1
UJI ANESTESI LOKAL PADA MENCIT BAHAN FARMAKOLOGI DAN TERAPI
OLEH: necel NIM xx.xxxxx.xxxxx.09
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MULAWARMAN 2007
2
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anestesi (pembiusan; berasal dari bahasa Yunani an-"tidak, tanpa" dan aesthētos, "persepsi, kemampuan untuk merasa"), secara umum berarti suatu tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh. (Wikipedia, 2007) Penggunaan anastesi lokal untuk pencegahan rasa sakit selama operasi, dimulai lebih dari 100 tahun yang lalu sewaktu Kaller (1884) seorang opthalmologist di Wina, mencatat kegunaan dari kokain suatu ester dari asam para amino benzoat (PABA), dalam menghasilkan anstesi korneal. (Rusda, 2004) Anastesi injeksi yang pertama adalah ester lain dari PABA yaitu Procaine yang disintesa oleh Einhorn pada tahun 1905. Obat ini terbukti tidak bersifat addiksi dan jauh kurang toksik dibanding kokain. Ester-ester lain telah dibuat termasuk Benzocaine, Dibucaine, Tetracaine dan Chloroprocaine, dan semuanya terbukti sedikit toksisitasnya, tetapi kadang-kadang menunjukkan sensitisasi dan reaksi alergi. (Rusda, 2004) Penelitian untuk anastesi lokal terus berlangsung sehingga banyak obatobat dengan berbagai keuntungan dapat digunakan pada saat ini. Oleh sebab itu, sebagai mahasiswa kedokteran harus mempelajari bagaimana memilih jenis obat anastesi lokal yang akan digunakan dan cara penggunaannya. B. Tujuan Membandingkan efek farmakologik lidokain dengan dan tanpa adrenalin yang diberikan secara topical pada mukosa mata kelinci.
3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Anastesi Lokal Anestetik lokal ialah obat yang menghambat hantaran saraf bila dikenakan secara local pada jaringan saraf dengan kadar cukup. Anastetik local sebaiknya tidak mengiritasi dan tidak merusak jaringan saraf secara permanen. Kebanyakan anastetik local memenuhi syarat ini. Batas keamanan harus lebar, sebaba anastetik lokal akan diserap dari tempat suntikan. Mula kerja harus sesingkat mungkin, sedangkan masa kerja harus cukup lama sehingga cukup waktu untuk melakukan tindakan operasi, tetapi tidak demikian lama sampai memperpanjang masa pemulihan. Zat anastetik local juga harus larut dalam air, stabil dalam larutan, dapat disterilkan tanpa mkengalami perubahan. (Katzung, 1997) 1. Kimiawi Umumnya obat anastesi local terdiri dari sebuah gugus lipofilik (biasanya sebuah cincin aromatic) yang berikatan dengan sebuah rantai perantara (umumnya termasuk suatu ester atau amida) yang terikat pada satu gugus terionisasi (biasanya suatu amin tersier). Aktivitas optimal memerlukan keseimbangan yang tepat antara gugus lipofilik dan kekuatan hidrofilik. Penambahan sifat fisik molekul, maka konfigurasi stereokimia spesifik menjadi penting, misalnya perbedaan potensi stereoisomer telah diketahui untuk beberapa senyawa. Karena ikatan ester (seperti prokain) lebih mudah terhidrolisis dari ikatan amida maka lama kerja ester biasanya lebih singkat. Anastesi local bersifat basa lemah. Untuk aplikasi terapeutik, biasanya dibuat sebagai garam agar mudah larut dan lebih stabil. Di dalam tubuh obat akan menjadi basa tanpa muatan atau sebagai kation. (Katzung, 1997) 2. Absorbsi Absorbsi sistemik suntikan anastesi lokal dari tempat suntikan dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain dosis, tempat suntikan, ikatan obatjaringan, adanya bahan vasokonstriktor dan sifat fisikokimia obat. Aplikasi anastesi local pada daerah yang kaya vcaskularisasinya seperti mukosa trakea menyebabkan penyerapan obat yang sangat cepat dan kadar obat dalam darah yang lebih tinggi dibandingkan tempat yang perfusinya jelek seperti tendon. Untuk anatesi regional yang menghambat saraf yang besar kadar darah maksimum anastesi local menurun sesuai dengan tempat pemberian yaitu: interkostal (tertinggi) > caudal > epidural > pleksus brachialis > saraf ischiadicus (terendah). Bahan vasokontriktor seperti epinefrin mengurangi penyerapan sistemik anastesi lokal dari tempat tumpukan obat dengan mengurangi aliran darah di daerah ini. Keadaan ini menjadi nyata terhadap obat yang masa kerjanya singkat atau lemah seperti prokain, lodokain, dan mepivakain (tidak untuk prilokain). Ambilan obat oleh saraf diduga diperkuat oleh kadar obat local yang tinggi dan efek toksik sistemik obat akan berkurang karena kadar obat yang masuk dalam darah hanya sepertiganya saja. Kombinasi pengurangan
4
penyerapan sistemik dan peningkatan ambilan saraf inilah yang memungkinkan perpanjangan efek anastesi local sampai 50%. Vasokonstriktor kurang efektif dalam memperpanjang sifat anastesi obat yang mudah larut dalam lipid dan bekerja lama (bupivakain, etidokain) mungkin karena molekulnya sangat erat terikat dalam jaringan. Selain itu katekolamin mungkin mempengaruhi fungsi neuronal antara lain meningkatkan analgesia terutama pada medulla spinalis. (Katzung, 1997) 3. Ditribusi Anastesi local amida disebar meluasa dalam tubuh setelah pemberian bolus intravena. Bukti menunjukkan bahwa penyimpanan obat mungkin terjadi dalam jaringan lemak setelah fase distribusi awal yang cepat yang mujngkin menandakan ambilan kedalam organ yang perfusinya tinggi seperti otak, hati, ginjal dan jantung, diikuti oleh fase distribusi lambat yang terjadi karena ambilan dari jaringan yang perfusinya sedang seperti otot dan usus. Karena waktu paruh plasma yang sangat singkat dari obat tipe ester, maka distribusinya tidak diketahui. (Katzung, 1997) 4. Metabolisme dan Ekskresi Anastesi lokal diubah dalam hati dan plasma menjadi metabolit yang mudah larut dalam air dan kemudian diekskresikan ke dalam urin. Karena anastesi lokal yang bentuknya tak bermuatan mudah berdifusi melalui lipid, maka sedikit atau tidak ada sama sekali bentuk netralnya yang diekskresikan. Pengasaman urin akan meningkatkan ionisasi basa tersier menjadi bentuk bermuatan yang mudah larut dalam air, sehingga mudah diekskresikan karena bentuk ini tidak mudah diserap kembali oleh tubulus ginjal. (Katzung, 1997) Tipe ester anastesi lokal dihidrolisis sangat cepat di dalam darah oleh butirilkolinesterase (Pseudocolinesterase). Oleh karena itu, obat ini khas sekali mempunyai waktu paruh yang sangat singkat, kurang dari 1 menit untuk prokain dan kloroprokain. (Katzung, 1997) Ikatan amida dari anastesi lokal amida dihidrolisis oleh enzim mikrosomal hati. Kecepatan metabolisme senyawa amida didalam hati ini bervariasi bagi setiap individu, perkiraan urutannya adalah prilokain (tercepat) > etidokkain > lidokain > mepivakain > bupivakain (terlambat). Akibatnya, toksisitas dari anestesi lokal tipe amida ini akan meningkat pada pasien dengan gangguan fungsi hati. Penurunan pembersihan anestesi lokal oleh hati ini harus diantisipasi dengan menurunkan aliran darah ke hati. Sebagai contoh, pembersihan lidokain oleh hati pada binatang yang dianestesi dengan halotan lebih lambat dari pengukuran binatang yang diberi nitrogen oksida dan kurare. Penurunan pembersihan ini berhubungan dengan penurunan aliran darah ke dalam hati dan penekanan mikrosom hati karena halotan. Propanolol dapat memperpanjang waktu paruh anestesi lokal amida. (Katzung, 1997) 5. Mekanisme Kerja Membran yang mudah terangsang dari akson saraf, mirip dengan membran otot jantung dan badan sel saraf, mempertahankan potensial transmembran sekitar -90 sampai -60 mV. Selama eksitasi, saluran natrium terbuka, dan arus natrium yang masuk cepat ke dalam sel dengan cepat mendepolarisasi membran ke arah keseimbangan potensial natrium (+40 mV). Sebagai akibat depolarisasi ini, maka saluran natrium menutup (inaktif) dan saluran kalium terbuka. Aliran kalium keluar sel merepolarisasi membran ke arah
5
keseimbangan potensial kalium (sekitar -95 mV); terjadi lagi repolarisasi saluran natrium menjadi keadaan istirahat. Perbedaan ionik transmembran dipertahankan oleh pompa natrium. Sifat ini mirip dengan yang terjadi pada otot jantung, dan anestesi lokalpun mempunyai efek yang sama pada kedua jaringan tersebut. (Katzung, 1997) Anestesi lokal mengikat reseptor dekat ujung intrasel saluran dan menghambat saluran dalam keadaan bergantung waktu dan voltase. Bila peningkatan konsentrasi secara progresif anestesi lokal digunakan pada satu serabut saraf, nilai ambang eksitasinya meningkat, konduksi impuls saraf melambat, kecepatan munculnya potensial aksi menurun, ampltudo potensial aksi mengecil, dan akhirnya kemampuan melepas satu potensial aksi hilang. Efek yang bertambah tadi meupakan hasil dari ikatan anestesi lokal terhadap banyak dan makin banyak saluran natrium; pada setiap saluran, ikatan menghasilkan hambatan arus natrium. Jika arus ini dihambat melebihi titik kritis saraf, maka propagasi yang melintas daerah yang dihambat ini tidak mungkin terjadi lagi. Pada dosis terkecil yang dibutuhkan untuk menghambat propagasi, potensial istirahat jelas tidak terganggu. (Katzung, 1997) Penghambatan saluran natrium oleh anestesi lokal adalah bergantung pada voltase dan waktu: Saluran dalam keadaan istirahat mempunyai afinitas yang lebih rendah terhadap anestesi lokal daripada keadaan diaktifkan. Oleh karena itu, efek dari kadar obat yang diberikan makin jelas pada akson yang meletup cepat daripada serat dalam keadaan istirahat. (Katzung, 1997) Peningkatan kalsium ekstrasel sebagian mengantagonisir kerja anestesi lokal. Kebalikan ini disebabkan oleh peningkatan potensial di permukaan membran karena kalsium, sehingga menimbulkan keadaan istirahat yang berafinitas rendah. Sebaliknya, peningkatan kalium ekstrasel mendepolarisasi potensial membran dan cocok untuk keadaan inaktif. Keadaan ini memperkuat efek anastesi lokal. (Katzung, 1997) Kerja anestesi lokal juga dipengaruhi : 1) pka : Obat anestesi lokal yang mempunyai pka mendekati PH fisiologis mis: 7,4 akan mempunyai konsentrasi basa nonionisasi yang tinggi dan akan mudah menembus membran sel syaraf sehingga “ onset of action “ akan lebih cepat. 2) Lipid Solubility : Kemampuan obat anastesi lokal untuk menembus lingkungan hydrophobic sehingga makin mudah larut dalam lemak, maka “duration of action” semakin panjang. 3) Protein Binding : Obat anastesi lokal yang berikatan dengan plasma protein (α1-acid glycoprotein), maka “duration of action” obat anastesi lokal menjadi lebih panjang. Oleh karena itu sangat hati-hati pada pasien dengan plasma protein yang rendah, dan obat akan bebas dalam sirkulasi darah sehingga akan timbul efek toksik pada pasien. (Rusda, 2004) 6. Perbedaan Sensitivitas Serat Saraf Pada umumnya serabut kecil lebih peka terhadap anestetik lokal. Serabut saraf terkecil yang tidak bermielin umumnya lebih cepat dihambat daripada serabut bermielin. Faktor lain yang menentukan kepekaan saraf terhadap anestetik lokal ahíla tipe serabut secara anatomis. Kepekaan serabut saraf terhadap anestetik lokal tidak tergantung dari fungsi serabut itu, dengan demikian serabut sensorik maupun motorik yang sama besar tidak berbeda kepekaannya. Kepekaan serabut halus bermielin melebihi kepekaan serabut besar bermielin. Sekiranya tempat kerja anestetik lokal berlokasi dalam eksoplasma, maka
6
serabut halus yang memiliki permukaan lebih luas per unit volume akan menyerap anestetik lokal lebih cepat daripada serabut besar dan dapat dimengerti bahwa serabut kecil akan lebih cepat mengalami efek anestetik lokal. (Syarif dan Sunaryo, 2007) Dengan alasan yang sama eliminasi anestetik lokal harus berlangsung lebih cepat pada serabut halus. Namun, kenyataan tidak sesuai dengan pemikiran ini. Serabut halus memang mengalami efek anestetik lokal lebih cepat, tetapi pemulihan fungsi serabut halus lebih lambat daripada serabut besar. (Syarif dan Sunaryo, 2007) 7. Komplikasi Menurut De Jong respons yang tidak enak / tidak dapat dikendalikan dari anastesi lokal sering disebut “reaksi” yang dibagi terpisah dalam 2 kategori, yaitu reaksi sistemik dan reaksi lokal. (Rusda, 2004) Reaksi sistemik terjadi jika obat menyebar dalam darah dan memungkinkannya mencapai organ-organ yang jauh. Efek sistemik yang disebabkan oleh zat anastesi lokal paling banyak melibatkan susunan syaraf pusat (SSP) dan sistem kardiovaskuler. Pada umumnya SSP lebih sensitif terhadap anastesi lokal daripada kardiovaskuler . Oleh karena itu manifestasi pada SSP cenderung terjadi lebih cepat. Reaksi sistemik tergantung dari dosis, sehingga makin tinggi konsentrasi obat anastesi lokal dalam darah, makin jelas responsnya. Oleh karena itu tindakan untuk menurunkan kadar anastesi lokal dalam darah (seperti penggunaan gabungan dengan dosis kecil suatu vasokonstriktor untuk mengurangi absorbsi) dapat mengurangi reaksi sistemik. (Rusda, 2004) Epinefrin mengurangi kecepatan absorbsi anastesi lokal sehingga akan mengurangi juga toksisitas sistemiknya. Dalam klinik, larutan suntik anastesi lokal biasanya mengandung epinefrin (1 dalam 200.000 bagian), norepinefrin (1 dalam 100.000 bagian). Pada umumnya zat vasokonstriktor ini harus diberikan dalam kadar efektif minimal. (Syarif dan Sunaryo, 2007) Reaksi lokal berupa nyeri pada penyuntikan, rasa terbakar, anastesia persisten, infeksi, edema, toksisitas lokal. (Rusda, 2004) B. Refleks Kornea Refleks kornea atau refleks kedip adalah gerak involunter berupa kedipan dari kelopak mata yang disebabkan oleh stimulasi (seperti sentuhan atau benda asing) di permukaan kornea. Refleks ini bertujuan untuk melindungi mata dari benda asing dan cahaya yang terlalu terang. Selain itu refleks kedip juga terjadi jika ada bunyi yang lebih besar dari 40-60dB (Garde dan Cowey, 2000) Refleks ini melibatkan : 1. Cabang nasosiliaris dari cabang optalmicus nervus V yang menerima rangsang dari kornea. 2. Dan nervus VII yang menginisiasi respon motor. Pemeriksaan refleks kornea merupakan bagian dari tes neurologis yang biasa dilakukan pada pemeriksaan pasien koma. Kerusakan dari cabang V1 dari nervus V akan menyebabkan hilangnya refleks kornea. Stimulasi di salah satu kornea akan menyebabkan menutupnya kedua kelopak mata. Jalur refleks ini melibatkan divisi optalmicus nervus V yang melewati sensor utama nukleus nervus V. (Wikipedia, 2008)
7
BAB III METODE PERCOBAAN A. Alat dan Bahan - Alat-alat : gunting, stop watch - Bahan : Kapas, lidokain dan lidokain + adrenalin - Hewan coba : kelinci B. Cara Kerja - Menggunting bulu mata kelinci - Melakukan pengamatan: refleks kornea dan keadaan pembuluh darah konjungtiva sebelum diberikan obat (kelompok kontrol) - Meneteskan mata kanan dua tetes lidokain dan mata kiri dua tetes lidokain + adrenalin - Melakukan pengamatan refleks kornea dan keadaan pembuluh darah konjungtiva setiap 5 menit sampai 90 menit setelah pemberian obat (kelompok perlakuan). C. Uji statistik yang digunakan Data yang ada di tabulasi dan disajikan dalam bentuk tabel dan grafik dengan menggunakan komputer program Microsoft Office Excel 2003.
8
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
KEL KEL I
KEL II
KEL III
KEL IV
KEL V
KEL VI
A. Hasil Pengamatan Tabel 1 : Perbandingan efek obat pada refleks kornea dan kemerahan pada conjunctiva bulbi Waktu Pengamatan (menit) Mata JENIS PENGAMATAN 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 + + + KANA Reffleks Cornea N (A) Kemerahan Conjunctiva bulbi + + + + + + + + + + + + Reffleks Cornea KIRI (B) Kemerahan Conjunctiva bulbi + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + KANA Reffleks Cornea N (A) Kemerahan Conjunctiva bulbi + + + + + + + + Reffleks Cornea + + + + + + + + + KIRI (B) Kemerahan Conjunctiva bulbi + + + + + + + + + + + + + + + KANA Reffleks Cornea N (A) Kemerahan Conjunctiva bulbi + + + + + Reffleks Cornea + + + + KIRI (B) Kemerahan Conjunctiva bulbi + + + + + + + + + + + + + + + + + + + KANA Reffleks Cornea N (A) Kemerahan Conjunctiva bulbi + + + + + + + + + + + + Reffleks Cornea + + + + + + + + + + + + KIRI (B) Kemerahan Conjunctiva bulbi + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + + KANA Reffleks Cornea N (A) Kemerahan Conjunctiva bulbi + + + + + + + + + + + + Reffleks Cornea + + + KIRI (B) Kemerahan Conjunctiva bulbi + + + + + + + + + + + + + + + + + KANA Reffleks Cornea N (A) Kemerahan Conjunctiva bulbi + + + + + + + + + + + + Reffleks Cornea + + + KIRI (B) Kemerahan Conjunctiva bulbi + + + + + + + + + + + +
65 + + + + + + + + + + + + + + +
70 + + + + + + + + + + + + + +
75 + + + + + + + + + + + +
80 + + + + + + + + + + +
85 + + + + + + + + + + + +
90 + + + + + + + + + + +
9
Nilai mean + SE Refeks cornea (obat A)
0,8 3+ 3,6 5
1,6 7+ 3,6 5
5 + 3,6 5
Nilai mean + SE Refeks cornea (obat B)
0,8 3+ 2,6 3 5 + 2,8 0
1,6 7+ 2,6 3 10 + 2,8 0
5 + 3,0 4
10 + 3,0 4
Nilai mean + SE Kemerahan Conj. bulbi (obat A)
Nilai mean + SE Kemerahan Conj. bulbi (obat B)
16, 67 + 3,6 5 12, 5+ 2,6 3 25 + 2,8 0
25 + 3,6 5
2,5 + 2,6 3 15 + 2,8 0
13, 33 + 3,6 5 10 + 2,6 3 20 + 2,8 0
15 + 3,0 4
20 + 3,0 4
25 + 3,0 4
30 + 3,0 4
20 + 2,6 3 25 + 2,8 0
29, 16 + 3,6 5 17, 5+ 2,6 3 29, 17 + 2,8 0 35 + 3,0 4
33, 33 + 3,6 5 20 + 2,6 3 33, 33 + 2,8 0 33, 33 + 3,0 4
30 + 3,6 5
41,6 7+ 3,65
22, 5+ 2,6 3 30 + 2,8 0
25 + 2,63
30 + 3,0 4
33,3 3+ 3,04
33,3 3+ 2,80
45, 83 + 3,6 5 27, 5+ 2,6 3 36, 66 + 2,8 0 36, 66 + 3,0 4
50 + 3,6 5 30 + 2,6 3 40 + 2,8 0 40 + 3,0 4
43, 33 + 3,6 5 32, 5+ 2,6 3 43, 33 + 2,8 0 43, 33 + 3,0 4
46, 66 + 3,6 5 35 + 2,6 3 46, 66 + 2,8 0 35 + 3,0 4
37, 5 + 3,6 5 37, 5+ 2,6 3 37, 5+ 2,8 0
40 + 3,6 5
42, 5+ 3,6 5
30 + 3,6 5
26, 7+ 2,6 3 40 + 2,8 0
28, 3+ 2,6 3 42, 5+ 2,8 0
30 + 2,6 3 45 + 2,8 0
56, 66 + 3,0 4
37, 5+ 3,0 4
42, 5+ 3,0 4
45 + 3,0 4
TABEL 2: Perbandingan efek obat pada refleks cornea dan kemerahan pada conjugtibva bulbi Refleks Kornea Menit Ke- (menit) Jenis obat
EFEK
KEL I
KEL II
KEL III
KEL IV
KEL V
KEL VI
MEAN
SE
Mula Kerja Obat
50’
20’
30’
5’
15’
20’
23,33
5,73
Lama Kerja Obat
40’
50’
30’
85’
70’
20’
49,17
9,16
Obat A
10
Mula Kerja Obat
-
20’
30’
5’
50’
20’
25
6,06
Lama Kerja Obat
-
70’
15’
85’
25’
10’
41,00
12,48
Obat B
Kemerahan pada conjugtiva bulbi Menit Ke- (menit) Jenis obat
EFEK
KEL I
KEL II
KEL III
KEL IV
KEL V
KEL VI
MEAN
SE
Mula Kerja Obat
5’
5’
5’
5’
5’
5’
5
0
Lama Kerja Obat
85’
35’
20’
85’
65’
85’
62,5
10,66
Mula Kerja Obat
5’
5’
5’
5’
5’
5’
5
0
Lama Kerja Obat
85’
35’
30’
85’
60’
85’
63,33
9,62
Obat A
Obat B
11
Grafik
Perbandingan Efek Obat pada Kemerahan pada Conjunctiva Bulbi
Perbandingan Efek Obat pada Refleks Kornea
50 40 mean
mean refleks
60
30 20 10 0 1
2
3
4
5
6
7
8
60 50 40 30 20 10 0 1
9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
3
4
5
6
7
8
9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
menit
menit
Obat A
Obat B
Obat A
Obat B
Perbandingan Lama Kerja Obat pada Reflex Kornea
Perbandingan Mula Kerja Obat pada Refleks Kornea 60
100
40
80
Menit
Menit
2
20
60 40 20
0 1
2
3
4
5
6
Kelompok
0 1
2
3
4
Kelompok
Obat A
Obat B
Obat A
Obat B
5
6
12
Perbandingan Lama Kerja Obat pada Kemerahan pada Conjunctiva Bulbi
6 4 2 0
Menit
Menit
Perbandingan Mula Kerja Obat pada Kemerahan pada Conjunctiva Bulbi
1
2
3
4
5
6
Kelompok
100 80 60 40 20 0 1
2
3
4
Kelompok
Obat A
Obat B
Obat A
Obat B
5
6
13
B. Pembahasan Pada percobaan refleks kornea pada obat A rata-rata awal kerja obat terjadi pada menit ke 23. Berdasarkan literatur, Lidokain mempunyai mula kerja yang lama dengan lama kerja yang sedang tetapi terjadi perbedaan yang signifikan pada tiap-tiap kelompok. Ternyata dari data yang di dapatkan timbul efek tercepat pada menit ke 5 dan mula kerja obat yang paling lambat pada menit ke 50. Lama kerja obat A rata-rata 49,17 menit. Lama kerja yang paling singkat adalah 20 menit dan yang paling lama selama 85 menit. Sedangkan pada obat B rata-rata awal mula kerja obat terjadi pada menit ke 25. Efek tercepat timbul pada menit ke 5 dan yang paling lambat pada menit ke 50. Adapula yang tidak menimbulkan reaksi pada hewan coba. Lama kerja obat B rata-rata selama 41 menit. Lama kerja yang paling singkat adalah 10 menit dan yang paling lama selama 85 menit. Maka dapat disimpulkan bahwa obat A itu mempunyai lama kerja yang lebih panjang dibandingkan obat B. Hal itu terjadi karena pada obat A ada penambahan adrenalin pada komposisi obat anastesi lokal. Adrenalin berefek dalam memperpanjang kerja anastesi lokal. Efek ini timbul dengan memvasokontriksi di tempat suntikan sehingga memungkinkan obat anastesi menetap lebih lama ditempat suntikan sebelum diserap dan dimetabolisme. Penambahan adrenalin juga akan menurunkan tingkat absorbsi obat anastesi sehingga menurunkan toksisitas sistemik. Dalam mengamati respon kemerahan, pemberian adrenalin pada obat A seharusnya memberikan efek kerja obat yang lebih panjang daripada obat B. Akan tetapi dari hasil percobaan rata-rata lama kerja obat B lebih panjang dibandingkan obat A walaupun tidak terlalu signifikan perbedaan nilainya. Mungkin hal ini terjadi dikarenakan oleh kesalahan dalam menilai respon kemerahan pada konjungtiva bulbi dan respon individu kelinci yang bervariasi.
14
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan Anestetik lokal ialah obat yang menghambat hantaran saraf bila dikenakan secara local pada jaringan saraf dengan kadar cukup Obat anestesi local digolongkan menjadi 2 kelompok besar, yakni golongan amida dan golongan ester.. Adrenalin berefek dalam memperpanjang kerja anastesi lokal. Hal tersebut disebabkan vasokonstriksi lokal di daerah tempat suntikan sehingga memungkinkan obat anestesi menetap lebih lama di tempat suntikan sebelum dimetabolisme oleh tubuh. Penambahan adrenalin juga akan menurunkan tingkat absorbsi obat anastesi sehingga menurunkan toksisitas sistemik. Dari percobaan yang dilakukan, didapat hasil bahwa efek kerja obat A lebih panjang jika dibandingkan dengan obat B Efek anastesi local pada conjunctiva adalah terjadi perubahan warna conjunctiva dari merah menjadi putih, kemudian sesuai dengan durasi anastesi kembali ke warna merah. Dalam mengamati respon kemerahan, pemberian adrenalin pada obat A seharusnya menunjukkan efek kerja obat yang lebih panjang daripada obat B. Namun hasil yang didapat adalah efek kerja obat B lebih panjang daripada obat A, walaupun hasilnya tidak terlalu signifikan. Hal tersebut disebabkan terjadinya kesalahan dalam menilai respon kemerahan pada conjunctiva..
B. Saran Diharapkan pada praktikan untuk dapat memahami teori dan menyamakan persepsi pada saat pengamatan dilakukan sehingga tidak terjadi perbedaan dalam pengumpulan data praktikum. Pemahaman metode percobaan perlu ditingkatkan agar tidak terjadi kesalahan prosedur dalam melakukan percobaan.
15
DAFTAR PUSTAKA
Garde MM & Cowey A. 2000. Deaf Hearing : Unacknowledged Detection of Auditory Stimuli in a Patient with Cerebral Deafness. Cortex 36 . (online), hal. 71–80, (http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/10728898, diakses 12 Maret 2008) Katzung, BG. 1997. Farmakologi Dasar dan Klinik, edisi 6. EGC : Jakarta, hal. 414-417 Rusda, Muhammad. 2004. Anastesi Infiltrasi pada Episiotomi. (online), (http://library.usu.ac.id/download/fk/obstetri-rusda2.pdf, diakses 23 Maret 2008) Syarif A & Sunaryo. 2007. Kokain dan Anastetik Lokal Sintetik. Dalam : Farmakologi dan Terapi, edisi 5. Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia : Jakarta, hal. 260-261 Wikipedia. 2008. Anestesi. (online), (http://en.wikipedia.org/wiki/Lidocaine : lidocaine-wikipedia, diakses 28 Februari 2008)
16
Trims 4 downloading. See the next chapter of necel publication
Made under authority of Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman`s student
For further information please visit: necel.wordpress.com
Copyright © necel 2007 Free to distributed and copied as if nothing of part of this document isn`t deleted or changed.