Tutorial.docx

  • Uploaded by: evanfaishal
  • 0
  • 0
  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Tutorial.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 6,351
  • Pages: 30
Laboratorium Ilmu Kedokteran Jiwa

Tutorial Klinik

Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman

Percobaan bunuh Diri

Oleh: Evan Faishal Mahadinata

NIM. 1810029012

Riski Ayu Rimadani

NIM. 1810029013

Pembimbing: dr. H. Jaya Mu’alimin, Sp.KJ, M.Kes Dibawakan Dalam Rangka Tugas Kepaniteraan Klinik Laboratorium Ilmu Kedokteran Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman Samarinda 2018

TUTORIAL KLINIK

Percobaan Bunuh Diri

Sebagai salah satu tugas kepaniteraan klinik di Laboratorium Ilmu Kedokteran Jiwa

Evan Faishal Mahadinata

NIM. 1810029012

Riski Ayu Rimadani

NIM. 1810029013

Menyetujui,

dr. H. Jaya Mu’alimin, Sp.KJ, M.Kes LABORATORIUM ILMU KEDOKTERAN JIWA PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MULAWARMAN SAMARINDA November 2018

i

KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, berkat rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas Tutorial Klinik tentang “Percobaan Bunuh Diri”. Tutorial klinik ini dibuat dalam rangka tugas kepaniteraan klinik di Laboratorium Ilmu Kedokteran Jiwa Rumah Sakit Jiwa Daerah Atma Husada Mahakam Samarinda. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih kepada : 1. dr. Ika Fikriah, M. Kes, selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman. 2. dr. Soehartono, Sp. THT-KL, selaku Ketua Program Studi Profesi Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman. 3. dr. H. Jaya Mu’alimin, Sp. KJ, selaku Kepala Laboratorium Ilmu Kedokteran Jiwa Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman dan selaku dosen pembimbing Tutorial Klinik. 4. Seluruh pengajar yang telah mengajarkan ilmunya kepada penulis hingga pendidikan saat ini. 5. Rekan sejawat Dokter Muda 59 stase Ilmu Kesehatan Jiwa yang telah bersedia memberikan saran dan mengajarkan ilmunya pada penulis. 6. Seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu oleh penulis. Penulis menyadari terdapat ketidaksempurnaan dalam penyusunan tutorial klinik ini, sehingga penulis mengharapkan kritik dan saran demi penyempurnaan. Akhir kata, semoga dapat bermanfaat bagi penulis sendiri dan para pembaca.

Samarinda, November 2018 Penulis

ii

DAFTAR ISI

TUTORIAL KLINIK ............................................................................................... i KATA PENGANTAR ............................................................................................ ii DAFTAR ISI .......................................................................................................... iii BAB I ...................................................................................................................... 1 1.1. Latar Belakang ......................................................................................... 1 BAB II ..................................................................................................................... 2 2.1. Definisi ..................................................................................................... 2 2.2. Epidemiologi ............................................................................................ 2 2.3. Faktor Risiko ............................................................................................ 2 2.4. Etiologi ................................................................................................... 11 2.5. Gambaran Klinis dan Diagnosis ............................................................. 15 2.6. Prediksi ................................................................................................... 17 2.7. Terapi ...................................................................................................... 17 BAB III ................................................................................................................. 23 3.1. Kesimpulan ............................................................................................. 23 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 24

iii

iv

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Setiap tahun, lebih dari 800 000 orang mengambil kehidupan mereka sendiri dan ada lebih banyak orang yang mencoba bunuh diri. Setiap bunuh diri adalah tragedi yang mempengaruhi keluarga, masyarakat,dan juga negara dan memiliki efek jangka panjang pada orang-orang yang ditinggalkan. Bunuh diri yang terjadi selama kehidupan dan merupakan penyebab utama kedua kematian pada orang berusia antara 15-29 tahun menurut data global WHO pada tahun 2012. Bunuh diri tidak hanya terjadi di negara-negara berpenghasilan tinggi, tetapi merupakan fenomena global di semua wilayah di dunia. Bahkan, 75% dari kasus bunuh diri global yang terjadi di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah pada tahun 2012. Data di Indonesia menurut WHO angka bunuh diri di Indonesia mencapai 1,6 hingga 1,8 per 100.000 jiwa. Tema utama pada kasus bunuh diri ini umumnya meliputi suatu krisis yang menyebabkan penderitaan yang mendalam (intens) disertai perasaan tak berdaya dan taka da harapan, konflik antara keinginan untuk bertahan dengan stress yang tak tertanggungkan lagi, persepsi pasien bahwa ia tak mempunyai banyak pilihan lagi, dan keinginan untuk melepaskan dirinya dari masalahnya. Bunuh diri merupakan masalah kesehatan masyarakat yang serius. Namun, bunuh diri dapat dicegah dengan tepat waktu dan dengan penanganan yang tepat.

1

BAB II PEMBAHASAN 2.1. Definisi Secara umum, bunuh diri berasal dari bahasa Latin “suicidium”, dengan “sui” yang berarti sendiri dan “cidium” yang berarti pembunuhan. Schneidman mendefinisikan bunuh diri sebagai sebuah perilaku pemusnahan secara sadar yang ditujukan pada diri sendiri oleh seorang individu yang memandang bunuh diri sebagai solusi terbaik dari sebuah isu. Dia mendeskripsikan bahwa keadaan mental individu yang cenderung melakukan bunuh diri telah mengalami rasa sakit psikologis dan perasaan frustasi yang bertahan lama sehingga individu melihat bunuh diri sebagai satu-satunya penyelesaian untuk masalah yang dihadapi yang bisa menghentikan rasa sakit yang dirasakan (Berman , Silverman, & Maris, 2000).

2.2. Epidemiologi Setiap tahun lebih dari 30.000 orang mati karena bunuh diri di Amerika Serikat. Angka percobaan bunuh diri kira-kira 650.000. Kira-kira terdapat 85 bunuh diri dalam sehari di Amerika Serikat – sekitar 1 bunuh diri tiap 20 menit. Angka bunuh diri di Amerika Serikat rata-rata antara 12,5 per 100.000 di abad ke-20, dengan angka 17,4 per 100.000 selama Depresi Besar tahun 1930. Bunuh diri saat ini berada di peringkat sembilan untuk keseluruhan penyebab kematian di Amerika Serikat, setelah penyakit jantung, kanker, penyakit kardiovaskular, penyakit paru obstruktif kronik, kecelakaan, pneumonia, influenza, dan diabetes melitus.1,2 Angka bunuh diri di Amerika Serikat berada di titik tengah angka untuk negara industri seperti yang dilaporkan ke PBB. Di dunia, angka bunuh diri berkisar lebih dari 25 per 100.000 orang. 2.3. Faktor Risiko Jenis Kelamin.

Laki-laki melakukan bunuh diri empat kali lebih banyak

dibandingkan perempuan, suatu angka yang stabil pada semua usia. Meskipun demikian, perempuan empat kali lebih besar kemungkinannya untuk melakukan percobaan bunuh diri dibandingkan laki-laki.3-5

2

Usia. Angka bunuh diri meningkat seiring dengan usia menegaskan makna dari krisis usia pertengahan. Di antara laki-laki, puncak bunuh diri setelah usia 45 tahun; pada perempuan, angka terbesar bunuh diri yang berhasil dilakukan terdapat setelah usia 55 tahun. Angka 40 per 100.000 populasi terdapat pada laki-laki berusia 65 tahun dan lebih. Orang berusia tua melakukan percobaan bunuh diri lebih jarang dibandingkan orang muda tetapi lebih sering berhasil. Meskipun mereka hanya 10 persen dari populasi total, 25 persen bunuh diri dilakukan orang yang lebih tua. Angka untuk 75 tahun atau lebih melebihi tiga kali angka di antara orang muda.1-3 Meskipun demikian, angka bunuh diri, meningkat paling cepat di antara orang muda, terutama pada laki-laki berusia 15 hingga 24 tahun, dan angkanya masih meningkat. Angka bunuh diri untuk perempuan dengan kelompok usia yang sama meningkat lebih lambat dibandingkan laki-laki. Di antara laki-laki berusia 25 hingga 34 tahun, angka bunuh diri meningkat hampir 30 persen selama dekade terakhir. Bunuh diri adalah penyebab utama kematian nomor tiga pada kelompok usia 15 hingga 24 tahun, setelah kecelakaan dan pembunuhan, dan percobaan bunuh diri kelompok usia ini antara 1 juta hingga 2 juta per tahun. Sebagian besar bunuh diri saat ini terdapat pada orang-orang berusia 15 hingga 44 tahun.3-5 Ras. Dua dari tiap tiga bunuh diri dilakukan oleh laki-laki kulit putih. Angka bunuh diri di antara kulit putih hampir dua kali lipat dari semua kelompok lainnya; meskipun demikian, angka ini sekarang dipertanyakan, karena angka bunuh diri pada kulit hitam meningkat. Angka bunuh diri pada imigran lebih tinggi daripada populasi asli.1,6 Agama. Secara historis, angka bunuh diri di antara populasi Katolik Roma lebih rendah dibandingkan dengan angka di antara populasi Protestan dan Yahudi. Derajat keortodoksan dan integrasi mungkin merupakan ukuran rasio yang lebih akurat di kategori ini daripada persatuan agama institusional.1-3 Status Perkawinan. Perkawinan yang dilengkapi oleh anak tampaknya mengurangi risiko bunuh diri secara signifikan. Angka bunuh diri adalah 11 per 100.000 untuk orang yang menikah; lajang, orang yang tidak pernah menikah memiliki angka keseluruhan hampir dua kali lipat dari itu. Meskipun demikian,

3

orang yang sebelumnya pernah menikah menunjukkan angka yang jauh lebih tinggi dibandingkan mereka yang tidak pernah menikah; 24 per 100.000 pada janda atau duda, dan 40 per 100.000 pada orang yang bercerai, dengan laki-laki bercerai memiliki angka 69 bunuh diri per 100.000 dibandingkan dengan 18 per 100.000 untuk perempuan yang bercerai. Bunuh diri terjadi lebih sering dari biasanya pada orang yang terisolasi secara sosial dan memiliki riwayat keluarga bunuh diri (percobaan atau sesungguhnya). Orang yang melakukan yang disebut anniversary suicide melakukan bunuh diri pada hari saat anggota keluarganya melakukan bunuh diri.1-3 Pekerjaan. Semakin tinggi status sosial seseorang, semakin besar risiko bunuh dirinya, tetapi penurunan status sosial juga meningkatkan risiko bunuh diri. Pekerjaan, pada umumnya, melindungi orang dari bunuh diri. Di antara tingkat pekerjaan, profesional, terutama dokter, dari dahulu dianggap memiliki risiko bunuh diri paling tinggi, tetapi studi terkini yang paling baik menemukan tidak ada risiko bunuh diri yang meningkat untuk dokter laki-laki di Amerika Serikat. Sebaliknya, data Skandinavia dan Inggris terkini menunjukkan bahwa angka bunuh diri untuk dokter laki-laki dua sampai tiga kali dari angka bunuh diri yang ditemukan pada populasi laki-laki umum dengan usia yang sama. Populasi khusus yang memiliki risiko adalah musisi, dokter gigi, petugas penagak hukum, pengacara, dan agen asuransi. Bunuh diri lebih tinggi pada penganggur dibandingkan dengan orang yang bekerja. Angka bunuh diri meningkat selama resesi ekonomi dan menurun selama waktu perang dan saat banyak orang yang dipekerjakan.1,2 Bunuh Diri pada Dokter. Dokter perempuan memiliki risiko lebih tinggi untuk bunuh diri dibandingkan degan perempuan lain. Di Amerika Serikat angka bunuh diri tiap tahun untuk dokter perempuan adalah kira-kira 41 per 100.000, dibandingkan dengan 12 per 100.000 pada semua perempuan kulit putih di atas usia 25 tahun. Demikian juga, di Inggris dan Wales, angka bunuh diri untuk dokter perempuan yang tidak menikah adalah 2,5 kali dari angka bunuh diri pada perempuan tidak menikah di populasi umum, meskipun dapat dibandingkan dengan angka bunuh diri dari kelompok profesional perempuan lainnya.1-3

4

Sejumlah studi menunjukkan bahwa dokter yang melakukan bunuh diri memiliki gangguan jiwa. Gangguan jiwa yang paling lazim di antara dokter dan korban bunuh diri dokter adalah gangguan depresif dan ketergantungan zat. Beberapa bukti menunjukkan bahwa dokter perempuan memiliki risiko seumur hidup yang sangat tinggi untuk mengalami gangguan mood. Seorang dokter yang melakukan bunuh diri sering mengalami kesulitan profesi, pribadi, atau keluarga baru-baru ini. Dokter perempuan dan laki-laki melakukan bunuh diri lebih sering secara signifikan dengan overdosis zat dan lebih jarang dengan senjata dibandingkan orang-orang di populasi umum; ketersediaan obat dan pengetahuan mengenai merupakan faktor penting di dalam bunuh diri oleh dokter.1-3 Di antara dokter, psikiater dianggap memiliki risiko paling tinggi, diikuti oleh oftalmologis dan anestesiologis, tetapi kecenderungannya sama pada semua spesialis. Metode. Angka keberhasilan laki-laki yang lebih tinggi untuk bunuh diri terkai dengan metode yang mereka gunakan: senjata api, gantung diri, atau lompat dari tempat tinggi. Perempuan lazimnya mengonsumsi zat psikoaktif overdosis atau racun, tetapi penggunaan senjata api saat ini meningkat. Di negara dengan hukum pengendalian senjata, penggunaan senjata menurun sebagai metode bunuh diri. Secara global, metode bunuh diri yang paling lazim adalah gantung diri.1-3 Kesehatan Fisik. Hubungan penyakit dan kesehatan fisik dengan bunuh diri cukup bermakna. Perawatan medis sebelumnya tampaknya merupakan indikator bunuh diri yang berhubungan positif: 32 persen orang yang melakukan bunuh diri pernah mendapatkan perhatian medis dalam 6 bulan sebelum kematiannya. Studi postmortem menunjukkan bahwa penyakit fisik ada pada 25 hingga 75 persen korban bunuh diri, dan penyakit fisik diperkirakan sebagai faktor yang turut berperan pada hampir 50 persen bunuh diri.5-8 Faktor-faktor yang berkaitan dengan penyakit dan turut berperan di dalam bunuh diri maupun percobaan bunuh diri adalah hilangnya mobilitas, terutama ketika aktivitas fisik penting bagi pekerjaan dan kesengangan; cacat, terutama pada perempuan; serta nyeri yang sulit sembuh dan kronis. Di samping efek langsung

5

penyakit, efek sekundernya – contohnya, gangguan hubungan dan hilangnya status pekerjaan – merupakan faktor prognostik yang buruk.1-3 Obat-obat tertentu dapat menimbulkan depresi yang dapat menyebabkan bunuh diri pada beberapa kasus. Di antara obat-obat ini adalah reserpin (Serpasil), kortikosteroid, antihipertensi, dan beberapa agen antikanker. Kesehatan Jiwa. Faktor psikiatrik yang sangat bermakna di dalam bunuh diri mencakup penyalahgunaan zat, gangguan depresif, skizofrenia, dan gangguan jiwa lainnya. Hampir 95 persen orang yang melakukan atau mencoba bunuh diri memiliki diagnosis gangguan jiwa. Gangguan depresif berperan di dalam 80 persen dari angka ini, skizofrenia 10 persen, dan demensia atau delirium 5 persen. Di antara semua orang dengan gangguan jiwa, 25 persen memiliki ketergantungan alkohol dan memiliki diagnosis ganda. Orang dengan depresi waham memiliki risiko bunuh diri paling tinggi. Risiko bunuh diri pada orang dengan gangguan depresif kira-kira 15 persen, dan 25 persen orang dengan riwayat prilaku impulsif atau tindakan kekerasan juga memiliki risiko bunuh diri yang tinggi. Perawatan psikiatrik sebelumnya untuk alasan apapun meningkatkan risiko bunuh diri.7-10 Di antara orang dewasa yang melakukan bunuh diri, terdapat perbedaan bermakna antara orang muda dan tua untuk diagnosis psikiatrik dan stresor yang mengawali. Suatu studi di San Diego, California, menunjukkan bahwa diagnosis penyalahgunaan zat dan gangguan kepribadian antisosial paling sering terjadi pada bunuh diri yang dilakukan oleh orang berusia di bawah 30 tahun, dan diagnosis gangguan mood dan gangguan kognitif paling sering pada usia 30 dan lebih. Stresor yang terkait dengan bunuh diri pada orang berusia di bawah 30 tahun adalah perpisahan, penolakan, tidak bekerja, dan masalah dengan hukum; stresor penyakit paling sering terdapat pada korban bunuh diri yang berusia lebih dari 30 tahun. Pasien Psikiatrik. Risiko pasien psikiatrik untuk melakukan bunuh diri adalah 3 hingga 12 kali dibandingkan dengan yang bukan pasien psikiatrik. Derajat risikonya bervariasi bergantung pada usia, jenis kelamin, diagnosis, dan status pasien rawat inap atau rawat jalan. Setelah penyesuaian untuk usia, pasien psikiatrik laki-laki dan perempuan yang pernah dirawat sebelumnya masing-masing memiliki lima dan

6

sepuluh kali lebih tinggi risiko bunuh diri, daripada yang lainnya di populasi umum. Untuk pasien rawat jalan laki-laki dan perempuan yang belum pernah di rawat di rumah sakit untuk terapi psikiatrik, masing-masing risiko bunuh dirinya tiga dan empat kali lebih tinggi daripada yang lainnya di populasi umum. Risiko bunuh diri yang lebih tinggi untuk pasien psikiatrik yang pernah dirawat mencerminkan fakta bahwa pasien dengan gangguan jiwa berat cenderung untuk dirawat – contohnya, pasien dengan gangguan depresif yang membutuhkan terapi elektrokonvulsi. Diagnosis psikiatrik yang memiliki risiko bunuh diri paling tinggi pada kedua jenis kelamin adalah gangguan mood.1-3 Dalam satu studi, usia rerata untuk bunuh diri pada laki-laki adalah 29,5 tahun dan perempuan 38,4 tahun. Usia yang relatif muda pada kasus bunuh diri sebagian disebabkan oleh fakta bahwa dua onset dini gangguan jiwa kronis – skizofrenia dan gangguan depresif berulang – bertanggung jawab untuk lebih dari setengah kasus bunuh diri.2 Untuk kedua jenis kelamin, risiko bunuh diri paling tinggi pada minggu pertama masuk ke perawatan psikiatrik; setelah 3 hingga 5 minggu, pasien yang dirawat memiliki risiko yang sama dengan populasi umum. Peningkatan angka pasien dirawat yang bunuh diri seiring bertambahnya usia tidak sama seperti pada populasi umum; kenyataannya, angka untuk pasien psikiatrik perempuan turun dengan bertambahnya usia, terutama karena orang berusia lebih tua yang bunuh diri tidak mencari pertolongan medis.1-3 Pasien, terutama dengan gangguan panik, yang sering membutuhkan layanan gawatdarurat, juga memiliki peningkatan risiko bunuh diri. Satu studi melaporkan bahwa pasien seperti itu memiliki angka bunuh diri lebih dari tujuh kali dari angka untuk populasi umum yang disesuaikan dengan usia serta jenis kelamin. Dua kelompok risiko utama adalah pasien dengan gangguan depresif, skizofrenia, dan penyalahgunaan zat, serta pasien yang melakukan kunjungan berulang ke ruang gawatdarurat. Dengan demikian, profesional kesehatan jiwa yang bekerja di layanan gawatdarurat harus terlatih dengan baik dalam melakukan anamnesis mengenai riwayat psikiatrik pasien, memeriksa keadaan jiwa pasien, mengkaji risiko bunuh diri, dan melakukan penempatan yang sesuai. Mereka juga harus tahu 7

kebutuhan untuk menghubungi pasien yang berisiko yang tidak memenuhi janji untuk pemantauan lanjutan. Gangguan Depresif. Gangguan mood merupakan diagnosis yang paling lazim dikaitkan dengan bunuh diri. Karena risiko bunuh diri pada gangguan depresif terutama meningkat ketika pasien sedang depresi, kemajuan psikofarmakologis 25 tahun terakhir mungkin telah menurunkan risiko bunuh diri pada pasien dengan gangguan depresif. Meskipun demikian, angka bunuh diri yang disesuaikan dengan usia untuk pasien dengan gangguan mood diperkirakan sekitar 400 per 100.000 untuk pasien laki-laki dan 180 per 100.000 untuk pasien perempuan.6-8 Banyak pasien dengan gangguan depresif melakukan bunuh diri di awal penyakitnya, bukannya di kemudian hari; lebih banyak laki-laki dibandingkan perempuan yang melakukan bunuh diri dan kemungkinan pasien depresi untuk bunuh diri meningkat jika mereka lajang, berpisah, bercerai, janda/duda, atau baru berkabung. Pasien dengan gangguan depresif yang bunuh diri di dalam masyarakat cenderung berada pada usia pertengahan atau lebih tua. Sejumlah kecil studi menyelidiki pasien dengan gangguan mood yang mana memiliki peningkatan risiko bunuh diri. Studi-studi ini menunjukkan bahwa isolasi sosial meningkatkan kecenderungan bunuh diri pada pasien depresi. Temuan ini sesuai dengan data dari studi epidemiologis yang menunjukkan bahwa pasien yang melakukan bunuh diri mungkin berintegrasi buruk ke dalam masyarakat. Bunuh diri pada pasien depresi cenderung dilakukan pada onset atau di akhir episode depresif. Seperti pasien psikiatrik lainnya, bulan-bulan setelah keluar dari rumah sakit merupakan waktu risiko bunuh diri yang tinggi. Sejumlah studi menunjukkan bahwa sepertiga atau lebih pasien depresi yang bunuh diri melakukannya dalam 6 bulan setelah meninggalkan rumah sakit; mungkin mereka mengalami kekambuhan.1,9 Mengenai terapi rawat jalan, sebagian besar pasien depresi yang bunuh diri memiliki riwayat terapi; meskipun demikian, kurang dari setengahnya menerima terapi psikiatrik saat bunuh diri. Di antara mereka yang sedang menjalani terapi,

8

studi menunjukkan bahwa terapinya kurand dari cukup. Contohnya, sebagian besar pasien yang menerima antidepresan diresepkan dosis obat yang subterapeutik. Skizofrenia. Risiko bunuh diri pada pasien dengan skizofrenia cukup tinggi. Hingga 10 persen meninggal karena bunuh diri. Onset skizofrenia biasanya pada masa remaja atau dewasa awal, dan sebagian besar pasien yang bunuh diri ini melakukannya beberapa tahun pertama penyakitnya; dengan demikian, pasien skizofrenik yang melakukan bunuh diri masih berusia muda.1,2 Kira-kira 75 persen pasien skizofrenik yang bunuh diri adalah laki-laki yang tidak menikah dan kira-kira 50 persen sebelumnya pernah melakukan percobaan bunuh diri. Gejala depresif sangat terkait dengan bunuh diri. Studi berbasis rumah sakit melaporkan bahwa gejala depresif ada selama periode terakhir hubungan pada sedikitnya dua pertiga pasien skizofrenia yang melakukan bunuh diri; hanya suatu presentase kecil melakukan bunuh diri karena instruksi halusinasi atau kebutuhan untuk kabur dari waham kejar. Sampai 50 persen bunuh diri pada pasien skizofrenia terjadi selama beberapa minggu dan bulan pertama setelah keluar dari rumah sakit; hanya minoritas yang melakukan bunuh diri saat sedang dirawat.1,2 Ketergantungan Alkohol. Hingga 15 persen orang dengan ketergantungan alkohol melakukan bunuh diri. Angka bunuh diri untuk mereka yang alkoholik diperkirakan sekitar 720 per 100.000 setiap tahunnya; di Amerika Serikat, antara 7.000 dan 13.000 orang dengan ketergantungan alkohol melakukan bunuh diri setiap tahunnya.1,3 Kira-kira 80 persen korban bunuh diri dengan ketergantungan alkohol adalah lakilaki, suatu persentase yang sangat mencerminkan rasio jenis kelamin untuk ketergantungan alkohol. Kelompok terbesar pasien ketergantungan alkohol lakilaki adalah mereka dengan gangguan kepribadian antisosial terkait.1,2 Ketergantungan Zat Lain. Sejumlah studi di berbagai negara menemukan adanya peningkatan risiko bunuh diri pada mereka yang menyalahgunakan zat. Angka bunuh diri pada mereka yang ketergantungan heroin kira-kira 20 kali angka populasi umum. Ketersediaan zat dengan jumlah letal, penggunaan IV, gangguan

9

kepribadian antisosial terkait, gaya hidup berantakan, dan impulsivitas, merupakan beberapa faktor predisposisi untuk perilaku bunuh diri, pada orang dengan ketergantungan zat terutama ketika mereka sedang disforik, depresi, atau intoksikasi.1-3 Gangguan Kepribadian. Proporsi tinggi pada mereka yang melakukan bunuh diri memiliki beragam kesulitan atau gangguan kepribadian terkait. Memiliki gangguan kepribadian mungkin merupakan suatu determinan perilaku bunuh diri dalam beberapa cara; dengan menjadi predisposisi terhadap gangguan jiwa utama seperti gangguan depresif atau ketergantungan alkohol; dengan menimbulkan kesulitan di dalam hubungan dan penyelesaian sosial; dengan mencetuskan peristiwa hidup yang tidak diinginkan; dengan mengganggu kemampuan seseorang untuk menghadapi gangguan fisik atau jiwa; dan dengan menarik seseorang ke dalam konflik dengan orang-orang di sekeliling mereka, termasuk anggota keluarga, dokter, dan petugas rumah sakit.1-3 Suatu perkiraan sebesar 5 persen pasien dengan gangguan kepribadian antisosial melakukan bunuh diri. Bunuh diri tiga kali lebih lazim pada tahanan dibandingkan populasi umum. Gangguan Ansietas. Percobaan bunuh diri yang tidak berhasil dilakukan oleh hampir 20 persen pasien dengan gangguan panik dan fobia sosial. Meskipun demikian, jika depresi merupakan gambaran terkait, risiko keberhasilan menjadi meningkat.1-3 Prilaku Bunuh Diri Sebelumnya. Percobaan bunuh diri sebelumnya mungkin merupakan indikator terbaik bahwa pasien memiliki peningkatan risiko bunuh diri. Sejumlah studi menunjukkan bahwa kira-kira 40 persen pasien depresi yang bunuh diri pernah mencobanya sebelumnya. Risiko percobaan bunuh diri kedua paling tinggi dalam 3 bulan setelah percobaan yang pertama.9,10 Depresi tidak hanya terkait dengan keberhasilan bunuh diri, tetapi juga dengan percobaan bunuh diri yang serius. Gambaran klinis yang paling sering dikaitkan dengan keseriusan niat untuk mati adalah diagnosis gangguan depresif. Hal ini

10

ditunjukkan oleh studi yang menghubungkan ciri klinis pasien bunuh diri degan berbagai ukuran keseriusan medis terhadap percobaan atau niat untuk mati. Demikian juga, skor niat untuk mati berhubungan secara signifikan degan skor bunuh diri dan jumlah serta keparahan gejala depresif. Pelaku percobaan bunuh diri yang dinilai memiliki niat bunuh diri yang paling tinggi paling sering adalah lakilaki, lebih tua, lajang atau berpisah, dan tinggal sendiri dibandingkan dengan mereka yang niatnya kurang. Dengan kata lain, pasien depresi yang secara serius mencoba bunuh diri lebih menyerupai korban bunuh diri daripada orang yang mencoba melakukan bunuh diri.9,10

2.4. Etiologi Faktor Sosiologis Teori Durkheim. Di dalam upaya untuk menjelaskan pola statistik, Durkheim membagi bunuh diri menjadi tiga kategori sosial: egoistik, altruistik, dan anomik.1 Bunuh diri egoistik berlaku bagi mereka yang tidak terintegrasi kuat ke dalam kelompok sosial manapun. Tidak adanya integrasi keluarga menjelaskan mengapa orang yang tidak menikah lebih rentan bunuh diri dibandingkan orang yang menikah serta mengapa pasangan yang memiliki anak adalah kelompok yang baik terlindungi. Komunitas pedesaan lebih memiliki integrasi sosial dibandingkan daerah perkotaan sehingga bunuh diri lebih sedikit. Bunuh diri altruistik berlaku untuk mereka yang rentan terhadap bunuh diri karena integrasi mereka yang berlebihan ke dalam kelompok, dengan bunuh diri merupakan perkembangan integrasi – contohnya, serdadu Jepang yang mengorbankan hidupnya di dalam peperangan. Bunuh diri anomik berlaku bagi orang yang integrasinya ke dalam masyarakat terganggu sehingga mereka tidak dapat mengikuti norma perilaku yang lazim. Anomik menjelaskan mengapa perubahan drastis situasi ekonomi membuat orang lebih rentan daripada mereka yang sebelumnya terjadi perubahan kekayaan. Di

11

dalam teori Durkheim, anomik juga mengacu pada ketidakstabilan sosial dan pecahnya standar dan nilai masyarakat. Faktor Psikologis Teori Freud. Sigmund Freud mengajukan tilikan psikologis pertama mengenai bunuh diri. Ia menggambarkan hanya satu pasien yang melakukan percobaan bunuh diri, tetapi ia melihat banyak pasien depresi. Di dalam tulisannya “Mourning and Melancholia”, Freud menyatakan keyakinannya bahwa bunuh diri menunjukkan agresi yang di arahkan untuk melawan objek cinta yang diintrojeksikan serta “cathected” secara ambivalensi. Freud meraguakan bahwa ada bunuh diri tanpa keinginan membunuh orang lain yang ditekan sebelumnya.1 Teori Menninger. Di bangun atas gagasan Freud, Karld Meninger, berpendapat bahwa bunuh diri sebagai pembunuhan yang dibalik ke dalam diri sendiri karena kemarahan pasien pada orang lain. Pembunuhan yang diretrofleksikan ini antara dibalik ke dalam diri atau digunakan sebagai alasan atas hukuman. Ia juga menggambarkan insting kematian yang diarahkan pada diri sendiri (konsep Freud mengenai Thanos) ditambah tiga komponen permusuhan di dalam bunuh diri: keinginan untuk membunuh, keinginan untuk dibunuh, dan keinginan untuk mati.1 Teori Terkini. Ahli bunuh diri kontemporer tidak menganjurkan bahwa struktur kepribadian atau psikodinamik tertentu terkait dengan bunuh diri. Mereka yakin bahwa banyak yang dapat dipelajari mengenai psikodinamik pasien bunuh diri dari khayalan mereka mengenai apa yang akan terjadi dan apa akibatnya jika mereka bunuh diri. Khayalan seperti ini sering mencakup keinginan untuk balas dendam, kekuatan, kendali, atau hukuman: penebusan kesalahan, pengorbanan, atau ganti rugi: kabur atau tidur, penyelamatan, kelahiran kembali, pernyatuan kembali dengan kematian; atau suatu kehidupan baru. Pasien bunuh diri yang cenderung melakukan khayalan bunuh diri mungkin telah kehilangan objek cinta atau menerima cedera narsisistik, dapat mengalami afek berlebihan seperti kemarahan dan rasa bersalah, atau dapat menganggap dirinya sama dengan korban bunuh diri. Dinamika kelompok mendasari bunuh diri massal seperti pada Masada, Jones-town dan pemujaan Heaven’s Gate.1

12

Orang depresi dapat mencoba melakukan bunuh diri tepat saat mereka tampaknya pulih dari depresi. Percobaan bunuh diri dapat menghilangkan depresi yang lama, terutama jika memenuhi kebutuhan pasien akan penghukuman. Dengan relevansi yang sama, banyak pasien bunuh diri menggunakan preokupasi bunuh diri sebagai cara untuk melawan depresi yang tidak dapat ditoleransi dan rasa putus asa. Kenyataannya, suatu studi oleh Aaron Beck menunjukkan bahwa keputusasaan adalah salah satu indikator yang paling akurat untuk risiko bunuh diri jangka panjang. Faktor Biologis. Berkurangnya serotonin sentral memainkan peranan di dalam perilaku bunuh diri. Suatu kelompok di Institut Karolinska di Swedia adalah yang pertama kali memperhatikan bahwa konsentrasi metabolit serotonin 5-hidroxyindoleacetic acid (5-HIAA) yang rendah di cairan serebrospinal (CSS) lumbal terkait dengan perilaku bunuh diri. Temuan ini telah di kemukakan beberapa kali di dalam kelompok diagnostik yang berbeda. Studi neurokimia postmortem melaporkan adanya sedikit penurunan serotonin itu sendiri atau 5-HIAA di batang otak atau korteks frontalis korban bunuh diri. Studi reseptor postmortem melaporkan perubahan bermakna di tempat pengikatan serotonin prasinaps dan pascasinaps pada korban bunuh diri. Jika dipertimbangkan bersama, studi CSS, neurokimia, dan reseptor menyokong hipotesis bahwa berkurangnya serotonin sentral terkait dengan bunuh diri. Studi terkini juga melaporkan beberapa perubahan sistem noradrenergik pada korban bunuh diri.1-3 Faktor Genetik. Perilaku bunuh diri, seperti gangguan psikiatrik lainnya, cenderung menurun di dalam keluarga. Pada pasien psikiatrik, riwayat bunuh diri di dalam keluarga meningkatkan risiko percobaan bunuh diri dan bunuh diri yang berhasil pada sebagian besar kelompok.1 Studi Kembar. Studi tonggak pada tahun 1991 menyelidiki 176 pasangan kembar yang salah satunya melakukan bunuh diri. Dalam sembilan dari pasangan kembar ini, kedua kembaar telah melakukan bunuh diri. Tujuh dari sembilan pasangan ini yang bersamaan bunuh diri ditemukan pada 62 pasangan monozigot, sementara dua pasang bersamaan bunuh diri ditemukan pada 114 pasang kembar dizigot.

13

Perbedaan kedua kelompok kembar untuk bunuh diri bersamaan (11,3 vs 1,8 persen) secara statistik bermakna (P<0,1).1 Meskipun kembar monozigot

dan

dizigot

dapat

memiliki pengalaman

perkembangan yang berbeda, hasil ini menunjukkan bahwa pasangan kembar monozigot memiliki konkordansi yang secara signifikan lebih tinggi untuk bunuh diri dan percobaan bunuh diri, yang mengesankan bahwa faktor genetik dapat memainkan peranan di dalam perilaku bunuh diri. Sudi Genetik Molekular. Tryptophan hydroxylase (TPH) adalah enzim yang terlibat di dalam biosintesis serotonin. Suatu polimorfisme di dalam gen TPH manusia telah diidentifikasi dengan dua alel – U dan L. Karena rendahnya konsentrasi 5-HIAA di dalam CSS terkait dengan perilaku bunuh diri, dihipotesiskan bahwa individu tersebut dapat memiliki perubahan gen yang mengendalikan sintesis dan metabolisme serotonin. Juga ditemukan bahwa alkoholik yang impulsif, yang memiliki konsentrasi 5-HIAA-CSS yang rendah, memiliki genotipe LL dan UL yang lebih banyak. Lebih jauh lagi, riwayat percobaan bunuh diri secara signifikan terkait dengan genotipe TPH pada semua alkoholik yang melakukan kekerasan: 34 dari 36 pelaku kekerasan yang mencoba bunuh diri memiliki genotipe UL atau LL. Dengan demikian, disimpulkan bahwa ada alel L terkait dengan peningkatan risiko percobaan bunuh diri.1,2 Demikian juga, riwayat percobaan bunuh diri berulang ditemukan paling sering pada subjek dengan genotipe LL dan pada jumlah yang lebih sedikit, di antara mereka dengan genotipe UL. Hal ini mengarahkan dugaan bahwa alel L dihubungkan dengan perilaku bunuh diri berulang. Adanya satu alel TPH*L dapat menunjukkan berkurangnya kapasitas untuk menghidroksilasi tryptophan menjadi 5-hydroxytryptophan di dalam sintesis serotonin, sehingga menghasilkan rendahnya pergantian serotonin sentral dan dengan demikkan menurunkan konsentrasi 5-HIAA di dalam CSS.1,2 Perilaku Parasuicidal. Parasuicide adalah istilah yang diperkenalkan untuk mengambarkan pasien yang mencederai diri sendiri dengan mutilasi diri (cth. Menyayat kulit) tetapi biasanya tidak ingin mati. Sejumlah studi menunjukkan

14

bahwa kira-kira 4 persen pasien di rumah sakit psikiatrik menyayat diri mereka sendiri; rasio perempuan banding laki-laki adalah hampir 3:1. Insiden mencederai diri sendiri pada pasien psikiatrik diperkirakan 50 kali dibandingkan populasi umum. Psikiater memperhatikan bahwa pelaku telah mencederai dirinya sendiri selama beberapa tahun.1 Pasien ini biasanya berusia 20-an dan dapat juga lajang atau sudah menikah. Sebagian besar sayatan bersifat halus, tidak kasar, biasanya dilakukan sendiri dengan pisau cukur, pisau, pecahan gelas, atau cermin. Pergelangan tangan, lengan, paha, dan tungkai adalah yang paling sering disayat; wajah, payudara, dan abdomen yang jarang di sayat. Sebagian besar orang yang menyayat diri mereka sendiri menyatakan tidak merasa sakit dan memberikan alasan seperti marah pada diri sendiri atau orang lain, meredakan ketegangan dan keinginan untuk mati. Sebagian besar digolongkan memiliki gangguan kepribadian dan secara signifikan lebih tertutup, neurotik, dan bermusuhan dibandingkan kontrol. Penyalahgunaan alkohol dan zat lain lazim melakukannya, dan sebagian besar pelaku pernah mencoba bunuh diri. Mutilasi diri sendiri di pandang sebagai perusakan diri terlokalisasi, dengan salah penanganan impuls agresif yang disebabkan oleh keinginan tidak disadari seseorang untuk menghukum dirinya sendiri atau objek yang diintrojeksikan.1 2.5. Gambaran Klinis dan Diagnosis Mengidentifikasi pasien yang mempunyai kecenderungan bunuh diri merupakan hal yang sangat penting namun sulit. Berikut adalah hal-hal yang merupakan risiko tinggi terjadinya tindak bunuh diri. 1. Laki-laki 2. Usia makin tua 3. Isolasi social / hidup seorang diri 4. Riwayat bunuh diri atau percobaan bunuh diri dalam keluarga 5. Riwayat menderita sakit atau nyeri kronik 6. Baru menjalani operasi 7. Tidak mempunyai pekerjaan 8. Sudah membereskan segala urusan duniawinya 9. Akan mengalami ‘ulang tahun’ (anniversary) suatu kehilangan. 15

Variabel

Risiko Tinggi

Risiko Rendah

Demografik dan profil sosial Usia

>45

<45

Jenis Kelamin

Laki-laki

Perempuan

Status

Cerai, duda, dan janda

Menikah

Pekerjaan

Tidak bekerja

Bekerja

Hubungan

Berkonflik

Stabil

Kacau atau konflik

stabil

Penyakit Kronik

Sehat

Hipokondria

Merasa sehat

Depresi parah

Depresi sedang

Psikosis

Neurosis

Pernikahan

Interpersonal Latarbelakang Keluarga Kesehatan Fisik

Mental

Gangguan

personalitas Personalitas baik

berat Penyalahangunaan Zat

Peminum sosial

Pesimistis

Optimistik

Aktivitas bunuh diri Ide bunuh diri

Percobaan bunuh diri

Sering,

intens, Tidak sering, tidan intens,

berkepanjangan

tidak berkepanjangan

Percobaan multipel

Sekali percobaan

direncanakan

mendadak

Marah pada diri sendiri

Mengungkapkan kemarahan

Metode letal

Metode tidak letal

Pencapaian Buruk

Pencapaian Baik

Sumber Daya Personal

16

Tilikan buruk

Tilikan baik

Afek yang tidak baik Afek baik sedikit terkontrol tidak terkontrol Hubungan Sosial

sosial Hubungan

terisolasi

terintregasi

Keluarga unresponsif

Keluarga responsif

sosial

GAMBAR 1 ■ Faktor risiko bunuh diri. Sumber : Sadock BJ, Sadock VA. Kaplan & Sadock: buku ajar psikiatri klinis. 2010. Ed. 2. Jakarta:

Penerbit Buku Kedokteran EGC.

2.6. Prediksi Klinisi harus mengkaji masing-masing risiko pasien untuk bunuh diri berdasarkan pada pemeriksaan klinis. Bunuh diri dikelompokkan ke dalam faktor terkait risiko tinggi dan faktor terkait risiko rendah – dapat dilihat pada tabel di atas. Ciri risiko tinggi mencakup berusia lebih dari 45 tahun, jenis kelamin laki-laki, ketergantungan alkohol (angka bunuh dirinya 50 kali lebih tinggi pada orang dengan ketergantungan alkohol dibandingkan dengan mereka yang tidak memiliki ketergantungan alkohol), perilaku kekerasan, perilaku bunuh diri sebelumnya dan perawatan psikiatrik sebelumnya.1,2

2.7. Terapi Sebagian besar bunuh diri pada pasien psikiatrik dapat dicegah, seperti yang ditunjukkan oleh bukti bahwa pengkajian atau terapi yang tidak adekuat sering dikaitkan dengan bunuh diri. Beberapa pasien mengalami penderitaan semakin berat dan hebatnya atau sedemikian kronisnya dan tidak responsif terhadap terapi, sehingga bunuh dirinya dianggap sebagai hal yang tidak dapat terelakkan. Untungnya, pasien seperti ini relatif tidak lazim. Pasien lain memiliki gangguan kepribadian berat, sangat impulsif, dan melakukan bunuh diri dengan spontan, sering ketika mereka sedang disforik atau intoksikasi atau keduanya.1,2

17

Evaluasi potensi bunuh diri melibatkan anamnesis riwayat psikiatrik yang lengkap; pemeriksaan menyeluruh mengenai keadaan mental pasien; dan pertanyaan mengenai gejala depresif, pikiran, niat, rencana dan percobaan bunuh diri. Jika dipertimbangkan semuanya, tidak adanya rencana di masa mendatang, memberikan milik pribadi, membuat surat wasiat dan baru-baru ini mengalami kehilangan mengesankan peningkatan risiko bunuh diri. Keputusan untuk merawat pasien di rumah sakit bergantung pada diagnosis, keparahan depresi dan gagasan bunuh diri, kemampuan pasien dan keluarga untuk mengatasi masalah, situasi hidup pasien, ketersediaan dukungan sosial, dan tidak adanya atau adanya faktor risiko bunuh diri.1,2 Terapi Rawat Inap vs Rawat Jalan. Perlu atau tidaknya merawat pasien dengan gagasan bunuh diri di rumah sakit merupakan suatu keputusan yang paling penting untuk dibuat. Tidak semua pasien dengan gagasan bunuh diri perlu perawatan di rumah sakit; beberapa dari mereka dapat diterapi dengan rawat jalan. Tetapi tidak adanya sistem dukungan sosial yang kuat, riwayat perilaku impulsif, dan rencana tindakan bunuh diri adalah indikasi perawatan. Untuk memutuskan apakah terapi rawat jalan dapat dilakukan, klinisi harus menggunakan pendekatan klinis langsung. Mereka harus meminta pasien yang dianggap berpotensi bunuh diri untuk menghubungi saat merasa tidak pasti mengenai kemampuan mereka untuk mengendalikan impuls bunuh diri. Pasien dapat membuat perjanjian seperti ini dengan dokter yang memiliki hubungan dengan mereka menguatkan kembali keyakinan bahwa mereka memiliki kekuatan yang cukup untuk mengendalikan impuls tersebut dan untuk mencari pertolongan.1 Sebagai balasan terhadap komitmen pasien, klinisi harus siap 24 jam bagi pasien. Jika pasien yang dianggap secara serius ingin bunuh diri tidak dapat membuat komitmen tersebut, perawatan rumah sakit darurat segera diindikasikan; pasien dan juga keluarga pasien harus diberi saran. Meskipun demikian, jika pasien akan diterapi secara rawat jalan, terapis harus mencatat nomor telepon rumah dan kantor pasien untuk keadaan gawat darurat; kadang-kadang, pasien menutup telepon tibatiba saat telepon di malam hari atau hanya memberikan nama pada layanan

18

penjawab telepon. Jika pasien menolak perawatan di rumah sakit, keluarga harus bertanggung jawab untuk berada bersama pasien selama 24 jam dalam sehari. Banyak psikiater yakin bahwa pasien yang pernah mencoba bunuh diri, tanpa memandang letalitasnya, harus dirawat. Meskipun sebagian besar pasien ini secara voluntar masuk rumah sakit, bahaya pada diri sendiri merupakan salah satu indikasi jelas yang saat ini diterima di semua negara untuk perawatan involuntar. Di rumah sakit, pasien dapat menerima obat antidepresan atau antripsikotik sesuai indikasi; terapi individu, terapi kelompok, dan terapi keluarga tersedia; dan pasien menerima dukungan sosial rumah sakit serta rasa aman. Cara terapeutik lain bergantung pada diagnosis yang mendasari. Contohnya, jika ketergantungan alkohol adalah masalah yang menyertai, tetapi harus ditunjukkan untuk menghilangkan keadaan tersebut.1 Meskipun pasien yang digolongkan berpotensi bunuh diri akut dapat memiliki prognosis yang baik, pasien dengan potensi bunuh diri kronis sulit diterapi dan mereka melelahkan orang yang merawat mereka. Pengamatan konstan oleh perawat khusus, pengasingan, dan pengikatan tidak dapat mencegah bunuh diri saat pasien yakin melakukannya. Terapi elektrokonvulsi mungkin perlu untuk beberapa pasien depresi berat, yang dapat memerlukan beberapa kali sesi terapi. Cara berguna untuk terapi pasien depresi yang dirawat inap dengan kecenderungan bunuh diri mencakup mencari barang-barang miliknya yang dapat digunakan untuk bunuh diri saat masuk ke dalam bangsal dan mengulang pencarian saat eksaserbasi gagasan bunuh diri. Idealnya, ini harus diterapi di bangsal terkunci yang jendelanya tahan pecah, dan ruang pasien harus ditempatkan di dekat tempat perawat untuk memaksimalkan observasi oleh perawat. Tim terapi harus mengkaji seberapa banyak harus mengekang pasien dan apakah akan melakukan pemeriksaan regular atau menggunakan observasi langsung terus menerus. Terapi dengan obat antidepresan atau antipsikotik yang intensif harus dimulai. Psikoterapi suportif oleh psikiater menunjukkan kepedulian dan dapat menghilangkan beberapa penderitaan hebat pasien. Beberapa pasien dapat mampu menerima gagasan bahwa mereka menderita suatu penyakit yang diketahui dan mereka mungkin akan dapat sembuh sempurna. Pasien harus diminta untuk tidak

19

membuat keputusan hidup yang penting saat mereka depresi dan ingin bunuh diri, karena keputusan tersebut sering ditentukan secara morbid dan bisa tidak dapat diubah. Akibat keputusan buruk tersebut dapat menimbulkan kesedihan dan penderitaan lebih lanjut ketika pasien telah pulih. Pasien yang pulih dari depresi dengan gagasan bunuh diri memiliki risiko tertentu. Ketika depresi naik, pasien menjadi sedemikian berenergi sehingga dapat melakukan rencana bunuh dirinya menjadi kenyataan (bunuh diri paradoksikal). Kadang-kadang, pasien depresi, dengan atau tanpa terapi, tiba-tiba dapat tampak damai dengan diri mereka sendiri karena mereka telah mencapai keputusan rahasia untuk melakukan bunuh diri. Klinisi terutama harus curiga terhadap perubahan klinis dramatik seperti itu, yang dapat meramalkan percobaan bunuh diri. Meskipun jarang, beberapa pasien berbohong pada psikiater mengenai niat bunuh dirinya, dengan demikian menumbangkan penilaian klinis yang paling teliti. Seorang pasien dapat melakukan bunuh diri bahkan ketika berada di rumah sakit. Menurut satu survei, kira-kira 1 persen bunuh diri dilakukan oleh pasien yang diterapi di rumah sakit psikiatrik atau bedah-medis umum, tetapi angka bunuh diri tahunan di rumah sakit psikiatrik hanya 0,003 persen. Untuk dapat membantu menentukan seseorang dengan risiko bunuh diri dirawat atau tidak dapat menggunakan SAD PERSONS Scale yang telah dimodifikasi. Skala ini telah dipakai luas dan terdiri dari 10 faktor risiko bunuh diri. Jika skor >= 6, maka pasien tersebut membutuhkan perawatan di rumah sakit. Tetapi jika skornya

Faktor Resiko

Kriteria

Skor

Jenis Kelamin

Laki-laki

1

Usia

<19, >45

1

20

Depresi

Pasen depresi, kehilangan konsentrasi, nafsu makan, tidur, dan libido

Percobaan bunuh diri

Penyalahgunaan zat

Riwayat percobaan bunuh diri

Ketergantungan kronik atau penggunaan

Kehilangan berpikir rasional

yang sering

Psikosis atau penyebab organik

Perceraian, jandan, duda

1

1

2

1

Percobaan serius dan

2

terorganisir

Tidak ada dukungan

1

sosial

Perkiraan masa depan

2

Percobaan ulang

2

<= 5, maka pasien tersebut dapat dirawat jalan.2 TABEL 2 ■ SAD PERSONS Scale yang telah dimodifikasi. Sumber : Sadock BJ, Sadock VA. Kaplan & Sadock: buku ajar psikiatri klinis. 2010. Ed. 2. Jakarta:

Penerbit Buku Kedokteran EGC.

21

Faktor Etis dan Hukum. Masalah tanggung jawab yang timbul dari bunuh diri di rumah sakit psikiatrik sering meliputi pertanyaan-pertanyaan mengenai tingkat deteriorasi pasien, adanya tanda klinis yang menunjukkan risiko selama perawatan di rumah sakit dan kesiagaan psikiater dan anggota petugas lain, serta respons terhadap tanda-tanda klinis ini.1 Pada kira-kira setengah dari kasus bunuh diri saat pasien berada di unit psikiatrik, terjadi perkara hukum. Pengadilan tidak mengharuskan angka bunuh diri nol, tetapi mengharuskan evaluasi pasien periodik untuk risiko bunuh diri, formulasi rencana terapi dengan tingkat keamanan yang tinggi, dan anggota petugas yang mengikuti rencana terapi.1 Membantu dan bersekongkol di dalam bunuh diri menambahkan dimensi lain pada masalah hukum dan etis; beberapa keputusan pengadilan berpegang bahwa meskipun baik bunuh diri maupun percobaan bunuh diri tidak dapat dihukum, siapa pun yang membantu tindakan tersebut dapat dihukum.1

22

BAB III PENUTUP 3.1. Kesimpulan Bunuh diri merupakan suatu kegawatdaruratan psikiatri dimana terdapat kematian yang diniatkan dan dilakukan oleh seseorang terhadap dirinya sendiri. Ide-ide bunuh diri dan percobaan bunuh diri merupakan hal yang sering dijumpai di ruang gawat darurat. Evaluasi potensi bunuh diri melibatkan anamnesis riwayat psikiatrik yang lengkap; pemeriksaan menyeluruh mengenai keadaan mental pasien, dan pertanyaan mengenai gejala depresif, pikiran, niat, rencana dan percobaan bunuh diri. Sebagian besar bunuh diri pada pasien psikiatrik dapat dicegah. Pasien yang mencoba bunuh diri harus dikaji ulang adakah psikopatologi yang mendasarinya. Penanganan dengan terapi psikofarmaka dapat digunakan secara supportif untuk mengurangi penderitaan pasien.

23

DAFTAR PUSTAKA

Sadock BJ, Sadock VA. Kaplan & Sadock: buku ajar psikiatri klinis. Ed. 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2010: 426-33. Wilcox HC, Beautrais AL, Larkin GL. Suicide assessments. In: Chanmugam A, Triplet P, Kelen G [editor]. Emergency psychiatry. New York: Cambridge University Press, 2013: 41-56. World Health Organization. Preventing suicide a global imperative: executive summary. Di unduh pada www.who.int/mediacentre/factsheets/fs398/en tanggal 25 Agustus 2016. World Health Organization. Mental health gap action programme intervention gap. Di unduh pada www.who.int/mediacentre/factsheets/fs398/en tanggal 25 Agustus 2016. World Health Organization. Preventing suicide a resource for general physicians. Di unduh pada www.who.int/mediacentre/factsheets/fs398/en tanggal 25 Agustus 2016. Knoll JL. The psychiatric er survival guide. Upstate Medical University Online Press. Di unduh pada www.umu-op.com tanggal 26 Agustus 2016. Gibbons RD, Brown CH, Hur K, Davis JM, Mann JJ. Suicidal thoughts and behavior with antidepressant treatment. Arch Gen Psychiatry. 2012 June ; 69(6): 580-7. Zeppegno P, Gramaglia C, Castello LM, Bert F, Gualano MR, Ressico F, et al. Suicide attempts and emergency room psychiatric consultation. BMC Psychiatry. 2015; 15:13.

24

Nock MK, Borges G, Bromet EJ, Alonso J, Angermeyer M, Beautrais A, et al. Cross-national prevalence and risk factors for suicidal ideation, plans and attempts. BJPsych. 2008; 192: 98-105. Inder KJ, Handley TE, Johnston A, Weaver N, Coleman C, Lewin TJ. Determinants of suicidal ideation and suicide attempts: parallel cross-sectional analyses examining geographical location. BMC Psychiatry. 2014; 14:208.

25

More Documents from "evanfaishal"

Lapsus.docx
December 2019 22
Scrib.docx
December 2019 8
Tetanus.docx
December 2019 11
Tutorial.docx
December 2019 12
Afifah (vesikolitiasis).docx
December 2019 14
Diba (chondrosarcoma).docx
December 2019 10