang dipasangkan antara berangdan lihu yang letaknya di bagian perut. Alat ini berpasangan dengan lihu yang dihungkan dengan wase (tali) sebagai pengait. Alat ini dipakai untuk penampung kain yang sudah jadi atau sudah ditenun. 3. Mbira, sebagai pengancing benang yang dimasukan dari kiri atau kekanan juga untuk mengancing benang sulam motif dengan cara ditarik sebanyak 1 atau 2 kali ke arah perut. 4. Keropong, bambu berukuran kecil tempat diletakannya keliri atau lebih cocoknya disebut sebagai rumah keliri agar ketika dimasukan diatara celah-celah benang berang, kliri tidak tersangkut. Keliri adalah kayu kecil berukuran sekitar 40 cm yang dililitkan benang yang dipakai sebagai pengunci benang sulam yang dimasukan dari kiri ke kanan. 5. Jangka, alat yang berbentuk seperti sisir rambut yang berfungsi sebagai pemisah benang 1 helai ke sebelahnya. Jadi setiap ruang antara gigi jangka yang satu ke yang lain diletakan benang diantaranya. 6. Nggolong, alat dari bambu yang berukuran sekitar ibu hari orang dewasa yang digunakan sebagai pemberi ruang agar kliri bisa masuk dari sebelah kiri ke kanan atau sebaliknya. 7. Kerempak, kayu persegi yang dipakai sebagai penekan saat akan menggantikan posisi dari mbira dan nggolong. 8. Donging, kayu bercabang yang membentuk sudut 30 derajat tempat menaruh banggang atau papan yang dilit oleh berang. 9. Banggang, papan yang digunakan untuk melilitkan berang. 10. Benang sulam digunakan untuk membentuk motif 11. Berang, mal kain songke. 279

4. Nilai Songke Warna dasar benang yang dipakai dalam penenunan songke adalah hitam yang bagi orang manggarai warna hitam melambangkan arti kebesaran dan keagungan serta kepasrahan bahwa semua manusia pada suatu saat akan kembali kepada Mori Kraeng (Sang Pencipta). Sedangkan warna benang untuk sulam umumnya warna-warna yang mencolok seperti merah, putih, orange, dan kuning. Motif yang dipakai pun tidak sembarang. Setiap motif mengandung arti dan harapan dari orang Manggarai dalam hal kesejahteraan hidup, kesehatan, dan hubungan, baik antara manusia dan sesamanya, manusia dengan alam maupun manusia dengan Sang Pencipta. Berikut beberapa motif yang sering dipakai dalam penenunan kain songke dan maknanya: a. Motif wela kawu (bunga kapuk) bermakna keterkaitan antara manusia dengan alam sekitarnya. b. Motif ranggong (laba-laba) bersimbol kejujuran dan kerja keras. c. Motif ju’i (garis-garis batas) pertanda keberakhiran segala sesuatu, yaitu segala sesuatu ada akhirnya, ada batasnya. d. Motif ntala (bintang) terkait dengan harapan yang sering dikumandangkan dalam tudak, doa “porong langkas haeng ntala” supaya senantiasa tinggi sampai ke bintang. Maksudnya, agar senantiasa sehat, diberikan umur yang panjang, dan memiliki ketinggian pengaruh lebih dari orang lain dalam hal membawa perubahan dalam hidup. e. Motif wela runu (bunga runu), yang melambangkan bahwa orang Manggarai bagaikan bunga kecil tapi memberikan keindahan dan hidup di tengah-tengah kefanaan ini.

280

Gambar:14 Motif Kain Songke Manggarai Sumber: https://krisdasomerpes.wordpress.com

5. Tradisi kain Songke Sejauh yang saya amati hingga saat ini, tidak ada kriteria atau syarat yang dituntut bahkan upacara adat dan ritual khusus (tradisi) untuk mengizinkan seseorang memakai atau menggunakan kain songke. Siapa saja dapat memakai songke, selama tidak mengurangi rasa hormat akan kebudayaan orang manggarai, yah sah-sah saja. Dengan kata lain tidak ada tradisi khusus untuk dapat mengenakan kain songke

Gambar:15 Tradisi Kain Songke Manggarai Sumber: https://gpswisataindonesia.info/2018/09/kain-tenun-songke-manggarai-nusa-

tenggara-timur/

281

c. Seni Bertembang Dalam seni sastra orang Manggarai memiliki kemampuan berkata-kata dalam bentuk mantra, bahasa berhias, pepatah, peribahasa, perumpamaan, pemeo, tamsil, ibarat, dan pantun. Berupa mantra seperti: jing-perjing, setang-persetan, kapu tana lopat mata, lengkang hau jing (jin atau setan, enyalah engkau kuasailah wahai penguasa tanah dan biarkan mata setan buta terhadap tanaman kami). Dalam pepatah megatakan na waen pake, na rukun rukus (katak berprilaku katak, kepiting berlaku kepiting yang atrinya buah jatuh tidak jauh dari pohon). Berupa pribahasa misalnya dalam ungkapan la’it merkani bang perkakas (kapok, biar mampus, tidak ada apa-apa lagi dalam dirimu). Tamsil dalam ungkapan tara te’e neho muku tara lando neho teu (akan masak seperti pisang, akan bunga seperti tebu) yang atrinya segala sesuatu ada akibatnya. Sedangkan prosa muncul dalam berbentuk dongeng, silsilah dan sejarah. Sejarah bersifat umum dan memiliki sejarah disetiap masing-masing suku sesuai klen patrilinear. d. Seni Musik

Gambar: 16 music Wae Rebo Sumber: https://travel.kompas.com/read/2015/05/11/104600627/Mbata.Ungkapan.Rasa.Syukur.lewat.Aluna n.Musik.Tradisional

Mbata adalah musik tradisional yang mengungkapkan kegembiraan dan rasa syukur kepada sang "Mori Keraeng" (Tuhan Pencipta), kepada alam dan leluhur. Orang Manggarai menyebut Sang Pencipta dengan sebutan "Mori Jari Agu Dedek". Artinya melalui tangan Tuhan mencipta manusia dan alam semesta.

282

Musik Mbata ini biasanya dilaksanakan pada malam hari saat upacara Penti, syukur panen pada akhir tahun. Orang Manggarai Raya memiliki warisan leluhur yang terus dilaksanakan setiap tahun. Warisan itu adalah ritual penti, syukur panen tahunan. Bahkan, musik ini dilaksanakan semalam suntuk di dalam rumah adat gendang. Kaum perempuan dan laki-laki dengan lirikan dan nyanyian ungkapan syukur bersama kegembiraan diiringi tabuhan gendang dan gong. Lantunan lagu-lagu daerah yang mengungkapkan rasa syukur atas berkat dari Sang Pencipta dan perlindungan dari leluhur terhadap hasil panen padi, jagung dan berbagai hasil bumi lainnya. Masing-masing suku dan sub suku di wilayah Manggarai Timur, Manggarai Barat dan Manggarai melaksanakan upacara Penti dengan cara berbedabeda. Ada yang dilaksanakan pada akhir Desember jelang tahun baru. Ada juga yang melaksanakan pada bulan Juli dan Agustus setiap tahun. Upacara Penti harus dilaksanakan setiap tahun oleh warga di satu kampung dari berbagai Suku dan sub suku. Namun, pada upacara Penti itu musik yang dibawakan adalah Mbata. 5. Tata bangunan rumah tinggal

Gambar: 17 Peta Wae Rebo Sumber: https://gpswisataindonesia.info/2018/09/kain-tenun-songke-manggarai-nusa-

tenggara-timur/ 283

Wae Rebo adalah sebuah kampung tradisional di dusun terpencil. Wae Rebo terletak di desa Satar Lenda, Kecamatan Satarmese Barat, Kabupaten Manggarai, Propinsi Nusa Tenggara Timur. Hawanya cukup dingin, berada di ketinggian C. a. 1100 m di atas permukaan air laut. Kampung Wae Rebo diapiti oleh gunung, hutan lebat dan berada jauh dari kampung. kampung tetangga. Wae Rebo sendiri memiliki rumah adat tradisional yang sekarang menjadi objek arsitektur bagi wisatawan mancanegara, rumah adat ini biasa disebut Mbaru Niang. Mbaru Niang berasal dari bahasa setempat yang berarti rumah tinggi (Mbaru = Rumah | Niang = Tinggi). Mbaru Niang merupakan rumah panggung tradisional yang tersisa tujuh di desa Wae Rebo, NTT. Rumah Mbaru Niang memanfaatkan karya arsitektur sebagai alat pemersatu antar keluarga dari setiap klan suku Wae Rebo. Rumah Mbaru Niang terdiri dari lima tingkat dan ditinggali oleh sekitar delapan keluarga. Hanya ada tujuh Mbaru Niang dan rumah itu tersusun seperti planet yang megorbit pada matahari. Warga Waerebo memang memiliki filosofi yang sangat unik. Pada awalnya tetua atau raja Waerebo memiliki delapan anak. Ini mengapa ada delapan klan di Desa Waerebo. Yang menarik, rumah Niang tidak dibangun sebanyak delapan untuk ditinggali masing-masing klan. Sebaliknya, tiap satu Rumah Niang, yang memiliki delapan kamar, wajib dihuni oleh masing-masing keturunan dari kedelapan klan tersebut. Mereka benar-benar memakai arsitektur sebagai alat pemersatu.

Gambar: 18 Wae Rebo Sumber: https://gpswisataindonesia.info/2018/09/kain-tenun-songke-manggarai-nusa-

tenggara-timur/ 284

Mbaru niang berbentuk kerucut dengan tinggi sekitar 15 meter. Atapnya dari ijuk atau ilalang dengan kerangka atap dari bambu. Dan tiang-tiang utama menggunakan kayu worok yang, besar yang diambil sayu pohon utuh. Sebelum di pakai, kayu tersebut telah dipersiapkan secara tradisional agar menjadi kayu yang baik dan kuat dan dipilih kayu yang cukup umur. Desain rumah panggung selain melindungi penghuni dari binatang buas dan tanah yang basah, kolong rumah kerap digunakan untuk menenun bagi ibu-ibu di Desa Wae rebo. Niang (rumah) inti di kampung Wae Rebo berjumlah 7 buah, dan salah satunya merupakan rumah adat atau dalam bahasa lokal disebut Mbaru Niang atau rumah kerucut, karena bentuknya kerucut, runcing di bagian atas dengan atap ijuk yang menjuntai hingga ke tanah atau juga Mbaru Gendang karena di rumah ini disimpan gendang pusaka milik kampung yang digunakan dalam setiap kegiatan upacara adat. Sedangkan 6 sisanya disebut Niang Gena atau rumah gena atau rumah biasa. Penghuni Mbaru Niang berjumlah 8 kepala keluarga, perwakilan dari masing-masing keturunan. Sedangkan 5 niang gena dihuni 6-7 kepala keluarga. Dan satu niang gena yang saat ini digunakan sebagai tempat menginap bagi tamu wisatawan yang datang berkunjung di Kampung Wae Rebo. Masyarakat Wae Rebo percaya bahwa kampung mereka dijaga oleh 7 buah bentangan alam yang juga disucikan.

Gambar: 19 memasak dirumah Sumber: https://gpswisataindonesia.info/2018/09/kain-tenun-songke-manggarai-nusa-tenggara-timur/

285

Mbaru Niang bukan hanya sekedar tempat berlindung dari cuaca dan gangguan dari luar. Bagi suku Manggarai yang menghuni desa Wae Rebo, Mbaru Niang merupakan wujud keselarasan manusia dengan alam serta merupakan cerminan fisik dari kehidupan sosial warga desa Wae Rebo. Bentuk rumah panggung menjadikan Mbaru Niang sebagai rumah yang sempurna sebagai tempat perlindungan dari hewan buas dan berdasarkan dari letak geografisnya, desa Wae Rebo berada pada wilayah gempa, sehingga bentuk rumah panggung juga sangat kondusif untuk wilayah tersebut. Dalam lutur (tingkat pertama Mbaru Niang), terdapat area yang dikhusukan untuk api. Api dan asap yang merupakan suatu elemen multifungsi bagi seluruh kehidupan di dalam Mbaru Niang. Manfaat api berikut dengan asapnya dapat dijabarkan sebagai berikut: a. sebagai elemen untuk memasak, b. menghangatkan penghuni yang ada di dalamnya, c. asap dimanfaatkan sebagai pengawetan bahan makanan yang berada diatas tungku api, d. asap juga membuat ilalang yang digunakan untuk atap rumah menjadi lebih tahan lama (karena membuat ilalang semakin kering), dan e. asap juga dapat mengusir serangga atau ngengat yang ada di dalam rumah.

Gambar:20 Peta Wae Rebo Sumber: https://gpswisataindonesia.info/2018/09/kain-tenun-songke-manggarai-nusa-tenggara-timur/

286

Gambar: Peta Wae Rebo Sumber: http://www.arsitekturindonesia.org

Bentukannya yang kerucut, membuat rumah unik ini memiiki sifat aerodinamis. Hal ini sangat cocok untuk daerah tersebut yang terlampau sering dilewati oleh angin atau kabut dikararenakan berada di daerah dataran tinggi. Pembangunan mbaru niang bisa disebut sebagai ‘knock down’, atau bangunan yang dapat di bongkar pasang tanpa merusak bahan utama dan bisa dipergunakan kembali. Adanya kesinambungan antara masyarakat dengan leluhurnya membuat seluruh masyarakat memiliki sifat akan menghormati leluhurnya yang telah menjaga kehidupan mereka. Sehingga dari masyarakat pun sendiri sangat menjaga kelestarian alam yang ada di sekitarnya. Dan dari situ pula terasa atmosfer akan The Spirit of Place dari desa Wae Rebo 6. Sistem struktur dan konstruksi

Gambar: 21 Rumah adat Wae Rebo Sumber: https://www.behance.net/gallery/42427375/Wae-ReboVillageAbove-The-Clouds

287

Rumah adat Wea Rebo berbentuk kerucut dengan atap yanag menjuntai hampir menyentuh tanah yang terbuat dari daun lontar, dan struktur lantai yang menggunakan struktur panggung. Kontruksi bangunan rumah ini menggunakansistem pasak dan pen yang kemudian di ikat menggunakan rotan sebagai tali. Bahan yang digunakan adalah Kayu Worok dan bambu, dan penutup atap menggunakan daun lontar yang kering/alang-alang.

Gambar: 22 Pondasi Rumah adat Wae Rebo Sumber: http://www.arsitekturindonesia.org

Membangun sebuah mbaru niang, masyarakat Wae Rebo mempersiapkannya hingga satu tahun, karena keseluruhan bahan bangunan diambil secara bijaksana dari hutan yang mengelilingi kampung wae rebo. seperti kayu utama yang menjulang ditengah setinggi 15 meter, diambil dari satu pohon utuh, dan sebelum di pakai, kayu tersebut telah dipersiapkan secara tradisional agar menjadi kayu yang baik dan kuat (bingung menjelaskan proses mempersiapkan dari sebuah pohon utuh menjadi kayu gelondongan yang siap pakai) dan dipilih kayu yang cukup umur. selain kayu, masyarakat juga mengumpulkan bermeter-meter rotan untuk mengikat, ijuk dan alang-alang untuk atap dan bambu. seluruh bahan ini dipersiapkan dan dikumpulkan sedikit-sedikit sesuai yang disediakan alam yang dapat diambil secara bijaksana oleh masyarakat. Pondasi dari mbaru niang terdiri dari beberapa bilang batang kayu yang ditanam ke tanah sedalam 2 meter. terdapat permasalah pondasi pada bangunan lama, yaitu kayu yang membusuk karena lembab atau rapuh, sehingga tak kuat menahan keseluruhan bangunan rumah. seiring dengan kedatangan tamu dan beberapa masukan dari ahli, pondasi mbaru niang 288

sekarang dibungkus dengan plastik dan ijuk untuk melindungi kayu bersentuhan langsung dengan tanah wae rebo yang lembab.

Gambar: 23 Pondasi Rumah adat Wae Rebo Sumber: http://www.arsitekturindonesia.org

Pembangunan mbaru niang bisa disebut sebagai knock down, atau bangunan yang dapat di bongkar pasang tanpa merusak bahan utama dan bisa dipergunakan kembali. Mbaru - niang berbentuk kerucut dengan atap yang hampir menyentuh tanah. Atap yang digunakan rumah adat Mbaru -Niang ini menggunakan daun lontar. Mirip rumah adat “honai” di Papua, Mbaru Niang adalah rumah dengan struktur cukup tinggi, berbentuk kerucut yang keseluruhannya ditutup ijuk.

Gambar:24 Sistem Ikat Rumah adat Wae Rebo Sumber: http://www.arsitekturindonesia.org

289

7. Material bangunan

Gambar:25 Material Rumah adat Wae Rebo Sumber: http://www.arsitekturindonesia.org

Pada dasarnya material bangunan yang digunakan untuk bangunan di NTT khususnya manggarai untuk tipologi fungsi yang satu dengan yang lain tidak ada perbedaan yang significant, terkecuali penggunan material tertentu untuk rumah adat yang tidak diperkenankan untuk rumah tinggal biasa dalam hal ini seperti kayu khusus yang digunakan untuk tiang utama rumah adat.

Gambar: 27 Material Rumah adat Wae Rebo Sumber: http://www.arsitekturindonesia.org

Secara umum bahan bangunan yang digunakan dibagi atas 2 yaitu bahan yang struktural dan bahan yang non struktural, bahan bangunan yang digunakan umumnya terbuat dari kayu dan bambu sebagai bahan struktural dan bahan yang nonstructural berupa alang-alang dan ijuk sebagai bahan penutup atap dan juga raham hias yang digantung pada bidang atap bagian dalam.

290

8. Pola ruang dalam

Gambar:26 Pola Rumah adat Wae Rebo Sumber: http://www.arsitekturindonesia.org

Secara horisontal pola ruang pada arsitektur tradisional manggarai ini berintikan pada ruang tengah yang mengintari sembilan buah tiang utama. Pada bagian tengah ini ada terdapat 2 ruang penting dan saling mendukung, yakni ruang bersama (lutur), bagian depan dan perapian (sapo) bagian belakang yang memiliki fungsi ganda yakni bagian ruang yang bersifat profan dan sekaligus bersifat sakral dikatakan bersifat profan karena pada bagian ruangan ini dipakai untuk aktifitas penghuni rumah (makan, istirahat) namun juga sebagai tempat pelaksanaan aktifitas adat (upacara adat). Secara vertikal, rumah tradisional manggarai, dibagi menjadi beberapa bagian, yakni •

ngaung (kolong rumah) digunakan sebagai tempat memelihara ternak dan untukmenenun.



waselele (tempat tinggal manusia)



wasemese (tempat penyimpanan hasil panen)



lamparae (tempat penyimpanan benih tanaman)



sekang kode (tempat penyimpanan benda-benda pusaka)



ruang koe (ruang kosong yang bersifat sakral)

291

9. Hierarki ruang

Gambar:28 Pola Rumah adat Wae Rebo Sumber: http://www.arsitekturindonesia.org

Rumah Mbaru Niang sendiri berfungsi sebagai tempat tinggal keluarga, yang diperuntukkan bagi 6 – 8 keluarga yang membagi ruang pribadinya dalam sekat kamar di lantai satu. Mbaru niang terdiri dari lima lantai. berikut adalah susunannya: a. Lantai pertama merupakan tempat istirahat para penghuni. Lantai ini terbagi menjadi tiga bagian yaitu nolang, loang dan lutur. Nolang dan loang (area privat) adalah tempat beraktivitas, termasuk memasak. Sementara lutur (area publik) merupakan tempat tetamu beraktivitas dan istirahat. Pembagian ini menunjukkan budaya saling menghormati antara penduduk setempat dan pendatang. Meski ada pemisahan ruang, namun mereka tinggal di satu lantai. 292

b. Tingkat kedua berupa loteng atau disebut lobo (lobo berarti loteng) yang berfungsi untuk menyimpan bahan makanan dan barang-barang sehari-hari. c. Tingkat ketiga disebut lentar (lentar berarti jagung) untuk menyimpan benih-benih tanaman pangan, seperti benih jagung, padi, dan kacang-kacangan. d. Tingkat keempat disebut lempa rae digunakan untuk menyimpan cadangan bahan pangan yang bisa digunakan manakala dalam keadaan darurat karena gagal panen. namun menurut slah satu sumber lantak ke-4 ini sudah jarang digunakan/kosong. e. Tingkat kelima atau paling atas yang disebut hekang kode digunakan untuk melakukakn upacara adat ancam bobongatau menempatkan sesaji buat leluhur. 10. Keunikan rumah suku manggarai Karakteristik rumah Niang terdapat pada bentuknya yang kerucut dengan atap dan badan yang menyatu. Dinding bangunan tersusun dari rangka bambu yang diselimuti dengan jalinan daun ilalang kering dan ijuk untuk melindungi penghuni dari suhu udara yang dingin khas pegunungan. Wujud rumah Niang yang secara alami terbentuk dari proses penyesuaian dengan iklim yang terdapat di pegunungan membuatnya memiliki bentukan yang demikian. Pada proses pengembangannya, arsitektur rumah Niang yang mengkini, akan juga mengalami proses metamorphosis, dimana dalam keadaan iklim dan karakter alam pendukungnya juga bisa menjadi potensi bagi proses pemalihannya Rumah ini dihuni sekitar 5-6 anggota keluarga (sekitar 30 orang) yang hidup berdampingan dengan dapur yang sama dan tungku yang terpisah. Hal tersebut menunjukan pola hidup berkomunitas dengan sikap toleransi yang terus dijaga dalam kehidupan sehari-hari dari zaman dulu hingga saat ini.

13. Ornamen dan dekorasi Ornamen-Ornamen Yang Khas (values symbol meaning) Tidak terdapat ornamen-ornamen yang khan pada rumah Baru Niang, bagian luar bangunan hanya trlihat seperti krucut yang beratap ijuk, dan memiliki beberapa pintu dan jendela. Baru Niang bukan hanya sekedar tempat berlindung dari hujan dan gangguan dari luar. Bagi suku “anggarai yang menghuni desa Wea Rebo,” Baru Niang” merupakan wujud keselarasan manusia dengan alam serta merupakan 293

cerminan fisik dari kehidupan sosial warga desa Wea Rebo. Konon dulunya leluhur suku “anggarai yang bermukim di dataran Flores memiliki delapan orang peWaris, Oleh karena itu terdapat delapan suku yang tersebar di dataran Flores. Namun leluhur mereka saat itu tidak membangun delapan rumah untuk dihuni oleh masingmasing kep ala keluarga. Hanya terdapat tujuh buah “Baru Niang yang masing- masing “Baru Niang dihuni oleh tujuh keluarga dari setiap suku. Tujuan para leluhur terdahulu adalah agar sosialisasi antar suku semakin erat dan dapat terus terjalin hubungan antar tiap keluarga. Wujud rumah Niang yang secara alami terbentuk dari proses penyesuaian dengan iklim yang terdapat di pegunungan membuatnya memiliki bentukan yang demikian. Pada proses pengembangannya, arsitektur rumah Niang juga mengalami proses metamorphosis, dimana dalam keadaan iklim dan karakter alam pendukungnya juga bisa menjadi potensi bagi proses pemalihannya. Rangga kaba (tanduk kerabau) Arti simbolik dari Tanduk Kerbau mengajarkan nilai-nilai kemanusiaan yakni kemanusiaan yang bermakna cita-cita agar keturunan kuat seperti kerbau dan bekerja keras. Konsep ideologis tanduk kerbau sering di gunakan dalam Go’et –Go’et ( pribahasa) uwa haeng wulang langkas haeng ntala (tinggi sampai bulan dan jangkauan sampai langit).

Gambar: 29 Rangga Kaba Sumber: http://filsafatmanggarai.blogspot.com/2014/01/siapakah-orang-manggarai-itu.html

294

11. Simbol tangible dan intangible NO 1.

Data Kepercayaan

Intangible 1.

2.

Tangible

Memeluk agama Katolik namun

Wae

Rebo

masih

memiliki keyakinan animisme.

mempercayai tanda-tanda alam dalam

Mereka percaya bahwa roh nenek

kehidupan kesehariannya. Contohnya

moyang selalu mengelilingi mereka

Jika terdengar suara dari po (burung

dan selalu melindungi kampung. Oleh

hantu) selama 3 kali berturut-turut

sebab itu semua upacara adat yang

pada waktu sore hari, maka akan ada

dilakukan

duka

permohonan

yang

diucapkan selalu berkaitan dengan

atau

kabar

kematian

dari

keluarga yang mendengar. Gambar: Kepercayaan

roh dan arwah nenek moyang. 3.

1. Masyarakat

Masyarakat Wae Rebo menganut sistem kekerabatan patrilinial, di mana keluarga dari pihak laki-laki mempunyai peranan lebih besar.

4.

Batu Compang yang terletak di halaman

rumah

sebagai

tempat

masyarakat bercengkrama dan juga

Sumber: google.com

digunakan sebagai altar untuk upacara adat / keagamaan

2

Arsitektur

Hirarki

rumah adat

Lutur : Berkumpul

suku

Loteng

Manggarai

makanan & barang-barang sehari-

:

Menyimpan

Bahan

hari. Lentar: menyimpan benih-benih Tanaman. Lempah Rae: Stok pangan jika 1. Rumah adat bagi masyarakat Wae Rebo merupakan simbolisasi

Kekeringan Hekang

Kode

:

Persembahan

seorang ibu atau melambangkan seorang ibu yang selalu

Leluhur.

mengayomi dan melindungi, dalam hal ini rumah adat

Zona KOLONG:

Melambangkan

dunia

melindungi dan mengayomi penghuni rumah.

orang mati

295

BAGIAN TENGAH: Tempat Orang 2. Persambungan pada konstruksi melakukan Aktivitas

rumah melambangkan

BAGIAN ATAP : Tempat Pemujaan

perkawinan suami dan istri yang membentuk sebuah keluarga.

Simbolisasi Rumah Adat Persambungan

pada

3. Rumah adat Wae Rebo memiliki 9 kontruksii

tiang utama melambangkan

rumah melambangkan perkawinan

jumlah bulan ketika seorang ibu

suami dan istri yang membentuk

mengandung

sebuah keluarga.

4. Susunan 3 tiang secara berderet 3 kali (9 tiang) melambangkan 3 fase yang penting dalam perkembangan janin di dalam perut seorang ibu 5. Di atas tungku perapian terdapat

loteng dan terdapat ruangan berbentuk segi empat dengan hiasan bulatan di setiap ujungnya yang menyerupai kepala, melambangkan sebuah persalinan secara normal harus didahului kepala. Ruangan ini digunakan untuk menyimpan makanan siap saji melambangkan bahwa seorang bayi sepatutnya selalu mendapat kehangatan dan dekat dengan sumber makanan yang baik.

296

6. Material yang digunakan pada bangunan dominan menggunakan material alami karena sesuai kepercayaan mereka yang sangat menghargai alam dan bahkan kehidupan mereka tidak bisa dipisahkan dengan alam. 7. Untuk menghindari kelembaban pada material yang digunakan pada rumah adat suku manggarai terdapat dapur/perapian didalam rumah memiliki fungsi sebagai pengusir rayap yang ada sehingga material yang digunakan pada rumah mereka sangat awet dan kokoh.

3

Kain Songke

1. Kain-kain khas manggarai ini adalah f.

Suku

simbol adat bagi mereka. Motif

Manggarai

Bunga, dalam bahasa Manggarai Wela kawong, bermkana Interpendensi antara manusia

Motif wela kawu (bunga kapuk) bermakna keterkaitan antara manusia dengan alam sekitarnya.

g.

Motif

ranggong

(laba-laba)

bersimbol kejujuran dan kerja keras. h.

Motif

ju’i

(garis-garis

batas)

dengan alam di sekitarnya. Motif

pertanda

Laba-laba/ Ranggang, Bersimbol

sesuatu, yaitu segala sesuatu ada

kejujuran dan kerja keras, Dan

akhirnya, ada batasnya.

menegaskan ketertautan antara rumah dan kebun/ Gendang one agu lingko pe'ang. 2. Warna dasar hitam pada songke melambangkan sebuah arti kebesaran dan keagungan orang Manggarai serta kepasrahan bahwa semua manusia akhirnya 297

keberakhiran

segala

akan kembali pada Yang Maha Kuasa. 3. Kuning : Keluhuran Hijau : Harapan Masa Depan Merah : Keberanian Hitam : teguh & Abadi

4

Pola Struktur dan lingkungan

Pola Perkampungan

1. struktur atap rumah menyerupai

Bulat dan bundar dengan pintu berhadapan memiliki makna keutuhan & kebutuhan, dibagi menjadi 3 bagian: Depan, Pusat, Belakang.

perkebunan juga menyerupai sarang laba-laba. simbol ini

Disain rumah tradisional ini berbentuk

manggarai selalu menjaga

rumah panggung untuk menghindari

kesatuan antara rumah tempat

dari serangan binatang buas yang ada

berteduh dengan

didalam hutan maupun pegunungan.

kebun/ladang/sawah tempat

baik dengan angin pegunungan yang

mendapatkan nafkah.

2.kolom tertanam ± 200 cm didalam tanah

cenderung kencang.

Kesenian

pembagian tanah untuk

memberi makna bahwa orang

Bentuk rumah yang kerucut berespon

5

jaring laba-laba, demikianpun

Darah, keringat, dan air mata dalam tarian caci mengandung makna kepahlawanan dan keperkasaan. Namun dalam caci, keperkasaan tidak harus dilakoni lewat kekerasan namun juga lewat kelembutan yang ditunjukkan dalam gerakan-gerakan 298

Upacara Caci, sering disebut tarian atau permainan kekeluargaan,

yang bernuansa seni. Tarian Caci

persahabatan dan seni yang

diiringi bunyi gendang dan gong serta

merupakan bagian penting dalam

nyanyian para pendukungnya yang

perayaan tahun baru. Merupakan

menunjukkan kemegahan acara

permainan cambuk dimana para

tersebut.

lelaki bertarung dengan cambuk sering sampai mengeluarkan darah. Hal ini dianggap sebagai perlambang sifat sportif, keperkasaan, keberanian dan sebagai daya tarik bagi perempuan. Caci sudah merupakan puncak kebudayaan Manggarai yang unik dan sarat makna: seni gerak (lomes), nilai etika (sopan santun), nilai estektika, muatan nilai persatuan, ekspresi suka cita, nilai sportifitas, serta penanaman percaya diri.

299

Glosarium “Mbaru Gendang” adalah; merupakan simbol sekaligus pusat seluruh kehidupan orang Manggarai Barat. “Patrilinea” adalah suatu adat masyarakat yang mengatur alur keturunan berasal dari pihak ayah. Kata ini seringkali disamakan dengan patriarkat atau patriarki, meskipun pada dasarnya artinya berbeda. “Lingko” adalah merupakan semua tanah yang dimiliki satu wa’u (kumpulan beberapa klan) di dalam satu golo. Karena itu, lingko bukan milik pribadi, tetapi milik wa’u yang tinggal di satu golo saja. “Odok” adalah sebidang tanah yang sudah dibagi secara jelas oleh nenek moyang ke dalam lampan dan uma meze. “Dor” adalah orang yang diangkat dari (tidak harus) dari anggota sepu biza (seperti wa,u)yang memenuhi syarat-syarat tertentu “Compang” adalah sebuah tempat khusus untuk persembahan yang letaknya di tengah kampong, tersusun dari batu pilihan dan di tengahnya diletakkan batu ceper (watu lempe). “Gendang” adalah lembaga kekuasaan dari suatu masyarakat hukum adat. “Ronda” adalah sebuah nyanyian yang dipakai sebagai nyanyian perarakan, misalnya menjemput tamu baru

Daftar Pustaka Y. Antar, “Pesan Dari Wae Rebo.”. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama anggota IKAPI. (2010) 200–266. Kansiusdeki, “Compang orang Manggarai”. Jakarta: St. Paulus Kekisruhan (2016) J. Sumardjo. “Estetika Paradoks”. Bandung: Susunan Ambu Press. (2006) 104-110. J. A. Walker. ”Desain, Sejarah, Budaya; Sebuah Pengantar Komprehensif”. Yogyakata: Jalasutra. (1989). 161. 300

S. Alex. Analisis Teks Media. ( 2001). 41-99. van Zoest, Aart. Semiotika: Tentang Tanda, Cara Kerjanya Dan Apa Yang Kita Lakukan Dengannya. Jakarta: Yayasan Sumber Agung (1993) Y. A. Pilliang. “Hipersemiotika: Tafsir Cultural Studies atas matinya makna”. Yogyakarta: Jalasutra. (2003). 12 [7] Fiske, John. Cultural and Communication Studies. Yogyakarta: Jalasutra, (1990 Abidin (2004). Pengantar Sosial Budaya Indonesia. Jakarta: Pustaka Setia Nggoro Adrianus Marselus, (2013) Budaya Manggarai, Ende : Nusa Indah. Antony Bagul, (2008). Budaya Daerah Manggarai, Ende : Nusa Indah. Burhan Bungin, (2001) Metodologi Penelitian Kualitatif Dan Kuantitatif. Yogyakarta : Gajah Mada Press.

301

Related Documents

Waerebo Tugas.pdf
May 2020 11

More Documents from "Merta Sedana"

Waerebo Tugas.pdf
May 2020 11
Bed 3.docx
June 2020 13
Set Cvc.docx
June 2020 11
20190320_115049.pdf
April 2020 3