vision mapping (suatu bentuk pemetaan partisipatif untuk menjamin hak-hak pengungsi di tempat pengungsiannya) George M. Manu GIS Asisstant PULIH Project, CARE International Indonesia di Timor Barat (2005 – 2007); Team Leader Water, Sanitation and Hygiene (WASH), Action Contre La Faim International Network (November 2007 hingga sekarang); (Jl. Gajah Mada No. 56, SoE, TTS – NTT, 85511 - email :
[email protected])
Penerapan vision mapping di semua desa dampingan dalam Project PULIH - CARE International Indonesia bertujuan untuk menjamin hak-hak warga baru (ex pengungsi) di daerah pengungsian, khususnya dalam hal akses terhadap kebutuhan pokok, pelayanan kesehatan, dan peningkatan pendapatan. Hal ini dilakukan dengan menghimpun dan mengukuhkan aspirasi-aspirasi pengungsi melalui suatu perencanaan pembangunan desa secara partisipatif. Dalam mencapai tujuan ini, perencanaan desa juga dipadukan dengan kegiatan pemetaan yang diyakini sangat bermanfaat dalam menggali aspirasi masyarakat, mendukung konsistensi, dan meningkatkan transparansi pelaksanaan pembangunan. Dari kegiatan ini, telah terhimpun berbagai aspirasi masyarakat tiap-tiap desa dampingan, termasuk di dalamnya aspirasi warga baru, yang telah disyahkan dan didokumentasikan dalam sebuah buku perencanaan pembangunan desa. Tiap-tiap buku dilengkapi dengan peta existing dan peta rencana pembangunan desa, yang diadaptasi dengan butir-butir rumusan rencana pembangunan desa seperti yang tertera pada buku perencanaan desa. Selain itu, kegiatan vision mapping juga telah berhasil mendidik 48 orang dari 27 desa dampingan dalam hal perencanan pembangunan desa secara partisipatif. Dengan mekanisme ini, secara sistimatis hak-hak kaum marginal (warga baru-ex pengungsi) menjadi terjamin dalam keadaan apapun. LATAR BELAKANG ADANYA VISION MAPPING DALAM PROYEK PULIH PULIH atau Provide Uprooted People Access to Liveliood and Health Recovery merupakan salah satu proyek CARE International Indonesia yang menggambarkan suatu kondisi masyarakat yang ke luar secara paksa dari daerah (atau negara) asalnya, tanpa membawa apapun dan bermigrasi ke tempat lainnya. Di daerahnya yang baru, mereka mengalami berbagai tekanan dan ketidakadilan yang semestinya tidak terjadi, akibat penolakan atas kedatangan mereka oleh warga setempat (Willem Leang, 2005). Hal ini bukanlah suatu khayalan belaka, tapi benar-benar dialami oleh para pengungsi dari Timor – Timur (Timor Leste sekarang) dan Poso (Propinsi Sulawesi Tengah) pasca konflik di dua tempat ini. Ketimpangan-ketimpangan yang dialami para pengungsi ini, seperti yang disebutkan tadi, terjadi khususnya dalam hal akses terhadap bahan makanan, peningkatan pendapatan, pada hunian yang layak, dan kebutuhan mendasar lainnya seperti air bersih dan sanitasi. Khususnya untuk tiga ketimpangan yang disebutkan terlebih dahulu tadi, ketiganya sangat bertumpu pada posisi, luasan, dan kualitas tanah yang dimiliki. Tanpa lahan yang memadai (kualitas dan kuantitas), sekalipun lahan tersebut diolah dengan baik, lahan tersebut tetap saja rendah produksinya atau bahkan tidak ada hasilnya sama sekali. Lahan yang siap huni namun sempit dan tidak strategis (terletak di daerah yang terisolir), akan menyulitkan untuk menampung satu kepala keluarga yang berjumlah banyak dan mempersulit akses ke pasar, akses pada kebutuhan penerangan dan air bersih. Kedua fenomena ini kerap kali terjadi ketika para pengungsi ditempatkan di daerah pedesaan yang terisolir dan tidak cocok (tandus) untuk membuat berbagai usaha pertanian. Lebih parah lagi, di daerah-daerah tersebut disinyalir para pengungsi sulit untuk mengakses air bersih. Berdasarkan pada kondisi-kondisi ini, PULIH melakukan berbagai pendekatan seperti vision mapping, pembangunan fasilitas air bersih berbasis kemasyarakatan, pemulihan gizi berbasis masyarakat, sertifikasi lahan, peningkatan pendapatan, pemulihan lahan pertanian, dan monitoring usaha tani. Vision mapping sendiri menjadi ujung tombak dalam menggali, menampung, dan menjamin semua aspirasi kaum marginal ini (para pengungsi) agar tidak terabaikan.
MEMAHAMI VISION MAPPING Beberapa di antara pembaca tentu sudah tidak asing lagi dengan istilah vision mapping, karena sudah sering didengar, diucapkan atau bahkan sudah sering membuatnya. Di kalangan praktisi, kebanyakan mereka telah menghasilkan produk vision mapping dalam berbagai bentuk atau adaptasi, tanpa kemampuan mendefenisikan apa itu vision mapping. Itulah sebabnya dalam mendefenisikannya perlu merujuk pada referensi-referensi kesusastraan. Vision mapping merupakan ungkapan dalam sastra Inggris yang terdiri dari dua kata, yakni vision dan mapping. Dalam Kamus Concise Oxford edisi X, vision juga bisa diartikan sebagai gambaran mental tentang masa depan atau seperti apakah masa depan itu. Syahroni (2002) menambahkan pula bahwa vision merupakan sesuatu yang istimewa dan yang diharapkan (impian). Dengan kata lain, vision merupakan suatu keadaan di masa yang akan datang, yang sangat istimewa dan diharapkan. Hal ini dibenarkan oleh Melisa swangers, seorang konsultan terkenal di bidang kepribadian dan seksualitas, di masa kejayaannya ia pernah berkata : ”I found an old vision statement I had written over 10 years ago regarding my business, which I hadn't looked at in a very long time, and was shocked to see that almost everything I had wished for has come true, as if by divine intervention!” (Sumber:http://mogulette.blogspot.com/2007/05/vision-mapping.html). Sedangkan mapping dalam Kamus yang sama, memiliki dua arti. Pertama, dalam kedudukannya sebagai kata benda, mapping dapat diartikan sebagai representasi diagramatis suatu daerah (apakah itu daratan atau lautan) yang menggambarkan ciri-ciri fisis, kota, atau lika-liku jalan, dan lain sebagainya (keadaan geografis). Kedua, dalam kedudukannya sebagai kata kerja, mapping dapat diartikan sebagai upaya untuk menggambarkan, atau mencatatkan sesuatu pada peta. Bila vision dan mapping kita sandingkan, maka secara gamblang bisa artikan sebagai impian yang dipetakan di daerah (dikelompokkan dalam daerah) di mana impian tersebut akan dicapai. Bila impian-impian tersebut, karena berbagai faktor, hanya dapat dicapai dalam kurun waktu yang lama, maka kebanyakan orang membuat rencana-rencana sebagai tahapan-tahapan dalam mencapai suatu impian yang sempurna. Berdasarkan atas argumentasi ini, maka vision mapping disamakan pula dengan sebuah peta rencana. Seiring dengan berkembangnya teknologi informatika, kartografi, dan matematika, aplikasi peta rencana telah berkembang ke segala bidang kehidupan. Kalangan pengambil keputusan, ahli strategi, dan para perencana kebanyakan memanfaatkannya untuk mengkaji berbagai keputusan yang mereka hendak buat, dan untuk mengokohkan maksud-maksud mereka. PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL Ada beberapa alasan mengapa perencanaan bagi suatu bangsa menjadi penting. Pertama, perencanaan merupakan pemikiran tentang hari depan (Sumpeno, 2001). Hal ini mengimplikasikan bahwa perencanaan merupakan pengejawantahan visi. Tanpa suatu perencanaan yang baik, maka bangsa tersebut mungkin saja bergerak ke arah lain, bukan pada cita-citanya. Kedua, perencanaan pembangunan memainkan suatu fungsi organisasi. Dalam hal ini perencanaan berupaya untuk memaksimalkan keterbatasan-keterbatasan sumber daya yang ada, mengurangi pemborosan dalam pemanfaatan sumber daya, demi suatu keberlanjutan (Sri Mulyani Indrawati, 2004). Sebagai contoh, tumpang tindih pembangunan di suatu daerah merupakan tindakan pemborosan anggaran pembangunan. Hal ini dapat dihindari melalui perencanaan yang bersinergi antara institusi-institusi pelaksana pembangunan. Ketiga, perencanaan memberikan alasan-alasan yang rasional dalam mengambil suatu keputusan, apalagi bila situasinya genting. Urgensi ini dapat tercipta ketika suatu perencanaan melibatkan aspek analisa, kebijakan, dan desain atau rancangan. Dalam prakteknya terdapat beberapa pola perencanaan pembangunan. Hal ini dapat kita bedakan secara jelas dengan menyimak 4 bentuk pengembangan program (Inglesh AW; Musch A; Qwist Hoffman, 1999). Pertama, top down intervention, di mana keputusan diambil oleh kelompok kecil yang dianggap punya kuasa (seperti pemerintah, donatur proyek, atau perusahaan tertentu). Pola ini dijalankan dalam kondisi yang darurat di mana dibutuhkan keputusan-keputusan yang cepat. Oleh karenanya sedikit sekali melibatkan partisipasi dari pihak lain. Keputusan semata-mata ditentukan oleh pengetahuan, agenda, dan sistim nilai kelompok-kelompok penguasa. Kedua, modifikasi top down intervention. Pendekatan ini menerapkan metode konsultasi di mana para pengambil keputusan berkonsultasi pada
para pemangku kepentingan sebelum mengambil suatu keputusan. Tipe ini memiliki keterbatasan pula mengingat keputusan yang diambil semata-mata mengandalkan informasi dari stakeholders dan pembuat keputusan. Ketiga, participatory intervention. Bentuk ini merupakan penyempurnaan dari kedua bentuk pendekatan. Orang atau individu yang mendapat dampak dari porgram juga turut dilibatkan dalam evaluasi, penilaian, dan pengambilan keputusan dalam menerapkan suatu program. Keempat, catalyc agent. Dalam konteks ini, program didisain oleh stakeholder lokal dengan difasilitasi oleh fasilitator luar. Pengetahuan dan kepentingan masyarakat merupakan pertimbangan utama dalam mengambil keputusan. Program kemudian dialihkan ke mitra lokal. Model ini kebanyakan dipakai oleh para pekeja kemanusiaan (NGO atau LSM) untuk memperkuat kapasitas lokal. Ditinjau dari sisi keikutsertaan masyarakat dalam program pembangunan, secara sistimatis kedua model pendekatan terakhir merupakan pendekatan yang manjur untuk semaksimal mungkin melibatkan masyarakat dalam pembangunan. Perencanaan pembangunan nasional sendiri telah dimulai sejak Indonesia menjadi sebuah bangsa yang merdeka. Dalam kondisi yang serba terbatas, para proklamator bangsa diharuskan membuat rencana-rencana untuk membangun kembali bangsa yang telah porak-poranda oleh perang selama hampir kurang dari setengah abad lamanya. Dalam usia yang masih terlalu mudah, sudah tentu perencanaan pembangunan bukan merupakan sesuatu yang gampang. Berbagai metode perencanaan dan revisi-revisinya telah diterapkan untuk mendapatkan suatu bentuk perencanaan yang ideal. Di masa orde lama, pengambilan keputusan di bangsa ini kebanyakan berpusat pada presiden dan kabinetnya. Memasuki masa orde baru pengambilan keputusan masih didominasi oleh sang penguasa (presiden), dengan menjadikan dewan legislatif dan kabinetnya sebagai ”boneka” tempat ia berkonsultasi. Sebagai akibatnya, banyak program pembangunan yang salah sasaran, mensejahterakan pihak-pihak tertentu, dan tidak dikenal oleh masyarakat. Klimaksnya, program-program tersebut tidak lestari, hancur dalam beberapa saat sesudah diimplementasikan, dan meninggalkan hutang negara yang belum terlunasi hingga kini. Di era reformasi semua ini mendapat kecaman hebat, menuntut adanya suatu perubahan. Ternyata tuntutan-tuntutan tersebut membuahkan hasil. Para legislator di bangsa ini kemudian mengeluarkan berbagai produk hukum yang memperkuat filosofi dari, oleh, dan untuk rakyat. Hal ini berarti bahwa rakyat kecil juga harus benar-benar dilibatkan di awal proses pembangunan (pada fase perencanaan pembangunan). Terhitung dari Tahun 1999 hingga 2007, terdapat 20 produk Undang-Undang, 3 Surat Edaran Bersama (SEB), 4 Peraturan Menteri, 17 Peraturann Pemerintah (PP), bertalian erat dengan perencanaan pembangunan nasional yang berbasis masyarakat (Sumber : Situs resmi BAPPENAS). Semua produk hukum tersebut selain mengacu pada mekanisme, petunjuk teknis perencanaan pembangunan, tetapi juga mengatur alokasi anggaran dalam implementasi pembangunan itu sendiri. Ini menjadi isyarat diperlukannya kolaborasi dan sinergi antar lembaga penyelenggara dan pelaksana (implementor) suatu perencanaan pembangunan. Produk hukum terbaru yang mengatur tentang mekanisme perencaaan pembangunan nasional adalah SEB Menteri Negara PPN/Kepala Bappenas dan Menteri Dalam Negeri tentang Petunjuk Teknis Khusus Penyelenggaraan Musrenbang Tahun 2007. Surat ini merupakan pembaharuan dari SEB tahun sebelumnya. Dalam SEB terbaru ini tertera amanah dari Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan Daerah, serta dengan memperhatikan beberapa peraturan pelaksanaannya yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2004 tentang Rencana Kerja Pemerintah, Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2004 tentang Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian/Lembaga, Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2006 tentang Tata Cara Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan serta Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2006 tentang Tata Cara Penyusunan Rencana Pembangunan Nasional, Pemerintah dan Pemerintah Daerah diwajibkan untuk menyusun rencana pembangunan jangka panjang (RPJP/D), rencana pembangunan jangka menengah (RPJM/D), dan rencana kerja pemerintah (RKP/D) sebagai rencana tahunan (Pengantar SEB Meneg Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas dan Menteri Dalam Negeri, Tahun 2007). Dalam surat edaran ini terdapat penjelasan tentang tahapan-tahapan perencanaan pembangunan nasional, yang dimulai dengan menghimpun aspirasi masyarakat, diikuti dengan pembuatan rancangan rencana kerja pembangunan (RKP). Rancangan rencana kerja pembangunan akan dimusyawarahkan dalam forum Musyawarah Rencana Pembangunan (Musrenbang) dengan mempertimbangkan pula apa
saja rencana-rencana strategis (RENSTRA) di daerah tersebut (atau RENSTRA nasional). Hasil-hasil suatu Musrenbang akan dikaji terlebih dahulu oleh tim Satuan Kerja Pembangunan Daerah (SKPD), sebelum dibawa ke Musrenbang yang lebih tinggi. Setelah diadakan Musrenbang Nasional, diadakan sidang kabinet untuk mengkaji rancangan akhir rencana kerja pembangunan. Hasil dari sidang ini ditetapkan sebagai peraturan presiden (Perpres) sebagai rencana kerja pembangunan. Di tingkat desa, praktek perencanaan pembangunan dibagi atas tiga tahapan. Pertama, tahap persiapan, yang ditandai dengan penjaringan aspirasi masyarakat dan persiapan penyelenggaraan Musrenbangdes itu sendiri (persiapan agenda, lokasi, peserta, dan publikasinya). Kedua, tahap pelaksanaan. Tiap peserta yang telah mendaftar disuguhi dengan paparan dari pihak kecamatan tentang prioritas pembangunan di kecamatan yang bersangkutan serta perkembangan penggunaan anggaran pembangunan, paparan dari kepala desa tentang prioritas kegiatan di tahun yang akan datang beserta alokasi dana yang dibutuhkan untuk kegiatan-kegiatan tersebut, penentuan prioritas program pembangunan desa berdasarkan kriteria-kriteria tertentu, dan penentuan perwakilan desa untuk Musrenbang tingkat kecamatan.
PENTINGNYA PEMETAAN DALAM PERENCANAAN PEMBANGUNAN Semenjak peta ditemukan untuk pertama kalinya di Kota Gasur – Babilonia sekitar 2500 tahun sebelum masehi (Edy Prahasta, 2001), peta selalu menggambarkan kondisi geografi suatu wilayah. Itulah existensi sebuah peta, selalu dikaitkan dengan keadaan bumi di mana ia akan merepresentasikannya. Bila perencanaan pembangunan selalu ”diikatkan” dengan suatu wilayah tertentu, maka peta dapat digunakan untuk menggambarkan tempat (areal) dan dampak dari pembangunan tersebut terhadap wilayah di mana dilakukan pembangunan. Putu Rudy setiawan (2004) menyebutkan beberapa manfaat peta dalam kaitannya dengan tata ruang, yakni : (a). Peta dapat dimanfaatkan sebagai instrumen dalam perencanaan ruang. Bila peta itu memiliki akurasi yang tinggi, maka peta tersebut sangat membantu dalam proses perencanaan dan dapat pula dirujuk oleh pengembang ruang dan pemilki tata ruang sebagai refensi yang baku. (b). Peta sebagai instrumen perizinan ruang. Keberadaan peta yang memadai dapat dijadikan media komunikasi antara pemberi izin dan pemohon izin. (c). Peta sebagai instrumen pengawasan ruang. Dalam konteks ini, peta yang benar dan dirujuk secara bersama-sama, akan menghindarkan persoalan antara pengawas dan pengembang. (d). Peta sebagai instrumen koordinasi. Dengan merujuk pada peta rencana yang sama, tumpang tindih pelaksanaan pembangunan antar instritusi dapat terhindarkan. Selain berfungsi dalam kondisi normal, peta juga berfungsi pada kondisi yang darurat. Menurut Mulyanto Darmawan (2008), pasca bencana dahsyat (seperti tsunami Aceh), peta dapat digunakan untuk penentuan batas wilayah (persil), identifikasi daerah rentan (terhadap sakit penyakit, kemiskinan, dan lainnya) maupun daerah potensial (terhadap pengembangan pertanian dan lain sebagainya), serta berperan penting dalam rencana mitigasi bencana pada fase rekonstruksi daerah tersebut. Seiring dengan berkembangnya teknologi informatika dan kartografi, peta kemudian dipadukan dengan data-data atributal dari suatu daerah, menjadi suatu sistim informasi geografis (SIG). Sistim ini dapat berjalan dengan baik manakala para pemrakarsanya memberikan corak yang unik bagi tiap feature yang ada dalam peta dan merelasikannya satu dengan yang lainnya. Dengan begitu, tiap pengguna dapat melakukan berbagai manipulasi antar feature untuk mendapatkan apa yang diinginkannya. Adapun beberapa kemampuan dapat dilakukan dengan SIG, yakni (a). SIG dapat menampilkan suatu informasi yang tuntas, karena sudah menunjuk pada koordinat bumi (georeference) dan mampu menggambarkan keadaan nyata di lapangan, seperti luas, panjang, atau ketinggian suatu obyek (Sasongko, 2005); (b). SIG diyakini mampu pula dalam menentukan lokasi di permukaan bumi berdasarkan kriteria tertentu; (c). Kemampuan dalam menunjukkan kecenderungan suatu perubahan (time series); (d). Kemampuan otomatisasi dan pemodelan untuk memproses data yang kompleks secara teliti dan cepat (Prahasta, 2001). Di beberapa negara maju, SIG telah dikembangkan pada berbagai bidang kehidupan, seperti sistim navigasi, kehutanan (pemantauan kebakaran hutan), pertanian (kesesuaian lahan), kelautan (pemantauan areal mangrove), penerbangan (pemantauan badai), pertambangan (informasi air tanah), dan lain sebagainya. SIG telah dimanfaatkan dan terus dikembangkan oleh para ilmuwan, pengambil keputusan, dan ahli strategi di bidang-bidang ini demi menunjang apapun yang mereka lakukan.
Di Indonesia, peta dan SIG telah banyak membantu bukan hanya dalam proses perencanaan pembangunan, tetapi juga dalam pekerjaan-pekerjaan yang membutuhkan kemahiran ini. Dengan semakin maraknya penerapan pemetaan dan SIG, timbullah berbagai ekses negatif seperti penggunaan peta dasar dengan sumber yang tidak jelas, dan pekerjaan pemetaan dengan akurasi yang rendah. Keduanya dapat menimbulkan konflik dan penipuan terhadap penggunan informasi ini. Melihat situasi ini, maka Pemerintah bergegas mengeluarkan peraturan yang berisi aliran data, dan petunjuk teknis dalam membuat suatu peta tematik tertentu. Hal ini bukan merupakan suatu ancaman bagi para pengguna SIG dan pemetaan, namun juga merupakan suatu simpati pemerintah akan SIG dan pemetaan. Walau sudah demikian jauh, pemanfaatan SIG dan peta belum terjadi secara merata di seluruh Indonesia. Ketimpangan ini terjadi karena beberapa hambatan. Pertama, pemahaman para perencana pembangunan tentang peta dan SIG sendiri masih rendah. Selama ini jumlah tenaga ahli dan tenaga terdidik yang memahami pemanfaatan SIG, dan profesi-profesi lainnya belum mencapai 1.000 orang (BPPT, 1994) dan sebagian besar berdomisili di sekitar Jakarta. Pada saat otonomi daerah dijalankan, apakah tenaga-tenaga ini dapat didistribusi/terdistribusi ke daerah, merupakan suatu pertanyaan besar (Irawan Sumarto, D. Muhally Hakim, Albertus Deliar, 1999). Sebagai imbasnya, mereka tidak dapat memanfaatkan SIG dan peta secara optimal. Kedua, data pendukung SIG. Dalam kaitan dengan itu, ketersediaan, struktur, dan validitas data menjadi fokus mengingat SIG akan memberikan suatu output informasi kepada khalayak. Khususnya mengenai ketersediaan data, mengingat data spasial itu berharga (agak mahal), hendaknya didorong adanya saling tukar (sharing) data antar stakeholder. Hal ini akan mengurangi beban anggaran, dan waktu yang dialokasikan untuk menyediakan suatu data spasial. Selain itu, dengan berkolaborasi di bidang data, akan membentuk suatu sinergi dalam menjalankan pembangunan sedini mungkin. Keempat, publikasi peta dan SIG pada khalayak ramai. Hal ini dirasakan sangat kurang tatkala output dari SIG hanya tersimpan sebagai suatu dokumen (arsip) kantor, yang hanya dikonsumsi oleh para ”elite”, tanpa membeberkannya pada mereka yang membutuhkannya. Ekses negatif lainnya adalah ketika ”arsip” itu dijadikan ”komoditi ilmiah ekonomis” oleh pihak-pihak tertentu. Berkaitan dengan hal ini, perlu didorong adanya akses informasi SIG yang bebas tetapi dibarengi dengan tanggung jawab (operateable). Perlu pula ditingkatkan frekuensi dan kemampuan mensosialisasikan hasil-hasil SIG hingga ke masyarakat biasa. Tindakan ini terasa amat penting, mengingat masyarakat juga merupakan subyek dan modal dari pembangunan itu sendiri.
PEMETAAN PARTISIPATIF Sekalipun kegiatan pemetaan telah berlangsung lama di Indonesia, namun pemetaan partisipatif baru dimulai pada sekitar Mei 1993, ketika diadakan pemetaan Kampung Sidas Daya, Kecamatan Tengah Semila, Kalimantan Barat. Kebetulan kegiatan ini merupakan suatu training internasional yang difasilitasi oleh Kristianus Atok (WALHI) dan Masiun, dibantu oleh Alex Flavele (Canada) dan Dan Scoland (Clark University, USA). Peserta yang hadir pada saat itu terdiri dari 15 orang Indonesia, 4 orang dari Sabah dan 5 orang dari Sarawak. Kegiatan training tersebut berisikan pemetaan dengan meteran ukur dan kompas, tanpa GPS – globale positioning system (Kristianus Atok, 2008). Dari kegiatan kecil ini, pemetaan partisipatif kemudian berkembang ke seluruh pelosok bumi pertiwi. Tumbuhnya pemetaan partisipatif pada mulanya semata-mata didasarkan atas rasa iba ketika tanah-tanah milik masyarakat biasa yang tidak bersertifikat direbut oleh mereka yang punya kuasa. Dengan bermodalkan peta-peta lama yang disyahkan dengan produk-produk hukum, tanah-tanah ulayat, tanah-tanah adat, serta lahan-lahan produktif milik masyarakat diserobot dan dijadikan kawasan untuk pengembangan perkebunan, untuk keperluan meubeler, dan lain sebagainya. Peta-peta yang menjadi dasar pijak mereka merupakan peta tata guna hutan konsensus (TGHS) di mana sonasi hutan (seperti hutan produksi, hutan lindung, hutan produksi terbatas, dan tanah tak terdaftar) didasarkan atas sifat-sifat geografis saja (seperti potensi longsor, curah hujan, dan kemiringan tanah). Batas-batas dalam peta-peta ini ditarik melalui tanah-tanah yang tergolong tidak terdaftar, tanpa memperhitungkan kepemilikan ulayat atas tanah-tanah tersebut. Pemetaan partisipatif dalam situasi ini bermaksud menyeimbangkan monopoli negara atas sumber daya alam yang ada. Hasil-hasil pemetaan partisipatif pada saat itu efektif digunakan sebagai alat komunikasi untuk kepentingan advokasi dan untuk mempermudah pengelolaan sumber daya alam berkelanjutan yang berbasis pada masyarakat (Kristianus Atok, 2008)
Pembuatan peta-peta berbasis masyarakat bukan merupakan sesuatu yang mudah. Hal ini terjadi mana kala peta dibuat sendiri oleh masyarakat. Kebanyakan dari mereka tidak pandai membaca, apalagi menggunakan perlatan-peralatan canggih untuk pembuatan suatu peta. Dalam pada itu, agenagen pemetaan partisipatif biasanya mentransfer pengetahuan perpetaan melalui praktek langsung. Mereka yang dilatih (masyarakat) dalam beberapa waktu lamanya akan dapat membuat peta dengan sendirinya. Seiring dengan berkembangnya peta menjadi sistim informasi geografis, pemetaan partisipatif berkembang menjadi sistim informasi geografis secara partisipatif. Semula bila peta hanya dibuat dengan mengandalkan suatu survey bersama-sama dengan masyarakat dan hanya terbatas pada petapeta kadaster, maka SIG partisipatif malah lebih menyajikan informasi yang lebih dinamis, sesuai dengan apa yang diinginkan konsumen peta. SIG partisipatif menggandeng metode PRA (Participatory Rural Appraisal) dan PLA (Participatory Learning Action). Dakam konteks ini SIG partisipatif dilakukan untuk meningkatkan kemampuan dan percaya diri masyarakat dalam mengidentifikasi serta menganalisa situasinya, baik potensi maupun permasalahannya (Nasution, 2008). Selain contoh-contoh kemanfaatannya di bidang agraria, SIG dan pemetaan partisipatif kebanyakan dimanfaatkan di bidang pengelolaan hutan berkelanjutan, pengelolaan bencana (kebakaran, banjir), pemantauan (monitoring dan evaluasi), dan tata ruang. Salah satu contoh kegiatan pemetaan partisipatif yang dapat menunjukkan kehandalannya adalah kegiatan pengelolaan bencana kebakaran yang dilakukan oleh CARE International di Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Kegiatan ini merupakan suatu bentuk monitoring dampak kebakaran hutan, yang sering terjadi di Kalimantan Tengah setiap kali musim panas tiba. Adapun kegiatannya berupa pembentukan sentra-sentra penanggulangan kebakaran, penelusuran pandangan masyarakat akan kebakaran, dampak kebakaran, diikuti dengan penyusunan rencana-rencana penanggulangannya. Dengan bantuan peta yang digambar oleh masyarakat sendiri, diyakini kegiatan ini benar-benar menyadarkan masyarakat akan bahaya kebakaran dan apa yang perlu mereka lakukan setiap kali ia mengancam. Kini, selain pos pemantauan kebakaran, di tiap-tiap daerah dampingan, telah tersedia pula produk hukum desa (Perdes) yang mengatur tentang kebakaran di desa tersebut (Dokumen TOT SIAP Project, 2005). Contoh pemetaan partisipatif lainnya dibuat oleh JKPP di Desa Sukatani dan Desa Sukawargi, Kabupaten Garut. Masyarakat kedua desa ini berhasil membuat beberapa tema peta tentang desanya, seperti administrasi desa (batas desa, dusun) dan potensi desa. Berdasarkan evaluasi JKPP terhadap kegiatan ini, ditemuai bahwa kegiatan ini berhasil meningkatkan pemahaman masyarakat akan tata kelola wilayah berdasarkan fungsi dan kondisi topografi desa. Hal ini juga diikuti oleh pemerintah setempat, di mana Pemerintah desanya kemudian mengeluarkan Rancangan Peraturan Desa (RAPERDES) tentang pengelolaan lingkungan dan sumber daya alam di tingkat desa (Hanafi, 2006).
PELAKSANAAN VISION MAPPING DALAM PROYEK PULIH Pelaksanaan vision mapping secara general Kegiatan vision mapping terdiri atas dua kegiatan utama, yakni pemetaan dan perencanaan desa. Foto Udara dan Data Citra Satelit
Peta Desa Lama (Data Sekunder)
Survey dan Pemetaan Desa
Pengkajian dan Perencanaan Pembangunan Desa Secara Partisipatif
Peta Desa (Existing)
Dokumen RPJMD dan RKPD yang Telah Disyahkan
Gambar 1. Tahapan-tahapan dalam vision mapping
Peta Visi Desa
Secara umum keterkaitan antara kedua kegiatan tersebut digambarkan oleh bagan di atas. Kegiatan pemetaan dimulai dengan survey lapangan, yang bertujuan memutakhirkan peta desa yang telah ada (menjadikannya peta existing). Untuk mencapai tujuan tersebut, peta desa yang lama dikoreksi dengan hasil survey lapangan, dan foto udara atau data citra satelit untuk desa tersebut. Sedangkan kegiatan perencanaan desa meliputi kegiatan penggalian persoalan-persoalan desa, dan penemuan solusi atas tiap masalah yang ada, dengan memperhatikan faktor waktu. Hasil-hasil kegiatan perencanaan desa dituangkan dalam rencana pembangunan desa jangka menengah (RPJMD), dan rencana tahunan desa (rencana kerja pembangunan atau RKPD). Peta visi kemudian dihasilkan dengan memadukan hasil-hasil kedua jenis kegiatan ini. Objektif dan indikator pencapaian Dalam dokumen petunjuk teknis pelaksanaan proyek PULIH (logical frame work) tertulis bahwa kegiatan vision mapping dimaksudkan untuk mengintegrasikan warga baru (Ex-Pengungsi Timor Timur) dan warga lokal suatu desa di mana para pengungsi tinggal. Integrasi di sini berarti diikutsertakan dalam segala hal yang berkaitan dengan kepentingan bersama di desa itu. Tentu kepentingankepentingan mereka dijamin diakomodir di desa itu. Keberhasilan dalam mencapai maksud ini diukur berdasarkan persentase ratifikasi hasil-hasil rencana pembanguan desa yang telah dipetakan (dalam forum musrenbangdes). Ini merupakan bukti fisik yang memperkuat adanya keterpaduan warga di desa tersebut. Perencanaan partisipatif pembangunan desa dalam vision mapping Berdasarkan atas gambar 1, perencanaan desa secara partisipatif harus bermuara pada legalisasi dokumen-dokumen perencanaan desa. Walaupun demikian, dalam pelaksanaannya pendampingan perencanaan desa dibatasi sampai pada penyiapan rancangan rencana pembangunan desa sebagai mana tertera pada petunjuk teknis pelaksanaan vision mapping proyek PULIH (logical frame work atau logframe). Selain pada logframe, karena hasil-hasil perencanaan pembangunan desa akan bermuara pada ratifikasi dokumen perencanaan, maka proses perencanaan pembangunan juga harus tunduk pada tata aturan yang diberlakukan pemerintah, tanpa mereduksi makna pemberdayaan dalam pembangunan, sebagai mana ditandaskan dalam produk-produk hukum tentang perencanaan pembangunan yang telah ada. Hal ini berarti pula bahwa proses Musrenbangdes juga tidak dapat diintervensi oleh pihak manapun, kecuali yang telah digariskan. PULIH hanya diizinkan mengakses dokumen-dokumen hasil Musrenbangdes untuk tujuan pembuatan peta visi. Adapun metode perencanaan pembangunan yang diterapkan dalam proyek ini merupakan metode perencanaan pembangunan partisipatif bersama masyarakat, sebagai mana ditegaskan dalam SEB 2007 yang telah dijelaskan sebelumnya. Metode ini merupakan suatu perpaduan antara pendekatan top down dan bottom up. Diakatakan merupakan suatu perpaduan, karena ketika diadakan Musrenbangdes, pihak pemerintah dengan rencana stategis daerah dan masyarakat dengan segala impiannya bertemu untuk mensinergikan semua kepentingan tersebut. Dalam hal ini pihak manapun tidak dirugikan. Proses perencanaan desa yang difasilitasi oleh PULIH dimulai dengan melatih kader perencanaan desa, dengan maksud mempersiapkan sumber daya di desa agar dapat memfasilitasi kegiatan perencanaan dimaksud sekaligus melanjutkan kegiatan yang sama di kemudian hari. Pelatihan tersebut melibatkan 2 orang undangan dari tiap desa yang terdiri dari 1 orang aparat pemerintah desa, dan 1 orang tokoh masyarakat desa. Seleksi terhadap peserta pelatihan memperhatikan pula faktor keterwakilan perempuan dan warga ex-pengungsi, serta tingkat pendidikan yang disandang calon peserta pelatihan. Pelatihan kader dipusatkan di beberapa desa yang dianggap menjadi pusat dari desa dampingan lainnya dan tidak jauh jaraknya, agar tidak menyulitkan peserta dalam menjangkau lokasi pelatihan. Selanjutnya kader terlatih bersama-sama dengan staf proyek dan aparat desa setempat membentuk sebuah tim teknis yang akan memfasilitasi berjalannya proses perencanaan pembangunan desa. Tim teknis adalah suatu kelompok kecil yang terdiri atas 10-15 orang, yang keanggotaannya terdiri dari wakil komponen-komponen masyarakat yang ada di desa, baik ditinjau dari aspek sosial ekonomi, profesi, ketokohan, gender dan kelembagaan serta tempat domisili. Pembentukan tim teknis, dilakukan
oleh pemerintah desa atau fasilitator/kader perencanaan desa. Kelompok tersebut memiliki tanggung jawab dalam memfasilitasi proses perencanaan desa. Sebagai mana diamanatkan, proses perencanaan partisipatif dimulai dengan melakukan pengkajian desa. Hal ini dimaksudkan untuk menggali setiap persoalan dan potensi yang ada di desa. Identifikasi tersebut dipermudah dengan memanfaatkan alat kaji seperti kalender musim, peta atau sketsa desa, diagram venn kelembagaan desa, matriks analisa kerentanan dan kemampuan. Tiap persoalan dan potensi yang diketahui dikelompokkan ke dalam aspek fisik-ekonomi, aspek sosial budaya-kelembagan, dan aspek kesejahteraan-pemenuhan kebutuhan dasar. Pengkajian desa di tahap ini diikuti oleh 30 hingga 40 orang yang merupakan tokoh masyarakat, tiap ketua RT, RW, Kepala Dusun, aparat desa, perwakilan dari pertahanan-keamanan, perwakilan dari bidang pertanian, perwakilan dari bidang pendidikan, perwakilan dari bidang kesehatan, dan lain-lain. Pelatihan Kader Perencanaan Desa
Pembentukan Tim Teknis Desa
Peta Desa (Existing)
Rancangan Rencana Pembangunan Desa
Peta Rancangan Rencana Pembangunan Desa
Pengkajian Desa I – Identifikasi Masalah
Rumusan Masalah Desa
Pengkajian Desa II – Usulan Program dan Prioritas
Musrenbang Desa Ratifikasi Rancangan Rencana Pembangunan Desa
Rencana Pembangunan Desa (RPJM & RKP) dan Peta Visi
Gambar 2. Tahapan-tahapan dalam perencanaan partisipatif pembangunan desa Setelah menyelesaikan pengkajian di tahap pertama, pengkajian desa dilanjutkan ke tahap kedua. Tahap ini sedikit berbeda, di mana pada fase ini masyarakat diminta untuk memberikan jalan ke luar atas setiap persoalan yang telah dicatatkan. Setelah itu, masyarakat diminta pula untuk menentukan dari sekian banyak jalan ke luar atau rencana, manakah yang didahulukan (diprioritaskan) dalam pelaksanaan. Sudah tentu, hasil pengkajian desa di tahap pertama merupakan sumber informasi utama bagi proses di tahap ini. Dalam mengerjakan semuanya ini, masyarakat dibantu dengan tool yang dinamakan matriks ranking. Dengan tool ini, selain dipermudah, penentuan prioritas dibuat menjadi lebih bermutu dengan mempertimbangkan beberapa kriteria yang dianggap vital. Kriteria-kriteria tersebut terdiri dari apakah persoalan tersebut parah dan urgen (mendesak), menghambat peningkatan pendapatan, dialami oleh banyak orang, tersedia bahan yang diperlukan untuk penyelesaian masalah di desa, dan banyak-sedikitnya frekuensi kejadian suatu masalah.
Bila telah diperoleh urut-urutan prioritas program, maka program-program tersebut dituangkan ke dalam format-format rancangan rencana pembangunan desa untuk 5 (lima) tahun (RPJMD). Untuk menerapkan program-program ini, maka rencana 5 tahunan dipecah menjadi rencana tahunan desa (atau rencana kerja pembangunan desa, RKPD). Kedua dokumen ini merupakan rancangan rencana pembangunan desa, yang akan dibawa ke dalam forum musyawarah rencana pembangunan desa (Musrenbangdes) untuk dibicarakan lebih lanjut lagi dengan aparat pemerintah kecamatan setempat. Bila telah dicapai kesepakatan-kesepakatan atas rancangan tersebut, maka rancangan tersebut disyahkan menjadi rencana pembangunan desa untuk kurun waktu 5 tahun ke depan. Pemetaan dalam vision mapping Berhubung tidak tersedianya data yang baik (peta terbaru) untuk kepentingan pembuatan peta visi, maka kegiatan pemetaan pertama-tama diawali dengan melakukan survey pemutakhiran (update) peta di tiap-tiap desa, yang dilakukan di awal proyek sebelum semua kegiatan proyek berlangsung. Kegiatan tersebut dilakukan oleh 1 (satu) orang staff PULIH dibantu oleh 2 (dua) orang aparat desa. Kehadiran aparat desa sangat mempermudah identifikasi batas desa dan identifikasi data-data penting lainnya. Dalam melakukan pemetaan dipergunakan GPS (global positioning system) Garmin 12XL dan Etrex vista. Kedua GPS ini memiliki variasi akurasi yang berbeda satu dengan lainnya. Untuk memastikan data hasil survey tetap akurat dengan penggunaan GPS yang berbeda-besa, toleransi error (estimated precision error, EPE) dijaga pada kisaran 10 m ke bawah. Pengambilan data dengan GPS dilakukan dengan menelusuri jalan-jalan dan perkampungan di tiap-tiap desa dampingan. Adapun data-data yang diambil di desa terdiri dari data jalan, batas desa, pola tata guna lahan, dan fasilitas layanan publik. Batas desa merupakan data yang berpotensi memicu kericuhan, apalagi kebanyakan batas desa tidak mempunyai tanda yang jelas (kecuali yang dibatasi oleh sungai atau jalan umum). Untuk menghindari timbulnya keributan, batas desa juga direferensikan pada gedung, pohon, atau hal lainnya yang dikenal secara umum di desa tersebut. Data tata guna lahan di sini terdiri dari luasan areal tiap fasilitas layanan publik, pola pemukiman, hutan, dan daerah pertanian. Kebanyakan tipe-tipe pola kelola lahan ini ada di pinggir jalan, kecuali hutan dan lahan garapan, yang berada beberapa kilo meter dari pinggir jalan. Untuk itu, tidak menyulitkan dalam pengambilan data. Pengumpulan data tata guna lahan dilakukan dengan mengambil satu titik sebagai sebuah referensi diikuti dengan pembuatan sketsa pola lahan. Panjang segmen yang membatasi jenis lahan tersebut diestimasi berdasarkan pandangan mata saat survey. Ada pula panjang segmen batas lahan yang diperoleh dari pertemuan dengan segemen pola lahan yang berbeda atau dengan areal pemukiman dan ruas jalan. Data-data lain hanya merupakan data titik, sangat mudah dalam pengoleksiannya. Bila data lapangan telah dikumpulkan, staf PULIH kemudian membawa data tersebut untuk diolah di kantor menjadi sebuah peta desa. Pengolahan data, yang dilakukan oleh seorang staf PULIH tersebut, dimulai dengan memindahkan data lapangan yang telah terekam dalam GPS (download) ke dalam komputer. Untuk keperluan ini dipergunakan software hantaran yang dinamakan Mapsource. Software ini merupakan software ikutan pada setiap produk GPS. Bila pemindahan data telah selesai dilakukan, pengolahan data dilanjutkan lagi dengan melengkapi data GPS dengan data base hasil survey. Keduaya (data GPS dan data base) yang dimaksud memang terpisah dalam perekamannnya ketika proses pengambilan data berlangsung. Ini semata-mata untuk mempercepat proses pengambilan data di lapangan. Proses pengolahan data terus bergeser maju menuju tahap editing. Pada tahap ini, data benar-benar dimutakhirkan dengan tool-tool yang disediakan dalam softwaresoftware GIS (arcview khususnya), seperti geoprocessing, x-tool extension, arcinfo plus extension, edit tool, buffering, dan lainnya. Pembaharuan data dimulai dengan mengolah data hasil survey menjadi data baru (untuk jalan-jalan yang belum dipetakan) maupun data yang akan memperbaharui data lainnya (seperti tata guna lahan). Adapun pengolahan data survey dimulai dengan menghubungkan data jalan yang berbentuk titik menjadi data garis. Data ini kemudian dijadikan data yang memiliki luasan dengan jalan membuffer data jalan yang berbentuk garis tersebut dengan lebar jalan yang telah diketahui sebelumnya, menjadi sebuah data jalan berformat polygon. Dalam format polygon, data jalan akan dijadikan referensi dalam menggambar sebuah obyek dalam peta. Hal ini dikhususkan pada areal bangunan, dan ladang yang kebetulan saling berbatasan dengan jalan. Bahkan lahan-lahan yang jauhpun data ini masih bisa membantu menentukan luasan dan letaknya. Bila obyek-obyek ini telah
tergambar dengan baik, maka akan dihasilkan suatu peta pemutakhir atas peta tata guna lahan yang baru. Jika data survey telah dimanipulasi hingga memenuhi apa yang diinginkan, maka hasilnya dipakai untuk memperbaharui data tata guna lahan dengan menumpangtindihnya dengan data tata guna lahan lama dan interpretasi citra atau foto udara. Berdasarkan pengalaman pada saat implementasi proyek ini, di beberapa desa, tidak tersedia data tata guna lahan dalam bentuk digital. Sebagai penggantinya, dipergunakan interpretasi data citra landsat yang dibuat oleh departemen kehutanan. Data ini walau sangat membantu, namun kurang akurat. Untuk mengoreksinya dilakukan survey lapangan kembali.
Lapangan/Desa
GPS
Kompu ter
Peta desa (Data digital lama)
Data digital desa
Overlay
Foto udara / Data citra
Editting Tools
Hasil Musrenbangdes
Layer-layer tema peta (terbaru)
Georefe rence
Peta desa terbaru (existing)
ArcInfo plus ext. X-Tool ext. ET32 ext. Geoprocessing Tool
Jalan, fasilitas layanan publik, tata guna lahan
Peta Visi
Gambar 3. Tahapan pemetaan dalam vision mapping Bila proses pembaharuan data telah sukses dilakukan, maka kegiatan pemetaan dilanjutkan dengan pembuatan layout. Pembuatannya dalam kerangka perencanaan desa dituntut untuk memiliki kejelasan (detail) dan ukuran cetak yang memadai sebagai mana diamanatkan dalam peraturan-peraturan pemetaan yang berkaitan dengan tata ruang. Untuk itu, semua peta dibuat dengan skala di bawah dari 1 : 15.000 dengan ukuran cetak A1 (59.4 x 84.1cm). Peta-peta yang dihasilkan baru merupakan peta desa terbaru (existing) yang berfungsi dalam memfasilitasi pengkajian desa. Sesudah pengkajian dan perencanaan desa, peta ini dipakai sebagai referensi geografis (georeferece) untuk setiap hasil Musrenbang dalam upaya membuat sebuah peta visi. Adapun proses editing, sebagai mana yang telah dilakukan sebelumnya, mungkin saja diulang kembali mengingat hasil Musrenbangdes dapat saja menciptakan obyek baru di daerah di mana tidak ada obyek tersebut sebelumnya. Hasil-hasil vision mapping Kegiatan vision mapping diakhiri dengan menghasilkan beberapa hal. Pertama, kader terlatih yang mahir dalam perencanaan partisipatif pembangunan di tingkat desa. Seperti disebutkan sebelumnya, kader-kader ini diharapkan dapat melanjutkan kegiatan yang sama di tahun-tahun berikutnya. Kedua,
buku hasil-hasil kegiatan perencanaan partisipatif pembangunan masing-masing desa. Buku ini telah dibagikan pada tiap-tiap desa dampingan dengan harapan dapat dijadikan sebagai rujukan dalam menerapkan metode perencanaan pembangunan desa secara partisipatif di kemudian hari. Ketiga, peta desa (existing) dan peta rencana pembangunan tiap-tiap desa dampingan. Kedua jenis peta ini dicetak dalam ukuran A1 dan A4 (21 x 29.7cm). Peta ukuran A1, dapat dipergunakan untuk pengkajian desa tahun-tahun berikutnya. Sedangkan peta ukuran A4 dijadikan sebagai lampiran dalam buku hasil-hasil perencanaan pembangunan desa. Dalam ukuran apapun, kedua peta ini diyakini sangat mempermudah masyarakat dalam mengakses dan mengidentifikasi program-program pembangunan yang sedang berjalan di desanya. Tindakan ini merupakan upaya dalam melibatkan masyarakat memantau berjalannya pembangunan desa.
Gambar 4. Peta Desa Manleten (Existing), Kecamatan Tasifeto Timur, Kabupaten Belu, Tahun 2007
Gambar 5. Peta Rencana Pembangunan Desa Manleten, Kecamatan Tasifeto Timur, Kabupaten Belu, Tahun 2008 - 2013 Selain output-output di atas, ada hal lain yang perlu disimak khususnya dari hasil-hasil perencanaan pembangunan itu sendiri. Dalam dokumen-dokumen perencanaan pembangunan, ditemukan bahwa hal-hal yang diusulkan sebelum Musrenbangdes dan usulan program yang disyahkan pada saat Musrenbangdes sangat bervariasi jumlahnya. Sebelum Musrenbangdes, diusulkan 633 hal dari 19 bidang (seperti air bersih, pertanian, kesehatan, pendidikan, dan lainnya), di mana pada bidangbidang tertentu terdapat lebih banyak usulan program pembangunan (Perhatikan gambar berikut ini). 120
113 94
100
74
80 57
60 47
45
40
44
34 21
17
20
11 3
5
11
9
24 9
10
5
Ai r
Be rs ih Bu da ya Ke am an an Ke hu ta na Ke n ro ha nia Ke n se ha Ke ta n te ram pil an Pa ng Pe an m eri nt ah an Pe nd idi ka Pe n ne r Pe a ng an re ko no m i Pe an r ik an Pe an rk eb un a Pe n r ta ni an Pe ru ma h an Pe te Se rna r ti k an fik as iL Tr aha n an sp or ta si
0
Gambar 4. Jumlah Usulan Berdasarkan Bidang Penghidupan Atau, Jumlah Usulan 0%
Air Bersih Budaya Keamanan Kehutanan Kerohanian Kesehatan Keterampilan Pangan Pemerintahan Pendidikan Penerangan Perekonomian Perikanan Perkebunan Pertanian Perumahan Peternakan Sertifikasi Lahan Transportasi
1% 1%
7%
7%
2%
7%
2%
5%
15%
3%
18%
1% 9%
2% 1%
12%
3%
4%
Gambar 5. Persentase Usulan Berdasarkan Bidang Penghidupan Sedangkan sesudah Musrenbangdes ternyata hanya 184 usulan saja (atau sekitar ± 30%) yang disyahkan sebagai butir-butir rencana pembangunan desa dari total usulan program pembangunan yang diajukan sebelum Musrenbangdes.
40 28 23 17 18
Transportasi
Perkebunan
1 Sertifikasi
Perikanan
9
Peternakan
2 Perumahan
2
Pertanian
1 Perekonomian
Penerangan
Pendidikan
5 Pemerintahan
2
3 Pangan
11
Keterampilan
Kesehatan
1
4 Kerohanian
2
Kehutanan
Budaya
0
Keamanan
15
Air Bersih
45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
Gambar 6. Jumlah Program Pembangunan (Usulan Teratifikasi) Berdasarkan Bidang Penghidupan
Persentase Usulan Teratifikasi
12.5
15.22
0 1.09
Air bersih Budaya
0.54
Keamanan
2.17
0.54
Kehutanan Kerohanian
4.89
Kesehatan
8.15
Keterampilan Pangan Pemerintahan
5.98 1.09 1.63 2.72
Pendidikan Penerangan Perekonomian Perikanan Perkebunan Pertanian Perumahan
9.24
Peternakan Sertifikasi lahan Transportasi
21.74
9.78 1.09
1.09 0.54
Gambar 7. Persentase Program Pembangunan (Usulan Teratifikasi) Berdasarkan Bidang Penghidupan Hal ini sudah tentu mempengaruhi peringkat jumlah program terbanyak bila diurutkan berdaasrkan bidang kajian, sebagai mana ditampilkan dalam Tabel 1. Tabel 1. Peringkat Jumlah Program Pembangunan Terbanyak Berdasarkan Bidang Sebelum dan Sesudah Musrenbangdes Rangking 1 2 3 4 5 6 7
Sebelum Musrenbangdes Pertanian Kesehatan Pendidikan Pemerintahan Air Bersih Peternakan Transportasi
Sesudah Musrenbangdes Pertanian Transportasi Air Bersih Penerangan Pendidikan Kesehatan Perumahan
Bila dilihat dari bentuk pekerjaan, dengan adanya perubahan jumlah program seperti yang tertera pada tabel di atas, nampak secara jelas bahwa kebanyakan program-program pembangunan merupakan kegiatan fisik yang ditandai dengan rehabilitasi, pengadaan, dan instalasi. Hal ini bagai dua sisi mata uang. Di satu sisi mengungkap adanya kebutuhan besar akan sarana dan prasarana fisik, tetapi di sisi lain menyepelehkan betapa pentingnya pembangunan di bidang-bidang non fisik (moral, rohani, dan kejiwaan).
Pembahasan
Keberhasilan integrasi warga ex-pengungsi Timor Timur dan warga lokal dapat dilihat dari dua hal. Pertama, dalam hal keterlibatan warga ex-pengungsi dalam kegiatan perencanaan desa. Sebagai mana disaksikan sendiri oleh staf proyek PULIH, banyak warga ex Timor Timur yang turut berpartisipasi memikirkan nasib desanya hingga pengesahan rencana pembangunan desa. Mereka tidak hanya menyuarakan hak-hak mereka, tetapi juga memperjuangkan pula hak-hak warga lokal. Kedua, dilihat dari akomodasi kepentingan masyarakat setempat. Berdasarkan pada dokumen hasil perencanaan desa masing-masing desa dampingan, di sana paling sedikit terdapat satu kepentingan warga ex pengungsi Timor Timur diakomodir sebagai program desa. Hal ini menunjukkan adanya keterpaduan (integrasi) antar warga lokal dan warga ex pengungsi Timor Timur. Keberhasilan ini tentu tidak terlepas dari ketepatan dalam memilih metodologi yang dipergunakan. Pendekatan yang tepat dapat dibangun dengan mengenali bentuk konflik yang sedang terjadi. Konflik pasca kemerdakaan Timor Leste merupakan konflik di mana masyarakat ex penduduk Timor Timur menuntut imbalan yang setimpal dengan pengorbanannya membela negara kesatuan RI dengan meninggalkan segala hartanya dan pindah ke Timor Barat (yang termasuk wilayah Indonesia). Di pihak lain, masyarakat lokal di tempat pengungsian tidak merasa berutang budi kepada mereka atas perjuangan mereka. Pada umumnya tindakan patriotisme warga ex Timor Timur tersebut semata-mata merupakan keputusan politik tiap individu. Sebagai akibatnya sambuatan atas mereka “dingin”, tanpa ada yang istimewah. Bahkan tidak jarang kepentingan warga ex Timor-Timur tersebut diabaikan. Tentu ini menimbulkan berang yang amat sangat. Bila dicermati dengan seksama, konflik ini menunjukkan ciri di mana dua kubu yang bertikai memiliki kepentingan yang kuat (berimbang), bagai gunung es yang bisa saja sewaktu-waktu meletuskan kerusuhan. Berhadapan dengan konflik semacam ini pendekatan yang paling cocok digunakan adalah pendekatan kolaboratif, di mana porsi yang sama diberikan pada hubungan dan kepentingan antar kedua kubu yan bertikai. Hal ini dapat dipraktekkan hanya dengan membangun suatu visi bersama yang dapat menarik semua orang dari kepentingan diri sendiri datang pada kepentingan bersama. Dengan metode ini, tidak ada satupun yang merasa dirugikan. Malah sebaliknya, diperoleh suatu kompromi yang memungkinkan diakomodirnya kepentingan mereka yang minoritas. Tiap orang yang terlibat juga tidak akan memandang tiap keputusan sebagai kepentingan orang atau kaum tertentu, tetapi menganggap bahwa keputusan tersebut merupakan upaya bersama dalam mencapai visi bersama. Metode ini lebih mengedepankan dialog, membangun kepercayaan antar pihak yang bertikai, sehingga terhindar dari konflik pertumpahan darah (Sumber: http://studikonflik.blogspot.com/2006/03/kerangka-teoritis-penyelesaian-konflik.html) Berdasarkan pada wacana ini, model perencanaan pembangunan secara partisipatif merupakan contoh yang sangat cocok dalam menengahi suatu pertikaian. Perencanaan partisipatif di tingkat desa selain menarik orang pada suatu kepentingan bersama (kepentingan desa), juga mampu mengakomodir kepentingan-kepentingan tiap golongan yang ada di desa tersebut. Keunggulan ini ada mana kala hubungan dan kebutuhan tiap-tiap golongan sama pentingnya. Untuk itu, pencapaian setiap kebutuhan golongan/individu tetap dijamin dengan memperhatikan hubungannya dengan individu yang lain. Perencanaan partisipatif di desa semakin bertambah ampuh lagi, ketika didukung dengan pemetaan partisipatif. Selain hasil-hasil perencanaan desa menjadi bebas terhadap pelanggaran atas tapal batas (baik itu antara desa tetangga maupun area yang merupakan milik perorangan), hasil-hasilnya juga mudah diidentifikasi oleh semua lapisan masyarakat. Hal ini memungkinkan tumbuhnya pemantauan balik (monitoring) oleh masyarakat. Hal ini sangat baik untuk meningkatkan mutu suatu program pembangunan dan meningkatkan kepercayaan masayarakat atas pemerintah desa. Salah satu contoh sukses dalam penerapan metode perencanaan dan pemetaan berbasis masyarakat adalah penanganan konflik di Taman Nasional Manupeu, Tanadaru (Pulau Sumba), yang dilakukan oleh WG Tenure dan birdlife Indonesia. Ketika itu kepemilikan hutan oleh pemerintah atas kawasan tersebut dianggap sebagai gangguan atas kenyamanan masyarakat adat di sana. Konflik ini mulai timbul ketika Pemerintah Kolonial Belanda dan Pemerintah daerah setempat di Tahun 1940 menganulir daerah enclave tempat bermukimnya masyarakat adat, yang jelas-jelas tertera dalam peta rencana awal yang ditanda tangani oleh raja setempat di Tahun 1937. Sebagai akibatnya tanah-tanah pertanian warga setempat dimasukkan sebagai kawasan hutan. Di satu pihak pemerintah selalu berdalih dengan mengandalkan produk hukum yang ada, yang didasarkan atas peta-peta yang sebenarnya keliru.
Di pihak lain warga setempat merasa kawasan tersebut merupakan warisan nenek moyang yang harus dipertahankan. Berbagai pendekatan tidak mempan untuk meredakan amarah warga setempat. Perjuangan-demi perjuangan mereka tempuh namun belum juga berhasil merobohkan keinginan pemerintah yang bersikukuh mempertahankan kekuasaannya atas kawasan hutan tersebut. Dengan dialog yang dibangun bersama-sama dengan masyarakat akhirnya disepakati untuk melakukan penataan kembali batas taman nasional yang dilakukan secara partisipatif dengan masyarakat. Dari proses penataan kembali tersebut, lahan seluas 260 ha yang dulunya merupakan lahan pertanian dikeluarkan dari kawasan taman nasional dan hak pengelolaannya dikembalikan pada masyarakat sebagai lahan pertanian (Emile;Aulia, 2006). Dalam kasus ini, seandainya perencanaan menjadikan kawasan ini telah melibatkan masyarakat sejak awal (menerapkan perencanaan dan pemetaan secara partisipatif), sudah tentu persoalan ini dapat diatasi lebih cepat. REFERENSI :
1. Sumpeno Wahyudin, 2002. Panduan perencanaan pembangunan berbasis masyarakat, CRS Jakarta 2. JKPP, 2006. Laporan monitoring dan evaluasi pemetaan partisipatif di Pulau Jawa 2006. 3. Sri Mulyani Indrawati, 2004. Sambutan meneg ppn/kepala bappenas pada diskusi panel tentang sinergi bappenas dan departemen keuangan: optimalisasi penyelenggaraan fungsi perencanaan nasional dan fungsi penganggaran, Jakarta 4. Mulyanto darmawan, 2008. Peran data geospasial dalam perencanaan daerah. Bokunokoto, Jakarta 5. Intisari pidato Bupati PURBALINGGA, DRS.TRIYONO BUDI SASONGKO, M.Si, dalam rangka expose SIG universitas negeri semarang, FEBRUARI 2005. 6. Prahasta Eddy, 2002. Pengantar Sistim Informasi Geografis. Erlangga, Jakarta 7. Willem Leang, 2005. Presentasi sosialisasi PULIH Project Tingkat Kabupaten, CII West Timor 8. Sumarto Irawan;Hakim Muhally;Deliar Albertus, 1999. Seminar dan pameran teknologi SIG menyongsong millennium ketiga : Teknologi sig di masa depan, Perkembangan dan pemanfaatannya Untuk menunjang pembangunan daerah. Teknik Geodesi Institut Teknologi bandung 9. Emila;Budi Aulia Ahmad, 2006. Pendekatan partisipatif membangun kesepakatan antar stakeholder di Taman Nasional Manupeu-Tanadaru, Sumba. Warta Tenure Edisi 3, Jakarta 10. Proposal PULIH Project, 2005. CARE International Indonesia, Jakarta 11. CARE International Indonesia. 12. Dokumen training of trainer (TOT) SIAP Project, 2005. CARE International Indonesia, Kalimantan Tengah 13. SEB Menteri Negara PPN/Kepala Bappenas dan Menteri Dalam Negeri tentang Petunjuk Teknis Khusus Penyelenggaraan Musrenbang Tahun 2007 14. http://www.geografiana.com/kolom/kolom/akses-publik-atas-dokumen-rtrw 15. https://www.telecom.co.nz/content/0,8748,201860-201209,00.html?nv=tpd 16. http://ndteam.blogdetik.com/2008/09/19/tahap-perencanaan-partisipatif/ 17. http://mapflofa.cogia.net/cetak.php?id=25 18. http://books.google.com/books?id=YrDRKhLuVcC&pg=PA228&lpg=PA228&dq=importance+of+planning+maps&source=web&ots=Br7XThUfId&s ig=MhOAU3Q8EgTyhd6DGm44K0sESKg&hl=en&sa=X&oi=book_result&resnum=9&ct=result#PPA229 19. http://locsupport.wordpress.com/2007/11/30/proses-otomatisasi-perencanaan-spasial-untukpenggunaan-tanah/ 20. http://www.interseksi.org/publications/essays/articles/peta_dan_peran_cso_pasca_wahid.ht ml 21. http://www.sciencedirect.com/science?_ob=ArticleURL&_udi=B6V65-4DKH01T2&_user=10&_rdoc=1&_fmt=&_orig=search&_sort=d&view=c&_version=1&_urlVersion=0&_userid=10 &md5=a4d7156d475c261a8e0dd4da3afd97f8
22. http://www.tekmira.esdm.go.id/currentissues/?p=609 23. http://okmasri.multiply.com/reviews/item/20 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18.
http://afriyanto.wordpress.com/category/village-mapping-planning/ http://walhijabar.blogspot.com/2007/12/participatory-community-mapping.html http://www.google.com/search?hl=en&q=pentingnya+peta+perencanaan&start=80&sa=N http://vestigeniuz21.blogspot.com/2007/09/pentingnya-sig-saat-bencana-alam.html http://blog.monsterindia.com/my/swativerma73/The-importance-of-planning-14038.html http://www.forumdesa.org/mudik/mudik5/utama1.php - utama1 http://groups.yahoo.com/group/lingkungan/message/23051 http://mogulette.blogspot.com/2007/05/vision-mapping.htm
19. http://www.geografiana.com/makalah/sosial/gis-partisipatif 20. http://studikonflik.blogspot.com/ 21. http://kristianusatok.blogspot.com/2008/03/gerakan-pemetaan-partisipatif-di.html