Uk

  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Uk as PDF for free.

More details

  • Words: 1,570
  • Pages: 5
uk, Cegah Penyakit Keturunan! Mother And Baby Wed, 17 Dec 2003 10:04:00 WIB Siapapun tak ingin melahirkan bayi yang cacat atau menyandang penyakit yang tak tersembuhkan. Tapi, bagaimana kalau kita sendiri yang menjadi pembawa bibit penyakit itu? Tindakan apa saja yang bisa diambil untuk mencegahnya? Semakin banyak saja penyakit keturunan yang diderita oleh anak. Misalnya hemofilia, yakni kelainan yang membuat darah sukar membeku. Akibatnya, jika terluka, terjadi perdarahan tanpa henti. Atau talasemia, di mana sel-sel darah merah mati dengan cepat, sehingga tubuh mengalami anemia berat dan bisa meninggal saat usia muda. Dua penyakit itu hanya contoh kecil saja dari sekitar 3.000 penyakit yang diturunkan melalui gen. Yakni, bahan pembawa sifat atau karakteristik dasar yang dibawa anak sejak lahir, yang diturunkan dari pihak ayah dan ibu. Penyakit turunan lain misalnya anemia bulan sabit, fenilketonurea, hidrosefalus, buta warna, diabetes, asma, kelainan rhesus darah, Down Syndrome, penyakit Huntington, dan banyak lagi lainnya. Bahkan menurut sebagian pakar kesehatan, definisi penyakit keturunan itu seharusnya diperluas tak hanya pada penyakit yang sudah 'populer' seperti di atas, namun juga mesti mencakup berbagai tipe kanker, penyakit alzheimer, dsb. Agar buah hati kita tidak menuruni penyakit orangtua, pencegahannya dengan memeriksa kesehatan sebelum hamil. Malah sebaiknya sebelum menikah. Ini sangat penting dilakukan calon suami-istri untuk mengetahui apakah salah satu atau keduanya membawa gen penyakit tertentu. "Jika salah satu pihak menyandang penyakit bawaan, kemungkinan besar anak yang dilahirkan juga akan menderita penyakit bawaan yang sama," terang Dr. Suskhan, Sp.OG, dari RS Omni Medical Center, Pulo Mas, Jakarta Timur. Bila pasangan yang baru menikah tahu dirinya membawa gen penyakit, sebaiknya memeriksakan diri ke dokter kandungan atau laboratorium, agar tahu apakah gen yang ia bawa dominan atau resesif. Disebut dominan, jika calon suami atau istri itu jelas-jelas menderita penyakit yang bisa diturunkan. Sementara resesif adalah jika si penyandang tampak normal, namun sebenarnya membawa gen penyakit. "Dengan begitu, kita dapat mencegah semakin banyaknya anak yang memiliki penyakit keturunan," tutur Suskhan. Dengan pemeriksaan memakai sinar-x, tes darah dan urin, seseorang bakal diketahui apakah ia membawa penyakit yang nantinya bisa diturunkan kepada anak atau tidak. Semakin cepat diketahui, dunia medis dapat memberikan obat atau terapi. Misalnya bila diketahui kedua orangtua membawa bibit penyakit diabetes, si bayi akan segera diterapi dan diobati. Terlambat, Cacat Suskhan menjelaskan, anak yang dilahirkan dengan kelainan genetik bisa menyandang cacat, menyandang penyakit, atau membawa gen penyakit. Anak yang dilahirkan dengan cacat atau penyakit bawaan tentu akan sedih bahkan mungkin menimbulkan penderitaan baik bagi anak maupun kedua orangtuanya. Itu sebabnya Suskhan menekankan pentingnya konseling pranikah dan prahamil, agar tahu apakah kondisi calon ayah dan ibu benar-benar sehat atau tidak. Termasuk melihat ada tidaknya penyakit turunan. "Sebab peluang bayi lahir cacat

ditentukan oleh persentase kesehatan orangtuanya." Antisipasi yang harus dilakukan seandainya terbukti ibu dan ayah adalah pembawa penyakit genetik berbahaya yakni dengan pemeriksaan. Untuk pasangan yang membawa gen hemofilia atau talasemia, misalnya, menurut Suskhan tak ada jalan lain selain menunda keinginan punya anak. Atau, dengan membatalkan pernikahan bila belum sampai menikah. "Jika kedua orang yang membawa penyakit ini bersatu, otomatis bayinya akan tertular. Selain mengalami kelainan darah seumur hidup, si bayi bisa tak tertolong jiwanya." Suskhan mencontohkan, jika orang yang menyandang talasemia minor menikah dengan orang yang kondisinya sama, anak yang lahir kemungkinan besar ada 3, yakni lahir sehat, lahir dengan talasemia mayor yang berat, atau menjadi pembawa gen talasemia. "Untuk mencegah keturunan selanjutnya menderita penyakit genetik, sebaiknya sejak remaja, orangtua memberi tahu si anak yang ditakdirkan membawa gen penyakit. Sehingga saat anak dewasa kelak, ia mencari pasangan yang tidak menderita penyakit yang sama, supaya keturunannya kelak bukan penderita," ujar Suskhan. Orangtua yang ridak membawa gen penyakit turunan ternyata juga tidak menjamin bebas penyakit genetik, lho. Down Syndrome (mongolism, yakni penyakit kelainan kromosom yang ditandai adanya keterbelakangan mental, ketidakberesan di wajah, dsb), bisa disebabkan oleh orang yang sehat namun mengalami kerusakan kromosom, yakni rangkaian gen yang menjadi cetak biru pengaturan fungsi-fungsi tertentu dalam tubuh. Biasanya ini dialami wanita yang baru hamil pada usia di atas 35 tahun. Supaya calon buah hati tidak terkena penyakit ini, idealnya sih, usia terbaik untuk hamil antara 18-25 tahun. Namun tak perlu khawatir. Untuk para wanita yang baru hamil pada usia 35 tahunan, sebaiknya melakukan pemeriksaaan USG atau amniosentesis (pengambilan cairan ketuban) pada kehamilan trimester pertama (12-16 minggu) untuk menemukan ada-tidaknya kemungkinan Down Syndrome sejak dini. "Sejalan dengan bertambah tuanya usia, sel-sel telur dalam tubuh wanita juga akan mengalami perubahan. Sel-sel telur itu bisa jadi telah mengalami pembelahan yang tidak sempurna, dan sebagai dampaknya kromosom-kromosom di dalamnya mungkin tidak terbagi secara merata." Karena alasan inilah, kata Suskhan, risiko para wanita yang hamil setelah usia 35 untuk melahirkan anak dengan Down Syndrome menjadi semakin besar. Bahkan pada mereka yang baru hamil setelah usia 40, risiko tersebut hampir mencapai 24%, atau 1 di antara 4 kelahiran. Siapa Perlu Tes Genetik? 1. Calon ibu berusia 35 tahun atau lebih, atau calon ayah berusia 45 tahun atau lebih 2. Di keluarga calon ayah atau ibu ada yang punya riwayat mengalami cacat lahir, keterbelakangan mental, abnormalitas kromosom, atau cacat tabung saraf 3. Calon ibu atau calon ayah, atau salah satu kerabat dekatnya mempunyai penyakit keturunan 4. Calon ayah dan ibu diketahui menjadi pembawa gen penyakit (carrier). Orang bisa

menjadi carrier meski tidak menunjukkan punya penyakit itu. Sebabnya, sebagian penyakit keturunan bersifat resesif, yakni hanya timbul jika anak mendapat dua gen

-dari ayah dan ibu- yang masing-masing membawa satu gen penyakit. Anak yang Cuma membawa satu gen penyakit dari salah satu orangtuanya namun mendapat gen normal dari orangtua satunya lagi tak akan menunjukkan gejala penyakit. Namun ia berpeluang 50% nantinya menurunkan gen penyakit itu kepada anaknya 5. Calon ibu terpapar bahan-bahan berbahaya selama kehamilan, misalnya radiasi sinar-x atau melakukan kemoterapi 6. USG atau tes darah calon ibu menunjukkan hasil yang tidak normal. 7. Pasangan yang sudah punya anak yang punya cacat bawaan parah. Tidak semua anak yang menyandang cacat bawaan mempunyai masalah genetik. Bisa saja cacat itu diakibatkan oleh terpapar racun, infeksi, atau trauma fisik yang dialami saat dalam kandungan. Bahkan jika anak mempunyai masalah genetik, selalu ada peluang bahwa hal itu bukan diturunkan dari orangtua namun mungkin terjadi karena adanya kesalahan spontan pada sel-sel anak, bukan dari sel orangtuanya. 8. Calon ibu pernah mengalami dua kali keguguran atau lebih. Problem kromosom yang parah pada janin kadang bisa menyebabkan keguguran spontan. Beberapa keguguran bisa jadi menunjukkan ada masalah genetik. 9. Ibu melahirkan bayi meninggal, dengan tanda-tanda fisik yang menunjukkan adanya penyakit keturunan. 10. Anak punya problem kesehatan yang kemungkinan akibat masalah genetik, atau diketahui sebagai sindrom genetik tertentu. Jika anak mempunyai masalah kesehatan yang mencakup lebih dari sistem tubuh, tes genetik disarankan untuk mencari tahu penyebabnya. Tes Apa Saja yang Dilakukan? Dulu, para dokter hanya dapat mendeteksi problem genetik dengan karyotyping. Yakni mengecek jumlah, bentuk, dan pola warna kromosom untuk mendeteksi apakah kromosom itu bermasalah atau tidak. Namun sekarang tes genetik sudah makin canggih sehingga dokter dapat mengetahui apakah ada gen yang hilang atau rusak. Gen adalah bagian dari kromosom yang membawa DNA, materi yang mengandung sifat-sifat yang diturunkan dari orangtua. Jenis tes genetik yang diperlukan tergantung dari penyakti keturunan tertentu yang dokter curigai ada. Jika dokter curiga adanya kromosom rangkap seperti trisomi (misalnya Down Syndrome, Edwards Syndrome, atau Patau Syndrome), tes kromosom mungkin sudah cukup. Namun jika masalahnya terjadi pada gen, biasanya diperlukan tes DNA, yang butuh peralatan lebih canggih. Banyak jenis cairan atau jaringan tubuh yang dapat digunakan sebagai sampel. Untuk tes DNA, misalnya, hanya memerlukan sedikit sampel darah, kulit, tulang, atau jaringan tubuh lain. Bahkan sejumlah kecil jaringan pada ujung rambut sudah cukup. Tes genetik digolongkan dalam dua kategori: skrining dan diagnostik. Tes skrining membantu dokter mengetahui calon ibnu yang bayinya mungkin berisiko mengalami cacat keturunan atau masalah kesehatan yang tidak diketahui sebabnya. Tes skrining dilakukan pada calon ibu yang tidak punya faktor-faktor risiko kelihatan secara kasat mata. Sedangkan tes diagnostik dapat memberikan informasi yang cukup bagi dokter untuk mendiagnosis kondisi medis yang terjadi pada janin. Meski tes skrining tidak memberikan diagnosis yang pasti, namun bisa

memberikan gambaran, apakah calon ibu perlu tes diagnostik atau tidak. Tes skrining biasanya meliputi tes serum alpha-fetoprotein (MSAFP) dan Triple Test. Test MSAFP dilakukan untuk melihat alfa-fetoprotein (AFP) yang diproduksi oleh janin, dengan melihat kondisi darah sang ibu. AFP yang tinggi mengindikasikan janin mengalami cacat tabung saraf seperti spina bifida atau anencephaly. Sedangkan AFP yang rendah kemungkinan janin mengidap Down Syndrome. Triple Test merupakan tes untuk melihat 3 senyawa yang biasanya ada dalam darah wanita hamil, yakni AFP, hormon human chorionic gonadotropin (HCG), dan estriol, yakni estrogen yang diproduksi oleh janin maupun plasenta. Tingkat HCG dan estriol yang tidak normal mengindikasikan adanya ketidaknormalan kromosom. Tes diagnostik dilakukan melalui 3 cara: USG, amniosentesis, dan Chorionic Villus Sampling (CVS). USG menggunakan gelombang suara frekuensi tinggi untuk menghasilkan gambar apa yang terjadi dalam tubuh. Gambar ini dapat menunjukkan ketidaknormalan struktur utama, termasuk cacat jantung bawaan. Amniosentesis dilakukan dengan mengabil sampel cairan ketuban menggunakan jarum lembut. Tes ini dapat mendeteksi abnormalitas kromosom seperti Down Syndrome, gangguan genetik seperti cystic fibrosis, cacat tabung saraf, serta mendeteksi infeksi tertentu. CVS dilakukan dengan mengambil sampel sel pada plasenta, dan dapat mendeteksi abnormalitas kromosom seperti Down Syndrome dan gangguan gen seperti cystic fibrosis, namun tidak bisa mendeteksi gangguan pada tabung saraf.(TG/Berbagai Sumber)

Sumber: Tabloid Ibu Anak

Other articles • Manfaat Berenang untuk si Cilik Tue, 16 Dec 2003 11:13:00 WIB • Yuk, Belajar Konsentrasi! Mon, 15 Dec 2003 10:16:00 WIB • Cara Simpel Penuhi Gizi Anak Sat, 13 Dec 2003 09:37:00 WIB

© 1997 - 2005 by Cyberindo Aditama. All Rights Reserved. Legal Disclaimer

Related Documents

Uk
June 2020 30
Uk
April 2020 32
Uk
April 2020 36
Uk
May 2020 35
Uk Immigration
August 2019 35
Pp Uk
October 2019 22