Ulama Dan Perkembangan Intelektual Keagamaan: Dr. Afifi

  • Uploaded by: Abe Omar Abdullah
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Ulama Dan Perkembangan Intelektual Keagamaan: Dr. Afifi as PDF for free.

More details

  • Words: 3,179
  • Pages: 11
Afifi Fauzi Abbas, Ulama dan Perkembangan Intelektuan Keagamaan

ULAMA DAN PERKEMBANGAN INTELEKTUAL KEAGAMAAN Oleh : Afifi Fauzi Abbas

A. Pendahuluan. Pengertian Ulama secara bahasa (lughawi) adalah bahwa kata Ulama jama' dari Alim yang artinya terpelajar atau sarjana.1 Dalam Encyklopedi of Islam dikatakan Ulama (Ulama) adalah bentuk jama' dari kata a'lim yang berarti seorang yang mempunyai kualitas ilmu, pengetahuan , kearifan, sains dalam pengertian yang lebih luas dan dalam pengertian maha atau sangat mengetahui (mubalaghah). Namun dalam pemakaian, kata Ulama yang populer adalah bentuk jamak dari kata a'lim ( ‫ ) ء‬yang mengetahui, mempunyai pengetahuan, orang alim dan seterusnya.2 Dan pengertian Ulama menurut istilah ialah, orangorang yang mendalami ilmu-ilmu keislaman, Teologi, hukum (fiqih), kalam dalam sufisme (tasawuf) dengan menggunakan metode tradisional, syarat yang paling pokok adalah menguasai kitab kuning dan membacanya, mengartikannya, serta memahaminya tidak salah. dan yang paling Afdhol jika jalur pendidikannya, melalui pondok pesantren. Adapun yang mempelajari ilmu-ilmu keislaman melalui jalur yang lain diberi sebutan intelektual.3 Sedangkan dalam Ensiklopedi Islam Ulama adalah orang yang tahu atau yang memiliki pengetahuan ilmu agama dan ilmu pengetahuan kealaman yang dengan pengetahuannya tersebut memiliki rasa takut dan tunduk kepada Allah SWT. Kata Ulama merupakan bentuk jamak dari 'Alim atau 'Alim, yang keduanya berarti "yang tahu" atau "yang mempunyai pengetahuan".4 Sementara itu, kata jamak Ulama hanya disebutkan dua kali dalam Al-Quran (S. Asy-Syura 197 dan S.Fathir 28). Pada yang pertama adalah mengenai Ulama Bani 1

Ahmad Warson Munawir, Kamus Arab Indonesia Al Munawwir,Surabaya, Pustaka Progressif, Cet ke 2 , th 1997, hal 1037. 2 HAR Gibb & Kramers, Shorter Encyclopedia of Islam, Leiden, EJ Brill, 1974, h.559-560 3 Nuruzzaman Sidiq, Jeram Jeram Peradaban Muslim, h 160. 4 Ensiklopedi Islam, PT Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta,th1993, hal120.

59

Afifi Fauzi Abbas, Ulama dan Perkembangan Intelektuan Keagamaan

Israil, yang dapat dipahami sebagai orang-orang yang ahli mengenai agama. M.Yusuf Ali menerjemahkan 'Ulama'u bani Israil) dengan "The learned of the children of israel" (orang-orang pandai Bani Israel).5 Orang-orang pandai Bani Israil yang paham akan syari'at Allah seperti yang diturunkan kepada Nabi Musa ini sebetulnya mengetahui kebenaran Al-Quran tetapi tidak banyak yang mengakuinya secara terang-terangan. Ulama Bani Israel yang menerima kebenaran Al-Quran serta menyatakan diri menjadi Muslim antara lain adalah Abdullah bin salam. Kaab Al-Akbar dan lain-lain. Kata Ulama dalam Al-Quran berbicara secara umum, yang berarti para ahli, ilmuan atau sarjana dalam berbagai keahlian. Surat Al-Fathir ayat 28.

‫واب وا! م   ا ا آا  ا ى  د ا ء‬$ ‫و ا &س وا‬ ‫ان ا ** )(ر‬ Artinya: Sebagian di antara manusia, binatang-binatang dan ternak-ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Di antara hambahamba-Nya yang takut kepada Allah, hanya pa Ulama. Sungguh Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun. Pengertian ini dipahami dari konteks ayat, S.Faathir dari ayat 9 s/d ayat 28, dimana Allah mengungkapkan berbagai gejala alam yang merupakan lapangan penelitian ilmu pengetahuan. Tuhan meminta manusia untuk memperhatikan bagaimana angin mengalihkan awan mendung dan menurunkan air hujan ke tanah sehingga merubahnya menjadi daerah pertanian (ayat 9). Manusia diminta untuk memperhatikan asal usul kejadian pertamanya dari tanah, kemudian dari sperma sehingga melahirkan pasangan laki-laki dan perempuan (ayat 11), bagaimana genangan air tawar seperti sungai dan danau dan genangan air asin, yang menghasilkan ikan sebagai santapan manusia, dan kulit binatang yang dapat dipakai sebagai pakaian (ayat 12), bagai mana orang buta tidak dapat disamakan dengan orang yang mempunyai matanya melihat, seperti halnya kegelapan tidak dapat disamakan dengan cuaca terang, atau orang yang masih hidup tidak dapat berkomunikasi dengan orang yang telah meninggal dunia (ayat 18-22).

5

Muhammad Assad, The Message of The Qoran, Gibraltar, Dar al-Andalus, 1980, h.573

60

Afifi Fauzi Abbas, Ulama dan Perkembangan Intelektuan Keagamaan

Tuhan juga meminta untuk mengamati tumbuh-tumbuhan berbagai bentuk dan jenis; tanah di lereng bukit dan gunung dengan unsur-unsur batubatuan serta stratanya yang beragam, dan bagaimana manusia dan bangsa hewan dan jenis dan bentuk yang tidak serupa ( ayat 18-22). Tuhan juga meminta untuk mengamati tumbuh-tumbuhan berbagai bentuk dan jenis; tanah dilorong bukit dan gunung dengan unsur-unsur batu-batuan serta stratanya yang beragam, dan bagaimana manusia dan bangsa hewan dan jenis dan bentuk yang tidak serupa (ayat 26-28)). Setelah menunjuk semua itu, maka Allah pada ayat 28 dalam surat yang sama menfirmankan bahwa "yang takut kepada Allah itu tidak lain adalah dari kalangan hambanya yang Ulama", yang mengenal seluk beluk kehidupan bahwa semuanya berasal dari Allah dan diperintahkan bagi manusia dalam rangka bertaqwa kepada-Nya. Sampai disini dapat dipahami bahwa Ulama sebetulnya tidak terbatas pada orang yang mengetahui tentang seluk beluk ajaran Islam yang murni keagamaan saja, tetapi mencakup semua orang yang mempunyai pengetahuan mendalam pada bidang tertentu atau berbagai bidang. Bila dapat memanfaatkan potensi yang tersedia, maka Ulama seperti itu secara instink menakuti Allah swt. Itulah yang dipahami dari kata Ulama secara bahasa dan praktek yang banyak berlaku dalam sejarah Islam. Teks yang berbunyi"Yang takut kepada Allah itu tidak lain adalah dari kalangan hamba-Nya yang Ulama"oleh Al-Quran ini diterangkan sebagai berikut. "Maksudnya yang takut kepada Allah 'azza wajalla dan yang menghormati-Nya dengan penghormatan yang layak adalah orang yang mengenal-Nya serta mengenal kebenaran kekuasaan-Nya terhadap makhluk-Nya, sebagai hasil pengamatan atas rahasia alam dan Syari'at-Nya, mereka adalah Ulama. Ketakutan inilah yang akan memancarkan amal kebajikan dan menjauhkan kejahatan.6

B. Sejarah Perkembangan Ulama. Nabi Muhammad saw dilahirkan ditengah-tengah masyarakat jahiliyyah dengan segala bentuk kebodohannya, lalu beliau mendapat amanat dari Allah 6

Yusuf Qardawi, "al-Rasul wa al-Ilm", dalam Buhuts wa al-Dirasat al-Muqaddamah li alMuktamar, jilid VI, Daukah, Al-Syuun al-Islamiyah li Daulah al-Qatthar, 1981, h.34

61

Afifi Fauzi Abbas, Ulama dan Perkembangan Intelektuan Keagamaan

untuk merubah keadaan tersebut kepada keadaan yang sesuai dengan fitrah kemanusiaan dan tabi'at kejadian alam. Nabi Muhammad menyampaikan amanat itu dengan perjuangan sengit dan menghadapi berbagai tantangan buat selama masa da'wah. Perjuangan beliau tidak sia-sia. Dalam masa lebih kurang 23 tahun seluruh semenanjung Arabia menerima hidayah Islam dan selama itu beliau telah berhasil dan mendidik sebuah generasi penerus yang bertanggung jawab untuk meneruskan tugas risalah sebagai rahmat bagi seluruh alam. Berkad didikan beliau, generasi ini dapat tangguh dalam melayani segala cobaan dan tantangan yang dihadapkan kepada masyarakat dan negara Islam yang baru berdiri. Di antara ciri generasi pertama adalah keteguhan dengan prinsip Wahyu yang disertai oleh kejernihan pemikiran dan keterbukaan hati dalam memahami dan melaksanakan wahyu tersebut. Apapun persoalan hidup yang dihadapi selalu dilandakan kepada pertimbangan wahyu dan Akal sehat. Hasilnya adalah sebuah masyarakat dan negara kuat yang menegakkan keadilan, memakmurkan rakyat, bersih dari korupsi dan penyimpangan, mengembangkan Ilmu dan peradaban, serta segala keberhasilan yang dicapainya bagi perbaikan individu dan masyarakat. Inilah prestasi terbesar yang diberikan Islam kepada dunia dan kemanusiaan. Lalu muncul masalah baru. Masyarakat dari berbagai suku bangsa dan latar belakang kebudayaan berbondong-bondong memasuki agama baru. Ini adalah satuan perkembangan yang menakjubkan. Begitu banyaknya pemeluk baru Islam sehingga tidak terdapat lagi kesempatan untuk menerima pendidikan Islam seperti yang diterima oleh para sahabat Nabi saw dari beliau. Seiring dengan perkembangan sosial politik setelah kejatuhan negara Khilafah Rasyidah, para pendatang baru Muslim ini memegang berbagai posisi kunci, misalnya, Mua'wiyah bin Abi Sofwan yang baru saja masuk Islam setelah pembebasan Kota Makkah muncul kepentas politik untuk meminpin masyarakat menurut kemauannya sendiri. Selanjutnya para pembantu Khalifah bukan lagi terdiri dari orang-orang yang memberikan loyalitas penuh kepada prinsip-prinsip nurani Islam. Akibat dari sikap yang tidak teguh tersebut, para tokoh dan kalangan sahabat Nabi yang tidak dapat menerima perkembangan baru yang telah melenceng dari Islam, mengambil sikap sendiri. Sebagiannya bergerak sebagai kekuatan oposisi 62

Afifi Fauzi Abbas, Ulama dan Perkembangan Intelektuan Keagamaan

yang tentu saja tidak kuasa menghadapi kekuatan dominan dalam masyarakat dan negara yang mempunyai berbagai alat penekan. Begitu kuatnya tekanan yang diberikan, banyak kalangan oposisi yang bergerak di bawah tanah dengan misi politik atau pendidikan untuk menyadarkan masyarakat akan keadaan yang telah melenceng dari Islam serta kebutuhan untuk kembali kepada prinsip dan semangat islam. Inilah cikal bakal pergerakan Islam politik yang masih hidup sampai sekarang. Pengetahuan tentang Islam pada mulanya

sangat sederhana, Nabi

menerima dari Allah, lalu beliau menyampaikan kepada masyarakat sehingga terjadi penolakan dan penerimaan. Selanjutnya para sahabat Nabi menyampaikan pengetahuan itu kepada orang lain yang ditemuinya.Kemudian, setiap orang yang merasa terpanggil oleh pesan Islam menyebarkannya, dalam berbagai lingkungan dan kesempatan, dan kepada Bani Insan dengan segala latar belakang sejarah dan kebudayaannya. Setiap orang yang menerima Islam dengan ketulusan hati merasa butuh untuk mengetahui pesan yang disampaikan Allah. Mereka adalah para sahabat Nabi yang mendengar atau bertanya kepada beliau tentang berbagai persoalan. Sementara yang lain mendapatkannya dari para sahabat. Menurut Abu Zahroh, tokoh Syi'ah dalam al-Imam al-Shadiq mengatakan bahwa: Imamah adalah termasuk dalam urusan akidah diniyah, dan termasuk dalam urusan duniawiyah. Sedangkan Ibnu Khaldun yang dalam hal ini dapat mewakili kelompok Islam Sunny dalam Muqaddimahnya, menganggap bahwa masalah imamah termasuk dalam urusan kemaslahatan masyarakat.7 Karena

menurut

Syi'ah

imamah

adalah

masalah

akidah,

maka

perwujudannya terlihat bahwa ia menjadi ideologi, yang dikenal dengan wilayah faqih: artinya mereka adalah pewaris para Nabi yang melaksanakan kepemimpinan Ilahiyah dimuka bumi.8.Karena Ulama adalah pewaris para Nabi, maka orang-orang Syi'ah menetapkan syarat-syarat Ulama yang harus diikuti itu adalah:

7

Afifi Fauzi Abbas, Integritas Ulama Sangat Diperlukan Dalam Zaman Pembangunan, makalah seminar, IKIP Muhammadiyah, April 1988, h.1 8 Ibid

63

Afifi Fauzi Abbas, Ulama dan Perkembangan Intelektuan Keagamaan

1. Mereka harus Mujtahid Mutlaq, artinya dapat memahami ajaran Islam secara mendalam. 2. Harus memiliki kepribadian yang bersih yang mencermin kan ketauladanan pada Allah dan memiliki kemampuan menahan hawa nafsunya. 3. Mereka harus memiliki kemampuan (kifa'ah) untuk mengatur masyarakat berupa penguasaan ilmu-ilmu yang berkenaan dengan filsafat dan soal-soal kemasyarakatan.

C. Perkembangan Intelektual Keagamaan. 1. Periode Khulafa Ar Rasyidin (11/632-40/661). Setelah Nabi Muhammad SAW wafat, beliau meninggalkan al-Quran dan alHadits yang menjadi pedoman pokok bagi kaum muslim. Akan tetapi baik itu alQuran maupun al-Hadits yang disampaikan nabi Muhammad SAW selama 23 tahun masa dakwah/kerasulannya, sedikit sekali yang bersifat aturan-aturan yang rinci, sebagian besar kandungan al-Quran dan al-Hadits adalah bersifat pedoman pokok/ dasar yang memerlukan penafsiran. Orang-orang yang salah menafsirkan sejumlah ayatayat al-Quran atau salah memahaminya. Mereka menempuh jalan sesat yaitu jalan yang bukan di tempuh oleh kaum muslimin terbanyak. Di dalam kesulitan yang memuncak inilah kelihatan kebesaran jiwa dan ketabahan hati Abu Bakar. Dengan tegas di nyatakannya seraya bersumpah, bahwa beliau akan memerangi semua golongan yang telah menyeleweng dari kebenaran, sehingga semuanya kembali kepada kebenaran, atau beliau gugur sebagai syahid dalam memperjuangkan kemuliaan agama Allah.9 Abu Bakar mendengar percekcokan yang timbul demi Rasulullah. Keinginankeinginan golongan yang bersimpangsiur itu, nyaris menimbulkan perpecahan di kalangan ummat Islam. Kemudian berkad iman dan keyakinan Abu Bakar yang kuat, maka kaum muslimin lekas juga menyokong dan mendukung pendapat dan buah pikirannya. Dalam keadaan yang demikian beliau dapat menggerakkan kaum muslimin menghancurkan syirik dan memberantas keragu-raguan.10 9

A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Pustaka Al Husna, Jakarta,th 1983, hal 233. Ibid hal 235

10

64

Afifi Fauzi Abbas, Ulama dan Perkembangan Intelektuan Keagamaan

Khalifah Umar Ibnu Khatab mengambil beberapa kebijakan dalam bidang administasi pemerintahan, keuangan negara, harta rampasan perang (ghanimah), pertanian, gaji tentara dan pelaksanaan hukuman terhadap pencuri, tidak persis seperti bunyi teks dalam al-Quran atas kebijaksanaan yang telah dilakukan oleh Nabi. Kebijaksanaan itu di lakukan oleh Umar Ibnul Khatab, karena beliau memperhatikan maksud dan tujuan hukum yang telah di tetapkan oleh al-quran dan al-hadits, tidak hanya seperti bunyi harfiahnya saja. Apabila kebutuhan hukum yang di perlukan belum tersebut di dalam alQuran dan al-Hadits, maka Ulama Shalabi berijtihad di lakukan pembahasan bersama (musyawarah) dalam majlis Ahl al-halli wa al-'Aqd di bawah pimpinan khalifah. Keputusan bersama ini dinamakan ijmak, maka sejak itulah ijma' menjadi salah satu sumber hukum Islam di samping al-Quran, al-Hadits dan ijtihad perorangan di kalangan Ulama Salafi. Di zaman khalifah Usman bin Affan, ahli sejarah menggambarkan Usman sebagai orang yang lemah dan tak sanggup menentang ambisi kaum keluarganya yang kaya dan berpengaruh itu. Ia mengangkat mereka menjadi gubernurgubernur yang di angkat oleh Umar Ibn al-Khatab, khalifah yang terkenal sebagai orang kuat dan tak memikirkan kepentingan keluarganya, di jatuhkan oleh Usman.11 Hubungan antara Usman bin Affan dengan Nabi Muhammad SAW sangat rapat. Bukan saja Usman sebagai seorang sahabat Nabi yang sangat membantu perjuangan Nabi menyiarkan Islam, tetapi juga sebagai menantu Nabi. Dua anak beliau dikawinkan dengan Usman, yaitu Ruqayah dan Ummu Kulsum. Selama Usman bin Affan menjadi khalifah, nepotisme dan pemberontakan merupakan masalah yang sangat penting, sebab dari kedua masalah inilah terjadi kekacauan yang mengakibatkan Usman tewas secara tragis. Pemilihan Ali oleh ahl-al-Syura melalui pemberitaan oleh kelompok oposisi yang kemudian mendapat dukungan dari masyarakat luas/tidak secara aklamasi. Dan pengangkatan seorang kepala negara dalam Islam tidak hanya memiliki

12

satu corak, tetapi berbagai cara bisa di tempuh sesuai dengan kebutuhan dan 11

Harun Nasution, Teologi Islam, Aliran-aliran, sejarah Analisa Perbandingan, UI PresJakarta, 1986, hal 4. 12 Berkaitan dengan sistem pemilihan keempat khalifah ini dapat dilihat uraian.K.Ali dalam bukunya A Study of islamic History (Delhi, Idarah-i adabiyat-i Delli 1950) h 136-137.

65

Afifi Fauzi Abbas, Ulama dan Perkembangan Intelektuan Keagamaan

tuntunan zaman, karena ia merupakan persoalan ijtihad yang tidak di atur secara tegas dan rinci dalam al-Quran dan al-Sunnah Nabi. 2. Priode Umaiyah 941/661-133/750) Priode Umaiyah ini di mulai sejak akhir pemerintahan Ali bin Abi Thalib kemudian masuk ke Umaiyah; Dinasti Umaiyah berkedudukan di Damaskus pada waktu itu kaum muslimin terpecah menjadi tiga kelompok, yaitu: a. Kelompok Syiah pendukungnya adalah orang-orang Arab Selatan yang pernah dikuasai oleh Sasanian (Persia), kemudian didukung sebahagian besar orang Persia setelah Al-Muchtar ibnu Ubaid memimpin gerakan Syiah, yang memegang hak suci Tuhan tentang pergantian raja (Imam). b. Kelompok Muawiyah (Umaiyah) pendukungnya adalah sebagian besar orangorang Syiria yang akan memadukan antara ide demokratik dengan kultur politik Byzantium c. Kelompok Khawaridj pendukungnya adalah Bani Tauzin dari gurun pasir Arab, yang memperjuangkan demokrasi murni. Ketiga kelompok tersebut memerlukan dukungan teologik untuk memperkuat keabsahan/kekuasaan politik yang diklaim oleh masing-masing kelompok. Akibatnya timbullah perbincangan-perbincangan masalah teologi yang antara lain sekitar masalah: 1). Apakah seorang Imam harus tercermin dari prilaku hidup sehari-hari atau tidak, dari masalah itu timbul pembicaraan, apakah seseorang yang telah berbuat dosa besar (misal membunuh) masih mukmin atau sudah kafir, kalau sudah kafir maka ia tidak berhak memangku jabatan Khalifah. 2). Apakah harus mempunyai kebebasan berkehendak dalam berbuat atau bertindak, dari masalah ini timbul pembicaraan tentang kekuasaan dan keadilan Tuhan. Menurut Al-Hasan al-Basri (110/728) seorang teolog besar, memandang masalah kufur atau tidak kufur bagi orang yang berbuat dosa besar; maka orang berbuat dosa besar adalah fasiq. Pendapat Al-hasan al-Bashri ini menimbulkan perdebatan oleh Washil Ibnu Atha' (W.131-749). Berpijak dari persoalan teologi yang diperbincangkan dan bagai mana sikap Ulama kepada para teologi itu memberikan gambaran seakan-akan adanya 66

Afifi Fauzi Abbas, Ulama dan Perkembangan Intelektuan Keagamaan

perpisahan antara Ulama dan Umara.Akan tetapi Umara sangat membutuhkan Ulama untuk mendapatkan dukungan bagi keabsahan kemenangan mereka. Umara memberikan kebebasan penuh kepada Ulama dalam berjihad yang menyangkut fiqih. Ulama yang diangkat hakim bebas dalam memberikan fatwa. Karena kebebasan sifatnya perorangan, sering putusan hukum dari satu hakim dengan hakim lainnya tidak sama.Untuk menghilangkan perbedaan-perbedaan yang menyolok antara satu keputusan hukum dan fatwa hukum oleh hakim pada masalah yang sama, maka Umar Ibnu Abdul Azis meminta Ibnu Syihab az-Zuhri (W.124/741) seorang Ulama menyusun Kitab kumpulan Hadits untuk dijadikan pedoman. 3. Priode Abbasiyah (133/750-657/1258) Pada masa dinasti Abbasiyah berkedudukan di Baqhdad, dan menghendaki semua kebijaksanaan yang mereka jalankan mendapat cap Agama, serta mereka menggunakan gelar-gelar sepert Al-Hadi, Ar-Rasyid, Al-Mu'taslim dan sebagainya, ini menunjukkan bahwa mereka adalah pemimpin agama disamping menjabat jabatan kepala pemerintahan, tetapi tidak seperti kedudukan Paus dalam agama Katolik. Oleh sebab itu kebebasan Ulama menjadi terbatas misalnya Ahmad Ibnu Hambal (w.241/885) karena tidak mendukung mazhab negara (Mu'tazilah) dirantai oleh al-Ma'mun dan dipenjara oleh al-Mustaslim, dimana Ahmad ibnu Hambal yang berpendapat bahwa al-Quran itu adalah makhluk. Sejak awal Dinasti Abbasiyah sampai dengan masa pemerintahan alMutawakkil (232/847-247/861) aliran Mu'tazilah sebagai mazhab negara, maka mendorong dan menggalakkan pengkajian ilmu pengetahuan dalam segala macam cabangnya. Antara tahun 133/750-236/850 giat dilakukan penerjemahan buku-buku ilmu pengetahuan yang tertulis dalam bahasa Yunani, Persia dan India kedalam bahasa Arab, maka lahirlah tokoh-tokoh ilmu pengetahuan seperti antara lain: 1. Musa Al-Kharizni (W 238/850) ahli astronomi dan matematika 2. Al-Kindi (W.260/873) ahli bidang filsafat, ahli hukum, ahli astronomi, ahli kimia, ahli penyakit mata, dan ahli teori-teori musik. 3. Al-farobi (W 339/950) julukannya al Mu'alim Tsani (guru kedua) ahli bidang psikologi, ahli politik dan ahli metafisik. 67

Afifi Fauzi Abbas, Ulama dan Perkembangan Intelektuan Keagamaan

4. Ibnu Sina (W429/1037) ahli bidang kedokteran dan ahli teologi. Dalam pengkajian ilmu pengetahuan dinasti Abbasiyah, di Cordova dikuti pula oleh dinasti Umaiyah barat( Spanyol), di Endova, dinasti Taslimiyah atau Bani Ahmar di Granada, dan dinasti Fatimiyah di Cairo. Pengkajian Ilmu pengetahuan keislaman tidak lagi hanya berfokus dalam bidang teologi saja, tetapi juga bidang hukum yang dikenal dengan sebutan fukoha (mufrad- faqih). Disebabkan imam/fuqaha berpegang pada prinsip hukum, sistim hukum, metode pengkajian dan pendekatan yang berbeda-beda, maka lahirlah 13 aliran (mazhab) hukum dikalangan suni, antara lain: 4 mazhab yaitu Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hambali, yang mendapat pengikut terbanyak yang kita kenal sampai sekarang.

E. Kesimpulan. 1. Yang dimaksud dengan Ulama itu adalah: Orang-orang yang mendalami Ilmu keislaman, Teologi, hukum (fiqih), kalam dalam sufisme (tasauf) dengan meng gunakan metode tradisional. Syarat yang paling pokok adalah menguasai kitab kuning dan membacanya, mengartikannya, serta memahaminya tidak boleh salah. Dan jika yang paling Afdhol jalur pendidikannya, melalui pondok pesantren. Adapun yang mempelajari ilmuilmu keislaman melalui jalur yang lain disebut intelektual. 2. Sejarah perkembangan Ulama. mulai dari generasi pertama nabi Muhammad SAW keteguhan dengan prinsip wahyu yang disertai oleh kejernihan pemikiran dan keterbukaan hati dalam memahami dan melaksanakan wahyu tersebut. Adapun persoalan hidup yang dihadapi selalu dilandaskan kepada pertimbangan wahyu dan akal sehat. hasilnya adalah sebuah masyarakat dan negara kuat yang menegakkan keadilan, memakmurkan rakyat, bersih dari korupsi penyimpang-an, mengemban ilmu dan peradaban, serta segala kebersihan yang dicapainya bagi perbaikan individu dan masyarakat. 3. Pada masa Khulafa Arrasyidin pemerintahan dan

kekuasaannya telah

melewati jazirah Arab, wilayahnya luas dan rakyatnya banyak sehingga permasalahan yang dihadapi sangat kompleks termasuk masalah budaya 68

Afifi Fauzi Abbas, Ulama dan Perkembangan Intelektuan Keagamaan

dan agama. Dengan demikian perlu ada peraturan hukum baru yang mengaturnya, sehingga tidak timbul perbenturan, pertentangan di antara mereka. 4. Umara sangat membutuhkan Ulama untuk mendapat dukungan keabsahan/ legimitasi kewenangan mereka, sehingga Umara memberi kebebasan kepada Ulama yang iangkat menjadi Hakim dalam memutuskan suatu hukum dan memberi fatwa. 5. Pengkajian Ilmu pengetahuan keislaman tidak hanya terfokus dalam bidang teologi saja, tetapi juga bidang hukum/fiqih, sehingga lahirlah imam-imam atau sarjana-sarjana bidang hokum

Daftar Bacaan 1. Jamal D Rahman, Fiqih Sosial, 70 tahun K.H.Ali Yafie, Mizan, 1997. 2. Prof.DR.Azyumardi Azra, Jaringan Ulama, Bandung, Mizan, 1994. 3. Rifyal Ka'bah, Ulama Sebagai Kelompok Ilmuan, makalah seminar IKIP Muhammadiyah Jakarta, th 1994. 4. Achmad Warson al-Munawwir, Kamus Al-Munawir Arab Indonesia, Surabaya, Pustaka Progressif, cet II, 1997. 5. H.A.R. Gibb & Kramers, et.al. Shorter Encyclopaedie of Islam, (Leiden - E.J Brill-1974) artikel Ulama. 6. AM Nurzaman Siddiq, Jeram-jeram peredaban Muslim 7. Muhammad Asad, The Massage of The Quran, (Gibraltar, Dar Al-Andalus, 1980). 8. DR. Yusuf Al-Qardhawi. "Ar.Rasul wa-Ilmu" dalam Buhuts wa ad-Dirasat AlMuqaddimah li Mu'tamar, jilid VI (Dawkah : Asy-Syu'un Al-Islamiyah Bi Dawlah AlQathal, 1981). 9. Afifi Fauzi Abbas, Integritas Ulama Sangat Diperlukan Dalam Zaman Pembangunan, makalah seminar, IKIP Muhammadiyah, Medio April 1988. 10.Ensiklopedi Islam, PT Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, tahun 1993. 11.A.Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Pustaka Al-Husna, Jakarta, th 1983. 12.Harun Nasution, Teologi Islam, Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, UI Pres Jakarta, th 1986. 13.K.Ali, A Study of Islamic History, Delhi, Idarah-i adabiyat-i, th 1950

69

Related Documents


More Documents from "Abe Omar Abdullah"