V. Analisis Keterkaitan-revisi

  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View V. Analisis Keterkaitan-revisi as PDF for free.

More details

  • Words: 3,836
  • Pages: 17
Moch. Rum Alim. ANALISIS KETERKAITAN DAN KESENJANGAN EKONOMI INTRA DAN INTERREGIONAL JAWA-SUMATERA. Disertasi. IPB. 2006

V. ANALISIS KETERKAITAN SKETOR-SEKTOR INTRA DAN INTERREGIONAL JAWA DAN SUMATERA 5.1. Keterkaitan Antarsektor Produksi Intra Region Analisis keterkaitan antara sektor-sektor produksi dapat dilihat dari dua sisi, yakni dari sisi keterkatan ke belakang (backward linkages) dan dari sisi keterkaitan ke depan (forward linkages). Keterkaitan ke belakang menunjukan daya penyebar, artinya kalau terjadi peningkatan permintaan akhir terhadap suatu sektor tertentu maka sektor tersebut akan mendorong peningkatan output semua sektor dengan kelipatan sebesar nilai multipliernya. Sebagai contoh, keterkaitan ke belakang sektor tanaman pangan dan tanaman lainnya di Jawa (Tabel 9. baris kedua, kolom kedua) sebesar 2.4916. Angka ini mengandung arti bahwa apabila permintaah akhir atas produk tanaman pangan dan tanaman lainnya meningkat sebesar satu rupiah, maka output semua sektor akan meningkat sebesar 2.4916 rupiah. Hal ini terjadi karena kenaikan permintaan akhir terhadap output sektor tanaman pangan dan tanaman lainnya sebesar satu rupiah, mendorong sektor ini meningkatkan permintaan input dari sektor-sektor lainnya,

yang kemudian

sektor-sektor lain tersebut meningkatkan output mereka yang juga memerlukan tambahan input. Akhirnya seluruh sektor ekonomi meningkat sebesar 2.4916 rupiah. Backward linkages menggambarkan keterkaitan antra sektor (aktivitas) produksi yang berada di hilir (downstream sectors) dengan sektor-sektor produksi yang berada di hulu (upstream sectors). Sisi pandangnya adalah sebagai pembeli input. Backward linkages akan eksis apabila peningkatan produksi sektor-sektor hilir memberikan dampak eksternalitas positif terhadap sektor-sektor hulu. Pada sisi lain, keterkaitan ke depan (forward linkages) menunjukkan derajat kepekaan suatu sektor tertentu terhadap permintaan akhir semua sektor-sektor

137 lainnya. Dengan kata lain, jika terjadi kenaikan permintaan akhir pada semua sektor produksi maka suatu sektor tertentu akan memberikan respon dengan menaikan

output

sektor

tersebut

dengan

kelipatan

sebesar

keofisien

keterkaitannya. Contoh, koefisien keterkaitan ke depan sektor tanaman pangan dan tanaman lainnya di Jawa sebesar 3.7586 (Tabel 9. baris kedua, kolom ketiga). Angka ini mempunyai makna bahwa apabila permintaan akhir semua sektor produksi meningkat sebesar satu rupiah, maka output sektor tanaman pangan dan tanaman

lainnya

meningkat

sebesar

3.7586

rupiah.

Forward

linkages

menggambarkan keterkaitan antra sektor (aktivitas) produksi yang berada di hulu (upstream sectors) dengan sektor-sektor produksi yang berada di hilir (downstream sectors). Sisi pandangnya adalah sebagai penjual input. Forward linkages akan eksis apabila peningkatan produksi oleh sektor hulu (upstream sector) memberikan dampak eksternalitas positif terhadap sektor-sektor hilir (downstram sectors). Observasi Tabel 9. menunjukan bahwa dalam kelompok sektor primer di Jawa, sektor kehutanan dan perburuan memiliki daya penyebar yang paling tinggi, kemudian disusul oleh sektor perikanan, sektor peternakan, dan yang terendah adalah sektor tanaman pangan dan tanaman lainnya. Di pihak lain, sektor tanaman pangan dan tanaman lainnya memiliki derajat kepekaan yang paling tinggi dalam kelompok sektor primer di Jawa, yang kemudian disusul oleh sektor pertambangan dan penggalian; sektor peternakan; dan sektor perikanan, sedangkan yang terendah dalam kelompok sektor primer adalah sektor kehutanan dan perburuan. Selanjutnya, sektor industri kertas, barang percetakan, alat angkutan, barang logam dan lainnya merupakan sektor yang memilik daya penyebar tertinggi;

138 Tabel 9.

Koefisien Keterkaitan Ke belakang dan Keterkaitan Ke depan Menurut Sektor Produksi di Jawa Sektor Produksi

Linkages Backwar Forwar d d

Ranking Backwar d

Forwar d

Tanaman pangan dan tanaman lainnya

2.4916

3.7586

16

5

Peternakan

3.5627

2.3479

7

10

Kehutanan dan perburuan

3.5705

1.3967

4

16

Perikanan

3.5677

1.9912

6

12

Pertambangan dan Penggalian

3.3018

2.5739

15

9

Industri makanan, minuman dan tembakau

3.4371

8.2077

13

2

Industri pemintalan, tekstil dan kulit

3.5153

3.3516

10

7

Industri kayu dan barang-barang dari kayu

3.4060

1.5673

14

15

Industri kertas, cetak, alat angkutan, barang logam dan lainnya Industri kimia, pupuk, barang dari tanah liat, semen dan logam dasar

3.5680

1.8916

5

13

3.5115

4.8150

11

4

Listrik,gas dan air

3.5769

2.0668

3

11

Konstruksi

3.5871

1.7262

2

14

Perdagangan, restoran dan hotel

3.5275

10.2690

9

1

Transportasi dan komunikasi

3.5095

3.6193

12

6

Keuangan dan perbankan

3.5414

3.2567

8

8

Jasa-jasa lainnya

7.1807

7.2828

1

3

Sumber : SAMIJASUM 2002 Updating (diolah) disusul kemudian oleh sektor industri pemintalan, tekstil dan kulit, sektor industri kimia, pupuk, barang dari tanah liat, semen dan logam dasar, sektor industri makanan, minuman dan tembakau, dan yang paling rendah adalah sektor industri kayu dan barang-barang dari kayu. Di samping itu, sektor yang memiliki derajat kepekaan paling tinggi dalam kelompok industri pengolahan adalah sektor industri makanan, minuman dan tembakau, disusul kemudian oleh sektor industri kimia, pupuk, barang dari tanah liat, semen dan logam dasar; sektor industri pemintalan, tekstil dan kulit; sektor industri kertas, cetak, alat angkutan, barang logam dan lainnya; dan sektor industri kayu dan barang-barang dari kayu. Dalam kelompok sektor jasa, sektor yang memiliki daya penyebar tertinggi barturut-turut adalah sektor jasa-jasa lainnya; sektor konstruksi, listrik, gas dan air; sektor keuangan dan perbankan, sektor perdagangan, restoran dan hotel; sektor transportasi dan komunikasi. Sedangkan yang memiliki derajat kepekaan yang tinggi, berturut-turut

139 adalah sektor perdagangan, restoran dan hotel; sektor jasa-jasa lainnya; sektor

transportasi dan komunikasi; sektor keuangan dan perbankan; dan sektor konstruksi. Tabel 10. menunjukan bahwa dalam kelompok sektor primer di Sumatera, sektor peternakan memiliki daya penyebar yang paling tinggi, kemudian disusul oleh kehutanan dan perburuan; sektor perikanan; dan yang terendah adalah sektor tanaman pangan dan tanaman lainnya. Sedangkan sektor yang memiliki derajat kepekaan yang paling tinggi dalam kelompok sektor primer di Sumatera adalah sektor tanaman pangan dan tanaman lainnya, kemudian disusul oleh sektor peternakan dan sektor perikanan, dan yang terendah adalah sektor kehutanan dan perburuan. Tabel 10. Koefisien Keterkaitan Ke belakang dan Keterkaitan Ke depan Menurut Sektor Produksi di Sumatera Sektor Produksi

Ranking

Linkages Backward

Forward

Backward

Forward

Tanaman pangan dan tanaman lainnya

1.8498

4.1745

16

Peternakan

2.8504

3.1524

4

4 7

Kehutanan dan perburuan

2.8047

1.4821

6

14

Perikanan

2.7716

3.0670

13

8

Pertambangan dan penggalian

2.6570

2.2984

15

10

Industri makanan, minuman dan tembakau

2.8163

6.8853

5

2

Industri pemintalan, tekstil dan kulit

2.7876

1.9577

8

11

Industri kayu dan barang-barang dari kayu

2.7875

1.6024

9

13

Industri kertas, cetak, alat angkutan, barang logam dan lainnya

2.7848

1.3244

10

15

Industri kimia, pupuk, barang dari tanah liat, semen dan logam ds

2.7718

3.1594

12

6

Listrik,gas dan air

2.8728

1.6068

3

12

Konstruksi

2.9291

1.1881

2

16

Perdagangan, restoran dan hotel

2.7878

7.0974

7

1

Transportasi dan komunikasi

2.7434

3.5741

14

5

Keuangan dan perbankan

2.7793

2.3346

11

9

Jasa-jasa lainnya

5.8070

4.2210

1

3

Sumber : SAMIJASUM 2002 Updating (diolah) Selanjutnya, untuk kelompok industri di Sumatera, sektor yang memiliki daya penyebar tertinggi di dalam kelompok ini bertutut-turut adalah : sektor industri makanan, minuman dan tembakau; sektor industri pemintalan, tekstil dan kulit; sektor industri kayu dan barang-barang dari kayu; sektor industri kertas,

140 cetak, alat angkutan, barang logam dan lainnya; sektor industri kertas, cetak, alat angkutan, barang logam dan lainnya; dan sektor industri kimia, pupuk, barang dari tanah liat, semen dan logam dasar. Sedangkan sektor yang memiliki derajat kepekaan paling tinggi dalam kelompok industri pengolahan di Sumatera adalah sektor industri makanan, minuman dan tembakau, kemudian diikuti oleh sektor industri kimia, pupuk, barang dari tanah liat, semen dan logam dasar, lalu sektor industri pemintalan, tekstil dan kulit, sektor industri kayu dan barang-barang dari kayu, dan yang terakhir adalah sektor industri kertas, cetak, alat angkutan, barang logam dan lainnya. Dalam kelompok sektor jasa, sektor yang memiliki daya penyebar tertinggi berturut-turut adalah sektor jasa-jasa lainnya; sektor konstruksi; sektor listrik, gas dan air; sektor perdagangan, restoran dan hotel; sektor keuangan dan perbankan; dan sektor

transportasi dan komunikasi. Sedangkan yang memiliki derajat kepekaan yang tinggi, berturut-turut adalah sektor perdagangan, restoran dan hotel, sektor jasa-jasa lainnya;

sektor transportasi dan komunikasi; sektor keuangan dan perbankan; sektor listrik, gas dan air; dan yang terakhir adalah sektor konstruksi.

Secara agregat sektor-sektor ekonomi di Jawa yang memiliki daya penyebar (backward linkages) yang paling tinggi adalah sektor jasa-jasa lainnya; sektor konstruksi; sektor listrik, gas dan air; sektor kehutanan dan perburuan, dan sektor industri kertas, barang percetakan, alat angkutan, barang dari logam dan lainnya. Sedangkan sektor-sektor yang memiliki daya penyebar yang paling rendah adalah sektor tanaman pangan dan tanaman lainnya; sektor pertambangan dan penggalian; sektor industri kayu dan barang dari kayu; sektor industri makanan, minuman dan tembakau; sektor transportasi dan komunikasi; dan sektor industri

141 kimia, pupuk, barang dari tanah liat, semen dan logam dasar. Di pihak lain, sektor-sektor yang

multiplier

forward linkages

tertinggi

adalah

sektor

perdagangan, restoran dan hotel; sektor industri makanan, minuman dan tembakau; sektor jasa-jasa lain; sektor industri kimia, pupuk, barang dari tanah liat, semen dan logam dasar; dan sektor tanaman pangan dan tanaman lainnya. Multiplier backward linkages menunjukkan besar peningkatan keseluruhan sektor sebagai akibat peningkatan sektor tertentu yang disebabkan oleh meningkatnya permintaan akhir pada sektor tersebut. Sementara itu forward linkages menunjukkan peningkatan sektor tertentu sebagai akibat meningkatnya permintaan akhir seluruh sektor. Sesungguhnya backward linkages berkaitan dengan permintaan input pada berbagai sektor di belakangnya (kaitan hilir ke hulu). Permintaan input dalam perekonomian senantiasa terjadi secara berantai, sehingga seluruh matarantai akativitas produksi akan terkena dampak dari suatu guncangan (shock) output pada sektor tertentu. Persoalannya adalah seberapajauh matarantai yang terkena dampak dari perubahan suatu sektor tertentu. Hal ini dapat dilihat dari besaran koefisien backward linkages-nya. Semakin besar koefisien backward linkages-nya berarti semakin dalam keterkaitannya. Sebaliknya, semakin kecil koefisien multipliernya berarti semakin dangkal keterkaitannya. Di sisi lain, forward linkages berkaitan dengan pasokan input dari suatu sektor tertentu kepada sektor-sektor lain di depannya (dari hulu ke hilir). Forward linkages menyatakan besarnya dampak yang diterima suatu sektor tertentu sebagai akibat dari perubahan permintaan akhir dalam perekonomian. Permintaan akhir terdiri atas permintaan konsumsi rumahtangga, konsumsi pemerintah, pembentukan modal, dan ekspor. Dengan demikian, forward linkages

142 berada pada konsep menerima dampak perubahan dan bukan menciptakan dampak perubahan. Sekalipun demikian, konsep forward linkages mendorong peningkatan sektor-sektor di depannya, sehingga eksternalitas ekonomis sektor (hulu) tersebut terhadap sektor-sektor di depannya menjadi penting. Dalam konteks kecenderungan suatu sektor berada pada posisi hilir atau pada posisi hulu, dilakukan dengan cara membandingkan koefisien backward linkages dengan koefisien forward linkages. Sektor yang memiliki koefisien backward linkage lebih besar dari koefisien forward linkages berarti sektor tersebut cenderung berada pada posisi hilir, dan sebaliknya berarti cenderung berada pada posisi hulu. Dalam perspektif ini nampaknya dalam perekonomian Jawa, sektorsektor yang cenderung berada pada posisi hulu adalah sektor perdagangan, restoran dan hotel; sektor industri makanan, minuman, dan tembakau; sektor jasajasa lainnya; sektor industri kimia, pupuk, barang dari tanah liat, semen, dan logam dasar; sektor tanaman pangan dan tanaman lainnya; dan sektor transportasi dan komunikasi. Sedangkan sepuluh sektor lainnya lebih cenderung berada pada posisi hilir. Idealnya, sektor industri makanan, minuman, dan tembakau berada pada posisi yang agak ke hilir sehingga sektor ini lebih mampu menarik sektor-sektor di belakangnya untuk meningkat, terutama sektor pertanian. Demikian pula dengan sektor perdagangan, restoran dan hotel. Tabel 10 menunjukkan bahwa kedua sektor ini justru berada pada posisi yang paling hulu dibandingkan dengan sektor-sektor lainnya. Kondisi ini mengindikasikan bahwa kedua sektor ini lebih berorientasi pada penggunaan input impor daripada input lokal.

143 Sektor kehutanan dan perburuan di Jawa lebih cenderung berada pada posisi hilir. Kemungkinan hal ini terjadi karena di Jawa sektor ini dikelola secara intensif, sehingga memerlukan input dari sektor-sektor di belakangnya dan terjadilah keterkaitan yang relatif dalam. Yang sulit dimengerti adalah posisi sektor kehutanan dan perburuan yang relatif agak lebih ke hilir daripada posisi sektor industri kayu dan barang-barang dari kayu. Ini menunjukkan bahwa antara sektor kehutanan dan perburuan dengan sektor industri kayu dan barang-barang dari kayu, kurang terdapat terkait langsung secara vertikal. Dalam perekonomian Sumatera, sektor-sektor yang relatif lebih cenderung beradapada posisi hulu adalah sektor perdagangan, restoran dan hotel; sektor industri makanan, minuman, dan tembakau; sektor tanaman pangan dan tanaman lainnya; sektor industri kimia, pupuk, barang dari tanah liat, sektor peternakan; sektor perikanan; dan sektor transportasi dan komunikasi. Sedangkan sembilan sektor lainnya relatif lebih cenderung pada posisi hilir. Perbedaan sektor-sektor yang cenderung berada pada posisi hulu dalam perekonomian Jawa dan perekonomian Sumatera adalah sektor jasa-jasa lainnya, sektor peternakan, dan sektor peternakan. Ini berarti bahwa sektor-sektor lain, selain tiga sektor tersebut, memiliki perilaku peranan yang relatif sama di dalam perekonomian kedua wilayah. Sektor jasa-jasa lainnya, sekalipun mempunyai posisi yang berbeda di dalam perekonomian Jawa dan Sumatera, namun mempunyai peranan yang cukup besar dalam menyebarkan peningkatannya kepada sektor-sektor dibelakangnya dan mendorong peningkatan sektor-sektor di depannya.

144 Perbedaan posisi sektor peternakan dan sektor perikanan di dalam perekonomian Jawa dan perekonomian Sumatera, menunjukkan perbedaan peranan kedua sektor ini di dalam perekonomian kedua wilayah. Dalam perekonomian Jawa, sektor peternakan dan sektor perikanan relatif lebih cenderung berada pada posisi hilir, sedangkan di dalam perekonomian Sumatera relatif lebih cenderung berada pada posisi hulu. Hal ini menunjukkan bahwa sektor peternakan dan sektor perikanan di Jawa relati sudah dikelola secara intensif. Pengelolaan secara intensif (budidaya) memerlukan berbagai input, yang antara lain misalnya pakan dan obat-obatan. Racikkan pakan dan obat-obatan memerlukan input dari berbagai sektor, dan berbagai sektor tersebut juga memerlukan input dan begitu seterusnya. Sekalipun kedua sektor ini dalam perekonomi Sumatera relatif lebih cenderung berada pada posisi hulu, namun sektor peternakan di Sumatera mampu menyebarkan peningkatannya kepada sektor-sektor di belangnya dengan derajat peningkatan yang relatif tinggi dibandingkan dengan sektor-sektor yang berada pada posisi hilir dalam perekonomian Sumatera. 5.2. Analisis Keterkaitan Interregional Analisis keterkaitan interregional dapat ditinjau dari dua sisi, yakni dari sisi keterkaitan kebelakang (backward linkages) dan keterkaitan kedepan (backward linkages). Keterkaitan kebelakang (backward linkages) dan keterkaitan kedepan (forward linkages) dalam model SAM interregional secara konseptual terdapat pada kuadran II dan kuadran III. Dalam kuadran II terdapat backward linkages dan forward linkages Sumatera-Jawa. Sedangkan dalam kuadran III terdapat backward linkages dan forward linkages Jawa-Sumatera. Kuandran II pada

145 dasarnya hendak menjelaskan keterkaitan (backward linkages dan forward linkages) antara sektor-sektor produksi

di Sumatera dengan sektor-sektor

produksi di Jawa, dimana sektor-sektor produksi di Sumatera berada pada posisi hulu dan sektor-sektor produksi di Jawa pada posisi hilir. Sedangkan kuadran III hendak menjelaskan keterkaitan (backward linkages dan forward linkages) antara sektor-sektor produksi

di Jawa dengan sektor-sektor produksi di Sumatera,

dimana sektor-sektor produksi di Jawa berada pada posisi hulu dan sektor-sektor produksi di Sumatera pada posisi hilir. Perbedaan pokok backward linkages dan forward linkages dalam konteks keterkaitan interregional adalah bahwa backward linkages menggambarkan efek perubahan permintaan akhir pada suatu sektor hilir tertentu terhadap semua sektor hulu, sedangkan forward linkages menggambarkan efek perubahan permintaan akhir pada semua sektor hilir terhadap salah satu sektor hulu tertentu. Dengan demikian, backward linkages Sumatera-Jawa diinterpretasikan sebagai efek perubahan permintaan akhir pada suatu sektor produksi tertentu di Jawa terhadap total output seluruh sektor produksi di Sumatera. Sedangkan backward linkages Jawa-Sumatera diinterpretasikan sebagai efek perubahan permintaan akhir pada suatu sektor produksi tertentu di Sumatera terhadap total output seluruh sektor produksi di Jawa. Sementara itu, forward linkages Sumatera-Jawa diinterpretasikan sebagai efek perubahan permintaan akhir pada seluruh sektor produksi di Jawa terhadap output sektor tertentu di Sumatera. Sedangkan forward linkages Jawa-Sumatera diinterpretasikan sebagai efek perubahan permintaan akhir pada seluruh sektor produksi di Sumatera terhadap output sektor tertentu di Jawa.

146 Koefisien backward linkages Sumatera-Jawa diinterpretasikan sebagai peningkatan permintaan akhir pada suatu sektor tertentu di Jawa mengakibatkan total output semua sektor di Sumatera meningkat dengan kelipatan sebesar koefisien keterkaitan. Sedangkan koefisien forward linkages Sumatera-Jawa diinterpretasikan sebagai peningkatan permintaan akhir seluruh sektor produksi di Jawa sebesar satu satuan mengakibatkan output sektor tertentu di Sumatera meningkat dengan kelipatan sebesar koefisien keterkaitan. Dipihak lain, backward

linkages

Jawa-Sumatera

diinterpretasikan

sebagai

peningkatan

permintaan akhir pada suatu sektor tertentu di Sumatera mengakibatkan total output seluruh sektor produksi Jawa meningkat dengan kelipatan sebesar koefisien

keterkaitan.

Sedangkan

forward

linkages

Jawa-Sumatera

diinterpretasikan sebagai peningkatan permintaan akhir pada semua sektor produksi di Js\awa mengakibatkan output sektor tertentu di Jawa meningkat dengan kelipatan sebesar koefisien keterkaitan. Koefisien keterkaitan interregional model SAMIJASUM 2002 direkam ke dalam Tabel 11. dimana backward linkages Sumatera-Jawa berada pada kolom kedua dan forward linkages Sumatera-Jawa berada pada kolom ketiga. Pada baris kedua kolom kedua dan ketiga Tabel 11. terdapat koefisien backward linkages sebesar 0.3896 dan forward linkages sebesar 0.7613. Angka yang disebutkan pertama menunjukkan bahwa apabila permintaan akhir sektor tanaman pangan dan tanaman lainnya di Jawa meningkat sebesar satu rupiah, maka output semua sektor yang berada didalam perekonomian Sumatera meningkat sebesar 0.3896 rupiah. Sedangkan angka yang disebut kedua menunjukan bahwa apabila permintaan akhir semua sektor dalam perekonomian Jawa meningkat sebesar satu

147 rupiah, maka output sektor tanaman pangan dan tanaman lainnya di Sumatera meningkat sebesar 0.7613 rupiah. Selanjutnya, pada baris kedua kolom keempat termuat backward linkages Jawa-Sumatera sebesar 1.8385 dan forward linkages pada baris kedua kolom kelima sebesar 2.8030. Koefisien backward linkages tersebut menyatakan bahwa apabila permintaan akhir sektor tanaman pangan dan tanaman lainnya di Sumatera meningkat sebesar satu rupiah, maka output semua sektor dalam perekonomian Jawa meningkat sebesar 1.8385 rupiah. Sedangkan koefisien forward linkages Jawa-Sumatera menyatakan bahwa apabila permintaan akhir semua sektor dalam perekonomian Sumatera meningkat sebesar satu rupiah, maka

output sektor

tanaman pangan dan tanaman lainnya di Jawa meningkat sebesar 2.8030 rupiah. Tabel 11. menunjukkan semua koefisien backward linkages Sumatera-Jawa lebih kecil dari satu dan backward linkages Jawa-Sumatera lebih besar dari satu. Ini berarti bahwa meningkatnya permintaan akhir pada setiap sektor produksi yang manapun di Jawa sebesar satu rupiah mengakibatkan peningkatan output semua sektor produksi di Sumatera kurang dari satu rupiah, sedangkan perubahan yang sama di Sumatera mengakibatkan peningkatan output semua sektor produksi di Jawa lebih besar dari satu. Dengan demikian, dari sisi backward linkages telah terjadi kesenjangan keterkaitan sektor-sektor produksi antara kedua wilayah. Ketimpangan backward linkages ini mencerminkan bahwa sektor-sektor produksi di Jawa memberikan dampak eksternalitas positif dari kepada sektor-sektor produksi di Sumatera relatif sangat kecil dibandingkan dengan dampak eksternalitas positif dari sektor-sektor produksi di Sumatera kepada sektor-sektor produksi di Jawa.

148 Tabel 11. Koefisien Keterkaitan Antarsektor SAM-Interregional SumateraJawa dan Jawa-Sumatera Linkages Sektor Produksi Tanaman pangan dan tanaman lainnya Peternakan Kehutanan dan perburuan Perikanan Pertambangan dan penggalian Ind. makanan, minuman dan tembakau Ind. pemintalan, tekstil dan kulit Ind. kayu dan barang-barang dari kayu Ind. kertas, cetak, alat ang., brg. Logam dan Lainnya Ind. kimia, pupuk, tanah liat, semen dan logam dasar Listrik, gas dan air Konstruksi Perdagangan, restoran dan hotel Transportasi dan komunikasi Keuangan dan perbankan Jasa-jasa lainnya

SM-JW Backwar Forward d 0.3896 0.7613 0.3670 0.4054 0.3654 0.1237 0.3764 0.4148 0.3561 0.3719 0.4024 1.1160 0.3831 0.1981 0.4026 0.1406 0.3670 0.0964 0.3855 0.4756 0.3834 0.1008 0.3514 0.0230 0.3665 1.2128 0.3818 0.5501 0.3714 0.2826 0.7090 0.4572

JW-SM Backwar Forward d 1.8385 2.8030 1.8580 0.8886 1.8707 0.2574 1.8928 0.7638 1.9195 1.4069 1.8592 5.5035 1.9327 1.7956 1.9270 0.6451 1.9435 0.8232 1.8866 2.9606 1.8576 0.7191 1.8035 0.5381 1.8604 6.4550 1.8962 1.9784 1.8871 1.7160 3.6356 3.5791

Keterangan : SM = Sumatera, dan JW = Jawa Sumber: SAMIJASUM 2002 Updating (diolah) Selan itu, Tabel 11. juga menunjukkan bahwa koefisien forward linkages Sumatera-Jawa pada umumnya lebih kecil dari satu, kecuali pada sektor industri makanan, minuman dan tembakau (1.1160) dan sektor perdagangan, restoran dan hotel (1.2128). Disisi lain, koefisien forward linkages Jawa-Sumatera tidak seluruhnya lebih besar dari satu. Namun demikian, seluruh koefisien forward linkages Jawa-Sumatera lebih besar dari koefisien forward linkages SumateraJawa. Koefisien forward linkages Jawa-Sumatera yang terbesar terjadi pada sektor perdagangan, restoran dan hotel (6.4550), sektor industri makanan, minuman dan tembakau (5.5035), sektor jasa-jasa lainnya (3.5791), sektor industri kimia, pupuk, barang dari tanah liat, semen dan logam dasar (2.9606), dan sektor tanaman pangan dan tanaman lainnya (2.8030). Ini berarti bahwa pasokan input

149 antara dari Jawa kepada perekonomian Sumatera yang terbesar berasal dari lima sektor tersebut. Secara keseluruha, baik dari sisi backward linkages maupun forward linkages, menunjukkan bahwa perekonomian Sumatera membutuhkan input-antara dari perekonomian Jawa relatif sangat besar daripada kebutuhan perekonomian Jawa terhadap input-antara yang berasal dari Sumatera. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat ketergantungan perekonomian Sumatera terhadap input-antara yang berasal dari Jawa lebih besar dari tingkat ketergantungan perekonomian Jawa terhadap input-antara yang berasal dari Sumatera. Dari perspektif teori interdependence yang saling menguntungkan, seharusnya perekonomian Jawa membutuhkan input-antara dari perekonomian Sumatera jauh lebih besar daripada sebaliknya. Implikasi dari penyimpangan tersebut adalah bahwa perekonomian Jawa yang diharapkan sebagai pusat pertumbuhan ekonomi nasional tidak terjadi, sehingga partisipasi perekonomian Sumatera dalam pertumbuhan ekonomi nasional menjadi terbatas. 5.3. Rangkuman 1. Backward linkages pada dasarnya berkaitan dengan penggunaan input oleh suatu sektor tertentu, sehingga apabila permintaan akhir terhadap output sektor tersebut meningkat maka peningkatan itu akan berpengaruh terhadap peningkatan output seluruh sektor dalam perekonomian. Di sisi lain, forward linkages hendak menunjukkan besarnya peningkatan output sektor tertentu sebagai akibat adanya peningkatan permintaan akhir seluruh perekonomian. Dalam hubungan ini sektor jasa-jasa lainnya di Jawa merupakan satu-satunya sektor yang di samping mempunyai backward lingkages yang tinggi juga

150 disertai dengan forward linkages yang tergolong tinggi. Di Sumatera, selain sektor jasa-jasa lainnya, sektor industri makanan, minuman dan tembakau juga mempunyai backward lingkages yang tinggi disertai forward linkages yang juag tergolong tinggi. Sektor perdagangan, restoran dan hotel di Jawa walaupun backward linkages tidak tergolong yang paling tinggi tetapi forward linkages-nya yang paling tinggi. 2. Koefisien forward linkages sektor perdagangan, restoran, dan hotel, dan sektor industri makanan, minuman, dan tembakau di Jawa dan Sumatera lebih besar dari koefisien backward linkages-nya. Hal ini menunjukkan bahwa kedua sektor ini di dalam perekonomian Jawa dan Sumatera cenderung berada pada posisi hulu. Berarti bahwa kedua sektor tersebut relatif kurang terkaitan dengan sektor-sektor di belakangnya di masing-masing wilayah. Dengan demikian sektor perdagangan, restoran, dan hotel, dan sektor industri makanan,

minuman,

dan

tembakau

kurang

mampu

menyebarkan

peningkatannya kepada sektor-sektor lain di dalam perekonomian masingmasing wilayah. Di samping itu kondisi tersebut juga mengindikasikan bahwa kedua sektor tersebut relatif lebih berorientasi pada input impor daripada input lokal. 3. Koefisien backward linkages sektor peternakan dan sektor perikanan dalam perekonomian Jawa lebih besar dari koefisien forward linkages-nya; sedangkan dalam perekonomian Sumatera adalah kebalikannya. Hal ini mengindikasikan bahwa kedua sektor tersebut di dalam perekonomian Jawa dikelola secara intensif, sedangkan di Sumatera pengelolaannya masih

151 ekstaktif. Pengelolaan intensif akan meningkatkan total output dan nilai tambah per sektor yang lebih tinggi. 4. Koefisien backward linkages sektor kehutanan dan perburuan dalam perekonomian Jawa dan Sumatera lebih besar dari koefisien backward linkages sektor industri kayu dan barang dari kayu. Ini berarti bahwa sektor kehutanan dan perburuan relatif berada pada posisi yang condong agak ke hilir daripada sektor industri kayu dan barang dari kayu. Hal ini mengindikasikan bahwa kedua sektor tersebut relatif kurang saling terkait secara vertikal, baik di dalam perekonomian Jawa maupun di dalam perekonomian Sumatera. Ini berarti, hasil produksi sektor kehutanan dan perburuan lebih banyak dijual ke negara lain dalam bentuk asalan (belum terolah). 5.

Posisi hulu (upstream) dan hilir (downstream) dalam perspektif

keterkaitan intra region dilihat dari besaran koefisien forward linkages dan backward linkages. Dalam perspektif keterkaitan interregional, posisi hulu dan hilir dilihat dari penyebutan wilayah. Wilayah yang disebutkan pertama berada pada posisi hulu dan yang disebutkan kedua berada posisi hilir. Keterkaitan Sumatera-Jawa misalnya, menunjukkan bahwa Sumatera pada posisi hulu dan Jawa pada posisi hilir, baik dari sisi backward linkages maupun forward linkages. Dalam hal ini perekonomian Jawa sebagai pemakai input dan perekonomian Sumatera sebagai pemasok input. Pengertian ini membuka tabir bahwa tingkat ketergantungan perekonomian Sumatera terhadap input-antara yang berasal dari perekonomian Jawa jauh lebih tinggi daripada tingkat ketergantungan perekonomian Jawa terhadap input-antara yang berasal dari Sumatera. Kebutuhan perekonomian Sumatera atas input-

152 antara yang berasal dari perekonomian Jawa yang paling besar bersumber dari sektor perdagangan, restoran dan hotel, sektor industri makanan, minuman dan tembakau, sektor jasa-jasa lainnya, sektor industri kimia, pupuk, barang dari tanah liat, semen dan logam dasar, dan sektor tanaman pangan dan tanaman lainnya. 6.

Dampak eksternalitas positif dari kemajuan ekonomi Jawa

terhadap perekonomian Sumatera relatif kecil. Dengan demikian kekuatan menyebarkan kemajuan ekonominya ke Sumatera sangat lemah, sehingga harapan bahwa wilayah Jawa sebagai pusat pertumbuhan ekonomi nasional tidak terjadi.

Related Documents