Uveitis Anterior.docx

  • Uploaded by: NiarLatupono
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Uveitis Anterior.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 3,820
  • Pages: 19
BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Uveitis adalah inflamasi di uvea yaitu iris, badan siliar dan koroid yang dapat menimbulkan kebutaan. Di negara maju, 10% kebutaan pada populasi usia produktif adalah akibat uveitis.l Uveitis dapat disebabkan oleh kelainan di mata saja atau merupakan bagian dari kelainan sistemik, trauma, iatrogenik dan infeksi, namun sebanyak 20-30% kasus uveitis adalah idiopatik. Secara anatomi, uveitis dibagi menjadi uveitis anterior, intermediet, posterior, dan panuveitis.2 Insidens uveitis anterior di negara maju lebih tinggi dibandingkan negara berkembang karena ekspresi human leukocyte antigen (HLA-B27) yang merupakan faktor predisposisi uveitis anterior, lebih tinggi di negara maju.3 uveitis anterior merupakan bentuk paling paling umum dari semua kasus uveítis (60%) dan juga merupakan bentuk yang paling sering muncul akut. Meski sebagian disebabkan oleh infeksi, penyebab non infeksi menduduki proporsi lebih besar sehingga uveítis anterior dapat dianggap sebagai kejadian autoimun primer dimana 40-60% kasus akut memiliki kaitan dengan HLA-B27. Uveitis posterior menjadi penyebab kebutaan kelima di negara berkembang seperti Amerika Selatan, India, dan Afrika karena tingginya penyakit infeksi khususnya toksoplasmosis, tuberkulosis, HIV dan sifilis.4'5 Panuveitis adalah peradangan seluruh uvea dan sekitarnya seperti vitreus, retina, dan nervus optik. Penyebab tersering adalah tuberkulosis, sindrom vogt-koyanagi-harada (VKH), oftalmia simpatika, dan penyakit behcet. Di Indonesia belum ada data yang akurat mengenai jumlah kasus uveitis . Di Amerika Serikat ditemukan angka kejadian uveitis anterior adalah 8-12 orang dari 100.000 penduduk per tahun. Insidensinya meningkat pada usia 20-50 tahun dan paling banyak pada usia sekitar 30-an. Insiden Uveitis sekitar 15 per 100.000 orang di Indonesia, sekitar 75% merupakan Uveitis anterior dan sekitar 50% pasien dengan Uveitis menderita penyakit sistemik terkait. Di Amerika serikat, Uveitis merupakan penyebab kebutaan nomor 3 setelah retinopati diabetik dan degenerasi makular. Umur bervariasi antara usia pubertas sampai 50 tahun. Lebih dari 75% Uveitis endogen tidak diketahui penyebabnya, namun 37% kasus diantaranya ternyata merupakan reaksi imunologik yang berhubungan dengan Uveitis anterior meliputi Spondilitis ankilosa, Sindrom reiter, Arthritis, Psoriatika, Penyakit Crohn, Kolitis ulserativa.11,12 1

Sekitar 25% kebutaan di India dan negara-negara berkembang lainnya adalah disebabkan oleh uveitis dan komplikasinya seperti katarak sekunder, glaucoma, edema macula cystoids atau fotoreseptor retina atau kerusakan saraf optic. Di negara maju, sebaliknya kebutaan dari uveitis bervariasi dari 3% menjadi 10%. Di Eropa kejadian tersebut diperkirakan antara 3% dan 7% dan di Amerika Serikat, angka terbaru dari California mengungkapkan bahwa 10% kebutaan karena uveitis. Perbedaan yang luar biasa dalam kejadian kebutaan antara negara berkembang dan negara maju bisa disebabkan oleh perbedaan kondisi sosial ekonomi atau akses keperawatan medis atau kesenjangan lain, perbedaan etiologi yang mendasari, serta adanya infeksi terutama penyebab uveitis di India dan negara-negara berkembang lainnya, sedangkan uveitis idiopatik diyakini sebagai proses kekebalan inflamasi organ spesifik adalah penyebab utama di negara-negara maju.3 Uveitis merupakan suatu penyakit yang mudah mengalami kekambuhan, bersifat merusak, menyerang pada usia produktif. Uveitis merupakan penyebab 10-15% kebutaan di negara berkembang. Perbandingan yang sama antara laki-laki dan perempuan dan kebanyakan berakhir dengan kebutaan. 1.2. Tujuan Pembuatan Makalah A. Tujuan Umum Peserta kepanitraan mengerti dan memahami tentang penyakit Uveitis anterior. B. Tujuan Khusus a) Peserta kepanitraan mengetahui anatomi Uvea. b) Peserta kepanitraan mengetahui tentang pengertian, gejala klinik, patofisiologi, komplikasi dan penatalaksanaan pada penyakit Uveitis anterior. c) Mengetahui Diagnosis Uveitis anterior.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2

I.

ANATOMI UVEA Uvea terdiri dari iris, korpus siliare dan khoroid. Bagian ini adalah lapisan vaskular tengah mata dan dilindungi oleh kornea dan sklera. Bagian ini ikut memasukkan darah ke retina.1,2

Gambar 1. Anatomi Mata3

1. IRIS Iris adalah perpanjangan korpus siliare ke anterior. Iris berupa suatu permukaan pipih dengan apertura bulat yang terletak di tengah pupil. Iris terletak bersambungan dengan permukaan anterior lensa, yang memisahkan kamera anterior dari kamera posterior, yang masing-masing berisi aqueus humor. Didalam stroma iris terdapat sfingter dan otot-otot dilator. Kedua lapisan berpigmen pekat pada permukaan posterior iris merupakan perluasan neuroretina dan lapisan epitel pigmen retina ke arah anterior.1 Pasok darah ke iris adalah dari sirkulus major iris. Kapiler-kapiler iris mempunyai lapisan endotel yang tidak berlubang sehingga normalnya tidak membocorkan fluoresein yang disuntikkan secara intravena. Persarafan iris adalah melalui serat-serat di dalam nervus siliares.1 Iris mengendalikan banyaknya cahaya yang masuk ke dalam mata. Ukuran pupil pada prinsipnya ditentukan oleh keseimbangan antara konstriksi akibat aktivitas parasimpatis yang dihantarkan melalui nervus kranialis III dan dilatasi yang ditimbulkan oleh aktivitas simpatik.1

2. KORPUS SILIARIS 3

Korpus siliaris yang secara kasar berbentuk segitiga pada potongan melintang, membentang ke depan dari ujung anterior khoroid ke pangkal iris (sekitar 6 mm). Korpus siliaris terdiri dari suatu zona anterior yang berombakombak, pars plikata dan zona posterior yang datar, pars plana. Prosesus siliaris berasal dari pars plikata. Prosesus siliaris ini terutama terbentuk dari kapiler-kapiler dan vena yang bermuara ke vena-vena vortex. Kapiler-kapilernya besar dan berlobang-lobang sehingga membocorkan floresein yang disuntikkan secara intravena. Ada 2 lapisan epitel siliaris, satu lapisan tanpa pigmen di sebelah dalam, yang merupakan perluasan neuroretina ke anterior, dan lapisan berpigmen di sebelah luar, yang merupakan perluasan dari lapisan epitel pigmen retina. Badan siliar mengandung pembuluh darah kapiler dan vena. Fungsi badan siliar adalah : 2,3,7 1. Mengandung M. Siliaris yang penting untuk akomodasi. 2. Sebagai tempat melekatnya zonulla zinii. 3. Menghasilkan Humor aquos (disekresi oleh sel-sel prosessus siliaris). 4. Kontraksi M. Siliaris (saat penetesan pilokarpin) yang akan membuka lubanglubang trabekulum sehingga akan memperlancar keluarnya humor aquos.

3. KHOROID Koroid adalah segmen posterior uvea merupakan bagian uvea yang paling luas dan terletak antara retina dan sklera, terdiri dari anyaman pembuluh darah, lapisan koroid dari luar kedalam adalah supra koroid, pembuluh darah, koriokapilaris dan membran brunch. Khoroid di sebelah dalam dibatasi oleh membran Bruch dan di sebelah luar oleh sklera. Ruang suprakoroid terletak di antara khoroid dan sklera. Khoroid melekat erat ke posterior ke tepi-tepi nervus optikus. Ke anterior, khoroid bersambung dengan korpus siliare. Karena koroid mengandung banyak pembuluh darah dan retina jernih maka koroid akan tampak dengan oftalmoskop berwarna merah dan juga tampak refleks fundus yang merah cemerlang. Fungsi koroid adalah memberi nutrisi pada nutrisi pada retina dan memiliki efek mendinginkan retina. Lapisan retina yang diberi nutrisi adalah lapisan epitel pigmen retina dan sel-sel fotoreseptor. Bagian dalam retina diberi nutrisi oleh arteri retina sentral. Efek mendinginkan retina sangat penting karena retina selalu terkena cahaya dan mempunyai metabolisme yang besar sehingga ada efek panas.1

4

II.

UVEITIS ANTERIOR 2.1.DEFINISI Uveitis anterior didefinisikan sebagai inflamasi yang terbatas pada iris (iritis), atau pada iris dan badan siliar (iridosiklitis).8

2.2. Etiologi a. Autoimun: -

Artritis rheumatoid juvenilis

-

Spondilitis ankilosa

-

Sarkoidosis

-

Sindrom reiter

-

Penyakit chron

b. Infeksi:

-

Sifilis

-

Herpes simpleks

-

Tuberkulosis

-

Onkoserkiasis

-

Lepra (morbus Hensen)

-

Adenovirus

-

Herpes Zoster

c. Keganasan: -

Sindrom masquerade

-

Limfoma

-

Retinoblastoma

-

Melanoma maligna

-

Leukemia

d. Lain-lain: -

Idiopatik

-

Iridosiklitis heterokromik Fuchs

-

Gout

-

Ablatio retina

2.3.PATOFISIOLOGI

5

Peradangan uvea biasanya unilateral, dapat disebabkan oleh efek langsung suatu infeksi atau merupakan fenomena alergi. Infeksi piogenik biasanya mengikuti suatu trauma tembus okuli, walaupun kadang – kadang dapat juga terjadi sebagai reaksi terhadap zat toksik yang diproduksi oleh mikroba yang menginfeksi jaringan tubuh diluar mata. 1-7 Uveitis yang berhubungan dengan mekanisme alergi merupakan reaksi hipersensitivitas terhadap antigen dari luar (antigen eksogen) atau antigen dari dalam (antigen endogen). Dalam banyak hal antigen luar berasal dari mikroba yang infeksius. Sehubungan dengan hal ini, peradangan uvea terjadi lama setelah proses infeksinya yaitu setelah munculnya mekanisme hipersensitivitas. 1-7 Radang iris dan badan siliar menyebabkan rusaknya Blood Aqueous Barrier sehingga terjadi peningkatan protein, fibrin, dan sel-sel radang dalam humor akuos. Pada pemeriksaan biomikroskop (slit lamp) hal ini tampak sebagai flare, yaitu partikelpartikel kecil dengan gerak Brown (efek tyndall). Sel-sel radang yang terdiri dari limfosit, makrofag, sel plasma dapat membentuk presipitat keratik yaitu sel-sel radang yang menempel pada permukaan endotel kornea. Apabila prespitat keratik ini besar disebut mutton fat. 1-7

Gambar 2.Keratic presipitat “mutton fat” di kornea yang dilihat menggunakan slit lamp Pada proses peradangan yang lebih akut, dapat dijumpai penumpukan sel-sel radang di dalam bilik mata depan (BMD) yang disebut hipopion, ataupun migrasi eritrosit ke dalam BMD, dikenal dengan hifema. Akumulasi sel-sel radang dapat juga terjadi pada perifer pupil yang disebut Koeppe nodules, bila dipermukaan iris disebut Busacca nodules. 1-7

6

Gambar 3.Gambaran penumpukkan hipopion (anak panah) di dasar camera okuli anterior

Gambar 4. Koeppa nodul (bagian tepi iris) dan Busacca nodul (di permukaan iris)

Sel-sel radang, fibrin dan fibroblas dapat menimbulkan perlekatan antara iris dengan kapsul lensa bagian anterior yang disebut sinekia posterior, ataupun antara iris dengan endotel kornea yang disebut sinekia anterior. Dapat pula terjadi perlekatan pada bagian tepi pupil, yang disebut seklusio pupil, atau seluruh pupil tertutup oleh sel-sel radang, disebut oklusio pupil. Perlekatan-perlekatan tersebut, ditambah dengan tertutupnya trabekular oleh sel-sel radang, akan menghambat aliran akuos humor dari bilik mata belakang ke bilik mata depan sehingga akuos humor tertumpuk di bilik mata belakang dan akan mendorong iris ke depan yang tampak sebagai iris bombe. Selanjutnya tekanan dalam bola mata semakin meningkat dan akhirnya terjadi glaukoma sekunder. Pada kasus yang berlangsung kronis dapat terjadi gangguan produksi akuos humor yang menyebabkan penurunan tekanan bola mata sebagai akibat hipofungsi badan siliar.1-7

7

Gambar 5. Ilustrasi sinekia anterior (kiri) dan sinekia posterior (kanan)

Gambar 6. Gambaran klinis iris irregular kerana sinekia posterior

Gangguan produksi akuos humor terjadi akibat hipofungsi badan siliar menyebabkan tekanan bola mata turun. Eksudat protein, fibrin dan sel-sel radang dapat berkumpul di sudut bilik mata depan dan terjadi penutupan kanal Schlemm sehingga terjadi glaucoma sekunder. Pada fase akut akan terjadi glaukoma sekunder karena gumpalan-gumpalan pada sudut bilik mata depan sedang pada fase lanjut glaukoma sekunder terjadi karena adanya seklusio pupil. Naik turunnya tekanan bola mata disebutkan pula sebagai akibat peran asetilkolin dan prostaglandin. Pada kasus yang berlangsung kronis dapat terjadi gangguan produksi akuos humor yang menyebabkan penurunan tekanan bola mata sebagai akibat hipofungsi badan siliar. 1-7

2.4. KLASIFIKASI Secara klinis uveitis dapat diklasifikasikan dengan bermacam cara yang sering membingungkan. Ada yang mengklasifikasikan uveitis berdasarkan lokasi atau posisi anatomis lesi yaitu uveitis anterior, uveitis intermedia, uveitis posterior dan panuveitis atau uveitis difus. Ada juga yang membagi berdasarkan derajat keparahan menjadi uveitis akut, uveitis subakut, uveitis kronik dan uveitis eksaserbasi. Pembagian lain uveitis berdasarkan patologinya yaitu uveitis granulomatosa dan uveitis non-

8

granulomatosa. Dan ada juga pembagian uveitis berdasarkan demografi yang berdampingan dengan faktor terkait seperti jenis kelamin, ras, usia, geografis, unilateral/bilateral dan lain-lain; serta pembagian uveitis berdasarkan etiologinya.4,5

Gambar 7. Pembagian Uveitis berdasarkan Lokasi Anatomis Lesi

2.5. GEJALA DAN TANDA KLINIS Berdasarkan perjalanan penyakit : (a) Uveitis anterior akut memiliki karakteristik nyeri dengan onset mendadak dan mata merah tanpa sekret, dengan atau tanpa penurunan tajam penglihatan ringan. Bentuk nyeri biasanya tumpul, bertambah pada penekanan kelopak mata, dan dapat menjalar ke pelipis. Fotosensitivitas, khususnya sinar matahari, akan membuat semakin tidak nyaman hal ini dikenal sebagai fotofobia. (b) Uveitis anterior kronik memiliki progresivitas lambat tanpa keluhan nyeri,

sehingga keluhan utama adalah gangguan penglihatan. Karena berjalan lambat, diagnosis uveitis kronis sering terlambat, sebagaimana yang terjadi pada anakanak dengan artritis juvenil idiopatik. Apbila kondisi kronik ini dibiarkan dapat terjadi komplikasi seperti degenerasi kornea yang berbentuk pita (band keratophaty), katarak sekunde (subkapsular posterior) dan glaukoma sekunder.

9

Berdasarkan patologi dibedakan menjadi 2 : Berdasarkan patologi dapat dibedakan 2 jenis uveitis anterior, yaitu granulomatosa dan n o n g r a n u l o m a t o s a . a. Uveitis Anterior Jenis Non-Granulomatosa Pada bentuk non-granulomatosa, onsetnya khas akut, dengan rasa sakit, injeksi, fotofobia dan penglihatan kabur. Terdapat kemerahan sirkumkorneal atau injeksi siliar yang disebabkan oleh dilatasi pembuluh-pembuluh darah limbus.2 Pada jenis non granulomatosa umumnya tidak dapat ditemukan organisme patogen dan karena berespon baik terhadap terapi kortokosteroid diduga peradangan ini semacam fenomena hipersensitivitas. Uveitis ini timbul terutama dibagiananterior traktus yakni iris dan korpus siliaris. Terdapat reaksi radang dengan terlihatnya infiltrasi sel-sel limfosit dan sel plasma dalam jumlah cukup banyak dan sedikit selmononuclear. Pada kasus berat dapat terbentuk bekuan fibrin besar atau hipopion didalam kamera okuli anterior. Deposit putih halus (keratic presipitate/ KP) pada permukaan posterior kornea dapat dilihat dengan slit-lamp atau dengan kaca pembesar. KP adalah deposit seluler pada endotel kornea. Karakteristik dan distribusi KP dapat memberikan petunjuk bagi jenis uveitis. KP umumnya terbentuk di daerah pertengahan dan inferior dari kornea. Terdapat 4 jenis KP yang diketahui, yaitu small KP, medium KP, large KP dan fresh KP. Small KP merupakan tanda khas pada herpes zoster dan Fuch’s uveitis syndrome. Medium KP terlihat pada kebanyakan jenis uveitis anterior akut maupun kronis. Large KP biasanya jenis mutton fat biasanya terdapat pada uveitis anterior tipe granulomatosa. Fresh KP atau KP baru terlihat berwarna putih dan melingkar. Seiring bertambahnya waktu, akan berubah menjadi lebih pucat dan berpigmen. Pupil mengecil dan mungkin terdapat kumpulan fibrin dengan sel di kamera anterior. Jika terdapat sinekia posterior, bentuk pupil menjadi tidak teratur.6

10

Gambar 8. Gambaran Keratic Presipitates pada Uveitis Anterior7

b. Uveitis Anterior Jenis Granulomatosa Pada bentuk granulomatosa, biasanya onsetnya tidak terlihat. Penglihatan berangsur kabur dan mata tersebut memerah secara difus di daerah sirkumkornea. Sakitnya minimal dan fotofobianya tidak seberat bentuk non-granulomatosa. Pupil sering mengecil dan tidak teratur karena terbentuknya sinekia posterior. KP mutton fat besar-besar dapat terlihat dengan slit-lamp di permukaan posterior kornea. Tampak kemerahan, flare dan sel-sel putih di tepian pupil (nodul Koeppe). Nodul-nodul ini sepadan dengan KP mutton fat. Nodul serupa di seluruh stroma iris disebut nodul Busacca.2,6 Pada uveitis granulomatosa umumnya mengikuti invasi mikroba aktif ke jaringan oleh organisme penyebab (misal Mycobacterium tuberculos is atau Toxoplasma gondii).Meskipun begitu patogen ini jarang ditemukan dan diagnosisetiologi pasti jarang ditegakkan. Uveitis granulomatosa dapat mengenai sembarang traktus uvealis namun lebih sering pada uvea posterior. Terdapat kelompok nodular sel-sel epithelial dan sel-sel raksasa yang dikelilingi limfosit di daerah yang terkena. Deposi tradang pada permukaan posterior kornea terutama terdiri atas makrofag dan sel epiteloid. Diagnosis etiologi spesifik dapat ditegakkan secara histologik pada m ata yangdikeluarkan dengan menemukan kista toxoplasma, basil tahan asam tuberculosis,spirocheta pada sifilis, tampilan granuloma khas pada sarcoidosis atau oftalmia simpatikadan beberapa penyebab spesifik lainnya.

11

Tabel perbedaan uveitis anterior granulomatosa dan non-granulomatosa. Non - granulomatosa

granulomatosa

Onset ingan

Akut

tersembunyi

Nyeri

Nyata

Tidak ada atau r

Fotofobia

Nyata

Ringan

Penglihatan kabur

Sedang

Nyata

Merah sirkum korneal

Nyata

Ringan

Keratic percipitat

Putih halus

Kelabu

besar

(“mutton

dan

tidak

fat”) Pupil

Kecil dan tidak teratur

Kecil

teratur(bervariasi) Sinekia posterior

Kadang-kadang

Kadang – kadang

Nodul iris

Tidak ada

Kadang-kadang

Lokasi

Uvea anterior

Uvea anterior, posterior, difus

Perjalanan penyakit

akut

kronik

kekambuhan

Sering

Kadang-kadang

2.6.DIAGNOSIS Diagnosis uveitis anterior dapat ditegakkan dengan melakukan anamnesis, pemeriksaan oftalmologi dan pemeriksaan penunjang lainnya.2,7,8 a. Anamnesis Anamnesis dilakukan dengan menanyakan riwayat kesehatan pasien, misalnya pernah menderita iritis atau penyakit mata lainnya, kemudian riwayat penyakit sistemik yang mungkin pernah diderita oleh pasien. Keluhan yang dirasakan pasien biasanya antara lain :

12



Nyeri dangkal (dull pain), yang muncul dan sering menjadi lebih terasa ketika mata disentuh pada kelopak mata. Nyeri tersebut dapat beralih ke daerah pelipis atau daerah periorbital. Nyeri tersebut sering timbul dan menghilang segera setelah muncul.



Fotofobia atau fotosensitif terhadap cahaya, terutama cahaya matahari yang dapat menambah rasa tidak nyaman pasien



Kemerahan tanpa sekret mukopurulen



Pandangan kabur (blurring)



Umumnya unilateral

b. Pemeriksaan Oftalmologi 

Visus : Visus biasanya normal atau dapat sedikit menurun



Tekanan intraokular (TIO) pada mata yang meradang lebih rendah daripada mata yang sehat. Hal ini secara sekunder disebabkan oleh penurunan produksi cairan akuos akibat radang pada korpus siliaris. Akan tetapi TIO juga dapat meningkat akibat perubahan aliran keluar (outflow) cairan akuos



Konjungtiva : Terlihat injeksi silier/ perilimbal atau dapat pula (pada kasus yang jarang) injeksi pada seluruh konjungtiva



Kornea : KP (+), Udema stroma kornea



Camera Oculi Anterior (COA) : Sel-sel flare dan/atau hipopion

Ditemukannya sel-sel pada cairan akuos merupakan tanda dari proses inflamasi yang aktif. Jumlah sel yang ditemukan pada pemeriksaan slitlamp dapat digunakan untuk grading. Grade 0 sampai +4 ditentukan dari :

0

: Tidak ditemukan sel

+1

: 5-10 sel

+2

: 11-20 sel

+3

: 21-50 sel

+4

: > 50 sel

Aqueous flare adalah akibat dari keluarnya protein dari pembuluh darah iris yang mengalami peradangan. Adanya flare tanpa ditemukannya sel-sel bukan

13

indikasi bagi pengobatan. Melalui hasil pemeriksaan slit-lamp yang sama dengan pemeriksaan sel, flare juga diklasifikasikan sebagai berikut :

0 : Tidak ditemukan flare +1

: Terlihat hanya dengan pemeriksaan yang teliti

+2

: Moderat, iris terlihat bersih

+3

: Iris dan lensa terlihat keruh

+4

: Terbentuk fibrin pada cairan akuous

Hipopion ditemukan sebagian besar mungkin sehubungan dengan penyakit terkait HLA B27, penyakit Behcet atau penyakit infeksi terkait iritis.

Gambar 9. Gambaran Hipopion pada Uveitis Anterior7



Iris : dapat ditemukan sinekia posterior



Lensa dan korpus vitreus anterior : dapat ditemukan lentikular presipitat pada kapsul lensa anterior. Katarak subkapsuler posterior dapat ditemukan bila pasien mengalami iritis berulang.

c. Pemeriksaan Laboratorium Pemeriksaan laboratorium mendalam umumnya tidak diperlukan untuk uveitis anterior, apalagi bila jenisnya non-granulomatosa atau menunjukkan respon terhadap pengobatan non spesifik. Akan tetapi pada keadaan dimana uveitis anterior tetap tidak responsif terhadap pengobatan maka diperlukan usaha untuk menemukan diagnosis etiologiknya. Pada pria muda dengan iridosiklitis akut rekurens, foto rontgen sakroiliaka diperlukan untuk mengeksklusi kemungkinan adanya spondilitis ankilosa. Pada kelompok usia yang lebih muda, artritis reumatoid juvenil harus selalu dipertimbangkan khususnya pada kasus-

14

kasus iridosiklitis kronis. Pemeriksaan darah untuk antinuclear antibody dan rheumatoid factor serta foto rontgen lutut sebaiknya dilakukan. Perujukan ke ahli penyakit anak dianjurkan pada keadaan ini. Iridosiklitis dengan KP mutton fat memberikan kemungkinan sarkoidosis. Foto rontgen toraks sebaiknya dilakukan dan pemeriksaan terhadap enzim lisozim serum serta serum angiotensine converting enzyme sangat membantu. Pemeriksaan terhadap HLA-B27 tidak bermanfaat untuk penatalaksanaan pasien dengan uveitis anterior, akan tetapi kemungkinan dapat memberikan perkiraan akan suseptibilitas untuk rekurens. Sebagai contoh, HLA-B27 ditemukan pada sebagian besar kasus iridosiklitis yang terkait dengan spondilitis ankilosa. Tes kulit terhadap tuberkulosis dan histoplasmosis dapat berguna, demikian pula antibodi terhadap toksoplasmosis. Berdasarkan tes-tes tersebut dan gambaran kliniknya, seringkali dapat ditegakkan diagnosis etiologiknya. Dalam usaha penegakan diagnosis etiologis dari uveitis diperlukan bantuan atau konsultasi dengan bagian lain seperti ahli radiologi dalam pemeriksaan foto rontgen, ahli penyakit anak atau penyakit dalam pada kasus atritis reumatoid, ahli penyakit THT pada ksus uveitis akibat infeksi sinus paranasal, ahli penyakit gigi dan mulut pada kasus uveitis dengan fokus infeksi di rongga mulut, dan lain-lain.

2.7.DIAGNOSIS BANDING Penting untuk menentukan apakah lesi yang terjadi akibat inflamasi, tumor, prosesvaskuler, atau proses degenerasi. Meksipun flare dan sel di COA merupakan tandautama uveitis, tapi bukan merupakan suatu tanda diagnostik pasti uveitis karena proses nekrotik atau metastasis neoplasma juga dapat menyebabkan proses inflamasi. Debris seluler vitreus jugadapat terjadi akibat proses degeneratif seperti retinitis pigmentosa atau retinal detachment. Beberapa kelainan yang sering di kelirukan dengan uveitis antara lain : 1,11 a. Konjungtivitis dibedakan dengan adanya sekret dan kemerahan pada konjungtiva, penglihatan tidak kabur, respon pupil normal, ada kotoran mata dan umumnya tidak sakit, fotofobia, injeksi siliar. b. Keratitis atau keratokonjungtivitis di bedakan dengan adanya pewarnaan atau defek pada epitel atau adanya penebalan atau infiltrat pada stroma, penglihatan dapat kabur dan rasa sakit dan fotofobia. Beberapa penyebab keratitis seperti herpes simpleks dan herpes zoster dapat menyertai uveitis anterior juga.

15

c. Glaukoma akut sudut tertutup ditandai dengan peningkatan tekanan intra okular, kekeruhan dan edema kornea dan sudut bilik mata depan yang sempit, pupil melebar, tidak ada sinekia posterior dan korneanya beruap.

2.8.PENATALAKSANAAN Tujuan utama terapi uveitis anterior adalah:1,6,10 

Mencegah sinekia posterior



Mengurangi keparahan (severity) dan frekuensi serangan atau eksaserbasi uveitis



Mencegah kerusakan pembuluh darah iris yang dapat:  Mengubah kondisi dari iridosiklitis akut menjadi iridosiklitis kronik (terjadi perburukan diagnosis)  Meningkatkan derajat keparahan keadaan yang memang sudah kronik



Mencegah atau meminimalkan perkembangan katarak sekunder



Tidak melakukan tindakan yang dapat menyakiti atau merugikan pasien

Apabila penyebab uveitis anterior adalah infeksi, tatalaksana diberikan dengan obat antiviral atau antibiotic (contoh pada borreliosis) sedangkan untuk eveitis non infeksi, tatalaksana bersifat asimptomatik. Terapi local terdiri dari pemberian tetes mata kortikosteroid dan sikloplegik untuk mencegah sinekia posterior antara iris dan lensa serta mengurangi nyeri dengan cara mengistirahatkan badan siliar. Apabila diperlukan, dapat diberikan kosrtikosteroid subkonjungtival, parabulbar atau oral. Imunosupresan jarang dibutuhkan pada kodisi kronik atau pada uveitis yang sering mengalami rekurensi.

1. Untuk Uveitis Anterior Non-Granulomatosa 

Analgetik sistemik secukupnya untuk mengurangi rasa sakit



Kacamata gelap untuk keluhan fotofobia



Pupil harus tetap dilebarkan untuk mencegah sinekia posterior. Atropine digunakan sebagai pilihan utama untuk tujuan ini. Kemudian setelah reda, dilanjutkan dengan kerja singkat seperti siklopentolat atau homatropin



Tetes steroid lokal cukup efektif digunakan sebagai anti radang



Steroid sistemik bila perlu diberikan dalam dosis tunggal selang sehari yang tinggi dan kemudian diturunkan sampai dosis efektif. Steroid dapat juga

16

diberikan subkonjungtiva dan peribulbar. Pemberian steroid untuk jangka lama dapat menimbulkan katarak, glaukoma dan midriasis pada pupil. 

Sikoplegik spesifik diberikan bila kuman penyebab diketahui

2. Untuk Uveitis Anterior Granulomatosa Terapi diberikan sesuai dengan penyebab spesifiknya. Atropin 2% diberikan sebagai dilator pupil bila segmen anterior terkena.

2.9.KOMPLIKASI Berikut ini adalah beberapa komplikasi dari uveitis anterior:1,10 

Sinekia anterior perifer. Uveitis anterior dapat menimbulkan sinekia anterior perifer yang menghalangi humor akuos keluar di sudut iridokornea (sudut kamera anterior) sehingga dapat menimbulkan glaukoma.



Sinekia posterior dapat menimbulkan glaukoma dengan berkumpulnya akuos humour di belakang iris, sehingga menonjolkan iris ke depan.



Gangguan metabolisme lensa dapat menimbulkan katarak



Edema kistoid makular dan degenerasi makula dapat timbul pada uveitis anterior yang berkepanjangan.

2.10.

PROGNOSIS Prognosis uveitis tergantung pada banyak hal diantaranya derajat keparahan,

lokasi, dan penyebab peradangan. Secara umum, peradangan yang berat perlu waktu lebih lama untuk sembuh serta lebih sering menyebabkan kerusakan intraokular dan kehilangan penglihatan dibandingkan dengan peradangan ringan atau sedang. Selain itu uveitis anterior cenderung lebih cepat merespon pengobatan dibandingkan dengan uveitis intermediet, posterior atau difus. Umumnya kasus uveitis anterior prognosisnya baik bila didiagnosis lebih awal dan diberi pengobatan yang tepat. Prognosis visual pada iritis kebanyakan pulih dengan baik tanpa adanya katarak, glaukoma dan uveitis posterior. Keterlibatan retina, koroid atau nervus optikus cenderung memberi prognosis yang lebih buruk.11,12 Dengan

pengobatan, serangan uveitis

non-granulomatosa

umumnya

berlangsung beberapa hari sampai minggu dan sering kambuh. Uveitis granulomatosa

17

berlangsung berbulan-bulan sampai tahunan, kadang-kadang dengan remisi dan eksaserbasi, dan dapat menimbulkan kerusakan permanen dengan penurunan penglihatan yang nyata. Prognosis bagi lesi korioretinal perifer lokal jauh lebih baik, sering sembuh tanpa gangguan penglihatan yang berarti.11,12

18

DAFTAR PUSTAKA

1. Vaughan DG, Asbury T, Riordan-Eva P. Traktus Uvealis dan Sklera. Dalam : Oftalmologi Umum. Edisi 14. Jakarta: Widya Medika, 2000. 155-160. 2. George R. Non Granulomatous Anterior Uveitis, 2014. http://www.emedicine.com

[diakses tanggal 31 Januari 2019 ] 3. Ilyas S. Uveitis Anterior. Dalam: Ilmu Penyakit Mata. Edisi ketiga. Jakarta: FKUI, 2009.

180-181. 4. Gordon K. Iritis and Uveitis, 2015. http://www.emedicine.com [diakses tanggal 31 Januari 2019] 5. Uveitis anterior akut. Dalam: http://www.uveitissociety.org/pages/diseases/aau.pdf 6. Uveitis anterior kronis Dalam: http://www.uveitissociety.org/pages/diseases/cau.pdf 7. Newell FW. Inflammatory Disorders. In: Ophthalmology. Fifth Edition. London: The CV

Mosby Company, 1982. 258-267. 8. Ratna sitompul, Buku ajar Oftalmologi, Edisi I,. 2017. Badan Penerbit FK UI, Jakarta. 9. Sri rahayu, Ilmu Penyakit Mata edisi V, 2015, Badan Penerbit FK UI, Jakarta. 10. Ratna sitompul, Diagnosis dan Penatalaksanaan Uveitis dalam Upaya Mencegah

Kebutaan, 2016, Departemen Ilmu Kesehatan Mata, FK Universitas Indonesia-RSCM RSUP Nasional dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta. 11. Rosenbaum JT. Uveitis anterior. Diunduh dari : http://www.uptodate.com. 2013 12. Ghozie M. Kornea, Uvea, dan Lensa dalam Hand Book of Ophtalmology. Yogyakarta. 2009.

19

Related Documents

Uveitis
June 2020 8
Uveitis
June 2020 5
Uveitis
November 2019 4
010 Uveitis
April 2020 4
Uveitis Ppt
April 2020 3
Uveitis Anterior.docx
June 2020 2

More Documents from "NiarLatupono"