Usulan Penelitian.docx

  • Uploaded by: Anonymous bYYJdvXhlN
  • 0
  • 0
  • April 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Usulan Penelitian.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 9,925
  • Pages: 48
BAB I PENDAHULUAN

1.1.

LATAR BELAKANG

Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB

(Mycobacterium

Tuberculosis).

Sebagian

besar

kuman

TB

menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya. TB Paru adalah penyakit yang dapat menular melalui udara (airborne disease). Kuman TB menular dari orang ke orang melalui percikan dahak (droplet) ketika penderita TB PARU aktif batuk, bersin, bicara atau tertawa.Kuman TB cepat mati dengan sinar matahari langsung, tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam di tempat yang gelap dan lembab. Dalam jaringan tubuh, kuman ini dapat tertidur lama (domant selama beberapa tahun) KELAYAKAN Sejak tahun 1993, WHO menyatakan bahwa TB merupakan kedaruratan global bagi kemanusiaan. Walaupun strategi DOTS telah terbukti sangat efektif untuk pengendalian TB, tetapi beban penyakit TB di masyarakat masih sangat tinggi. Dengan berbagai kemajuan yang dicapai sejak tahun 2003, diperkirakan masih terdapat sekitar 9,5 juta kasus baru TB, dan sekitar 0,5 juta orang meninggal akibat TB di seluruh dunia (WHO, 2009). Indonesia menempati peringkat keempat di antara Negara-negara TB tertinggi di dunia Estimasi prevalensi semua jenis kasus TB adalah 690.000 dan kejadian ini diperkirakan 450.000 kasus baru per tahun (WHO, 2011). Perkiraan jumlah kematian akibat TB adalah 64.000 kematian per tahun (WHO, 2011). Walaupun telah diperoleh kemajuan dan keberhasilan yang sangat signifikan dalam program pengendalian TB, tetapi besaran masalah yang dihadapi saat ini masih cukup besar. Diperkirakan pada 2012 terdapat 730.000 kasus baru dan pengobatan ulang (di antaranya 460.000 adalah kasus baru) dan masih tingginya angka kematian akibat TB yaitu 67.000 per tahun atau 186 orang/ hari. Prevalensi TB Paru BTA positif di Indonesia pada tahun 2011 adalah

1

289 per 100.000 penduduk, angka insidens semua tipe TB Paru sebesar 189 per 100.000 penduduk, sedangkan angka Mortalitas pada tahun 2011 yaitu 27 per 100.000 penduduk. (Kemenkes RI, 2011). Hasil penelitian mengenai TB di Indonesia menunjukkan 76 % masyarakat tahu tentang TB dan 85 % tahu bahwa TB bisa disembuhkan (LPMAK, 2009). Dari data tersebut menunjukkan bahwa pengetahuan masyarakat di Indonesia relatif tinggi, namun angka kejadian TB masih tinggi, sehingga diperlukan upaya promotif dan kuratif untuk mencegah penularan penyakit TB. Di Sulawesi Selatan sendiri menurut data dari Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan pada tahun 2011, penderita penyakit menular ini mencapai 8.939 kasus dengan peningkatan jumlah penderita sebesar 55 %.Angka ini meningkat signifikan dibanding tahun sebelumnya yang hanya 7.783 kasus. Kabupaten Takalar menduduki peringkat pertama dalam jumlah kasus dengan pertumbuhan penderita TB Paru di atas 109 %, menyusul Pare-pare 79%, Pinrang 75 %, disusul Makassar 70%, Kabupaten Luwu 33 %, Jeneponto 36%. Berdasarkan jumlah penduduk Provinsi Sulawesi Selatan yang berkisar 8 juta jiwa dan dari jumlah penduduk tersebut terdapat sekitar 6.155 jiwa yang suspek tuberkulosis dan di Makassar jumlah penderita tuberkulosis BTA positif mencapai 1.371 kasus (Dinkes Provinsi Sul-Sel, 2011). Angka tersebut meningkat sekitar 188 kasus dari tahun 2010 (data TB pada bulan JanuariSeptember). Berdasarkan data Dinas Kesehatan Kota Makassar (2011), case notifivication rate TB paru mencapai 97 % dan angka penemuan kasus (CDR) mencapai 52%. Padahal target CDR Nasional yaitu ≥70%. PENTING DAN PERLU Pada saat ini pengobatan penderita tuberculosis diberikan dengan pengobatan kombinasi yang terdiri dari INH, rifampicin, ethambutol dan pyrazinamide dengan lama pengobatan 6 bulan. Meskipun waktu pengobatan sudah diperpendek menjadi 6 bulan tetapi pada kenyataannya angka putus berobat masih tinggi. Manajemen tuberkulosis menjadi semakin komplek dengan terjadinya MDR (Multi Drug Resistent) terhadap pengobatan yang ada saat ini. Data MDR di Asia tenggara menunjukkan angka MDR pada penderita dengan

2

BTA positif sebesar 2,2% dan sebesar 14,9% setelah mendapatkan pengobatan. Oleh karena itu perlu dikembangkan terobosan pengobatan yang bisa meningkatkan angka kesembuhan dan mempercepat kesembuhan. KONSEP BIOLOGIS Salah satu pilihan yang perlu dipertimbangkan untuk memecahkan permasalahan pengobatan tuberkulosis adalah pemberian Vitamin D sebagai pengobatan suportif yang menyertai pengobatan standar jangka pendek yang ada pada saat ini. Vitamin D berfungsi sebagai imunomodulator, yaitu terlibat pada aktivasi makrofag. Penelitian invitro yang dilakukan oleh Liu tahun 2006 menunjukkan metabolit aktif vitamin D yaitu 1,25-dihydroxyvitamin D bisa membantu makrofag menekan pertumbuhan Mycobacterium tuberculosis melalui peningkatan kadar cathelicidin intraseluler . Cathelicidin adalah anti mikrobial protein yang sangat poten yang bisa membunuh kuman gram negatif dan positif. Cathelicidin terdapat dalam tubuh manusia dalam bentuk Human LL37 Peptida atau h-CAP18 yang berperan di imunitas innate. Selain pada imunitas innate metabolit aktif vitamin D juga punya peran yang penting pada imunitas adaptif sebagai imunosupresor. Peran vitamin D pada imunitas adaptif adalah menekan INF-y, TNF-α sebagai interlekin inflamasi dan menaikkan IL-4 sebagai interlekin anti inflamsi (8, 9). Peran metabolit aktif vitamin D pada imunitas adaptif sangat diperlukan untuk menekan reaksi inflamasi

berlebihan

sehingga

dapat

meningkatkan

dan

mempercepat

kesembuhan penderita tuberkulosis. NOVEL Penelitian EVALUASI PEMBERIAN SUPLEMENTASI VITAMIN D PADA PENDERITA TUBERKULOSIS ini belum pernah dilakukan di Makassar 1.2.

RUMUSAN MASALAH

Apakah suplementasi vitamin D dapat mempercepat kesembuhan penderita tuberkulosis? 1.3.

TUJUAN PENELITIAN

1.3.1. Tujuan Umum

3

Menilai pengaruh suplementasi vitamin D terhadap percepatan perbaikan gambaran radiologis dan konversi sputum pada penderita tuberkulosis. 1.3.2. Tujuan Khusus 1. Menilai gambaran radiologis penderita tuberkulosis sebelum dan sesudah pemberian suplementasi vitamin D. 2. Membandingkan gambaran radiologis penderita tuberkulosis sebelum dan setelah pemberian suplementasi vitamin D. 3. Membandingkan gambaran radiologis antara penderita tuberkulosis yang mendapat suplementasi vitamin D dengan yang penderita yang tidak mendapat suplementasi vitamin D. 4. Menilai hasil pemeriksaan sputum penderita tuberkulosis sebelum dan sesudah pemberian suplementasi vitamin D 5. Membandingkan hasil pemeriksaan sputum penderita tubekulosis sebelum dan sesudah pemberian suplementasi vitamin D 6. Membandingkan hasil pemeriksaan sputum penderita tubekulosis yang mendapat suplementasi vitamin D dengan penderita yang tidak mendapat suplementasi vitamin D. 1.4.

MANFAAT PENELITIAN 1. Pengembangan teori -

Memberikan

informasi

ilmiah

mengenai

efek

suplementasi vitamin D dalam mempercepat

pemberian

penyembuhan

penyakit Tuberkulosis sebagai bahan pengembangan ilmu kedokteran khususnya di bidang Penyakit Infeksi Tropis -

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai dasar penelitian lebih lanjut terutama dalam bidang patomekanisme & patobiologik

2. Praktis Data penelitian ini dapat digunakan sebagai pegangan untuk pengobatan penyakit tuberkulosis di RS Kabupaten dan Puskesmas. 1.5.

HIPOTESIS Suplementasi vitamin D pada penderita tuberkulosis dapat mempercepat

konversi sputum dan perbaikan gambaran radiologis

dibandingkan

penderita yang tidak mendapat suplementasi vitamin D.

4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. TUBERKULOSIS PARU (1,2,3,4) 2.1.1 PERJALANAN PENYAKIT TUBERKULOSIS Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB

(Mycobacterium

Tuberculosis).

Sebagian

besar

kuman

TB

menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya. Cara penularan : 

Sumber penularan adalah pasien TB BTA positif.



Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk percikan dahak (droplet nuclei). Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak.



Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada dalam

waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah

percikan, sementara sinar matahari langsung dapat membunuh kuman. Percikan dapat bertahan selama beberapa jam dalam keadaan yang gelap dan lembab. 

Daya penularan seorang pasien ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil pemeriksaan dahak, makin menular pasien tersebut.



Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan kuman TB ditentukan oleh konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut.

PATOGENESIS TUBERKULOSIS (2,3,4) Paru merupakan port d’entrée lebih dari 98% kasus infeksi TB. Karena ukurannya yang sangat kecil, kuman TB dalam percik renik (droplet nuclei) yang terhirup, dapat mencapai alveolus. Masuknya kuman TB ini akan segera diatasi oleh mekanisme imunologis non spesifik. Makrofag alveolus akan menfagosit kuman TB dan biasanya sanggup menghancurkan sebagian besar kuman TB. Akan tetapi, pada sebagian kecil kasus, makrofag tidak mampu menghancurkan

5

kuman TB dan kuman akan bereplikasi dalam makrofag. Kuman TB dalam makrofag yang terus berkembang biak, akhirnya akan membentuk koloni di tempat tersebut. Lokasi pertama koloni kuman TB di jaringan paru disebut Fokus Primer GOHN. Dari focus primer, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju kelenjar limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke lokasi focus primer. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran limfe (limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika focus primer terletak di lobus paru bawah atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat adalah kelenjar limfe parahilus, sedangkan jika focus primer terletak di apeks paru, yang akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Kompleks primer merupakan gabungan antara focus primer, kelenjar limfe regional yang membesar (limfadenitis) dan saluran limfe yang meradang (limfangitis). Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya kompleks primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi TB. Hal ini berbeda dengan pengertian masa inkubasi pada proses infeksi lain, yaitu waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman hingga timbulnya gejala penyakit. Masa inkubasi TB biasanya berlangsung dalam waktu 4-8 minggu dengan rentang waktu antara 2-12 minggu. Dalam masa inkubasi tersebut, kuman tumbuh hingga mencapai jumlah 103-104, yaitu jumlah yang cukup untuk merangsang respons imunitas seluler. kuman TB sehingga jaringan tubuh yang awalnya belum tersensitisasi terhadap tuberculin, mengalami perkembangan sensitivitas. Pada saat terbentuknya kompleks primer inilah, infeksi TB primer dinyatakan telah terjadi. Hal tersebut ditandai oleh terbentuknya hipersensitivitas terhadap tuberkuloprotein, yaitu timbulnya respons positif terhadap uji tuberculin. Selama masa inkubasi, uji tuberculin masih negatif. Setelah kompleks primer terbentuk, imunitas seluluer tubuh terhadap TB telah terbentuk. Pada sebagian besar individu dengan system imun yang berfungsi baik, begitu system imun seluler berkembang, proliferasi kuman TB terhenti. Namun, sejumlah kecil kuman TB dapat tetap hidup dalam granuloma. Bila imunitas seluler telah terbentuk, kuman TB baru yang masuk ke dalam alveoli akan segera dimusnahkan. Setelah imunitas seluler terbentuk, focus primer di jaringan paru biasanya mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah mengalami 6

nekrosis perkijuan dan enkapsulasi. Kelenjar limfe regional juga akan mengalami fibrosis dan enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya tidak sesempurna focus primer di jaringan paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan menetap selama bertahun-tahun dalam kelenjar ini. Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi. Komplikasi yang terjadi dapat disebabkan oleh focus paru atau di kelenjar limfe regional. Fokus primer di paru dapat

membesar dan

menyebabkan pneumonitis atau pleuritis fokal. Jika terjadi nekrosis perkijuan yang berat, bagian tengah lesi akan mencair dan keluar melalui bronkus sehingga meninggalkan rongga di jaringan paru (kavitas). Kelenjar limfe hilus atau paratrakea yang mulanya berukuran normal saat awal infeksi, akan membesar karena reaksi inflamasi yang berlanjut. Bronkus dapat terganggu. Obstruksi parsial pada bronkus akibat tekanan eksternal dapat menyebabkan ateletaksis. Kelenjar yang mengalami inflamasi dan nekrosis perkijuan dapat merusak dan menimbulkan erosi dinding bronkus, sehingga menyebabkan TB endobronkial atau membentuk fistula. Massa kiju dapat menimbulkan obstruksi komplit pada bronkus sehingga menyebabkan gabungan pneumonitis dan ateletaksis, yang sering disebut sebagai lesi segmental kolaps-konsolidasi.

Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas seluler, dapat terjadi penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman menyebar ke kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer. Sedangkan pada penyebaran hematogen, kuman TB masuk ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh tubuh. Adanya penyebaran hematogen inilah yang menyebabkan TB disebut sebagai penyakit sistemik.

Penyebaran hamatogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk penyebaran hematogenik tersamar (occult hamatogenic spread). Melalui cara ini, kuman TB menyebar secara sporadic dan sedikit demi sedikit sehingga tidak menimbulkan gejala klinis. Kuman TB kemudian akan mencapai berbagai organ di seluruh tubuh. Organ yang biasanya dituju adalah organ yang mempunyai vaskularisasi baik, misalnya otak, tulang, ginjal, dan paru sendiri, terutama apeks paru atau lobus atas paru. Di berbagai lokasi tersebut, kuman TB akan bereplikasi dan membentuk koloni kuman sebelum terbentuk imunitas seluler yang akan membatasi pertumbuhannya. 7

Di dalam koloni yang sempat terbentuk dan kemudian dibatasi pertumbuhannya oleh imunitas seluler, kuman tetap hidup dalam bentuk dormant. Fokus ini umumnya tidak langsung berlanjut menjadi penyakit, tetapi berpotensi untuk menjadi focus reaktivasi. Fokus potensial di apkes paru disebut sebagai Fokus SIMON. Bertahun-tahun kemudian, bila daya tahan tubuh pejamu menurun, focus TB ini dapat TB tulang, dan lain-lain. Bentuk

penyebaran

hamatogen

yang

lain

adalah

penyebaran

hematogenik generalisata akut (acute generalized hematogenic spread). Pada bentuk ini, sejumlah besar kuman TB masuk dan beredar dalam darah menuju ke seluruh tubuh. Hal ini dapat menyebabkan timbulnya manifestasi klinis penyakit TB secara akut, yang disebut TB diseminata. TB diseminata ini timbul dalam waktu 2-6 bulan setelah terjadi infeksi. Timbulnya penyakit bergantung pada jumlah dan virulensi kuman TB yang beredar serta frekuensi berulangnya penyebaran. Tuberkulosis diseminata terjadi karena tidak adekuatnya system imun pejamu (host) dalam mengatasi infeksi TB, misalnya pada balita. Tuberkulosis milier merupakan hasil dari acute generalized hematogenic spread dengan jumlah kuman yang besar. Semua tuberkel yang dihasilkan melalui cara ini akan mempunyai ukuran yang lebih kurang sama. Istilih milier berasal

dari

gambaran

lesi

diseminata

yang

menyerupai

butur

padi-

padian/jewawut (millet seed). Secara patologi anatomik, lesi ini berupa nodul kuning berukuran 1-3 mm, yang secara histologi merupakan granuloma. Pada anak, 5 tahun pertama setelah infeksi (terutama 1 tahun pertama), biasanya sering terjadi komplikasi. Menurut Wallgren, ada 3 bentuk dasar TB paru pada anak, yaitu penyebaran limfohematogen, TB endobronkial, dan TB paru kronik. Sebanyak 0.5-3% penyebaran limfohematogen akan menjadi TB milier atau meningitis TB, hal ini biasanya terjadi 3-6 bulan setelah infeksi primer.

Tuberkulosis

endobronkial

(lesi

segmental

yang

timbul

akibat

pembesaran kelenjar regional) dapat terjadi dalam waktu yang lebih lama (3-9 bulan). Terjadinya TB paru kronik sangat bervariasi,bergantung pada usia terjadinya infeksi primer. TB paru kronik biasanya terjadi akibat reaktivasi kuman di dalam lesi yang tidak mengalami resolusi sempurna. Reaktivasi ini jarang terjadi pada anak, tetapi sering pada remaja dan dewasa muda. Tuberkulosis ekstrapulmonal dapat terjadi pada 25-30% anak yang terinfeksi TB. TB tulang dan sendi terjadi pada 5-10% anak yang terinfeksi, dan 8

paling banyak terjadi dalam 1 tahun tetapi dapat juga 2-3 tahun kemudian. TB ginjal biasanya terjadi 5-25 tahun setelah infeksi primer.

2.1.2 DIAGNOSIS TUBERKULOSIS (1,2,3,4) Apabila dicurigai seseorang tertular penyakit TBC, maka beberapa hal yang perlu dilakukan untuk menegakkan diagnosis adalah: a) Anamnesa baik terhadap pasien maupun keluarganya. b) Pemeriksaan fisik. c) Pemeriksaan laboratorium (darah, dahak, cairan otak). d) Pemeriksaan patologi anatomi (PA). e) Rontgen dada (thorax photo). f)

Uji tuberkulin.

2.1.2.1. DIAGNOSIS TB PARU (2,3,4) Gejala utama pasien TB paru adalah batuk berdahak selama 2-3 minggu atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak bercampur darah, batuk darah, sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat badan menurun,malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik,demam meriang lebih dari satu bulan. Gejala-gejala tersebut diatas dapat dijumpai pula pada penyakit paru selain TB, seperti bronkiektasis, bronkitis kronis, asma, kanker paru, dan lain-lain. Pemeriksaan dahak berfungsi untuk menegakkan diagnosis, menilai keberhasilan pengobatan dan menentukan potensi penularan. Pemeriksaan dahak untuk penegakan diagnosis pada semua suspek TB dilakukan dengan mengumpulkan 3 spesimen dahak yang dikumpulkan dalam dua hari kunjungan yang berurutan berupa dahak Sewaktu-Pagi-Sewaktu (SPS) :

1) S (sewaktu) : Dahak dikumpulkan pada saat suspek TB datang berkunjung pertama kali. Pada saat pulang, suspek membawa sebuah pot dahak untuk mengumpulkan dahak pagi pada hari kedua. 2) P (Pagi): Dahak dikumpulkan di rumah pada pagi hari kedua, segera setelah bangun tidur. Pot dibawa dan diserahkan sendiri kepada petugas di UPK. 9

3) S (sewaktu): Dahak dikumpulkan di UPK pada hari kedua, saat menyerahkan dahak pagi.

Diagnosis TB Paru pada orang remaja dan dewasa ditegakkan dengan ditemukannya kuman TB (BTA). Pada program TB nasional, penemuan BTA melalui

pemeriksaan

dahak

mikroskopis

merupakan

diagnosis

utama.

Pemeriksaan lain seperti foto toraks, biakan dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan indikasinya. Tidak benarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan pemeriksaan foto toraks saja. Foto toraks tidak selalu memberikan gambaran yang khas pada TB paru, sehingga sering terjadi overdiagnosis. Gambaran kelainan radiologik Paru tidak selalu menunjukkan aktifitas penyakit.

Indikasi Pemeriksaan Foto Toraks Pada sebagian besar TB paru, diagnosis terutama ditegakkan dengan pemeriksaan dahak secara mikroskopis dan tidak memerlukan foto toraks. Namun pada kondisi tertentu pemeriksaan foto toraks perlu dilakukan sesuai dengan indikasi sebagai berikut: 1) Hanya 1 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif. Pada kasus ini pemeriksaan foto toraks dada diperlukan untuk mendukung diagnosis TB paru BTA positif. • Ketiga spesimen dahak hasilnya tetap negatif setelah 3 spesimen dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT(non fluoroquinolon). 2) Pasien tersebut diduga mengalami komplikasi sesak nafas berat yang memerlukan

penanganan

khusus

(seperti:

pneumotorak,

pleuritis

eksudativa, efusi perikarditis 3) atau efusi pleural) dan pasien yang mengalami hemoptisis berat (untuk menyingkirkan bronkiektasis atau aspergiloma). 2.1.2.2. DIAGNOSIS TB EKSTRA PARU (2,4) a) Gejala dan keluhan tergantung organ yang terkena, misalnya kaku kuduk pada Meningitis TB, nyeri dada pada TB pleura (Pleuritis), pembesaran

10

kelenjar limfe superfisialis pada limfadenitis TB dan deformitas tulang belakang (gibbus) pada spondilitis TB dan lain-lainnya. b) Diagnosis pasti sering sulit ditegakkan sedangkan diagnosis kerja dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis TB yang kuat (presumtif) dengan menyingkirkan bergantung

kemungkinan

penyakit

lain.

Ketepatan

diagnosis

pada metode pengambilan bahan pemeriksaan dan

ketersediaan alat-alat diagnostik, misalnya uji mikrobiologi, patologi anatomi, serologi, foto toraks, dan lain-lain.

Uji Tuberkulin Pada anak, uji tuberkulin merupakan pemeriksaan yang paling bermanfaat untuk menunjukkan sedang/pernah terinfeksi Mycobacterium tuberculosis dan sering digunakan dalam “Screening TBC”. Efektifitas dalam menemukan infeksi TBC dengan uji tuberkulin adalah lebih dari 90%. Penderita anak umur kurang dari 1 tahun yang menderita TBC aktif uji tuberkulin positif 100%, umur 1–2 tahun 92%, 2–4 tahun 78%, 4–6 tahun 75%, dan umur 6–12 tahun 51%. Dari persentase tersebut dapat dilihat bahwa semakin besar usia anak maka hasil uji tuberkulin semakin kurang spesifik. Ada beberapa cara melakukan uji tuberkulin, namun sampai sekarang cara mantoux lebih sering digunakan. Lokasi penyuntikan uji mantoux umumnya pada ½ bagian atas lengan bawah kiri bagian depan, disuntikkan intrakutan (ke dalam kulit). Penilaian uji tuberkulin dilakukan 48–72 jam setelah penyuntikan dan diukur diameter dari pembengkakan (indurasi) yang terjadi : 1. Pembengkakan (Indurasi) : 0–4mm, uji mantoux negatif. Arti klinis : tidak ada infeksi Mycobacterium tuberculosis. 2. Pembengkakan (Indurasi) : 5–9mm, uji mantoux meragukan. Hal

ini

bisa

karena

kesalahan

teknik,

reaksi

silang

dengan

Mycobacterium atypikal atau pasca vaksinasi BCG. 3. Pembengkakan (Indurasi) : >= 10mm, uji mantoux positif. Arti klinis : sedang atau pernah terinfeksi Mycobacterium tuberculosis. 2.1.3 KLASIFIKASI TUBERKULOSIS (2,4) A. Klasifikasi berdasarkan ORGAN tubuh yang terkena:

11

1) Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan (parenkim) paru. tidak termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada hilus. 2) Tuberkulosis ekstra paru adalah tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar limfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain. B. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan DAHAK mikroskopis, yaitu pada TB Paru : 1) Tuberkulosis paru BTA positif a) Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif. b) 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada menunjukkan gambaran tuberkulosis. c) 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman TB positif. d) 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT. 2) Tuberkulosis paru BTA negatif Kasus yang tidak memenuhi definisi pada TB paru BTA positif. Kriteria diagnostik TB paru BTA negatif harus meliputi: a) Minimal 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif b) Foto toraks abnormal menunjukkan gambaran tuberkulosis c) Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT. d) Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan C. Klasifikasi berdasarkan tingkat keparahan penyakit. 1) TB paru BTA negatif foto toraks positif dibagi berdasarkan tingkat keparahan penyakitnya, yaitu bentuk berat dan ringan. Bentuk berat bila gambaran foto toraks memperlihatkan gambaran kerusakan paru yang luas (misalnya proses “far advanced”), dan atau keadaan umum pasien buruk. 2) TB

ekstra-paru

dibagi

berdasarkan

pada

tingkat

keparahan

penyakitnya, yaitu: 12

a) TB ekstra paru ringan, misalnya: TB kelenjar limfe, pleuritis eksudativa unilateral, tulang (kecuali tulang belakang), sendi, dan kelenjar adrenal. b) TB

ekstra-paru

berat,

misalnya:

meningitis,

milier,

perikarditis peritonitis, pleuritis eksudativa bilateral, TB tulang belakang, TB usus, TB saluran kemih dan alat kelamin. D. Klasifikasi berdasarkan RIWAYAT pengobatan sebelumnya Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya dibagi menjadi beberapa tipe pasien, yaitu: 1. Kasus Baru adalah pasien yang BELUM PERNAH diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu). 2. Kasus Kambuh (Relaps) adalah pasien TB yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA positif (apusan atau kultur). 3. Kasus Putus Berobat (Default/Drop Out/DO) adalah pasien TB yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA positif. 4. Kasus Gagal (Failure) adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan. 5. Kasus Pindahan (Transfer In) adalah pasien yang dipindahkan dari UPK yang memiliki register TB lain untuk melanjutkan pengobatannya. 6. Kasus lain adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas. Dalam kelompok ini termasuk Kasus Kronik, yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif setelah selesai pengobatan ulangan. 2.1.4 PENATALAKSANAAN (2,8)

Penatalaksanaan TB meliputi penatalaksanaan non farmakologik dan farmakologik.

Penatalaksanaan

antituberkulosis(OAT) berdasarkan

farmakologik kategori

dengan

penderita.

pemberian Jenis

OAT

obat yang

digunakan adalah OAT lini pertama yaitu Isoniazid, Rifampisin, Etambutol, Pirazinamid, dan Streptomisin, serta OAT lini kedua yaitu Asam Paraamino 13

Salisilat, Etionamida, Sikloserin, Kanamisin, Kapreomisin,Amikasin, Viomisin dan Tiasetazon. Obat lainnya yang digunakan adalah golongan Fluorokuinolon, Amoksisilin

dan

Asam

Klavulanat,

Rifamisin,

Rifabutin,

dan

golongan

makrolidum seperti Azitromisin, Klaritromisin, dan Roksitromisin. Rekomendasi WHO 1999 untuk kombinasi dosis tetap, penderita hanya minum obat 3-4 tablet sehari selama fase intensif, sedangkan fase lanjutan dapat menggunakan kombinasi dosis 2 obat

antituberkulosis seperti yang

selama ini telah digunakan sesuai dengan pedoman pengobatan. Pada kasus yang mendapat obat kombinasi dosis tetap tersebut, bila mengalami efek samping

serius

harus

dirujuk

ke

rumah

sakit/fasilitas

yang

mampu

menanganinya. Pemberian imunomodulator/imunostimulansia seperti minyak ikan cod, ekstrak phyllantus niruri,dan vitamin D dilaporkan memberikan penyembuhan TB paru yang lebih baik. 2.2. SISTEM IMUN PADA TUBERKULOSIS (5,6,7,8,9,11) Tubuh manusia mempunyai sistem imun yang bertujuan melindungi tubuh dari serangan benda asing atau serangan bakteri. M. tuberculosis adalah mikroba intraseluler, artinya kuman ini hidupnya didalam sel tubuh. Pada sistem imun seluler yang berperan aktif adalah limphosit T atau sel T. Sel T yang reaktif terhadap M. tuberculosis menghasilkan IFN, TNF, IL2, IL-4, IL-5 dan IL-10 sama dengan sitokin yang dihasilkan oleh sel T. Selain itu supernatan dari Sel T yang dirangsang oleh M. tuberculosis akan meningkatkan agregasi makrofag dan selanjutnya berperan pada pembentukan granuloma. Imunitas seluler terdiri atas dua tipe reaksi yaitu fagositosis (oleh makrofag teraktivasi) dan sel terinfeksi (oleh limfosit T sitolitik). Kuman yang masuk ke alveoli ditelan oleh magrofag dan sering dihancurkan oleh makrofag alveola dan sebagian kuman akan tetap bertahan hidup di phagosom kemudian menuju plasma sel. Penyebab sebagian kuma tidak dapat difagosit karena Mycobacterium sp. dapat memproduksi protein penghambat lisosomal hingga memungkinkan mereka tetap hidup dalam makrofag. Gambar di bawah memperlihatkan adanya bakteri yang tetap hidup di dalam sitoplasma magrofag, sehingga sistem imun yang berperan adalah sistem imun seluler. 14

Secara imunologis, sel makrofag dibedakan menjadi makrofag normal dan makrofag teraktivasi. Makrofag normal berperan pada pembangkitan daya tahan imunologis nonspesifik, dilengkapi dengan kemampuan bakterisidal atau bakteriostatik terbatas. Makrofag ini berperanan pada daya tahan imunologis bawaan

(innate

resistance).

Sedang

makrofag

teraktivasi

mempunyai

kemampuan bakterisidal atau bakteriostatik sangat kuat yang merupakan hasil aktivasi sel T sebagai bagian dari respons imun spesifik (acquired resistance). Sel T adalah mediator utama pertahanan imun melawan M.tuberculosis. Secara imunofenotipik sel T terdiri dari limfosit T helper, disebut juga clusters of differentiation 4 (CD4) karena mempunyai molekul CD4+ pada permukaannya,

15

jumlahnya 65% dari limfosit T darah tepi. Sebagian kecil (35%) lainnya berupa limfosit

T

supresor

atau

sitotoksik,

mempunyai

molekul

CD8+

pada

permukaannya dan sering juga disebut CD8. Sel T helper (CD4) berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi sel T helper 1 (Th1) dan sel T helper 2 (Th2). Sel Th1 membuat dan membebaskan sitokin tipe 1 meliputi IL-2, IL- 12, IFN-γ dan tumor nekrosis faktor alfa (TNF-α). Sel Th2 membuat dan membebaskan sitokin tipe 2 antara lain IL-4, IL-5, IL-6, IL-9, dan IL-10. Sitokin tipe 2 menghambat proliferasi sel Th1, sebaliknya sitokin tipe 1 menghambat produksi dan pembebasan sitokin tipe 2 [9,16,18]. Interaksi antara pejamu dan kuman dalam setiap lesi merupakan kelainan yang berdiri sendiri dan tidak dipengaruhi oleh lesi lainnya. Senjata pejamu dalam interaksi tersebut adalah makrofag teraktivasi dan sel sitotoksik. Makrofag teraktivasi dapat membunuh atau menghambat kuman yang ditelannya. Sel sitotoksik dapat secara langsung maupun tidak langsung membunuh makrofag tidak teraktivasi yang berisi kuman M.tb yang sedang membelah secara aktif dalam sitoplasmanya [20]. Kematian makrofag tidak teraktivasi

menghilangkan

lingkungan intraseluler (tempat yang baik untuk tumbuhnya kuman TB), Di alveolus makrofag merupakan komponen sel fagosit yang paling aktif memfagosit partikel atau mikroorganisme. kemampuan untuk menghancurkan mikroorganisme terjadi karena sel ini mempunyai sejumlah lisozim di dalam sitoplasma. Lisozim ini mengandung enzim hidrolase maupun peroksidase yang merupakan enzim perusak. Selain itu makrofag juga mempunyai reseptor terhadap komplemen. Adanya reseptor-reseptor ini meningkatkan kemampuan sel makrofag untuk menghancurkan kuman M tuberculosis yang merupakan benda asing yang dilapisi oleh antibodi atau komplemen. Selain bertindak sebagai sel fagosit, makrofag juga dapat mengeluarkan beberapa bahan yang berguna untuk menarik dan mengaktifkan neutrofil serta bekerja sama dengan limfosit dalam reaksi inflamasi. Bahan-bahan tersebut antara lain adalah oksigen reaktif dan nitrogen oksida. Kedua gas ini akan menghambat pertumbuhan dan membunuh kuman. Makrofag juga menghasilkan IL-12 yang merupakan umpan balik positif dan makin memperkuat jalur tersebut. Meskipun IL-4 dan IL-10 bisa menghambat fungsi makrofag dan sel NK namun IFN-γ yang banyak terdapat dalam paru pasien TB mampu menekan fungsi sel Th2.

16

Sistem imun seluler berperan utama dalam pertahanan terhadap bakteri intraseluler seperti M. tuberculosis. Sel T lebih berperan pada proses inflamasi kronis, membunuh bakteri secara intrasel, dan juga merupakan antigenpresenting cells (APC) yang menangkap dan memproses antigen. Sel APC lainnya ialah interdigitating dendritic cell [7]. Saat tubuh terinfeksi kuman tuberkulosis, maka pertama-tama leukosit polimorfonukleus (PMN) akan berusaha mengatasi infeksi tersebut. Sel PMN dapat menelan kuman tapi tidak dapat menghancurkan selubung lemak dinding kuman tersebut, sehingga kuman dapat terbawa ke jaringan yang lebih dalam dan mendapat perlindungan dari serangan antibodi yang bekerja ekstraseluler. Hal ini tidak berlangsung lama karena sel PMN akan segera mengalami lisis. Selanjutnya kuman tersebut difagositosis oleh makrofag. Sel makrofag aktif mengalami perubahan metabolisme. Metabolisme oksidatif meningkat sehingga mampu memproduksi zat yang dapat membunuh kuman, zat yang terpenting adalah hidrogen peroksida (H2O2). M.tuberkulosis mempunyai dinding sel lipid tebal yang melindunginya terhadap pengaruh luar yang merusak dan juga mengaktifkan sistim imunitas. M. tuberkulosis yang jumlahnya banyak dalam tubuh menyebabkan penglepasan komponen toksik kuman ke dalam jaringan. Induksi hipersensitif seluler yang kuat dan respon yang meningkat terhadap antigen bakteri yang menimbulkan kerusakan jaringan, sehingga terjadi penyebaran kuman lebih lanjut, akhirnya populasi sel supresor yang jumlahnya banyak akan muncul menimbulkan anergik dan prognosis jelek. Perjalanan dan interaksi imunologis dimulai ketika makrofag bertemu dengan kuman TB, memprosesnya lalu menyajikan antigen kepada limfosit. Dalam keadaan normal, infeksi TB merangsang limfosit T untuk mengaktifkan makrofag sehingga dapat lebih efektif membunuh kuman, dimana makrofag yang telah aktif tersebut melepaskan interleukin-1 untuk merangsang limfosit T sehingga limfosit T kemudian melepaskan interleukin-2 yang selanjutnya merangsang limfosit T lain untuk memperbanyak diri, matang dan memberi respon yang lebih baik terhadap antigen.Sel T yang reaktif terhadap M. tuberculosis akan menghasilkan IFN, TNF, IL-2,IL-4, IL-5 dan IL-10 sama dengan sitokin yang dihasilkan oleh sel T Selain itu supernatan dari sel T yang dirangsang olehM. tuberculosis akan meningkatkan agregasi makrofag dan selanjutnya berperan pada pembentukan granuloma. Makrofag yang teraktivasi menunjukkan peningkatan fungsi fagosit, 17

namun kemampuan untuk membunuh kuman TB baru timbul bila makrofag dirangsang lebih lanjut dengan limfokin. Limfokin adalah sitokin yang diproduksi oleh Sel limphosit Th1 Salah satu limfokin yang berperan ialah IFN-γ.. Interferon merupakan sekelompok sitokin yang berfungsi sebagai kurir (pembawa berita) antar sel. Interferon gama mempunyai reseptor berbeda dan secara fungsional berbeda dengan IFNα dan β selanjutnya disebut IFN tipe II. Meskipun banyak sitokin yang terlibat pada respons terhadap TB, IFN-γ memainkan peran kunci dalam meningkatkan efek limfosit T terhadap makrofag alveolar. Kuman M.tb yang bersifat intraseluler merangsang sel makrofag untuk menghasilkan IL- 12 yang berperan dalam pembentukan sel Th1 baik secara langsung maupun tidak langsung.

Pada penderita Tuberkulosis terjadi depresi dari Th1 yang ditandai dengan rendahnya kadar interferon gama. Kultur sel mononuklear dari darah tepi penderita Tuberkulosis paru didapatkan tingkat proliferasi sel mononuklear menurun, produksi IL-4 dan TGF-β meningkat, sebaliknya produksi interferon gama menurun. Respons imun menuju ke respons Th2 Ini berarti pada penderita Tuberkulosis terjadi penekanan pada respon Th1. Dengan demikian diperlukan ajupan zat zat tertentu yang dapat menjadi stimulan dalam meningkatkan reaksi sel T agar produksi IFN gama ditingkatkan untuk dapat mengaktifkan magrofag dalam melaksanakan tugas fagositnya. Untuk melawan kuman M.tuberculosis.

2.3. VITAMIN D (8,10,12) Vitamin D merupakan vitamin larut lemak yang dapat bertindak sebagai hormon.Vitamin D diproduksi secara endogen dalam kulit dari paparan sinar matahari atau diperoleh dari makanan yang secara alami mengandung vitamin D (misalnya minyak ikan cod, salmon, mackerel, dan tuna), makanan yang diperkaya vitamin D dan suplemen yang mengandung vitamin D (Ontario,2010 ;Nezhad dan Holick,2013). Selama paparan sinar matahari dengan spektrum aktif 290-315 nm atau ultraviolet (UV)-B, 7-dehydrocholesterol (7-DHC) di kulit diubah menjadi previtamin

D3.7-dehydrocholesterol

terdapat

pada

semua

lapisan

kulit 18

manusia.Sekitar 65% dari 7-DHC ditemukan pada epidermis, dan lebih dari 95% previtamin D3 dihasilkan di epidermis.Produksi previtamin D3 di kulit dilakukan secara regular.Hasil produksi sinar matahari diubah menjadi inaktif (tachysterol dan lumisterol) pada saat kontak yang terlalu lama terhadap radiasi UVB, sehingga dapat mencegah intoksikasi vitamin D yang diinduksi oleh sinar matahari.Produksi

vitamin

D3

kulit

dipengaruhi

oleh

pigmentasi

kulit,

penggunaan tabir surya, waktu dalam hari, musim, lintang, ketinggian dan polusi udara (Nezhad dan Holick,2013; Bikle,2012). 2.3.1. METABOLISME VITAMIN D (8,10,12) Vitamin D berasal dari nutrisi alami atau disintesis di kulit dibawah pengaruh sinarUV-B yang merupakan reaksifotokimia murni dan tidak ada enzimyang terlibat(Bouillon et al.,2008; Romagnoliet al.,2013).Reaksi ini memerlukan konsentrasi yang cukup besar7DHCdan UV-B 290-315 nm. 7dehydrocholesterol merupakan hasil akhir sintesisde novokolesterol normal dan biasanya ada dalam konsentrasi rendah,meskipunaktivitas 7DHCreduktase tinggi (Bouillon et al.,2008). Sistem endokrin vitamin D berperan penting pada hemostasis kalsium dan metabolisme tulang, namun penelitian selama dua dekade terakhir telah mengungkapkan beragam fungsi biologis vitamin D meliputi induksi diferensiasi sel, menghambat pertumbuhan sel, modulasiimundan kontrol sistem hormonal lainnya. Vitamin D merupakanprohormon yang metaboliknya dikonversi menjadi metabolit aktif1,25 dihydroxyvitamin D[(1,25(OH)2D]. Hormon vitamin D ini mengaktifkan reseptor selular VDR dan mengubah tingkat transkripsi gen targetyang bertanggung jawab atas respon biologis(Dusso et al.,2005). Sistem endokrin vitamin D berperan penting pada hemostasis kalsium dan metabolisme tulang, namun penelitian selama dua dekade terakhir telah mengungkapkan beragam fungsi biologis vitamin D meliputi induksi diferensiasi sel, menghambat pertumbuhan sel, modulasi imun dan kontrol sistem hormonal lainnya. Vitamin D merupakan prohormon yang metaboliknya dikonversi menjadi metabolit aktif 1,25 dihydroxyvitamin D [(1,25(OH)2D]. Hormon vitamin D ini

19

mengaktifkan reseptor selular VDR dan mengubah tingkat transkripsi gen target yang bertanggung jawab atas respon biologis(Dusso et al.,2005). Pembentukan sistem endokrin vitamin D adalah melalui tahapan berikut ini: 1. fotokonversi 7-dehidrokolesterol menjadi vitamin

D3 di kulit manusia

atau dari asupan diet vitamin D3. 2. Hidroksilasi vitamin

D3 di hepar menjadi 25(OH)D3 sebagai bentuk

utama vitamin D dalam sirkulasi. 3. Konversi

25(OH)D3

menjadi

bentuk

metabolit

dihidroksilasi:

1α,25(OH)2D3 dan 24R,25(OH)2D3 di ginjal. 4. Pemindahan 1α,25(OH)2D3 dan 24R,25(OH)2D3 menuju organ target distal. 5. Pengikatan metabolit dihidroksilasi khususnya 1α,25(OH)2D3 oleh reseptor inti pada organ target. Vitamin D ditemukan sebagai nutrisi penting untuk mencegah ricketsia dan diperlukan untuk penyerapan optimal kalsium dan fosfat. Penelitian selanjutnya menemukan bahwa ricketsia juga bisa dicegah dengan penyinaran sinar UV, yang merangsang pembentukan vitamin D3 oleh kulit. Kemampuan untuk menghasilkan jumlah yang cukup vitamin D3 dengan paparan cahaya matahari yang cukup menunjukkan bahwa vitamin D sebenarnya tidak vitamin. Sekarang diketahui bahwa vitamin D dimetabolisme menjadi hormon steroid 1,25-dihydroxyvitamin D3 [(1,25(OH)2D3] atau calcitriol. Sebelumnya telah dilakukan pengamatan bahwa metabolit vitamin D berinteraksi dengan protein dalam ekstrak intestinal yang menyebabkan identifikasi dari VDR.Vitamin D receptor mengaktivasi faktor transkripsi yang berinteraksi dengan coregulators dan kompleks preinisiasi transkripsional untuk mengubah tingkat target transkripsi gen. Kehadiran VDR pada jaringan yang tidak berpartisipasi pada hemostasis ion mineral menyebabkan penemuan dari sejumlah fungsi lain pada hormon vitamin D. Kemampuan 1,25(OH)2 D3 untuk menghambat pertumbuhan dan merangsang diferensiasi berbagai jenis sel menunjukkan fungsi beragam

20

vitamin D untuk mencegah kanker, modulasi sistem imun dan mengendalikan berbagai sistem endokrin (Dusso et al.,2005). Vitamin D diklasifikasikan sebagai vitamin pada awal abad ke-20 dan pada pertengahan abad ke-20 sebagai prohormon. Terdapat dua bentuk vitamin D yaitu vitamin D3 (cholecalciferol) dan vitamin D2 (ergocalciferol).Vitamin D3 merupakan hasil konversi 7-dehydrocholesterol pada epidermis dan dermis manusia dan vitamin D2 merupakan vitamin yang diproduksi pada jamur dan ragi. Perbedaan kimia antara vitamin D2 dan D3 adalah pada rantai samping.Berbeda dengan vitamin D3, vitamin D2 memiliki ikatan ganda antara karbon 22 dan 23 dan gugus metal pada karbon 24. Vitamin D dapat diperoleh dari makanan dan aksi sinar matahari pada kulit.Paparan sinar matahari ke kulit menginduksi konversi photolitik 7-dehydrocholesterol menjadi previtamin D3 diikuti isomerisasi termal menjadi vitamin D3 (Dusso et al.,2005; Chung et al.,2009). Setelah terbentuk,vitamin D3 dikeluarkan dari membran plasma keratinosit dan ditarik ke dalam kapiler dermis oleh DBP. Vitamin D kemudian dilepaskan ke sistim limfatik dan memasuki darah vena, yang diikat oleh DBP dan lipoprotein kemudian diangkut menuju hepar (Nezhadet al.,2013). Langkah pertama pada aktivasi metabolik vitamin D (D3,D2 dan metabolit lainnya) adalah hidroksilasi karbon 25, yang terjadi primer pada hepar. Beberapa sitokrom p-450 hepar telah menunjukkan mengandung25-hydroxylasevitamin D. Kadar 25(OH)D meningkat secara proporsional dengan asupan vitamin D, dan dengan alasan ini kadar plasma 25(OH)D biasanya digunakan sebagai indikator status vitamin D (Dusso et al.,2005). Langkah kedua adalah bioaktivasi vitamin D. Terjadi pembentukan 1,25dihydroxyvitamin D [1,25-(OH)2D] dari 25-hydroxyvitamin D, terjadi dalam kondisi fisiologis, terutama pada ginjal, namun beberapa kondisi dapat mempengaruhi kadar dalam sirkulasi seperti kehamilan, gagal ginjal kronis, sarkoidosis, tuberkulosis, granulomatus dan rheumatoid arthritis. Produksi 1,25 (OH)2D ekstrarenal terutama berfungsi sebagai faktor autokrin atau parakrin dengan fungsi sel spesifik. Regulasi 1α-hydroxylase ekstrarenal sangat berbeda dari enzim ginjal, sesuai dengan fungsi autokrin atau parakrin yang secara lokal

21

memproduksi 1,25(OH)2D3. Sampai saat ini, 1α-hydroxylasediketahui terdapat pada beberapa sel dan jaringan yaitu prostat, panyudara, kolon, paru, sel β pankreas, monosit dan sel paratiroid.Rata-rata 1,25(OH)2D3 mengalami sintesis dan degadrasi dibawah kontrol faktor lokal seperti sitokin dan faktor pertumbuhan yang mengoptimalkan kadar 1,25(OH)2D3 untuk fungsi sel spesifik ini melalui mekanisme yang masih belum sepenuhnya dipahami (Dusso et al.,2005).

2.2.2 TRANSPORT VITAMIN D (8,10,12) Metabolit vitamin D adalah molekul lipofilik dengan kelarutan air rendah yang harus

ditransportasikan

dalam

sirkulasi

dan

terikat

dengan

protein

plasma.Terpenting dari protein pembawa ini adalah DBP, yang mengikat metabolit dengan afinitas tinggi. Kadar plasma DBP dua puluh kali lebih tinggi dari jumlah total metabolit vitamin D, dan 99% dari senyawa vitamin D yang beredar adalah protein terikat, sebagian besar ke DBP, meskipun albumin dan lipoprotein berkontribusi dengan jumlah yang lebih sedikit. Hal ini berdampak besar pada farmakokinetiknya.Vitamin D binding protein yang mengikat metabolit vitamin D memiliki akses terbatas pada target sel dan oleh karena itu kurang rentan terhadap metabolisme hati dan ekskresi bilier selanjutnya sehingga memiliki waktu paruh yang panjang.Bukti awal menunjukkan bahwa hanya sebagian kecil dari metabolit yang tidak terikat secara pasif memasuki sel target untuk metabolisme selanjutnya atau melakukan aktivitas biologis. Untuk senyawa vitamin D aktif [yaitu, 1,25 (OH)2D3 dan analognya], aktivitas biologis berkorelasi

dengan

konsentrasi

free

hormone.

Jadi

DBP

merupakan

penyeimbang kadar senyawa vitamin D aktif, menjaga terhadap intoksikasi vitamin D. Tingkat DBP tidak diatur oleh vitamin D, namun berkurang pada penyakit liver, sindrom nefrotik, dan malnutrisi. Tingkat DBP meningkat selama kondisi kehamilan dan terapi estrogen. Konsentrasi 1,25 (OH)2D3 bebas tetap konstan ketika kadar DBP berubah, yang merupakan contoh dari tight selfregulation metabolisme vitamin D (Dusso et al.,2005; Kochupillai,2008).

22

Saat ini diketahui bahwa 25(OH)D tidak berdifusi ke dalam sel tubulus proksimal yang mengandung 1α hidroxylase. Pada percobaan dengan tikus yang tidak memiliki reseptor megalin endositik yang tiba-tiba ditemukan, terjadi kekurangan vitamin D dan ricketsia karena hilangnya DBP dan metabolit vitamin D yang terikat dalam urin. Dengan demikian, masuknya 25(OH)D ke dalam sel tubulus proksimal tidak dengan cara difusi di permukaan basolateral tetapi dengan penyerapan reseptor yang dimediasi oleh DBP. Megalin merupakan bagian dari kompleks protein yang menfasilitasi endositosis.Receptor associated protein (RAP) juga penting pada ekskresi DBP, seperti halnyacubilin, sebuah protein yang diperlukan untuk menghilangkan DBP pada permukaan sel sebelum internalisasi oleh megalin.Setelah masuk sel, DBP terdegradasi oleh legumain, kemudian melepaskan 25(OH)D untuk dimetabolisme oleh 1α hidroxylase atau 24 hidroxylase (Dusso et al.,2005).

2.3.3 FUNGSI VITAMIN D (10,12,13) Vitamin D memiliki kedua fungsi genomik dan nongenomik. Untuk fungsi genomik 1,25(OH)2D berinteraksi dengan VDR nuklear dan mempengaruhi transkripsi gen. Reseptor nuklear 1,25 (OH)2D telah diidentifikasi pada lebih dari 30 sel termasuk tulang, intestinal, ginjal, paru-paru, otot dan kulit. Untuk fungsi nongenomik 1,25 (OH)2D bertindak seperti hormon steroid, bekerja melalui aktivasi jalur transduksi sinyal terkait dengan VDR pada membran sel.Lokasi utama aksi ini yaitu intestinal, tulang, paratiroid, hati dan sel beta pankreas. Fungsi biologis meliputi peningkatan penyerapan kalsium intestinal, transcellular calcium flux dan membuka calcium channel sehingga memungkinkan serapan kalsium ke dalam sel seperti osteoblast dan otot skeletal (Dusso et al.,2005; Chung et al.,2009). Salah satu fungsi biologis utama vitamin D adalah untuk mempertahankan homeostasis kalsium yang berdampak pada proses metabolisme selular dan fungsi neuromuskular. Vitamin D mempengaruhi penyerapan kalsium intestinal dengan meningkatkan ekspresi epitel protein calcium channel yang pada gilirannya meningkatkan pengangkutan kalsium melalui sitosol dan melintasi

23

membran basolateral enterocyte. Vitamin D juga memfasilitasi penyerapan fosfat intestinal. 1,25(OH)2D secara tidak langsung mempengaruhi mineralisasi tulang dengan mempertahankan kalsium plasma dan konsentrasi fosfor, kalsium dan fosfor ekstraseluler pada kisaran supersaturasi yang diperlukan untuk mineralisasi.

1,25(OH)2D

pada

hormon

paratiroid

juga

menyebabkan

demineralisasi tulang ketika konsentrasi kalsium turun untuk menjaga agar konsentrasi plasma tidak meningkat. Selain mempengaruhi intestinal dan tulang, vitamin D juga mempengaruhi berbagai sel dan jaringan lainnya. Selain itu 1,25(OH)2D juga memiliki efek biologis yang beragam seperti menghambat sekresi hormon paratiroid dan merangsang sekresi insulin, menghambat imunitas adaptif dan merangsang imunitas alamiah, menghambat proliferasi dan merangsang diferensiasi sel (Dusso et al.,2005; Chung et al.,2009).

2.3.4. DEFISIENSI VITAMIN D , POLIMORFISME VDR, DAN KEKERAPAN INFEKSI (12,13)

Defisiensi vitamin D berhubungan dengan insiden infeksi yang tinggi, di mana hal ini menunjukkan bahwa defisiensi meningkatkan kemungkinan kejadian infeksi. Bukti terkuat adalah infeksi kronik mikobakteria. Kadar 25OHase yang rendah berhubungan dengan peningkatan kemungkinan infeksi terhadap M TB dan M leprae.

Hal di atas berhubungan dengan lokus

plimorfisme VDR dan jenis respon imun anti mikobakterial yang terjadi. Respon sel Th1 melindungi terhadap infeksi mikobakteria. Alela

VDRt

yang kurang aktif berhubungan dengan respon Th1 terhadap

antigen tuberkulin pada penduduk di India. Alela ini mempunyai hubungan dengan rendahnya resio terhadap infeksi kronik

M TB dan Hepatitis B di

Gambia. Alela VDRf yang kurang aktif juga mempunyai resiko rendah terhadap infeksi kronik Mikobakterium malmoense pada penduduk di Inggris. Hal yang penting adalah bahwa hubungan antara genotip VDR dengan TB dan Hepatitis B serta infeksi M leprae banyak terjadi pada subjek dengan kadar 25-(OH)D3 serum yang rendah dibandingkan subjek dengan kadar yang normal. Pada kondisi ini resiko faktor genetik, fenotip VDR, bergabung dengan faktor resiko lingkungan, 24

kurangnya sinar matahari, yang menyebabkan kemungkinan timbulnya fenotip terhadap infeksi. Vitamin D tidak mempunyai efek anti mikobakterial secara langsung. Efeknya adalah melalui modulasi respon imun pejamu dengan menginduksi sekresi IL10.

2.3.5. DOSIS DAN EFEK SAMPING (12,13)

Dosis harian yang direkomendasikan oleh The United states Dietary Reference Intake dengan batas atas yang masih dapat ditoleransi pada pria berusia 25 tahun adalah 50 mikrogram/hari, dosis ini setara dengan 2000 IU/hari. Dosis yang dianjurkan untuk rumatan pada usia 50 tahun adalah 200 IU/hari ( 5 mikrogram). Efek samping yang paling sering adalah hiperkalsemia. Meskipun demikian banyak penelitian yang menunjukkan bahwa penggunaan vitamin D dalam dosis besar dalam jangka lama tidak memperlihatkan bukti adanya efek samping tersebut.

2.3.6. PENGGUNAAN VITAMIN D PADA PENGOBATAN TB PARU (7,8,9,10,13)

Telah banyak diketahui mengenai efektifitas penambahan vitamin D terhadap pengobatan TB paru. Selvaraj et al. di India tahun 2003 mendapatkan bahwa vitamin D3 secara signifikan memperkuat potensi fagositosis makrofag. Martineau et al di London tahun 2005 memberikan vitamin D 2,5 mg dosis tunggal perhari selama 8 minggu. Pada kelompok yang mendapatkan vitamin D setelah enam minggu didapatkan bahwa imunitas terhadap mikobakterium lebih kuat 20% dibanding kelompok plasebo, dan jumlah mikobakteriumnya 49% lebih rendah dibanding kelompok plasebo. Martineau mengusulkan untuk memakai vitamin D sebagai terapi tambahan pada TB paru. DiSamara, Rusia Martineau et al pada tahun 2005 juga mendapatkan bahwa kejadian defisiensi vitamin D lebih banyak terjadi pada kelompok penderita TB dibandingkan kelompok yang tidak mengalami defisiensi vitamin D. Ustianowski et al (London, 2004) mendapatkan

25

bahwa kejadian TB berhubungan dengan defisiensi vitamin D yang berhubungan dengan

kurangnya

pajanan

sinar

matahari

dan

pola

diet

pada

kelompok vegetarian. Wilkinson et al ( London, 2000) mendapatkan bahwa defisiensi vitamin D dan polimorfisme gen VDR pada kelompok Asia Gujarat berhubungan dengan resikotinggi terinfeksi Mikobakterium. Amin et al (Jakarta, 2006) menyatakan bahwa kelompok penderita TB paru yang mendapat tambahan vitamin D menunjukkan perbaikan gejala klinis dan konversi bakteri sputum, serta perbaikan gambaran lesi radiologis yang lebih baik dibandingkan kelompok plasebo. Penelitian-penelitian di atas juga menunjukkan bahwa dosis besar vitamin D3 tidak menyebabkan efek samping yang nyata.

26

BAB III KERANGKA PENELITIAN

III.1. KERANGKA TEORI

Terinfeksi M. Tuberculosis

M.Tuberculosis berkembang biak intraseluler

Cell Mediated Immunity

Respon imun seluler tubuh

fagositosis (oleh makrofag teraktivasi)

Delayed hipersensitivity

Aktifasi Sel T

T helper 1

T helper 2

Agregasi makrofag

Vitamin D Terbentuk granuloma sebagai Respon inflamasi granulomatosa dan nekrosis perkejuan

membatasi replikasi dan penyebaran M.Tuberculosis

Penyembuhan dengan lesi yang dorman

IL-1, IL-12, IFN Gamma, TNF Alfa

IL-4, IL-5, IL-6, IL-9, IL-10

peningkatan kadar cathelicidin intraseluler

Membunuh mikobakterium

27

KETERANGAN : 1. Tuberkulosis ditularkan melalui inhalasi droplet dari orang yang terinfeksi saat batuk, bersin, atau berbicara. Droplet akan mencapai alveoli dimana bakteri akan dimakan oleh makrofag alveolar, dimana kejadian ini adalah satu serial interaksi antara pejamu dan pathogen 2. Mikobakteria adalah patogen intraselular yang dapat bertahan hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dimana respons imun proteksi utama terhadap kuman intraseluler adalah cell mediated immunity (CMI) atau imunitas seluler. 3. Imunitas seluler terdiri atas

dua tipe reaksi yaitu fagositosis (oleh

makrofag teraktivasi) dan sel terinfeksi (oleh limfosit T sitolitik) dimana makrofag dan limfosit T sangat berperan penting dalam respon imun terhadap tuberkulosis. 4. Sel T helper (CD4) berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi sel T helper 1 (Th1) dan sel T helper 2 (Th2). Sel Th1 membuat dan membebaskan sitokin tipe 1 meliputi IL-2, IL-12, IFN-γ dan tumor nekrosis faktor alfa (TNF-α). Sel Th2 membuat dan membebaskan sitokin tipe 2 antara lain IL-4, IL-5, IL-6, IL-9, dan IL-10. Pada penderita TB dibandingkan penderita reaktif tuberkulin terjadi penurunan aktivitas sintesis IFN-γ dan IL-12 dari subset Th1 dan tidak terlihat adanya perubahan sekresi IL-4, IL-10, dan IL-13 dari subset Th2. Proteksi terhadap infeksi TB dilakukan sel T melalui sitokin yang diproduksi terutama adalah IFN-γ untuk mengaktivasi makrofag yang terinfeksi M TB 5. Makrofag teraktifasi dapat membunuh atau menghambat kuman yang ditelannya.

Kematian

makrofag

tidak

teraktifasi

akan

akan

menghilangkan lingkungan intraseluler (tempat yang baik untuk tumbuh), diganti dengan lingkungan ekstraseluler berupa jaringan perkijuan padat (nekrotik)

yang

akan

menghambat

pertumbuhan

kuman

melalui

mekanisme respons Delayed type hipersensitifity (DTH) 6. Vitamin D tidak mempunyai efek anti mikobakterial secara langsung. 7. Metabolit aktif vitamin D punya peran penting pada imunitas adaptif sebagai imunosupresor yakni menekan INF gamma dan TNF alfa sebagai interlekin inflamasi dan menaikkan IL-4 sebagai interlekin anti inflamasi 28

8. Vitamin D sebagai imunomodulator terlibat dalam aktifasi makrofag yakni membantu makrofag menekan pertumbuhan M.Tuberculosis melalui peningkatan kadar protein cathelicidin intraseluler. 9. Jadi peran metabolit

aktif vitamin D pada imunitas adaptif sangat

diperlukan untuk menekan reaksi inflamasi berlebihan sehingga dapat meningkatkan dan mempercepat kesembuhan penderita tuberkulosis.

29

III.2. KERANGKA KONSEP

Bagan ini menunjukkan hubungan variabel-variabel antara Suplementasi Vitamin D dan Perbaikan foto thoraks dan konversi sputum pada penderita Tuberkulosis

Suplementasi Vitamin D

Patomekanisme vitamin D terhadap sistem imun penderita TB

Perbaikan foto thoraks

Konversi sputum

IMT (Indeks massa tubuh)

Umur

Jenis kelamin

KETERANGAN :

Variabel Bebas

Hubungan Variabel Tergantung

Variabel Tergantung

Hubungan Variabel Kendali

Variabel Antara

Hubungan Variabel Random

Variabel Kendali

Variabel yang diteliti

Variabel Random

Variabel yang tidak diteliti

Hubungan Variabel Bebas

30

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN

IV.1. Desain Penelitian Desain penelitian ini merupakan penelitian uji klinis dengan pendekatan eksperimental pre test and post test control group double blind design.

IV.2. Tempat dan Waktu Penelitian Tempat penelitian : Instalasi

Infection Center RSUP Dr. Wahidin

Sudirohusodo Makassar Waktu penelitian : Mulai bulan Januari 2016 sampai jumlah sampel terpenuhi.

IV.3. Populasi Penelitian Populasi penelitian adalah semua penderita tuberkulosis yang datang di ruang rawat jalan dan ruang rawat inap Infection Center

RSUP Dr. Wahidin

Sudirohusodo Makassar.

IV.4. Sampel dan Cara Pengambilan Sampel Sampel penelitian adalah seluruh populasi terjangkau yang memenuhi kriteria penelitian. Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan metode consecutive sampling sampai besar sampel terpenuhi.

IV.5. Perkiraan Besar Sampel Perkiraan besar sampel (n) dihitung dengan menggunakan rumus :

𝑛=

(𝑍∝ √2𝑃𝑄+ 𝑍𝛽 √𝑃1 𝑄1 +𝑃2 𝑄2 )2 (𝑃1 𝑄1 )2

Catatan : P = 1⁄2 (P1Q1)

Keterangan : N

= besar sampel



= derivate baku alfa = 1,96

31



= derivate baku beta = 0,84

P1

= proporsi perbaikan tanpa vitamin D (dari pustaka) = 36%

P2

= proporsi perbaikan dengan suplemen vitamin D (dari pustaka) = 67%

Q

= (1-P)

Q1

= (1 - P1) = 0,64

Q2

= (1 - P2) = 0,33

𝑛=

(1,96 √2𝑥0,115𝑥0,769+ 0,84√0,36𝑥0,64+0,67𝑥0,33)2 (0,36𝑥0,64)2

n = 36,2

dibulatkan menjadi 36 sampel

Dengan demikian besar sampel minimal pada penelitian ini adalah

IV.6. Kriteria Inklusi dan Eksklusi IV.6.1. Kriteria Inklusi a. Berumur 15 sampai 50 tahun b. Penderita TB dengan BTA positif, c. Menjalani pengobatan TB kategori I d. Indeks massa tubuh (IMT) 17-25 kg/m2 e. Bersedia

mengikuti

prosedur

penelitian

dengan

mengisi

dan

menandatangani informed consent. IV.6.2. Kriteria Eksklusi a.

Penderita yang terdapat defisiensi kekebalan misalnya HIV

b.

Penderita yang terdapat penyakit penyerta misalnya Diabetes mellitus, transplantasi organ, keganasan, pengobatan dengan steroid, hamil dan menyusui

c.

Penderita TB ekstra paru

d.

Gangguan fungsi ginjal

e.

Penderita yang alergi vitamin D.

IV.7. Ijin Penelitian dan Ethical Clearance

32

Permintaan izin penelitian dan Ethical Clearance kepada Komite Etik Penelitian Kesehatan

Biomedik

pada

manusia

Fakultas

Kedokteran

Universitas

Hasanuddin Makassar serta permintaan persetujuan (informed consent) individu/keluarga/wali yang bersangkutan untuk dijadikan sampel penelitian setelah subjek penelitian diberi penjelasan tentang maksud, tujuan dan kegunaan penelitian. IV.8. Cara Kerja IV.8.1. Alokasi Subyek Semua pasien yang memenuhi syarat dicatat data identitas lengkapnya. Hasil randomisasi subyek dibagi menjadi 2 kelompok: 1) Kelompok perlakuan yaitu kelompok pasien yang mendapatkan pengobatan tuberkulostatik standar ditambah suplementasi vitamin D selama 8 minggu 2) Kelompok kontrol yaitu kelompok pasien yang pengobatan

tuberkulostatik

standar

ditambah

mendapatkan placebo

(tanpa

suplementasi vitamin D) selama 8 minggu. Kedua kelompok menjalani pemeriksaan radiologi foto thoraks dan pemeriksaan BTA sebelum pengobatan tuberkulostatik standard dan suplementasi vitamin D dan placebo kemudian dilakukan lagi pemeriksaan radiologi foto thoraks dan pemeriksaan

BTA

setelah

pengobatan

tuberkulostatik

standard

dan

suplementasi vitamin D dan placebo selama 8 minggu. IV.8.2. Cara Penelitian IV.8.2.1. Pencatatan 1) Melakukan pendataan identitas penderita yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi dan memberikan penjelasan lengkap kepada mereka / keluarga / wali dan bila setuju mereka / keluarga /wali akan mengisi dan menandatangani informed consent. 2) Melakukan pencatatan hasil pemeriksaan radiologi foto thoraks dan pemeriksaan BTA pada kedua kelompok.

33

IV.8.2.2. Pengukuran Pada penilaian IMT dilakukan pengukuran tinggi badan dan berat badan.

IV.8.2.3. Prosedur IV.8.2.3.1. Alat dan Bahan :

1. Kuesioner penyaringan (Skrining) 2. Lembar registrasi pasien dan lembar informed consent 3. Tablet suplementasi vitamin D 200 IU 4. Mengukur berat badan dengan timbangan injak digital merek Seca dengan ketelitian 0,1 kg. 5. Mengukur tinggi badan dengan alat Microtoise dengan ketelitian 0,1 cm. 6. Formulir untuk memantau kepatuhan suplementasi

IV.8.2.3.2. Cara Kerja : 1. Setiap pasien yang datang ke Instalasi Infection Center untuk menjalani pengobatan yang memenuhi kriteria penelitian akan dicatat dan diminta persetujuannya/keluarga/wali (informed consent) untuk ikut dalam penelitian. 2. Semua sampel yang memenuhi syarat dicatat : umur, jenis kelamin, data antropometrik (berat badan, tinggi badan, IMT), data radiologi foto thoraks dan data laboratorium sputum BTA 3. Subyek penelitian dibagi menjadi 2 kelompok secara random : a) Kelompok perlakuan yaitu kelompok pasien yang mendapatkan pengobatan

tuberkulostatik

standar

ditambah

suplementasi

vitamin D selama 8 minggu b) Kelompok kontrol yaitu kelompok pasien yang

mendapatkan

pengobatan tuberkulostatik standar ditambah placebo( tanpa suplementasi vitamin D) selama 8 minggu 4. Dilakukan pengukuran antropometri Indeks Massa Tubuh (IMT) yang didapatkan dari pengukuran : 1) Berat badan

34

Alat yang digunakan adalah Bioelectrical Impedance Analysis (BIA) merk TANITA BC-541 yang sudah distandarisasi dengan kapasitas 150 kg, tingkat ketelitian 100 gram dan satuannya kilogram (kg). Cara pengukuran berat badan: a. Skala awal timbangan dipastikan berada pada skala 0 (nol) b. Sepatu / sandal dilepaskan. c. Subjek berdiri tegak sikap sempurna. d. Angka pada skala timbangan menunjukkan berat badan subjek. e. Pengukuran dilakukan sebanyak dua kali untuk memperoleh hasil yang akurat 2) Tinggi badan Alat

yang

digunakan

adalah

mikrotoise,

yang

sudah

distandarisasi dengan kapasitas maksimum 200 cm, tingkat ketelitian 0,1 cm dan satuannya sentimeter (cm). Cara pengukuran tinggi badan : a. Paku mikrotoise ditempelkan pada dinding lurus datar setinggi 2 meter. Angka 0 (nol) pada lantai yang datar rata. b. Sepatu atau sandal dilepaskan. c. Subjek d. berdiri tegak sikap sempurna, kaki lurus, tumit, pantat, punggung, dan kepala belakang harus menempel pada dinding dan muka menghadap lurus dengan pandangan ke depan. e. Mikrotoa diturunkan sampai rapat pada kepala bagian atas, siku-siku harus luru menempel pada dinding. f.

Angka pada skala yang nampak pada lubang dalam gulungan mikrotoa menunjukkan tinggi badan subjek.

Kemudian dilakukan perhitungan IMT berdasarkan berat badan dibagi dengan tinggi badan kuadrat (kg/m2).

35

5. Pada kelompok perlakuan diberikan suplemen vitamin D dengan dengan dosis 200 IU selama 8 minggu dan pada kelompok kontrol diberikan placebo selama 8 minggu. 6. Pada

keluarga/wali

pasien

diberikan

Formulir

untuk

memantau

kepatuhan pasien minum suplemen vitamin D dan placebo dan data kepatuhan minum suplementasi dan placebo dikumpulkan setiap minggu oleh peneliti. 7. Dikatakan patuh jika sampel minum suplemen vitamin D lebih dari 80% dan dikatakan tidak patuh jika kurang dari 80%. 8. Di akhir bulan pertama dan akhir bulan kedua pemberian suplemen vitamin D dilakukan pemeriksaan radiologi foto thoraks dan pemeriksaan sputum BTA 9. Pemeriksaan radiologi foto thoraks dilakukan di Instalasi radiologi RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar dan pemeriksaan sputum BTA dilakukan di laboratorium Patologi Klinik RSUP Dr.Wahidin Sudirohusodo Makassar. 10. Hasil pemeriksaan radiologi foto thoraks dan pemeriksaan sputum BTA pada kelompok perlakuan dibandingkan dengan hasil pemeriksaan pada kelompok kontrol. 11. Berdasarkan hasil perbandingan penilaian hasil pemeriksaan tersebut dilakukan penilaian analisis statistik apakah vitamin D berpengaruh terhadap

hasil

pemeriksaan

radiologis

foto

thoraks

dan

hasil

pemeriksaan sputum BTA

36

8.2.3.3. Skema Alur Penelitian

Penderita Tuberklosis

Pemeriksaan awal Radiologi foto thoraks dan Sputum BTA

Memenuhi kriteria inklusi dan ekslusi

Pemberian suplemen vitamin D pada keompok perlakuan

Pemeriksaan bulan pertama Radiologi foto thoraks dan sputum BTA

Informed consent

Pemberian placebo pada kelompok kontrol

Pemeriksaan bulan kedua Radiologi foto thoraks dan sputum BTA

Pengumpulan data

Analisis data

Hasil

37

IV.9. Identifikasi dan Klasifikasi Variabel IV.9.1.. IDENTIFIKASI VARIABEL : 1. Jenis Kelamin 2. Umur 3. IMT 4. Suplementasi vitamin D 5. Perbaikan Foto thoraks 6. Konversi Sputum

IV.9.2. KLASIFIKASI VARIABEL : a) Berdasarkan Jenis Data dan Skala Pengukuran 1. Jenis Kelamin merupakan variabel kategorikal 2. Umur merupakan variable numerik 3. IMT (Indeks Massa Tubuh) merupakan variable numerik 4. Suplementasi Vitamin D merupakan variable kategorikal 5. Perbaikan Foto thoraks merupakan variable kategorikal 6. Koversi sputum merupakan variable kategorikal b) Berdasarkan Peran atau Fungsi Kedudukannya : 1. Variabel bebas adalah Suplementasi Vitamin D 2. Variabel tergantung adalah Perbaikan Foto thoraks dan Konversi sputum 3. Variabel Kendali adalah IMT 4. Variabel Antara adalah patofisiologi vitamin D terhadap sistem imun pada penderita TB 5. Variabel Random adalah umur dan jenis kelamin IV.10. . DEFINISI OPERASIONAL DAN KRITERIA OBYEKTIF 1. Jenis Kelamin

38

Jenis kelamin adalah laki-laki atau perempuan yang ditentukan berdasarkan dengan pemeriksaan fisik. 2. Umur Umur adalah usia kronologis yang dihitung berdasarkan pengurangan tanggal, bulan dan tahun saat diambil sebagai sampel dengan tanggal,bulan dan tahun kelahiran yang dinyatakan dalam tahun dan atau bulan.Skala : Rasio 3. IMT (Indeks Massa Tubuh) IMT (Indeks Massa Tubuh (IMT) dalam penelitian ini adalah perbandingan berat badan dan tinggi badan kuadrat yang merupakan indikator status gizi subjek penelitian yang dinyatakan dengan rumus sebagai berikut : Berat Badan (Kg) IMT =

--------------------Tinggi Badan (m)2

Pengukuran

dilakukan

secara

langsung

oleh

peneliti

Cara pengukuran tinggi badan : a. Paku mikrotoa ditempelkan pada dinding lurus datar setinggi 2 meter. Angka 0 (nol) pada lantai yang datar rata. b. Sepatu atau sandal dilepaskan. c. Subjek berdiri tegak sikap sempurna, kaki lurus, tumit, pantat, punggung, dan kepala belakang harus menempel pada dinding dan muka menghadap lurus dengan pandangan ke depan. d. Mikrotoa diturunkan sampai rapat pada kepala bagian atas, siku-siku harus luru menempel pada dinding. e. Angka pada skala yang nampak pada lubang dalam gulungan mikrotoa menunjukkan tinggi badan subjek. Cara pengukuran berat badan : a. Skala awal timbangan dipastikan berada pada skala 0 (nol)

39

b. Sepatu / sandal dilepaskan. c. Subjek berdiri tegak sikap sempurna. d. Angka pada skala timbangan menunjukkan berat badan subjek. Skala : Rasio 4. Suplementasi vitamin D Suplementasi Vitamin D adalah suplementasi dalam bentuk tablet yang mengandung 200 IU vitamin D yang diberikan 1 kali sehari selama 8 minggu dengan kriteria diberikan dan tidak diberikan Skala : Nominal 5. Perbaikan foto thoraks Perbaikan foto thoraks adalah perubahan gambaran foto thoraks sebelum suplementasi vitamin D dan setelah suplementasi vitamin D yang bisa berupa gambaran far advance menjadi moderately advance atau moderately advance menjadi menjadi minimal lesion atau minimal lesion menjadi normal. Minimal lesion adalah terdapat sebagian kecil infiltrate non kavitas pada satu paru mauun kedua paru tetapi jumlahnya tidak melebihi satu lobus paru. Moderately advanced adalah terdapat kavitas dengan diameter tidak lebih dari 4 cm jumlah infiltrate bayangan kasar tidak lebih dari sepertiga bagian satu paru. Far advanced adalah terdapat infiltrate dan kavitas yang melebihi keadaan pada moderately advanced. Skala : Ordinal 6. Koversi sputum Konversi sputum adalah dahak penderita TB paru yang diperiksa 3 kali yakni sewaktu, pagi dan sewaktu menunjukkan hasil dari BTA positif sebelum suplementasi vtamin D menjadi BTA negative setelah pemberian suplementasi Vitamin D Skala : Nominal

40

IV.11. Pengolahan dan Analisis Data Data yang terkumpul dikelompokkan berdasarkan tujuan dan jenis data, kemudian diolah dengan menggunakan SPSS Window Version 17, kemudian dianalisis dengan menggunakan metode statistik komparatif yang sesuai. Hasil yang diperoleh akan disajikan dalam bentuk narasi yang dilengkapi dengan tabel dan grafik.

41

DAFTAR PUSTAKA 1. E Wahyuningsih http://eprints.undip.ac.id/44615/3/2.pdf. 2010.

2014,. TB Paru, Diakses tanggal 20 Desember

2. Retno Asti Werdhan. Patofisiologi, Diagnosis, Dan Klafisikasi Tuberkulosis,. http://staff.ui.ac.id/system/files/users/retno.asti/material/patodiagklas.pdf. Diakses tanggal 20 Desember 2015 3. Ni Made Restiawati, Erlina Burhan. Diagnosis dan Penatalaksanaan Tuberculosis (MOTT), Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FKUI-SMF Paru RSUP Persahabatan, Jakarta, J Respir Indo Vol. 31, No. 3, Juli 2011 4. STRATEGI NASIONAL PENGENDALIAN TB DI INDONESIA 2010-2014. http://www.searo.who.int/indonesia/topics/tb/stranas_tb-2010-2014.pdf . Diakses pada 20 Desember 2015. 5. Rizka Hanifah. Respon Imun Tubuh Terhadap Tuberkulosis. http://www.berbagimanfaat.com/2010/06/tuberkulosis-paru.html. Diakses tanggal 20 Desember 2015. 6. J. Teguh Widjaja, Diana K. Jasaputra, Rina Lizza Roostati. Analisis Kadar Interferon Gamma Pada Penderita Tuberkulosis Paru dan Orang Sehat, J Respir Indo Vol. 30, No. 2, April 2010. 7. Siswanto, Sumarno, Yani Jane, Oeryana Agustin Widayanti, Nunuk Sri Muktiati. Pengobatan Suportif Vitamin D Mempercepat Konversi Sputum dan Perbaikan Gambaran Radiologis Penderita Tuberkulosis. Jurnal Kedoktera n Brawijaya, Vol. XXV, No. 3, Desember 2009. 8. Erwin Azmar. Peran Vitamin D Dalam System Imun Penderita Tuberkulosis Paru. Https://Www.Scribd.Com/Doc/17704190/Vitamin-D3Pada-Sistem-Imun-Penderita-Tb. Program Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Penyakit Dalam Fk Unsri/Rsmh Palembang 2007. Diakses Pada 2 November 2015 9. Martha Kaihena. Propolis Sebagai Imunostimultor Terhadap Infeksi Micobacterium Tuberculosis. Prosiding Fmipa Universitas Pattimura 2013 – Isbn: 978-602-97522-0-5 10. John S. Adams, Philip T. Liu, Rene Chun, Robert L. Modlin, And Martin Hewison. Vitamin D In Defense Of The Human Immune Response. Annals Of The New York Academy Of Sciences 1117: 94–105 (2007).

42

11. Iin Trilistiyanti N, HMS Chandra Kusuma, Tri Yudani MR, Maimun Zulhaidah A, Triwahju Astuti, Francisca Tanoeahardjo,. Ekspresi IFN-γ dan IL-4 CD4+T Limfosit pada Tuberkulosis Kontak terhadap Antigen 38 Kda Mycobacterium, Jurnal Kedokteran Brawijaya, Vol. 28, No. 4, Agustus 2015. 12. I Gusti Agung Ayu Ratna Medikawati, Kadar 25-Hydroxyvitamin D Plasma Berkorelasi Negatif Dengan Derajat Keparahan Pada Penderita Keloid, Program Magister Program Studi Ilmu Biomedik Program Pascasarjana Universitas Udayana Denpasar 201 5. 13. Wira Daramatasia, Peran Vitamin D Dalam Regulasi Sistem Imunitas Melalui Sel Dendritik; Jurnal Ilmiah Kesehatan Media Husada I Volume 01/Nomor 01/Agustus 2012.

43

Lampiran 1

DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL UNIVERSITAS HASANUDDIN FAKULTAS KEDOKTERAN

KOMITE ETIK PENELITIAN KESEHATAN Sekretariat : Lantai 2 Gedung Laboratorium Terpadu JL.PERINTIS KEMERDEKAAN KAMPUS TAMALANREA KM.10, Makassar. Telp.0411-5044671, Fax (0411) 586297.

FORMULIR PENGAJUAN ETIK PENELITIAN KESEHATAN UNTUK SURVEI, EPIDEMIOLOGI ATAU SOSIAL BUDAYA

No.

Registrasi

Protokol :

(Diisi oleh Petugas Sekretariat KEPK) 1

Peneliti utama: (gelar, nama,

dr. Murni / Bagian Ilmu Gizi Klinik

instansi) 2

Judul Penelitian

EVALUASI PEMBERIAN SUPLEMENTASI VITAMIN D

PADA

PENDERITA TUBERKULOSIS 3

Jenis Penelitian:



bukan kerjasama

kerjasama nasional

kerjasama internasional (lampirkan persetujuan etik dari negara tersebut)

melibatkan peneliti asing (lampirkan persetujuan dari LIPI)

44

4.

Tipe Proposal



Baru

Lanjutan

Perubahan

Perbaikan

Apabila Proposal perubahan dan lanjutan, sebutkan No. SP3 sebelumnya :

5.

Sumber Dana

Pribadi

6.

Total dana penelitian

7

Tempat penelitian

Rumah Sakit

8

Waktu penelitian

Mulai bulan Januari 2016 Selesai sampai sampel mencukupi

9. .

Kelengkapan Dokumen (beri tanda V yang ada) Sebelas

rangkap

Formulir

Pengajuan

Etik

Penelitian

Kesehatan

Untuk

Survei/Epidemiologi dan Sosial-Budaya Sebelas rangkap Surat pengantar dari institusi ditanda-tangani oleh peneliti Satu rangkap Proposal Asli yang sudah disetujui oleh pembimbing atau kepala instansi dengan judul dalam bahasa Indonesia & Inggris. Sepuluh rangkap Ringkasan Proposal Penelitian dengan lampiran-lampirannya. Lampiran 1. Naskah penjelasan untuk mendapatkan persetujuan dari subjek penelitian (Informasi untuk subyek) Lampiran 2. Formulir Persetujuan setelah Penjelasan Lampiran 3. Susunan tim peneliti beserta keahliannya Lampiran 4. Biodata lengkap peneliti utama (termasuk pengalaman penelitian) Lampiran5. Persetujuan Atasan yang Berwewenang Lampiran 6. Deskripsi Penelitian Lampiran 7. Alat dan Bahan yang Dipakai pada Penelitian Lampiran 8. Surat Perjanjian Kerjasama antara Peneliti, Sponsor dan Institusi Penelitian

45

(untuk penelitian kerjasama) Lampiran 9. Ethical Clearance dari Instansi lain (bila ada) Lampiran 10. Formulir: Kuisioner, permintaan pemeriksaan laboratorium/radiologi, hasil pemeriksaan laboratorium/radiologi Lampiran 11. Case Report Form Lampiran 12. Adverse Even Report Form Lampiran 13. Investigator’s brochure (Bila diperlukan) Lampiran 14. Rincian anggaran dan sumber dana Lampiran 15. Lain-lain, yang dianggap perlu.

10.

Deskripsi penelitian

Eksploratif /Deskriptif a. Jenis dan desain

Kuantitatif/Deduktif/

Penelitian

Cross Sectional

Case Control

Eksperiment



Komunitas

Cohort

Eksperiment Masyarakat

Kualitatif/ Etnografis participatory b. Macam sampel

c. Jumlah sampel



individu

masyarakat

1). Berdasarkan

institusi

ya

tidak

besarnya masalah 2). Berdasarkan jumlah kebutuhan

ya

minimal

tidak

dalam kegiatan : - participant observation - indepth interview 3). Berdasarkan jumlah populasi (representative



ya

tidak

ness of the samples) d. Cara Penarikan sampel:

1). Probability :



acak sederhana acak bertingkat PPS

46

Klaster

2). Non Probability

purposive samples

quota

Samples

chunk Samples

Volunteer



e. Jenis data f. Cara pengumpulan data

√ √



primer

samples

Sekunder

. wawancara

pemeriksaan fisik

pemeriksaan laboratorium /dan radiologis

penulusuran dokumen g. Perkiraan waktu penelitian yang diperlukan untuk satu subjek: 1 (satu) (menit/ jam/ hari/minggu/bulan/tahun*) * coret yang tidak perlu 11.

Masalah etik yang mungkin akan dihadapi subjek ya

a. kerahasiaan data



tidak

b. risiko penelitian pelayanan

ya

b.2. menimbulkan efek samping terhadap

ya

b.1.

mengganggu

kegiatan



tidak

kesehatan rutin



tidak

subjek b.3.

bertentangan

dengan

adat

ya

ekonomi,

ya

norma,

istiadat setempat b.4.

timbulnya

kerugian

√ √ √

tidak

tidak

stigmatisasi dari subjek

47

c. Perangsangan untuk ikut serta c.1. bertambahnya pengetahuan baru



c.2. mendapatkan pelayanan kesehatan



ya

tidak

ya

tidak

Bila ya, diberikan dalam bentuk:

d. Diberi kompensasi Ya

√ Tidak barang

uang tunai

Asuransi

e. Mempengaruhi kompensasi secara berlebihan (coercion) e.1. hubungan antara peneliti dan subyek

ada

tidak

e.2. bila ada sebutkan jenis

Dokter

Guru-murid

pasien

hubungannya:

Majikan -

Lain-lain

Pegawai 12.

*PSP/informed consent : a. PSP yang digunakan untuk Individu

masyarakat

b. Bila penelitian menggunakan individu/ masyarakat, jelaskan bagaimana cara mengajak

subjek berpartisipasi dalam

penelitian. Bila pemberitahuan dan kesediaan subjek

bersifat lisan, atau karena sesuatu hal

subjek tidak dapat atau tidak perlu diminta

persetujuan, jelaskan alasan yang kuat dalam hal ini. 13.

Bila penelitian ini menggunakan orang sehat, jelaskan cara pemeriksaan kesehatannya. Bila menggunakan orang sakit , jelaskan cara mendiagnosis dan nama dokter yang bertanggung jawab.

14.

Jelaskan jenis intervensi yang dilakukan; (penyuluhan, mass treatment, pelatihan, dll) Tidak ada Intervensi

15.

Jelaskan cara pencatatan selama penelitian, termasuk efek samping dan komplikasi yang ada. * PSP = Persetujuan Setelah Penjelas Makassar, Desember 2015 Peneliti Utama

dr.Murni NIM : C117215102

48

Related Documents

Flowchart Usulan
May 2020 40
Usulan Penelitian
May 2020 41
Usulan Pwm
June 2020 30
Usulan Judul
June 2020 34
Usulan Penelitian.docx
April 2020 21
Usulan Sertifikasi
April 2020 27

More Documents from "smp negeri 24 bekasi"

Lotto.docx
April 2020 18
Tugas Epidemiologi.docx
November 2019 20
Tugas Statistik.docx
November 2019 15