UNIVERSITAS ESA UNGGUL
HUBUNGANPOLA PEMBERIAN MAKAN, RIWAYAT PENYAKIT INFEKSI, POLA ASUH IBU DAN KEJADIAN GANGGUAN PERTUMBUHAN PADA ANAK 6-23 BULAN DI PUSKESMAS GANTUNG
PROPOSAL SKRIPSI Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar S.Gz
JESSA AULIA 201532001
PROGRAM STUDI GIZI FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ESA UNGGUL 2018
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan merupakan bertambahnya ukuran dan jumlah sel serta jaringan interselular,dengan artian bertambahnya ukuran fisik dan strukturtubuh sebagian atau keseluruhan sehingga dapatdiukur dengan satuan panjang dan berat (Depkes, 2005). Dilihat dari segi fisik, apabila anak tidak selaras atau sesuai dengan anak lain yang sama umurnya, maka anak tersebut mengalami gangguan terhadap pertumbuhannya. Pertumbuhan dan perkembangan anak baduta sebagian besar dipengaruhi oleh jumlah ASI yang diperoleh, termasuk energi dan zat gizi lainnya yang terkandung didalam ASI yang mempengaruhi status gizi baduta . Status gizi diartikan sebagai keadaan gizi seseorang yang diukur atau dinilai pada satu waktu.Penilaian atau pengukuran terhadap status gizi dapat dilakukan secara langsung maupun tidak langsung. Salah satu cara penilaian atau pengukuran status gizi adalah secara antropometri yaitu penilaian status gizi berdasarkan berat badan, tinggi badan, lingkar lengan atas dan tebal lemak dibawah kulit. Penilaian status gizi ini bertujuan untuk menentukan klasifikasi status gizi. Ada beberapa klasifikasi umum status gizi yang digunakan, antara lain adalah klasifikasi WHO dengan indikator yang digunakan, meliputi BB/TB, BB/U, dan TB/U (Supariasa, Bakri, dan Fajar, 2001). Status gizi akan optimal jika tubuh memperoleh zat-zat gizi yang diperlukan tercukupi, sehingga memungkinkan pertumbuhan fisik dan otak serta perkembangan psikomotorik yang optimal (Almatsier S. , 2001). Masalah gizi menjadi perhatian terbesar di negara berkembang termasuk Indonesia.Menurut (Muljati, 1991), adanya penurunan status gizi disebabkan karena kurangnya jumlah makanan yang dikonsumsi baik secara kuantitas maupun kualitas.(Hardinsyah, 2000)sebenarnya telah mengembangkan cara sederhana penilaian mutu gizi makanan atau Indeks Mutu Gizi Makanan bagi anak balita. IGS (Indeks Gizi Seimbang) mampu menjadi suatu instrumen untuk menilai kesesuaian konsumsi pangan anak di Indonesia terhadap anjuran porsi konsumsi pangan pedoman gizi seimbang 2014.Gizi yang optimal sangat penting untuk pertumbuhan fisik normal dan perkembangan serta kecerdasan bayi, anak-anak dan seluruh kelompok umur (Pedoman Gizi Seimbang, 2014).Ada beberapa dampak dari gangguan pertumbuhan berdasarkan BB/U, TB/U, dan BB/TB yaitu wasting,stunting dan underweight. Pada tahun 2017, stunting mempengaruhi anak dibawah 5 tahun sekitar 22,2% atau 150,8 juta anak dan wasting sekitar 7,5% atau 50,5 juta anak(WHO U. , 2018).Berdasarkan dari data Riskesdas 2013 persentase bayi
1
lahir pendek paling tinggi pada anak perempuan (21,4%) dan sedangkan lakilaki (19,1%). Menurut jenis pekerjaan orang tua (kepala rumah tangga), persentase anak lahir pendek tertinggi pada anak balita dengan orang tua yang tidak bekerja (22,3%) dan terendah pada kelompok yang bekerja sebagai pegawai (18,1%). Selanjutnya, persentase anak lahir pendek dipedesaan (21,9%) lebih tinggi dari perkotaan (19,1%)(Riset Kesehatan Dasar, 2013). Data dari UNICEF, WHO and The World Bank Child Malnutrition (2013)menunjukkan sebanyak 99 juta balita di dunia mengalami underweight, dimana 67 % nya berada di Asia. Dari 33 provinsi di Indonesia, 18 provinsi memiliki berat kurang diatas angka prevalensi nasional yaitu berkisar antara 18,5% di provinsi banten hingga 30,5% di Nusa Tenggara Barat.Prevalensi stuntingdi Afrika sebesar 40% dan Asia sebesar 36%. Berdasarkan peringkat di dunia mengenai anak balita yang stunting, Indonesia menduduki peringkat ke-5 dengan prevalensi stunting sebesar 37% (UNICEF, 2009).Persentase status gizi balita pendek di Indonesia masih tinggi dan merupakan masalah kesehatan yang harus ditanggulangi. Dibandingkan beberapa negara tetangga , prevalensi balita pendek di Indonesia juga tertinggi dibandingkan Myanmar (35%), Vietnam (23%), Malaysia (17%), Thailand (16%), dan Singapura (4%) (UNSD, 2014).Global Nutrition Report tahun 2014 menunjukkan Indonesia termasuk dalam 17 negara, di antara 117 negara, yang mempunyai tiga masalah gizi yaitu stunting, wasting dan overweight pada balita(Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI).Di Indonesia, data Riskesdas tahun 2010 menemukan angka gizi kurang masing-masing yaitu 17,9% underweight, 35,7% stunting dan 13,3% wasting. Persentase balita pendek yaitu <48 cm di Bangka Belitung sebesar 25,8% (Riset Kesehatan Dasar, 2013). Pada tahun 2018, tercatat bahwa persentase kejadian balita yang mengalami gangguan pertumbuhan terutama stunting terdata ada 15 orang balita. Masalah balita pendek menggambarkan adanya masalah gizi kronis, dipengaruhi dari kondisi ibu/calon ibu, masa janin, dan masa bayi/balita, termasuk penyakit yang diderita selama masa balita.Anak balitamerupakan kelompok umur yang paling sering menderita akibat kekurangan gizi (Santoso, 2004). Bayi dan anak dibawah lima tahun belum mampu mengekspresikan apa yang mereka inginkan, sehingga keberadaan orang tua dalam mengasuh dan merawat sangatlah berperan penting. Pola asuh merupakan faktor yang sangat erat kaitannya dengan pertumbuhan dan perkembangan anak di bawah lima tahun. Pada anak baduta sangat membutuhkan asupan makanan yang harus tercukupi dan masih tergantung pada perawatan dan pengasuhan ibunya. Memberikan pola asuh yang baik dan positif kepada anak akan memunculkan konsep diri yang positif bagi anak dalam menilai dirinya
2
sendiri. Pengasuh kesehatan dan makanan pada tahun pertama kehidupan sangat penting untuk perkembangan anak (Santoso S. d., 2005). Gangguan pertumbuhan pada awal masa kehidupan bayi antara lain disebabkan karena kekurangan gizi sejak bayi, pemberian makanan pendamping ASI (MP-ASI) yang terlalu dini atau terlalu lambat, MPASI tidak cukup mengandung energi dan zat gizi mikro terutama mineral besi dan seng, perawatan bayi yang kurang memadai, dan yang tidak kalah pentingnya adalah ibu tidak berhasil memberikan ASI eksklusif kepada bayinya(Depkesos, 2005).(WHO, Global strategy for infant, 2003)merekomendasikan pemberian ASI eksklusif 6 bulan pertama kehidupan dan dilanjutkan dengan pengenalan MP-ASI dengan terus memberikan ASI sampai usia 2 tahun.Menurut (Thesome, 2009)pengenalan MP-ASI terlalu dini (< 4 bulan) bisa menyebabkan risiko stunting.Faktor penyebab stunting pada tingkat rumah tangga yaitu kuantitas dan kualitas makanan yang tidak memadai/tidak adekuat, tingkat pendapatan orang tua, jumlah dan struktur anggota keluarga, pola asuh makan anak yang tidak memadai/tidak adekuat, pelayanan kesehatan dasar yang tidak memadai, serta sanitasi dan air bersih , dimana faktor tersebut terjadi akibat faktor pada tingkat masyarakat.Pemberian makanan yang kurang tepat dapat menyebabkan terjadinya grafik pertumbuhan yang tidak sesuai(Septiana, 2010).Kuantitas dan kualitas pangan yang dikonsumsi dipengaruhi oleh tingkat pendidikan ibu, tingkat pengetahuan ibu tentang gizi, ketersediaan pangan di keluarga dan tingkat pendapatan keluarga. Sanitasi lingkungan yang kurang baik juga memungkinkan terjadinya berbagai penyakit infeksi yang akhirnya dapat mempengaruhi status gizi(Andi Tenri Abeng, 2014).Dengan makin tersedianya air bersih untuk kebutuhan sehari-hari, maka smakin kecil risiko anak terkena penyakit kurang gizi (Soekirman, 2000).Infeksi dapat menghambat pertumbuhan linier melalui penurunan asupan makan dan penyerapan zat gizi, hilangnya zat gizi, peningkatan kebutuhan metabolik dan penghambatan transfer zat gizi ke jaringan.Anak yang mengalami infeksiseperti diare dan penyakit pernapasan rentan mengalami status gizi kurang dan jika dibiarkan akan berisiko terjadi stunting(Ermawati Sundari, Nuryanto, 2016). Puskesmas Gantung merupakan salah satu puskemas yang berada di Kabupaten Belitung Timur.Mengingat besarnya prevalensi di Bangka Belitung yang cukup besar yaitu gizi buruk sebesar 4,7%, gizi kurang 12,9% dan sangat pendek 8,4% (Kemenkes, Hasil Pemantauan Status Gizi (PSG) Tahun 2017, 2018), ditambah dengan adanya data mengenai faktor yang mempengaruhi sehingga penelitian mengenai pola pemberian makan, riwayat penyakit infeksi, pola asuh ibu dan kejadian gangguan pertumbuhan perlu dilakukan.
3
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan pola pemberian makan, riwayat penyakit infeksi, pola asuh ibu dan kejadian gangguan pertumbuhan pada anak 6-23 bulan di puskesmas gantung Belitung timur. 1.2 Identifikasi Masalah Masalah gangguan pertumbuhan anak merupakan salah satu permasalahan gizi yang dihadapi di dunia, khususnya di negara-negara miskin dan berkembang (Unicef, Improving Child Nutrition The Achievable Imperative for Global Progress, 2013).Menurut WHO, prevalensi balita pendek menjadi masalah kesehatan masyarakat jika prevalensinya mencapai 20% atau lebih.Pada masa balita, perawatan dan pengasuhan dari ibu sangat berperan penting.Balita yang makanannya tidak adekuat akan menyebabkan daya tahan tubuh akan melemah dan mudah terserang infeksi. Apabila balita hanya diberikan ASI saja tidak akan membantu dalam proses pemenuhan zat gizi nya, maka diperlukan makanan pendamping ASI (MPASI) agar zat gizi balita tercukupi. Kekurangan gizi dapat menimbulkan gangguan tumbuh kembang secara fisik, mental, sosial dan intelektual yang sifatnya menetap dan terus dibawa sampai anak menjadi dewasa.Pemberian makan untuk balita haruslah memerhatikan asupan zat gizi yang terkandung dan pola yang seimbang. Beberapa penyebab kurang gizi pada masa balita, di negara berkembang faktor utamanya adalah tidak cukupnya asupan makanan, infeksi dan berat badan waktu lahir (Atmarita, 2004).Faktor penyebab langsung terjadinya gizi kurang adalah ketidakseimbangan gizi dalam makanan yang dikonsumsi dan terjangkitnya penyakit infeksi. Apabila anak tidak mendapatkan asupan zat gizi dan vitamin yang tidak adekuat maka akan mengalami penyakit infeksi seperti diare dan penyakit pernapasan dan apabila berlangsung lama akan menyebabkan terjadinya stunting. Penyakit infeksi seperti infeksi saluran pernapasan dapat juga menurunkan nafsu makan (Arisman, 2004). 1.3 Pembatasan Masalah Agar tidak meluasnya objek pada penelitian maka peneliti akan membatasi masalah penelitian dengan hanya meneliti hubunganpola pemberian makan, riwayat penyakit infeksi, pola asuh ibu terhadap kejadian gangguan pertumbuhan pada anak 6-23 bulan di puskesmas gantung Belitung Timur.
4
1.4 Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang, identifikasi masalah dan pembatasan masalah ,maka perumusan masalah dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana hubunganpola pemberian makan, riwayat penyakit infeksi dan pola asuh dan kejadian gangguan pertumbuhan pada anak 6-23 bulan di Puskesmas Gantung. 1.5 Tujuan Penelitian 1.5.1 Tujuan Umum Mengetahui hubungan pola pemberian makan, riwayat penyakit infeksi, pola asuh ibu dan kejadian gangguan pertumbuhan pada anak 6-23 bulan di puskesmas gantung Belitung timur. 1.5.2 Tujuan Khusus Tujuan khusus dari penelitian ini adalah untuk : a. Mengidentifikasi pola pemberian makan pada anak 6-23 bulan. b. Mengidentifikasi riwayat penyakit infeksi pada anak 6-23 bulan. c. Mengidentifikasi pola asuh ibu pada anak 6-23 bulan. d. Mengidentifikasi gangguan pertumbuhan pada anak 6-23 bulan. e. Menganalisis hubungan pola pemberian makan dan kejadian gangguan pertumbuhan pada anak 6-23 bulan. f. Menganalisis hubungan riwayat penyakit infeksi dan kejadian gangguan pertumbuhan pada anak 6-23 bulan. g. Menganalisis hubungan pola asuh ibu dan kejadian gangguan pertumbuhan pada anak 6-23 bulan. 1.6 Manfaat Penelitian 1.6.1 Bagi Institusi Dapat menjadi referensi untuk penelitian selanjutnya dan memberikan informasi mengenai hubunganpola pemberian makan, riwayat penyakit infeksi, pola asuh ibu terhadap kejadian gangguan pertumbuhan pada anak 6-23 bulan. 1.6.2 Bagi Masyarakat Sumber informasi untuk masyarakat mengenai faktor apa saja yang mempengaruhi kejadian gangguan pertumbuhan sehingga dapat menurunkan angka kejadian gangguan pertumbuhan pada anak 6-23 bulan.
5
1.6.3 Bagi Peneliti Menambah pengetahuan dan meningkatkan kemampuan dalam menganalisis masalah yang terjadi di masyarakat khususnya gangguan pertumbuhan pada anak 6-23 bulanmelalui data dan literatur. 1.7 Keterbaruan Penelitian Beberapa penelitian yang berkaitan dengan penelitian ini tertuang dalam Tabel 1.1 adapun perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang lain adalah penelitian ini meneliti beberapa variabel independen yakni pola pemberian makan, riwayat penyakit infeksi, pola asuh ibu serta variabel dependennya adalah gangguan pertumbuhan sedangkan penelitian lain tidak demikian. Tabel 1.1 No Nama Penulis Judul Tahun Kesimpulan 1. Hendrayati, Hubungan Pola Asuh dan 2014 Tidak ada hubungan Nadimin, Asupan Zat Gizi Pada yang signifikan antara Sirajuddin, Siti Baduta Stunting dan atau pola asuh terhadap Uswatun Hasanah Wasting di Kelurahan kejadian stunting dan Allepolea Kecamatan Lau atau wasting (p > 0.05) Kabupaten Maros 2. Nurul Isnaini Hubungan Pola Asuh Ibu, 2016 Terdapat hubungan Pola Makan dan Penyakit antara pola asuh, pola Infeksi dengan Kejadian makan dan penyakit Gizi Buruk Anak Pada infeksi terhadap Balita di Kabupaten kejadian gizi buruk Magetan pada balita di kabupaten Magetan dengan (p= 0.000) 3. Neni Hariyati, Hubungan Antara Riwayat 2016 Tidak adanya Ninna Rohmawati, Infeksi dan Tingkat hubungan antara Farida Wahyu Konsumsi dengan riwayat infeksi Ningtyias KejadianStunting pada dengan kejadian Anak Usia 25-59 Bulan di stunting. Namun ada Wilayah Kerja Puskesmas hubungan antara KalisatKabupaten Jember tingkat konsumsi protein dengan kejadian stunting. 4. Irnayanti Asni Hubungan Pola Makan dan 2018 Terdapat hubungan Pola Asuh Orang Tua yang signifikan antara dengan Status Gizi Pada pola asuh orang tua Anak Usia 1-5 Tahun di terhadap status gini 6
No Nama Penulis
5.
Eva Ratna Dewi
6.
Yohan Yuanta , Didik Gunawan Tamtomo ,Diffah Hanim
Judul Tahun Kesimpulan Wilayah Kerja Puskesmas anak usia 1-5 tahun Sewon 1 Bantul dengan p = 0.003. Hubungan Pola Pemberian 2018 Terdapat hubungan ASI dan MP-ASI dengan yang signifikan Pertumbuhan Anak 6-24 antarapola pemberian Bulan di Desa Adil Makmur MP-ASI terhadap Kecamatan Bosar Maligas pertumbuhan anak 6Kabupaten Simalungun 24 bulan dengan p = Tahun 2016 0.043 < 0.05 dan terdapat juga hubungan pola pemberian ASI terhadap pertumbuhan anak dengan p = 0.002. Hubungan Riwayat 2018 Ada hubungan yang Pemberian ASI danPola signifikan antara Asuh Ibu dengan Kejadian riwayat pemberian ASI Gizi Kurang Pada Anak dengan kejadian gizi Balita di Kecamatan kurang di Wongsorejo Banyuwangi KecamatanWongsorejo (p<0,05) dan terdapat hubungan antara pola asuh pemberian makanan dan perhatian kesehatan terhadap kejadian gizi kurang dengan nilai p = 0,000 dan p= 0,002.
Berdasarkan penelitian-penelitian sebelumnya yang membahas hubungan pola asuh dan asupan zat gizi pada baduta stunting dan atau wasting, hubungan pola asuh ibu, pola makan dan penyakit infeksi dengan kejadian gizi buruk anak pada balita, hubungan antara riwayat infeksi dan tingkat konsumsi dengan kejadian stunting pada anak usia 25-59 bulan, hubungan pola makan dan pola asuh orang tua dengan status gizi pada anak usia 1-5 tahun, hubungan pola pemberian ASI dan MP-ASI dengan pertumbuhan anak 6-24 bulan, hubungan riwayat pemberian ASI dan pola asuh ibu dengan kejadian gizi kurang pada anak balita, maka dari itu peneliti menambahkan keterbaruan dengan variabel yang berbeda yaitu pola pemberian makan, riwayat penyakit infeksi dan pola asuh ibu dan menggabungkan kejadian gangguan pertumbuhan anak 6-23 bulan yang mencakup stunting,wasting,dan underweight. 7
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Gangguan Pertumbuhan 2.2.1 Pengertian Gangguan Pertumbuhan Pertumbuhan berkaitan dengan perubahan dalam besar, jumlah ukuran, tingkat sel yang diukur dengan ukuran berat (gram, pound, kilogram), ukuran panjang (cm, meter) dan umur tulang.Pertumbuhan adalah peningkatan secara bertahap dari tubuh, organ, dan jaringan dari masa konsepsi sampai remaja (Jelliffe D. B, 1989 dalam Supariasa, 2001 dalam Shella Monica Dalimunthe, 2015). Pertumbuhan adalah bertambahnya ukuran fisik dari waktu ke waktu (berat badan, tinggi badan atau ukuran tubuh lainnya) dan merupakan gambaran keseimbangan antara asupan dan kebutuhan zat gizi seorang anak dalam proses tumbuh (Aritonang, 2003). Terdapat periode dimana ketidakstabilan pertumbuhan terjadi yang disebut growth faltering. Growth faltering merupakan kejadian umum yang terjadi pada anak umur 0-6 bulan dengan ditandai ketidakstabilan grafik pertumbuhan, baik dalam pertumbuhan massa tubuh maupun pertumbuhan linear dan keduanya mengarah pada penurunan grafik jika dibandingkan dengan rujukan tertentu(Satoto, 1990). Apabila asupan zat gizi tidak terpenuhi maka pertumbuhan fisik dan intelektualitas balita akan terganggu, yang akhirnya menyebabkan generasi yang tidak tumbuh dan sumber saya manusia yang tidak berkualitas. Indikator yang digunakan untuk mengidentifikasi apakah anak mengalami gangguan pertumbuhan adalah dengan melihat z-skor berdasarkan antropometri WHO 2005 yaitu anak termasuk kategori stunting apabila < -3 SD (Sri Desfita, 2014). Berat badan menurut umur (BB/U) dikatakan wasting jika z score < - 2 SD dan berat bdan menurut tinggi badan (BB/TB) dikatakan underweight jika z score < -2 SD (Kemenkes, Hasil Pemantauan Status Gizi (PSG) Tahun 2016, 2017). Indikator pertumbuhan digunakan untuk menilai pertumbuhan anak dengan mempertimbangkan faktor umur dan hasil pengukuran tinggi badan dan berat badan, lingkar kepala dan lingkar lengan atas. Indeks yang umum digunakan untuk menentukan status gizi anak menurut ((AsDI), (IDAI), & (PERSAGI), 2016)adalah : 1. Berat Badan menurut Umur (BB/U) Indeks ini digunakan untuk menilai kemungkinan seoranganak dengan berat kurang, sangat kurang,atau lebih, tetapi tidak dapat digunakan untuk mengklasifikasikan status gizi anak.
8
Indeks ini sangat mudah penggunaannya, namun tidak dapat digunakan bila tidak diketahui umur anak dengan pasti. 2. Panjang Badan atau Tinggi Badan menurut Umur (PB/U atau TB/U) Indeks ini dapat mengidentifikasi anak pendek yang harus dicari penyebabnya. Untuk bayi baru lahir sampai dengan umur 2 tahun digunakan PB dan pengukuran dilakukan dalam keadaan berbaring, sedangkan TB digunakan untuk anak umur 2 tahun sampai dengan 18 tahun dan diukur dalam keadaan berdiri. Bila TB anak diatas 2 tahun diukur berbaring nilai TB harus dikurangi dengan 0,7 cm. 3. Berat Badan menurut Panjang Badan atau Tinggi Badan (BB/PB atau BB/TB). BB/PB atau BB/TB merefleksikan BB dibandingkan dengan pertumbuhan linear (PB atau TB) dan digunakan untuk mengklasifikasikan status gizi. 4. Indeks Massa Tubuh menurut Umur (IMT/U) IMT/U adalah indikator untuk menilai massa tubuh yang bermanfaat untuk menentukan status gizi dan dapat digunakan untuk skrining berat badan lebih dan kegemukan. Grafik IMT/U dan grafik BB/PB atau BB/TB cenderung menunjukkan hasil yang sama. Tabel 2.1 Pembakuan indikator status gizi balita Indikator Pertumbuhan Z-Score PB/TB BB terhadap BB terhadap IMT terhadap umur PB atau TB terhadap umur umur +3 SD Sangat tinggi Masalah Obes Obes pertumbuhan +2 SD Normal BB lebih BB lebih +1 SD Normal Kemungkinan Kemungkinan risiko BB risiko BB lebih lebih 0 (median) Normal -1 SD Normal Normal Normal Normal -2 SD Pendek BB kurang Kurus (Gizi Kurus Kurang) -3 SD Sangat BB sangat Sangat Kurus Sangat Kurus Pendek kurang (Gizi buruk)*
9
Sumber : Keputusan Menteri Kesehatan RI, tentang Standar Antropometri Penilaian Status Gizi Anak, Kemenkes RI, Dirjen Bina Gizi dan KIA, Direktorat Bina Gizi, 2011. *Gizi buruk : Bila ada edema bilateral, BB/TB bisa >-3 SD
Catatan : 1. Seorang anak dengan kategori sangat tinggi (panjang badan/ tinggi badan) merupakan masalah yang jarang ditemui, kecuali anak tersebut mengalami gangguan kelenjar endokrin seperti adanya tumor yang mengganggu produksi hormone pertumbuhan. Rujuk anak jika diduga mengalami gangguan kelenjar endokrin (misalnya jika orang tua tingginya normal tetapi anaknya tinggi sekali). 2. Seorang anak berdasarkan kategori BB/U, kemungkinan mempunyai masalah pertumbuhan, tetapi hal ini perlu dilihat berdasarkan indikator BB/PB atau BB/TB. 3. Hasil ploting +1 SD menyatakan kemungkinan anak mengalami risiko BB lebih. Bila kecenderungannya menuju ke garis +2 SD zscore, menunjukkan anak benar-benar mempunyai risiko gizi lebih. 4. Untuk anak yang pendek atau sangat pendek, kemungkinan akan mengalami kegemukan. 5. Mengacu pada berat bdan sangat rendah dalam modul Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS). 2.2 Baduta 2.2.2 Pengertian Baduta Usia 0-24 bulan atu biasa dikenal dengan istilah baduta merupakan masa pertumbuhan dan perkembangan yang pesat, sehingga disebut sebagai periode emeas sekaligus periode kritis. Periode emas dapat diwujudkan apabila pada masa ini, bayi dan anak memperoleh asupan zat gizi yang sesuai untuk tumbuh kembang yang optimal. Sebaliknya, apabila pada masa ini bayi dan anak tidak memperoleh asupan zat gizi yang sesuai kebutuhannya, maka periode emas akan berubah menjadi periode kritis yang akan mengganggu tumbuh kembangnya, baik pada masa ini maupun masa selanjutnya (Depkes, 2006). Bayi usia 6-24 bulan (baduta) menjadi salah satu kelompok usia yang rawan mengalami gizi kurang, hal ini dikarenakan baduta memerlukan zat gizi dalam jumlah yang besar. Masa baduta (bawah dua tahun) merupakan “Window of opportunity”.Pada masa ini, seorang anak memerlukan asupan zat gizi yang seimbang baik dari segi jumlah maupun proporsi untuk mencapai berat badan dan tinggi badan yang optimal (Soeparmanto, 2005).Kekurangan zat gizi pada baduta dapat menimbulkan gangguan tumbuh kembang secara fisik, mental, sosial, dan intelektual yang sifatnya menetap dan terus dibawa sampai anak tumbuh menjadi dewasa.Kekurangan zat gizi juga dapat menyebabkan terjadinya
10
penurunan atau rendahnya daya tahan tubuh seseorang terhadap penyakit infeksi.World Healthy Organization (WHO) menyatakan bahwa terjadinya gagal tumbuh pada masa bayi karena kurang gizi mengakibatkan terjadinya penurunan Intelectual Question (IQ), lebih rendah 11 poin dibandingkan dengan anak yang tidak mengalami kekurangan gizi (Depkes, 2006). 2.2.3
Faktor dan Fase Pertumbuhan Terdapat dua faktor utama yang berpengaruh terhadap pertumbuhan yaitu faktor genetik dan faktor lingkungan. Faktor genetik merupakan modal dasar dalam mencapai hasil akhir dari proses pertumbuhan anak. Faktor lingkungan yaitu termasuk asupan zat gizi, zat gizi memegang peranan penting dalam pertumbuhan dimana kebutuhan anak berbeda dengan kebutuhan orang dewasa (Cahyaningsih, 2011).Pemantauan berat badan menggunakan KMS (Kartu Menuju Sehat) dapat dilakukan secara mudah untuk mengetahui pola pertumbuhan anak. Terdapat 3 fase pertumbuhan menurut (Hurlock, 1978) dan (Flegal, 1999)yaitu : 1. Fase Pertumbuhan Lambat (lag phase) Fase pertumbuhan lambat terjadi pada awal pertumbuhan, berupa hasil sintesis enzimatik awal dan perubahan faal dalam sel serta panjang pendek fase ini tergantung pada konsumsi asupan zat gizi yang diperlukan untuk proses tersebut. 2. Fase Pertumbuhan Eksponensial (exponential phase) Fase pertumbuhan eksponensial terjadi penggandaan jumlah sel dalam setiap proliferasi. Keadaan ini terjadi apabila asupan zat gizi optimal dan tidak ada faktor lain yang menggangunya. 3. Fase Stasioner (stationary phase) Fase pertumbuhan stasioner terjadi akibat pembatasan yang ada termasuk keterbatasan asupan zat gizi dan adanya gangguan lain.
2.2.4 Kategori Gangguan Pertumbuhan Stunting, Wasting dan Underweight adalah indikator malnutrisi dan berdampak pada pertumbuhan anak (Underweight, the Less Discussed Type of Unhealthy Weight and Its Implications : A review, 2016). Stunting merupakan salah satu bentuk kelainan gizi dari segi ukuran tubuh yang ditandai dengan keadaan tubuh pendek hingga melampaui defisit -2SD di bawah standar WHO (WHO, 2010).Kejadian stunting pada anak balita membutuhkan perhatian khusus karena
11
berkaitan dengan risiko penurunan dalam kemampuan intelektual, produktivitas dan peningkatan risiko terhadap penyakit degeneratif dimasa mendatang (Nuryanto, 2013). Wasting adalah masalah gizi yang sifatnya akut, akibat dari peristiwa yang terjadi dalam waktu yang tidak lama seperti kekurangan asupan makanan.Dampak dari wasting itu sendiri yaitu menurunkan kecerdasan, produktifitas, dan berpengaruh terhadap kualitas SDM.Tingginya prevalensi gizi kurang (wasting) dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu buruknya kualitas konsumsi pangan sebagai akibat ketahan pangan keluarga yang masih rendah, buruknya pola asuh dan rendahnya akses pada fasilitas kesehatan (Hendrayati, 2013). Underweight merupakan gabungan dari gizi kurang dan gizi buruk berdasarkan indeks berat badan menurut umur (BB/U)(Suryani, 2016).Berdasarkan American Journal of Food Science and Nutrition Research, Underweight digambarkan sebagai berat badan yang terlalu rendah. Gizi kurang disebabkan karena kurangnya asupan energi dan protein serta disebabkan oleh penyakit infeksi. 2.3 Pola Pemberian Makan Pola pemberian makan sangat mempengaruhi perkembangan dan pertumbuhan bayi. Dengan menerapkan pola makan gizi seimbang, bayi usia 6-24 bulan akan mengalami pertumbuhan yang optimal termasuk kecerdasannya, apabila dalam periode ini mengalami kekurangan zat gizi maka pertumbuhan bayi akan terhambat (Mona Sylvia J.Manullang, 2012).Jadwal pemberian makanan yaitu 3 kali makanan utama (pagi, siang dan malam) dan 2 kali makanan selingan (diantara dua kali makanan utama). Anjuran makan untuk anak sesuai anjuran (Kemenkes, 2011): 1. Usia 0-6 bulan Diberikan air susu ibu (ASI) saja sesuai keinginan anak, paling sedikit 8 kali sehari pada pagi, siang maupun malam hari. 2. Usia 6-9 bulan Pemberian makan yang dianjurkan pada usia 6-9 bulan adalah: Pemberian ASI masih diteruskan Mulai memberikan makanan pendamping ASI (MP-ASI) seperti: bubur, susu, pisang, pepaya lumat halus, air jeruk, air tomat saring, dan lain-lain secara bertahap sesuai pertambahan umur Berikan bubur tim lumat dengan kuning telur / ayam / ikan / tempe / tahu / daging sapi / wortel / bayam / kacang hijau / santan / minyak
12
Setiap hari diberikan : a. Usia 6 bulan : 2 x 6 sdm peres b. Usia 7 bulan : 2-3 x 7 sdm peres c. Usia 8 bulan : 3 x 8 sdm peres 3. Usia 9 -12 bulan Pemberian makan yang dianjurkan untuk anak usia 9-12 bulan adalah : Pemberian ASI masih diteruskan MP-ASI diberikan lebih padat dan kasar seperti bubur nasi, nasi tim, nasi lembek Tambahkan telur / ayam / ikan / tempe / tahu / bayam / santan / kacang hijau / minyak Setiap hari diberikan : a. Usia 9 bulan : 3 x 9 sdm peres b. Usia 10 bulan : 3 x 10 sdm peres c. Usia 11 bulan : 3 x 11 sdm peres d. Berikan makanan selingan 2 kali sehari diantara waktu makan seperti buah, biskuit, kue 4. Usia 12-24 bulan Pemberian makan yang dianjurkan untuk anak usia 12-24 bulan adalah : Pemberian ASI masih diteruskan Berikan makanan keluarga secara bertahap sesuai dengan kemampuan anak Porsi makan sebanyak 1/3 orang dewasa terdiri dari nasi, lauk pauk, sayur dan buah Berikan makanan selingan yang mengandung zat gizi sebanyak 2 kali sehari diantara waktu makan Makanan sebaiknya bervariasi 5. Usia > 24 bulan Pemberian makan yang dianjurkan untuk anak usia > 24 bulan adalah : Berikan makanan keluarga 3 kali sehari sebanyak 1/3 – ½ porsi makan orang dewasa yang terdiri dari nasi, lauk pauk, sayur dan buah Berikan makanan selingan yang mengandung zat gizi sebanyak 2 kali sehari diantara waktu makan Pengaturan makan untuk bayi dan anak berbeda dengan orang dewasa karena mempunyai ciri khas tersendiri yaitu dalam masa pertumbuhan dan perkembangan . Ada dua tujuan pengaturan makan untuk bayi dan anak menurut (Prabantini, 2010) : 1. Memberikan zat gizi yang cukup bagi kebutuhan hidup yaitu untuk pemeliharaan atau pemulihan serta peningkatan kesehatan,
13
pertumbuhan dan perkembangan fisik dan psikomotor serta dalam melakukan aktivitas fisik. 2. Mendidik kebiasaan makan yang baik. Makanan untuk bayi dan anak harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: 1. Memenuhi kecukupan energi dan semua zat gizi sesuai dengan umur 2. Susunan hidangan disesuaikan dengan pola menu seimbang, bahan makanan yang tersedia dalam setempat, kebiasaan makan, dan selera terhadap makanan 3. Bentuk dan porsi makanan disesuaikan dengan daya terima, toleransi, dan keadaan faali bayi dan anak 4. Memperhatikan kebersihan perorangan dan lingkungan (Prabantini, 2010). Berdasarkan hasil penelitian (Muzayyaroh, 2017), menunjukkan bahwa pola pemberian makan yang baik maka status gizinya akan baik, begitupula apabila pola pemberian makan yang kurang maka status gizinya juga akan buruk dikarenakan ibu yang kurang telaten untuk memberikan makanan pada anak mereka. 2.4 Riwayat Penyakit Infeksi Penyakit infeksi merupakan kumpulan jenis-jenis penyakit yang mudah menyerang anak-anak yang disebabkan oleh infeksi virus, bakteri dan parasit (Ahmad Aniq Noor Mutsaqof, 2015). Sistem imun yang ada didalam tubuh anak belum terbentuk sempurna sehingga penyakitinfeksi rentan menyerang. Pemenuhan kebutuhan gizi akan berdampak pada kondisi kesehatan dan bisa juga sebaliknya, seperti status kesehatan (terutama infeksi) akan bedampak pada status gizi seseorang. Kekurangan zat gizi merupakan awal dari gangguan sistem kekebalan tubuh , sehingga anak mudah terserang penyakit infeksi. Penyakit infeksi yang diderita akan menyebabkan hilangnya nafsu makan sehingga asupan makan menjadi kurang (tidak adekuat) sedangkan tubuh membutuhkan asupan yang lebih banyak karena proses destruksi jaringan dan meningkatnya suhu tubuh (Sulistyoningsih, 2011). Penyakit infeksi akan memperburuk keadaan gizi dan akibat dari infeksi akan memperlemah kemampuan anak dalam melawan infeksi. Gizi buruk mengakibatkan terjadinya gangguan terhadap produksi antibodi, sehingga bibit penyakit dengan mudahnya masuk kedalam dinding usus
14
yang menyebabkan kerusakan pada dinding usus dan mengganggu produksi enzim untuk pencernaan makanan. Penyerapan zat gizi yang terganggu akan berakibat pada memburuknya keadaan gizi (Moehji, 1988). Gangguan gizi dan infeksi saling berkaitan erat, apabila terjadi akan memberikan prognosis yang lebih buruk. Infeksi akan memperburuk status gizi dan gangguan gizi akan memperburuk kemampuan anak dalam melawan penyakit infeksi. Prevalensi yang tinggi penyakit infeksi pada bayi dan balita, terutama diare dan infeksi saluran pernapasan (ISPA) mempengaruhi terjadinya gagal tumbuh (Jahari, 2008). Penyakit infeksinya antara lain diare, pneumonia dan malaria adalah penyebab kematian terbesar sekitar 5,9 juta anak balita meninggal (Agung Dirgantara Namangboling, 2017). Berdasarkan penelitian yang dilakukan(Venny Marisai Kullu, 2018), anak yang memiliki riwayat penyakit infeksi beresiko mengalami kejadian gangguan pertumbuhan seperti stunting. 2.5 Pola Asuh Ibu Menurut (Zeitlin, 2000), pola asuh ibu memiliki 4 aspek meliputi perawatan dan perlindungan anak, pemberian ASI dan MP-ASI, pengasuhan psikososial, serta praktek kebersihan diri dan sanitasi lingkungan.Pola asuh berarti tindakan pengasuhan anak yang dilakukan berulang ulang sehingga menjadi suatu kebiasaan, maka relevan dikaitkan dengan pengukuran status gizi dalamjangka lama.Semuanya berhubungan dengan keadaan ibu dalam halkesehatan (fisik dan mental), status gizi, pendidikan umum, pengetahuan dan keterampilan tentang pengasuhan anak yang baik, peran dalam keluarga atau dimasyarakat, sifatsehari-hari, adat kebiasaan keluarga danmasyarakat, dan sebagainya dari si Ibu atau pengasuh anak(Diana, 2010). Berdasarkan hasil penelitian dari (Venny Marisai Kullu, 2018), bahwa pola asuh ibu yang kurang baik akan menyebabkan anak mengalami gangguan pertumbuhan seperti stunting dibandingkan ibu yang memiliki pola asuh yang baik. 2.6 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Gangguan Pertumbuhan 2.6.1 Asupan Zat Gizi (Energi, Protein) Asupan memegang peran penting dalam pertumbuhan anak, dimana kebutuhan anak berbeda dengan kebutuhan orang dewasa karena asupan zat gizi untuk anak dibutuhkan untuk pertumbuhan yang dipengaruhi oleh ketahanan makanan keluarga (Marimbi, 2010).Zat gizi diperlukan tubuh tubuh untuk melakukan fungsinya yaitu menghasilkan energi, membangun dan memelihara jaringan serta mengatur prosesproses kehidupan.Ketersediaan zat gizi dalam tubuh menentukan keadaan gizi bayi dan balita apakah kurang atau lebih asupan zat
15
gizinya (Maryunani, 2010).Status gizi baik terjadi bila tubuh memperoleh zat-zat gizi yang cukup dan digunakan secara efisisen, sehingga memungkinkan pertumbuhan fisik, perkembangan otak, kemampuan kerja dan kesehatan secara umum pada tingkat setinggi mungkin (Almatsier, 2010).Status gizi adalah keadaan keseimbangan dalam bentuk variabel tertentu, perwujudan dari nutriture dalam bentuk variabel tertentu atau status gizi adalah keadaan tubuh yang mrupakan hasil akhir dari keseimbangan antara zat gizi yang masuk kedalam tubuh dan untilisasinya (Waryana, 2010).Status gizi kurang ataupun status gizi lebih merupakan gangguan atau masalah gizi (Almatsier S. , 2001).Status gizi kurang terjadi bila tubuh kekurangan satu atau beberapa zat gizi esensial, sedangkan status gizi lebih terjadi bila tubuh kelebihan zat-zat gizi dalam jumlah berlebih.Apabila konsumsi zat gizi tidak seimbang dan kebutuhan tidak tercukupi maka disebut gizi kurang atau malnutrition serta apabila asupannya berlebih disebut over nutrition(Notoadmodjo, 2007). a. Energi Kebutuhan energi bayi berdasarkan ukuran tubuh pada bulan-bulan awal kehidupan sangattinggi, tetapi mulai berkurang di bulan-bulan selanjutnya saat laju pertumbuhannya menurun. Pemilihan makanan yang baik akan berpengaruh terhadap kecukupan gizi sehari-hari untuk menjalankan dan menjaga fungsi normal tubuh. Energi merupakan asupan utama yang dibutuhkan oleh tubuh untuk menjalankan fungsinya. Kebutuhan energi yang tidak tercukupi akan menyebabkan fungsi protein, vitamin dan mineral tidak dapat berfungsi dengan efektif. Energi diukur dalam satuan kalori.Energi yang berasal dari protein menghasilkan 4 kkal/gram, lemak 9 kkal/gram dan karbohidrat 4 kkal/gram (Baliwati, 2004). Jika makanan yang dipilih tidak sesuai baik kuantitas maupun kualitas, maka tubuh akan akan kekurangan zat gizi esensial tertentu (Almatsier S. , 2001). Kebutuhan energi bayi dalam 6 bulan pertama berkisar antara 80-120 kal/kg berat badan. Saat kegagalan pertumbuhan terjadi pada anak, langkah awanya adalah dengan mengevaluasi kecukupan energi dan zat gizi yang ada dalam makanan yang dikonsumsi. Kekurangan energi terjadi bila konsumsi energi melalui makanan kurang dari energi yang dikeluarkan. Tubuh akan mengalami ketidakseimbangan energi, akibatnya berat badan kurang dari berat badan yang seharusnya (ideal). Apabila terjadi pada bayi dan anak akan menghambat pertumbuhan. Gejala yang ditimbulkan antara lain : gelisah, lemah,
16
cengeng, kurang bersemangat dan penurunan daya tahan tubuh terhadap penyakit infeksi serta menyebabkan anak megalami kondisi marasmus (Almatsier S. , 2010). Asupan makanan akan berpengaruh terhadap status gizi anak. Beberapa fungsi mtabolisme tubuh, kebutuhan energi dipengaruhi oleh BMR (Basal Metabolic Rate), kecepatan pertumbuhan, komposisi tubuh dan dan aktivitas fisik (Krummel, 1996). Beberapa faktor yang mempengaruhi kebutuhan energi bayi, diantaranya (Dr. Sandra Fikawati, 2015): 1. Berat badan bayi Bayi yang lebih berat badannya membutuhkan lebih banyak energi karena kebutuhan energi dihitung berdasarkan kg berat badan. 2. Kecepatan pertumbuhan Pada usia 0-2 bulan dan dibawah 6 bulan bayi membutuhkan energi yang sangat tinggi karena pada masa ini terjadi pertumbuhan yag sangat cepat. Kebutuhan energi bayi untuk tiap kg berat badan pada usia 0-2 bulan bisa mencapai 110 kal/kg BB. 3. Siklus tidur dan aktivitas fisik Bayi yang memiliki gerakan yang lebih aktif seperti suka menendang, meronta, menangis atau gerakan fisik lainnya membutuhkan energi yang lebih besar dibandingkan dengan bayi yang hanya diam dan duduk dengan tenang. 4. Terperatur dan iklim Kebutuhan energi akan meningkat jika peningkatan panas tubuh terjadi atau dibutuhkan. Hal ini terjadi apabila bayi sedang berada pada suhu dingin. 5. Respon metabolic terhadap makanan Saat makan dibutuhkan energi untuk mencerna, menyerap, dan menyimpan makanan. Proses metabolisme ini akan meningkatkan panas tubuh dan meningkatkan oksidasi dalam tubuh sehingga respon metabolic terhadap makanan akan meningkatkan BMR sebesar 10% selama 24 jam. 6. Status kesehatan dan masa penyembuhan Bayi yang demam membutuhkan tambahan energi sejumlah 13% dari kebutuhan normalnya, energi yang lebih tinggi juga dibutuhkan pada masa penyembuhan dan infeksi. Berdasarkan hasil penelitian (Shafira Roshmita Diniyyah, 2017), menunjukkan bahwa anak mendapatkan asupan energi yang tidak adekuat akan menyebabkan anak memiliki status
17
gizi dengan kategori gizi kurang dibandingkan dengan anak yang mendapatkan asupan energi yang cukup. b. Protein Protein adalah komponen dasar pada protoplasma dalam sel, karena itu asupan protein cukup penting untuk pertumbuhan normal bayi. Protein merupakan zat gizi yang sangat penting bagi tubuh , karena selain sebagai sumber energi, protein berfungsi sebagai zat pembangun tubuh dan pengatur di dalam tubuh. Fungsi utama protein adalah pembentukan senyawa tubuh yang esensial, regulasi keseimbangan air, memepertahankan netralitas tubuh, pembentukan antibodi, transport zat gizi, serta pertumbuhan dan pemeliharaan jaringan (Muchtadi, 2009). Protein akan diubah menjadi sumber energi bila energi yang berasal dari karbohidrat dan lemak tidak mencukupi kebutuhan tubuh. Akibatnya, protein sangat diperlukan untuk sintesis sebagian besar struktural tubuh.Selama masa pertumbuhan, protein dibutuhkan untuk pertumbuhan jaringan. Pada usia 6 bulan pertama, hampir 50% dari kecukupan protein bayi digunakan untuk pertumbuhan. Sementara itu, pada 6 bulan kedua, sekitar 40% kecukupan proteinnya untuk pertumbuhan dan selebihnya untuk pemeliharaan tubuh (maintenance) serta keperluan lain.Sumber protein dapat ditemui pada hewan (hewani) dan tunbuhan (nabati). Jenis pangan yang berasal dari protein hewani yaitu daging ayam, daging sapi, ikan, telur , susu. Sedangkan sumber protein nabati yaitu tahu, tempe, biji-bijian dan kacang-kacangan. Protein hewani adalah sumber protein berkualitas tinggi.Setiap 1 gram protein menghasilkan 4 kalori (Sutomo, 2010). Kecukupan gizi bayi menjelang usia 4 dan 6 bulan diperkirakan berdasarkan konsumsi protein yang berasal dari ASI (Dr. Sandra Fikawati, 2015). Jumlah protein yang dibutuhkan pada 6 bulan pertama kehidupan menurut AKG 2013 adalah 12 g/hari dan pada usia 6-12 bulan kebutuhannya meningkat menjadi 18 g/hari. Peningkatan protein dalam tubuh rata-rata 3,5 g/hari pada 4 bulan pertama dan 3,1 g/hari untuk 8 bulan keatas dengan peningkatan protein tubuh dari 11% menjadi 14,6% dalam tahun pertama. Bayi yang hanya mengonsumsi ASI pada 6 bulan pertama kehidupan (ASI Eksklusif) dengan jumlah yang tepat dapat memnuhi kebutuhan asam amino yang diperlukan oleh bayi (Dr. Sandra Fikawati, 2015). Kekurangan protein pada stadium berat menyebabkan kwashiorkor pada anak-anak dibawah lima tahun.
18
Kekurangan protein sering ditemukan secara bersamaan dengan kekurangan energi, menyebabkan kondisi yang disebut marasmus. Gejalanya antara lain: pertumbuhan terhambat, otot-otot berkurang dan melemah, edema, anak apatis, tidak nafsu makan, kulit kering, bersisik, pecah-pecah dan dermatitis, luka sukar sembuh, serta sering disertai anemia (Sri Syatriani, 2015). Berdasarkan penelitian yang dilakukan (Shafira Roshmita Diniyyah, 2017), menunjukkan bahwa anak yang mendapatkan asupan protein yang tidak tercukupi akan menyebabkan anak mengalami status gizi kurang dibandingkan anak yang tingkat asupan proteinnya tercukupi. 2.6.2 ASI Eksklusif ASI Eksklusif adalah pemberian ASI saja pada bayi tanpa tambahan makanan/minuman lain (susu formula/kaleng, pisang, madu, the, dll) kecuali obat, sampai usia 6 bulan (Kemenkes, 2010). Menurut (WHO, 1988), ASI sangat aman untuk bayi, namun semakin cepat bayi diberikan makanan tambahan, maka bayi akan semakin rentan terkena infeksi. Pemberian makanan padat atau makanan tambahan sebelum usia 6 bulan mempunyai dampak yang negatif terhadap kesehatan bayi dan tidak ada dampak positif terhadap perkembangan dan pertumbuhan (Roesli, 2005). Manfaat ASI menurut (Kemenkes, 2010) : 1. Satu-satunya makanan terbaik untuk tumbuh kembang bayi. 2. Mudah dicerna dan diserap. 3. Kebal terhadap penyakit infeksi. 4. Terhindar dari diare karena bersih dan tidak pernah basi. 5. Gigi, langit-langit dan rahang tumbuh secara sempurna. 6. Meningkatkan perkembangan kecerdasan mental emosional anak. Petunjuk pemberian ASI Eksklusif berdasarkan (Kemenkes, 2010) : 1. Diberikan pada bayi usia 0-6 bulan, tanpa memberikan makanan dan minuman apapun kepada bayi. 2. Menyusui sesuai kebutuhan bayi. Jika bayi telah tidur selama 23 jam, bangunkan bayi untuk disusui. 3. Jika ibu bekerja atau tidak berada dirumah, ibu memerah ASI dan minta orang lain untuk memberikan ASI perah dengan cagkir kecil atau sendok.
19
Berdasarkan hasil penelitian (Herlina, 2018) , menunjukkan bahwa anak yang tidak diberikan ASI eksklusif lebih beresiko 3,3 kali mengalami gangguan pertumbuhan yang tidak normal dibandingkan dengan anak yang mendapatkan ASI eksklusif akan mengalami pertumbuhan yang pesat. 2.6.3 Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) Pada periode umur 6-24 bulan, baik secara pertumbuhan maupun psikologisnya bayi sudah siap menerima makanan lunak, saring dan padat.Ketika ASI tidak lagi mencukupi kebutuhan gizi bayi, maka makanan pendamping ASI harus diberikan untuk memenuhi kebutuhan gizi bayi dan balita.Oleh karena itu, tidak baik jika menunda pemeberian MP-ASI kepada bayi yang sudah berusia 6 bulan ke atas karena dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan (Prabantini, 2010).Menurut (WHO, 1988), mulut bayi sudah siap untuk menerima makanan non-cair saat usia 6 bulan. Pada periode umur 6-24 bulan bayi dan balita rentan untuk mudah terserang berbagai macam penyakit dan periode dimana keadaan malnutrisi mulai terjadi. Meskipun bayi mendapatkan ASI dari ibu secara optimal, namun jika setelah berusia 6 bulan tidak mendapatkan makanan pendamping yang adekuat baik dari segi kuantitas maupun kualitas, bayi akan tetap mengalami stunted. Diperkirakan sekitar 6% atau 600 ribu kematian anak dibawah lima tahun dapat dicegah dengan memastikan anak-anak tersebut diberi makanan pendamping secara optimal(WHO, Nutrition: Complementary Feeding, 2011; UNICEF, 2008). Pemberian makanan pendamping ASI harus diberikan tepat pada waktunya, artinya bahwa semua bayi harus mulai menerima makanan pendamping sebagai tambahan ASI mulai dari usia 6 bulan ke atas dan diberikan dalam jumlah yang cukup, artinya makanan pendamping harus diberikan dalam jumlah, frekuensi, dan konsistensi yang cukup serta jenis makanan yang bervariasi untuk memenuhi kebutuhan gizi selama masa pertumbuhan (WHO, Nutrition: Complementary Feeding, 2011).WHO merekomendasikan , bahwa bayi mulai menerima makanan pendamping pada usia 6 bulan. Pada awal pemberian makanan pendamping, makanan pendamping diberikan 2-3 kali sehari selama usia 6-8 bulan, kemudian meningkat menjadi 3-4 kali sehari selama usia 9-11 bulan dan diberikan makanan ringan sebagai selingan makanan utama pada usia 12-24 bulan (WHO, Nutrition: Complementary Feeding, 2011). Jenis MP-ASI menurut (Kemenkes, 2010) : 1. Makanan Lumat, yaitu makanan yang dihancurkan atau disaring tampak kurang merata dan bentuknya lebih kasar dari makanan
20
lumat halus. Contoh : bubur susu, bubur sumsum, pisang saring yang dikerok, papaya saring, tomat saring, nasi tim saring, dll. 2. Makanan Lunak, yakni makanan yang dimasak dengan banyak air dan tampak berair. Contoh : bubur nasi, bubur ayam, nasi tim, kentang puri, dll. 3. Makanan Padat, yaitu makanan lunak yang tidak Nampak berair dan biasanya disebut makanan keluarga. Contoh : lontong, nasi tim, kentang rebus, biskuit, dll. (Cameron, 1983)menyatakan bahwa makanan pendamping ASI harus mengandung 4 komponen : 1. Makanan pokok sebagai komposisi utama. Contoh : beras, sereal, dsb. 2. Sumber protein baik nabati maupun hewani. Contoh : kacangkacangan, susu, daging, ayam, ikan, telur, dsb. 3. Sumber vitamin dan mineral seperti sayuran dan buah. 4. Sumber energi lainnya seperti minyak, lemak dan gula. Berdasarkan penelitian yang dilakukan (Rahmad, 2017) , menunjukkan bahwa anak yang kurang mendapatkan MP-ASI cenderung mempunyai pertumbuhan yang tidak normal dan beresiko 6,5 kali lebih besar mengalami gangguan pertumbuhan. 2.6.4 Pendidikan Ibu Kurangnya pengetahuan dan salah konsepsi adalah hal umu yang biasa dijumpai dalam masyarakat.Penyabab terjadinya gangguan gizi adalah kurangnya pengetahuan tentang gizi atau kemampuan menerapkan informasi yang yang diperoleh dalam kehidupan seharihari.Dalam penggunaan pangan yang lebih baik dapat dilakukan ibu dengan memahami dalam menggunakan pangan tersebut untuk membantu peningkatan status gizi.Hal penting yang dapat dilakukan untuk meningkatkan mutu kehidupan dan status gizi masyarakat, maka ibu perlu belajar menanam, menyimpan dan menggunakan pangan untuk memperbaiki konsumsi makanan (Suhardjo, 2003). Semakin tinggi pendidikan ibu akan semakin tinggi pula kemampuannya untuk berbagi otoritas dalam keluarga juga dalam mengasuh anak (Tim Pengembang Ilmu Pendidikan, 2007). Orang tua yang memiliki pendidikan yang lebih tinggi cenderung akan memilih bahan makanan yang mempunyai kualitas dan kuantitas yang baik. Semakin tinggi pendidikan orang tua makan semakin baik pula status gizi anaknya (Soekirman, 1985 dalam Suyadi,2009 dalam Shella Monica Dalimunthe, 2015).Tingkat pendidikan dan pengetahuan ibu sangat mempengaruhi kemampuan
21
ibu dalam mengelola sumber daya keluarga untuk mendapatkan bahan makanan yang cukup dan dibutuhkan serta melihat sejauh mana sarana pelayanan kesehatan gigi dan sanitasi lingkungan yang tersedia untuk dimanfaatkan sebaik-baiknya dalam kesehatan keluarga (Depkes, 1997 dalam Shella Monica Dalimunthe, 2015). Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka akan lebih mudah menerima informasi-informasi terkait gizi. Berdasarkan penelitian (Atikah Rahayu, 2014), menunjukkan bahwa ibu yang memiliki tingkat pendidikan rendah beresiko 5,1 kali lebih besar memiliki anak yang mengalami gangguan pertumbuhan seperti stunting. 2.6.5 Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) Bayi dengan berat badan lahir rendah adalah bila berat badannya kurang dari 2500 gram dan kategori normal apabila berat badan lahir lebih atau sama dengan 2500 gram yang diperoleh dari catatan kelahiran anak pada buku kesehatan ibu dan anak (KIA) dan kartu menuju sehat (KMS) (Darwin Nasution, 2014). Bayi dengan berat badan lahir rendah merupakan masalah yang perlu mendapatkan perhatian karena kemungkinan terdapat penyakit maternal dan fetal sebagai faktor yang dapat mengurangi kejadian BBLR, serta bayi dengan BBLR mempunyai risiko mortilitas dan morbiditas yang tinggi (Manuaba, 2007). Seorang anak yang mengalami BBLR akan mengalami defisit pertumbuhan yang kurang di masa dewasanya. Bayi lahir dengan BBLR akan beresiko tinggi pada morbiditas, kematian, penyakit infeksi, kekurangan berat badan dan stunting di awal periode neonatal sampai masa kanak-kanak(Wiyogowati, 2012). Berdasarkan hasil penelitian dari (Uki Nengsih, 2016), menunjukkan bahwa anak yang dilahirkan dengan BBLR (Berat Bayi Lahir Rendah) mengalami pertumbuhan yang tidak normal. 2.6.6 Sanitasi dan Air Bersih Sanitasi dasar adalah sarana sanitasi rumah tangga yang meliputi sarana buang air besar, sarana pengelolaan sampah dan limbah rumah tangga. Sanitasi yang buruk merupakan penyebab utama terjadinya penyakit, termasuk diare, kolera, disentri, tifoid, dan hepatitis A. Sanitasi yang baik sangat penting dalam menurunkan risiko kejadian penyakit dan kematian, terutama anak-anak (Kemenkes, 2008).
22
Air merupakan komponen lingkungan yang mempunyai peranan cukup besar dalam kehidupan.Banyak masyarakat yang terpaksa memanfaatkan air yang kurang bagus kualitasnya. Pada jangka pendek, kualitas air yang tidak baik dapat mengakibatkan muntaber, diare, kolera, tipus atau disentri (Kusnaedi, 2010). Dengan demikian, banyak anak yang meninggal akibat gabungan yang ditimbulkan oleh diare dan malnutrisi sehingga persediaan air terkontaminasi sumber utama pathogen yang menyebabkan diare (Widyastuti, 2005). Kehidupan anak-anak yang bertahan dengan sumber air yang terkontaminasi, kemungkinan besar akan menderita malnurisi, stunted, dan perkembangan otak (intelektual) yang terhambat. Berdasarkan hasil penelitian(Andi Tenri Abeng D. I., 2014)menunjukkan bahwa dengan sanitasi yang buruk, berdampak pada penyakit infeksi seperti diare yeng menyebabkan anak 14 kali lebih besar mengalami status gizi dengan kategori kurus dan ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan) beresiko 5 kali lebih besar mengalami status gizi dengan kategori kurus. 2.6.7 Pendapatan Keluarga Tingginya prevalensi stunting umumnya berhubungan dengan rendahnya kondisi sosial ekonomi.Eratnya hubungan antara kemiskinan dan gizi kurang menyebabkan banyak orang sering mengartikan bahwa penanggulangan masalah gizi kurang dapat dilaksanakan jika keadaan ekonomi sudah membaik.Tingkat pendapatan tertentu diperlukan untuk memenuhi gizi seimbang (Sudirman, 2008).Keluarga dengan pendapatan yang rendah, kurang menjamin ketersediaan jumlah dan keanekaragaman makanan karena uang yang terbatas keluarga tidak mampu mempunyai banyak pilihan (Apriadji, 1986). Keluarga terutama ibu dengan pendapatan rendah akan memiliki rasa percaya diri yang kurang dan memiliki akses yang terbatas untuk berpartisipasi dalam pelayanan kesehatan dan gizi seperti posyandu, bina keluarga balita dan puskesmas (Hartoyo et al (2000) dalam Shella Monica Dalimunthe, 2015).Oleh karena itu, mereka memiliki resiko tinggi mempunyai anak dengan gizi kurang. Namun, pada keluarga yang memiliki pendapatan lebih tinggi tidak menjamin bahwa makanan yang mereka konsumsi lebih baik dan beragam. Anak-anak yang berasal dari status ekonomi yang rendah akan mengkonsumsi makanan dalam jumlah sedikit dibandingkan dengan anak yang orang tua nya memiliki status ekonomi yang
23
tinggi.Dengan demikian, mereka mengkonsumsi makanan dengan energi dan zat gizi lainnya dalam jumlah yang sedikit. Anak-anak yang tinggal didaerah yang mengalami kekurangan suplai makanan akan memiliki tinggi badan lebih rendah daripada mereka yang tinggal didaerah yang memiliki suplai makanan yang cukup (Pipes, 1985). Faktor ekonomi akan berkaitan dengan kemampuan seseorang dalam memenuhi kebutuhan pangan, sehingga akan berkaitan pula dengan status gizi secara tidak langsung (Soehardjo, 1989). Dari hasil penelitian (Shafira Roshmita Diniyyah, 2017) menyatakan bahwa rendahnya pendapatan dapat menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya status gizi kurang pada balita.
24
2.7 Kerangka Teori
Gangguan Pertumbuhan
Dampak
Penyebab Langsung
Asupan Zat Gizi Tidak Tercukupi
Penyebab Tidak Langsung
Pola Pemberian Makan Tidak Efektif
Riwayat Penyakit Infeksi
Pola Asuh Ibu Tidak Memadai
Sanitasi dan Air Bersih Tidak Memadai
Kurangnya Pendidikan Orang Tua
Kurangnya Pemberian ASI eksklusif dan MPASI
Pokok Masalah di Masyarakat
Akar Masalah (nasional)
Kurang Pemberdayaan Wanita dan Keluarga, Kurang Pemanfaatan Sumber Daya Masyarakat
Krisis Ekonomi
(Sumber : UNICEF 1998)
25
Bayi BBLR
Berdasarkan kerangka diatas terlihat faktor-faktor yang mempengaruhi gangguan pertumbuhan yang dimana masing-masing variabel saling berkaitan. Ada 3 variabel independen yaitu pola pemberian makan,riwayat penyakit infeksi dan pola asuh ibu. Variabel dependen nya adalah gangguan pertumbuhan.Status ekonomi rendah dan tinggi mempengaruhi pemberian ASI eksklusif dan MPASI.Pemberian ASI eksklusif dan MP-ASI yang kurang atau cukup dipengaruhi dari pendidikan ibu. Dari pendidikan ibu yang dimana jika rendah maupun tinggi, nantinya akan berpengaruh terhadap pola asuh ibu pada anaknya dan terakhir akan menyebabkan anak mengalamai gangguan pertumbuhan yakni dari segi fisik anak tersebut berbeda dengan anak lainnya yang seumuran.Pola asuh ibu juga akan mempengaruhi pola pemberian makan terhadap anak, dimana nantinya pola makan anak akan terganggu dan tidak teratur serta pertumbuhan anak akan terganggu.Status ekonomi yang rendah, menyebabkan sanitasi dan air bersih yang buruk. Dampak dari sanitasi dan air bersih yang kurang atau buruk akan menyebabkan anak menderita penyakit infeksi seperti diare. Jika anak sudah menderita penyakit infeksi dan mengalami BBLR, anak akan mengalami gangguan pertumbuhan yakni pertumbuhan mereka tidak bisa seperti anak lain pada umumnya. 2.8 Kerangka Konsep Pada penelitian ini yang menjadi variabel bebas (independent) adalah pola pemberian makan, riwayat penyakit infeksi dan pola asuh ibu.Sedangkan, variabel terikat (dependent) adalah kejadian gangguan pertumbuhan. Variabel Independen Pola Pemberian makan
Variabel Dependen Gangguan Pertumbuhan
Riwayat Penyakit Infeksi
Pola Asuh Ibu
26
2.9 Hipotesis a. Ho : Tidak Ada hubungan antara pola pemberian makan dan kejadian gangguan pertumbuhan pada balita di puskesmas gantung. Ha : Ada hubungan antara pola pemberian makan dan kejadian gangguan pertumbuhan pada balita di puskesmas gantung. b. Ho : Tidak ada hubungan antara riwayat penyakit infeksi dan kejadian gangguan pertumbuhan pada balita di puskesmas gantung. Ha : Ada hubungan antara riwayat penyakit infeksi dan kejadian gangguan pertumbuhan pada balita di puskesmas gantung. c. Ho : Tidak ada hubungan antara pola asuh ibu dan kejadian gangguan pertumbuhan pada balita di puskesmas gantung. Ha : Ada hubungan antara pola asuh ibu dan kejadian gangguan pertumbuhan pada balita di puskesmas gantung.
27
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di wilayah kerja Puskesmas Gantung Belitung Timur dan penelitian dilakukan pada bulan Februar - Juni 2019. Pengambilan data juga dilakukan di posyandu yang ada di wilayah Puskesmas Gantung Belitung Timur yang memiliki jumlah baduta terbanyak. 3.2 Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah analitik kuantitatif dengan pendekatan cross sectional study. Sehingga peneliti akan mengambil data variabel bebas ( pola pemberian makan, riwayat penyakit infeksi dan pola asuh ibu ) dan variabel terikat ( gangguan pertumbuhan ). 3.3 Populasi dan Sampel 3.3.1 Populasi Populasi penelitian adalah baduta yang ada di wilayah kerja Puskesmas Belitung Timur. Populasi dalam penelitian ini diketahui dari data sensus sebanyak 606 baduta. 3.3.2 Sampel Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah baduta usia 6-23 bulanyang beresiko mengalami gangguan pertumbuhan dan mengalami gangguan pertumbuhan.Penelitian ini menggunakan purposive sampling dan perhitungan menggunakan G*Power 3.1.9.2 sebanyak 134 orang serta dilakukan penambahan 10% didapatkan sebanyak 147 orang baduta.
28
3.4 Kriteria Inklusi dan Eksklusi Tabel 3.1 Kriteria Inklusi 1. Baduta yang berada di wilayah Puskesmas Gantung Belitung Timur 2. Bersedia menjadi responden penelitian. 3. Baduta 6-23 bulan yang mempunyai KMS dengan catatan hasil penimbangan lengkap minimal 3 bulan terakhir sampai dilakukannya penelitian.
Kriteria Eksklusi 1. Baduta yang memiliki penyakit kongenital atau penyakit bawaan sejak lahir. 2. Baduta yang tidak diasuh ibunya.
3.5 Teknik Pengumpulan Data 3.5.1 Data Primer Pengumpulan data primer dilakukan oleh peneliti dengan wawancara menggunakan form data diri responden melalui ibu baduta untuk mengetahui data dasar baduta, pertanyaan mengenai pola
29
pemberian makan ibu pada anak selama kurun waktu 1 bulan untuk mengetahui data riwayat penyakit infeksi dan pola asuh ibu beserta dengan gangguan pertumbuhan yang terjadi. 3.5.2 Data Sekunder Pengambilan data sekunder dilakukan untuk melihat jumlah baduta yang datang ke Puskesmas Gantung Belitung Timur selama 1 tahun yang bertujuan untuk menentukan sampel yang akan diambil untuk memperoleh data baduta yang mengalami gangguan pertumbuhan di Puskesmas Gantung. 3.6 Instrumen Penelitian Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Formulir surat pernyataan bersedianya responden dijadikan sebagai sampel penelitian. 2. Data Pengukuran Antropometri. 3. Formulir food recall 2x24 jam, tanpa berturut-turut untuk menghasilkan gambaran asupan zat gizi lebih optimal dan memberikan variasi yang lebih besar tentang intake harian individu . 4. Kuesioner untuk ibu anak 6-23 bulan. Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah : 1. Software Nutrisurvey untuk menganalisis kandungan energi dan protein dalam makanan yang dikonsumsi oleh responden. 2. Timbangan bayi digital untuk mengukur berat badan anak 6-23 bulan. 3. Length Board untuk mengukur tinggi badan anak 6-23 bulan. 3.7 Variabel Penelitian 3.7.1 Variabel Dependen Variabel dependen pada penelitian ini adalah gangguan pertumbuhan. 3.7.2 Variabel Independen Variabel independen pada penelitian ini adalah pola pemberian makan, riwayat penyakit infeksi dan pola asuh ibu. 3.8 Definisi Konseptual 3.8.1 Pola Pemberian Makan Pola pemberian makan adalah berbagai informasi tentang kebutuhan, pemilihan bahan makanan dan status gizi yang memberikan gambaran mengenai macam dan jumlah makanan yang dimakan setiap
30
hari oleh balita serta ciri khas untuk suatu kelompok masyarakat tertentu (Sulistyoningsih, 2011). 3.8.2 Riwayat Penyakit Infeksi Penyakit infeksi dapat memperburuk keadaan gizi dengan mudah terjadinya infeksi, penyakit infeksi terkait status gizi yaitu TB, diare, dan malaria (Supariasa I. D., 2002). 3.8.3 Pola Asuh Ibu Pola asuh ibu terhadap anak berkaitan dengan keadaan ibu terutama kesehatan, pendidikan dan pengetahuan serta keterampilan dalam pengasuhan anak (Adni Abdul Razak, 2009). 3.8.4 Gangguan Pertumbuhan Gangguan pertumbuhan meliputi gangguan pertumbuhan yang dikategori normal dan kategori di bawah normal.Apabila grafik berat badan di bawah normal, anak beresiko mengalami kurang gizi, menderita penyakit kronis atau kelainan hormonal (Soetjiningsih, 2003).
31
3.9 Definisi Operasional Tabel 3.2 Variabel Pola Pemberian Makan
Definisi Operasional Praktek pemberian makan oleh ibu pada anak (6-23 bulan) seperti tingkat konsumsi energi dan protein serta lemak, jenis makanan.
Tingkat konsumsi energi dan protein
Besarnya asupan energi dan protein dari makanan yang dikonsumsi baduta selama 3x24 jam dibandingkan dengan angka kecukupan gizi (AKG).
Riwayat Penyakit Infeksi
Penyakit yang pernah diderita anak dalam 1 bulan terakhir meliputi ISPA, demam, batuk, influenza, diare, campak, pneumonia. Perilaku atau sikap ibu tentang pola asuh terhadap anak
Pola Asuh Ibu
Alat Ukur
Cara Ukur
Kuesioner Wawancara PMBA (Pemberian Makan Bayi dan Anak)
Hasil Ukur
Skala Ukur Ordinal
MP-ASI 1. Sesuai 2. Tidak Sesuai Makanan Keluarga 1. Sesuai 2. Tidak Sesuai
Lembar food recall 3x24 Wawancara jam
1. Baik : ≥100% AKG 2. Sedang : 80-90% Ordinal AKG 3. Kurang : 70-80% AKG 4. Defisit : <70% AKG
Wawancara
1. Pernah Sakit Ordinal 2. Tidak Pernah Sakit
Kuesioner sikap ibu Wawancara dalam
1. Baik, bila skor Ordinal >80% 2. Sedang, bila skor
Kuesioner pertumbuhan anak
32
Variabel
Gangguan Pertumbuh an
Definisi Operasional meliputi pertumbuhan anak.
Alat Ukur
Cara Ukur
Anak dinyatakan mengalami gangguan pertumbuhan apabila berat badan yang dicapai anak saat pengumpulan data lebih rendah dibandingkan dengan berat badan normal anak sesuai dengan tinggi badan pada nilai Zscore < -2 SD
Nilai Z-Score Penimbanga (WHO 2005) n berat badan dan pengkuran tinggi badan anak.
pengasuhan
Hasil Ukur
Skala Ukur
60-80% 3. Kurang, bial skor <60% Penilaian Interval antropometri dengan Z-Score berdasarkan BB/U (Wasting), TB/U (Stunting), BB/TB (Underweight)
3.10 Teknik Pengolahan Data Data yang telah dikumpulkan, selanjutnya diolah dengan bantuan komputer menggunakan proses SPSS ( Statistical Product and Service Solution ) melalui proses editing, coding, processing, cleaning dan tabulating data : Langkah-langkah pengolahan data menurut (Lapau, 2013) : a. Editing adalah tahapan kegiatan memeriksa valisitas data yang masuk seperti memeriksa pengisian kuesioner, kejelasan jawaban, relevansi jawaban, dan keseragaman suatu pengukuran. b. Coding adalah tahapan kegiatan mengklasifikasikan data dan jawaban menurut kategori masing-masing sehingga memudahkan dalam pengolahan data. c. Processing adalah tahapan kegiatan memproses data agar dapat dianalisis. Pemrosesan data dilakukan dengan cara meng-entry (memasukkan) data kedalam master tabel atau database komputer. d. Cleaning yaitu tahapan kegiatan pengecekan kembali data yang sudah di entry dan melalukan koreksi apabila terjadi kesalahan.
33
e. Tabulating merupakan tahapan kegiatan pengorganisasian data sedemikian rupa agar mudah untuk dijumlah, disusun, ditata untuk disajikan dan dianalisis.
3.11 Teknik Analisis Data Dalam pengolahan dan analisis data dimulai dari entry, coding, cleaning dan analisis. Pengolahan data dilakukan menggunakan Microsoft Word 2007 dengan menggunakan program statistik SPSS 22. Data yang diperoleh, dimasukkan dan diolah kedalam komputer.Analisis dilakukan secara bertahap meliputi analisis univariat dan analisis bivariat.
3.11.1 Uji Normalitas Data Analisis variabel pola pemberian makan, riwayat penyakit infeksi, pola asuh ibu dan gangguan pertumbuhan menggunakan uji korelasi pearson. Data harus terdistribusi normal dan uji Spearman apabila tidak terdistribusi normal. Uji statistik yang digunakan adalah Uji Korelasi Pearson. Korelasi Pearson digunakan untuk mencari hubungan atau menguji signifikan hipotesis asosiatif antara dua variabel atau lebih. Nilai korelasi berada diantara r = + 1. Karakteristik uji tersebut digunakan untuk mengetahui kekuatan atau keeratan hubungan yang dinyatakan dalam simbol r. Simbol r disebut nilai korelasi karena nilai ini tidak hanya menyatakan kekuatan dalam hubungan antara dua variabel atau lebih, teteapi juga dapat menentukan arah hubungan dari kedua variabel yaitu variabel independen dan variabel dependen. Dasar pengambilan keputusan untuk mengetahui apakah hubungan dua variabel signifikan atau tidak dapat dianalisis dengan ketentuan sebagai berikut: Jika probabilitas < 0.05, berarti ada hubungan yang signifikan antara kedua variabel. Jika probabilitas > 0.05, berarti tidak terdapat hubungan yang signifikan antara kedua variabel (Siregar, 2013).
3.11.2 Analisis Univariat Analisis ini dilakukan untuk mengetahui gambaran data berupa distribusi frekuensi variabel independen dan dependen,
34
yaitu pola pemberian makan, riwayat penyakit infeksi dan pola asuh ibu dan gangguan pertumbuhan. 3.11.3 Analisis Bivariat Analisis ini digunakan untuk menguji hubungan antara pola pemberian makan, riwayat penyakit infeksi dan pola asuh ibu terhadap kejadian gangguan pertumbuhan pada anak 6-23 bulan di Puskesmas Gantung Belitung Timur. Untuk mengetahui hubungan antara variabel independen dan variabel dependen dilakukan uji Spearman apabila data tidak terdistribusi normal dan uji Pearson apabila data terdistribusi normal.
35
DAFTAR PUSTAKA (AsDI), A. D., (IDAI), I. D., & (PERSAGI), P. A. (2016). Penuntun Diet Anak (3 ed.). (d. S. Sri S. Nasar, M. R. Suharyati Djoko, S. M. SA. Budi Hartati, & S. M. Y. Endang Budiwiarti, Eds.) Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Adni Abdul Razak, I. M. (2009). Pola Asuh Ibu Sebagai Faktor Risiko Kejadian Kurang Energi Protein (KEP) pada Anak Balita. Jurnal Gizi Klinik Indonesia, 6 (2), 96. Agung Dirgantara Namangboling, B. M. (2017). Hubungan Riwayat Penyakit Infeksi dan Pemberian ASI Eksklusif dengan Status Gizi Anak Usia 7-12 Bulan di Kecamatan Kelapa Lima Kota Kupang. Sari Pediatri, 19 (02), 92. Ahmad Aniq Noor Mutsaqof, W. S. (2015). Sistem Pakar untuk Mendiagnosis Penyakit Infeksi Menggunakan Forward Chaining. Jurnal Itsmart, 4 (1), 43. Almatsier, S. (2010). Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Andi Tenri Abeng, D. I. (2014). Sanitasi, Infeksi, dan Status Gizi Anak Balita di Kecamatan Tenggarong Kabupaten Kutai Kertanegara. Jurnal Gizi Klinik Indonesia, 10, 160. Apriadji, W. H. (1986). Gizi Keluarga. Jakarta: PT Penebar Swadaya. Arisman. (2004). Gizi Dalam Daur Kehidupan. Jakarta: EGC. Aritonang, I. (2003). Pemantauan Pertumbuhan Balita. Jakarta: Pt. Kanisius Jakarta. Atmarita. (2004). Changes in Malnutrition from 1989 to 2007 in Indonesia. Baliwati, Y. F. (2004). Pengantar Pangan dan Gizi. Jakarta: Swadaya. Cahyaningsih, D. S. (2011). Pertumbuhan Perkembangan Anak dan Remaja (1 ed., Vol. XIX). Jakarta: TIM. Cameron, M. d. (1983). Manual on Feeding Infants and Young Children. New York: Oxford University Press. Darwin Nasution, D. S. (2014). Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) dengan Kejadian Stunting pada Anak usia 6-24 Bulan. Jurnal Gizi Klinik Indonesia, 11 (01), 32-33. Depkes. (2005). Pedoman Pelaksanaan Stimulasi, Deteksi dan Intervensi Dini Tumbuh Kembang Anak di Tingkat Pelayanan Kesehatan Dasar. Jakarta: Depkes RI. Depkes. (2006). Pedoman Umum Pemberian MP-ASI Lokal. Jakarta: Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat, Depkes RI. Depkesos. (2005). Pertumbuhan dan Perkembangan. Jakarta: Departemen Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial RI. Diana, F. M. (2010). Pemantauan Perkembangan Anak Balita, 4 (2). Dinkes Provinsi Bangka Belitung. (2016). Profil Kesehatan . Dr. Sandra Fikawati, A. S. (2015). Gizi Ibu dan Bayi (1 ed.). Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Eka Kusuma & Nuryanto. (2016). Hubungan Asupan Protein, Seng, Zat Besi dan Riwayat Penyakit Infeksi dengan Z-Score TB/U pada Balita (Vol. 5). Semarang: Journal of College.
36
Flegal, K. (1999). Curve Smoothing and Transformation in The Development of Growth Curves. 70. Guenther PM, R. J.-S. (2008). Development of the Healthy Eating (Vol. 108). J Am Diet Assoc. Hardinsyah, M. M. (2000). Cara Sederhana Penilaian Mutu Gizi (Vol. XXIV). Media Gizi dan Keluarga. Hendrayati, d. (2013). Faktor yang Mempengaruhi Kejadian Wasting pada Anak Balita di Kecamatan Marioriwawo Kabupaten Soppeng. Retrieved from http://lib.ui.ac.id/naskahringkas/2016-06/S-PDFAbdulla%20Emir%20Pramudya Hidayat, A. A. (2007). Seri Problem Solving Tumbuh Kembang Anak: Siapa Bilang Anak Sehat Pasti Cerdas . Jakarta: Elex Media Komputindo. Hurlock. (1978). Child Development (sixth ed). New York: McGraw-Hil. Institute, I. D. (2009). Iron Overload. Retrieved from http://www.irondisorders.org/iron-overload Jahari, A. B. (2008). Masalah Gagal Tumbuh pada Anak Balita Masih Tinggi: Adakah yang "Kurang" dalam Kebijakan Program Gizi di Indonesia? Gizi Indo, 31 (02), 124. Kemenkes. (2018). Hasil Pemantauan Status Gizi (PSG) Tahun 2017. Jakarta: Kementerian Kesehatan. Kemenkes. (2011). Pedoman Kader Seri Kesehatan Anak. Jakarta: Kementrian Kesehatan RI. Kemenkes RI. (2016). Situasi Balita Pendek. Kemenkes, R. (2017). Hasil Pemantauan Status Gizi (PSG) Tahun 2016. Jakarta. Kemenkes, R. (2008). Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 852/Menkes/SK/IX/2008 tentang Strategi Nasional Sanitasi Total Berbasis Masyarakat. Jakarta: Menteri Kesehatan RI. Kesehatan, B. P. (2013). Riset Kesehatan Dasar. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI. Krummel, D. a. (1996). Nutrition in Women's Health. USA: Aspen. Kusharisupeni. (2002). Growth Faltering pada Bayi di Kabupaten Indramayu Jawa Barat (Vol. 23). Makara Kesehatan. Kusharisupeni. (2011). Peran Status Kelahiran terhadap Stunting Pada Bayi : Sebuah Studi Prospektif. Retrieved from Diunduh dari http://www.univmed.org/wp-content/uploads/2011/02/Kusharisupeni.pdf Kusnaedi. (2010). Mengolah Air Kotor untuk Air Minum. Jakarta: Penebar Swadaya. Lapau, B. (2013). Metode Penelitian Kesehatan. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Manuaba, M. C. (2007). Pengantar Kuliah Obstetri. Jakarta: EGC. Marimbi, H. (2010). Tumbuh Kembang Status Gizi dan Imunisasi Dasar Pada Balita. (W. Kristianasari, Ed.) Yogyakarta: Nuha Medika. Mona Sylvia J.Manullang, A. S. (2012). Gambaran Pola Konsumsi dan Status Gizi Baduta (Bayi 6-24 Bulan) yang Telah Mendapatkan Makanan Tambahan Taburia di Kelurahan Kemenangan Tani Kecamatan Medan Tuntungan Tahun 2012. 2. Muchtadi, D. (2009). Pengantar Ilmu Gizi. Bandung: Alfabeta.
37
Muljati, A. d. (1991). Status Gizi Anak Balita Pengunjung Posyandu Kecamatan Cimoas. Notoadmodjo. (2007). Kesehatan Masyarakat Ilmu dan Seni . Jakarta: Rineka Cipta. Nuryanto, E. K. (2013). Faktor Risiko Kejadian Stunting pada Anak 2-3 Tahun (Studi di Kecamatan Semarang Timur) (Vol. 2). Journal of Nutrition College. Pipes, L. P. (1985). Nutrition in infancy and childhood . Missouri: Times Mirror/Mosby College Publishing. Prabantini, D. (2010). A to Z Makanan Pendamping ASI. Yogyakarta: ANDI. Prawirohartono, E. P. (2009). Menu Sehari-hari Untuk Tumbuh Kembang Anak. Jakarta: PT. Agro Media Pustaka. Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI. (n.d.). Retrieved from http://www.depkes.go.id/resources/download/pusdatin/infodatin/situasibalita-pendek-2016.pdf RI, K. K. (2014). Pedoman Gizi Seimbang. Jakarta. RI, K. K. (2013). Riset Kesehatan Dasar. Jakarta: Kemenkes RI. Santoso, S. d. (2005). Kesehatan dan Gizi. Jakarta: PT. Rineka Cipta. Satoto. (1990). Pertumbuhan dan Perkembangan Anak Pengamatan Anak umur 018 Bulan di Kecamatan Mlonggo. Kabupaten Jepara Jawa Tengah: Universitas Diponegoro. Septiana, d. (2010). Hubungan Antara Pola Pemberian Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) dan Status Gizi Balita Usia 6-24 Bulan di Wilayah Kerja Puskesmas Gedongtengen. Yogyakarta: Universitas Ahmad Dahlan. Shasidhar. (2009). Malnutrition. Medscape Reference . Siregar, S. (2013). Statistik Parametrik untuk Penelitian Kuantitatif. Jakarta: PT. Bumi Aksara. Soegeng Santoso, A. L. (2013). Kesehatan dan Gizi. Jakarta: PT RINEKA CIPTA. Soehardjo. (1989). Sosial Budaya Gizi. Bogor: IPB PAU Pangan dan Gizi. Soekirman. (2000). Ilmu Gizi dan Aplikasinya untuk Keluarga dan Masyarakat. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Departemen. Soetjiningsih. (2003). Perkembangan Anak dan Permasalahannya. Jakarta: EGC. Sri Syatriani, M. (2015). Asupan Makanan dan Pertumbuhan Baduta di Wilayah Kerja Puskesmas Jumpandang Baru Kota Makassar. Makassar: Media Pangan Gizi. Sudirman, H. (2008). Stunting atau Pendek: Awal Perubahan Patologis atau Adaptasi karena Perubahan Sosial Ekonomi yang Berkepanjangan (Vol. XVIII). Media Litbang Kesehatan. Suhardjo. (2003). Berbagi Cara Pendidikan Gizi . Bogor: Bumi Aksara. Sulistyoningsih, H. (2011). Gizi untuk Kesehatan Ibu dan Anak. Yogyakarta: Graha Ilmu. Supariasa, Bakri, dan Fajar. (2001). Penentuan Status Gizi. Jakarta: EGC. Supariasa, I. D. (2012). Penilaian Status Gizi. Jakarta: EGC. Suryani, I. D. (2016). Hubungan praktik pemberian makan dengan kejadian berat badan kurang pada anak usia 6-24 bulan di wilayah kerja puskesmas sidoarjo (Vol. 10). Media Gizi Indonesia.
38
Sutomo, B. &. (2010). Menu Sehat Alami untuk Batita dan Balita. Jakarta: Demedia. Thesome, M. G. (2009). Magnitude and Determinants of Stunting in Children Under Five Years of age in food surplus. Tim Pengembang Ilmu Pendidikan, F.-U. (2007). Ilmu dan Apilkasi Pendidikan. Bandung: Imtima. UNICEF. (2008). Complementary Feeding. Retrieved from http://www.unicef.org/nutrition/index_24826.html Unicef. (2013). Improving Child Nutrition The Achievable Imperative for Global Progress. Unicef. (2013). Improving Child Nutrition The Achievable Imperative for Global Progress. UNICEF. (2009). Tracking Progress on Child and Maternal Nutrition. New York: Unicef. UNSD. (2014). United Nations Statistics Division. Waryana. (2010). Gizi Reproduksi. Yogyakarta: Pustaka Rihama. WHO. (2003). Global strategy for infant. Geneva: World Health Organization. WHO. (2010). Nutrition Landscape Information System (NLIS) Country Profile Indicators. Geneva. WHO.
(2011). Nutrition: Complementary Feeding. Retrieved from http://www.who.int/nutrition/topics/complementary_feeding/en/index.html WHO. (1988). Weaning from Breast Milk to Family Food. Geneva: World Health Organization. WHO, U. (2018). Level and Trends in Child Malnutrition. UNICEF, WHO and the World Bank Group. Widyastuti, P. (2005). Penyakit Bawaan Makanan: Fokus untuk Pendidikan Kesehatan. Jakarta: EGC. Wiyogowati, C. (2012). Kejadian Stunting pada Anak Berumur di Bawah Lima Tahun (0-5 Bulan) di Provinsi Papua Barat Tahun 2010 (Analisis Data Riskesdas 2010). In Skripsi Fakultas Kesehatan Masyarakat. Depok: Universitas Indonesia. Zeitlin, M. (2000). Gizi Balita di Negara-Negara Berkembang; Peran Pola Asuh Anak; Pemanfaatan Hasil Studi Penyimpangan Positif untuk Program Gizi, Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VII. Jakarta: LIPI.
39