Ujian Nasional- Catatan Kritis

  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Ujian Nasional- Catatan Kritis as PDF for free.

More details

  • Words: 3,989
  • Pages: 16
UJIAN NASIONAL Sebuah Catatan Kritis

Maksimus Adil

2009

UJIAN NASIONAL: Sebuah Catatan Kritis Oleh: Maksimus Adil (NIM: 69080064) Abstrak: Ujian Nasional merupakan salah satu jalan untuk mengukur mutu pendidikan nasional. Banyak pihak, terutama masyarakat dan praktisi pendidikan cenderung menolak kehadiran ujian ini dengan berbagai alasan. Sementara di lain pihak, pemerintah secara khusus Depdiknas ingin tetap mempertahankan keberadaannya. Keteguhan sikap pemerintah didasarkan atas perintah UU yang harus mereka jalankan. Persolannya, UN sarat dengan permasalahan. Sesuai dengan perintah UU No 20/2003 tentang sisdiknas, sebelum melaksanakan UN pemerintah harus memenuhi kewajibannya untuk melakukan standardisasi pendidikan nasional. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan., menugaskan pemerintah untuk melaksanakan delapan standar pendidikan yang meliputi: (1) standar isi, (2) standar proses, (3) standar kompetensi lulusan, (4) standar pendidik dan tenaga kependidikan, (5) standar sarana dan prasarana, (6) standar pengelolaan, (7) standar pembiayaan, dan (8) standar penilaian pendidikan. Lalu bagaimana kita menyikapi persoalan ini demi menyelamatkan pendidikan nasional kita?

Key Words: Pendidikan Nasional, Standadisasi Pendidikan, Renstra Diknas, Mutu, Taksonomi Bloom, the six facets of understanding.

Pendahuluan Evaluasi dan penilaian hasil belajar merupakan bagian integral yang tak terpisahkan dari seluruh proses pembelajaran, bahkan posisinya sangat strategis karena menjadi tolak ukur yang paling penting dalam menentukan kualitas seluruh proses pembelajaran. Oleh karena evaluasi dan penilaian itu sedemikian pentingnya maka untuk sebagian orang dia seolah-olah menjadi tujuan akhir atau satu-satunya tujuan dari seluruh proses pembelajaran. Untuk itu mereka menggunakan berbagai-macam cara agar bisa sukses dalam evaluasi dan mendapat hasil yang baik. Orang cenderung lupa bahwa evaluasi dan penilaian itu hanyalah salah satu sarana dalam pembinaan dan pembentukan pribadi anak didik agar menjadi manusia seutuhnya yang dilengkapi dengan penguasaan ilmu dan teknologi, memiliki pengetahuan yang handal, skill yang mumpuni dan kepribadian yang unggul (secara moral dan spiritual) sebagai manusia. Mengingat posisi evaluasi dan penilaian belajar yang sangat penting dalam seluruh proses pembelajaran maka evaluasi dan penilaian itu harus dapat dipertanggung-jawabkan kepada



2


para stakeholders - tiap unsur yang terkait, - seperti siswa, orang tua murid, pemerintah dan bahkan masyarakat luas pada umumnya. Untuk itu penilaian terhadap hasil belajar siswa harus didukung oleh bukti-bukti yang kuat dan valid. Salah satu bentuk evaluasi yang paling menjadi momok bagi tiap stakeholder pendidikan di tanah air adalah Ujian Nasional yang diselenggarakan untuk para siswa kelas VI, IX, dan XII. Ujian nasional menjadi momok karena dalam prakteknya dia seolah-olah menjadi penentuan terakhir dan satu-satunya untuk memastikan bisa atau tidaknya seorang siswa masuk ke jenjang pendidikan berikutnya. Pertanyaan kita adalah apakah Ujian Nasional valid

untuk

itu,

mengingat

begitu

besarnya

kemungkinan

manipulasi

di

dalam

penyelenggaraannya, juga jumlah pelajaran yang diuji terbatas. Lantas apa yang bisa dilakukan untuk menjamin validitasnya? Apakah hasil Ujian Nasional sebagai salah satu piranti penentu kelulusan siswa dapat dipertanggung-jawabkan keabsahannya ditinjau dari berbagai aspek dalam sistem pendidikan nasional kita? UU

No.

20

tahun

2003,

pasal

3

menyatakan,

“Pendidikan

nasional

berfungsi

mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat

dalam

rangka

mencerdaskan

kehidupan

bangsa,

bertujuan

untuk

berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.” Fungsi dan tujuan pendidikan nasional ini ditegaskan lebih lanjut dalam Rencana Strategis Pendidikan

Nasional

(Renstra

Diknas)

bab

2

yang

menyatakan

sebagai

berikut:

“Pembangunan pendidikan nasional ke depan didasarkan pada paradigma membangun manusia Indonesia seutuhnya, yang berfungsi sebagai subyek yang memiliki kapasitas untuk mengaktualisasikan potensi dan dimensi kemanusiaan secara optimal. Dimensi kemanusiaan itu mencakup tiga hal paling mendasar, yaitu (1) afektif yang tercermin pada kualitas keimanan, ketakwaan, akhlak mulia termasuk budi pekerti luhur serta kepribadian unggul, dan kompetensi estetis; (2) kognitif yang tercermin pada kapasitas pikir dan daya intelektualitas untuk menggali dan mengembangkan serta menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi; dan (3) psikomotorik yang tercermin pada kemampuan mengembangkan



3


keterampilan teknis, kecakapan praktis, dan kompetensi kinestetis.” Amanat UU dan Renstra Diknas inilah yang harus diwujudkan oleh semua tingkat satuan pendidikan di tanah air. Salah satu alat untuk mengukur terwujud atau tidaknya amanat ini adalah melalui ujian nasional. Oleh karena itu, ujian nasional sejatinya harus mengukur pencapaian tiga hal mendasar tersebut. Ujian nasional bertujuan untuk mengukur mutu pendidikan dan mempertanggung-jawabkan penyelenggaraan pendidikan di tingkat nasional, provinsi, kabupaten, sampai tingkat sekolah. Hasil UN sebagaimana dalam Peraturan Mendiknas No. 39 tahun 2007, pasal 3 disebutkan, menjadi acuan: (1) pemetaan mutu satuan pendidikan; (2) dasar seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya; (3) penentuan kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan; dan (4) dasar pembinaan dan pemberian bantuan kepada satuan pendidikan dalam upaya peningkatan mutu pendidikan. Mutu satuan pendidikan yang disebut pada poin pertama di atas harus mencakup tiga hal yakni afektif, kognitif, dan psikomotorik. Ujian Nasional harus mencakup ketiga aspek itu. Dari perspektif itu maka, mutu pendidikan nasional mesti ditentukan berdasarkan standar nasional pendidikan. Tentang standar nasional pendidikan, UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 35 menyatakan sebagai berikut: (1) Standar nasional pendidikan terdiri atas standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan yang harus ditingkatkan secara berencana dan berkala. (2) Standar nasional pendidikan digunakan sebagai acuan pengembangan kurikulum, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, dan pembiayaan. Amanat pasal 35 UU No 20/2003 ini harus menjadi prasyarat untuk terselenggaranya UN. Apakah amanat pasal 35 UU Sisdiknas ini sudah dilaksanakan dan terpenuhi? Tulisan ini mencoba membedah praktek ujian nasional kita yang sejatinya dilaksanakan sesuai dengan amanat UU, lalu kemudian mencoba memberikan sedikit pertimbangan untuk perbaikan dalam hal metode, isi, dan proses atau cara pelaksanaannya. Untuk itu maka saya akan membagi tulisan ini ke dalam beberapa bagian seperti berikut: Pertama, akan dipaparkan terlebih dahulu gambaran tentang UN, kedua, diuraikan bagaimana UN mesti



4


dilaksanakan seturut amanat UU sisdiknas, Renstra Diknas dan berbagai dokumen lainnya. Untuk itu maka pada bagian ini akan dibahas pula apa tujuan dari ujian nasional atau ujian terstandar lainnya. Ketiga, berdasarkan paparan pada bagian pertama dan kedua lalu akan diuraikan di mana letak permasalahan dari ujian nasional. Keempat, usulan pemecahan dan langkah terobosan, lalu kelima, ditutup dengan kesimpulan.

I.

Gambaran Pelaksanaan UN

Ujian Nasional telah dilaksanakan sejak tahun 2003. Dalam pelaksanaannya, tidak semua pelajaran yang diajarkan di sekolah diuji secara nasional, melainkan hanya beberapa pelajaran saja. Beberapa contoh pelajaran yang diujikan pada ujian nasional SMA untuk jurusan IPA adalah Matematika, Fisika, Kimia, Biologi, Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia. Pada level SMP dan SD berbeda lagi. Model ujian nasional yang digunakan untuk setiap mata pelajaran ini sama saja, yakni menggunakan model ujian multiple choice (pilihan ganda). Pilihan model ujian ini bukan tanpa sebab yakni demi kepraktisan dan kemudahan, khususnya dalam kaitan dengan proses pemeriksaan dan penilaian hasil akhirnya. Ujian Nasional dilaksanakan secara serentak di seluruh tanah air. Sesuai dengan namanya sebagai ujian nasional, ujian ini sejatinya sama untuk setiap siswa. Sama dalam arti bahwa waktu pelaksanaannya sama, soal-soal yang dikerjakan oleh tiap-tiap siswa di seluruh tanah air sama (dalam arti bobot, jumlah dan jenis pertanyaannya), sehingga mempermudah untuk melakukan pengukuran dan perbandingan, sesuai dengan tujuan ujian itu. Kesamaan menjadi harga mati di sini, sebab bila unsur ini dilanggar maka identitas ujian sebagai ujian nasional gugur-lah sudah. Standar UN terletak pada waktu penyelenggaraannya, soal yang dikerjakan, standar bobot soal yang diujikan, dan penilaiannya.

II. UN Menurut UU Sisdiknas UU No. 20/2003 tentang sistim pendidikan nasional adalah payung hukum pelaksanaan pendidikan nasional. Karena itu semua hal yang berkaitan dengan proses pendidikan



5


termasuk ujian nasional harus mengacu pada UU itu. Pasal 58 ayat 1 UU No. 20/2003 menyatakan, evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan. Dan ayat 2 menyatakan, evaluasi peserta didik, satuan pendidikan, dan program pendidikan dilakukan oleh lembaga mandiri secara berkala, menyeluruh, transparan, dan sistemik untuk menilai pencapaian standar nasional pendidikan. Sementara pasal 59 ayat 1 menyatakan, pemerintah dan pemerintah daerah melakukan evaluasi terhadap pengelola, satuan jalur, jenjang, dan jenis pendidikan. Kedua pasal ini, khususnya pasal 58 ayat 1 dan pasal 59 ayat 1, telah membagi tugas yang jelas antara pendidik dan pemerintah dalam penyelenggaraan evaluasi pendidikan di sekolah. Pendidik bertugas mengevaluasi proses dan hasil belajar, sedangkan pemerintah bertugas mengevaluasi pengelolanya, baik pada satuan jalur, jenjang maupun jenis pendidikannya. Mengacu pada aturan ini, jelas penyelenggaraan UN sebagaimana dilakukan selama ini telah mengambil alih tugas yang seharusnya menjadi tanggung jawab pendidik. Sebagaimana telah di singgung dimuka, hasil UN sebagaimana dinyatakan dalam Peraturan Mendiknas No. 39 tahun 2007, pasal 3 disebutkan, menjadi acuan: (1) pemetaan mutu satuan pendidikan; (2) dasar seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya; (3) penentuan kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan; dan (4) dasar pembinaan dan pemberian bantuan kepada satuan pendidikan dalam upaya peningkatan mutu pendidikan. Mutu pendidikan harus dilihat secara menyeluruh, bukan melulu dari aspek kognitifnya, melainkan juga aspek afektif dan psikomotoriknya. Untuk itu, menurut Lesley Wing Jan dan Jeni Wilson (Wing Jan 1998) aspek-aspek yang perlu diuji adalah 1) knowledge/understanding, 2) skills, 3) attitudes, 4) values, 5)

outcomes. Adapun tujuannya adalah untuk program decision making, reporting, tracking individual progress, improvent student learning. Sejalan dengan apa yang ditetapkan pemerintah seperti yang tertera dalam bab 2 Renstra Diknas, Peter W. Airasian dan Michael K. Russel dalam Classroom Assessment (Airasian 2008) menguraikan secara detail kandungan dari masing-masing aspek ini (kognitif, afektif, dan psikomotorik).

Pertama, Aspek Kognitif. Menurut Airasian, aspek kognitif mesti mencakup unsur-unsur



6


seperti: memorizing, interpreting, applying, problem solving, reasoning, analyzing, and

thinking critically. Aspek kognitif ini lazimnya mengacu kepada taksonomi Bloom. Taksonomi kognitif Bloom dikelompokkan ke dalam enam level dengan tiap level yang ada di atasnya mewakili proses kognitif yang lebih kompleks. Tabel Taksonomi Kognitif Bloom menurut Airasian (Airasian 2008) dan Wilson (Wilson 1999) General Description

No

Taxonomy Level

1

Knowledge

Memorizing facts

2

Comprehension

Explaining in one’s own word

(Airasian)

Proces Required (Wilson)

Requires memory only, recall of information Requires rephrasing, rewording and comparison of information Requires the application of

3

Application

Solving new problems

knowledge to a new situation or experience Requires the use of information

4

Analysis

Breaking into parts and

to identify motives or causes, to

identifying relationship

determine evidence and draw conclusions

5

Synthesis

Combining elements into a whole

Requires the putting together of information to make predictions or to solve problems Requires the use of information

6

Evaluation

Judging quality or worth

to form values, make judgements and offer opinions

Fungsi dari taksonomi kognitif adalah membantu pendidik untuk menentukan distingsi



7


antara higher-level dan lower-level thinking behavior. Dalam taksonomi kognitif Bloom

knowledge level masuk dalam kategori lower-level cognitive behavior. Kedua,

Aspek

Afektif.

Aspek

afektif

mencakup

feelings,

attitudes,

interests,

preferences, values, and emotions. Dalam bahasa depdiknas aspek afektif tercermin pada kualitas keimanan, ketakwaan, akhlak mulia termasuk budi pekerti luhur serta kepribadian unggul, dan kompetensi estetis. Guru menilai aspek ini biasanya dari interaksi sehari-hari dan juga lewat pelajaran-pelajaran terkait seperti pelajaran Agama, PKn, dll.

Ketiga, Aspek Psikomotor. Aspek psikomotor mencakup physical and manipulative behaviors. Karena itu, yang termasuk di dalam aspek psikomotorik adalah kemampuan mengembangkan keterampilan teknis, kecakapan praktis, dan kompetensi kinestetis. Karena semua unsur ini merupakan bagian integral dari dimensi kemanusiaan yang utuh yang ingin dibentuk di sekolah maka semua aspek ini sejatinya harus menjadi unsur yang diuji juga. Masing-masing aspek harus menjadi tolok ukur penilaian untuk memutuskan dapat atau tidaknya seorang siswa lulus dari suatu jenjang pendidikan dan kemudian masuk ke jenjang pendidikan berikutnya. Untuk menyatakan bahwa suatu ujian baik atau tidak, ia harus memenuhi standar-standar tertentu. Mengikuti David W. Johnson (Johnson 2002), setidaknya ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi untuk memastikan baik atau tidaknya suatu ujian: 1) Reliability, Siswa dapat memperoleh hasil yang kurang lebih sama bila ujian itu diulang. 2) Validity, ujian itu mengukur apa yang telah direncanakan atau ditentukan untuk diukur. 3) Objectivity, ada persetujuan dari para ahli tentang jawaban yang benar dari tiap item tes, juga ada persetujuan tentang besaran skor untuk tiap bobot soal yang berbeda. 4) Practicality, kepraktisan dalam pengukuran ditentukan oleh biaya, waktu yang digunakan, kemudahan dalam memberikan penilaian, dan faktor-faktor lain yang terkait. 5) Discrimination, harus ada pengelompokan antara item tes yang sukar, sedang, dan mudah. Hal ini berkaitan dengan knowledge dan skill siswa. 6) Norm-referenced test, ini dirancang untuk menilai atau menguji performace siswa dibandingkan dengan siswa yang lainnya. 8) Criteria-

referenced test, dirancang untuk membandingkan hasil tes siswa (student’s test performance) untuk menentukan kriteria mengenai keunggulan skill atau pengetahuan.



8


Untuk mendukung kriteria-kriteria di atas, secara khusus berkaitan dengan discrimination, tingkat pemahaman siswa harus diperhatikan juga. Wiggins (Wiggins 2005, p. 161-166) membagi tingkat pemahaman siswa ke dalam 6 level yang disebut six facets of

understanding, sebagai berikut: Pertama, Explanation, siswa dapat menjelaskan “big idea” dari pelajaran dalam bahasa mereka sendiri, menjelaskan keterkaitan antara topik yang dipelajari dengan bidang atau kondisi konkret, menjelaskan argumentasi mereka, dan menarik teori dari data yang ada.

Kedua, Interpretation, siswa dapat memahami cerita, misalnya, karya seni, data, situasi, atau klaim-klaim yang ada. Yang termasuk dalam interpretasi juga adalah kemampuan untuk menerjemahkan ide-ide, perasaan, atau pekerjaan ke dalam suatu medium atau mediu lainnya. Ketiga, Application, Siswa yang sudah memahami konsep dapat menggunakan pengetahuan dan skill mereka dalam situasi yang baru. Keempat, Perspective, Siswa mampu melihat suatu hal dari berbagai sudut pandang, dapat menjelaskan sisi lain dari suatu persoalan yang dihadapi, dapat melihat big picture dari suatu persoalan, mengetahui asumsi-asumsi yang mendasari suatu kasus, dan lalu kemudian dapat mengambil posisi kritis. Prakteknya dalam pelajaran sejarah misalnya, siswa dapat membuat compare and

contrast, dalam pelajaran bahasa dan sasatra, dapat melakukan analisis teks atau menulis. Kelima, Emphaty. Imajinasi intelektual adalah satu hal yang esensial dalam pemahaman. Hal itu tergambar bukan hanya dalam satu pelajaran tertentu seperti bahasa dan sastra, misalnya, melainkan juga secara umum melalui kemampuan untuk mengapresiasi orang lain yang berpikir dan bertindak secara berbeda dari kita. Jadi, pointnya di sini adalah siswa mampu untuk memahami perbedaan pemikiran dan perasaan dari orang-orang yang ditemukan dalam kehidupan nyata sehari-hari. Keenam, Self-Knowledge. Adalah sangat penting bagi siswa untuk memiliki kemampuan untuk menilai diri mereka sendiri, menilai pekerjaan dan cara belajarnya di masa lalu dan juga saat ini. Self-knowledge juga membantu siswa untuk terus mengembangkan diri mereka sendiri. Keenam wujud pemahaman yang dikenal sebagai the six facets of understanding ini harus juga diperhatikan dalam proses pendidikan. Pembentukan manusia yang utuh yang mempunyai kualitas yang mumpuni dari segi kognitif, afektif, dan psikomotor tidak bisa



9


tidak tanpa memperhatikan the six facets of understanding ini. Maka itu, UN tidak bisa tanpa memperhatikan hal-hal ini dalam evaluasi terstandar yang dilakukannya.

III. Permasalahan dalam UN Ujian Nasional yang telah dilaksanakan sejak 2003 mengandung beberapa permasalahan mendasar terkait dengan pelaksanaan dan dampaknya. Permasalahan yang pertama adalah berkaitan dengan dasar hukum pelaksanaannya. Benar bahwa UN dilaksanakan sesuai dengan amanat UU No. 20/2003 dan PP No 10 Tahun 2005 Pasal 63 (1), disebutkan, untuk penilaian kompetensi secara nasional, harus melalui ujian nasional. Namun, pemerintah lupa bahwa sesuai dengan amanat UU yang sama mereka perlu menstandardkan terlebih dahulu semua sekolah di tanah air. Pasal 35 menyatakan sebagai berikut: (1) Standar nasional pendidikan terdiri atas standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian pendidikan yang harus ditingkatkan secara berencana dan berkala. (2) Standar nasional pendidikan digunakan sebagai acuan pengembangan kurikulum, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, dan pembiayaan. Pertanyaan kita adalah bagaimana mungkin sebuah ujian berstandar nasional dijalankan bila standar isi, proses, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan dan pembiayaan belum distandarkan terlebih dahulu? Di sini ada sebuah kerancuan yang luar biasa. Permasalahan

kedua,

menyangkut

model

ujian

itu

sendiri.

Ujian

Nasional

yang

diselenggarakan selama ini hanya menguji aspek kognitif. Pengujiannya pun hanya menggunakan multiple choice. PP Nomor 19 tahun 2005 Pasal 25 ayat 4 yang menyatakan bahwa kompetensi lulusan seharusnya mencakup tiga aspek yaitu aspek sikap (afektif), pengetahuan (kognitif), dan keterampilan (psikomotorik). Namun realitanya, ujian nasional dari tahun ke tahun hanya mengukur satu aspek kompetensi kelulusan yakni aspek kognitif. Lebih jauh lagi, sebagaimana yang ditemukan oleh Astrid Chandrasari dkk. (Candrasari 2008) dalam ujian bahasa Inggris, tidak semua aspek dari bahasa yang diujikan. Sebagaimana ditulis Astrid dkk. dalam laporannya, mata pelajaran Bahasa Inggris



10


mempunyai karakteristik yang berbeda dengan mata pelajaran eksakta atau mata pelajaran ilmu sosial yang lain. Perbedaan ini terletak pada fungsi bahasa sebagai alat komunikasi. Hal ini mengindikasikan bahwa belajar bahasa Inggris bukan saja belajar kosakata dan tata bahasa

dalam

arti

pengetahuannya,

tetapi

harus

berupaya

menggunakan

atau

mengaplikasikan pengetahuan tersebut dalam kegiatan komunikasi. Dalam belajar bahasa, orang mengenal keterampilan reseptif dan keterampilan produktif. Keterampilan reseptif meliputi keterampilan menyimak (listening) dan keterampilan membaca (reading), sedangkan keterampilan produktif meliputi keterampilan berbicara (speaking) dan keterampilan menulis (writing). Baik keterampilan reseptif maupun keterampilan produktif perlu dikembangkan dalam proses pembelajaran bahasa Inggris. Kurikulum Nasional yang berlaku saat ini adalah Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Pelaksanaan KTSP mengacu pada Permendiknas Nomor 24 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Standar Isi dan Standar Kompetensi Lulusan. Dalam KTSP terdapat standar kompetensi lulusan tiap mata pelajaran pada tingkat tertentu yang terbagi menjadi beberapa topik. Sehingga aspek topik mata pelajaran bahasa Inggris tingkat SMP/MTs dapat digambarkan dalam table berikut. No

Aspek Topik Bahasa Inggris

1

Mendengarkan (Listening)

2

Berbicara (Speaking)

3

Membaca (Reading)

4

Menulis

Di bawah adalah table pemetaan soal bahasa Inggeris SMP dalam aspek topik, sebagaimana yang ditemukan oleh Astrid Chandrasari dkk.



11


Topik/Tahun Mendengarka n (Listening) Berbicara (Speaking) Membaca (Reading) Menulis (Writing) Jumlah Soal

2003/2004 X

2004/2005 X

2005/2006 V

2006/2007 X

X

X

X

X

V

V

V

V

X

X

X

X

60

60

50

50

Dari data ini kita melihat bahwa memang sejauh ini, pelaksanaan ujian nasional yang salah satu tujuannya mengukur standar nasional pendidikan di Indonesia belum sesuai dengan yang diharapkan. Artinya pelaksanaan ujian itu di lapangan masih parsial saja, karena belum bisa mengukur semua aspek yang telah disyaratkan oleh UU. Permasalahan ketiga,

menyangkut dampak Ujian Nasional terhadap penyelenggaraan

pendidikan di tanah air. Ada beberapa dampak langsung yang sebetulnya tidak baik bagi proses pendidikan di sekolah. Beberapa dampak langsung itu adalah sebagai berikut: a) Terjadi disorientasi dalam dunia pendidikan kita. Kita tahu bahwa tidak semua pelajaran diujikan dalam UN. Akibatnya, proses pembelajaran di sekolah cenderung lebih memfokuskan diri pada pelajaran yang diujikan di UN dan pelajaran yang lain hanya dijadikan pelengkap. b) Proses pembelajaran di sekolah menjadi tidak mempunyai makna pada dirinya melainkan melulu sebagai upaya untuk lulus UN saja. Maka itu terjadi pendrillan dan siswa harus menanggung beban yang berlebih. c) Memupuk berkembangnya sikap tidak terpuji. Demi lulus UN atau memperoleh hasil yang baik dalam UN, siswa dan kadang-kadang dibantu para guru, mempraktekan hal-hal yang tidak terpuji, seperti menyontek atau membagikan jawaban atas soal-soal yang diujikan. Dalam beberapa penyelenggaraan UN terakhir, kasus-kasus seperti ini terjadi di mana-mana. d) Mempersempit akses bagi orang-orang miskin untuk mendapat pendidikan yang



12


berkualitas. Dampak UN adalah semakin menjamurnya lembaga-lembaga kurusus dan bimbel. Hampir pasti yang bisa masuk ke sana adalah anak-anak kelas menengah ke atas. Dengan ekstra belajar mereka cenderung mendapat nilai yang lebih baik. Maka peluangnya untuk masuk ke lembaga pendidikan yang lebih bermutu akan semakin besar dibandingkan dengan anak-anak yang kurang mampu. Masih ada sangat banyak dampak UN yang tidak menguntungkan. Akan terlalu panjang bila disebutkan semu.

IV. Usulan Pemecahan Mencari jalan keluar yang terbaik bagi masalah pendidikan nasional kita secara umum dan UN secara khusus bukanlah perkara yang mudah. Persoalan yang kita hadapi dalam dunia pendidikan kita sangatlah kompleks dan rumit. Namun itu tidak berarti bahwa kita tidak mempunyai kapasitas untuk mengatasinya. Setidaknya kita pautut berbangga karena sebagai bangsa kita mempunyai cita-cita yang mulia akan manusia Indonesia seperti apa yang mau kita ciptakan lewat pendidikan kita. Lepas dari segala kontoversi dan kelemahan yang ada di dalamnya, UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional memberi kita arahan untuk itu. Berbagai peraturan pemerintah dan peraturan menteri sebagai landasan operasional pelaksanaan UU itu dalam dunia pendidikan kita pun cukup memadai. Persoalannya sekarang tinggal pada bagaimana agar pesan UU sisdiknas dan berbagai perangkat operasional terkait dapat benar-benar terwujud? Dari uraian di atas kita temukan bahwa ada gap yang sangat serius antara amanat UU dengan praktek pendidikan di tanah air. Gap inilah yang mendorong masyarakat untuk menafikan kehadiran UN dan cenderung menolaknya. Tidak salah kalau masyarakat menolak UN ketika pra-syarat untuk terselenggaranya UN itu belum terpenuhi. Amanat UU No 20/2003 pasal 35 ayat (1) bahwa Standar nasional pendidikan terdiri atas standar isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, dan penilaian



13


pendidikan yang harus ditingkatkan secara berencana dan berkala, haruslah terpenuhi terlebih dahulu baru ujian yang terstandard secara nasional dilaksanakan. Di lain pihak, kita sebagai bangsa mesti mempunyai suatu ujian yang sifatnya terstandar, untuk dapat mengukur mutu pendidikan secara nasional. PP No 10 Tahun 2005 Pasal 63 (1), menyebutkan, untuk penilaian kompetensi secara nasional, harus melalui ujian nasional, menguatkan hal itu. Selain itu, persoalan siapa yang paling berhak menenyelenggarakan ujian sangat deras dibicarakan. UU sudah dengan jelas menyatakan bahwa sekolah berwenang untuk itu. Namun di lain pihak dalam UU yang sama lembaga independen diberi wewenang untuk menyelenggarakan UN. Kontradiksi semacam ini harusnya tidak ada dalam sebuah UU yang sepenting UU Sisdiknas ini. Cakupan UN yang hanya menguji aspek kognitif patut dipersoalkan juga. Karena pilihan ini sejatinya menyalahi pesan UU. Termasuk di dalamnya patutlah dipertimbangkan bahwa UN membawa dampak langsung yang tidak baik bagi pendidikan kita secara nasional seperti yang telah diuraikan di atas. Dihadapan semua permasalahan ini, penilis ingin mengajukan beberapa tawaran seperti berikut: 1) Sebuah

ujian

berstandar

nasional

tetap

perlu

dilaksanakan.

Wewenang

pelaksanaannya ada pada sekolah. Hal-hal yang menjadi tanggung jawab sekolah adalah materi yang diuji, dimana harus memperhatikan amanat UU untuk menguji semua aspek yang telah disebut di atas, yakni kognitif, afektif dan psikomotor. Kewajiban pemerintah adalah kewajiban pengawasan. Pemerintah wajib mengawasi secara ketat pelaksanaan ujian yang dimaksud. 2) Untuk memastikan standar ujian, pemerintah wajib menyediakan tenaga ahli untuk memeriksa materi ujian yang disiapkan sekolah. Dan pemerintah ikut bertanggungjawab penuh untuk memeriksa dan menilai hasil ujian siswa. 3) Keputusan kelulusan siswa tidak melulu ada pada sekolah, tetapi juga melibatkan pemerintah dalam hal ini depdiknas dengan memperhatikan hasil yang dicapai siswa



14


dari seluruh proses pendidikan yang telah dijalaninya serta hasil ujian akhir yang dicapainya. Penulis yakin, bila usulan di atas dapat dijalani, sebagain besar persoalan seputar UN akan teratasi pula. V.

Kesimpulan

Saya ingin menutup tulisan ini dengan menegaskan kembali beberapa pokok yang terkait dengan UN kita.

Pertama, UN harus dilaksanakan sesuai dengan amanat UU. Sejauh ini, pelaksanaan UN belm sepenuhnya mematuhi amanat UU terutama berkaitan dengan cakupan ujiannya dan terpenuhinya pra-syarat bagi terlaksananya UN itu. Penekanan berlebih pada aspke kognitif sudah saatnya harus ditinggalkan. Selain itu pemerintah perlu juga memenuhi kewajibannya untuk melaksanakan amanat UU No 20/2003 pasal 35 tentang standar mutu pendidikan nasional sebelum UN dapat dilaksanakan.

Kedua, Ada banyak persoalan yang timbu terkait dengan UN. Ada bebrapa dampak buruk yang terjadi yang sejatinya bertentangan dengan semangat pendidikan nasional itu sendiri. Sebut saja di antaranya adalah UN memupuk terjadinya praktek kecurangan di sekolahsekolah serta tidak adil untuk banyak sekolah yang ada di pelosok tanah air.

Ketiga, Pemerintah perlu segera mencari langkah terobosan untuk mengatasi gap antara amanat UU tentang system pendidikan nasional plus ujian nasionalnya dengan situasi riil system pendidikan kita di lapangan serta praktek ujiannya.

Keempat, langkah terobosan yang dianjurkan penulis dapat dipertimbangkan sebagai salah satu jalan keluar untuk mengatasi persoalan seputar UN. Harapannya, langkah terobosan ini dapat membuat sistem pendidikan kita semakin maju dan menghasilkan manusia Indonesia yang berilmu, beraklak mulia, sehat dan bermoral seperti yang diamanatkan UU.



15


REFERENCE: Airasian, P. W., Russell, M. K. (2008). CLASSROOM ASSESSMENT: Concepts and Application. Boston, McGraw-Hill. Blank, R. K., Porter, A., Smithson, J. (2001). New Tools for Analyzing Teaching, Curriculum and Standard in Mathematics & Science. Washington DC, Council of Chief State School Officers. Candrasari, A., Yunengsih, Y., Widiatmika I M. A., Yuliana, M., (2008). UJIAN NASIONAL: DAPATKAH MENJADI TOLAK UKUR STANDAR NASIONAL PENDIDIKAN? Jakarta, Sampoerna Foundation. Johnson, D. W., Johnson, Roger T., (2002). MEANINGFUL ASSESSMENT: A Manageable and Cooperative Process. Boston, Allyn & Bacon. Wiggins, G., McTighe, J. (2005). Understanding by Design. Alexandria, VA, ASCD. Wilson, J., Wing Jan, L., (1999). Thinking for Themselves: Developing Strategis for Reflective Learning. Armadale, Australia, Eleanor Curtain Publishing. Wing Jan, L., Wilson, J., (1998). Integrated Assessment. Oxford, Oxford University Press.

UU dan Peraturan Pemerintah: 
 UU No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional 
 Peraturan Mendiknas No. 39 tahun 2007, PP No 19 tahun 2005 Rencana Strategis Diknas 2005 – 2009 




16


Related Documents