BACAAN KANGGO BARUDAK PERAWAT Jumat, 24 Januari 2014 MAKALAH FRAKTUR BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya. Fraktur terjadi jika tulang dikenai stres yang lebih besar dari yang dapat diabsorpsinya. Frak tur dapat disebabkan oleh pukulan langsung, gaya meremuk, gerakan puntir mendadak dan ba hkan kontraksi otot ekstrim. Kebanyakan kasus nyeri karena fraktur sekarang di akibatkan ole h tingginya angka kecelakaan yang terjadi di jalan raya yang di akibatkan oleh rendahnya kes adaran masyarakat dalam menggunakan alatalat yang memenuhi standar keselamatan dalam berkendaraan. Seperti menggunakan helm ya ng standar untuk pengendara sepeda motor dan menggunakan sabuk pengaman untuk pengen dara mobil. Mobilitas atau kemampuan fisik klien untuk melakukan aktivitas kehidupan sehar ihari perubahan dan klien perlu belajar bagaimana menyesuaikan aktivitas dan lingkungan unt uk mengakomodasikan diri dengan menggunakan alat bantu dan bantuan mobilitas.
B. Tujuan 1. Tujuan Umum Mahasiswa mampu mengetahui gambaran umum mengenai fraktur meliputi konsep d asar (anatomi fisiologi, definisi, etiologi, patofisiologi, patoflow, manifestasi klinis, komplika si, pemeriksaan penunjang, serta penatalaksanaan medis), asuhan keperawatan secara teori (p engkajian, diagnose keperawatan, intervensi, implementasi dan evaluasi), tinjauan kasus dan pembahasan kasus. 2. Tujuan Khusus a Mampu melakukan asuhan keperawatan pada pasien dengan kasus fraktur pada gangguan syste m musculoskeletal
b Mampu melakukan pendidikan kesehatan pada pasien dengan kasus fraktur pada gangguan syst em musculoskeletal c Mampu mengidentifikasi masalahmasalah penelitian yang berhubungan dengan kasus gangguan sistem muskuloskeletal dan me nggunakan hasilhasil penelitian dalam mengatasi masalah dengan kasus gagguan system muskuloskeletal d Mampu melakukan fungsi advokasi pada kasus dengan kasus fraktur pada gangguan system mu sculoskeletal e Mampu mendemonstrasikan intervensi keperawatan kasus fraktur pada gangguan system musc uloskeletal
C. Rumusan Masalah Dilihat dari latar belakang, didapatkan rumusan masalah sebagai berikut: “Bagaimana
melakukan simulasi asuhan keperawatan dengan kasus gangguan system musculoskeletal ( fr aktur ) pada berbagai tingkat usia dengan memperhatikan aspek legal dan etis”.
D. Metode Penulisan Metode yang digunakan dalam penulisan makalah ini adalah pengumpulan data, yaitu studi kepustakaan untuk mendapatkan sumbersumber teoritis yang berhubungan dengan asuhan keperawatan dengan kasus gangguan syste m muskuloskeletal. Sistematika Penulisan digunakan untuk menyusun urutan makalah secara lebih rinci d an jelas, untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas dari penulisan makalah ini, maka pen ulis menguraikan sebagai berikut : BAB I Pendahuluan, meliputi Latar Belakang, Tujuan, Rumusan Masalah, Metode P enulisan. BAB II Tinjauan Teoritis, meliputi Anatomi dan Fisiologi Sistem Muskuloskeletal, Konsep Penyakit (LP Kasus), Konsep Askep ( Pengkajian – Evaluasi), Simulasi Penkes Pada Kasus ( Primer, Sekunder, Tersier ), Identifikasi Masalah - Masalah Penelitian yang b.d Kasu s ( Telaah Jurnal ), Fungsi Advokasi sesuai dengan Kasus. BAB III Pembahasan Kasus, meliputi Scenario Kasus 2 dan Jawaban Scenario. BAB IV Penutup, meliputi Kesimpulan dan Saran.
BAB II TINJAUAN TEORI
A. Anatomi Dan Fisiologi Sistem Muskuloskeletal Sistem muskuloskeletal merupakan penunjang bentuk tubuh dan bertanggung jawab t erhadap pergerakan. Komponen utama system musculoskeletal adalah jaringan ikat. Sistem in i terdiri dari tulang, sendi, otot, tendon, ligament, bursae, dan jaringanjaringan khusus yang menghubungkan struktur-struktur ini. 1. Tulang a. Bagian-bagian utama tulang rangka Tulang rangka orang dewasa terdiri atas 206 tulang. Tulang adalah jaringan hidup yan g akan suplai saraf dan darah. Tulang banyak mengandung bahan kristalin anorganik (terutam a garamgaram kalsium) yang membuat tulang keras dan kaku, tetapi sepertiga dari bahan tersebut ada lah jaringan fibrosa yang membuatnya kuat dan elastis. Klasifikasi tulang pada orang dewasa digolongkan pada dua kelompok yaitu axial skel eton dan appendicular skeleton. 1. Axial Skeleton (80 tulang) 1. Tengkorak
22 buah tula ng
Tulang cranial (8 tulang)
Frontal
1
Parietal
2
Occipital
1
Temporal
2
Sphenoid
1
Ethmoid
Tulang fasial (13 tulang)
1
Maksila 2 Palatine
2
Zygomatic Lacrimal Nasal
2
2
2
Vomer 1 Inferior nasal
Tulang mandibula (1 tlng) 2. Tulang telinga tengah
concha 2
1 Malleus Incus
2
6 tulang
2
Stapes
2
3. Tulang hyoid 4. Columna vertebrae
1 tulang Cervical
7
Thorakal
12
Lumbal
5
Sacrum
(penyatuan dari 5 tl) 1
Korkigis
5. Tulang rongga thorax
26 tulang
(penyatuan dr 3-5 tl) 1
Tulang iga 24 Sternum
25 tulang 1
2. Appendicular Skeleton (126 tulang) Pectoral girdle
Ekstremitas atas
Scapula
2
4 tulang
Clavicula
2
Humerus
2
Radius
60 tulang
2
Ulna 2 Carpal
16
Metacarpal Phalanx
28
10
Pelvic girdle
Os
coxa 2 (setiap os coxa terdiri dari 1 tulang
penggabungan 3 tulang) Ekstremitas bawah
Femur
2
60 tulang
Tibia 2 Fibula 2 Patella
2
Tarsal
14
Metatarsal Phalanx
10
28
Total
206 tulang
Fungsi utama tulang-tulang rangka adalah : 1) Sebagai kerangka tubuh, yang menyokong dan memberi bentuk tubuh 2) Untuk memberikan suatu system pengungkit yang digerakan oleh kerja otototot yang melekat pada tulang tersebut; sebagai suatu system pengungkit yang digerakan oleh kerja otot-otot yang melekat padanya. 3) Sebagai reservoir kalsium, fosfor, natrium, dan elemen-elemen lain 4) Untuk menghasilkan selsel darah merah dan putih dan trombosit dalam sumsum merah tulang tertentu. b. Struktur tulang Dilihat dari bentuknya tulang dapat dibagi menjadi : 1) Tulang panjang ditemukan di ekstremitas 2) Tulang pendek terdapat di pergelangan kaki dan tangan 3) Tulang pipih pada tengkorak dan iga 4) Tulang ireguler (bentuk yang tidak beraturan) pada vertebra, tulang-tulang wajah, dan rahang.
Seperti terlihat pada gambar di bawah ini, lapisan terluar dari tulang (cortex) tersusun dari jaringan tulang yang padat, sementara pada bagian dalam di dalam medulla berupa jaring an sponge. Bagian tulang paling ujung dari tulang panjang dikenal sebagai epiphyse yang ber batasan dengan metaphysis. Metaphysis merupakan bagian dimana tulang tumbuh memanjan g secara longitudinal. Bagian tengah tulang dikenal sebagai diaphysis yang berbentuk silindri s. Unit struktural dari cortical tulang compacta adalah system havers, suatu jaringan (net work) saluran yang kompleks yang mengandung pembuluhpembuluh darah mikroskopis yang mensuplai nutrient dan oksigen ke tulang, lacuna, dan rua ng-ruang kecil dimana osteosit berada. Jaringan lunak di dalam trabeculae diisi oleh sumsum tulang : sumsum tulang merah dan kuning. Sumsum tulang merah berfungsi dalam hal hematopoesis, sementara sumsum ku ning mengandung sel lemak yang dapat dimobilisasi dan masuk ke aliran darah. Osteogenic c ells yang kemudian berdiferensiasi ke osteoblast (sel pembentuk tulang) dan osteoclast (sel p enghancur tulang) ditemukan pada lapisan terdalam dari periosteum. Periosteum adalah lemb ar jaringan fibrosa dan terdiri atas banyak pembuluh darah. Vaskularisasi, tulang merupakan jaringan yang kaya akan vaskuler dengan total alira n darah sekitar 200 sampai 400 cc/menit. Setiap tulang memiliki arteri penyuplai darah yang membawa nutrient masuk didekat pertengahan tulang, kemudian bercabang ke atas dan ke ba wah menjadi pembuluh-
pembuluh darah mikroskopis. Pembuluh darah ini mensuplai cortex, marrow, dan system hav erst. Persarafan, serabut syaraf sympathetic dan afferent (sensori) mempersyarafi tulang. Dilatasi kapiler darah dikontrol oleh syaraf symphatetic, sementara serabut syaraf afferent me ntransmisikan rangsangan nyeri. c. Perkembangan dan pertumbuhan tulang Perkembangan dan pertumbuhan pada tulang panjang tipikal : 1) Tulang didahului oleh model kartilago. 2) Kolar periosteal dari tulang baru timbul mengelilingi model korpus. Kartilago dalam korpus in i mengalami kalsifikasi. Sel-sel kartilago mati dan meninggalkan ruang-ruang. 3) Sarang lebah dari kartilago yang berdegenerasi dimasuka oleh selsel pembentuk tulang (osteoblast),oleh pembuluh darah, dan oleh selsel pengikis tulang (osteoklast). Tulang berada dalam lapisan tak teratur dalam bentuk kartila go. 4) Proses osifikasi meluas sepanjang korpus dan juga mulai memisah pada epifisis yang menghas ilkan tiga pusat osifikasi. 5) Pertumbuhan memanjang tulang terjadi pada metafisis, lembaran kartilago yang sehat dan hid up antara pusat osifikasi. Pada metafisis selsel kartilago memisah secara vertical. Pada awalnya setiap sel meghasilkan kartilago sehat da n meluas mendorong sel-sel yang lebih tua. Kemudian selsel mati. Kemudian semua runag mebesar untuk membentuk loronglorong vertical dalm kartilago yang mengalami degenerasi. Ruang-ruang ini diisi oleh selsel pembentuk tulang. 6) Pertumbuhan memanjang berhenti pada masa dewasa ketika epifisis berfusi dengan korpus. Pertumbuhan dan metabolisme tulang dipengaruhi oleh mineral dan hormone sebagai berikut : 1) Kalsium dan posfor, tulang mengandung 99% kalsium tubuh dan 90% posfor. Konsentrasi kal sium dan posfor dipelihara dalam hubungan terbalik. Sebagai contoh, apabila kadar kalsium t ubuh meningkat maka kadar posfor akan berkurang. 2) Calcitonin, diproduksi oleh kelenjar typoid memilki aksi dalam menurunkan kadar kalsium ser um jika sekresinya meningkat diatas normal.
3) Vitamin D, penurunan vitamin D dalam tubuh dapat menyebabkan osteomalacia pada usia de wasa. 4) Hormon paratiroid (PTH), saat kadar kalsium dalam serum menurun, sekresi hormone paratiro id akan meningkat dan menstimulasi tulang untuk meningkatkan aktivitas osteoplastic dan m enyalurkan kalsium kedalam darah. 5) Growth hormone (hormone pertumbuhan), bertanggung jawab dalam peningkatan panjang tul ang dan penentuan jumlah matrik tulang yang dibentuk pada masa sebelum pubertas. 6) Glukokortikoid, adrenal glukokortikoid mengatur metabolisme protein. 7) Sex hormone, estrogen menstimulasi aktivitas osteobalstik dan menghambat peran hormone p aratiroid. Ketika kadar estrogen menurun seperti pada saat menopause, wanita sangat rentan t erhadap menurunnya kadar estrogen dengan konsekuensi langsung terhadap kehilangan masa tulang (osteoporosis). Androgen, seperti testosteron, meningkatkan anabolisme dan meningka tkan masa tulang. d. Penyembuhan tulang Ada beberapa tahap dalam penyembuhan tulang, antara lain: 1) Inflamasi Dengan adanya patah tulang, tubuh mengalami respon yang sama dengan bila ada ced era di lain tempat dalam tubuh. Terjadi perdarahan dalam jaringan yang cedera dan terjadi pe mbentukan hematoma pada tempat patah tulang. Ujung fragmen tulang mengalami devitalisa si karena terputusnya pasokan darah. Tempat cedera kemudian akan diinvasi oleh makrofag. Terjadi inflamasi, pembengkakan dan nyeri. Tahap inflamasi berlangsung beberapa hari dan hilang dengan berkurangnya pembengkakan dan nyeri. 2) Proliferasi Sel Dalam sekitar 5 hari, hematom akan mengalami organisasi. Terbentuk benangbenang fibrin dalam jendolan darah, membentuk jaringan untuk revaskularisasi dan invasi fib roblas dan osteoblast, yang akan menghasilkan kolagen dan proteoglikan sebagai matriks kol agen pada patah tulang. Terbentuknya jaringan ikat fibrosa dan tulang rawan (osteoid) dari pe riosteum tampak pertumbuhan melingkar. 3) Pembentukan Kalus Pertumbuhan jaringan berlanjut dan lingkaran tulang rawan tumbuh mencapai sisi lain sampai celah sudah terhubungkan. Fragmen patahan tulang digabungkan dengan jaringan fib rosa, tulang rawan dan tulang serat imatur. Bentuk kalus dan volume yang dibutuhkan untuk
menghubungkan defek secara langsung berhubungan dengan pengrusakan tulang dan pergese ran tulang. Perlu waktu 34 minggu agar fragmen tulang tergabung dalam tulang rawan atau jaringan fibrosa. 4) Osifikasi Pembentukan kalus mengalami penulangan dalam 23 minggu patah tulang melalui proses penulangan endokondral. Mineral terus ditimbun samp ai tulang benarbenar telah bersatu dengan keras. Pada patah tulang orang dewasa normal, penulangan memer lukan waktu 3sampai 4 bulan. 5) Remodeling Tahap akhir perbaikan patah tulang meliputi pengambilan jaringan mati dan reorganis asi tulang baru ke susunan struktural sebelumnya. Remodeling memerlukan waktu berbulanbulan sampai bertahuntahun, tergantung beratnyamodifikasi tulang yang dibutuhkan, fungsi tulang dan pada kasus y ang melibatkan tulang kompak dan konselus, serta stress fungsional pada tulang. e. Nama-nama tulang pada tubuh 1) Cranium (tengkorak) 2) Mandibula (tulang rahang) 3) Clavicula (tulang selangka) 4) Scapula (tulang belikat) 5) Sternum (tulang dada) 6) Rib (tulang rusuk) 7) Humerus (tulang pangkal lengan) 8) Vertebra (tulang punggung) 9) Radius (tulang lengan)
10)
Ulna (tulang hasta)
11) Carpal (tulang pergelangan tangan) 12) Metacarpal (tulang telapak tangan) 13) Phalanges (ruas jari tangan dan jari kaki) 14) Pelvis (tulang panggul) 15) Femur (tulang paha) 16) Patella (tulang lutut) 17) Tibia (tulang kering) 18) Fibula (tulang betis) 19) Tarsal (tulang pergelangan kaki) 20) Metatarsal (tulang telapak kaki) f. Gerakan Tulang 1) Fleksi adalah gerakan yang memperkecil sudut antara dua tulang atau dua bagian tubuh. a) Dorsofleksi adalah gerakan menekuk telapak kaki di pergelangan ke arah depan b) Plantar fleksi adalah gerakan meluruskan telapak kaki pada pergelangan kaki 2) Ekstensi adalah gerakan yang memperbesar sudut antara dua tulang atau dua bagian tubuh a) Ekstensi adalah tubuh kembali ke posisi anatomis b) Hiperekstensi mengacu pada gerakan yang memperbesar sudut pada bagianbagian tubuh melebihi 180o 3) Abduksi adalah gerakan tubuh menjauhi garis lurus tubuh 4) Aduksi adalah gerakan bagian tubuh saat kembali ke aksis utama tubuh atau aksis longitudinal tungkai
5) Rotasi adalah gerakan tulang yang berputar di sekitar aksis pusat tulang itu sendiri tanpa meng alami dislokasi lateral a) Pronasi adalah rotasi medial lengan bawah dalam posisi anatomis, yang mengakibatkan talapa k tangan menghadap ke belakang b) Supinasi adalah rotasi lateral lengan bawah yang mengakibatkan telapak tangan mengahadap k e depan 6) Sirkumduksi adalah kombinasi dari semua gerakan angular dan berputar untuk membuat ruang berbentuk kerucut, seperti saat mengayunkan lengan membentuk putaran 7) Inversi adalah gerakan sendi pergelangan kaki yang memungkinkan telapak kaki menghadap k e dalam atau medial 8) Eversi adalah gerakan sendi pergelangan kaki yang memungkinkan telapak kaki menghadap k e arah luar 9) Protraksi adalah memajukan bagian tubuh seperti saat menonjolkan rahang bawah ke depan 10) Retraksi adalah gerakan menarik bagian tubuh ke belakang seperti saat meretraksi mandibula 11) Elevasi adalah pergerakan struktur ke arah superior, seperti saat mengatupkan mulut dan men gangkat bahu 12) Depresi adalah menggerakkan suatu struktur ke arah inferior, seperti saat membuka mulut 2. Sendi Pengertian sendi adalah semua persambungan tulang, baik yang memungkinkan tulan g itu bergerak satu sama lain, maupun tidak dapat bergerak satu sama lain. Secara anatomik, sendi di bagi menjadi 3 yaitu: a Sinartrosis Sendi yang memungkinkan tulangtulang yang berhubungan dapat bergerak satu sama lain. Diantara tulan gyang saling bersamb ungan tersebut terdapat jaringan yang dapat berupa jaringan ikat (sindesmosis), seperti: pada t ulang tengkorak, antara gigi dan rahang, dan antara radius dan ulna, atau dapat juga dengan ja ringan tulang rawan kondrosis) misalnya: persambungan antara os ilium, os iskium dan os pu bikum. b Diartrosis Sambungan antara 2 tulang atau yang memungkinkan tulangtulang tersebut bergerak sama lain. Diantara tulangtulang yang bersendi tersebut terdapat rongga yang disebut kavum artikulare. Diartrosis diseb ut juga sendi sinovial. Sendi ini tersusun atas bongol sendi (ligamentum). Berdasarkan bentuk nya, diartrosis dibagi menjadi:
1) Sendi peluru misalnya: persendian panggul, glenohumeral yang memungkinkan gerakan bebas penuh. 2) Sendi engsel, memungkinkan gerakan melipat hanya pada satu arah dan contohnya pada perse ndian interfalang, humeroulnaris, lutut. 3) Sendi pelana, memungkinkan gerakan pada dua bidang yang saling tegak lurus. Misalnya; pers endian pada dasar ibu jari, karpometakarpal. 4) Sendi pivot yang memungkinkan rotasi untuk aktivitas, misalnya: persendian antara radius dan ulna. c Amfiartrosis Merupakan sendi yang memungkinkan tulangtulang yang saling berhubungan dapat bergerak secara terbatas, misalnya: sendi sakroiliaka d an sendi-sendi antara korpus vertebra a Rawan Sendi Rawan sendi merupakan jaringan avaskuler dan juga tidak memiliki jaringan saraf, be rfungsi sebagai bantalan terhadap beban yang jatuh ke dalam sendi. Rawan sendi dibentuk oleh sel rawan sendi (kondrosit) dan matriks rawan sendi 1) Kondrosit Kondrosit berfungsi mensintesis dan memelihara matriks rawan sehingga fungsi bantalan raw an sendi tetap terjaga dengan baik 2) Matriks rawan sendi Terutama terdiri dari: a) Air b) Proteoglikan Proteoglikan merupakan molekul yang kompeks yang tersusun atas inti protein dan gl ikosaminoglikan. Glikosaminoglikan yang menyusun proteoglikan tersusun dari keratan sulfa t, kondroitin-6-sulfat dan kondroitin-4-sulfat. Bersamasama dengan asam hialuronat, proteoglikan membentuk agregat yang dapat menghisap air da n sekitarnya sehingga mengembang sedemikian rupa dan membentuk bantalan yang sesuai fu ngsi rawan sendi. Bagian proteoglikan yang melekat pada asam hialuronat adalah terminalN dari inti proteinnya yang mungkin berperan dengan matriks ekstraseluler lainnya. c) Kolagen Kolagen yang terdapat di dalam rawan sendi terutama adalah kolagen tipe II. Kolagen tipe II tersusun dari 3 alpha yang membentuk gulungan tripel heliks. Kolagen berfungsi seba
gai kerangka bagi rawan sendi yang akan membatasi pengembangan berlebihan agregat prote oglikan. b Membran Sinovial Membran sinovial merupakan jaringan avaskuler yang melapisi permukaan dalam kap sul sendi, tetapi tidak melapisi permukaan rawan sendi. Membran ini licin dan lunak dan berli pat-lipat. Walaupun banyak prmbuluh darah dan limfe di dalam jaringan subsinovial, tetapi tida k satupun mencapai sinoviosit. Jaringan pembuluh darah ini berperan dalam transfer konstitu en darah ke dalam rongga sendi dan pembentuk cairan sendi. Sel sinovisit terdiri dari 3 tipe yaitu: 1) Sinoviosit tipe A Mempunyai banyak persamaan dengan makrofag, dan berfungsi melepaskan debrisdebris sel dan material khusus lainnya ke dalam rongga sendi 2) Sinovisit tipe B Mempunyai banyak persamaan dengan fibroblas, berperan mensintesis dan mengekre sikan hialuronat yang merupakan zat aditif dalam cairan sendi dan berperan dalam mekanism e lubrikasi, dan juga berperan memperbaiki kerusakan sendi yang meliputi produksi kolagen dan melakukan proses remodeling. 3) Sel C Sebagian sinovisit yang mempunyai ultrastruktur antara sel A dan sel B. Sinovium da n kapsul sendi diinervasi oleh mekanoreseptor, pleksus saraf dan ujung bebas bebas yang tida k dibungkus mielin. Ujung saraf ini merupakan neuron aferen primer yang berfungsi sebagai saraf sensori dan memiliki neuropeptida yang disebut substansi-P. c Cairan Sinovial Karakteristik cairan sendi pada berbagai keadaan ditunjukan pada tabel berikut : Grup I Sifat cairan se
Non inflama
Grup II Infla
Grup III
si
masi
ik
Volum(lutut,ml) < 3,5
> 3,5
> 3,5
> 3,5
Viskositas
Tinggi
Rendah
Bervariasi
Kekuningan
Kuning
ndi
Normal
Sangat tin ggi
Warna
Sept
Tidak ber Kejernihan
warna
Tergantung mikr Transparan
Trasparan Bekuan musin
Tak mudah p
Transulen-
oorganisnya
opak
Opak
Mudah putus
utus
Mudah putus
Tak muda Leukosit /mm3
h putus
200-2000
2000-100.000
200 Sel PMN(%) Kultur MO
< 25
>500.000 <25
>50
Negatif
Negatif
Negatif
>75 positif
3. Otot Otot merupakan jaringan tubuh yang mempunyai kemampuan berkontraksi. Adanya o tot akan memungkinkan tubuh untuk menghasilkan suatu gerakan. Hampir 40% tubuh kita ter diri dari otot rangka yang berjumlah ± 500 otot, sedangkan otot polos dan otot jantung hanya 10% saja. a Karakteristik otot Setiap otot memiliki 4 karakteristik: 1) Iritabilitas Otot mempunyai kemampuan untuk menerima dan merespon berbagai jenis stimulus. Otot dapat merespon potensial aksi yang dialirkan oleh serabut saraf menjadi stimulus elektri k yang dialirkan oleh serabut sarafmenjadi stimulus elektrik yan gdialirkan secara langsung k e permukaan-permukaan otot atau tendonnya. 2) Kontraktilitas Apabila otot menerima stimulus otot memiliki kemampuan untuk memendek. 3) Ekstensibilitas Otot mampu memanjang baik pasif maupun aktif 4) Elastisitas Setelah otot memendek atau memanjang, maka otot mampu kembali pada kondisi nor mal atau istirahat baik dalam hal panjang atau bentuknya. b Tipe otot Terdapat 3 jenis jaringan otot yaitu : 1) Otot Polos
Otot ini terdapat pada saluran cerna dan pembuluh darah dan diatur oleh sistem saraf otonom 2) Otot Jantung Otot yang terdapat di jantung dan diatur oleh sistem saraf otonom 3) Otot Lurik Otot ini sebagian besar menempel ke tulang walaupun dalam jumlah kecil menempel ke fasci a, aponeurosis dan tulang rawan. Otot lurik dikendalikan oleh kemauan c Struktur otot Sel otot atau serabut otot rangka merupakan suatu silinder panjang dan lurus mempun yai banyak inti. Serabut ini mempunyai diameter antara 0,010,1 mm dan panjangnya sampai 30 cm. Inti sel terdapat dalam sarkoplasma. Serabut otot dike lilingi oleh selaput jaringan ikat yang disebut: endomisium. Serabutserabut otot ini akan membentuk fasikulus yang dibungkus oleh parimisium. Pada sebagian b esar otot, fasikulus-fasikulus ini terikat bersama-sama oleh epimisium dan kadangkadang bergabung dengan fascia. Setiap serabut otot rangka terdiri dari ratusan miofibril. Mio fibril merupakan kumpulan dari ribuan filamen miosin dan filamen aktin. Miosin berwarna ge lap dan tebal sedangkan akti tipis dan terang. d Mekanisme kontraksi otot Pada saat kontraksi filamen aktin dan miosin saling tumpang tindih sehingga Z line m ejadi semakin dekat satu dengan yang lainnya, sedangkan H zone semakin menyempit. Apabi la otot diregangkan maka ujung dari molekul aktin akan tertarik sehingga hanya molekul mio sin yang tertinggal pada H zone tampak lebih terang dibandingkan saat kedua filamen tersebu t saling tumpang tindih. Kontraksi akan menyebabkan kedua filamen saling tumpang tindih d an tampak lebih gelap.I band hanya terdiri dari molekul aktin, pada saat kontraksi ujung myos in akan masuk ke daerah ini sehingga terlihat lebih gelap. Pada saat kontraksi penuh seluruh f ilamen aktin dan myosin saling tumpang tindih sehingga tidak ada daerah yang terang. Mekanisme tumpang tindih (sliding) yaitu kepala molekul myosin akan melekat di sat u tempat di molekul aktin membuat lekukan dan menarik molekul aktin. Selanjutnya kepala t ersebut akan melepaskan diri dari molekul aktin dan lekukan pada kepala tersebut kembali ke posisi semula. Setiap gerakan myosin akan menarik aktin tersebut hanya akan menyebabkan pergerakan yang sedikit jaraknya, tetapi karena adanya sejumlah gerakan menarik yang sanga t cepat dari sejumlah mo;ekun myosin, maka akan terjadi pemendekan otot.kepala miosin yan g melekat ini disebut cross bridge. e Tipe Kontraksi Otot
Kontraksi adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan terbentuknya suatu respo n tegangan otot terhadap stimulus. Terdapat 2 tipe kontraksi yaitu: 1) Kontraksi Isometriks Kontraksi isometriks terjadi apabila tegangan di dalam serabut otot tidak menyebabkan gerak an sendi. Isometrik berarati panjang otot sama antara sebelum dan saat kontraksi. Contoh: bil a kita mendorong dinding yang tidak dapat digerakkan. 2) Kontraksi Isotonik Melibatkan kontraksi otot dan gerakan sendi. Pada kontraksi isotonik tegangan tetap konstan sedang panjang otot memendek. 3) Kontraksi konsentrik Apabila otot menjadi aktif dan menghasilkan suatu tegangan yang menyebabkan otot menjadi memendek dan mengakibatkan gerakan. Contoh: apabila otot fleksor lengan memendek yang mengakibatkan siku menjadi fleksi. 4) Kontraksi eksentrik Apabila lengan tersebut secara perlahanlahan menurunkan beban pada ujung lengan dari kondisi fleksi ke relaksasi secara perlahanlahan. A. Konsep Penyakit Fraktur (LP Kasus) 1. Pengertian Fraktur Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan atau tulang rawan yang u mumnya disebabkan oleh rudapaksa. (Kapita Selekta Kedokteran; 2000) Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang atau tulang rawan yang umum nya disebabkan oleh rudapaksa (R. Sjamsuhidayat dan Wim de Jong,1998). Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditemukan sesuai jenis dan luasnya (Brunner dan suddarth, 2001). Fraktur adalah patah tulang biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik (Sylvia Anderson Price. Lorraine Mc Carty Klilson, 1995). Fraktur femur adalah rusaknya kontinuitas tulang pangkal paha yang dapat disebabka n oleh trauma langsung, kelelahan otot, kondisikondisi tertentu seperti degenerasi tulang/osteoporosis. Fraktur dapat dibagi menjadi: a. Fraktur tertutup (closed), bila terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar.
b. Fraktur terbuka (open, compound), terjadi bila terdapat hubungan antara fragmen tulang denga n dunia luar karena adanya perlukaan di kulit. Fraktur terbuka dibagi menjadi tiga derajat (me nurut R. Gustillo), yaitu: 1) Derajat I: a) Luka < 1 cm b) Kerusakan jaringan lunak sedikit, tak ada tanda luka remuk c) Kontaminasi minimal 2) Derajat II: a) Laserasi > 1 cm b) Kerusakan jaringan lunak, tidak luas c) Fraktur kominutif sedang d) Kontaminasi sedan 3) Derajat III: a) Terjadi kerusakan jaringan lunak yang luas, meliputi struktur kulit, otot, neurovascular serta ko ntaminasi derajat tinggi. Fraktur derajat III terbagi atas: b) Jaringan lunak yang menutupi fraktur tulang adekuat, meskipun terdapat laserasi luas, atau fra ktur segmental/sangat kominutif yang disebabkan oleh trauma berenergi tinggi tanpa melihat besarnya ukuran luka c) Kehilangan jaringan lunak dengan fraktur tulang yang terpapar atau kontaminasi massif d) Luka pada pembuluh arteri/saraf perifer yang harus diperbaiki tanpa melihat kerusakan jaringa n lunak Berbagai jenis khusus fraktur: a. Fraktur komplet: patah pada seluruh garis tengah tulang dan biasanya mengalami pergeseran. b. Fraktur tidak komplet: patah hanya pada sebagian dari garis tengah tulang c. Fraktur tertutup: fraktur tapi tidak menyebabkan robeknya kulit d. Fraktur terbuka: fraktur dengan luka pada kulit atau membran mukosa sampai ke patahan tula ng. e. Greenstick: fraktur dimana salah satu sisi tulang patah, sedang sisi lainnya membengkak. f. Transversal: fraktur sepanjang garis tengah tulang g. Kominutif: fraktur dengan tulang pecah menjadi beberapa fragmen h. Depresi: fraktur dengan fragmen patahan terdorong ke dalam i. Kompresi: Fraktur dimana tulang mengalami kompresi (terjadi pada tulang belakang) j. Patologik: fraktur yang terjadi pada daerah tulang oleh ligamen atau tendo pada daerah perleka tannnya.
2. Patogenesis / Etiologi a. Kekerasan langsung Kekerasan langsung menyebabkan patah tulang pada titik terjadinya kekerasan. Fraktur demi kian demikian sering bersifat fraktur terbuka dengan garis patah melintang atau miring. b. Kekerasan tidak langsung Kekerasan tidak langsung menyebabkan patah tulang ditempat yang jauh dari tempat terjadin ya kekerasan. Yang patah biasanya adalah bagian yang paling lemah dalam jalur hantaran vek tor kekerasan. c. Kekerasan akibat tarikan otot Patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang terjadi.Kekuatan dapat berupa pemuntiran, pene kukan, penekukan dan penekanan, kombinasi dari ketiganya, dan penarikan.
Adapun penyebab lain : a Trauma b Gaya meremuk c Gerakan puntir mendadak d Kontraksi otot ekstrem e Keadaan patologis: osteoporosis, neoplasma f Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit (Brunner, Suddarth; 2001) Lewis (2000) berpendapat bahwa tulang bersifat relatif rapuh namun mempunyai cuk up kekuatan dan gaya pegas untuk menahan tekanan. Fraktur dapat diakibatkan oleh beberapa hal yaitu: a. Fraktur akibat peristiwa trauma Sebagian fraktur disebabkan oleh kekuatan yang tibatiba berlebihan yang dapat berupa pemukulan, penghancuran, perubahan pemuntiran atau pen arikan. Bila tekanan kekuatan langsung tulang dapat patah pada tempat yang terkena dan jarin gan lunak juga pasti akan ikut rusak. Pemukulan biasanya menyebabkan fraktur lunak juga pa sti akan ikut rusak. Pemukulan biasanya menyebabkan fraktur melintang dan kerusakan pada kulit diatasnya. Penghancuran kemungkinan akan menyebabkan fraktur komunitif disertai ker usakan jaringan lunak yang luas. b. Fraktur akibat peristiwa kelelahan atau tekanan Retak dapat terjadi pada tulang seperti halnya pada logam dan benda lain akibat tekan an berulangulang. Keadaan ini paling sering dikemukakan pada tibia, fibula atau matatarsal terutama pad a atlet, penari atau calon tentara yang berjalan baris-berbaris dalam jarak jauh. c. Fraktur patologik karena kelemahan pada tulang Fraktur dapat terjadi oleh tekanan yang normal kalau tulang tersebut lunak (misalnya oleh tumor) atau tulang-tulang tersebut sangat rapuh. 3. Gejala klinis / manifestasi klinis Manifestasi klinis umum pada fraktur meliputi: a. Luka pada daerah yang terkena membengkak dan disertai rasa sakit b. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang diimobilisasi, hematoma, dan edema c. Deformitas karena adanya pergeseran fragmen tulang yang patah
d. Terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena kontraksi otot yang melekat diatas dan di bawah tempat fraktur e. Krepitasi akibat gesekan antara fragmen satu dengan lainnya f. Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit 4. Patofisiologi Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekuatan dan gaya pegas untuk mena han. Tapi apabila tekanan eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat diserap tulang, m aka terjadilah trauma pada tulang yang mengakibatkan rusaknya atau terputusnya kontinuitas tulang. Setelah terjadi fraktur, periosteum dan pembuluh darah serta saraf dalam korteks , marrow, dan jaringan lunak yang membungkus tulang rusak. Perdarahan terjadi karena kerusakan tersebut dan terbentuklah hematoma di rongga medula tulang. Jaringan tulang seg era berdekatan ke bagian tulang yang patah. Jaringan yang mengalami nekrosis ini menstimul asi terjadinya respon inflamasi yang ditandai dengan vasodilatasi, eksudasi plasma dan le ukosit, dan infiltrasi sel darah putih. Kejadian inilah yang merupakan dasar dari proses pen yembuhan tulang nantinya 5. Klasifikasi Fraktur Penampikan fraktur dapat sangat bervariasi tetapi untuk alasan yang praktis , dibagi m enjadi beberapa kelompok, yaitu: a. Berdasarkan sifat fraktur (luka yang ditimbulkan). 1). Faktur Tertutup (Closed), bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia lu ar, disebut juga fraktur bersih (karena kulit masih utuh) tanpa komplikasi. 2). Fraktur Terbuka (Open/Compound), bila terdapat hubungan antara hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar karena adanya perlukaan kulit. b. Berdasarkan komplit atau ketidakklomplitan fraktur. 1). Fraktur Komplit, bila garis patah melalui seluruh penampang tulang atau melalui kedua korte ks tulang seperti terlihat pada foto. 2). Fraktru Inkomplit, bila garis patah tidak melalui seluruh penampang tulang seperti: a) Hair Line Fraktur (patah retidak rambut) b) Buckle atau Torus Fraktur, bila terjadi lipatan dari satu korteks dengan kompresi tulang spongi osa di bawahnya. c) Green Stick Fraktur, mengenai satu korteks dengan angulasi korteks lainnya yang terjadi pada tulang panjang. c. Berdasarkan bentuk garis patah dan hubbungannya dengan mekanisme trauma.
1). Fraktur Transversal: fraktur yang arahnya melintang pada tulang dan merupakan akibat traum a angulasi atau langsung. 2). Fraktur Oblik: fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut terhadap sumbu tulang dan meruakan akibat trauma angulasijuga. 3). Fraktur Spiral: fraktur yang arah garis patahnya berbentuk spiral yang disebabkan trauma rota si. 4). Fraktur Kompresi: fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi yang mendorong tulang ke arah permukaan lain. 5). Fraktur Avulsi: fraktur yang diakibatkan karena trauma tarikan atau traksi otot pada insersiny a pada tulang. d. Berdasarkan jumlah garis patah. 1) Fraktur Komunitif: fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan saling berhubungan. 2) Fraktur Segmental: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak berhubungan. 3) Fraktur Multiple: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak pada tulang yang sama. e. Berdasarkan pergeseran fragmen tulang. 1). Fraktur Undisplaced (tidak bergeser): garis patah lengkap ttetapi kedua fragmen tidak bergese r dan periosteum masih utuh. 2). Fraktur Displaced (bergeser): terjadi pergeseran fragmen tulang yang juga disebut lokasi fragmen, terbagi atas: a) Dislokasi ad longitudinam cum contractionum (pergeseran searah sumbu dan overlapping). b) Dislokasi ad axim (pergeseran yang membentuk sudut). c) Dislokasi ad latus (pergeseran dimana kedua fragmen saling menjauh). f. Berdasarkan posisi frakur Sebatang tulang terbagi menjadi tiga bagian : 1) 1/3 proksimal 2) 1/3 medial 3) 1/3 distal g. Fraktur Kelelahan: fraktur akibat tekanan yang berulang-ulang. h. Fraktur Patologis: fraktur yang diakibatkan karena proses patologis tulang. Pada fraktur tertutup ada klasifikasi tersendiri yang berdasarkan keadaan jaringan lu nak sekitar trauma, yaitu: a. Tingkat 0: fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa ceddera jaringan lunak sekitarnya. b. Tingkat 1: fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan jaringan subkutan.
c. Tingkat 2: fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan lunak bagian dalam dan pembeng kakan. d. Tingkat 3: cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang nyata ddan ancaman sindroma k ompartement. 6. Komplikasi a. Komplikasi awal 1) Shock Hipovolemik/traumatik Syok hipovolemik akibat perdarahan (baik kehilangan darah eksterna maupun yang tak keliha tan) dan kehilangan cairan ekstrasel ke jaringan yang rusak, dapat terjadi pada berbagai fraktu r termasuk fraktur femur. Karena tulang merupakan organ yang sangat vaskuler, maka dapat t erjadi kehilangan darah dalam jumlah besar sebagai akibat trauma. Penanganan meliputi mem pertahankan volume darah, mengurangi nyeri yang diderita pasien, memasang pembebatan ya ng memadai dan melindungi pasien dari cedera lebih lanjut. 2)
Emboli lemak
(Brunner, Suddarth; 2001) Ada dua teori yang menyatakan bagaimana terjadinya emboli lemak. Teori pertama m enyatakan bahwa lemak dilepaskan dari sumsum tulang yang mengalami injuri dan dikeluark an seiring dengan meningkatnya tekanan intramedular dam memasuki sirkulasi vena menuju kapiler pulmonal, beberapa tetesan lemak melewati dasar kapiler dan masuk ke sirkulasi siste mik dan mengemboli organ lainnya seperti otak. Teori kedua menyatakan bahwa katekolamin dilepaskan ketika terjadi mobilisasi asam lemak bebas oleh trauma dari jaringan adipose, seh ingga menyebabkan hilangnya stabilitas emulsi chylomicron. Chylomicron membentuk tetesa n lemak yang besar pada paru, dan bisa mengakibatkan perubahan biokimia karena injury. Jar ingan dari paru, otak, hati, ginjal dan kulit yang paling sering terkena. 3) Sindrom kompartemen Terjadi pada saat perfusi jaringan dalam otot kurang dari yang dibutuhkan untuk kehidupan ja ringan. Ini disebabkan oleh karena: a) Penurunan ukuran kompartemen otot karena fasia yang membungkus otot terlalu ketat atau gip s/balutan yang menjerat b) Peningkatan isi kompartemen otot karena edema atau perdarahan sehubungan dengan berbagai masalah (iskemi, cedera remuk, toksik jaringan)
Kompartemen terdiri dari otot, tulang, saraf dan pembuluh darah yang mengalami fibrosis da n fasia. Tekanan kompartemen normal (< atau = 8 mmHg), jika di atas 3040 mmHg dapat merusak peredaran darah mikro. Manifestasi klinik yaitu nyeri iskhemik yan g terus menerus yang tidak dapat dikontrol dengan analgesik, nyeri yang meningkat dengan t urunnya aliran arteri dan nyeri ketika dipalpasi atau dipindahkan, klien mungkin akan mengal ami kelemahan beraktivitas, paresthesia, rendahnya/absent dari nadi, ekstremitas yang dingin dan pucat. Perawatan yang dilakukan yaitu dengan memindahkan penyebab dari kompresi, jika sindrom kompartmen disebabkan dari edema atau pendarahan maka diperlukan fasciotomy, biasanya i nsisi dibiarkan terbuka sampai berkurangnya bengkak, selama 23 hari area tersebut dibungkus dengan longgar sehingga pemindahan kulit terjadi. Sindrom ko mpartment juga dapat disebabkan klien yang mengalami luka bakar yang hebat, injuri, gigitan berbisa atau prosedur revascularisasi. 4) Kerusakan arteri Terdiri dari contused, thrombosis, laserasi, atau arteri yang kejang. Arteries dapat dise babkan ikatan yang terlalu ketat. Indikasi dari kerusakan arteri antara lain absent/tidak teratur nya nadi, bengkak, pucat, kehilangan darah terus menerus, nyeri, hematoma, dan paralysis. In tervensi emergency yaitu pemisahan atau pemindahan pembalut yang mengikatnya, meninggi kan atau merubah posisi dari bagian yang injuri, mengurangi fraktur/dislokasi, operasi. 5) Shock Hypolemic shock merupakan masalah yang potensial karena fragment tubuh dapat me laserasi pembuluh darah besar dan menyebabkan pendarahan, klien yang beresiko tinggi yaitu klien dengan fraktur femur dan pelvis. 6) Injuri saraf Injuri saraf radial biasanya disebabkan fraktur humerus, manifestasinya antara lain par esthesia, paralisis, pucat, ekstremitas yang dingin, meningkatnya nyeri dan perubahan kemam puan untuk menggerakkan ekstremitas 7) Volkmann’s iskhemik kontraktur Komplikasi ini dapat menyebabkan lumpuhnya tangan atau lengan bawah akibat frakt ur, dimulai dengan timbulnya sindrom kompartmen pada sirkulasi vena dan arteri. Jika tidak hilang, tekanan dapat menyebabkan iskhemik yang berkepanjangan dan otot secara bertahap akan digantikan dengan jaringan fibrosis antara tendon dan saraf. Mati rasa dan paralisis juga sering terjadi.
8) Infeksi Disebabkan kontaminasi fraktur yang terbuka atau terkena saat dioperasi. Agen infeks i yang biasanya menimbulkan infeksi yaitu pseudomonas. Tetanus atau gas gangren dapat me ningkatkan resiko infeksi. Infeksi gas gangren berkembang didalam dan mengkontaminasi lu ka, gas gangren disebabkan bakteri anaerobik. Pengkajian menunjukkan: turunnya Hb secara cepat; naiknya suhu tubuh; nadi semakin cepat ; nyeri; bengkak lokal secara tiba-tiba; dan pucat. Perawatan yang dapat dilakukan untuk kasus ini yaitu membuka luka lebih lebar untuk memb iarkan udara masuk dan mencegah terjadinya drainase. Insisi multipel juga dapat dilakukan m elewati kulit dan fascia, jahitan dan materi gangren dihilangkan dan luka diirigasi. Jika gangr en tetap berkembang, amputasi mungkin diperlukan (Brunner, Suddarth; 2001) b. Komplikasi lambat 1) Delayed union Proses penyembuhan fraktur sangat lambat dari yang diharapkan biasanya lebih dari 4 bulan. Delayed Union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai dengan waktu yang dibut uhkan tulang untuk menyambung. Ini disebabkan karena penurunan supai darah ke tulang. 2) Non union Non union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi dan memproduksi sambungan yang l engkap, kuat, dan stabil setelah 69 bulan. Nonunion ditandai dengan adanya pergerakan yang berlebih pada sisi fraktur yang m embentuk sendi palsu atau pseudoarthrosis. Ini juga disebabkan karena aliran darah yang kura ng. 3) Mal union Proses penyembuhan terjadi tetapi tidak memuaskan (ada perubahan bentuk). Malunion meru pakan penyembuhan tulang ditandai dengan meningkatnya tingkat kekuatan dan perubahan b entuk (deformitas). Malunion dilakukan dengan pembedahan dan reimobilisasi yang baik. 4) Nekrosis avaskuler tulang Karena suplai darah menurun sehingga menurunkan fungsi tulang. Tulang yang mati mengala mi kolaps dan diganti oleh tulang yang baru. Pasien mengalami nyeri dan keterbatasan gerak. Sinar X menunjukkan kehilangan kalsium dan kolaps struktural. 5) Kekakuan sendi lutut 6) Gangguan saraf perifer akibat traksi yang berlebihan 7. Pemeriksaan Penunjang / Evaluasi Diagnostik
Pemeriksaan Rontgen : menentukan lokasi/luasnya fraktur/luasnyatrauma, skan tulang , temogram, scan CI: memperlihatkan fraktur juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi ke rusakan jaringan lunak. a. Hitung darah lengkap : HB mungkin meningkat/menurun. b. Peningkatan jumlal sop adalah respons stress normal setelah trauma. c. Kreatinin : traumaa otot meningkatkan beban kreatinin untuk ginjal. d. Profil koagulasi : perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, transfusi multiple, atau ceder ah hati 8. Penatalaksanaan Ada empat konsep dasar yang harus diperhatikan/pertimbangkan pada waktu menang ani fraktur: a. Rekognisi: menyangkut diagnosa fraktur pada tempat kejadian kecelakaan dan kemudian di ru mah sakit. 1) Riwayat kecelakaan 2) Parah tidaknya luka 3) Diskripsi kejadian oleh pasien 4) Menentukan kemungkinan tulang yang patah 5) Krepitus b. Reduksi: reposisi fragmen fraktur sedekat mungkin dengan letak normalnya. Reduksi terbagi m enjadi dua yaitu: 1) Reduksi tertutup: untuk mensejajarkan tulang secara manual dengan traksi atau gips 2) Reduksi terbuka: dengan metode insisi dibuat dan diluruskan melalui pembedahan, biasanya m elalui internal fiksasi dengan alat misalnya; pin, plat yang langsung kedalam medula tulang. c. Retensi: menyatakan metode-metode yang dilaksanakan untuk mempertahankan fragmenfragmen tersebut selama penyembuhan (gips/traksi) d. Rehabilitasi: langsung dimulai segera dan sudah dilaksanakan bersamaan dengan pengobatan f raktur karena sering kali pengaruh cidera dan program pengobatan hasilnya kurang sempurna (latihan gerak dengan kruck). (Sylvia, Price; 1995) 9. Penatalaksanaan umum a. Atasi syok dan perdarahan, serta dijaganya lapang jalan nafas b. Sebelum penderita diangkut, pasang bidai untuk mengurangi nyeri, mencegah bertambahnya k erusakan jaringan lunak dan makin buruknya kedudukan fraktur. c. Fraktur tertutup:
1) Reposisi, diperlukan anestesi. Kedudukan fragmen distal dikembalikan pada alligment dengan menggunakan traksi. 2) Fiksasi atau imobilisasi Sendisendi di atas dan di bawah garis fraktur biasanya di imobilisasi. Pada fraktur yang sudah di i mobilisasi maka gips berbantal cukup untuk imobilisasi. 3) Restorasi (pengembalian fungsi) Setelah imobilisasi akan terjadi kelemahan otot dan kekakuan sendi, dimana hal ini di atasi dengan fisioterapi. d. Fraktur terbuka: 1) Tindakan pada saat pembidaian diikuti dengan menutupi daerah fraktur dengan kain steril (jan gan di balut) 2) Dalam anestesi, dilakukan pembersihan luka dengan aquadest steril atau garam fisiologis 3) Eksisi jaringan yang mati 4) Reposisi 5) Penutupan luka Masa kurang dari 67 jam merupakan GOLDEN PERIOD, dimana kontaminasi tidak luas, dan dapat dilakukan pe nutupan luka primer. 6) Fiksasi 7) Restorasi (Purwadianto, Agus; 2000) 10. Pathway
C. Konsep Asuhan Keperawatan Di dalam memberikan asuhan keperawatan digunakan system atau metode proses keperawatan yang dalam pelaksanaannya dibagi menjadi 5 tahap, yaitu pengkajian, diagn osa keperawatan, perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi. 1. Pengkajian Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan dalam proses keperawatan, un tuk itu diperlukan kecermatan dan ketelitian tentang masalahmasalah klien sehingga dapat memberikan arah terhadap tindakan keperawatan. Keber hasilan proses keperawatan sangat bergantuang pada tahap ini. Tahap ini terbagi atas: a Pengumpulan Data
1) Anamnesa a) Identitas Klien Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang dipakai, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan darah, no. register, tanggal MRS, diagnosa medis. b) Keluhan Utama Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa nyeri. Nyeri tersebut bisa akut atau kronik tergantung dan lamanya serangan. Untuk memperoleh pengkajian yang lengkap t entang rasa nyeri klien digunakan: (1) Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi yang menjadi faktor presipitasi nyeri. (2) Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau digambarkan klien. Apakah sepert i terbakar, berdenyut, atau menusuk. (3) Region : radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa sakit menjalar atau menyeb ar, dan dimana rasa sakit terjadi. (4) Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan klien, bisa berdasarkan ska la nyeri atau klien menerangkan seberapa jauh rasa sakit mempengaruhi kemampuan fungsin ya. (5) Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah buruk pada malam hari atau siang hari. c) Riwayat Penyakit Sekarang Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari fraktur, yang nantinya mem bantu dalam membuat rencana tindakan terhadap klien. Ini bisa berupa kronologi terjadinya p enyakit tersebut sehingga nantinya bisa ditentukan kekuatan yang terjadi dan bagian tubuh m ana yang terkena. Selain itu, dengan mengetahui mekanisme terjadinya kecelakaan bisa diket ahui luka kecelakaan yang lain (Ignatavicius, Donna D, 1995). d) Riwayat Penyakit Dahulu Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab fraktur dan memberi petunjuk berapa lama tulang tersebut akan menyambung. Penyakitpenyakit tertentu seperti kanker tulang dan penyakit paget’s yang menyebabkan fraktur patol ogis yang sering sulit untuk menyambung. Selain itu, penyakit diabetes dengan luka di kaki s anagt beresiko terjadinya osteomyelitis akut maupun kronik dan juga diabetes menghambat p roses penyembuhan tulang e) Riwayat Penyakit Keluarga Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang merupakan salah satu faktor pre disposisi terjadinya fraktur, seperti diabetes, osteoporosis yang sering terjadi pada beberapa k
eturunan, dan kanker tulang yang cenderung diturunkan secara genetik (Ignatavicius, Donna D, 1995). f) Riwayat Psikososial Merupakan respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan peran klien dalam ke luarga dan masyarakat serta respon atau pengaruhnya dalam kehidupan sehariharinya baik dalam keluarga ataupun dalam masyarakat (Ignatavicius, Donna D, 1995). g) Pola-Pola Fungsi Kesehatan (1) Pola Persepsi dan Tata Laksana Hidup Sehat Pada kasus fraktur akan timbul ketidakutan akan terjadinya kecacatan pada dirinya dan harus menjalani penatalaksanaan kesehatan untuk membantu penyembuhan tulangnya. Selain itu, p engkajian juga meliputi kebiasaan hidup klien seperti penggunaan obat steroid yang dapat me ngganggu metabolisme kalsium, pengkonsumsian alkohol yang bisa mengganggu keseimban gannya dan apakah klien melakukan olahraga atau tidak.(Ignatavicius, Donna D,1995). (2) Pola Nutrisi dan Metabolisme Pada klien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi kebutuhan sehariharinya seperti kalsium, zat besi, protein, vit. C dan lainnya untuk membantu proses penyemb uhan tulang. Evaluasi terhadap pola nutrisi klien bisa membantu menentukan penyebab masal ah muskuloskeletal dan mengantisipasi komplikasi dari nutrisi yang tidak adekuat terutama k alsium atau protein dan terpapar sinar matahari yang kurang merupakan faktor predisposisi m asalah muskuloskeletal terutama pada lansia. Selain itu juga obesitas juga menghambat degen erasi dan mobilitas klien. (3) Pola Eliminasi Untuk kasus fraktur humerus tidak ada gangguan pada pola eliminasi, tapi walaupun begitu p erlu juga dikaji frekuensi, konsistensi, warna serta bau feces pada pola eliminasi alvi. Sedang kan pada pola eliminasi uri dikaji frekuensi, kepekatannya, warna, bau, dan jumlah. Pada ked ua pola ini juga dikaji ada kesulitan atau tidak. Pola Tidur dan Istirahat Semua klien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan gerak, sehingga hal ini dapat mengganggu pola dan kebutuhan tidur klien. Selain itu juga, pengkajian dilaksanakan pada lamanya tidur, suasana lingkungan, kebiasaan tidur, dan kesulitan tidur serta penggunaan obat tidur (Doengo s. Marilynn E, 2002). (4) Pola Aktivitas Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka semua bentuk kegiatan klien menjadi berk urang dan kebutuhan klien perlu banyak dibantu oleh orang lain. Hal lain yang perlu dikaji ad alah bentuk aktivitas klien terutama pekerjaan klien. Karena ada beberapa bentuk pekerjaan b
eresiko untuk terjadinya fraktur dibanding pekerjaan yang lain (Ignatavicius, Donna D, 1995) . (5) Pola Hubungan dan Peran (6) Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam masyarakat. Karena klien harus menj alani rawat inap (Ignatavicius, Donna D, 1995). (7) Pola Persepsi dan Konsep Diri Dampak yang timbul pada klien fraktur yaitu timbul ketidakutan akan kecacatan akibat fraktu rnya, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara optimal, dan panda ngan terhadap dirinya yang salah (gangguan body image) (Ignatavicius, Donna D, 1995). (8) Pola Sensori dan Kognitif Pada klien fraktur daya rabanya berkurang terutama pada bagian distal fraktur, sedang pada i ndera yang lain tidak timbul gangguan. begitu juga pada kognitifnya tidak mengalami ganggu an. Selain itu juga, timbul rasa nyeri akibat fraktur (Ignatavicius, Donna D, 1995). (9) Pola Reproduksi Seksual Dampak pada klien fraktur yaitu, klien tidak bisa melakukan hubungan seksual karena harus menjalani rawat inap dan keterbatasan gerak serta rasa nyeri yang dialami klien. Selain itu ju ga, perlu dikaji status perkawinannya termasuk jumlah anak, lama perkawinannya (Ignatavici us, Donna D, 1995). (10) Pola Penanggulangan Stress Pada klien fraktur timbul rasa cemas tentang keadaan dirinya, yaitu ketidakutan timbul kecac atan pada diri dan fungsi tubuhnya. Mekanisme koping yang ditempuh klien bisa tidak efektif . (11) Pola Tata Nilai dan Keyakinan Untuk klien fraktur tidak dapat melaksanakan kebutuhan beribadah dengan baik terutama fre kuensi dan konsentrasi. Hal ini bisa disebabkan karena nyeri dan keterbatasan gerak klien 2) Pemeriksaan Fisik Dibagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan umum (status generalisata) untuk mendapatka n gambaran umum dan pemeriksaan setempat (lokalis). Hal ini perlu untuk dapat melaksanak an total care karena ada kecenderungan dimana spesialisasi hanya memperlihatkan daerah ya ng lebih sempit tetapi lebih mendalam. a) Gambaran Umum Perlu menyebutkan: (1) Keadaan umum: baik atau buruknya yang dicatat adalah tanda-tanda, seperti:
(a) Kesadaran penderita: apatis, sopor, koma, gelisah, komposmentis tergantung pada keadaan kli en. (b) Kesakitan, keadaan penyakit: akut, kronik, ringan, sedang, berat dan pada kasus fraktur biasa nya akut. (c) Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan baik fungsi maupun bentuk. (2) Secara sistemik dari kepala sampai kelamin (a) Sistem Integumen Terdapat erytema, suhu sekitar daerah trauma meningkat, bengkak, oedema, nyeri tekan. (b) Kepala Tidak ada gangguan yaitu, normo cephalik, simetris, tidak ada penonjolan, tidak ada nyeri ke pala. (c) Leher Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada penonjolan, reflek menelan ada. (d) Muka Wajah terlihat menahan sakit, lainlain tidak ada perubahan fungsi maupun bentuk. Tak ada lesi, simetris, tak oedema. (e) Mata Tidak ada gangguan seperti konjungtiva tidak anemis (karena tidak terjadi perdarahan) (f) Telinga Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal. Tidak ada lesi atau nyeri tekan. (g) Hidung Tidak ada deformitas, tak ada pernafasan cuping hidung. (h) Mulut dan Faring Tak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi perdarahan, mukosa mulut tidak pucat. (i) Thoraks Tak ada pergerakan otot intercostae, gerakan dada simetris. (j) Paru (1) Inspeksi Pernafasan meningkat, reguler atau tidaknya tergantung pada riwayat penyakit klien yang ber hubungan dengan paru. (2) Palpasi Pergerakan sama atau simetris, fermitus raba sama. (3) Perkusi Suara ketok sonor, tak ada erdup atau suara tambahan lainnya.
(4) Auskultasi Suara nafas normal, tak ada wheezing, atau suara tambahan lainnya seperti stridor dan ronchi. (k) Jantung (1) Inspeksi Tidak tampak iktus jantung. (2) Palpasi Nadi meningkat, iktus tidak teraba. (3) Auskultasi Suara S1 dan S2 tunggal, tak ada mur-mur. (l) Abdomen (1) Inspeksi Bentuk datar, simetris, tidak ada hernia. (2) Palpasi Tugor baik, tidak ada defands muskuler, hepar tidak teraba. (3) Perkusi Suara thympani, ada pantulan gelombang cairan. (4) Auskultasi Peristaltik usus normal 20 kali/menit. (m) Inguinal-Genetalia-Anus Tak ada hernia, tak ada pembesaran lymphe, tak ada kesulitan BAB. b) Keadaan Lokal Harus diperhitungkan keadaan proksimal serta bagian distal terutama mengenai status neurovaskuler (untuk status neurovaskuler 5 P yaitu Pain, Palor, Parestesia, Pulse, Pe rgerakan). Pemeriksaan pada sistem muskuloskeletal adalah: (1) Look (inspeksi) Perhatikan apa yang dapat dilihat antara lain: (a) Cicatriks (jaringan parut baik yang alami maupun buatan seperti bekas operasi). (b) Cape au lait spot (birth mark). (c) Fistulae. (d) Warna kemerahan atau kebiruan (livide) atau hyperpigmentasi. (e) Benjolan, pembengkakan, atau cekungan dengan hal-hal yang tidak biasa (abnormal). (f) Posisi dan bentuk dari ekstrimitas (deformitas) (g) Posisi jalan (gait, waktu masuk ke kamar periksa)
(2) Feel (palpasi) Pada waktu akan palpasi, terlebih dahulu posisi penderita diperbaiki mulai dari posisi netral (posisi anatomi). Pada dasarnya ini merupakan pemeriksaan yang memberikan informa si dua arah, baik pemeriksa maupun klien. Yang perlu dicatat adalah: (a) Perubahan suhu disekitar trauma (hangat) dan kelembaban kulit. Capillary refill time Nor mal 3 – 5 “ (b) Apabila ada pembengkakan, apakah terdapat fluktuasi atau oedema terutama disekitar persend ian. (c) Nyeri tekan (tenderness), krepitasi, catat letak kelainan (1/3 proksimal, tengah, atau distal). Otot: tonus pada waktu relaksasi atau konttraksi, benjolan yang terdapat di permukaan atau m elekat pada tulang. Selain itu juga diperiksa status neurovaskuler. Apabila ada benjolan, maka sifat benjolan perlu dideskripsikan permukaannya, konsistensinya, pergerakan terhadap dasar atau permukaannya, nyeri atau tidak, dan ukurannya. (3) Move (pergerakan terutama lingkup gerak) Setelah melakukan pemeriksaan feel, kemudian diteruskan dengan menggerakan ekstr imitas dan dicatat apakah terdapat keluhan nyeri pada pergerakan. Pencatatan lingkup gerak i ni perlu, agar dapat mengevaluasi keadaan sebelum dan sesudahnya. Gerakan sendi dicatat de ngan ukuran derajat, dari tiap arah pergerakan mulai dari titik 0 (posisi netral) atau dalam uku ran metrik. Pemeriksaan ini menentukan apakah ada gangguan gerak (mobilitas) atau tidak. P ergerakan yang dilihat adalah gerakan aktif dan pasif. (Reksoprodjo, Soelarto, 1995) 3) Pemeriksaan Diagnostik a) Pemeriksaan Radiologi Sebagai penunjang, pemeriksaan yang penting adalah “pencitraan” menggunakan sinar rontge n (xray). Untuk mendapatkan gambaran 3 dimensi keadaan dan kedudukan tulang yang sulit, mak a diperlukan 2 proyeksi yaitu AP atau PA dan lateral. Dalam keadaan tertentu diperlukan pro yeksi tambahan (khusus) ada indikasi untuk memperlihatkan pathologi yang dicari karena ada nya superposisi. Perlu disadari bahwa permintaan xray harus atas dasar indikasi kegunaan pemeriksaan penunjang dan hasilnya dibaca sesuai de ngan permintaan. Hal yang harus dibaca pada x-ray: (1) Bayangan jaringan lunak. (2) Tipis tebalnya korteks sebagai akibat reaksi periosteum atau biomekanik atau juga rotasi.
(3) Trobukulasi ada tidaknya rare fraction. (4) Sela sendi serta bentuknya arsitektur sendi. Selain foto polos x-ray (plane x-ray) mungkin perlu tehnik khususnya seperti: (1) Tomografi: menggambarkan tidak satu struktur saja tapi struktur yang lain tertutup yang sulit divisualisasi. Pada kasus ini ditemukan kerusakan struktur yang kompleks dimana tidak pada satu struktur saja tapi pada struktur lain juga mengalaminya. (2) Myelografi: menggambarkan cabangcabang saraf spinal dan pembuluh darah di ruang tulang vertebrae yang mengalami kerusakan akibat trauma. (3) Arthrografi: menggambarkan jaringan-jaringan ikat yang rusak karena ruda paksa. (4) Computed TomografiScanning: menggambarkan potongan secara transversal dari tulang dimana didapatkan suatu s truktur tulang yang rusak. b) Pemeriksaan Laboratorium (1) Kalsium Serum dan Fosfor Serum meningkat pada tahap penyembuhan tulang. (2) Alkalin Fosfat meningkat pada kerusakan tulang dan menunjukkan kegiatan osteoblastik dala m membentuk tulang. (3) Enzim otot seperti Kreatinin Kinase, Laktat Dehidrogenase (LDH5), Aspartat Amino Transferase (AST), Aldolase yang meningkat pada tahap penyembuhan t ulang. c) Pemeriksaan lain-lain (1) Pemeriksaan mikroorganisme kultur dan test sensitivitas: didapatkan mikroorganisme penyeb ab infeksi. (2) Biopsi tulang dan otot: pada intinya pemeriksaan ini sama dengan pemeriksaan diatas tapi leb ih dindikasikan bila terjadi infeksi. (3) Elektromyografi: terdapat kerusakan konduksi saraf yang diakibatkan fraktur. (4) Arthroscopy: didapatkan jaringan ikat yang rusak atau sobek karena trauma yang berlebihan. (5) Indium Imaging: pada pemeriksaan ini didapatkan adanya infeksi pada tulang. (6) MRI: menggambarkan semua kerusakan akibat fraktur. (Ignatavicius, Donna D, 1995) 2. Diagnosa Keperawatan Adapun diagnosa keperawatan yang lazim dijumpai pada klien fraktur adalah s ebagai berikut:
a. Nyeri akut b/d spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema, cedera jaringan lunak, pemasangan traksi, stress/ansietas. b. Risiko disfungsi neurovaskuler perifer b/d penurunan aliran darah (cedera vaskuler, edema, pembentukan trombus) c. Gangguan pertukaran gas b/d perubahan aliran darah, emboli, perubahan membran alveolar/kapiler (interstisial, edema paru, kongesti) d. Gangguan mobilitas fisik b/d kerusakan rangka neuromuskuler, nyeri, terapi restrikt if (imobilisasi) e. Gangguan integritas kulit b/d fraktur terbuka, pemasangan traksi (pen, kawat, sekru p) f. Risiko infeksi b/d ketidakadekuatan pertahanan primer (kerusakan kulit, taruma jari ngan lunak, prosedur invasif/traksi tulang) g. Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan b/d kura ng terpajan atau salah interpretasi terhadap informasi, keterbatasan kognitif, kuran g akurat/lengkapnya informasi yang ada (Doengoes, 2000) 3. Intervensi Keperawatan a. Nyeri akut b/d spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema, cedera jaringan lunak, pemasangan traksi, stress/ansietas. Tujuan: Klien mengataka nyeri berkurang atau hilang dengan menunjukkan tinda kan santai, mampu berpartisipasi dalam beraktivitas, tidur, istirahat dengan tepat, menunjukkan penggunaan keterampilan relaksasi dan aktivitas trapeutik sesuai ind ikasi untuk situasi individual INTERVENSI KEPERAWATAN
1. Pertahankan imobilasasi bagian yan g sakit dengan tirah baring, gips, be
RASIONAL
Mengurangi nyeri dan mencegah mal formasi.
bat dan atau traksi
2. Tinggikan posisi ekstremitas yang t erkena.
Meningkatkan aliran balik vena, men gurangi edema/nyeri.
3. Lakukan dan awasi latihan gerak pa sif/aktif.
Mempertahankan kekuatan otot dan meningkatkan sirkulasi vaskuler. Meningkatkan sirkulasi umum, menur
4. Lakukan tindakan untuk meningkat kan kenyamanan (masase, perubaha
unakan area tekanan lokal dan kelela han otot.
n posisi) Mengalihkan perhatian terhadap nyer 5. Ajarkan penggunaan teknik manaje men nyeri (latihan napas dalam, im
i, meningkatkan kontrol terhadap nye ri yang mungkin berlangsung lama.
ajinasi visual, aktivitas dipersional) Menurunkan edema dan mengurangi 6. Lakukan kompres dingin selama fas rasa nyeri. e akut (2448 jam pertama) sesuai keperluan.
Menurunkan nyeri melalui mekanism e penghambatan rangsang nyeri baik
7. Kolaborasi pemberian analgetik ses
secara sentral maupun perifer.
uai indikasi. Menilai perkembangan masalah klien .
8. Evaluasi keluhan nyeri (skala, petu njuk verbal dan non verval, perubah an tanda-tanda vital) a. Risiko disfungsi neurovaskuler perifer b/d penurunan aliran darah (cedera vaskuler, edema, pembentukan trombus) Tujuan
:
Klien akan menunjukkan fungsi neurovaskuler baik dengan kriteria akral hangat, t idak pucat dan syanosis, bisa bergerak secara aktif
INTERVENSI KEPERAWATAN
RASIONAL
Dorong klien untuk secara rutin mel
Meningkatkan sirkulasi darah dan m
akukan latihan menggerakkan jari/s
encegah kekakuan sendi.
endi distal cedera. 1. Hindarkan restriksi sirkulasi akibat t
Mencegah stasis vena dan sebagai pe
ekanan bebat/spalk yang terlalu keta
tunjuk perlunya penyesuaian keketata
t.
n bebat/spalk.
2. Pertahankan letak tinggi ekstremitas
Meningkatkan drainase vena dan me
yang cedera kecuali ada kontraindik
nurunkan edema kecuali pada adany
asi adanya sindroma kompartemen.
a keadaan hambatan aliran arteri ya ng menyebabkan penurunan perfusi.
3. Berikan obat antikoagulan (warfarin ) bila diperlukan.
Mungkin diberikan sebagai upaya pr ofilaktik untuk menurunkan trombus vena.
4. Pantau kualitas nadi perifer, aliran k
Mengevaluasi perkembangan masala
apiler, warna kulit dan kehangatan k
h klien dan perlunya intervensi sesuai
ulit distal cedera, bandingkan denga
keadaan klien.
n sisi yang normal.
b. Gangguan pertukaran gas b/d perubahan aliran darah, emboli, perubahan membran alveolar/kapiler (interstisial, edema paru, kongesti) Tujuan
:
Klien akan menunjukkan kebutuhan oksigenasi terpenuhi dengan kriteria klien tid ak sesak nafas, tidak cyanosis analisa gas darah dalam batas normal
INTERVENSI KEPERAWATAN
RASIONAL
1. Instruksikan/bantu latihan napas dal am dan latihan batuk efektif. 2. Lakukan dan ajarkan perubahan posi si yang aman sesuai keadaan klien.
Meningkatkan ventilasi alveolar dan perfusi. Reposisi meningkatkan drainase sekr et dan menurunkan kongesti paru.
3. Kolaborasi pemberian obat antikoag
Mencegah terjadinya pembekuan dar
ulan (warvarin, heparin) dan kortiko
ah pada keadaan tromboemboli. Kort
steroid sesuai indikasi.
ikosteroid telah menunjukkan keberh asilan untuk mencegah/mengatasi em boli lemak.
4. Analisa pemeriksaan gas darah, Hb,
Penurunan PaO2 dan peningkatan P
kalsium, LED, lemak dan trombosit
CO2 menunjukkan gangguan pertuka ran gas; anemia, hipokalsemia, penin gkatan LED dan kadar lipase, lemak
5. Evaluasi frekuensi pernapasan dan u
darah dan penurunan trombosit serin
paya bernapas, perhatikan adanya st
g berhubungan dengan emboli lemak.
ridor, penggunaan otot aksesori pern Adanya takipnea, dispnea dan perub apasan, retraksi sela iga dan sianosis ahan mental merupakan tanda dini in sentral.
sufisiensi pernapasan, mungkin menu njukkan terjadinya emboli paru tahap awal.
c. Gangguan mobilitas fisik b/d kerusakan rangka neuromuskuler, nyeri, terapi restrikt if (imobilisasi) Tujuan
:
Klien dapat meningkatkan/mempertahankan mobilitas pada tingkat paling tinggi y ang mungkin dapat mempertahankan posisi fungsional meningkatkan kekuatan/fu ngsi yang sakit dan mengkompensasi bagian tubuh menunjukkan tekhnik yang me mampukan melakukan aktivitas INTERVENSI KEPERAWATAN
1. Pertahankan pelaksanaan aktivitas re kreasi terapeutik (radio, koran, kunju
RASIONAL
ngan teman/keluarga) sesuai keadaan
Memfokuskan perhatian, meningkata
klien.
kan rasa kontrol diri/harga diri, me
2. Bantu latihan rentang gerak pasif akti
mbantu menurunkan isolasi sosial.
f pada ekstremitas yang sakit maupu
Meningkatkan sirkulasi darah musk
n yang sehat sesuai keadaan klien.
uloskeletal, mempertahankan tonus otot, mempertahakan gerak sendi, m encegah kontraktur/atrofi dan mence
3. Berikan papan penyangga kaki, gulun gah reabsorbsi kalsium karena imob gan trokanter/tangan sesuai indikasi. 4. Bantu dan dorong perawatan diri (ke
ilisasi. Mempertahankan posis fungsional e
bersihan/eliminasi) sesuai keadaan kl kstremitas. ien. 5. Ubah posisi secara periodik sesuai ke adaan klien.
Meningkatkan kemandirian klien dal am perawatan diri sesuai kondisi ket erbatasan klien. Menurunkan insiden komplikasi kuli
6. Dorong/pertahankan asupan cairan 2 000-3000 ml/hari. 7. Berikan diet TKTP.
t dan pernapasan (dekubitus, atelekt asis, penumonia) Mempertahankan hidrasi adekuat, m encegah komplikasi urinarius dan kons tipasi.
8. Kolaborasi pelaksanaan fisioterapi se suai indikasi.
Kalori dan protein yang cukup diper lukan untuk proses penyembuhan da n mem-
9. Evaluasi kemampuan mobilisasi klie n dan program imobilisasi.
pertahankan fungsi fisiologis tubuh. Kerjasama dengan fisioterapis perlu untuk menyusun program aktivitas f isik secara individual. Menilai perkembangan masalah klie n.
d. Gangguan integritas kulit b/d fraktur terbuka, pemasangan traksi (pen, kawat, sekru p)Tujuan Klien menyatakan ketidaknyamanan hilang, menunjukkan perilaku tekhnik untuk
:
mencegah kerusakan kulit/memudahkan penyembuhan sesuai indikasi, mencapai penyembuhan luka sesuai waktu/penyembuhan lesi terjadi INTERVENSI KEPERAWATAN
1. Pertahankan tempat tidur yang nyam an dan aman (kering, bersih, alat te
RASIONAL
Menurunkan risiko kerusakan/abrasi kulit yang lebih luas.
nun kencang, bantalan bawah siku, tumit). 2. Masase kulit terutama daerah penonj
Meningkatkan sirkulasi perifer dan m eningkatkan kelemasan kulit dan otot
olan tulang dan area distal bebat/gip terhadap tekanan yang relatif konstan s.
pada imobilisasi. Mencegah gangguan integritas kulit d
3. Lindungi kulit dan gips pada daerah perianal
an jaringan akibat kontaminasi fekal. Menilai perkembangan masalah klien .
4. Observasi keadaan kulit, penekanan gips/bebat terhadap kulit, insersi pe n/traksi.
e. Risiko infeksi b/d ketidakadekuatan pertahanan primer (kerusakan kulit, taruma jari ngan lunak, prosedur invasif/traksi tulang Tujuan
:
Klien mencapai penyembuhan luka sesuai waktu, bebas drainase purulen atau erit ema dan demam INTERVENSI KEPERAWATAN
1. Lakukan perawatan pen steril dan pe rawatan luka sesuai protokol 2. Ajarkan klien untuk mempertahanka
RASIONAL
Mencegah infeksi sekunderdan memp ercepat penyembuhan luka. Meminimalkan kontaminasi.
n sterilitas insersi pen. 3. Kolaborasi pemberian antibiotika da
Antibiotika spektrum luas atau spesif
n toksoid tetanus sesuai indikasi.
ik dapat digunakan secara profilaksi s, mencegah atau mengatasi infeksi.
Toksoid tetanus untuk mencegah infe 4. Analisa hasil pemeriksaan laboratori um (Hitung darah lengkap, LED, Ku
ksi tetanus. Leukositosis biasanya terjadi pada p
ltur dan sensitivitas luka/serum/tulan roses infeksi, anemia dan peningkata g)
n LED dapat terjadi pada osteomielit is. Kultur untuk mengidentifikasi org
5. Observasi tanda-
anisme penyebab infeksi.
tanda vital dan tanda-
Mengevaluasi perkembangan masala
tanda peradangan lokal pada luka.
h klien.
h. Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan b/d kurang terpajan atau salah interpretasi terhadap informasi, keterbatasan kognitif, kurang akurat/lengkapnya in formasi yang ada. Tujuan
:
klien akan menunjukkan pengetahuan meningkat dengan kriteria klien mengerti dan memaha mi tentang penyakitnya
INTERVENSI KEPERAWATAN
1. Kaji kesiapan klien mengikuti progra m pembelajaran.
RASIONAL
Efektivitas proses pemeblajaran dipe ngaruhi oleh kesiapan fisik dan ment al klien untuk mengikuti program pe
2. Diskusikan metode mobilitas dan amb ulasi sesuai program terapi fisik.
mbelajaran. Meningkatkan partisipasi dan keman dirian klien dalam perencanaan dan
3. Ajarkan tanda/gejala klinis yang mem
pelaksanaan program terapi fisik.
erluka evaluasi medik (nyeri berat, d
Meningkatkan kewaspadaan klien unt
emam, perubahan sensasi kulit distal
uk mengenali tanda/gejala dini yang
cedera)
memerulukan intervensi lebih lanjut. Upaya pembedahan mungkin diperlu
4. Persiapkan klien untuk mengikuti tera pi pembedahan bila diperlukan.
kan untuk mengatasi maslaha sesuai kondisi klien.
4. Evaluasi a. Nyeri berkurang atau hilang b. Tidak terjadi disfungsi neurovaskuler perifer c. Pertukaran gas adekuat d. Tidak terjadi kerusakan integritas kulit e. Infeksi tidak terjadi f. Meningkatnya pemahaman klien terhadap penyakit yang dialami
D. Identifikasi Masalah - Masalah Penelitian yang b.d Kasus ( Telaah Jurnal ) JUDUL : PENGARUH PEMBERIAN INFORMASI PRA BEDAH TERHADAP TINGKAT KE CEMASAN PADA PASIEN PRA BEDAH MAYOR DI BANGSAL ORTHOPEDI RSU I KUSTATI SURAKARTA PENGARANG : Endang Sawitri* Agus Sudaryanto** MAKNA : Di dunia sekitar 140.000orang mengalami kecelakakan lalu lintas setiap hari, lebi h dari 3.000 orang meningal dan 15.000 cacat fisik karena kecelakaan lalu lintas.dan Diperkir akan tahun 2020 mengalami kenaikan lebih dari 60 % ( Anonim,2005 ). Di Indonesia angka k ecelakaan lalu lintas sekitar 40 orang per hari dan sekitar 30 orang mengalami kematian. Pali ng banyak yang mengalami kecelakaan kaum lakilaki dengan usia produktif sehingga mengakibatkan penurunan produktifitas di Indonesia ( A nonim, 2005). Banyaknya alasan yang melatarbelakangi kecemasan pada pasien pra bedah femur baik alas a n yang berupa : cemas menghadapi pembiusan, takutmati saat operasi, cemas menghadapi bo dy image yang berupa cacat yang akan menganggu fungsi peran pasien, dan cemas masalah b iaya perawatan. Masalah ini yang sangat menarik bagi peneliti untuk melakukan penelitian. Dari hasil di atas dapat disimpulkan bahwa ada beda yang signifikan sebelum dan sesudah dil akukan komunikasi terapeutik (pemberian informasi pra bedah) terhadap tingkat kecemasan p ada pada pasien pra bedah mayor. Perbedaan hasil tersebut ditandai dengan adanya penuruna n tingkat kecemasan setelah dilakukan komunikasi terapeutik ( pemberian informasi ) pada pa sien pra bedah mayor fraktur femur di RSUI Kustati Surakarta. KESIMPULAN : Ada hubungan yang bermakna antara pemberian informasi pra bedah den gan penurunan tingkat kecemasan pada pasien pra bedah mayor.
Responden laki laki ditemukan lebih cemas dibandingkan perempuan dalam menghadapi ope rasi fraktur femur Ada beda tingkat kecemasan sebelum dan sesudah dilakukan perlakuan pemberian informasi pra bedah yaitu ada penurunan tingkat kecemasan dari kecemasan sedang menjadi kecemasan ringan..
E. Fungsi Advokasi sesuai dengan Kasus Advokasi menurut ANA (1985) “melindungi klien atau masyarakat terhadpa pelayana n kesehatan dan keselamatan praktik tidak sah yang tidak kompeten dan melanggar etika yan g dilakukan oleh siapapun” Perawat atau yang memiliki komitmen tinggi dalam mempraktekkan keperawatan profesional dan tradisi tersebut perlu mengingat hal-hal sbb: 1. Pastikan bahwa loyalitas staf atau kolega agar tetap memegang teguh komitmen utamanya terh adap pasen 2. Berikan prioritas utama terhadap pasen dan masyarakat pada umumnya. 3. Kepedulian mengevaluasi terhadap kemungkinan adanya klaim otonomi dalam kesembuhan pa sien. Istilah advokasi sering digunakan dalam hukum yang berkaitan dengan upaya melindu ngi hak manusia bagi mereka yang tidak mampu membela diri. Arti advokasi menurut ANA ( 1985) adalah “melindungi klien atau masyarakat terhadap pelayanan kesehatan dan keselamat an praktik tidak sah yang tidak kompeten dan melanggar etika yang dilakukan oleh siapa pun ”. Fry (1987) mendefinisikan advokasi sebagai dukungan aktif terhadap setiap hal yang memi liki penyebab atau dampak penting. Definisi ini mirip dengan yang dinyatakan Gadow (1983) bahwa “advokasi merupaka n dasar falsafah dan ideal keperawatan yang melibatkan bantuan perawat secara aktif kepada individu secara bebas menentukan nasibnya sendiri”. Posisi perawat yang mempunyai jam ke rja 8 sampai 10 atau 12 jam memungkinkannya mempunyai banyak waktu untuk mengadakan hubungan baik dan mengetahui keunikan klien sebagai manusia holistik sehingga berposisi s ebagai advokat klien (curtin, 1986). Pada dasarnya, peran perawat sebagai advokat klien adal ah memberi informasi dan memberi bantuan kepada klien atas keputusan apa pun yang di bua t kilen, memberi informasi berarti menyediakan informasi atau penjelasan sesuai yang dibutu hkan klien memberi bantuan mengandung dua peran, yaitu peran aksi dan peran nonaksi. Dalam menjalankan peran aksi, perawat memberikan keyakinan kepada klien bahwa mereka mempunyai hak dan tanggung jawab dalam menentukan pilihan atau keputusan sendi
ri dan tidak tertekan dengan pengaruh orang lain, sedangkan peran nonaksi mengandungarti p ihak advokat seharusnya menahan diri untuk tidak memengaruhi keputusan klien (Khonke, 1 982).Dalam menjalankan peran sebagai advokat, perawat harus menghargai klien sebagai ind uvidu yangmemiliki berbagai karakteristik.Dalam hal ini, perawat memberikan perlindungan terhadap martabat dan nilai manusiawi klien selama dalam keadaan sakit. Pada dasarnya peran perawat dalam advokasi adalah; “memberi informasi dan membe r bantuan” kepada pasien atas keputusan apapun yang dibuat pasien. Memberi informasi bere rti menyediakan penjelasan atau informasi sesuai yang dibutuhkan pasien. Memberikan bantu an mempunyai dua peran yaitu : 1. Peran aksi : perawat memberikan keyakinan kepada pasien bahwa mereka mempunyai hak dan tanggungjawab dalam menentukan pilihan atau keputusan sendiri dan tidak tertekan dengan pengaruh orang lain 2. Peran non aksi : pihak advokad seharusnya menahan diri untuk tidak pempengaruhi keputusan pasien (Kohnke, 1982; lih Megan, 1991).
BAB III PEMBAHASAN KASUS
A. Sekenario 2
Seorang lakilaki datang ke UGDRS X diantar oleh polisi dan warga dalam keadaan teriakteriak kesakitan, menurut keterangan warga pasien saat mengendarai sepeda motor bertabraka n dengan sepeda motor lainnya sehingga mengakibatkan seluruh badan membentur ke trotoar jalan. Hasil pemeriksaan fisik yang di lakukan oleh perawat UGD kesadaran pasien compos mentris GCS 15, mual dan muntah (+), kepala pusing, dan nyeri hebat di extreminitas dextra bagian bawah. Di dapatkan juga cucuran darah merembes di celana extreminitas dextra bagia n bawah, di lakukan palpasi terdapat bunyi krepitas didaerah tersebut. TD :90/60 mmHg, N: 1 20x/menit, RR : 22x/menit, S : 36,3, akral dingin, nadi periper lemah irama regular. Tanpa meminta ijin terhadap pasien perawat menggunting celana yang bercucuran dar ah sambil menunggu instruksi dokter jaga UGD, perawatmemasang IV caterer dua line di bag ian extremitas atas dextra/sinistra. Memberikan Ranitidin 1 amp, Cedantron 1 amp, Ketorolac 1 amp, Kalnek 1 amp, Vit. K 1 amp, serta melakukan balut tekan dan memasang spalek pada extremitas yang bercucuran darah. PERTANYAAN ANALISA KASUS 1. Setelah membaca dan menjawab beberapa pertanyaan yang muncul dari kasus diatas, coba disk usikan system organ apa yang terkait dengan masalah diatas? Jelaskan dengan menggunakan anatomi fisiologi system organ tersebut. 2. Coba identifikasi diagnosa keperawatan sesuai dengan prioritas dalam kasus tersebut! 3. Coba saudara buat patologi dan fatway dari masalah keperawatan tersebut! 4. Intervensi keperawatan apa saja yang dilakukan oleh perawat untuk mengatasimsalah keperawa tan yang muncul! 5. Coba buat NCP dari masing-masing diagnose keperawatan! 6. Coba buat evaluasi dari masing-masing diagnose keperawatan! 7. Penatalaksanaan pada pasien tersebut! 8. Apa masalah frinsip legal etis pada kasus diatas! 9. Bagai mana nursing advokasi yang seharusnya dilakukan oleh perawat pada pasien dan saran a pa yang sebaiknya diberikan pada perawat diatas terhadap intervensi pada pasien tersebut! 10. Coba anda teliti isi jurnal tersebut serta berikan solusi dari masalah tersebut! B. Jawaban Kasus 1. Anatomi dan fisiologi ekstremitas bawah Tibia atau tulang kering merupakan kerangka yang utama dari tungkai bawah dan terleta med ial dari fibula atau tulang betis, tibia adalah tulang pipa dengan sebuah batang dan dua ujung
yaitu : Ujung atas yang merupakan permukaan dua dataran permukaan persendian femur dan sendi lutut. Ujung bawah yang membuat sendi dengan tiga tulang, yaitu femur fibula dan talu s. Fibula atau tulang betis adalah tulang sebelah lateral tungkai bawah, tulang ini adalah tulang pipa dengan sebuah batang dan dua ujung Fungsi Tulang a. Memberi kekuatan pada kerangka tubuh. b. Tempat melekatnya otot c. Melindungi organ penting. d. Tempat pembuatan sel darah. e. Tempat penyimpanan garam mineral.
2. Diagnosa keperawatan a. Nyeri akut b/d spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema, cedera jaringan lunak, pemasangan traksi, stress/ansietas. DO: Terasa nyeri hebat di ekstremitas dextra bagian bawah DS : Pasien teriak-teriak kesakitan b. Resiko Gangguan mobilitas fisik b/d kerusakan rangka neuromuskuler, nyeri, terapi restriktif (imobilisasi) DO : DS : c. Risiko infeksi b/d ketidakadekuatan pertahanan primer (kerusakan kulit, taruma jari ngan lunak, prosedur invasif/traksi tulang DO : DS : 3. Patofisiologi dan Pathway a. Patofisiologi Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekuatan dan gaya pegas untuk menahan. Ta pi apabila tekanan eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat diserap tulang, maka terj adilah trauma pada tulang yang mengakibatkan rusaknya atau terputusnya kontinuitas tulang. Setelah terjadi fraktur, periosteum dan pembuluh darah serta saraf dalam korteks, marr ow, dan jaringan lunak yang membungkus tulang rusak. Perdarahan terjadi karena kerusa kan tersebut dan terbentuklah hematoma di rongga medula tulang. Jaringan tulang segera ber dekatan ke bagian tulang yang patah. Jaringan yang mengalami nekrosis ini menstimulasi terj
adinya respon inflamasi yang ditandai dengan vasodilatasi, eksudasi plasma dan leukosit, dan infiltrasi sel darah putih. Kejadian inilah yang merupakan dasar dari proses penyembu han tulang nantinya a. Pathway
4. Intervensi keperawatan 1. Nyeri akut b/d spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema, cedera jaringan lunak, pemasangan traksi, stress/ansietas. Intervensi : 1. Pertahankan imobilasasi bagian yang sakit dengan tirah baring, gips, bebat dan atau traksi R/ Mengurangi nyeri dan mencegah malformasi. 2. Tinggikan posisi ekstremitas yang terkena. R/ Meningkatkan aliran balik vena, mengurangi edema/nyeri. 3. Lakukan dan awasi latihan gerak pasif/aktif. R/ Mempertahankan kekuatan otot dan meningkatkan sirkulasi vaskuler.
4. Lakukan tindakan untuk meningkatkan kenyamanan (masase, perubahan posisi) R/ Meningkatkan sirkulasi umum, menurunakan area tekanan lokal dan kelela han otot. 5. Ajarkan penggunaan teknik manajemen nyeri (latihan napas dalam, imajinasi vi sual, aktivitas dipersional) R/ Mengalihkan perhatian terhadap nyeri, meningkatkan kontrol terhadap nyer i yang mungkin berlangsung lama. 6. Lakukan kompres dingin selama fase akut (2448 jam pertama) sesuai keperluan. R/ Menurunkan edema dan mengurangi rasa nyeri. 7. Kolaborasi pemberian analgetik sesuai indikasi. R/ Menurunkan nyeri melalui mekanisme penghambatan rangsang nyeri baik s ecara sentral maupun perifer. 2. Resiko Gangguan mobilitas fisik b/d kerusakan rangka neuromuskuler, nyeri, terapi restriktif (imobilisasi) Intervensi : 1. Pertahankan pelaksanaan aktivitas rekreasi terapeutik (radio, koran, kunjungan teman/keluarga ) sesuai keadaan klien. R/ Memfokuskan perhatian, meningkatakan rasa kontrol diri/harga diri, membantu menurunk an isolasi sosial. 2. Bantu latihan rentang gerak pasif aktif pada ekstremitas yang sakit maupun yang sehat sesuai k eadaan klien. R/ Meningkatkan sirkulasi darah muskuloskeletal, mempertahankan tonus otot, mempertahak an gerak sendi, mencegah kontraktur/atrofi dan mencegah reabsorbsi kalsium karena imobilis asi. 3. Berikan papan penyangga kaki, gulungan trokanter/tangan sesuai indikasi. R/ Mempertahankan posis fungsional ekstremitas. 4. Bantu dan dorong perawatan diri (kebersihan/eliminasi) sesuai keadaan klien. R/ Meningkatkan kemandirian klien dalam perawatan diri sesuai kondisi keterbatasan klien. 5. Ubah posisi secara periodik sesuai keadaan klien. R/ Menurunkan insiden komplikasi kulit dan pernapasan (dekubitus, atelektasis, penumonia) 6. Kolaborasi pelaksanaan fisioterapi sesuai indikasi. R/ Kerjasama dengan fisioterapis perlu untuk menyusun program aktivitas fisik secara indivi dual.
3. Risiko infeksi b/d ketidakadekuatan pertahanan primer (kerusakan kulit, taruma jari ngan lunak, prosedur invasif/traksi tulang Intervensi : 1. Lakukan perawatan pen steril dan perawatan luka sesuai protocol. R/ Mencegah infeksi sekunderdan mempercepat penyembuhan luka. 2. Ajarkan klien untuk mempertahankan sterilitas insersi pen. R/ Meminimalkan kontaminasi 3. Observasi tanda-tanda vital dan tanda-tanda peradangan lokal pada luka. R/ Mengevaluasi perkembangan masalah klien. 4. Analisa hasil pemeriksaan laboratorium (Hitung darah lengkap, LED, Kultur dan sensitivitas l uka/serum/tulang) R/ Leukositosis biasanya terjadi pada proses infeksi, anemia dan peningkatan LED dapat terja di pada osteomielitis. Kultur untuk mengidentifikasi organisme penyebab infeksi. 5. Kolaborasi pemberian antibiotika dan toksoid tetanus sesuai indikasi. R/ Antibiotika spektrum luas atau spesifik dapat digunakan secara profilaksis, mencegah atau mengatasi infeksi. Toksoid tetanus untuk mencegah infeksi tetanus.
5. NCP 1. Nyeri akut b/d spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema, cedera jaringan lun ak, pemasangan traksi, stress/ansietas. Tujuan : Klien mengataka nyeri berkurang atau hilang dengan menunjukkan ti ndakan santai, mampu berpartisipasi dalam beraktivitas, tidur, istirahat dengan tepat, menunjukkan penggunaan keterampilan relaksasi dan aktivitas trapeutik sesuai indikasi untuk situasi individual. Intervensi: 1. Pertahankan imobilasasi bagian yang sakit dengan tirah baring, gips, bebat d an atau traksi R/ Mengurangi nyeri dan mencegah malformasi. 2. Tinggikan posisi ekstremitas yang terkena. R/ Meningkatkan aliran balik vena, mengurangi edema/nyeri. 3. Lakukan dan awasi latihan gerak pasif/aktif. R/ Mempertahankan kekuatan otot dan meningkatkan sirkulasi vaskule
4. Lakukan tindakan untuk meningkatkan kenyamanan (masase, perubahan po sisi) R/ Meningkatkan sirkulasi umum, menurunakan area tekanan lokal dan kel elahan otot. 5. Ajarkan penggunaan teknik manajemen nyeri (latihan napas dalam, imajina si visual, aktivitas dipersional) R/ Mengalihkan perhatian terhadap nyeri, meningkatkan kontrol terhadap nyeri yang mungkin berlangsung lama. 6. Lakukan kompres dingin selama fase akut (2448 jam pertama) sesuai keperluan. R/ Menurunkan edema dan mengurangi rasa nyeri. 7. Kolaborasi pemberian analgetik sesuai indikasi. R/ Menurunkan nyeri melalui mekanisme penghambatan rangsang nyeri ba ik secara sentral maupun perifer. 2. Resiko Gangguan mobilitas fisik b/d kerusakan rangka neuromuskuler, nyeri, te rapi restriktif (imobilisasi) Tujuan : Klien dapat meningkatkan/mempertahankan mobilitas pada tingkat p aling tinggi yang mungkin dapat mempertahankan posisi fungsional meningka tkan kekuatan/fungsi yang sakit dan mengkompensasi bagian tubuh menunjuk kan tekhnik yang memampukan melakukan aktivitas Intervensi: 1. Pertahankan pelaksanaan aktivitas rekreasi terapeutik (radio, koran, kunjungan teman/keluarga ) sesuai keadaan klien. R/ Memfokuskan perhatian, meningkatakan rasa kontrol diri/harga diri, membantu menurunk an isolasi sosial. 2. Bantu latihan rentang gerak pasif aktif pada ekstremitas yang sakit maupun yang sehat sesuai k eadaan klien. R/ Meningkatkan sirkulasi darah muskuloskeletal, mempertahankan tonus otot, mempertahak an gerak sendi, mencegah kontraktur/atrofi dan mencegah reabsorbsi kalsium karena imobilis asi. 3. Berikan papan penyangga kaki, gulungan trokanter/tangan sesuai indikasi. R/ Mempertahankan posis fungsional ekstremitas. 4. Bantu dan dorong perawatan diri (kebersihan/eliminasi) sesuai keadaan klien. R/ Meningkatkan kemandirian klien dalam perawatan diri sesuai kondisi keterbatasan klien.
5. Ubah posisi secara periodik sesuai keadaan klien. R/ Menurunkan insiden komplikasi kulit dan pernapasan (dekubitus, atelektasis, penumonia) 6. Kolaborasi pelaksanaan fisioterapi sesuai indikasi. R/ Kerjasama dengan fisioterapis perlu untuk menyusun program aktivitas fisik secara indivi dual. 3. Risiko infeksi b/d ketidakadekuatan pertahanan primer (kerusakan kulit, tarum a jaringan lunak, prosedur invasif/traksi tulang Tujuan : Klien mencapai penyembuhan luka sesuai waktu, bebas drainase puru len atau eritema dan demam Intervensi : 1. Lakukan perawatan pen steril dan perawatan luka sesuai protocol. R/ Mencegah infeksi sekunderdan mempercepat penyembuhan luka. 2. Ajarkan klien untuk mempertahankan sterilitas insersi pen. R/ Meminimalkan kontaminasi 3. Observasi tanda-tanda vital dan tanda-tanda peradangan lokal pada luka. R/ Mengevaluasi perkembangan masalah klien. 4. Analisa hasil pemeriksaan laboratorium (Hitung darah lengkap, LED, Kultur dan sensitivitas l uka/serum/tulang) R/ Leukositosis biasanya terjadi pada proses infeksi, anemia dan peningkatan LED dapat terja di pada osteomielitis. Kultur untuk mengidentifikasi organisme penyebab infeksi. 5. Kolaborasi pemberian antibiotika dan toksoid tetanus sesuai indikasi. R/ Antibiotika spektrum luas atau spesifik dapat digunakan secara profilaksis, mencegah atau mengatasi infeksi. Toksoid tetanus untuk mencegah infeksi tetanus. 6. Evaluasi a. Nyeri berkurang atau hilang b. Infeksi tidak terjadi 7. Penatalaksanaan a. Reposisi dengan maksud mengembalikan fragmen–fragmen ke posisi anatomi. b. Imobilisasi atau fiksasi dengan tujuan mempertahankan posisi fragmen– fragmen tulang tersebut setelah direposisi sampai terjadi union. c. Penyambungan fraktur (union) d. Mengembalikan fungsi (rehabilitasi)
8. Prinsip legal etis
Menurut kelompok kami, masalah legal etis yang muncul adalah Beneficience/berbuat baik berarti, hanya melakukan sesuatu yang baik. Kebaikan, memerlukan pencegahan dari kesalahan atau kejahatan, penghapusan kesalahan atau kejahatan dan pening katan kebaikan oleh diri dan orang lain. Tidak merugikan (Nonmaleficience) Prinsip ini berarti tidak menimbulkan bahaya/cedera fisi k dan psikologis pada klien. Perawat atas apa yang dilakukan harus mempertimbangkan resiko yang timbul akibat interve nsi nya, artinya Jangan sampai apa yang di anggap perawat baik untuk pasien malah memper berat kondisi pasien. 9. Nursing Advocacy Bagimanapun juga pasien adalah seorang yang mempunyai hak sepenuhnya terhadap pelayan an yang diberikan perawat, apalagi dalam kasus di atas perawat melakukan intervensi tanpa ij in terlebih dahulu kepada pasien, seharusnya perawat harus meminta ijin terlebih dahulu atas intervensi yang akan dilakukannya kepada pasien walau bagaimanapun keadaan pasien. Seyo gyanya perawat sekedar melaksanakan tugas pada pasien tentang intervensinya pada pasien y aitu pilihan dan akibatnya, artinya perawat tidak boleh memaksakan hal intervennsinya, tetap pasien yang menentukan boleh tidaknya intervensi yang akan dilakukan.
10. Jurnal JUDUL : PENGARUH PEMBERIAN INFORMASI PRA BEDAH TERHADAP TINGKAT KE CEMASAN PADA PASIEN PRA BEDAH MAYOR DI BANGSAL ORTHOPEDI RSU I KUSTATI SURAKARTA PENGARANG : Endang Sawitri* Agus Sudaryanto** MAKNA : Di dunia sekitar 140.000orang mengalami kecelakakan lalu lintas setiap hari, lebi h dari 3.000 orang meningal dan 15.000 cacat fisik karena kecelakaan lalu lintas.dan Diperkir akan tahun 2020 mengalami kenaikan lebih dari 60 % ( Anonim,2005 ). Di Indonesia angka k ecelakaan lalu lintas sekitar 40 orang per hari dan sekitar 30 orang mengalami kematian. Pali ng banyak yang mengalami kecelakaan kaum lakilaki dengan usia produktif sehingga mengakibatkan penurunan produktifitas di Indonesia ( A nonim, 2005).
Banyaknya alasan yang melatarbelakangi kecemasan pada pasien pra bedah femur baik alas a n yang berupa : cemas menghadapi pembiusan, takutmati saat operasi, cemas menghadapi bo dy image yang berupa cacat yang akan menganggu fungsi peran pasien, dan cemas masalah b iaya perawatan. Masalah ini yang sangat menarik bagi peneliti untuk melakukan penelitian. Dari hasil di atas dapat disimpulkan bahwa ada beda yang signifikan sebelum dan sesudah dil akukan komunikasi terapeutik (pemberian informasi pra bedah) terhadap tingkat kecemasan p ada pada pasien pra bedah mayor. Perbedaan hasil tersebut ditandai dengan adanya penuruna n tingkat kecemasan setelah dilakukan komunikasi terapeutik ( pemberian informasi ) pada pa sien pra bedah mayor fraktur femur di RSUI Kustati Surakarta. KESIMPULAN : Ada hubungan yang bermakna antara pemberian informasi pra bedah den gan penurunan tingkat kecemasan pada pasien pra bedah mayor. Responden laki laki ditemukan lebih cemas dibandingkan perempuan dalam menghadapi ope rasi fraktur femur Ada beda tingkat kecemasan sebelum dan sesudah dilakukan perlakuan pemberian informasi pra bedah yaitu ada penurunan tingkat kecemasan dari kecemasan sedang menjadi kecemasan ringan..
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang atau tulang rawan yang umum nya disebabkan oleh rudapaksa (R. Sjamsuhidayat dan Wim de Jong,1998). Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditemukan sesuai jenis dan luasnya (Brunner dan suddarth, 2001). Fraktur adalah patah tulang biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik (Sylvia Anderson Price. Lorraine Mc Carty Klilson, 1995). Sebagian fraktur disebabkan oleh kekuatan yang tibatiba berlebihan yang dapat berupa pemukulan, penghancuran, perubahan pemuntiran atau pen arikan. Bila tekanan kekuatan langsung tulang dapat patah pada tempat yang terkena dan jarin gan lunak juga pasti akan ikut rusak. Pemukulan biasanya menyebabkan fraktur lunak juga pa sti akan ikut rusak. Pemukulan biasanya menyebabkan fraktur melintang dan kerusakan pada kulit diatasnya. Penghancuran kemungkinan akan menyebabkan fraktur komunitif disertai ker usakan jaringan lunak yang luas.
B. Saran 1. Bagi pasien dan keluarga Pada penderita fraktur tibia sangat dibutuhkan istirahat total dan minimalkan pengeluaran ene rgy, jadi hal yang paling utama yang dapat dilakukan pasien dan keluarganya jika terjadi kom plikasi adalah berupaya untuk beristirahat total. 2. Bagi lahan peraktek Perawatan penderita fraktur tibia memerlukan waktu yang cukup panjang dan sangat beresiko terjadi komplikasi. Dengan demikian perawatan kepada penderita haruslah dilakukan dengan cermat dan tepat, untuk mencapai hal tersebut pihak rumah sakit hendaklah mempunyai pera wat yang telah berpengalaman dalam perawatan pasien fraktur tibia.
DAFTAR PUSTAKA Brunner & Sudarth, 1996, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8, Jakarta. Corwin S Elisabeth, 2000, Buku Saku Patofisiologi, Jakarta SOP IGD PuskesmasRawat Inap, 2006 Sylvia A Prince, 1994, Patofisiologi, Jakarta. Brunner and Suddarth, Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 8. Jakarta: EGC. 2002. Doengus E. Marilynn, Mary Frances, Moorhouse, Alice, C. Geislet. Rencana Asuhan Kepera watan. Edisi 3. Jakarta: EGC. 1999.