Upaya_mengurangi_emisi_gas_rumah_kaca_me (1).docx

  • Uploaded by: Faaaa
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Upaya_mengurangi_emisi_gas_rumah_kaca_me (1).docx as PDF for free.

More details

  • Words: 9,161
  • Pages: 34
UPAYA MENGURANGI EMISI GAS RUMAH KACA MELALUI SKEMA REDD (STUDI KASUS: PENDANAAN NORWEGIA TERHADAP INDONESIA DAN BRAZIL)

OLEH : WARITSA YOLANDA (1501115622)

JURUSAN HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS RIAU

1

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perubahan iklim telah menjadi fenomena yang mendera dunia bahkan lebih dari 100 tahun yang lalu, dan telah menjadi topik yang diperbincangkan di forum-forum internasional. Masyarakat internasional, dewasa ini semakin sadar akan adanya fenomena yang mengancam lingkungan hidup dan kemanusiaan. Kesadaran akan hal tersebutlah menjadi awal dari terbentuknya UNFCCC (United Nations Framework Convention on Climate Change) tahun 1992, meskipun sebelum-sebelumnya juga telah terdapat beberapa konferensi mengenai perubahan iklim, namun UNFCCC lah yang menjadi institusi bagi negara-negara di dunia untuk berdiskusi mengenai perubahan iklim untuk menemukan cara mengurangi atau bahkan menghindari efeknya bagi lingkungan hidup dan manusia yang mana dari diskusi dan upaya-upaya, diharapkan dapat diperoleh hasil sehingga kelangsungan lingkungan hidup tidak terganggu. UNFCCC kemudian diratifikasi oleh negara-negara di dunia, yang pertemuan-pertemuannya diadakan setiap tahunnya dengan panel yang disebut sebagai CoP (Conferences of Parties), CoP pertama diadakan pada tahun 1995 di Berlin. Yang menjadi tujuan utama dari konvensi perubahan iklim sendiri adalah sebagaimana yang tercantum dalam pasal 2 nya yaitu untuk menstabilkan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer pada tingkat tertentu dari kegiatan manusia yang membahayakan sistem iklim. Maka, untuk mencapai tujuan tersebut disepakatilah prinsip-prinsip dasar konvensi yang menekankan pada prinsip kesetaraan (equality principle) dan prinsip kehatihatian (precautionary principle), sebagaimana yang tercantum juga dalam pasal 3 konvensi tersebut bahwa setiap pihak memiliki tanggung jawab umum yang sama misalnya dalam pasal 4 dijelaskan bahwa konvensi tersebut berlaku untuk seluruh pihak, salah satunya yaitu kerjasama untuk saling mengembangkan dan berbagi penelitian ilmiah, teknologi, informasi sosio-ekonomi dan hukum yang terkait dengan sistem iklim dan perubahan iklim serta konsekuensi ekonomi dan sosial dari berbagai strategi kebijakan. Namun secara khusus tanggung jawab harus dibedakan sesuai dengan kemampuannya (common but differentiated responsibilities), antara negara-negara industri dan negara-negara berkembang.

2

Dalam perjalanan dan pelaksanaan Konvensi tersebut, terbentuk dua blok besar yaitu blok negara-negara maju dan blok negara-negara berkembang, yang mana kedua blok tersebut terbagi lagi dalam berbagai kelompok. Annex I dari Uni Eropa (15), JUSSCANNZ (7), Kelompok Payung (9), Rusia dan CEIT (14), sedangkan negara-negara yang NonAnnex 1, terdiri dari G77 + Cina (131), OPEC (11), GRULAC (33), kelompok Afrika (53), APSIS (42), dan CEIT (11). Terlepas dari itu semua, sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya bahwa pertemuan-pertemuan diadakan setiap tahunnya, namun yang menjadi titik awal dari implementasi dan komitmen dari UNFCCC adalah CoP ketiga yang diadakan di Kyoto, Jepang yang menghasilkan suatu kerangka kerja yang mana inilah menjadi kerangka kerja pertama atau titik awal komitmen negara-negara untuk mengurangi emisi Gas Rumah Kaca, yang disebut dengan Protokol Kyoto. Tentunya tak berhenti sampai disitu saja kebijakan, langkah-langkah dan usaha negara-negara dalam menghadapi perubahan iklim karena tentunya usaha ataupun kerangka kerja yang telah ada mengalami kendala dan hambatan sehingga usaha dan kerangka kerja lainnya dibutuhkan, misalnya dalam pertemuan-pertemuan (CoP) lainnya seperti CoP ke – 11 di Kanada, menjadi ide awal munculnya gagasan REDD (Reducing Emissions from Deforestation and Degradations), yang kemudian pada CoP ke 13 di Bali, dihasilkan Bali Roadmap yang salah satu tujuannya adalah untuk mengadopsi usul REDD yang sebelumnya telah digagas, dari sana terciptalah komitmen dari masing-masing negara baik maju maupun berkembang dalam mengurangi emisi gas rumah kaca melalui skema REDD, lalu kita perlu melihat sejauh mana usaha dan implementasi skema tersebut. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang diuraikan sebelumnya, maka rumusan masalah yang akan dijawab dalam pembahasan makalah ini adalah sebagai berikut : 1. Bagaimana upaya UNFCCC menghadapi perubahan iklim ? 2. Apa itu REDD? 3. Bagaimana implementasi program REDD (studi kasus dana Norwegia kepada Indonesia dan Brazil)? 1.3 Tujuan Penulisan Tujuan penulisan makalah ini secara umum adalah untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Politik Internasional dan sebagai bahan bacaan bagi penstudi hubungan internasional

3

maupun yang tertarik dengan pembahasan yang berkaitan dengan isu-isu perubahan iklim. Sedangkan tujuan penulisannya secara khusus adalah untuk : 1. Menjelaskan fenomena perubahan iklim terutama yang berkaitan dengan emisi gas rumah kaca, 2. Menguraikan upaya PBB (UNFCCC) dalam menghadapi perubahan iklim- sampai terciptanya kerangka kerja REDD, 3. Menguraikan REDD secara umum 4. Menjelaskan garis besar implementasi program REDD dalam studi kasus dana bantuan Norwegia kepada Indonesia dan Brazil. 1.4 Metode Penulisan Dalam penulisan makalah ini, penulis menggunakan metode kepustakaan. Caracara yang digunakan dalam penulisan makalah ini adalah studi pustaka, dimana penulis menjadikan sumber-sumber seperti, buku referensi, artikel, dan jurnal serta berbagai sumber dari internet yang berhubungan dengan mengurangi gas emisi rumah kaca dalam skema REDD dan juga mengenai dana bantuan yang diberikan oleh Norwegia terhadap Indonesia dan Brazil sebagai dukungan terhadap program tersebut, sebagai bahan dalam menyusun makalah ini.

4

BAB II PEMBAHASAN 2.1 Fenomena Perubahan Iklim Fenomena perubahan iklim bukanlah lagi menjadi sesuatu yang dipertentangkan, jauh hari penelitian ilmiah telah membuktikan bahwa karbondioksida (CO2) di lapisan atmosfir yang merupakan konsekuensi hasil sisa pembakaran dari batu bara, kayu hutan, minyak, dan gas, telah meningkat sejak dimulainya revolusi industri. Kawasan perindustrian yang dibangun hampir di seluruh daratan benua dunia telah menghasilkan limbah “Gas Rumah Kaca” (GRK), seperti karbondioksida (CO2), metana (CH4), dan nitrousoksida (N2O), yang mangakibatkan naiknya suhu di permukaan bumi. Hal yang menyebabkan emisi GRK menjadi masalah yang besar adalah karena dalam jangka panjang, bumi harus melepaskan energi dengan laju yang sama ketika bumi menerima energi dari matahari. Penyebab GRK yang paling besar adalah aktivitas manusia dari bahan bakar fosil yang dibentuk dari jasad tumbuhan dan hewan yang telah lama mati, selain itu pembakaran batu bara, minyak dan gas bumi melepaskan milyaran ton karbon ke atmosfer setiap tahunnya, juga metana dan nitrous oksida dalam jumlah besar, dan yang paling besar imbasnya adalah ketika pohon-pohon ditebang dan tidak tidak ditanami kembali, maka akan lebih banyak karbondioksida yang dilepaskan ke atmosfer. Sementara itu, ternak-ternak dalam jumlah besar akan mengemisikan metana, begitu pula pertanian dan pembuangan limbah, sebab penggunaan pupuk dapat menghasilkan nitrous oksida. Gas-gas dengan waktu hidup/waktu tinggal yang lama seperti CFC, HFC dan PFC, yang digunakan pada alat pendingin ruangan dan lemari pendingin (kulkas) juga merupakan gas yang berbahaya jika berada di atmosfer. Jelas terlihat bahwa Perubahan iklim memiliki dampak negatif terhadap kehidupan manusia, termasuk kehidupan manusia dan negara-negara ataupun lingkungan hidup manusia, bahkan sejumlah peneliti menyebutkan bahwa negara-negara berkembang cenderung mengalami dampak kerusakan yang lebih buruk dari pada negara-negara maju, misalnya saja kekeringan, cuaca ekstrim, dan sebagainya, selain dampak kerusakan, perubahan iklim juga tentunya menyebabkan terancamnya ketahanan pangan di negara berkembang. NASA menyebutkan bahwa contoh Inti es yang diambil dari Greenland, Antartika, dan gunung tropis Gletser didapatkan bahwa hasilnya menunjukkan bahwa iklim bumi 5

merespon terhadap tingkat perubahan gas rumah kaca. Selain itu juga disebutkan bahwa bukti nyata yang saat ini bahwa perubahan iklim terjadi sangat cepat adalah naiknya permukaan air laut, naiknya temperature global, pemanasan laut, menyusutnya es di Greenland dan Antartika,dan kejadian atau bencana ekstrim lainnya. Konsekuensi masa depan terhadap perubahan iklim juga diprediksi akan lebih dramatis lagi dan menggangu kehidupan umat manusia, seperti terancamnya distribusi vegetasi alami dan keanekaragaman hayati, erosi dan badai yang akan memaksa relokasi penduduk di sepanjang pantai, beban biaya yang sangat besar untuk rekonstruksi infrastruktur pembangunan, meningkatnya alokasi dana untuk pengendalian potensi kebakaran dan beragam penyakit, serta investasi yang sangat besar untuk pelayanan kesehatan. Ketika menyadari sepenuhnya dampak yang sangat besar dari perubahan iklim, maka sudah seharusnya diambil langkah-langkah penting dan strategis guna mengurangi kerusakan yang sudah terjadi dan mencegah kerusakan yang mungkin lebih besar.

2.2 Upaya PBB (UNFCC) Menghadapi Isu Perubahan Iklim Desakan mengenai dilakukannya suatu upaya ataupun usaha dalam menghadapi perubahan iklim ini sebenarnya sudah cukup lama dirasakan oleh PBB. UNFCCC (United Nations Conference for Climate Change) sendiri lahir dari desakan publik internasional sebagai langkah nyata ataupun titik awal dari upaya dan usaha yang dilakukan kedepannya. Semua bermula sekitar dua dekade silam, jauh sebelum mata publik internasional tertuju pada isu perubahan iklim. Pada saat itu, tepatnya 1985 Amerika Serikat gempar ketika beredar pemberitaan bahwa ditemukan lubang pada lapisan ozon di Antartika pada 1985. Beberapa riset ilmuwan mengenai perubahan iklim yang sebelumnya hanya menjadi tumpukan kertas, mulai diulas. Namun, isu perubahan iklim baru mulai menggema di Amerika Serikat pada 1988. Meskipun efek perubahan iklim masih hanya dirasakan di AS, isu ini menjadi perbincangan hangat pula di beberapa negara lain. Pada awal 1990an, isu perubahan iklim pun menggema di berbagai belahan dunia. Di tengah tekanan publik pada Desember 1990, Majelis Umum PBB sepakat untuk membentuk perjanjian untuk menangani perubahan iklim. Maka dibentuklah The Intergovernmental Negotiating Committee for a Framework Convention on Climate Change (INC/FCCC) sebagai wadah tunggal proses negosiasi antar pemerintah di bawah naungan Majelis Umum PBB. Selanjutnya, komite ini mengadakan pertemuan sebanyak empat kali sepanjang Februari 1991 hingga Mei 1992, menyusun kerangka kerja perubahan iklim yang akan 6

diluncurkan dalam Konferensi Tingkat Tinggi Bumi (Earth Summit) di Rio de Janeiro, Brazil. Pada Mei 1992, INC/FCCC mengajukan draf akhir untuk diadopsi di New York. Sepekan kemudian, draf dirilis dan dibuka untuk penandatanganan oleh para pihak yang terlibat dalam KTT Bumi (Earth Summit). Dalam KTT tersebut, 154 negara menandatangi kerangka kerja perubahan iklim yang disebut The United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC), dan menjadi wadah resmi bagi negara-negara di dunia untuk berdiskusi mengenai perubahan iklim dan menemukan cara atau upaya untuk menghadapi dan mencegah efek dari perubahan iklim terhadap manusia dan lingkungan hidup. Pada Maret 1994, konvensi perubahan iklim pun mulai berlaku bagi semua pihak. Sebagaimana dalam pasal 3 konvensi tersebut, disebutkan bahwa setiap pihak memiliki tanggung jawab umum yang sama dan dalam pasal 4 dijelaskan bahwa konvensi tersebut berlaku untuk seluruh pihak, Namun secara khusus tanggung jawab harus dibedakan sesuai dengan kemampuannya (common but differentiated responsibilities), antara negara-negara industri dan negara-negara berkembang. Seluruh anggota dari Konvensi setuju untuk berkomitmen pada point-poin perihal perubahan iklim. Seluruh anggota harus membuat dan secara periode memberikan laporan khusus yang disebut dengan National Communication (NC). NC ini harus berisi informasi emisi GRK masing-masing dan menjelaskan langkah-langkah yang telah dilakukan untuk menerapkan komitmen dari Konvensi. Disamping itu, Konvensi juga mengharuskan seluruh anggotanya menerapkan program secara nasional dan langkah-langkah dalam mengkontrol emisi GRK dan mengatasi pengaruh dari perubahan iklim. Anggota juga harus setuju untuk mendorong pengembangan dan penggunaan teknologi ramah-iklim, mendorong pendidikan dan kesadaran publik pada perubahan iklim serta dampaknya, manajemen berkelanjutan pada sektor kehutanan dan ekositemnya yang dapat menyerap CO2 di atmosfer, dan bekerjasama antara seluruh anggotan dalam masalah ini. Semua pihak yang terlibat dalam penandatangan UNFCCC pun menggelar pertemuan tahunan guna membahas strategi menghadapi perubahan iklim. Pertemuan ini disebut Conference of the Parties (CoP) atau konferensi pihak-pihak terkait dalam UNFCCC. Disamping itu, UNFCCC membentuk dua badan subsider, yaitu Subsidiary Body for Scientific and Technological Advice (SBSTA) dan Subsidiary Body for Implementation (SBI) yang akan memberikan rekomendasi atau mandat spesifik bagi CoP. CoP pertama atau CoP 1 digelar di Berlin, Jerman atau dikenal dengan nama The Berlin Mandate. Dalam

7

pertemuan ini, semua pihak menyuarakan kesulitan yang mereka hadapi untuk mencapai komitmen SBSTA dan SBI, dan dilanjutkan dengan CoP ke-2 yang dihelat di Swiss. Namun, sebuah sejarah yang dianggap sebagai tonggak pergerakan melawan perubahan iklim ditorehkan saat CoP ke-3 yang digelar pada tahun 1997 di Kyoto, Jepang. Dengan proses negosiasi panjang dan rumit, menghasilkan suatu kerangka kerja pertama yang berlaku bagi semua negara untuk mengurangi emisi Gas Rumah Kaca (GRK) yang dikenal sebagai The Kyoto Protocol. Dengan tujuan untuk mengurangi konsentrasi GRK melalui mekanisme Join Implementation (JI), Emission Trading (ET), dan Clean Development Mechanism (CDM). JI merupakan mekanisme yang memungkinkan negaranegara maju membangun proyek bersama yang dapat menghasilkan kredit penurunan atau penyerapan emisi GRK. ET adalah mekanisme yang memungkinkan negara maju untuk menjual kredit penurunan emisi GRK kepada negara maju lainnya. Sedangkan CDM yaitu mekanisme yang memungkinkan negara non-ANNEX I untuk berperan aktif dalam membantu penurunan emisi GRK melalui proyek yang diimplementasikan oleh negara maju. Walaupun sempat mengalami keraguan efektivitas pemberlakuannya akibat adanya penarikan dukungan dari Amerika Serikat dan Rusia, namun akhirnya Protokol Kyoto tersebut memperoleh kekuatan hukum tetap setelah terpenuhinya 2 (dua) syarat utama sebagaimana diatur dalam Pasal 25, yaitu: Pertama, berhasil diratifikasi oleh 55 negara pada tanggal 23 Mei 2002; dan Kedua, tercapainya jumlah emisi total dari negara ANNEX I lebih dari 55% pada tanggal 16 Februari 2005. Walaupun Protokol Kyoto mengatur ketentuan pengurangan emisi GRK hanya selama periode pertama dari tahun 2008 hingga 2012, namun target jangka panjangnya adalah adanya pengurangan rata-rata cuaca global antara 0,02°C dan 0,28°C pada tahun 2050. Namun setelah hampir satu dekade setelah itu, CoP sering diwarnai perang kepentingan politik dan negosiasi rumit mengenai jumlah emisi yang harus dikurangi. Seperti yang telah disebutkan bahwa usaha dan kerangka kerja lainnya tentu dibutuhkan dalam menghadapi perubahan iklim, kesepakatan besar kembali dicapai pada 2005, yaitu CoP 11 yang dihadiri oleh lebih dari 10 ribu delegasi, terbanyak sepanjang sejarah. Untuk pertama kalinya, isu pencegahan deforestasi dibicarakan dalam CoP ke-11 di Montreal, Kanada pada tahun 2005. Penggagas ide mengenai avoided deforestation yang pertama kali ini adalah Papua nugini dan Costa Rica, dimana keduanya selaku ketua dari Coalition for Rainforest Nations (CfRN), dimana ide inilah yang nantinya menjadi cikal bakal dari kerangka kerja REDD. 8

Ide dasar mengenai pencegahan deforestasi ini adalah negara-negara maju membayar negara-negara berkembang untuk mengurangi tingkat kerusakan hutan di negara mereka. Insentif dari negara maju ini dimaksudkan untuk mengganti potensi pendapatan yang akan didapat oleh negara berkembang jika mereka membuka hutan untuk kegiatan industri maupun perkebunan. Konsep ini dikenal sebagai Reducing Emissions from Deforestation (RED). RED mendapatkan banyak masukan dari beberapa negara lain seperti Republik Demokratik Kongo, Indonesia, Panama, Paraguay, Tanzania, dan beberapa negara lainnya yang mengusulkan bahwa RED bukan hanya mengatur tentang avoided deforestation, tapi juga avoided forest degradation. Namun dalam pertemuan ini ide mengenai Reducing Emissions from Deforestations and Degradations belum diwujudkan dalam kerangka kerja. Pertemuan di Montreal, Kanada ini akhirnya menghasilkan Rencana Aksi Montreal, yang berisi kesepakatan untuk memperpanjang berlakunya Protokol Kyoto yang seharusnya kedaluwarsa pada 2012. Dengan demikian, semakin panjang pula waktu bagi para pihak yang tak setuju, termasuk AS, untuk meratifikasi Protokol Kyoto. Setelah itu, konferensi bersejarah lainnya adalah CoP 13 pada tahun 2007, yang diselenggarakan di Bali, Indonesia. Dalam pertemuan tersebut, para peserta pertemuan termasuk Amerika Serikat bersedia menerima konsensus bersama yang dituangkan dalam Peta Jalan Bali (Bali Roadmap), berisi kerangka kerja dan struktur negosiasi setelah 2012, batas berlakunya Protokol Kyoto pertama. Secara ringkas, hasil pokok dari Bali Roadmap tersebut adalah sebagai berikut: Pertama, respons atas temuan IPCC bahwa keterlambatan pengurangan emisi GRK akan menghambat peluang tercapainya tingkat stabilisasi emisi yang rendah, serta meningkatkan risiko lebih sering terjadinya dampak buruk perubahan lingkungan; Kedua, pengakuan bahwa pengurangan emisi yang lebih besar secara global diharuskan untuk mencapai tujuan utama; Ketiga, keputusan untuk meluncurkan proses yang menyeluruh yang memungkinkan dilaksanakannya keputusan UNFCCC secara efektif dan berkelanjutan; Keempat, penegasan kesediaan sukarela negara berkembang untuk mengurangi emisi secara terukur, dilaporkan, dan dapat diverifikasi dalam konteks pembangunan berkelanjutan dengan didukung oleh teknologi, dana, dan peningkatan kapasiatas; Kelima, penguatan kerjasama di bidang adaptasi atas perubahan iklim, pengembangan dan alih teknologi untuk mendukung mitigasi dan adaptasi; dan Keenam, memperkuat sumber-sumber dana dan investasi untuk mendukung tindakan mitigasi, adaptasi, dan alih teknologi terkait perubahan iklim.

9

Sedangkan komitmen dasar yang dihasilkan dari Bali Roadmap, yaitu: Pertama, memulai pencairan dana adaptasi Protokol Kyoto (2008-2012); Kedua, menjalankan program strategis untuk memacu investasi dalam transfer teknologi; Ketiga, mengadopsi usul reduksi emisi dari mekanisme pencegahan deforestasi degradasi hutan di negara berkembang (Reduction Emission from Deforestation and Degradation/REDD); Keempat, melipatgandakan skala CDM dari sektor kehutanan; Kelima, memasukan teknologi carbon capture and storage ke CDM; dan Kelima, menyepakti perluasan kerja kelompok pakar untuk adaptasi di negara LDC (Least Developed Countries). Dapat bahwa ide dasar dari REDD yang dicetuskan di Montreal, Kanada akhirnya di adopsi dalam pertemuan di Bali. Norwegia juga meluncurkan Prakarsa Internasional tentang Iklim dan Hutan (International Climate and Forest Initiative). Melalui prakarsa ini, Norwegia siap mengalokasikan 3 miliar NOK per tahun untuk menyokong upaya REDD di negara-negara berkembang selama 5 tahun. Jumlah tersebut juga akan terus ditambah sesuai dengan kebutuhan yang mungkin terjadi di kemudian hari untuk menyelamatkan hutan-hutan tropis di seluruh kawasan di dunia. Dengan menjanjikan bantuan dana yang besar, Norwegia menunjukkan kepada dunia internasional sebagai penyumbang terbesar dalam usaha global untuk menyelamatkan hutan yang terancam kelestariannya. Dimana, niat dan koimitmen baik Norwegia untuk berkontribusi besar-besaran dalam penyelamatan hutan sebagai langkah dan tindakan yang diambil dalam menghadapi perubahan iklim ini disambut dengan baik oleh komunitas internasional. 2.3 REDD Secara Umum Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation atau REDD (Pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan) merupakan sebuah mekanisme untuk mengurangi emisi Gas Rumah Kaca dengan cara memberikan kompensasi kepada pihak-pihak yang melakukan pencegahan deforestasi dan degradasi hutan.1 Cara kerja REDD adalah dengan melakukan pengurangan emisi atau deforestasi yang dihindari diperhitungkan sebagai kredit. Jumlah kredit karbon yang diperoleh dalam waktu tertentu dapat dijual di pasar karbon. Sebagai alternatif, kredit yang diperoleh dapat diserahkan ke lembaga pendanaan yang dibentuk untuk menyediakan kompensasi finansial bagi negara negara peserta yang melakukan konservasi hutannya. Skema REDD memperbolehkan konservasi hutan untuk berkompetisi secara ekonomis dengan berbagai kegiatan ekonomi

1

Apa itu REDD. Diakses dari < http://www.greenpeace.org/seasia/id/campaigns/melindungi-hutan-alamterakhir/apa-itu-redd/ > pada 18 Maret 2017

10

lainnya yang memicu deforestasi. Pemicu tersebut saat ini menyebabkan terjadinya pembalakan yang merusak dan konversi hutan untuk penggunaan lainnya, seperti padang penggembalaan ternak, lahan pertanian, dan perkebunan.2 Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya bahwa dalam CoP ke-13 di Bali pada 2007 dituangkan dalam Bali Roadmap dan menghasilkan Rencana Aksi Bali (Bali Action Plan), sebuah rencana atau peta jalan negosiasi strategi iklim global untuk melanjutkan Protokol Kyoto. Rencana ini mengakui pentingnya hutan dalam mengatasi perubahan iklim dan besarnya potensi yang terkandung maka diadopsilah mekanisme kerja dalam REDD yang tujuan utamanya adalah mengurangi emisi GRK. Ketika REDD pertama kali dicanangkan di COP 13 pada tahun 2007, ide tersebut sangat diminati oleh negaranegara dengan laju deforestasi yang tinggi. Negara-negara tersebut memiliki potensi terbesar untuk secara signifikan mengurangi emisi dari hilangnya hutan dan untuk memperoleh keuntungan terbesar jika mereka dapat melakukannya. Inisiatif REDD dalam mitigasi perubahan iklim dapat memberikan berbagai macam manfaat dan keuntungan lain yang menyertainya. Termasuk di dalamnya adalah manfaat untuk memberikan perlindungan bagi jasa lingkungan yang disediakan oleh hutan, meningkatkan penghidupan masyarakat sekitar hutan dan memperjelas hak kepemilikan lahan. Satu tahun setelah Rencana Aksi Bali disetujui, pertemuan kembali diadakan, yaitu CoP ke-14 di Poznań, Polandia. Mereka mencapai konsensus umum bahwa kegiatan REDD sebaiknya diperluas sehingga mencakup peranan konservasi, manajemen hutan yang berkelanjutan dan peningkatan cadangan karbon hutan di negara-negara berkembang. REDD yang diperluas ini dikenal dengan REDD+. REDD-plus menambahkan tiga areal strategis terhadap dua hal yang telah ditetapkan sebelumnya di Bali. Kelima hal tersebut bertujuan untuk mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan di negara negara berkembang. Dua ketetapan awal REDD adalah mengurangi emisi dari deforestasi dan mengurangi emisi dari degradasi hutan, dan beberapa strategi yang ditambahkan untuk mengurangi emisi yaitu melalui peranan konservasi, pengelolaan hutan secara lestari, dan peningkatan cadangan karbon hutan. Dalam CoP ke-15 di Copenhagen, Denmark Hasilnya untuk REDD masih belum lengkap. Meskipun beberapa kemajuan sudah dibuat, namun kelemahan-kelemahan penting masih terjadi terutama mengenai kesesuaian target, dan masih ada beberapa isu yang belum

2

Ibid.

11

tuntas, termasuk referensi terhadap emisi dan usaha-usaha di tingkat subnasional. Namun, Perjanjian Kopenhagen telah meneguhkan sebuah tonggak, dimana Australia, Perancis, Jepang, Norwegia, Inggris dan Amerika Serikat telah menawarkan paket bantuan sebesar 3,5 triliun USD untuk persiapan REDD. Perjanjian tersebut juga menerangkan beberapa poin teknis yang dapat menyediakan dukungan yang dibutuhkan oleh negara-negara yang berminat untuk bergabung segera. REDD+ menjadi faktor penting dalam berbagai negosiasi internasional. Prinsipnya “common but differentiated responsibility” (kewajiban sama dengan tanggung jawab yang berbeda), sebagaimana yang terdapat dalam prinsip-prinsip konvensi perubahan iklim, dimana semua negara bertanggung jawab atas permasalahan lingkungan hidup ini namun bentuk pertanggung jawabannya berbeda-beda sesuai dengan kapasitas masing-masing negara. Negara maju yang menghasilkan emisi dari proses industrialisasi dan untuk menopang gaya hidup, menyediakan dana dan teknologi untuk negara berkembang sebagai bentuk komitmen dampak emisi karbon mereka. Sementara negara berkembang akan diberikan insentif untuk menjaga dan melestarikan hutannya. Melalui REDD+ diharapkan dapat diterapkan cara baru untuk membatasi emisi CO2 melalui pembayaran atau konpensasi dari negara-negara industri kepada negara-negara perkembang terutama yang berkomitmen menjaga kelestarian hutannya, sehingga tindakan tersebut dapat mencegah hilangnya hutan atau degradasi, dan negara-negara industri maju tetap bisa menjalankan kegiatan industrinya, karena mereka dapat bekerjasama dengan pemilik hutan seperti Brazil dan Indonesia dalam upaya pelestarian dan penyelamatan hutan sebagai bentuk pembayaran hutan karbon (carbon debt) mereka dikarenakan instrumeninstrumen dalam REDD+ akan lebih mampu mengakordinir kebutuhan maupun kesulitan yang ditemukan baik bagi negara maju maupun negara berkembang. a. Mekanisme REDD+ Telah disebutkan bahwa ide dasar mengenai pencegahan deforestasi ini adalah negara-negara maju membayar negara-negara berkembang untuk mengurangi tingkat kerusakan hutan di negara mereka. Insentif dari negara maju ini dimaksudkan untuk mengganti potensi pendapatan yang akan didapat oleh negara berkembang jika mereka membuka hutan untuk kegiatan industri maupun perkebunan, maka mekanismenya pun akan sejalan dengan ide dasarnya, dimana negara-negara industri maju harus berkomitmen memberikan insentif kepada negara-negara berkembang untuk mengurangi tingkat

12

kerusakan hutan di negara mereka, maka dapat dilihat bahwa cara kerjanya sederhana, dimana diperlukan komitmen dan kerjasama antara negara industri dan negara berkembang. Mekanisme REDD+ didasarkan pada imbalan bersyarat untuk mengurangi emisi karbon, yang memerlukan sebuah sistem untuk menunjuk siapa yang akan dihargai, mengapa, dalam kondisi apa, dalam proporsi apa dan untuk berapa lama. Sistem seperti ini dikenal sebagai mekanisme pembagian manfaat, istilah luas yang mencakup segala cara kelembagaan, struktur dan instrumen untuk mendistribusikan keuangan dan keuntungan bersih lainnya dari program REDD+. Mekanisme pembagian keuntungan yang dirancang dengan baik juga dapat mendukung efektivitas pengelolaan hutan dan meningkatkan efisiensi program REDD+. Target dari proyek ini adalah para pembuat kebijakan di negaranegara berkembang, khususnya Brazil, Kamerun, Indonesia, Peru, Tanzania, dan Vietnam, termasuk organisasi non-pemerintah dan pelaku swasta.3 b. Pendanaan REDD+ Mengurangi emisi karena deforestasi tentunya membutuhkan biaya atau insentif, karena perlindungan hutan menyebabkan hilangnya pendapatan dari penebangan kayu, tanaman dan ternak. Kerangka kerja insentif yang muncul untuk mengurangi emisi karena deforestasi dan

degradasi hutan dan peran konservasi, pengelolaan berkelanjutan dan

pengayaan hutan, disebut sebagai REDD+, berupaya untuk menggalakkan perkembangan dan pertumbuhan ekonomi tanpa merusak SDA. Dalam konteks REDD+, negara-negara telah sepakat untuk “secara kolektif bertujuan memperlambat, menghentikan dan memulihkan tutupan hutan dan karbon yang hilang”, dan untuk melakukan hal ini “dalam konteks penyediaan dukungan yang memadai dan dapat diprediksi bagi negara-negara berkembang.” pelindung atau pelestari hutan saat ini bisa diberi kompensasi atas kehilangan yang dideritanya atau menerima imbalan atas tindakan yang dilakukannya. Pembayaran kompensasi atau imbalan dapat berasal dari sumber-sumber internasional atau nasional dan akan disalurkan melalui lembaga-lembaga nasional. Kita dihadapkan pada beberapa pilihan dalam pendanaan REDD, Apakah sebaiknya negara maju menyediakan dana lansung untuk memberikan penghargaan bagi negara-negara yang dapat mengurangi emisinya dari deforestasi? Atau apakah sebaiknya pengurangan emisi ini dikaitkan dengan sistem perdagangan karbon yang berbasis pasar? Kita perlu

3

REDD+ benefit sharing. Center for International Forestry Research. Diakses dari < http://www.cifor.org/reddbenefit-sharing/ > pada 18 Maret 2017

13

mencari sistem pasar yang paling sesuai. Peneliti dan para pembuat kebijakan mulai menyadari bahwa skema REDD tidak akan menjadi solusi yang cocok untuk semua keadaan di setiap negara. Cara terbaik yang mungkin dilakukan dalam merancang dan menerapkan REDD secara global adalah memberikan kesempatan bagi negara-negara peserta untuk melakukannya secara paralel dengan berbagai model yang berbeda. Dengan cara ini, diharapkan akan muncul berbagai skema baru sehingga tiap negara dapat memilih model yang paling cocok dan dapat diadopsi untuk situasi dan kondisi mereka masing-masing. Sebagai cerminan dari prinsip ‘tanggung jawab bersama dalam bentuk yang berbeda’, alokasi biaya pelaksanaan REDD+ telah menjadi bagian integral dari negosiasi REDD+ di bawah Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UN Framework Convention on Climate Change/UNFCCC). Pendanaan merupakan bagian implisit dalam konteks masalah-masalah teknis, seperti pengukuran dan tingkat acuan yang didiskusikan oleh Subsidiary Body for Scientific and Technological Advice atau, secara eksplisit, dalam konteks negosiasi di bawah Kelompok Kerja Ad Hoc dari Long Term Cooperative Action. Pada bulan Desember 2011, yaitu sesi ke 17 dari Conference of The Parties to the UNFCCC (COP17), para pihak setuju bahwa “pendanaan berbasiskan hasil yang disediakan bagi pihak pihak negara berkembang yang bersifat baru, berupa tambahan dan dapat diprediksi bisa berasal dari berbagai sumber publik maupun swasta, bilateral dan multilateral, termasuk sumber-sumber alternatif” dan bahwa “pendekatan berbasiskan pasar yang tepat untuk mendukung tindakan berbasiskan hasil oleh negara-negara yang sedang berkembang” dapat dikembangkan (UNFCCC 2012).

14

4

Dari berbagai kegiatan REDD+, para pihak juga mengadopsi pedoman tingkat acuan untuk memperhitungkan pengurangan emisi. Namun, masih belum jelas tentang syarat apa yang harus dipenuhi dan bagaimana tingkat-tingkat acuan tersebut bisa dikaitkan dengan insentif pendanaan ‘berbasiskan hasil’ di masa depan. Ada beberapa sumber pendanaan REDD+, yakni publik, swasta, nasional dan internasional, disamping itu ada Dua inisiatif global sedang dilakukan untuk membantu negara-negara berkembang mengimplementasikan mekanisme REDD-plus di masa yang akan datang: 1. Program REDD PBB (UN-REDD), menawarkan dukungan secara ekstensif bagi negara berkembang untuk menghadapi isu deforestasi dan degradasi hutan. Program tersebut menawarkan pembangunan kapasitas, membantu merancang strategi nasional dan menguji pendekatan nasional serta perencanaan kelembagaan untuk mengawasi dan melakukan verifikasi pengurangan hilangnya hutan. UN-REDD beroperasi di sembilan negara: Bolivia, Republik Demokratik Kongo, Indonesia, Panama, Papua Nugini, Paraguay, Tanzania, Vietnam dan Zambia. Proyek percontohan sudah dimulai di beberapa kawasan hutan tropis dan akan dilakukan kajian secara khusus bagaimana praktek REDD akan berhasil dalam penerapannya.

4

Nature Resources Development Center. Konsep REDD+ dan implementasinya. Di akses dari http://www.nature.or.id/publikasi/laporan-panduan-kehutahan/modul-konsep-redd.pdf

15

2. Bank Dunia, mengkoordinasikan inisiatif berupa Fasilitas Kemitraan Karbon Hutan (Forest Carbon Partnership Facility, FCPF). Serupa dengan UN-REDD, namun dalam skala dan partisipasi yang lebih besar. Program ini beroperasi di 37 negara: Argentina, Bolivia, Chili, Costa Rica, Ekuatorial Guinea, El Salvador, Etiopia, Gabon, Ghana, Guatemala, Guyana, Honduras, Indonesia, Kamboja, Kamerun, Kenya, Kolombia, Liberia, Madagaskar, Meksiko, Mozambik, Nepal, Nikaragua, Panama, Papua Nugini, Paraguay, Peru, Republik Afrika Tengah, Republik Demokratik Kongo, Republik Kongo, Republik Demokratik Laos, Suriname, Tanzania, Thailand, Uganda, Vanuatu dan Vietnam. Kedua inisiatif akan mengkoordinasikan misinya ketika diterapkan di negara yang sama dan melaksanakan pertemuan mengenai kebijakan-kebijakan mereka secara bersamasama agar para peserta dapat saling bertukar informasi. Kedua inisiatif juga memiliki beberapa aktivitas percontohan REDD yang sedang berjalan di berbagai negara dalam rangka memberikan pemahaman tentang implementasi REDD dan menguji bagaimana REDD dapat dilaksanakan dengan menggunakan berbagai pendekatan. Kemajuan dan hasil dari inisiatif tersebut akan membantu para juru runding UNFCC dalam menentukan apakah emisi CO2 yang berkaitan dengan hutan dapat dihitung dan apakah mekanisme REDD yang diusulkan dapat dilaksanakan.

5

Kompleksitas proses-proses ilmiah yang terjadi dalam hutan menjadikan persoalan rinci mengenai peran hutan dalam perubahan iklim banyak menimbulkan perdebatan di kalangan para pakar, bagaimana memasukkan peran hutan dalam kesepakatan negosiasi isu 5

GCP, Sebuah panduan proposal pemerintah dan lembaga non pemerintah untuk mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan. Diakses dari http//www.globalcanopy.org/

16

perubahan iklim khususnya dalam skema REDD+. Ini terlihat dari perkembangan sejak masuknya kegiatan Aforestasi (Afforestation) dan Reforestasi (Reforestation) dalam Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Development Mechanism/CDM) pada COP ke 3 tahun 1997 di Tokyo, Jepang dan kemudian dalam pertemuan COP ke 11 di Montreal, Kanada tahun 2005 dengan konsep RED, yang berkembang menjadi REDD di COP 13 di Bali, Indonesia, dan akhirnya REDD+, dengan masuknya SFM, konservasi, dan peningkatan simpanan karbon) yang baru diterima dan disahkan pada pertemuan COP ke 16 di Cancun, Meksiko. Tidak hanya sampai di situ, bahkan pada pertemuan COP 18 tahun 2012 di Doha, Qatar masalah metodologi terkait Measurement, Reporting, and Verification (MRV), dan Safeguard untuk REDD+ masih menjadi isu yang belum disepakati sehingga persoalan komitmen pendanaan REDD+ ikut terpengaruh dan kemudian menjadi topik yang terus berkembang tanpa kesepakatan. Namun demikian konsep dasar REDD+ sebenarnya telah disepakati sebagaimana hasil pertemuan di Bali tahun 2007. Konsep dasar REDD+ ini tidak berubah sampai saat ini.

2.4 Implementasi REDD Implementasi REDD dapat dilihat dalam berbagai proyek yang ada di dunia Terhitung sejak bulan November 2011, sedikitnya ada 200 proyek REDD+ di seluruh dunia. Proyek yang tersebar luas melintasi banyak negara merupakan hal penting untuk meneguhkan perkembangan rezim REDD+ di masa depan, yang harus inklusif untuk menghindari kebocoran internasional. Namun, sementara banyak negara memiliki satu atau dua proyek, sebagian besar terpusat di tiga negara saja: Brasil, Indonesia dan Peru. Di Indonesia, terdapat 51 proyek karbon hutan, 44 proyek lainnya (banyak di Kalimantan) melibatkan

kombinasi

pengurangan

deforestasi,

pengurangan

degradasi,

restorasi

(pemulihan), reforestasi dan pengelolaan hutan. Dan untuk Brazil terdapat 56 proyek, sebagian besar terletak di daerah hutan pesisir Atlantik, dan 36 proyek yang melibatkan kombinasi berbagai strategi yang dapat diberi label REDD+, sebagian besar terletak di Amazon. Peru memiliki 41 proyek karbon hutan. Proyek karbon hutan sedang diimplementasikan oleh pemerintah, berbagai lembaga masyarakat dan sektor swasta, yang menghasilkan variasi penting dalam penekanan dan keefektifannya.

Mayoritas

proyek

karbon

hutan

yang kami

katalogkan

sedang

diimplementasikan oleh berbagai LSM, biasanya dengan misi lingkungan hidup atau pembangunan berkelanjutan. Dengan proyek yang dipimpin oleh berbagai organisasi 17

lingkungan hidupinternasional seperti Conservation International, The Nature Conservancy, Faunaand Flora International, dan Jane Goodall Institute; organisasi pembangunan internasional lainnya, dan juga organisasi lingkungan hidup nasional seperti Amazon Environmental Research Institute, Tanzania Forest Conservation Group dan Centre for Environment and Development. Dari ke 65 proyek ini, 20 (30%) dipimpin oleh LSM yang basisnya di Amerika Serikat, dengan LSM lainnya dari Eropa (misalnya, Jerman, Swiss dan Inggris), Asia (misalnya, Australia dan Jepang) dan negara-negara tuan rumah program REDD tersebut ditujukan misalnya Brasil dan Indonesia, 43% proyek adalah pemrakarsa dari sektor swasta. Pemain lainnya dalam lanskap proyek ini mencakup para pemberi dana dan organisasi (penentu) standar, bersama para pemberi sertifikasi atau auditor yang memverifikasi kepatuhan dengan standar-standar yang ditetapkan. Selain dari berbagai proyek yang tercipta, imlementasi REDD juga dapat dilihat melalui pendanaan dari negara-negara maju. (1) Jepang, Jepang membiayai REDD + melalui kemitraan bilateral dengan pemerintah, serta hibah untuk dana multi-nasional seperti sebagai Global Environment Facility (GEF). Sebelum 2010, Jepang telah mengalokasikan sekitar US $ 4 miliar untuk kegiatan REDD + dan bantuan teknis (+ Survey REDD, 2010), dimana sekitar 60% adalah pinjaman, hibah, dan bantuan teknis yang diberikan melalui hubungan bilateral. Antara 2010 dan 2012 -

yaitu selama periode Fast Start Finance (FSF) - Jepang

mengalokasikan sekitar US $ 720.000.000 untuk REDD+. Jepang juga telah mendirikan Mekanisme Joint Crediting (JCM) untuk melengkapi CDM. Menggunakan perjanjian bilateral dengan negara-negara hutan, Jepang dapat memperoleh pengurangan emisi dari Proyek REDD+. Serupa dengan Jerman, Jepang mengakui kebutuhan untuk mengambil tindakan dini untuk membayar kinerja, sebagaimana dibuktikan oleh penciptaan dari JCM. Pendanaan untuk strategis ini Intervensi dibangun di atas tindakan bilateral. (2) Norwegia, Norwegia adalah salah satu negara yang paling berkomitmen dalam upaya pengurangan emisi GRK melalui skema REDD, dengan rencana penurunan emisi 30 persen pada tahun 2020,terhitung dari level emisi pada tahun 1990. Langkah ini diawali ketika pada tahun 2007, Norwegia menjanjikan bantuan sebesar 500 juta USD, yang akan dibayar secara bertahap untuk mendukung program REDD di negara berkembang. Pada tahun 2008, Norwegia mewujudkan janji tersebut dengan mengaktifkan Norway’s International Climate and ForestInitiative (NICFI), yang bertugas untuk menanganani 18

pengawasan, penilaian, pelaporanserta verifikasi deforestasi dan degradasi hutan di negara-negara berkembang yang dibantupendanaan program REDD-nya oleh Norwegia. Pembentukan NICFI dilakukan oleh Norwegian Agency for Development Cooperation (NORAD), yaitu bagian dari Kementrian Luar Negeri Norwegia yang bertanggung jawab untuk menjaga efisiensi bantuan luar negeri Norwegia. Norwegia menyalurkan pendanaan melaluibeberapa institusi multilateral seperti UNREDD, Forest Carbon Partnership Facility yang dikelolaoleh World Bank, dan NonGovernmentalOrganization (NGO) lingkungan di seluruh dunia. Selain itu, Norwegia juga menjalin hubungan bilateral dengan negara-negara pemilik hutan hujan terbesar di dunia seperti Brazil, Indonesia, Meksiko, Kongo, Tanzania, Nepal, Mozambique dan Guyana dengan tujuan untuk berkontribusi dalam mempercepat pengurangan emisi GRK melalui sektordeforestasi. Bahkan Norwegia berkomitmen untuk menyumbangkan 1 Milyar USD bagi Indonesia danBrazil jika kedua negara tersebut berhasil mengurangi deforestasi dan degradasi serta mereformasi manajemen pengelolaan hutan menjadi lebih ramah lingkungan di masing-masing wilayah negaranya. Komitmen Norwegia inilah yang menjadikannya sebagai donor finansial terbesar di dunia untuk aktivitas REDD, yaitu dengan total 1.193,58 juta USD terhitung dari perjanjian selama tahun 2008-2013. (3) Australia, Australia mendanai REDD + melalui Hutan Internasional Carbon Initiative, hubungan bilateral dengan Indonesia dan

Papua Nugini, dan inisiatif. Selain itu

Australia juga memberikan dananya melalui International Forest Carbon Initiative (IFCI) untuk membantu mengembangkan negara berkembang menerapkan REDD. (4) Jerman, Jerman membiayai kegiatan REDD + dalam mengembangkan negara melalui Kementerian Federal Ekonomi

Kerjasama dan Pembangunan (BMZ). Federal

Kementerian Lingkungan Hidup, Konservasi Alam dan Keamanan Nuklir (BMU) juga mendukung proyek perlindungan iklim melalui Climate Initiative International (ICI). (5) Inggris, Selama COP19 di Warsawa, Inggris membuat komitmen untuk mengalokasikan US $ 120 juta untuk Dana Bio Carbon Inisiatif untuk Hutan Lestari Landscapes (ISFL). Sebuah intervensi strategis yang akan membangun Komitmen kuat untuk mengirim pendanaan 2012. Dan dengan konsisten dan komitmen keuangan saat ini yang dibuat oleh Inggris, Inggris juga mengumumkan kesediaan untuk mendanai tambahan program Dana Karbon FCPF, asalkan program yang kredibel yang cukup disetujui. Terakhir, namun tidak sedikit, dalam sebuah surat bersama dengan Norwegia dan Jerman, Inggris menyatakan dukungannya untuk program untuk mencapai tujuan deforestasi net zero di Amazon dan Kolombia pada tahun 2020. 19

(6) Amerika Serikat, Di Kopenhagen pada bulan Desember 2009, Amerika Serikat berjanji sekitar US $ 1 miliar untuk REDD + 2010-2012. Dimana pada 2010, Amerika Serikat memenuhi 25% dari keseluruhan janjinya, mengalokasikan sekitar US $ 250 juta untuk REDD+. Ini sebagian besar melalui US AID, dan dengan menyediakan hibah untuk GEF, FCPF dan FIP. Pada tahun 2011, pengeluaran REDD + naik menjadi US $ 277 juta, Secara keseluruhan, selama 2010-2012, yang USA mengalokasikan sekitar US $ 887.000.000 terhadap REDD+. Tambahan US $ 75 juta mungkin diarahkan untuk mendukung proyek-proyek hutan dan penggunaan lahan melalui Millennium Challenge Corporation (MCC). (7) Spanyol, Sebelum 2010, Spanyol telah mengalokasikan sekitar US $ 16,5 juta untuk REDD +, dengan 44% dialokasikan untuk FCPF Dana kesiapan dan 56% untuk GEF. Antara 2010 dan 2012 Spanyol menghabiskan sekitar US $ 49 juta pada REDD+. Meskipun Spanyol telah mengalokasikan sumber daya secara langsung ke beberapa negara melalui Kerjasama Internasional yang dan Badan Pembangunan, sumber daya ini lebih kecil dari negara-negara donor lainnya. Di Meksiko, \ Misalnya, Spanyol mengalokasikan sekitar US $ 55.000. Dalam kasus lain, seperti Senegal, DRC dan Indonesia, kuantitasnya tidak diketahu. komitmen keuangan dan perannya dalam meningkatkan permintaan untuk pengurangan emisi REDD+ pasca 2012 belum begitu jelas. (8) Swiss, Pada bulan Februari 2011, Federal Parlemen Swiss menyetujui janji FSF sekitar US $ 160 juta. (Selama tahun 2011, Swiss mengalokasikan sekitar US $ 11 juta untuk mendukung pengelolaan hutan lestari di negara berkembang, terutama dalam bentuk hibah untuk FCPF. Pada tahun 2012, Swiss menghabiskan tambahan dana untuk REDD+. Kontribusi total untuk periode 2010-2012 periode sekitar US $ 24 juta. Pada tahun 2013 Swiss mengalokasikan sekitar lain US $ 8 juta untuk REDD+, Meskipun kontribusinya lebih kecil dari negara-negara donor lainnya, Swiss diperkirakan akan terus mendukung REDD+.

Implementasi dari REDD lainnya dapat dilihat dari negara-negara yang bekerja sama baik secara bilateral ataupun multilateral berupa bantuan dana yang diberikan oleh beberapa negara industri kepada negara berkembang yang mempunyai hutan yang luas. (1) Indonesia dan Norwegia, Pada Oktober 2009, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berkomitmen untuk mengurangi emisi CO2 Indonesia sampai 26%, pada tahun 2020. Pemerintah Norwegia menyambut baik komitmen ini dan menyetujui penandatanganan 20

Surat Niat Letter of Intent (LoI) pada 26 Mei 2010. Norway akan memberikan kontribusi kepada Indonesia berdasarkan pengurangan emisi yang terverifikasi yang sejalan dengan skema REDD+. Pada bulan September 2010, Presiden Yudhoyono mendirikan Satuan Tugas REDD+ untuk memastikan bahwa implementasi REDD+ berjalan dengan baik melalui Keputusan Presiden No.19/2010. Dr. Kuntoro Mangkusubroto dipilih sebagai Ketua dari satuan tugas lintas sektoral ini, dan Kalimantan Selatan dipilih oleh Presiden sebagai provinsi percontohan dari program REDD+ di Indonesia pada bulan Desember 2010. Strategi REDD+ di Indonesia bertujuan untuk mengatur sumber daya alam secara berkelanjutan sebagai asset nasional demi kesejahteraan bangsa. Tujuan tersebut dapat tercapai melalui implementasi di lima area fungsional pembangunan institusi dan proses yang menjamin peningkatan tata kelola hutan dan lahan gambut, pengkajian ulang dan peningkatan kerangka peraturan, meluncurkan program strategis untuk manajemen lansekap, merubah paradigma lama dan melibatkan pemangku kepentingan utama secara bersamaan.

Sebagai

provinsi

percontohan,

Kalimantan

Tengah

akan

menjadi

laboratorium untuk uji coba penerapan dari lima area fungsional di atas. Provinsi lainnya di Indonesia akan menerapkan strategi REDD+ sesuai dengan kepentingan masingmasing provinsi. Untuk pelaksanaan di tingkat provinsi dan pusat, Satgas REDD+ akan membentuk institusi untuk memonitor, mengkoordinasi, dan mengimplementasi kegiatan REDD+; serta institusi untuk memonotir, melaporkan, dan meverifikasi. Sejalan dengan itu, instrumen pendanaan akan ditetapkan untuk memastikan ketersediaan dana. Prinsip skema REDD+ menekankan manfaat yang sebesar-besarnya kepada masyarakat dan perbaikan lingkungan. Skema REDD+ merupakan pilihan, dan bukan kewajiban bagi masyarakat. Peranan penduduk asli dan masyarakat tradisional dalam skema REDD+ sangat penting. Mereka harus dilibatkan lebih banyak lagi dalam proses pengambilan keputusan dan upaya-upaya untuk membawa keuntungan sosial dan ekonomi, seperti pendistribusian insentif dan jaminan bahwa lahan dan hak mereka terhadap sumber daya hutan diakui. Indonesia dan Brazil, di antara negara-negara berhutan, berada di posisi depan dalam hal menciptakan kemitraan multi-bilateral. Apa yang kita lakukan, dapat dan perlu menjadi referensi bagi negara-negara lainnya. Indonesia membangun dari bawah ke atas, mengindentifikasi persoalan yang terhampar di bawah, dan menjalinkannya dengan dunia satu per-satu secara bilateral - dan kemudian secara multibilateral. Norwegia, tentu saja, menjadi penghubungnya. Setelah Indonesia dan Brazil, mungkin saja terdapat beberapa multi-lateral satelit yang terhubung dengan Guyana, dengan Costa Rica dan seterusnya menjadi besar. 21

(2) Indonesia dan Australia, Upaya yang dilakukan Australia memainkan peran kunci dalam forum kerjasama ini. Australia turut mengambil langkah dalam negosiasi di bawah UNFCCC dan Protokol Kyoto mengenai insentif untuk REDD+. Sebagai upaya untuk mengurangi emisi gas karbon terkait mekanisme REDD+, Australia telah memberikan kontribusinya dalam melaksanakan upayanya. Upaya tersebut dilaksanakan melalui penyaluran dana dukungan kepada Indonesia. Upaya awal yang dilakukan Australia untuk keberlangsungan program, dilakukan melalui pengupayaan dana awal sebesar $200 juta AUD oleh The International Forest Carbon Initiative (IFCI) terhadap Indonesia. Hal ini menjadi kontribusi kunci Australia terkait dengan aksi global mengenai REDD+. IFCI merupakan suatu lembaga inisiatif yang dikelola secara administratif oleh Departemen Perubahan Iklim Australia (DCC) dan AusAID. IFCI sendiri adalah bagian penting dari kepemimpinan Internasional Australia pada

pengurangan emisi gas karbon dari

deforestasi. Dalam pelaksanaannya, lembaga ini mendukung upaya-upaya internasional untuk mengurangi deforestasi serta degradasi lahan hutan melalui konvensi kerangka kerja PBB terkait perubahan iklim. Tentunya hal ini bertujuan untuk menunjukkan bahwa pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan dapat menjadi perjanjian internasional yang adil dan efektif pada perubahan iklim. Pada pelaksanaan program IAFCP, dana yang dibutuhkan Australia dalam melaksanakan program secara total tercatat sebesar $ 100 juta AUD. Australia melalui IFCI menggabungkan $30 juta AUD untuk KFCP, paket bilateral senilai $ 10 juta AUD, dan tambahan $ 60 juta AUD lainnya untuk mendukung Indonesia tentang pengelolaan hutan. Berikut rincian pengupayaan dan oleh Australia terhadap Indonesia. Pada tahap pertama, bulan Juli di tahun 2008, pemerintah Australia berkomitmen sebesar $ 10 juta AUD untuk Indonesia dengan pembagian, $ 1 juta AUD untuk The Indonesia Forest and limate Alliane (IFCA) guna membantu Indonesia terkait persiapan kebijakan REDD+, $ 3 juta AUD untuk mendukung rancangan konsep metodologi REDD+, $ 3 juta AUD untuk manajemen api dan lahan gambut, $ 2 juta AUD untuk pemantauan dan penilaian karbon hutan, dan $ 1 juta AUD untuk memulai program pengelolaan. Kedua, Pada bulan September 2008 tambahan alokasi dana sebesar $ 30 juta AUD untuk memulai KFCP dengan pendekatan perlindungan dan rehabilitasi di lahan gambut Kalimantan Tengah. Program ini merupakan program pertama atas kegiatan demonstrasi REDD+ skala besar di Indonesia yang bertujuan untuk menunjukkan pendekatan yang terpercaya, adil efektif untuk 22

REDD+ termasuk dari degradasi lahan gambut. Fokus awal dari program ini adalam di atas lahan seluas lebih dari 100.000 hektar lahan gambut yang terdegradasi dan hutan di Kalimantan Tengah. Selanjutnya ketiga, pada bulan November 2008 kemudian Australia kembali mengumumkan komitmen sebesar $ 30 juta AUD untuk rencana penambahan proyek demonstrasi kedua tepatnya di Provinsi Jambi, Sumatera dengan melihat hasil dari implementasi KFCP. Tidak hanya sampai disana pengupayaan dan oleh Australia juga dilanjutkan pada bulan Desember 2010, Australia menambahkan dana sebesar $ 30 juta AUD untuk IAFCP sebagai tambahan dukungan kebijakan program. Sehingga total pengupayaan dana oleh Pemerintah Australia sebesar $ 100 juta AUD. Melalui dana ini, Australia telah melaksanakan upayanya untuk membiayai segala aktivitas untuk berlangsungnya program dalam mencapai tujuannya mengurangi emisi gas karbon dari deforestasi dan degradasi lahan hutan di Indonesia. Indonesia telah berhasil membangun sistem perhitungan karbon di Indonesia.Walaupun berdasarkan hasil yang diperoleh INCAS terkait tabel diatas terlihat penurunan emisi gas karbon yang terjadi di Kalimantan Tengah masih fluktuatif dari tahun ke tahunnya, namun emisi dari tingkat degradasi terlihat menurun secara signifikan dari tahun 2008 hingga 2011. Selain itu upaya – upaya yang dilakukan Australia juga telah memberikan dampak positif bagi peningkatan tata kelola hutan yang lebih baik bagi Indonesia terkait dengan mekanisme REDD+. Australia juga turut serta dalam meningkatkan kesadaran masyarakat maupun pemerintah untuk mengurangi emisi gas karbon Indonesia dengan mendorong terbentuknya berbagai kebijakan peningkatan kapasitas sistem di Indonesia. Dari kebijakan-kebijakan yang telah dibuat ataupun sedang dijalankan dapat dilihat bahwa implementasi skema REDD sejatinya telah dan sedang diupayakan oleh negaranegara di dunia, komitmen dan peran dari negara-negara maju sebagai pemberi insentif dan negara berkembang sebagai penerima insentif dan yang menjalankan program REDD dinegaranya harus dioptimalkan lagi, sehingga penurunan emisi dari deforestasi, degradasi hutan, pemeliharaan dan peningkatan cadangan karbon, melalui; konservasi hutan, pengelolaan hutan berkelanjutan (SFM), Rehabilitasi dan restorasi kawasan yang rusak, dan penciptaan mamfaat tambahan disamping manfaat dari karbon bisa diperoleh melalui skema kerja REDD+.

23

2.5 Studi Kasus : Dana bantuan Norwegia kepada Indonesia dan Brazil Norwegia merupakan suatu Negara kecil nan kaya akan sumber daya alam berupa minyak bumi dan gas alam. Kegiatan ekstraksi minyak bumi dan gas alam yang dilakukan oleh Norwegia ini tidak terlepas dari pasokan minyak bumi dan gas alam yang banyak terdapat di Negara ini sehingga tidak mengherankan jika Negara ini dikenal sebagai salah satu Negara penghasil minyak terbesar di dunia di luar Negara di kawasan Timur Tengah. Kegiatan industri yang dilakukan oleh Negara Norwegia memberikan dampak positif bagi perekonomian Negara dan juga dampak negatif bagi lingkungan dunia.B anyaknya kegiatan industri yang dilakukan oleh Norwegia ini justru memiliki andil yang cukup besar dalam menyumbangkan emisi gas yang merusak lingkungan global. Norwegia melakukan berbagai cara untuk mengurangi emisi gas yang telah dihasilkannya. Pada tanggal 9 Juli 1993 Norwegia meratifikasi Konvensi Kerangka Perubahan Iklim (UNFCCC) serta Protokol Kyoto pada 30 Mei 2002. Di bawah Protokol Kyoto, Norwegia termasuk ke dalam negara Annex 1 yang memiliki kewajiban untuk menurunkan emisi hingga 5.2% di bawah tingkat emisi tahun 1990. Total emisi Gas Rumah Kaca Norwegia adalah sekitar 54,8 juta ton CO2 pada tahun 2003. Emisi ini naik sekitar 9% pada periode 1990-2003.Faktor utama di balik pertumbuhan CO2 ini didapat dari sektor perminyakan, industrialisasi, penggunaan energi fosil dan transportasi. Emisi Gas Rumah Kaca Norwegia Tahun 1990-2003

Keterangan : Emisi Gas Rumah Kaca Norwegia tahun 1990-2003 serta proyeksi emisi gasrumah kaca tahun 2010 dan 2020. Diukur dalam satuan juta ton CO2. (Sumber : Departemen Kewenangan Pengendalian Pencemaran dan Statistik Norwegia. Norwegia berkomitmen untuk menjaga emisi Gas Rumah Kaca nya tidak melebihi tingkat emisi pada tahun 1990 lebih dari 1% pada periode 2008-2012. Namun 24

Norwegia dan sebagian besar negara-negara lain yang termasuk ke dalam negara Annex 1 merasa kesulitan untuk melakukan hal tersebut dikarenakan dalam upaya menurunkan emisi Gas Rumah Kaca hingga 5.2% itu berarti negara-negara tersebut diharuskan untuk mengurangi emisi 6 jenis Gas Rumah Kaca, salah satunya CO2 yang berarti mereka harus mengurangi

aktivitas

industrial

di

dalam

Negara mereka masing-masing. Untuk

membantu negara Annex 1 yang terikat kewajiban penurunan emisi, Protokol Kyoto menetapkan berbagai mekanisme fleksibel (flexible mechanisms) seperti perdagangan emisi (emission trading), mekanisme pembangunan bersih (clean development mechanisms), dan implementasi bersama (joint implementation). Mekanisme tersebut memungkinkan negara industri untuk memperoleh kredit emisi dengan cara membiayai proyek pengurangan emisi di negara di luar negara Annex 1. Protokol Kyoto memiliki masa komitmen yang berakhir pada tahun 2012. Namun, hingga masa berakhirnya Protokol Kyoto, nampaknya tidak ada komitmen yang ditunjukkan lewat konvensi legal oleh negara-negara maju untuk menekan tingkat emisi, terungkap dalam fakta bahwa emisi karbon malah meningkat 2,6% di tahun 2012 atau sekitar 58% jauh lebih tinggi dibandingkan emisi karbon dunia tahun 1990. Dengan tidak berhasilnya pelaksanaan Protokol Kyoto kemudian dilanjutkan dengan skema penurunan emisi baru yang dikenal dengan nama Reducing Emission fromDeforestation and Forest Degradation (REDD) yang diharapkan dapat menjadi mekanisme penurunan emisi yang lebih baik dibandingkan Protokol Kyoto. Norwegia sendiri telah memulai inisiatif untuk mencegah deforestasi dan degradasi hutan pada pertemuan COP-13 yang diadakan di Bali pada bulan September 2007 dan disampaikan oleh Jens Stotelnberg yang merupakan perdana menteri Norwegia saat itu. Inisiatif ini disebut dengan Norway’s International Climate and Forest Initiative (NICFI). Inisiatif ini akan terus dilakukan dengan utjuan untuk mencapai hasil jangka panjang. Badan ini nantinya juga akan menjamin dana yang dikeluarkan kepada Negara-negara pemilik hutan dapat diunakan secara efektif dan efisien. NICFI telah memberikan dukungan dalam program REDD internasional berupa pendanaan bertahap, total yang dijanjikan NICFI sebesar 19,8 Miliar NOK (3,3 Miliar Dolar) untuk disalurkan kepada lembaga dan Negara pengurus REDD. Sebesar 68% total pendanaan disalurkan kepada Negara mitra antara lain Brazil, Indonesia dan Guyana. Adapun rincian pencairan pendanaan REDD hingga tahun 2013 adalah sebgai berikut: 1. 10,3 Miliar NOK (1,7 Miliar Dollar) sudah dicairkan NICFI selama tahun 2008-2013 2. Diakhir tahun 2013 dicairkan 75% total pendanaan NICFI yaitu kepada: 25

a. Forest Carbon Partneship Facility (1,2 Miliar Dollar, sekitar 11%) b. UN-REDD Programme (1,1 Miliar NOK, sekitar 11%) c. Civil Society/Masyarakat sipil (1 Miliar NOK, sekitar 9%) d. Brazil (4,6 Miliar NOK, sekitar 44%) e. Dan sisanya untuk Meksiko, Vietnam, Indonesia, Tanzania dan Guyana (Sekitar 25%)6

Perbandingan Implementasi Dana Norwegia Di Indonesia Dan Brazil. Komitmen Norwegia untuk mengurangi emisi gas rumah kaca melalui skema REDD+ menjadikannya sebagai donor finansial terbesar di dunia untuk aktivitas REDD, Brazil dan Indonesia merupakan dua Negara yang paling banyak dijanjikan pendanaan REDD oleh Norwegia. Pelaksanan pengurangan emisi gas rumah kaca melalui dana bantuan REDD di kedua Negara ini menunjukkan hasil yang berbeda. Hasil implementasinya dari tahun 2008 hingga tahun 2013 bisa dilihat melalui grafik berikut:

6

Real Time Evolution of Norway’s International Climate and Forest Initiative (NICFI) Synthesising Report 2007-2013, Melaluihttps://www.norad.no/en/toolspublications/publications/2014/real-time-evaluation-of-norwaysinternational-climate-and-forest-initiative.-synthesising-report-2007-2013/. Diakses tanggal 21 Maret 2017

26

Grafik pertama menjelaskan berapakah pengeluaran yang telah dikeluarkan Norwegia untuk REDD dari tahun 2008-2013. Disana diperlihatkan bahwa Brazil mendapatkan

40%

pendanaan

dari

keseluruhan,

sedangkan

Indonesia

hanya

mendapatkan 2%. Sedangkan Grafik kedua memperlihatkan berapa hibah yang telah dijanjikan oleh Norwegia kepada Negara-negara berkembang untuk mengurangi deforestasi, degradasi dan gas rumah kaca melalui REDD dari tahun 2008 – 2013. Dari grafik di atas dapat dilihat bahwa meskipun Indonesia telah dijanjikan pendanaan yang sama besar dengan Brazil yaitu sekitar 30%, namun pengeluaran yang diberikan oleh Norwegia terhadap Indonesia baru 2% sedangkan Brazil tetap mendapatkan hibah yang sesuai. Alasan-alasan yang menyebabkan adanya perbedaan dalam pemberian dana bantuan antara Negara Indonesia dan Brazil disebabkan oleh beberapa faktor. Sebelum menjelaskan faktor-faktornya, terlebih dahulu dijelaskan bagaimana implementasi dana bantuan REDD di kedua Negara. Di Indonesia sendiri penerapan REDD Kerjasaman Indonesia dan Norwegia yang tertuang dalam Letter of Intent yang ditandatangani oleh kedua Negara ini akan dilakukan dalam tiga fase, yang mana dijelaskan dalam tabel berikut: Tabel Fase kerjasama Indonesia dan Norwegia dalam Letter of Intent (LOI) Fase Fase I (Persiapan)

Program 1. Pembentukan Rencana Aksi Nasional (Strategi

Nasional

REDD

di

Indonesia) 2. Pembentukan Satuan Tugas (Satgas) REDD

untuk

usaha-usaha

mengkoordinasikan pengembangan

dan

implementasi REDD 27

3. Merancang

dan

menetapkan

instrument pengelolaan dana hibah 4. Menetapkan

Provinsi

Percontohan

(Kalimantan Tengah) Fase II (Transformasi)

1. Mekanisme

MRV

(Measurement,

Reporting and Verification) 2. Penebitan Moratorium 3. Membangun database Hutan Rusak untuk pembangunan Ekonomi dan Investasi 4. Penegakan Hukum Pemberantasan Illegal Logging 5. Penyelesaian Konflik lahan Fase

III

Berdasarkan diverifikasi)

(pengurangan

Emisi

1. Implementasi

dari

mekanisme

Kontribusi

yang

pengurangan

emisi

berdasarkan

kontribusi yang diverifikasi

Kerjasama pengurangan emisi gas karbondioksida ini menuntut Indonesia untuk melakukan upaya dalam melindungi hutannya agar tidak menyumbang gas karbondioksida. Kondisi hutan di Indonesia sedikit lebih unik karena pada umumnya tanah di Indonesia merupakan tanah gambut, jadi apabila terjadi kebakaran hutan maka akan sangat sulit untuk memadamkan api sehingga akan banyak menyumbangkan gas karbondioksida ke udara sebagai hasil dari pembakaran hutan tersbut. Melalui LOI ini juga menuntut Norwegia untuk membantu Indonesia melindungi hutan di Indonesia agar tidak menyumbang gas karbondioksida di udara sehingga emisi gas Norwegia bisa berkurang. Norwegia akan memberikan sejumlah dana hibah kepada Indonesia untuk digunakan Indonesia sebagai modal untuk melindungi hutan Indonesia. Pemerintah Norwegia melalui LOI ini akan berkomitmen memberikan dana hibah kepada Indonesia dalam fase persiapan dan fase transformasi dana sebesar US$ 200 Juta pada fase I dan fase 2 dan akan memberikan dana kembali pada fase 3 sebesar US$ 800 Juta pada tahun 2014 berdasarkan pada penurunan angka emisi yang dilakukan Indonesia

28

pada tahun 2013.7 Namun, setelah enam tahun LOI antara Indonesia dan Norwegia ditandatangani, belum terlihat progress yang signifikan dari hasil yang diberikan oleh Indonesia, Indonesia masih belum bisa mengurangi tingkat ddeforestasinya secara signifikan seperti yang diharapkan oleh Norwegia, karena prinsipnya “No Result, No Payment”. Lebih lanjut, Vidar Helgesen, Menteri Iklim dan Lingkungan Norwegia mengatakan Indonesia telah gagal mencegah deforestasi. Sejauh ini, dari 1 Miliar US Dollar yang Norwegia tawarkan kepada Indonesia untuk mengurangi deforestasi, hanya 60 juta US Dollar yang baru diberikan kepada Indonesia. Berbeda di Brazil yang memiliki kemajuan besar dalam penerapan REDD. Tahun 2009, Norwegia setuju untuk membayar 1 Miliar US$ kepada Dana Amazon Brazil, jika Brazil berhasil mengurangi deforestasi di Amazon. Norwegia sejauh ini telah memberikan 900 juta US$ dan membayar 100 juta US$ pada akhir 2016.8 Brazil menjadi contoh yang menarik karena membuat kemajuan besar dalam membangun kerangka Undang-undang REDD. Selain itu, dengan mempertimbangkan keterlibatan masyarakat adat dan beberapa NGO menjadi salah satu pendukung implementasi REDD. Dua inisiatif REDD telah diluncurkan oleh Pemerintah Nasional Brazil, yaitu: 1) Rencana Aksi Nasional untuk Mencegah dan Kontrol Deforestasi di Amazon (PPCDAM), yang meliputi peraturan teritorial dan pemantauan lingkungan, serta mendorong pembangunan berkelanjutan di kawasan ini. 2) Rencana Nasional Perubahan Iklim (2008), yang menetapkan target nasional untuk pengurangan emisi di beberapa sektor dan termasuk Amazon. Tujuannya adalah untuk mencapai pengurangan 80 persen pada tahun 2020. Sejalan dengan aksi-aksi politik ini, Brazil telah mendirikan Dana Amazon, dikelola oleh Bank Nasional Brasil untuk Pembangunan Ekonomi dan Sosial (BNDES). Dibuat pada tahun 2008, (Cerbu, 2009) ini adalah mekanisme pembiayaan nonpenggantian yang membantu untuk mendorong pelestarian hutan Amazon, memberikan kontribusi untuk mencegah dan memerangi deforestasi, serta mempromosikan inisiatif pembangunan berkelanjutan.

7

Ringkasan Eksekutif Greenpeace. Surat Niat Indonesia – Norwegia untuk menurunkan emisi gas rumah kaca dari deforestasi dan degradasi hutan.Kajian Kemajuan dari Greenpeace November 12.Diakses tanggal 21 Maret 2017. 8 Norway pays Brazil US$1 billion. But what for, exactly? http://www.redd-monitor.org/2015/10/01/norway-pays-brazil-us1-billion-but-what-for-exactly/ Diakses tanggal 21 Maret 2017

29

Ban Ki-moon, Sekretaris Jendral PBB mengatakan bahwa hubungan partner antara Brazil dan Norwegia melalui Dana Amazon memperlihatkan dukungan yang intensif terhadap salah satu aksi mitigasi perubahan iklim yang paling membuahkan hasil dalam dekade terakhir ini. Hubungan partner ini merupakan contoh dari kerjasama internasional yang dibutuhkan untuk menjamin keberlangsungan planet bumi di masa depan.9

9

Ibid

30

BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan Fenomena perubahan iklim bukan saja menjadi tanggung jawab suatu negara namun merupakan tanggung jawab bersama negar-negara di dunia sebagai masyarakat internasional karena dampak serius yang akan dihadapi akan mengancam kehidupan umat manusia, berangkat dari kenyataan tersebut, pembahasan mengenai perubahan iklim mulai dibahas di forum-forum internasional, sampai pada akhirnya tahun 1992 dalam Earth Summit (KTT Bumi) disusunlah United Nation Framework Conference for Climate Change (UNFCCC, yang lahir dari desakan dan kebutuhan masyarakat internasional dalam mengahadapi perubahan iklim, dan menjadi wadah resmi bagi negara-negara untuk membahas dan mengupayakan cara dan kerangka kerja menghadapi perubahan iklim. Berawal dari UNFCCC, maka setiap tahunnya sejak 1995 diadakan pertemuan dengan panel yang disebut CoP, pertemuan-pertemuan tersebutlah yang menghasilkan berbagai upaya-upaya dan kerangka kerja yang disetujui bersama, dari Protokol Kyoto hingga REDD+, dimana Ide mendasar tentang Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD) sangat sederhana: Negara-negara yang berkeinginan dan mampu untuk mengurangi emisi dari deforestasi hutan harus diberikan kompensasi secara finansial untuk melakukan hal tersebut. Pendekatan-pendekatan sebelumnya untuk mengatasi deforestasi hutan secara global selama ini tidak berhasil, akan tetapi, REDD memberikan sebuah kerangka kerja baru bagi negara-negara penebang hutan untuk dapat menghentikan trend lama ini. REDD yang pada dasarnya adalah pengurangan emisi. Rencana Aksi Bali yang diputuskan di Konferensi para Pihak (COP) pada sesi ke 13 menyatakan bahwa pendekatan komprehensif untuk mengurangi perubahan iklim harus mencakup: “Pendekatan kebijakan dan insentif positif tentang isu yang terkait dengan pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan di negara-negara berkembang.” Tetapi, mekanisme REDD di masa yang akan datang memiliki potensi yang lebih luas. REDD dapat langsung mengatasi perubahan iklim dan kemiskinan di daerah pedesaan, dalam waktu bersamaan melestarikan keanekaragaman hayati dan menjaga jasa-jasa ekosistem yang penting. Meskipun keuntungan-keuntungan ini nyata dan merupakan pertimbangan 31

yang penting, pertanyaan yang krusial muncul yaitu bagaimana kedua tujuan pembangunan dan konservasi akan membantu keberhasilan kerangka kerja REDD secara keseluruhan atau apakah akan memperumit dan sehingga memungkinkan menghambat proses negosiasi REDD. Sedangkan untuk penyebab deforestasi hutan bermacam-macam dan kompleks serta bervariasi dari satu negara ke negara lain. Tekanan lokal muncul dari masyarakat yang memanfaatkan hutan sebagai sumber bahan pangan, bahan bakar, dan lahan pertanian. Kemiskinan dan tekanan penduduk dapat mengakibatkan hilangnya lapisan hutan, yang kemudian membuat orang terperangkap dalam kemiskinan yang terus menerus. Sementara jutaan orang masih menebang pohon untuk menghidupi keluarganya, penyebab utama deforestasi hutan saat ini semakin meluas yaitu meningkatnya aktifitas pertanian berskala besar yang didorong olehpermintaan konsumen. Dalam dekade terakhir, deforestasi hutan telah beralih dari program besar pemerintah ke proses yang didorong oleh perusahaan. Pendorong permintaan untuk lahan pertanian bervariasi secara global. Maka, Dari kebijakan-kebijakan yang telah dibuat ataupun sedang dijalankan dapat dilihat bahwa implementasi skema REDD sejatinya telah dan sedang diupayakan oleh negara-negara di dunia, komitmen dan peran dari negara-negara maju sebagai pemberi insentif dan negara berkembang sebagai penerima insentif dan yang menjalankan program REDD dinegaranya harus dioptimalkan lagi, sehingga penurunan emisi dari deforestasi, degradasi hutan, pemeliharaan dan peningkatan cadangan karbon, melalui; konservasi hutan, pengelolaan hutan berkelanjutan (SFM), Rehabilitasi dan restorasi kawasan yang rusak, dan penciptaan mamfaat tambahan disamping manfaat dari karbon bisa diperoleh melalui skema kerja REDD+. Dan diharapkan kedepannya implementasi REDD maupun REDD+ dapat memberi dampak lansung terhadap upaya negara-negara dunia dalam menghadapi perubahan iklim.

32

DAFTAR PUSTAKA Buku Winarno, Budi. 2014. Dinamika Isu-Isu Global Kontemporer. Yogyakarta: CAPS. E-book Greenpeace. Executive Summary: The Indonesia - Norway Agreement to reduce greenhouse gas emissions from deforestation and forest degradation Greenpeace Assessment of Progress. Diakses tanggal 21 Maret 2017. Natural Resource Development Center. Konsep REDD+ dan Implementasinya. http://www.nature.or.id/publikasi/laporan-dan-panduan-kehutanan/modul-konsepredd.pdf Skripsi Aprillia, Dwi Monica. 2016. Faktor-Faktor Penghambat Implementasi Kerjasama Indonesia dan Norwegia dalam Skema REDD+ di Kabupaten Kapuas Provinsi Kalimantan Tengah (2013-2015). Jurusan Hubungan Internasional, Universitas Riau. Sani, Iqbal. 2016. Kepentingan Indonesia Bekerjasama dengan Norwegia dalam Kerangka Reducing Emission from Deforestation and Degradation (REDD) tahun 2010. Skripsi Ilmu Hubungan Internasional FISIP Universitas Riau. Jurnal Aiman, Mahardy Azhar dan Supriyadi. 2012. Kerjasama Norwegia dan Indonesia Mengurangi Emisi Gas Rumah Kaca Melalui Skema Reducing Emissions From Deforestation And Forest Degradation (REDD). UNIVERSITAS JEMBER Website Greenpeace. Apa itu REDD.http://www.greenpeace.org/seasia/id/campaigns/melindungihutan-alam-terakhir/apa-itu redd/ Diakses pada 17 Maret 2017 Lang, Chris. Norway admits that “We haven’t seen actual progress in reducing deforestation” in Indonesia. Diakses dari http://www/Redd-monitor.org pada 20 Maret 2017 Norad. 2014. Real Time Evolution of Norway’s International Climate and Forest Initiative (NICFI) Synthesising Report 2007-2013. Diakses dari https://www.norad.no/en/toolspublications/publications/2014/real-time-evaluationof-norways-international-climate-and-forest-initiative.-synthesising-report-20072013/. Pada 21 Maret 2017

33

Public Policy Indonesia. REDD+: A Failed Story in Indonesia? Diakses dari https://publicpolicyindonesia.wordpress.com/2017/02/10/redd-a-failed-story-inindonesia/ pada 21 Maret 2017 Redd Monitor. 2015. Norway pays Brazil US$1 billion. But what for, exactly?Diakses dari http://www.redd-monitor.org/2015/10/01/norway-pays-brazil-us1-billion-butwhat-for-exactly/ pada 21 Maret 2017 REDD+ Benefit Sharing. Center for International Forestry Research. Diakses dari http://www.cifor.org/redd-benefit-sharing/pada 18 Maret 2017 Shibao, Pek. REDD+, Sejauh Mana Keberhasilannya di Indonesia?Diakses dari http://www.mongabay.co.id/2015/04/22/redd-sejauh-mana-inisiatif-ini-berhasil-diindonesia/ pada 20 Maret 2017

34

Related Documents


More Documents from "Kevin Bran"