Pengertian Ushul Fiqh Kata “ushul fiqh” adalah kata ganda yang terdiri dari kata “ushul ( ”) ﻝﻮﺻﺃdan kata “ fiqh ( ) ﻪﻘﻔﻟﺍ ”. Kata “ushul” yang merupakan jamak dari kata “ ashal ( ”) ﻞﺻﻷﺍsecara etimologi berarti “sesuatu yang menjadi dasar bagi yang lainya”. Arti etimologi ini tidak jauh dari maksud definitive dari kata ashal tersebut karena ilmu ushul fiqh itu adalah suatu ilmu yang kepadanya didasarkan “fiqh ”. Kata “ fiqh ( ﺍhalitsi iges irad hqif itrA .”maladnem gnay mahap“ itrareb igolomite araces ” ( ﻟﻔﻘﻪ hukum sebenarnya tidak jauh berbeda dari artian etimologi sebagaimana disebutkan di atas yaitu: “Ilmu tentang hukum-hukum syara’ yang bersifat amaliah yang digali dan dirumuskan dari dalildalil tafsili ”. Dari arti fiqh secara istilah tersebut dapat dipahami dua bahasan pokok dari ilmu fiqh, yaitu bahasan tentang hukum-hukum syara’ yang bersifat amali dan kedua tentang dalildalil tafsili. Dengan demikian “ushul fiqh ” secara istilah teknik hukum berarti : “Ilmu tentang kaidah-kaidah yang membawa kepada usaha merumuskan hukum syara’ dari dalilnya yang terinci ,” atau dalam artian sederhana adalah: “Kaidah- kaidah yang menjelaskan cara-cara mengeluarkan hokumhukum dari dalil-dalinya”. [1] Setelah definisi ushul dan fiqh diketahui, baik secar etimologi maupun terminologi, berikut ini akan dikemukakan definisi ushul fiqh ( ushuliyyin ). Banyak definisi yang dikemukakan oleh para ahli ushul fiqh. Sebagian ahi ushul fiqh menekankan pada fungsi ushul fiqh, sedangkan yang lainya menekankan pada hakikatnya. Namun pada prinsipnya mereka sependapat, bahwa ushul fiqh adalah ilmu yang objek kajianya berupa dalil hukum syara’ secara ijmal (global) dengan semua permasalahanya. [2]
Pengertian Fiqih Fikih (Bahasa Arab: ;ﻓﻘﻪtransliterasi: Fiqh) adalah salah satu bidang ilmu dalam syariat Islam yang secara khusus membahas persoalan hukum yang mengatur berbagai aspek kehidupan manusia, baik kehidupan pribadi, bermasyarakat maupun kehidupan manusia dengan Tuhannya.[1] Beberapa ulama fikih seperti Imam Abu Hanifah mendefinisikan fikih sebagai pengetahuan seorang muslim tentang kewajiban dan haknya sebagai hamba Allah.[2] Fikih membahas tentang cara beribadah, prinsip Rukun Islam, dan hubungan antar manusia sesuai yang tersurat dalam Al-Qur'an dan Sunnah. Dalam Islam, terdapat empat mazhab dari Sunni yang mempelajari tentang fikih. Seseorang yang sudah menguasai ilmu fikih disebut Fakih. Etimologi Dalam bahasa Arab, secara harfiah fikih berarti pemahaman yang mendalam terhadap suatu hal. Beberapa ulama memberikan penguraian bahwa arti fikih secara terminologi yaitu merupakan
ilmu yang mendalami hukum Islam yang diperoleh melalui dalil di Al-Qur'an dan Sunnah.[3] Selain itu fikih merupakan ilmu yang juga membahas hukum syar'iyyah dan hubungannya dengan kehidupan manusia sehari-hari, baik itu dalam ibadah maupun dalam muamalah.[1] Dalam ungkapan lain, sebagaimana dijelaskan dalam sekian banyak literatur, bahwa fiqh adalah "al-ilmu bil-ahkam asy-syar'iyyah al-amaliyyah al-muktasab min adillatiha at-tafshiliyyah", ilmu tentang hukum-hukum syari'ah praktis yang digali dari dalil-dalilnya secara terperinci". Terdapat sejumlah pengecualian terkait pendefinisian ini. Dari "asy-syar'iyyah" (bersifat syari'at), dikecualikan ilmu tentang hukum-hukum selain syariat, seperti ilmu tentang hukum alam, seperti gaya gravitasi bumi. Dari "al-amaliyyah" (bersifat praktis, diamalkan), ilmu tentang hukumhukum syari'at yang bersifat keyakinan atau akidah, ilmu tentang ini dikenal dengan ilmu kalam atau ilmu tauhid. Dari "at-tafshiliyyah" (bersifat terperinci), ilmu tentang hukum-hukum syari'at yang didapat dari dalil-dalilnya yang "ijmali" (global), misalkan tentang bahwasanya kalimat perintah mengandung muatan kewajiban, ilmu tentang ini dikenal dengan ilmu ushul fiqh.[4]
syariah Syariah adalah kosa kata bahasa Arab yang secara harfiah berarti ”sumber air” atau ”sumber kehidupan”[2], dalam Mukhtar al-Sihah diungkapkan sebagai berikut:[3] Syariah adalah sumber air dan ia adalah tujuan bagi orang yang akan minum. Syariah juga sesuatu yang telah ditetapkan Allah swt. kepada hamba-Nya berupa agama yang telah disyariahkan kepada mereka.
Orang-orang Arab menerapkan istilah ini khususnya pada jalan setapak menuju palung air yang tetap dan diberi tanda yang jelas terlihat mata. Jadi, kata demikian ini berarti jalan yang jelas kelihatan atau ”jalan raya” untuk diikuti.[4]
Al-Qur’an menggunakan kata syirah dan syariah dalam arti agama, atau dalam arti jalan yang jelas yang ditunjukkan Allah bagi manusia. Syariah sering digunakan sebagai senonim dangan kata din dan millah yang berMakna segala peraturan yang berasal dari Allah swt. yang terdapat dalam al-Qur’an dan hadis yang bersifat qat’I atau jelas nasnya.[5]
Sedangkan pengertian syariah Islam menurut Mahmud Syaltut adalah: syariah menurut bahasa ialah tempat yang didatangi atau yang dituju oleh manusia dan hewan guna meminum air.
Menurut istilah ialah hukum-hukum dan aturan Allah disyariahkan buat hambanya untuk diikuti dan hubungan mereka sesama manusia. Di sini dimaksudkan Makna secara istilah yaitu syariah tertuju kepada hukum yang didatangkan al-Qur’an dan Rasul-Nya, kemudian yang disepakati
para sahabat dari hukum-hukum yang tidak datang mengenai urusannya sesuatu nas dari alQur’an atau sunah. Kemudian hukum yang diistinbatkan dengan jalan ijtihad, dan masuk ke ruang ijtihad menetapkan hukum dengan perantara kias, karinah, tanda-tanda dan dalil-dalil.
Sedangkan syariah menurut Salam Madkur: tasyrik ialah lafal yang dikenal dari kata syariah yang di antara Maknanya dalam pandangan orang Arab ialah jalan yang lurus dan dipergunakan oleh ahli fikih Islam untuk nama bagi hukum-hukum yang Allah tetapkan bagi hambanya dan dituangkan dengan perantaraan Rasul-Nya agar mereka mengerjakan dengan penuh keilmuan baik hukum-hukum itu berkaitan dengan perbuatan ataupun dengan aqidah maupun dengan akhlak budi pekerti dan dinamakan dengan Makna ini dipetik kalimat tasyrik yang berarti menciptakan undang-undang dan membuat kaidah-kaidah-Nya, maka tasyrik menurut pengertian ini ialah membuat undang-undang baik undang-undang itu dating dari agama dan dinamakan tasyrik samawi ataupun dari pebuatan manusia dan pikiran mereka dinamakan tasyrik wa’i.[6]
Pengertian yang dikemukakan Syaltut tersebut dengan jelas telah memisahkan antara agama dengan syariah. Manurutnya, agama (Islam) terdiri dari dua ajaran pokok yaitu akidah dan syariah. Di mana syariah lebih dikhususkan pada persoalan amaliah. Lebih lanjut, masih menurut Syaltut, aspek akidah merupakan pondasi tempat tumbuh dan berkembangnya syariah, sedangkan syariah adalah sesuatu yang harus tumbuh dari akidah itu.
Definisi syariah tersebut menunjukkan bahwa syariah sebagai ketentuan yang mengatur persoalan-persoalan amaliah terdiri dari dua kategori; pertama, ketentuan-ketentuan hukum yang secara langsung ditetapkan oleh syari’. Ketentuan-ketentuan tersebut bersifat abadi dan tidak berubah, karena tidak ada yang punya wewenang merubahnya kecuali Allah.
Sedangkan istilah syariah dalam konteks kajian hukum Islam lebih menggambarkan normanorma hukum yang merupakan hasil dari proses tasyrik, yaitu proses menetapkan dan membuat syariah.[7]
Lebih lanjut terminologi syariah dalam kalangan ahli hukum Islam mempunyai pengertian umum dan khusus. Syariah dalam arti umum merupakan keseluruhan jalan hidup setiap muslim, termasuk pengetahuan tentang ketuhanan.
Syariah dalam arti ini sering disebut dengan fikih akbar.[8] Sedangkan dalam pengertian khusus berkonotasi fikih atau sering disebut dengan fikih asghar, yakni ketetapan hukum yang dihasilkan dari pemahaman seorang muslim yang memenuhi syariah tertentu tentang al-Qur’an dan sunah dengan menggunakan metode ushul fikih.
Berdasarkan pengertian syariah itulah terbentuk istilah tasyrik atau tasyri’ Islami yang berarti peraturan perundang-undangan yang disusun sesuai dengan landasan dan prinsip-prinsip yang terkadung di dalam al-Qur’an dan sunah. Peraturan perundang-undangan tersebut terumuskan ke dalam dua bagian besar, yakni bidang ibadah dan kedua bidang muamalah.
Fikih ibadah meliputi aturan puasa, zakat, haji dan sebagainya yang ditujukan untuk mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhannya. Adapun fikih muamalah diantaranya mengatur tentang perikatan, sangsi hukum. Dan aturan selain yang diatur dalam fikih ibadah dan bertujuan untuk mengatur subjek hukum baik secara indiviual maupun secara komunal.
Catatan Kaki
[1]Muhammad bin Saad bin Muni Abu Abdullah al-Bishriy al-Zuhri, al-Thabaqat al-Kubra (Dar al-Shadr, Beirut, tt.), h. 307. [2]Muhammad bin Makram bin Manzur al-Afriqiy atau Ibnu Manzur, Lisan al-Arab (Dar alShadr, tth.), h. 40-44. [3]Muhammad bin Abi Bakr bin Abd al-Qadir a-Raziy, Mukhtar al-Shihah (Maktabah Lubnan Nasyrirun, Beirut, 1995), juz 1, h. 141. [4]Ibnu Munzur, Op.Cit. [5]Bustanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), h. 200. [6]Muhammad salam Madkur, al-Madkhal li al-Fiqh al-Islami, h. 44. [7]Ibnu Munzur, op.cit., jil. 8, hal. 157. [8]Dalam pengertian keagamaan, kata syariah berarti jalan kehidupan yang baik, yaitu nilai-nilai agama yang diungkapkan secara fungsional dan dalam Makna yang kongrit.
Sumber: https://www.tongkronganislami.net/definisi-makna-dan-pengertian-syariah/
Hukum islam
Islam
Pengertian Hukum Islam (Syari'at Islam) Pengertian Hukum Islam (Syari'at Islam) - Hukum syara’ menurut ulama ushul ialah doktrin (kitab) syari’ yang bersangkutan dengan perbuatan orang-orang mukallaf yang bersangkutan dengan perbuatan orang-orang mukallaf secara perintah atau diperintahkan memilih atau berupa ketetapan (taqrir). Sedangkan menurut ulama fiqh hukum syara ialah efek yang dikehendaki oleh kitab syari’ dalam perbuatan seperti wajib, haram dan mubah .
Syariat menurut bahasa berarti jalan. Syariat menurut istilah berarti hukum-hukum yang diadakan oleh Allah untuk umatNya yang dibawa oleh seorang Nabi, baik hukum yang berhubungan dengan kepercayaan (aqidah) maupun hukum-hukum yang berhubungan dengan amaliyah. Hukum Islam Menurut Prof. Mahmud Syaltout, syariat adalah peraturan yang diciptakan oleh Allah supaya manusia berpegang teguh kepadaNya di dalam perhubungan dengan Tuhan dengan saudaranya sesama Muslim dengan saudaranya sesama manusia, beserta hubungannya dengan alam seluruhnya dan hubungannya dengan kehidupan. Menurut Muhammad ‘Ali At-Tahanawi dalam kitabnya Kisyaaf Ishthilaahaat al-Funun memberikan pengertian syari’ah mencakup seluruh ajaran Islam, meliputi bidang aqidah, ibadah, akhlaq dan muamallah (kemasyarakatan). Syari’ah disebut juga syara’, millah dan diin. b. Hukum Islam berarti keseluruhan ketentuan-ketentuan perintah Allah yang wajib diturut (ditaati) oleh seorang muslim. Dari definisi tersebut syariat meliputi: 1. Ilmu Aqoid (keimanan) 2. Ilmu Fiqih (pemahan manusia terhadap ketentuan-ketentuan Allah) 3. Ilmu Akhlaq (kesusilaan)
Berdasarkan uraian di atas dapat penulis simpulkan bahwa hukum Islam adalah syariat yang berarti hukum-hukum yang diadakan oleh Allah untuk umat-Nya yang dibawa oleh seorang Nabi, baik hukum yang berhubungan dengan kepercayaan (aqidah) maupun hukumhukum yang berhubungan dengan amaliyah (perbuatan). Perbedaan Ushul Fiqih ada fiqih
Perbedaan Ushul Fiqih dengan Fiqih Juni 4, 2015 · by kholid mawardi · in agama. ·
Pengertian Ushul Fiqih
Ushul menurut bahasa artinya yang menjadi tempat berdirinya sesuatu, seperti akar adalah sebagai penguat tegaknya pohon, begitu juga ushul fiqih., jadi ushul fiqih menurut bahasa adalah pokok-pokok dari fiqih. Sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Imam Haromain dalam kitab Waraqat, yaitu : “Kata-kata al-ashlu yang merupakan bentuk mufrad dari bagian pertama (yakni ushul) adalah sesuatu yang selainnya dapat didirikan di atasnya. Seperti (ungkapan) ashul jidar atau asal tembok yang berarti fondasinya dan ashlus syajaroh atau asal pohon yang yang berarti pangkalnya yang tertancap di dalam tanah”. Dan menurut Imam Baidhowi معرفة دالئﻞ ﺍﻟﻔﻘﻪ إجماال وكيﻔية ﺍالستﻔادة منها وحاﻝ ﺍﻟمستﻔيد Memahami dalil-dalil fiqh secara global, bagaimana menggunakannya dalam menyimpulkan sebuah hukum fiqh (bagaimana berijtihad), serta kondisi (prasyarat)seorang mujtahid Kata ﺍﻟﻔرعmenurut bahasa yang artinya yang berdiri pada sesuatu, seperti cabang atau ranting pohon yang berada di atas asal atau akar, begitu juga ﺍﻟﻔرعdikatakan furu’ fiqih karena hokumhukumnya merupakan cabang dari ushul fiqih. Ushul menurut istilah artinya dasar/dalil atau قاعدهyang bersifat keseluruhan, contoh: pada dasarnya ketetapan wajib sholat adalah karena adanya dalil, yaitu firman Allah SWT : َص ََلة َّ َوﺍَقِ ْي ُم ْﻮﺍﺍﻟ Dan dirikanlah shalat.(QS A-Nisa) Dan bolehnya memakan bangkai bagi yang terpaksa karena tidak adanya makanan lain, hal ini bertentangan dengan hokum asal atau Qa’idah kulliyah bahwa setiap bangkai haram hukumnya. Secara garis besar ushul fiqih itu adalah dasar bagi ilmu fiqih, seperti contoh:
Perintah ﺍﻷمرitu pada hakikatnya menunjukkan wajib, ﺍﻟنهيitu menunjukkan hukum haram, dan secara mutlak apa yang di kerjakan nabi, ijma’ dan qiyas merupakan hujjah. Jadi, ilmu ushul fiqih pada hakekatnya adalah suatu metodologi hukum islam (suatu metode yang memuat prosedur dan teknik bagaimana hukum syari’at dapat dirumuskan untuk pedoman hidup dan bagaimana jalan pikiran pembentukan hukum islam tersebut).
Pengertian Fiqih
Firman Allah dalam QS At Taubah [9] : 123; “Maka apakah tidak lebih baik dari tiap-tiap kelompok segolongan manusia untuk ber “tafaqquh” (memahami fiqih) dalam urusan agama dan untuk memberi peringatan kaumnya bila mereka kembali; mudah-mudahan kaumnya dapat berhati-hati (menjaga batas perintah dan larangan Allah).” Hadits Nabi : “Barangsiapa dikehendaki oleh Allah akan diberikannya kebajikan dan keutamaan, niscaya diberikan kepadanya “ke-faqih-an” (memahami fiqih) dalam urusan agama.” (HR. BukhariMuslim). Menurut bahasa “fiqih” berasal dari kata faqiha-yafqahu-fiqihan yang berarti mengerti atau paham berarti juga paham yang mendalam. Dari sinilah ditarik perkataan fiqih, yang memberi pengertian kepahaman dalam hukum syariat yang sangat dianjurkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Sedangkan menurut istilah adalah mengetahui hukum syara’ yang diambil dari dalilnya yang terperinci. Menurut sebagian ulama juga didefinisikan bahwa fiqih merupakan pengetahuan tentang hukum syara’ yang jalan penetapannya adalah ijtihad. Seperti mengetahui bahwa niat pada wudhu adalah wajib, witir adalah sunnah dan lain sebagainya. Yang di maksud dengan dalil-dalilnya yang terperinci, ialah bahwa satu persatu dalil menunjuk kepada suatu hukum tertentu.
Perbedaan Antara Ushul Fiqh dan Fiqih
Sebagaimana dalam pembahasan tentang definisi Ushul Fiqh di atas, terdapat perbedaan makna etimologi antara kata ‘usul’ dan kata ‘fiqh’. Perbedaan lebih konkrit dalam makna terminologinya dapat dipaparkan sebagai berikut : a. Ilmu Ushul Fiqh merupakan dasar-dasar bagi usaha istinbath hukum, yakni menggali hukumhukum dari sumber-sumbernya. Oleh itu, setiap mujtahid wajib mengetahui betul-betul ilmu Ushul Fiqh. Ini tak lain kerana tujuan ilmu ini adalah untuk mengimplementasikan kaedahkaedah Ushul Fiqh terhadap dalil-dalil terperinci yang mengandung hukum-hukum cabang di dalamnya. Dengan demikian, kajian Ushul Fiqh sesungguhnya terfokus pada kompetensi orang-
orang tertentu saja kerana tidak semua orang dapat mengkaji serta mengimplementasikannya.Hal ini berbeda dengan kajian ilmu fiqh. Jika ilmu Ushul Fiqh mesti diketahui oleh seseorang mujtahaid, maka ilmu fiqh harus dipahami oleh mukallaf (orang-orang yang dikenakan beban hukum) secara keseluruhan. Ini kerana ilmu fiqh merupakan kajian tentang ketentuan hukum bagi setiap perbuatan manusia. Dengan ketentuan hukum inilah beragam perdebatan dan persengketaan di kalangan masyarakat dapat dielakkan. b. Pembahasan Ushul Fiqh berkenaan dengan dalil-dalil syar‘i yang bersifat global ()كلي. Ia bertujuan untuk membuat rumusan kaedah-kaedah yang mempunyai fungsi memudahkan pemahaman terhadap hukum-hukum beserta sumber-sumber dalilnya secara terperinci. Sebagai contohnya adalah beberapa kajian seperti berikut : 1) Kajian tentang kedudukan dan tingkatan dalil, baik dalil tersebut mempunyai taraf qath’i (hanya mempunyai satu interpretasi) ataupun dhanni (multi-interpretasi). 2) Kajian tentang indikasi hukum lafadz perintah ( )ﺍﻷمرdan lafadz larangan ( )ﺍﻟنهيbaik dalam alQur’an ataupun al-Hadits. Dalam kaitan ini kajian Ushul Fiqh menemukan rumusan bahwa lafadz perintah menunjukkan hukum wajib sedangkan kata larangan menunjukkan hukum haram sejauh tidak ada indikasi ( )قرينةyang menyatakan sebaliknya. Oleh itu, kajian ini kemudiannya dapat melahirkan kaedah Ushul Fiqh sebagai berikut : ﺍﻷ ﺻﻞ في ﺍﻷمر يد ﻝ على ﺍﻟﻮجﻮب وﺍﻷﺻﻞ في ﺍﻟنهي يد ﻝ على ﺍﻟتحريم Artinya: “Hukum asal daripada perintah adalah wajib sedangkan hukum asal daripada larangan adalah haram”. 3) Kajian tentang lafadz-lafadz ‘am atau lafadz-lafadz khas baik dalam al-Qur’an maupun alHadith. Kajian tentang hal ini kemudian melahirkan kaedah Ushul Fiqh: ﺍﻟعام يتناوﻝ جميع ﺃفرﺍده ماﻟم يخصص Artinya: “Lafadz am itu meliputi semua unit-unit di bawahnya sejauh tidak dikhususkan [ditakhsis] oleh lafadz lain”. Sedangkan pembahasan dalam fiqh tidaklah demikian. Pembahasan ilmu fiqh adalah berkaitan dengan perbuatan mukallaf. Apakah perbuatan mukallaf itu dihukumi halal atau haram Apakah perbuatan mukallaf itu sah atau batal? Dalam menentukan aspek hukum perbuatan mukallaf tersebut digunakan dalil-dalil terperinci ( )تﻔصيليberdasarkan pada kaedah-kaedah Ushul Fiqh yang bersifat umum dan global ()إجماﻟي.
Tujuan
Tujuan Mempelajari Ushul Fiqh Menurut Abdul Wahab Khallaf (1942), merumuskan bahwa tujuan mempelajari ilmu ushul fiqh adalah: 1. Menerapkan kaidah-kaidah, teori, pembahasan dalil-alil secara terperinci, dalam menghasilkan hukum syariat islam, yang diambil dari dalil-dalil tersebut. [3]
2. Untuk mencari kebiasaan faham dan pengertian dari agama Islam. 3. Untuk mempeljari hukum-hukum Islam yang berhubungan dengan kehidupan manusia. 4. Kaum muslimin harus ber tafaqquh artinya memperdalam pengetahuan dalam hukum-hukum agama baik dalam bidang aqaid dan akhlak maupun dalam bidang ibadah maupun muamalah. [4] C. Ruang Lingkup Pembahasan Ushul Fiqh Ruang lingkup dalam pembahasan ushul fiqh, yaitu sebagai berikut: 1. Sumber hukum Islam atau dalil-dalil yang digunakan dalam menggali hukum syara’, baik yang disepakati maupun yang diperselisihkan. 2. Mencari jalan keluar dari dalil-dalil yang secara lahiriyah dianggap bertentangan. 3. Pembahasan ijtihad, syarat-syarat dan sifat-sifat orang yang melakukannya (mujtahid), baik yang menyangkut syarat-syarat umum maupun syarat-syarat khusus keilmuan yang harus dimiliki mujtahid. 4. Pembahasan tentang hukum syara’, yang meliputi syarat-syarat dan macam-macamnya. 5. Pembahasan tentang kaidah-kaidah yang digunakan dengan cara menggunakannya dalam mengistinbathkan hukum dari dalil-dalil, baik melalui kaidah bahasa maupun melalui pemahaman terhadap tujuan yang akan dicapai oleh suatu nash (ayat atau hadist). [5]
Perkembangan
Perkembangan Ushul Fiqh 1. Masa Nabi Muhammad SAW Benih-benih ilmu ushul fiqh sudah tumbuh dan terbentuk pada masa Rasulullah. Pada masa Nabi Muhammad masih hidup, seluruh permasalahan ilmu fiqh dikembalikan kepada Rasul. Selain itu, dalam pertumbuhan dan pembentukannya ilmu ushul fiqh juga berpijak kepada Al-Qur’an dan Sunnah. Namun ijtihad Nabi tidaklah dapat disamakan dengan ijtihad sahabat, tabi’in dan lainnya, karena ijtihad Nabi terjamin kebenarannya, dan bila salah, seketika itu juga datang wahyu untuk membetulkannya. Demikian demi terjaganya syariat. [6] 2. Masa Sahabat Setelah wafatnya Rasulullah, maka yang berperan besar dalam pembentukan hukum Islam adalah para Sahabat Nabi. Pada masa ini para Sahabat banyak melakukan ijtihad ketika suatu masalah tidak dijumpai di dalam Al-Qur’an dan Hadits. Pada saat berijtihad, para sahabat telah
menggunakan kaidah-kaidah ushul fiqh meskipun belum dirumuskan dalam suatu disiplin ilmu. [7] Ijtihad mereka dilakukan baik secara perseorangan maupun secara bermusyawarah. Keputusan atau kesepakatan mereka dari musyawarah tersebut dikenal dengan ijma’ Sahabat. Selain itu, mereka melakukan ijtihad dengan metode qiyas (analogi) dan mereka juga berijtihad dengan metode istishlah . Praktik ijtihad yang dilakukan para Sahabat dengan metode-metode tersebut telah mampu memenuhi kebutuhan masyarakat pada saat itu. 3. Masa Tabi’in Pada masa Tabi’in, metode istinbath menjadi semakin jelas dan meluas disebabkan tambah meluasnya daerah Islam sehingga banyak permasalahan baru yang muncul. [8] Para Tabi’in melakukan ijtihad di berbagai daerah Islam. Di Madinah, di Irak dan di Basrah. Titik tolak para ulama dalam menetapkan hukum bisa berbeda, yang satu melihat dari suatu maslahat , sementara yang lain menetapkan hukumnya melalui Qiyas . Dari perbedaan dalam mengistinbatkan hukum inilah, akibatnya muncul tiga kelompok ulama, yaitu Madrasah Al-Irak , Madrasah Al-Kaufah yang lebih dikenal dengan sebutan Madrasah Al-Ra’yu dan Madrasah Al-Madinah dikenal dengan sebutan Madrasah Al-Hadits . Namun pada masa ini ilmu ushul fiqh masih belum terbukukan. 4. Masa Imam-imam Mujtahid sebelum Imam Syafi’i Pada periode ini, metode pengalihan hukum bertambah banyak, dengan demikian bertambah banyak pula kaidah-kaidah istinbath hukum dan teknis penerapannya. Imam Abu Hanafiah anNu’man (80-150 H) pendiri mazhab Hanafi. Dasar-dasar istinbathnya yaitu : Kitabullah, Sunnah, fatwa (pendapat Sahabat yang disepakati), tidak berpegang dengan pendapat Tabi’in, qiyas dan istihsan. Demikian pula Imam Malik bin Anas (93-179 H) pendiri mazhab Maliki. Di samping berpegang kepada Al-Qur’an dan Sunnah, beliau juga banyak mengistinbathkan hukum berdasarkan amalan penduduk Madinah. [9] Pada masa ini, Abu Hanifah dan Imam Malik tidak meninggalkan buku ushul fiqh. 5. Pembukuan Ushul Fiqh Pada penghujung abad kedua dan awal abad ketiga, Imam Muhammad bin Idris Asy-syafi’i (150-204 H) pendiri mazhab Syafi’i. Tampil dalam meramu, mensistematisasi dan membukukan ushul fiqh. Pada masa ini ditandai dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahunan keislaman dengan ditandai didirikannya “Baitul-Hikmah”, yaitu perpustakaan terbesar di kota Baghdad pada masa itu. [10] Dengan berkembang pesatnya ilmu pengetahuan, Imam Syafi’i yang datang kemudian, banyak mengetahui tentang metode istinbath para mujtahid sebelumnya, sehingga beliau mengetahui di mana keunggulan dan di mana kelemahannya. Beliau merumuskan ushul fiqh untuk mewujudkan metode istinbath yang jelas dan dapat dipedomani oleh peminat hukum Islam, untuk mengembangkan mazhab fiqhnya, serta untuk mengukur kebenaran hasil ijtihad di masa sebelumnya. Beliau merupakan orang pertama yang membukukan ilmu ushul fiqh. Kitabnya yang berjudul
Al-Risalah (sepucuk surat) menjadi bukti bahwa beliau telah membukukan ilmu Ushul fiqh. Dalam kitabnya Imam Syafi’i berusaha memperlihatkan pendapat yang shahih dan pendapat yang tidak shahih, setelah melakukan analisis dari pandangan kedua aliran, Irak dan Madinah. Kitabnya tersebut juga membahas mengenai landasan-landasan pembentukan fiqh. 6. Ushul Fiqh Pasca Syafi’i Kandungan kitab Al-Risalah ini pada masa sesudah Imam Syafi’i menjadi bahan pembahasan para ulama ushul fiqh secara luas. Ada yang membahas secara men-syarh (menjelaskan) tanpa mengubah atau mengurangi yang dikemukakan Imam Syafi’i dalam kitabnya. Tapi, ada juga yang membahas bersifat analisis terhadap pendapat dan teori Imam Syafi’i. Masih dalam abad ketiga, banyak bermunculan karya-karya ilmiah dalam bidang ini. Salah satunya buku Al-Nasikh wa Al-Mansukh oleh Ahmad bin Hanbal (164-241H) pendiri mazhab Hanbali. Pertengahan abad keempat ditandai dengan kemunduran dalam kegiatan ijtihad di bidang fiqh, dengan pengertian tidak ada lagi orang yang mengkhususkan diri membentuk mazhab baru. Namun kegiatan ijtihad dalam bidang ushul fiqh berkembang pesat. Para ahli analisis ushul fiqh mengatakan bahwa pada masa keempat imam mazhab tersebut, ushul fiqh menemukan bentuknya yang sempurna, sehingga generasi-generasi sesudahnya cenderung memilih dan menggunakan metode yang sesuai dengan kasus yang dihadapi pada zaman masingmasing. [11] E. Aliran-aliran Ushul Fiqh 1. Aliran Mutakalimin (Syafi’iyah) Aliran Syafi’iyah atau sering dikenal dengan Aliran Mutakallimin (Ahli Kalam). Aliran ini disebut Syafi’iyah karena Imam Syafi’i adalah tokoh pertama yang menyusun ushul fiqih dengan menggunakan metode ini.Aliran ini berpegang pada analisis-analisis kebahasaan ( linguistic ). Dalam membangun teori, aliran ini menetapkan kaidah-kaidah dengan alasan yang kuat, baik dari naqli (Al-Qur’an dan atau Sunnah) maupun dari aqli (akal pikiran), tanpa dipengaruhi oleh masalah-masalah furu’ dari berbagai mazhab, sehingga teori tersebut adakalanya sesuai dengan furu’ dan adakalanya tidak. [12] Ketidakterikatan dengan masalah-masalah furu’ yang telah ada dari suatu mazhab, menjadikan pembahasan mereka lebih bersifat teoritis. Para ulama Mutakallimin ini menciptakan kaidah-kaidah ushul atas tuntutan ilmiah dan melakukan langkah-langkah secara deduktif. [13] Deduktif merupakan sebuah cara berpikir yang dilakukan dengan cara menyusun kaidah guna mengistinbath hukum dari narasumbernya. Namun demikian, ulama ushul tetap mempelajari masalah fiqhiyah terlebih dahulu sebelum mepelajari ushul. Hal ini untuk mengetahui pemikiran para mujtahid dan mengetahui metode istinbath mereka. Diantara kitab-kitab ushul fiqh yang termasuk dalam aliran ini, sebagai berikut: a. Kitab Al-‘Ahd , hasil karya Al-Qadhi Abul Hasan Jabbar (wafat 415 H)
b. Kitab Al-Mu’tamad , hasil karya Abdul Husain Muhammad bin Aliy al-Bashriy al-Mu’taziliy asy-Syafi’iy (wafat 463 H). c. Kitab Al-Burhan, hasil karya Abdul Ma’ali Abdul Malik bin Abdullah al-Jawainiy anNaisaburiy asy-Syafi’iy yang terkenal dengan nama Imam Al-Huramain (wafat 487 H). d. Kitab Al-Mushtashfa disusun oleh Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al Ghazaliy Asy Syafi ‘ iy (wafat 505 H). 2. Aliran Fuqaha (Hanafiyah) Aliran fuqaha dalam membangun teori ushul fiqhnya banyak dipengaruhi oleh masalah furu’ dalam mazhab mereka. Penetapan kaidah-kaidah ushul berdasarkan hukum-hukum furu’ (hukum yang sudah berkembang dimasyarakat) . [14] Artinya mereka tidak membangun suatu teori kecuali setelah melakukan analisis terhadap masalah-masalah furu’ yang ada dalam mereka. Dalam menetapkan teori tersebut, apabila terdapat pertentangan antara kaidah yang ada dengan hukum furu’, maka kaidah tersebut diubah dan disesuaikan dengan hukum furu’ tersebut. [15] Diantara kitab-kitab ushul fiqh yang termasuk dalam aliran ini, sebagai berikut: a. Kitab Al-Fushul fi al-Ushul, oleh Abu Bakar al-Razi yang lebih dikenal dengan sebutan alJashshash (w. 370 H) b. Kitab Al-Taqwim fi Ushul al-Fiqh, oleh Abu Zaid al-Dabbusi (w. 430 H) c. Kitab Ushul al-Sarakhsi, oleh Muhammad al-Sarakhsi (w. 430 H) d. Kitab Kanz al-Wushul ila ma’rifat al-Ushul, oleh Fakhr al-Islam al-Bazdawi (w. 482 H) 3. Aliran Gabungan Aliran yang menggabungkan kedua metode yang dipakai dalam menyusun ushul fiqih oleh aliran Syafi’iyah dan aliran Hanafiyyah. Aliran ini mengemukakan bahwa alasan-alasan yang kuat dan juga memperhatikan penyesuaiannya dengan hukum-hukum furu’ yang telah ada. [16] Diantara mereka itu adalah: a. Muzhaffarudin al-Sa’ati (w. 694 H) menulis kitab Badi’u al-Nidzam . Kitab ini perpaduan antara kitab Ushul al- Bazdawi yang ditulis oleh al-Bazdawi dengan kitab al- Ihkam fi Ushul al-Ahkam yang ditulis al-Amidi.
b. Shadr al-Syari’ah ‘Ubaidillah bin Mas’ud al-Bukhari al-Hanafi (w. 747 H) menulis kitab Tanqih al-Ushul . Kitab tersebut merupakan ringkasan dari kitab Ushul al-Bazdawi, al-Maushul dan Mukhtashar al-Muntaha. PENUTUP Ushul fiqh merupakan komponen utama dalam menghasilkan produk fiqh, karena ushul fiqh adalah ketentuan atau kaidah yang harus digunakan oleh para mujtahid dalam menghasilkan fiqh. Namun dalam penyusunannya ilmu fiqh dilakukan lebih dahulu dari pada ilmu ushul fiqh.Ushul fiqh adalah ilmu pengetahuan tentang kaidah-kaidah dan metode penggalian hukum-hukum syara mengenai perbuatan manusia dari dalil-dalil yang terperinci atau kumpulan kaidah-kaidah tentang hal-hal tersebut.Secara garis besar objek bahasan ushul fiqih adalah sumber hukum syara’ dengan semua seluk beluknya, Metode pendayagunaan sumber hukum atau metode penggalian hukum dari sumbernya, dan Persyaratan orang-orang yang berwenang melakukan istinbath. Secara rinci ushul fiqih berfungsi sebagai Memberikan pengertian dasar tentang kaidah-kaidah dan metodologi para ulama mujtahid dalam menggali hukum, Menggambarkan persyaratan yang harus dimiliki seorang mujtahid, Memberi bekal untuk menentukan hukum-hukum yang baru, Mengetahui keunggulan dan kelemahan para mujtahid, sejalan dengan dalil yang mereka gunakan, dengan demikian kita bisa memilih pendapat mereka. Peranan ushul fiqih terhadap pengemban fiqih Islam dapat dikatakan sebagai kerangka acuan yang dapat digunakan sebagai pengembanganpemikiran fiqih islam.Pada hakikatnya ilmu ushul fiqh dan ilmu fiqh itu telah ada pada saat yang bersamaan, namun pada saat itu ilmu ushul fiqh belum dipandang sebagai suatu ilmu, tetapi metode-metode yang telah digunakan pada saat itu untuk menetapkan suatu hukum yaitu dengan cara teori ushul fiqh, seperti berdasarkan AlQur’an, sunah dan ijtihad. Ilmu ushul fiqh dibukukan (kodifikasi) pada masa Imam Asy-Syafi’i. Hal tersebut ditunjukkan dengan karyanya yang berjudul Al-Risalah (sepucuk surat). Setelah masa imam Syafi’i banyak karya-karya di bidang ushul fiqh yang bermunculan, itu menandakan bahwa perkembangan ilmu ushul fiqh sangat pesat pada masa itu.
Daftar pustaka
Anwar, Syahrul. 2010. Ilmu Fiqh & Ushul Fiqh. Bogor: Ghalia Indonesia Chaerul Umam, Ushul fiqih 1 (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hlm. 26-27 Dedi Rohayana,Ade. 2006. Ilmu Ushul Fiqih. Pekalongan: STAIN Pekalongan Press Djalil, A. Basiq. 2010. Ilmu Ushul Fiqih Satu dan Dua. Jakarta: Kencana Effendi, Satria. 2009. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana Prenada Media Group
Haroen, Nasrun. 1997. Ushul Fiqh Cet-2. Jakarta: PT Logos Wacan Ilmu Jumantoro, Totok dan Samsul Munir Amin. 2005. Kamus Ilmu Ushul Fikih. Jakarta: Amzah Karim, Syafi’i. 1997. Fiqih/Ushul Fiqih. Bandung: Pustaka Setia, Syarifudin, Amir. 1997. Ushul Fiqih Jilid 1. Jakarta: Logos Wacana Ilmu