TUGAS RESUME PSIKOSOSIAL DAN BUDAYA DALAM KEPERAWATAN
OLEH :
Ulfatul Kusna
(1811030)
PRODI S1 KEPERAWATAN NON REGULAR SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN HANG TUAH SURABAYA 2018/2019
PENGARUH HUBUNGAN PSIKOSOSIAL DAN BUDAYA TERHADAP PROSES PENYEMBUHAN/ PERAWATAN PASIEN
A. Pengaruh Psikososial Dalam Perawatan Pasien 1. Pengertian Psikososial adalah setiap perubahan dalam kehidupan individu, baik yang bersifat psikologik maupun sosial yang mempunyai pengaruh timbal balik. masalah kejiwaan dan kemasyarakatan yang mempunyai pengaruh timbal balik, sebagai akibat terjadinya perubahan sosial dan atau gejolak sosial dalam masyarakat yang dapat menimbulkan gangguan jiwa (Depkes, 2011). Contoh masalah psikososial antara lain: psikotik gelandangan dan pemasungan, penderita gangguan jiwa, masalah anak: anak jalanan dan penganiayaan anak, masalah anak remaja: tawuran dan kenakalan, penyalahgunaan narkotika dan psikotropika, masalah seksual: penyimpangan seksual, pelecehan seksual dan eksploitasi seksual, tindak kekerasan sosial, stress pasca trauma, pengungsi/ migrasi, masalah usia lanjut yang terisolir, masalah kesehatan kerja: kesehatan jiwa di tempat kerja, penurunan produktifitas dan stres di tempat kerja, dan lain-lain: HIV/AIDS (Depkes, 2011).
2. Komponen Pengkajian Psikososial 1. Riwayat Klien Pengkajian latar belakang mencakup riwayat klien, usia dan tahap perkembangan, keyakinan budaya dan spiritual, serta keyakinan tentang sehat dan sakit. Riwayat klien juga riwayat keluarga klien. Misalnya apakah klien mengalami kesulitan yang sama di masa lalu? Apakah klien pernah masuk di rumah sakit, dan jika ya bagaimana pengalaman tersebut? Usia dan tahap perkembangan klien merupakan faktor yang penting dalam pengkajian psikososial. Misalnya pada usia 17 tahun klien mungkin berjuang mencari identitas diri dan berupaya mandiri dari orang tuanya. 2. Penampilan umum dan perilaku motorik
Perawat mengkaji penampilan klien secara keseluruhan, termasuk pakaian, higiene dan berhias. Apakah klien berpakaian sesuai dengan usianya? Apakah klien tampak tidak rapi? Apakah klien terlihat sesuai dengan usia yang dikatakannya? Pengkajian tentang penampilan umum dan perilaku motorik meliputi : a. Automatism : perilaku berulang dan tanpa yujuan yang sering menunjukkan ansietas, misalnya mengetukan jari,memutir ikatan rambut, atau mengentakkan kaki b. Retardasi psikomotor : gerakan yang secara keseluruhan lambat c. Flexibilitas cerea : mempertahankan postur atau posisi sepanjang waktu walaupun posisi atau postur tersebut canggung atau tidak nyaman. Perawat mengkaji cara bicara klien untuk mengetahui kualitas, kuantitas, dan setiap abnormalitas yang ada. 3. Mood dan Afek Mood (alam perasaan) mengacu pada status emosional klien yang meresap dan meneta. Afek ialah ekspresi status emosional klien yang terlihat. Istilah umum yang digunakan dalam mengkaji mood dan afek meliputi: a. Afek tumpul: memperlihatkan sedikit ekspresi; ekspresi wajah lambat dalam berespon. b. Afek datar : tidak ada ekspresi wajah c. Mood yang labil : perubahan mood yang cepat dan tidak dapat diperkirakan dari depresi dan menangis. 4. Isi dan Proses Pikir Proses mikir mengacu pada cara klien berpikir. Proses pikir disimpulkan dari cara bicara dan pola bicara klien. Isi pikir adalah ucapan klien yang sebenarnya. Perawat mengkaji apkah kata-kata klien masuk akal, apakah ide-ide yang disampaikan saling terkait dan mengalir secara logis dari satu ide ke ide berikutnya. 5. Sensorium dan Proses Intelektual Orientasi mengacu pada pengenalan klien terhadap orang, tempat, dan waktu. Mengetahui siapa dan dimana dirinya serta hari, tanggal, dan tahun yang benar. Tidak adanya informasi yang benar tentang orang, tempat, dan waktu disebut diorientasi atau terorientasi satu kali (hanya orang) atau terorientasi dua kali (orang dan tempat).
Memori baik saat ini maupun masa lalu dikaji secara langsung dengan mengajukan pertanyaan yang jawabannya dapat dipastikan perawat. Misalnya, siapa nama presiden saat ini? Siapa nama presiden sebelumnya? Di wilayah mana anda tinggal?Apa ibukota negara ini? 6. Penilaian dan Daya Tilik Penilaian mengacu pada kemampuan untuk menginterprestasikan lingkungan dan situasi diri dengan benar dan mengadaptasi perilaku dan keputusan diri secara tepat. Masalah penilaian dapat terlihat ketika klien menjelaskan perilaku dan aktivitasnya saat ini yang menggambarkan tidak ada perhatian yang cukup terhadap diri sendiri dan orang lain. Daya tilik merupakan kemampuan untuk memahmi sifatnsituasi diri yang sebenarnya dan menerima beberapa tanggung jawab pribadiuntuk situasi tersebut. Daya tilik seringkali dapat dilihat dari kemampuanklien menjelaskan kekuatan dan kelemahan perilakumereka secara realistis. Contoh daya tilik yang buruk adalah klien yang menyalahkan orang lain untuk perilakunya sendiri. 7. Konsep Diri Konsep diri adalah semua jenis pikiran, keyakinan dan kepercayaan yang membuat seseorang mengetahui tentang dirinya dan mempengaruhi hubungan dengan orang lain. Konsep diri ada melalui pembelajaran (dipelajari) setelah lahir sebagai hasil pengalaman unik dalam dirinya, bersama orang terdekat dengan dunia nyata (realitas). Konsep diri terdiri atas : a. Citra tubuh yaitu kumpulan sikap individu yang di sadari terhadap tubuhnya termasuk persepsi masa lalu/sekarang, perasaan tentang ukuran, fungsi, penampilan dan potensi dirinya. b. Ideal diri yaitu persepsi individu tentang bagaimana seharunya ia berlakukan berdasarkan standar, aspirasi, tujuan atau nilai personal tertentu. c. Harga diri yaitu penilaian tentang nilai personal yang di peroleh dengan menganalisa seberapa baik prilaku seseorang sesuai dengan ideal dirinya. Harga diri tinggi merupakan perasaan yang berakar dalam menerima dirinya tanpa syarat, meskipun telah melakukan kesalahan, kekalahan dan kegagalan, ia tetap merasa sebagai orang yang penting dan berharga.
d. Penampilan peran yaitu serangkaian perilaku yang di harapakan oleh lingkungan sosial berhubungan dengan fungsi individu di berbagai kelompok sosial. e. Identitas diri yaitu pegorganisasian prinsip dari kepribadian yang bertanggung jawab tehadap kesatuan, kesinambungan, konsistensi dan keunikan individu. 8. Peran dan Hubungan Kemampuan untuk memenuhi peran atau tidak adanya peran yang diinginkan sering kali menjadi pusat perhatian dalam fungsi psikososial klien. Perubahan peran juga dapat menjadi bagian kesulitan klien. Dalam setiap interaksi dengan klien, perawat harus menyadari luasnya dunia kehidupan klien, memahami pentingnya kekuatan social dan budaya bagi klien, mengenal keunikan aspek dan menghargai perbedaan klien. Berbagai faktor social budaya klien meliputi usia,suku bangsa, gender,pendidikan, penghasilan dan system keyakinan.
3. Masalah Kebutuhan Psikososial Hal-hal yang dapat menimbulkan gangguan keseimbangan (homeostasis) sehingga membawa kearah kerusakan /kemerosotan (deteriorisasi) yang progresif terutama aspek psikologis yang mendadak, misalnya bingung, panik, depresif, apatis dsb. Hal itu biasanya bersumber dari munculnya stressor psikososial yang paling berat, misalnya kematian pasangan hidup, kematian sanak keluarga dekat, terpaksa berurusan dengan penegak hukum, atau trauma psikis. Ada beberapa faktor yang sangat berpengaruh terhadap kesehatan jiwa lansia. Faktor-faktor tersebut hendaklah disikapi secara. Adapun beberapa yang sangat mempengaruhi kesehatan jiwa adalah sebagai berikut: a. Penurunan Kondisi Fisik b. Penurunan Fungsi dan Potensi Seksual c. Perubahan Aspek Psikososial d. Perubahan yang Berkaitan Dengan Pekerjaan e. Perubahan Dalam Peran Sosial di Masyarakat b. Penurunan Kondisi Fisik
4. Dampak Tidak Terpenuhinya Kebutuhan Psikososial
Gangguan identitas diri a. Perubahan perkembangan. b. Trauma c. Jenis kelamin yang tidak sesuai d. Budaya yang tidak sesuai Gangguan citra tubuh (body image) a. Hilangnya bagian tubuh b. Perubahan perkembangan c. Kecacatan Gangguan harga diri a.
Hubungan interpersonal yang tidak harmonis
b.
Kegagalan perkembangan
c.
Kegagalan mencapai tujuan hidup
d.
Kegagalan dalam mengikuti aturan normal
Gangguan peran a.
Kehilangan peran
b.
Peran ganda
c.
Konflik peran
d.
Ketidakmampuan menampilkan peran
5. Pengaruh Sosial Terhadap Kesehatan Dan Perilaku Kesehatan Sehat sering diartikan sebagai efisiensi social untuk dapat melakukan peran dan fungsi dalam masyarakat. Ketika seorang individu sehat secara otomatis indivdu tersebut akan mampu beremansipasi dalam melaksanakan hak dan kewajibannya di masyarakat. Sebaliknya, ketika individu terganggu status kesehatannya, emansipasi dalam melaksanakan hak dan kewajibannya di masyarakat juga akan terganggu. Kondisi ini dapat merugikan masyarakt sehingga dengan status kesehatannya tersebut individu diharapkan dapat mencapai kepuasaan dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Ada beberapa aspek social yang memengaruhi status kesehatan, di antaranya: a. Umur b. Jenis kelamin
c. Pekerjaan d. Social ekonomi
6. Sikap dan Pendekatan Perawat Pengkajian psikososial dapatdipengaruhi oleh sikap dan pendekatan perawat. Apabila klien merasa pertanyaan perawat singkat dan kasar, atau klien merasa didesak atau ditekan untuk menyelesaikan pengkajian, ia mungkin hanya memberi informasi yang superfisial atau tidak membahas beberapa area masalah secara keseluruhan. Klien mungkin juga tidak memberi informasi.
7. Cara Melakukan Wawancara Pengkajian psikososial harus dilakukan di lingkungan yang nyaman, tersendiri, dan aman baik bagi klien maupun perawat. Lingkungan yang cukup tenang dan tidak banyak distraksi memungkinkan klien membrei perhatiannya secara penuh dalam wawancara. Dengan melakukan wawancara ditempat seperti ruang konferensi, meyakinkan klien bahwa tidak seorang pun akan menguping apa yang di diskusikan. Akan tetapi, perawat tidak boleh memilih loksai yang terisolisasi untuk wawancara, terutama jika perawat tidak mengenal klien atau jika ada perilaku yang mengancam. Keamanan klien dan perawat harus dipastikan walaupun hal itu berart ada orang lain selama pengkajian.
B. Pengaruh Budaya Dalam Perawatan Pasien 1. Pengertian Budaya Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu “buddhayah”, yang merupakan bentuk jamak dari “buddhi” (budi atau akal), diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris, budaya disebut culture, yang berasal dari kata Latin “colere”, yaitu mengolah atau mengerjakan, bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga diterjemahkan sebagai “kultur” dalam bahasa Indonesia (Dewangga, 2012).
2. Konsep Budaya dalam Praktik Keperawatan Perawat perlu memahami budaya untuk mengembangkan sains dan pohon keilmuan yang humanis sehingga tercipta praktik keperawatan pada kultur yang spesifik dan universal. Kultur yang spesifik adalah kultur dengan nilai-nilai norma spesifik yang tidak dimiliki kelompok lain, seperti bahasa. Sedangkan kultur yang universal adalah nilai atau norma yang diyakini dan dilakukan hampir oleh semua kultur, seperti budaya olahraga membuat badan sehat dan bugar. Dalam melaksanakan praktik keperawatan yang bersifat humanis, perawat perlu memahami landasan teori dan praktik keperawatan yang berdasarkan budaya (Kozzier dan Erb, 2010). Di dalam konsep budaya yang berhubungan dengan praktik keperawatan, terdapat beberapa definisi istilah yang penting diketahui oleh perawat, yaitu: 1. Subkultur Kelompok budaya yang besar seringkali terdiri dari beberapa kelompok subkultur atau subsistem.Subkultur biasanya tersusun dari sekelompok orang atau komunitas dengan karakteristik tertentu yang masih bertalian dengan budaya kelompok besar (Danieds, et al., 2010).Meskipun subkultur tersebut memiliki kesamaan dengan budaya dominan, mereka tetap mempertahankan pola kehidupan khusus mereka, nilai-nilai, dan norma-norma (Perry dan Potter, 2010). 2. Ras Ras merupakan klasifikasi masyarakat berdasarkan kesamaan karakteristik biologis, penanda genetik, atau ciri-ciri yang menonjol. Masyarakat dari ras yang sama memiliki kesamaan karakteristik umum, seperti warna kulit, struktur tulang, ciri-ciri wajah, tekstur rambut, dan golongan darah. Suatu kelompok etnik yang berbeda dapat memiliki ras yang sama, dan perbedaan budaya dapat ditemukan dalam satu kelompok etnik. Oleh karena itu penting diketahui bahwa tidak semua orang yang memiliki ras sama juga memiliki budaya yang sama (Danieds, et al., 2010). 3. Etnik Etnik menunjuk kepada pembagian identitas yang berhubungan dengan warisan budaya dan sosial, seperti nilai-nilai, bahasa, area geografik, dan karakteristik ras.Anggota suatu kelompok etnik mempunyai identitas umum.Beberapa individu menyatakan identitas mereka sebagai Irish, Vietnam, atau Brazil.Etnik berbeda
dengan ras yang terbatas pada sifat-sifat biologis suatu kelompok (Leininger dan McFarland, 2002; Purnell dan Paulanka, 2003 dalam Perry dan Potter, 2010). 4. Enkulturasi Enkulturisasi merupakan proses mempelajari dan menyesuaikan alam pikiran dan sikap individu dengan sistem norma, adat, dan peraturan-peraturan yang hidup dalam kebudayaannya. Proses ini berlangsung sejak kecil, mulai dari lingkungan kecil (keluarga) ke lingkungan yang lebih besar (masyarakat). Misalnya anak kecil menyesuaikan diri dengan waktu makan dan waktu minum secara teratur, mengenal ibu, ayah, dan anggota-anggota keluarganya, adat, dan kebiasaan-kebiasaan yang berlaku dalam keluarganya, dan seterusnya sampai ke hal-hal di luar lingkup keluarga seperti norma, adat istiadat, serta hasil-hasil budaya masyarakat (Bachtiar, 2011). 5. Akulturasi Proses adaptasi dan adopsi budaya baru disebut sebagai akulturasi (Baron, et al., 2004; Cowan dan Norman, 2006 dalam Perry dan Potter, 2010). Proses involuntar dari akulturasi terjadi saat individu menyesuaikan diri dan atau mengambil ciri dari budaya lainnya. Anggota kelompok budaya nondominan seringkali dipaksa untuk mempelajari budaya baru agar dapat bertahan hidup (Danieds, et al., 2010). 6. Asimilasi Asimilasi adalah proses saat individu secara bertahap mengambil dan menggabungkan karakteristik budaya dominan (Purnell dan Paulanka, 2003 dalam Potter dan Perry, 2010). Asimilasi juga dapat diartikan sebagai suatu proses dimana individu mengembangkan suatu budaya baru untuk menjadi anggota dari kelompok budaya dominan. Proses tersebut mencakup berbagai aspek, yakni perilaku, perkawinan, identifikasi, dan komunitas. 7. Bikulturalisme Bikulturalisme kadang disebut juga multikulturalisme terjadi saat individu dikenal mempunyai dua budaya atau lebih (Purnell dan Paulanka, 1998 dalam Perry dan Potter, 2010). Bikulturalisme digunakan untuk menggambarkan seseorang yang memiliki dua pola identifikasi dan melintasi dua budaya, gaya hidup, serta sekelompok nilai (Spector, 2004 dalam Danieds, et al., 2010). 8. Penolakan Budaya
Penolakan budaya terjadi saat individu menolak budaya baru karena pengalaman negatif dengan budaya baru atau budaya berbeda (Leininger dan Mc Farland, 2002 dalam Perry dan Potter, 2010).Oleh karena berbagai pertalian dengan budaya baru, perawat perlu menghindari peniruan atau penyamarataan yang tidak berdasar terhadap beberapa kelompok tertentu yang mencegah penilaian lebih lanjut tentang karakteristik individual yang unik (Perry dan Potter, 2010).Perawat hendaknya memelihara pengetahuan sebelumnya tentang budaya hingga penilaian yang akurat dinyatakan (Leininger, 2002a dalam Perry dan Potter, 2010). 9. Stereotipe Stereotipe adalah menganggap bahwa seluruh anggota dari suatu budaya atau kelompok etnik adalah sama. Stereotipe mungkin didasarkan pada generalisasi yang ditemukan
pada
penelitian
atau
mungkin
tidak
dihubungkan
dengan
kenyataan.Misalnya, hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar orang Italia suka mengekspresikan nyeri secara verbal tetapi seorang klien Italia tertentu mungkin tidak melakukannya. 10. Etnosentrisme Budaya menyediakan konteks dari nilai-nilai, evaluasi, dan kategori pengalaman hidup.Kelompok budaya mewariskan nilai-nilai mereka, moral, dan norma-norma ke generasi berikutnya. Hal ini berpotensi menimbulkan etnosentrisme, yaitu pemikiran bahwa cara hidup yang dianutnya lebih baik dibandingkan dengan budaya lain. Etnosentrisme dapat menyebabkan bias dan prasangka negatif terhadap budaya lain. Prasangka akan menimbulkan tindakan diskriminatif. (Perry dan Potter, 2010) 11. Syok Budaya (Culture Shock) Syok budaya adalah gangguan yang terjadi sebagai respon terhadap transisi dari satu situasi budaya ke situasi budaya lainnya.Kejadian ini bisa terjadi saat seseorang berpindah dari suatu lokasi geografis tertentu ke tempat lainnya atau ketika seseorang masuk ke suatu negara baru.Hal ini juga bisa terjadi pada seseorang yang masuk ke suatu rumah sakit dan harus beradaptasi dengan lingkungan yang asing.Ekspresi dari syok budaya beragam dari rentang bingung dan cemas, diam dan tidak bergerak, sampai gelisah, dan marah (Danieds, et al., 2010).
3. Aspek Budaya yang Mempengaruhi Kesehatan Menurut G.M. Foster (1973) dalam Citerawati (2012), aspek budaya yang dapat mempengaruhi kesehatan antara lain: 1. Pengaruh tradisi Ada beberapa tradisi di dalam masyarakat yang dapat berpengaruh negatif terhadap kesehatan masyarakat, seperti tradisi tarak setelah melahirkan. 2. Sikap fatalistis Fatalistis adalah sikap seseorang yang dianggap sangat putus asa dalam segala hal. 3. Sikap ethnosentris Sikap yang memandang kebudayaan sendiri yang paling baik jika dibandingkan dengan kebudayaan pihak lain. 4. Pengaruh perasaan bangga pada statusnya Contoh: Dalam upaya perbaikan gizi, di suatu daerah pedesaan tertentu, menolak untuk makan daun singkong, walaupun mereka tahu kandungan vitaminnya tinggi. Setelah diselidiki ternyata masyarakat beranggapan daun singkong hanya pantas untuk makanan kambing, dan mereka menolaknya karena status mereka tidak dapat disamakan dengan kambing. 5. Pengaruh norma Contoh: Upaya untuk menurunkan angka kematian ibu dan bayi banyak mengalami hambatan karena ada norma yang melarang hubungan antara dokter yang memberikan pelayanan dengan ibu hamil sebagai pengguna pelayanan. 6. Pengaruh nilai Nilai yang berlaku di dalam masyarakat berpengaruh terhadap perilaku kesehatan. Contoh: Masyarakat memandang lebih bergengsi beras putih daipada beras merah, padahal mereka mengetahui bahwa vitamin B1 lebih tinggi di beras merah daripada di beras putih. 7. Pengaruh unsur budaya yang dipelajari pada tingkat awal dari proses sosialisasi terhadap perilaku kesehatan Kebiasaan yang ditanamkan sejak kecil akan berpengaruh terhadap kebiasaan pada seseorang ketika ia dewasa. Misalnya saja, manusia yang biasa makan nasi sejak kecil, akan sulit diubah kebiasaan makannya setelah dewasa.
8. Pengaruh konsekuensi dari inovasi terhadap perilaku kesehatan Apabila seorang petugas kesehatan ingin melakukan perubahan perilaku kesehatan masyarakat, maka yang harus dipikirkan adalah konsekuensi apa yang akan terjadi jika melakukan perubahan, menganalisis faktor-faktor yang terlibat/berpengaruh pada perubahan, dan berusaha untuk memprediksi tentang apa yang akan terjadi dengan perubahan tersebut. 4. Keperawatan Transkultural Leininger (1991; Leininger dan McFarland, 2006) dalam Giger (2013) mendefinisikan keperawatan transkultural sebagai berikut: “a humanistic and scientific area of formal study and practice which is focused upon differences and similarities among cultures with respect to human care, health (or well-being), and illness based upon the people’s cultural values, beliefs, and practices.” Tujuan utama keperawatan transkultural adalah menggunakan ilmu pengetahuan yang relevan untuk memberikan asuhan keperawatan yang sama secara budaya dan spesifik kepada masing-masing individu (Leininger, 1991 dalam Giger, 2013).
5. Pengkajian Budaya Pengkajian budaya merupakan pengkajian yang sistematik dan komprehensif dari nilai-nilai pelayanan budaya, kepercayaan, dan praktik individu, keluarga, dan komunitas.Tujuan pengkajian budaya adalah untuk mendapatkan informasi yang signifikan dari klien sehingga perawat dapat menerapkan kesamaan pelayanan budaya (Leininger dan McFarland, 2002 dalam Perry dan Potter, 2010).Ada beberapa model pengkajian budaya, dimana tiap model memiliki tingkat keahlian dan pengetahuan yang berbeda-beda.Salah satunya adalah Model Matahari Terbit (Sunrise Model).
Leininger’s sunrise model to depict the theory of cultural care diversity and university
Leininger sunrise model merupakan pengembangan dari asuhan
model konseptual
keperawatan transkultural.Bagian atas dari sunrise model menjelaskan
perkembangan pengetahuan tentang budaya, manusia dan sistem asuhan. Jika ini digunakan secara tepat dapat mencegah syock budaya. Level ini sama dengan fase pengkajian dan diagnosa dari proses keperawatan. Pengetahuan tentang budaya dilakukan sebelum mengidentifikasi hal-hal yang spesifik dari klien yang difokuskan pada proses keperawatan. Pertama kali mengumpulkan informasi dan pemahaman pasien mengenai struktur sosial dan pandangan dunia. Informasi lain yang dibutuhkan yaitu bahasa dan lingkungan klien teknologi, agama, filosopi, kekeluargaan,struktur sosial, nilai-nilai budaya dan keyakinan, holistik, sistem hukum, ekonomi dan pendidikan (Leininger, 1991). 1. Faktor teknologi Teknologi kesehatan adalah sarana
yang memungkinkan individu untuk
memilih atau mendapat penawaran untuk menyelesaikan masalah dalam pelayanan kesehatan.
2. Faktor keagamaan dan falsafah hidup Agama adalah sauatu system symbol yang mengakibatkan pandangan dan motivasi yang realistis bagi para pemeluknya. Faktor agama yang perlu dikaji perawat seperti: agama yang dianut, kebiasaan agama yang berdampak positif terhadap kesehatan, berihtiar untuk sembuh tanpa mengenal putus asa, mempunyai konsep diri yang utuh. 3. Faktor social dan keterikatan keluarga Faktor social dan kekeluargaan yang perlu dikaji oleh perawat: nama lengkap dan nama panggilan dalam keluarga, umur atau tempat dan tanggal lahir, jenis kelamin, status, tipe keluarga, penggambilan keputusan dalam angota keluarga, hubungan klien dengan kepala keluarga, kebiasaan rutin yang dilakukan keluarga. 4. Faktor nilai budaya dan gaya hidup Nilai adalah konsepsi-konsepsi abstrak didalam diri manusia mengenai apa yang diangap baik dan buruk. 5. Faktor peraturan dan kebijakan Peraturan dan kebijakan yang berlaku adalah segala sesuatu yang mempengaruhi kegiatan individu dalam asuhan keperawatan transkultural. 6. Faktor ekonomi Klien yang dirawat dapat memanfaatkan sumber-sumber material yang dimiliki untuk membiayai sakitnya agar segera sembuh. 7. Faktor pendidikan Latar belakang pendidikan individu adalah pengalaman individu dalam menempuh jalur pendidikan formal tertinggi saat ini. Semakin tinggi pendidikan invividu , maka keyakinannya harus didukung oleh bukti-bukti ilmiah yang rasional. Ada tiga tindakan dalam perawatan budaya yaitu: a. Cultural Care Preservation/ maintenance Tindakan keperawatan berfokus pada memberikan dorongan, membantu, mempasilitasi untuk memulihkan pasien dari sakit atau kecacatan atau kematian. b. Cultural Care Accommodation/Negotiation Perawat berupaya untuk mempasilitasi membantu atau mendukung tindakantindakan dengan cara bernegosiasi dengan pasien untuk beradaftasi dengan pola-
pola asuhan yang bermanfaat atau yang sesuai dengan sasaran atau tujuan kesehatan. c. Cultural Care Repatterning/ Restructuring. Tindakan profesional yang bertujuan membantu klien merubah arti kesehatan atau pola hidup yang lebih sehat dengan tetap menghargai nilai-nilai budaya klien. Sunrise model tidak sampai pada tahap evaluasi. (Leininger, 1991). 6. Pengaruh Budaya Pada Kesehatan Dan Perilaku Kesehatan Budaya mengartikan apa yang baik dan buruk, serta apa yang sehat dan tidak sehat. Secara langsung budaya mempengaruhi kebiasaan sehari-hari. Menurut Foster (1987), aspek budaya yang dapat memengaruhi kesehatan seseorang antara lain adalah tradisi, sikap fatalism, nilai, ethnocentrism, dan unsure budaya dipelajari pada tingkat awal dalam proses sosialisasi. Terdapat beberapa tradisi di dalam masyarakat yang dapat berpengaruh negative terhadap kesehatan masyarakat.
PERANAN PSIKOSOSIAL DAN BUDAYA TERHADAP PENINGKATAN PELAYANAN KESEHATAN
A. Keyakinan Tradisional Tentang Kesehatan dan Penyakit Masing-masing kebudayaan memiliki berbagai pengobatan untuk penyembuhan anggota masyarakatnya yang sakit. Berbeda dengan ilmu kedokteran yang menganggap bahwa penyebab penyakit adalah kuman, kemudian diberi obat antibiotika dan obat tersebut dapat mematikan kuman penyebab penyakit. Pada masyarakat tradisional, tidak semua penyakit itu disebabkan oleh penyebab biologis. Kadangkala mereka menghubunghubungkan dengan sesuatu yang gaib, sihir, roh jahat atau iblis yang mengganggu manusia dan menyebabkan sakit. Banyak suku di Indonesia menganggap bahwa penyakit itu timbul akibat guna-guna. Orang yang terkena guna-guna akan mendatangi dukun untuk meminta pertolongan. Masing-masing suku di Indonesia memiliki dukun atau tetua adat sebagai penyembuh orang yang terkena guna-guna tersebut. Cara yang digunakan juga berbeda-beda masing-masing suku. Begitu pula suku-suku di dunia, mereka menggunakan pengobatan tradisional masingmasing untuk menyembuhkan anggota sukunya yang sakit. Adapun peningkatan peran pengobatan tradisional dalam system pelayanan kesehatan, yaitu : 1.
Pengobatan tradisional perlu dikembangkan dalam rangka peningkatan peran serta masyarakat dalam pelayanan kesehatan primer.
2.
Pengobatan tradisional perlu dipelihara dan dikembangkan sebagai warisan budaya bangsa, namun perlu membatasi praktek-praktek yang membahayakan kesehatan.
3.
Dalam rangka peningkatan peran pengobatan tradisional, perlu dilakukan penelitian, pengujian dan pengembangan obat-obatan dan cara-cara pengobatan tradisional.
4.
Pengobatan tradisional sebagai upaya kesehatan nonformal tidak memerlukan izin, namun perlu pendataan untuk kemungkinan pembinaan dan pengawasannya. Masalah pendaftaran masih memerlukan penelitian lebih lanjut.
B. Aspek Budaya Tentang Kesehatan dan Penyakit Pembangunan kesehatan sebagai salah satu upaya pembangunan nasional diarahkan guna tercapainya kesadaran, kemauan, dan kemampuan untuk hidup sehat bagi setiap penduduk agar dapat mewujudkan derajat kesehatan yang optimal.Dan kesehatan yang demikian yang menjadi dambaan setiap orang sepanjang hidupnya.Tetapi datangnya penyakit merupakan hal yang tidak bisa ditolak meskipun kadang-kadang bisa dicegah atau dihindari. Dalam konsep sehat sakit penyebab sakit : Naturalistik yaitu seseorang menderita sakit akibat pengaruh lngkungan, makanan (salah makan), Kebiasaan hidup, ketidak seimbangan dalm tubuh, termasuk kepercayaan psanas dingin seperti masuk angin dan penyakit bawaan. Konsep sehat sakit yang dianut pengobatan tradisional (Battra) sama dengan yang dianut masyarakat setempat, yakni suatu keadaan yang berhubungan dengan badan, atau kondisi tubuh kelain-lainan serta gejala yang dirasakan. Sehat bagi seseorang berarti suatu keadaan yang normal, wajar nyaman, dan dapat melakukan aktifitas sehari-hari dengan gairah.Sedagkan sakit dianggap sebagai suatu keadaan badan yang kurang menyenangkan, bahkan dirasakan sebagai suatu siksaan sehingga menyebabkan seseorang tidak dapat melakukan aktifitas segari-hari halnya orang yang sehat. Personalistik yaitu menganggap munculnya penyakit (illness) disebabkan oleh intervensi syaty agen aktif yang dapat berupa makhluk bukan manusia (hantu, roh, leluhur, atu roh jahat) atau makhluk manusia (tukang sihir, tukang tenung).
C. Peranan psikososial dan budaya terhadap peningkatan pelayanan kesehatan 1. Peran Psikologi Dalam Pelayanan Kesehatan Psikologi Kesehatan (keperawatan) dikembangkan untuk memahami pengaruh psikologis terhadap bagaimana seseorang menjaga dirinya agar tetap sehat, dan mengapa mereka menjadi sakit dan untuk menjelaskan apa yang mereka lakukan saat mereka jatuh sakit. Selain mempelajari hal-hal tersebut di atas, psikologi kesehatan mempromosikan intervensi untuk membantu orang agar tetap sehat dan juga mengatasi kesakitan yang dideritanya. Psikologi kesehatan tidak mendefinisikan “sehat” sebagai tidak sakit. Sehat dilihat sebagai pencapaian yang melibatkan keseimbangan antara kesejahteraan fisik, mental
dan sosial. Psikologi kesehatan mempelajari seluruh aspek kesehatan dan sakit sepanjang rentang hidup. Psikologi kesehatan bertujuan untuk memahami dinamika psikologis individu yang tetap menjaga kesehatannya, dinamika psikologis individu yang sehat namun kemudian mendapat diagnosa penyakit kronis serta dinamika psikologis individu saat merespon keadaan sakit kronis yang sedang dialami. Ada beberapa respon emosional yang muncul pada pasien atas penyakit kronis yang dideritanya, yaitu : 1.
Penolakan (Denial) Merupakan reaksi yang umum terjadi pada penderita penyakit kronis seperti jantung,
stroke dan kanker. Atas penyakit yang dideritanya ini, pasien akan memperlihatkan sikap seolah-olah penyakit yang diderita tidak terlalu berat (menolak untuk mengakui bahwa penyakit yang diderita sebenarnya berat) dan menyakini bahwa penyakit kronis ini akan segera sembuh dan hanya akan memberi efek jangka pendek (menolak untuk mengakui bahwa penyakit kronis ini belum tentu dapat disembuhkan secara total dan menolak untuk mengakui bahwa ada efek jangka panjang atas penyakit ini, misalnya perubahan body image). 2.
Cemas Setelah muncul diagnosa penyakit kronis, reaksi kecemasan merupakan sesuatu yang
umum terjadi. Beberapa pasien merasa terkejut atas reaksi dan perubahan yang terjadi pada dirinya bahkan membayangkan kematian yang akan terjadi padanya. Bagi individu yang telah menjalani operasi jantung, rasa nyeri yang muncul di daerah dada, akan memberikan reaksi emosional tersendiri. Perubahan fisik yang terjadi dengan cepat akan memicu reaksi cemas pada individu dengan penyakit kanker. 3.
Depresi Depresi juga merupakan reaksi yang umum terjadi pada penderita penyakit kronis.
Kurang lebih sepertiga dari individu penderita stroke, kanker dan penyakit jantung
mengalami depresi. Untuk dapat memahami respon yang terjadi atas perubahan yang ada pada penderita penyakit kronis, perlu pemahaman yang mendalam tentang diri individu (self) itu sendiri. Self merupakan salah satu konsep utama dalam ilmu psikologi. 2. Kesehatan Ibu dan Anak Berdasarkan survei rumah tangga (SKRT) pada tahun 1986, angka kematian ibu maternal berkisar 450 per 100.000 kelahiran hidup atau lebih dari 20.000 kematian pertahunnya (Maryunani, 2011). Rendahnya tingkat pendidikan dan buta huruf pada wanita menyebabkan ibu-ibu tidak mengetahui tentang perawatan semasa hamil, kelahiran, perawatan bayi dan semasa nifas, tidak mengetahui kapan ia harus datang ke pelayanan kesehatan, kontrol ulang, dan sebagainya (Notoatmodjo, 2007). Kebiasaan-kebiasaan adat istiadat dan perilaku masyarakat sering kali merupakan penghalang atau penghambat terciptanya pola hidup sehat di masyarakat. Perilaku, kebiasaan, dan adat istiadat yang merugikan seperti misalnya: a) Ibu hamil dilarang tidur siang karena takut bayinya besar dan akan sulit melahirkan b) Ibu menyusui dilarang makan makanan yang asin, misalnya: ikan, telur, c) Ibu habis melahirkan dilarang tidur siang, d) Bayi berusia 1 minggu sudah boleh diberikan nasi atau pisang agar mekoniumnya cepat keluar, e) Ibu post partum harus tidur dengan posisi duduk atau setengah duduk karena takut darah kotor naik ke mata Dikatakan merugikan karena beberapa hal tersebut di atas justru dibutuhkan dalam rangka peningkatan kondisi kesehatan. Tingkat kepercayaan masyarakat kepada terhadap petugas kesehatan, dibeberapa wilayah masih rendah. Mereka masih percaya kepada dukun karena kharismatik dukun tersebut yang sedemikian tinggi, sehingga ia lebih senang berobat dan meminta tolong kepada ibu dukun. Petugas kesehatan pemerintah dianggap sebagai orang baru yang tidak mengenal masyarakat di wilayahnya dan tidak mempunyia kharismatik (Prasetyawati, 2012).
3. Keluarga Berencana Pada umumnya, masalah-masalah yang berkaitan dengan fertilitas dan laju pertumbuhan penduduk disebabkan oleh pola pikir masyarakat yang bersifat kaku.Mereka masih mempunyai pendapatan bahwa anak adalah sumber rezeki, atau banyak anak banyak rezeki.Anak adalah tumpuan di hari tuanya. Mereka tidak menyadari bahwa keterbatasan orang tua merupakan ancaman masa depan bagi si anak (Prasetyawati, 2012). Selain itu, faktor agama juga sangat menentukan keberhasilan pengendalian penduduk. Pada beberapa daerah yang masyarakatnya menggunakan agama sebagai pandangan hidup, misalnya islam, nasrani, mereka akan menentang program pengendalian penduduk berupa penggunaan alat kontrasepsi. Mereka menganggap bahwa dengan menggunakan alat kontrasepsi, berarti membunuh anak yang telah dianugerahkan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Keadaankeadaan ini merupakan tantangan bagi pelaksana program Keluarga Berencana (Simatupang, 2008).
4. Gizi Kesukaan makan seseorang sangat dipengaruhi oleh kebiasaan makannya sejak kanakkanak.Keluarga dalam hal ini sangat menentukan kesukaan anak terhadap makanan tertentu. Makanan sebagai salah satu aspek kebudayaan sering ditentukan oleh keadaan lingkungan, misalnya wilayah yang sebagian besar memiliki pohon kelapa, maka jenis makanan yang dimakan banyak yang menggunakan santan atau kelapa, sedangkan wilayah yang sebagian besar terdiri dari perkebunan, jenis dan komposisi makanan banyak yang terbuat dari sayur-sayuran atau dikenal dengan lalapan. (Prasetyawati, 2012). Masalah kekurangan gizi bukan saja disebabkan oleh faktor sosial-ekonomi masyarakat, namun berkaitan pula dengan faktor sosial-budaya masyarakat setempat.Seperti misalnya persepsi masyarakat terhadap pemenuhan kebutuhan masih belum sesuai. Menurut mereka, yang disebut dengan makan adalah makan sampai kenyang, tanpa memperhatikan jenis, komposisi, dan mutu makanan, pendistribusian makanan dalam keluarga tidak berdasarkan debutuhan untuk pertumbuhan dan perkembangan anggota keluarga, namun berdasarkan pantangan-pantangan yang harus diikuti oleh kelompok khusus, misalnya ibu hamil, bayi, balita, dan sebagianya (Maryunani, 2011).