KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan karunia-Nya laporan tutorial ini dapat di selesaikan dengan baik. Laporan ini bertujuan untuk memenuhi tugas tutorial yang merupakan bagian dari sistem pembelajaran KBK di fakultas kedokteran universitas sriwijaya. Dan tak lupa pula, kami ucapkan kepada selaku tutor serta semua pihak yang membantu dalam menyelesaikan laporan tutorial ini. Kami menyadari, bahwa laporan ini banyak kekurangan. Oleh karena itu kritik dan saran dari pembaca sangat kami harapkan guna memperbaiki dimasa yang akan datang.
Palembang,
9 maret 2018
Penyusun
1
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ........................................................................................................1 DAFTAR ISI....................................................................................................................... 2 Skenario .............................................................................................................................. 3 I.
Klarifikasi Istilah .................................................................................................4
II.
Identifikasi Masalah ............................................................................................ 4
III.
Analisis Masalah .................................................................................................5
IV.
Sintesis...............................................................................................................24
V.
Kerangka Konsep...............................................................................................66
VI.
Kesimpulan........................................................................................................67
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................................68
2
Skenario D Blok 13 Tn. Uju, umur 65 tahun dibawa ke Puskesmas karena bibir mencong disertai kelemahan sesisi tubuh kiri yang terjadi secara mendadak 2 jam yang lalu, setelah bangun tidur pagi. Tidak ada sakit kepala maupun muntah proyektil yang dialaminya. Menurut keterangan keluarga Tn. Uju lama menderita diabetes millitus dan hipertensi, kontrol tidak status. Pemeriksaan Fisik: Keadaan Umum: GCS 15 Tanda Vital: TD 200/110 mmHg, Nadi 104 x/menit, RR 20x/menit, Temp 37,2 C Pemeriksaan Neurologis: kekuatan otot ekstremitas atas 5/3, ekstremitas bawah 5/3. Komunikasi masih cukup adekuat Pemeriksaan N. Fasialis: Pica nasolabialis kiri datar, sudut mulut kiri tertinggal, tidak ada lagopthalmus, kerutan dahi simetris, (parese N VII tipe sentral) Pemeriksaan N. Hipoglossus: dysatria, Deviasi lidah ke kiri, tidak ada atropi papil lidah maupun fasikulasi (parese N. XII tipe sentral) Pemeriksaan Laboratorium: GDS 300 mg%, total kolestrol 350 mg/dl Perintah 1. Tentukanlah apa saja masalah-masalah yang terjadi 2. a. Tentukan masalah utama b. Beri alasan mengapa dijadikan sebagai masalah utama 3. Analisalah masing-masing masalah tersebut dengan membuat pertanyaan dan jawablah langsung tiap pertanyaan dengan jawaban yang relevan 4. Buatlah kesimpulan dari skenario tersebut 5. Buatlah skema secara sistematik sebagai penjelasan dari sebuah sistesis
3
I.
Klarifikasi Istilah No. Istilah 1. Muntah Proyektil
2.
Bibir mencong
3.
5.
Kekuatan otot ekstrimitas atas 5/3 Kekuatan otot ektremitas bawah 5/3 Plica nasolabialis
6.
Lagopthalmus
7.
Paresa N. VII tipe sentral
8.
Paresa N. XII tipe sentral
9.
Dysarthria
10
Deviasi lidah kiri
4.
II.
Pengertian Muntah yang menyembur dengan ciri jarak muntah jauh dari tubuh orang yang muntah Bibir yang miring sebelah, asimetris diakibatkan oleh kelumpuhan saraf di wajah akibat penyakit stroke Kekuatan lengan kanan: 5 (normal) Kekuatan lengan kiri: 3 (abnormal) Kekuatan tungkai kanan: 5 (normal) Kekuatan tungkai kiri: 3 (abnormal) Tonjolan atau lipatan di antara hidung dan bibir Ketidakmampuan untuk menutup mata dengan sempurna (DORLAND) kehilangan atau gangguan fungsi motorik pada suatu bagian akibat lesi pada mekanisme saraf/otot ringan yang tidak permanen di N. fasialis pada bagian bawah wajah kehilangan atau gangguan fungsi motorik pada suatu bagian akibat lesi pada mekanisme saraf/otot ringan yang tidak permanen di N. Hipoglosus pada bagian bawah wajah Artikulasi pembicaraan yang tidak sempurna oleh karena gangguan kendali otot yan merupakan akibat dari kerusakan saraf pusat atau perifer (DOLAND) Penyimpangan posisi lidah ke kiri
Identifikasi Masalah Keluhan utama: Tn. Uju, umur 65 tahun dibawa ke Puskesmas karena bibir mencong disertai kelemahan sesisi tubuh kiri yang terjadi secara mendadak 2 jam yang lalu, setelah bangun tidur pagi. Tidak ada sakit kepala maupun muntah proyektil yang dialaminya. Riwayat penyakit: Menurut keterangan keluarga Tn. Uju lama menderita diabetes millitus dan hipertensi, kontrol tidak status. Pemeriksaan Fisik: Keadaan Umum: GCS 15 4
Tanda Vital: TD 200/110 mmHg, Nadi 104 x/menit, RR 20x/menit, Temp 37,2 C Pemeriksaan Neurologis: kekuatan otot ekstremitas atas 5/3, ekstremitas bawah 5/3. Komunikasi masih cukup adekuat Pemeriksaan N. Fasialis: Pica nasolabialis kiri datar, sudut mulut kiri tertinggal, tidak ada lagopthalmus, kerutan dahi simetris, (parese N VII tipe sentral) Pemeriksaan N. Hipoglossus: dysatria, Deviasi lidah ke kiri, tidak ada atropi papil lidah maupun fasikulasi (parese N. XII tipe sentral) Pemeriksaan Laboratorium: GDS 300 mg%, total kolestrol 350 mg/dl
III.
Analisis Masalah 1. Keluhan utama Tn. Uju, umur 65 tahun dibawa ke Puskesmas karena bibir mencong disertai kelemahan sesisi tubuh kiri yang terjadi secara mendadak 2 jam yang lalu, setelah bangun tidur pagi. Tidak ada sakit kepala maupun muntah proyektil yang dialaminya. A. Apa yang menyebabkan bibir mencong disertai kelemahan sesisi tubuh kiri? Jawab: pada paresis nervus fasialis UMN (karena lesi di korteks atau kapsula interna) otot wajah bagian bawah saja yang jelas paretik, sedangkan otot wajah atas tidak jelas lumpuh. Sebaliknya, pada kelumpuhan nervus fasialis LMN (karena lesi infranuklearis), baik otot wajah atas maupun bawah, kedua-duanya jelas lumpuh.
5
B. Bagaimana hubungan umur dan jenis kelamin dengan kasus? Jawab: Umur : Meski stroke sering dianggap sebagai penyakit orang tua, sepertiga stroke terjadi pada orang yang berusia kurang dari 65 tahun. Risiko stroke meningkat seiring bertambahnya usia, terutama pada pasien yang berusia lebih dari 64 tahun, di mana 75% dari semua stroke terjadi. Jenis kelamin : Pria berisiko tinggi terkena stroke dibanding wanita; pria kulit putih memiliki kejadian stroke 62,8 per 100.000, dengan kematian menjadi hasil akhir 26,3% kasus, sementara wanita memiliki insiden stroke 59 per 100.000 dan tingkat kematian 39,2%. C. Bagaimana mekanisme bibir mencong dan kelemahan sesisi tubuh kiri? Jawab: Pada stroke non-hemoragik, terjadi oklusi di pembuluh darah baik itu lacunar, karotis, vertebrobasilaris, mapun percabangan-percabangannya. Penyumbatan ini akan menyebabkan darah tidak bisa mengalir normal atau terjadinya pengalihan aliran darah agar darah masih dapat mengalir keseluruh daerah otak/saraf. Hal ini akan menyebabkan terjadinya jaringan otak/saraf yang kekurangan oksigen. Ketika jaringan otak/saraf kekurangan oksigen parah, akan terjadi infark jaringan otak/saraf sehingga sistem kerja saraf-nya terganggu 6
Pada kasus sini, terjadi oklusi pembuluh darah yang memvaskularisasi nervusfacialis bagian otot mulut sehingga terjadi deficit neurologis yang menyebabkan bibir mencong. Selain itu, adapulaoklusipadapercabanganarteribasiler yang bisamemvaskularisasi pons, pedunkulusserebral, danserebelum---sehinggabisaterjadikontralateral hemiparesis. D. Apa interpretasi dari tidak ada sakit kepala maupun muntah proyektil? Jawab: Makna dari tidak sakit kepala dan muntah proyektil adalah utuk menyingkirkan diagnosis banding, yaitu stroke hemoragik karena peningkatan tekanan intrakranial . Selain itu pada penelitian pasien yang muntah Dibandingkan dengan pasien tanpa muntah, risiko kematian secara signifikan lebih tinggi pada pasien dengan muntah saat onset stroke. Muntah harus menjadi prediktor awal hasilnya E. Apa ada makna terjadinya serangan setelah bangun tidur pagi? Jawab: Emboli bisa timbulkapan saja Istirahat parasimpatis lebih dominan vasodilatasi pembuluh darah emboli dapat bergerak kemana-mana salah satunya obstruksi ke arteri yang menyuplai darah ke otak yang menyebabkan iskemia jaringan syaraf dan pembuluh darah tempat terjadinya iskemia. Emboli bisa terjadi secara tiba-tiba pada pembuluh darah hemisfer serebri saat istirahat sebab pada posisi tidur (yang diidentikkan dengan posisi berbaring) tekanan darah ke otak lebih tinggi. Selain itu pada kasus, pasien memiliki riwayat hipertensi yangtidakdikontrol yang juga dapat memudahkan pembentukan emboli yang mana penyumbatan pembuluh darah tersebut dapat menyebabkan iskemik dan kematian jaringan hingga kelumpuhan apabila sumbatan tersebut menyebabkan kematian pada saraf yang mengatur kegiatan motorik pada tubuh. Gangguan pasokan aliran darah otak atau terhentinya aliran darah serebrum (CBF) dalam beberapa detik dapat menyebabkan disfungsi serebrum. Apabila berlanjut akan kehilangan kesadaran dan iskemia. Berhenti pasokan total oksigen selama 46 menit dapat menyebabkan kerusakan otak ireversibel.
2. Riwayat penyakit Menurut keterangan keluarga Tn. Uju lama menderita diabetes mellitus dan hipertensi, kontrol tidak teratur.
7
A. Bagaimana hubungan diabetes mellitus dan hipertensi tidak terkontrol dengan penyakit yang diderita sekarang? Jawab: Hipertensi dan diabetes melitus adalah faktor resiko dari stroke baik hemoragik maupun nonhemoragik. Hipertensi merupakan faktor risiko utama terjadinya stroke. Hipertensi meningkatkan risiko terjadinya stroke sebanyak 4 sampai 6 kali. Makin tinggi tekanan darah kemungkinan stroke makin besar karena terjadinya kerusakan pada dinding pembuluh darah sehingga memudahkan terjadinya penyumbatan/perdarahan otak. Sebanyak 70% dari orang yang terserang stroke mempunyai tekanan darah tinggi. Diabetes melitus merupakan faktor risiko untuk stroke, namun tidak sekuat hipertensi. Diabetes melitus dapat mempercepat terjadinya aterosklerosis (pengerasan pembuluh darah) yang lebih berat sehingga berpengaruh terhadap terjadinya stroke. Menurut penelitian Siregar F (2002) di RSUP Haji Adam Malik Medan dengan desain case control, penderita diabetes melitus mempunyai risiko terkena stroke dengan OR: 3,39. Artinya risiko terjadinya stroke pada penderita diabetes mellitus 3,39 kali dibandingkan dengan yang tidak menderita diabetes mellitus. B. Apa komplikasi diabetes mellitus tidak terkontrol? Jawab: 1. Komplikasi Metabolik Akut Keadaan pada komplikasi akut ada dua yakni hipoglikemia dan hiperglikemia. Hipoglikemia adalah suatu keadaan apabila kadar gula darah lebih rendah dari 60 mg/dl. Hipoglikemia bisa terjadi karena berbagaihal, misalnyapasienmeminumobatataumenyuntik insulin terlalubanyak, bisajugakarenapasientidakmakansetelahminumobatataumenyuntik insulin. Gejalanyaantara lain keringat dingin, berdebar-debar, gemetar, lemah, merasalapar, pusing, gelisah, danbisa hilang kesadaran sampai koma. Sedangkan Hiperglikemia yaitu suatu keadaan apabila kadar gula darah lebih dari 250 mg/dl. Gejala yang muncul biasanya poliuri, polidipsi pernapasan yang cepat dan dangkal, mual muntah, penurunan kesadaran sampaikoma. Hiperglikemia dapat berupa Keto Asidosis Diabetik (KAD), Hiperosmolar Non Ketotik (HNK) dan Asidosis Laktat (AL). 2. Komplikasi Metabolik Kronik Komplikasi kronik terjadi akibat diabetes melitus yang tidak terkontrol dalam waktu lama, sehingga menyebabkan kerusakan pada pembuluh darah dan saraf. Pembuluh darah yang dapa tmengalami kerusakan dibagi menjadi dua jenis, yakni pembuluh darah besar (makroangiopati) dan kerusakan pembuluh darah kecil (mikroangiopati). Termasuk dalam makroangiopati antara lain penyakit jantung koroner, pembuluh darah kaki, dan pembuluh darah otak. Sementara mikroangi opatimisalnya mengenai pembuluh darah retina yang dapat menyebabkan kebutaan. Selain itu, juga
8
dapat terjadi kerusakan pada pembuluh darah ginjal yang akan menyebabkan nefropati dia betikum. Sedangkan kerusakan mengenai saraf dinamakan neuropati, yaitu hilangnya sensasi pada ujung-ujung jari kaki. Karena rasa kebas, terutama pada kakinya, maka pasien DM sering kali tidak menyadari adanya luka pada kaki. Hingga beresiko terjadinya luka yang lebih dalam (ulkus kaki) dan perlutin dakan amputasi. C. Apa komplikasi hipertensi tidak terkontrol? Jawab: 1) Serangan jantung atau stroke. Tekanan darah tinggi dapat menyebabkan pengerasan dan penebalan arteri (aterosklerosis), yang dapat menyebabkan serangan jantung (penyakit jantung), stroke atau komplikasi lain. Serangan jantung dan stroke merupakan komplikasi hipertensi yang sangat umum ditemukan. 2) Aneurisma atau Aneurysm. Peningkatan tekanan darah dapat menyebabkan pembuluh darah melemah, membentuk suatu aneurisma. Jika aneurisma pecah, dapat mengancam jiwa. Komplikasi darah tinggi/hipertensi akibat aneurisma memerlukan perhatian gawat darurat yang khusus. 3) Gagal jantung. Untuk memompa darah terhadap tekanan tinggi dalam pembuluh, otot jantung perlu berkontraksi lebih sehingga otot akan menjadi kental. Otot kental memiliki kesulitan memompa darah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan tubuh, hal ini dapat menyebabkan komplikasi hipertensi yang berupa gagal jantung. 4) lemah dan menyempitnya pembuluh darah pada ginjal. Hal ini dapat mencegah dari organ-organ lain berfungsi normal. 3. Pemeriksaan Fisik Keadaan Umum: GCS 15 Tanda Vital: TD 200/110 mmHg, Nadi 104 x/menit, RR 20x/menit, Temp 37,2 C A. Apa interpretasi dari pemeriksaan fisik? Jawab: GCS 15 = Compos mentis
1. 2. 3. 4. 5.
Skor 14-15 : compos mentis Skor 12-13 : apatis Skor 11-12 : somnolent Skor 8-10 : stupor Skor < 5 : koma
9
Tekanan darah 200/110 mmHg : Hipertensi derajat 2
Nadi 104 x/menit : tachicardi PEMERIKSAN Tekanan darah
Nadi RR Temperatur
NILAI NORMAL < 120 mmHg (sistolik) <80 mmHg (diastolik) Sumber : JNC 7 Usila : 60 – 100 x/menit Sumber : Depkes 16 – 20 x/menit Sumber : depkes 36 – 37,5 o C Sumber : Depkes
INTERPRETASI 200/110 mmHg ( hipertensi derajat 2 ) 104 x/menit (takikardi) 20x /menit (normal) 37,2oC (normal)
B. Bagaimana mekanisme abnormalitas pada pemeriksaan fisik? Jawab: Faktor risiko seperti usia dan riwayat keluarga menyebabkan peningkatan resistensi vaskular sistemik. Peningkatan resistensi vaskular sistemik 10
menyebabkan afterload meningkat sehingga perfusi darah menuju organ menurun. Hal tersebut merangsang sel jukstaglomerular untul mensekresi renin. Renin mengkonversi angiotensinogen menjadi angiotensin I. Angotensin I dikonversikan menjadi angiotensin II dengan bantuan ACE. Kadar angiotensin II yang meningkat menyebabkan; (1) vasokonstriksi arteriolar, dan (2) peningkatan sekresi aldosteron. Vasokonstriksi alveolar meningkatkan resistensi perifer. Kadar aldosteron yang tinggi menyebabkan peningkatan reabsorpsi natrium dan air sehingga volume plasma meningkat. Peningkatan resitensi perifer dan volume plasma menyebabkan tekanan darah tinggi. 4. Pemeriksaan Neurologis Kekuatan otot ekstremitas atas 5/3, ekstremitas bawah 5/3. Komunikasi masih cukup adekuat Pemeriksaan N. Fasialis: Pica nasolabialis kiri datar, sudut mulut kiri tertinggal, tidak ada lagopthalmus, kerutan dahi simetris, (parese N VII tipe sentral) Pemeriksaan N. Hipoglossus: dysatria, Deviasi lidah ke kiri, tidak ada atropi papil lidah maupun fasikulasi (parese N. XII tipe sentral) A. Apa interpretasi dari pemeriksaan neurologis? Jawab: Hasil Nilai Normal Interpretasi Pemeriksaan Ekstremitas Superior
Ekstremitas Inferior
Nervus VII
Dekstra
5
5
Sinistra
3
5
Dekstra
5
5
Sinistra
3
5
Abnormal (Hemiprase) Abnormal (Hemiprase)
Hasi Pemeriksaan
Nilai Normal
Interpretasi
Sudut mulut tertinggal
Simetris
Gangguan saraf kranialis VII
Plica nasolabialis kiri Simetris datar
Gangguan saraf kranialis VII
Lagoftalmus
Normal
kiri
(-)
11
(-)
Kerut dahi simetris (parese nervus VII tipe Simetris sentral)
Normal
Dysatria
Normal
Gangguan saraf kranialis XII
Deviasi lidah ke kiri
simetris
Gangguan saraf kranialis XII; parese kiri
Nervus XII Atrofi papil lidah maupun fasikulasi (-) (-) (parese nervus XII tipe sentral) Komunikasi Masih cukup adekuat
Adekuat
Normal
Normal
B. Bagaimana mekanisme abnormalitas pada pemeriksaan neurologis? Jawab: Hipertensi, DM tidak terkontrol lipohyalinosis/microatheroma formation oklusi di pembuluh dara yang dalam/ percabangan dari arteri cerebri media stroke ischemia gangguan motorik Gangguan motorik yang bisa menyebabkan 1. Melemahnya kekuatan otot ekstremitas atas dan bawah 2. Terganggu nya N. Facialis tipe sentral 3. Terganggunya N. Hipoglossus tipe sentral Dimana ketiga nya dapat menyebabkan hemiparesis kontralesional
C. Bagaimana anatomi dan fisiologi N.VII dan N. XII? Jawab: Nervus Facialis
12
I.
II. N. facialis muncul sebagai sebuah radix motoria dan sebuah radix sensoria (nervus intermedius).Saraf muncul pada permukaan anterior otak belakang di antara pons dan medulla oblongata. Radix berjalan ke lateral di dalam fossa cranii posterior bersama N.vestibulocochlearis dan masuk ke meatus acusticus internus pada pars petrosa ossis temporalis. Pada dasar meatus, saraf ini masuk canalis facialis, berjalan ke lateral melintasi telinga dalam. Pada saat mencapai dinding medial telinga tengah (cavitas tympani), saraf melebar membentuk ganglion geniculatum.Kemudian saraf membelok secara tajam ke belakang di atas promontorium dan pada dinding posterior telinga tengah membelok ke bawah pada sisi medial aditus ad antrum mastoideum. Nervus facialis berjalan ke bawah di belakang pyramid, dan keluar dari os temporale melalui foramen stylomastoideum. Nervus facialis kemudian berjalan ke depan melalui glandula parotidea ke daerah distribusinya. 13
Cabang-Cabang Penting Nervus Facialis Nervus petrossus major dicabangkan dari nervus facialis pada ganglion geniculatum. Nervus ini mengandung serabut-serabut preganglionic parasimpatik yang bersinaps di ganglion pterygopalatinum. Serabut-serabut postganglionic merupakan sekretomotorik glandula lacrimalis dan glandula di hidung dan palatum. Nervus petrosus major juga mengandung serabut pengecap dari palatum. Nervus ke musculus stapedius menyarafi musculus stapedius di dalam telinga tengah. Chorda tympani berasal dari nervus facialis di dalam canalis facialis pada dinding posterior telinga tengah. Saraf ini berjalan ke depan di atas permukaan medial bagian atas membrana tympani dan meninggalkan telinga tengah melalui fissure petrotympanica, masuk fossa infratemporalisdan bergabung dengan nervus lingualis. Chorda tympani mengandung serabut-serabut sekretomotorik parasimpatik preganglionic yang menuju ke glandula submandibularis dan glandula sublingualis. Saraf ini mengandung juga serabut pengecap dari dua pertiga bagian anterior lidah dan dasar mulut. Nervus auricularis posterior, venter posterior musculus digastricus dan stylohyoideus adalah rami musculares dari nervus facialis pada saat saraf ini muncul dari foramen stylomastoideum. Lima rami terminales ke otot-otot ekspresi wajah. Cabang-cabang tersebut adalah ramus temporalis, ramus zygomaticus, ramus buccalis, ramus mandibularis, dan ramus cervicalis. Setelah meninggalkan foramen stylomastoideum, nervus facialis terletak di dalam glandula parotidea, dan terletak di antara pars superficialis dan pars profunda glandula.Di sini, nervus facialis memberikan cabang-cabang terminal, yang muncul dari pinggir anterior glandula dan berjalan ke otot-otot wajah dan kulit kepala.Ramus buccalis menyarafi musculus buccinators, dan ramus cervicalis menyarafi musculus platysma dan musculus depressor anguli oris. Dengan demikian nervus facialis mengatur ekspresi wajah, salivasi, dan lakrimasi serta merupakan jalur unutk sensasi pengecap dari bagian anterior lidah dan dasar mulut serta dari palatum. Nervus Hypoglossus N. hypoglossus adalah saraf motoric. Nervus ini muncul pada permukaan anterior medulla oblongata di antara pyramis dan oliva, melewati fossa cranii posterior, dan meninggalkan cranium melalui canalis nervi hypoglossi. Kemudian saraf ini berjalan ke bawah dan depan di leher untuk menyilang arteria carotis interna dan externa untuk mencapai lidah. Dalam perjalanan bagian atasnya, nervus hypoglossus bergabung dengan serabut C1 dari plexus cervicalis. Cabang-cabang penting N.Hypoglossus Ramus meningeus.
14
Ramus descendens (serabut C1) berjalann ke bawah dan bergabung dengan ramus descendens nervus cranialis (C2 dan C3) untuk membentuk ansa cervicalis. Cabang-cabang dari ansa ini menyarafi musculus omohyoideus, musculus sternohyoideus, dan musculus sternothyroideus. Nervus ke musculus thyroideus (C1) Rami musculares ke semua otot-otot lidah, kecuali musculus palatoglossus (plexus pharyngeus). Nervus ke musculus geniohyoideus (C1) Dengan demikian nervus hypoglossus menyarafi otot-otot lidah (kecuali musculus palatoglossus) dan dengan demikian mengatur bentuk dan gerakan lidah.
D. Apa saja pemeriksaan neurologis yang diperlukan pada kasus dan bagaimana prosedurnya? Jawab: 1. Elektromiografi (EMG) EMG sering kali dilakukan oleh bagian neurologi. Pemeriksaan ini bermanfaat untuk menentukan perjalanan respons reinervasi pasien. Pola EMG dapat diklasifikasikan sebagai respon normal, pola denervasi, pola fibrilasi, atau suatu pola yang kacau yang mengesankan suatu miopati atau neuropati. Namun, nilai suatu EMG sangat terbatas kurang dari 21 hari setelah paralisis akut. Sebelum 21 hari, jika wajah tidak bergerak, EMG akan memperlihatkan potensial denervasi. Potensial fibrilasi merupakan suatu tanda positif yang menunjukkan kepulihan sebagian serabut. Potensial ini terlihat sebelum 21 hari.2
2.
Elektroneuronografi (ENOG) ENOG memberi informasi lebih awal dibandingkan dengan EMG. ENOG melakukan stimulasi pada satu titik dan pengukuran EMG pada satu titik yang lebih distal dari saraf. Kecepatan hantaran saraf dapat diperhitungkan. Bila terdapat reduksi 90% pada ENOG bila dibandingkan dengan sisi lainnya dalam sepuluh hari, maka kemungkinan sembuh juga berkurang secara bermakna. Fisch Eselin melaporkan bahwa suatu penurunan sebesar 25 persen berakibat penyembuhan tidak lengkap pada 88 persen pasien mereka, sementara 77 persen pasien yang mampu mempertahankan respons di atas angka tersebut mengalami penyembuhan normal saraf fasialis.2
3.
Uji Stimulasi Maksimal Uji stimulasi merupakan suatu uji dengan meletakkan sonde ditekankan pada wajah di daerah saraf fasialis. Arus kemudian dinaikkan perlahan-lahan hingga 5 ma, atau 15
sampai pasien merasa tidak nyaman. Dahi, alis, daerah periorbital, pipi, ala nasi, dan bibir bawah diuji dengan menyapukan elektroda secara perlahan. Tiap gerakan di daerah-daerah ini menunjukkan suatu respons normal. Perbedaan respons yang kecil antara sisi yang normal dengan sisi yang lumpuh dianggap sebagai suatu tanda kesembuhan. Penurunan yang nyata adalah apabila terjadi kedutan pada sisi yang lumpuh dengan besar arus hanya 25 persen dari arus yang digunakan pada sisi yang normal. Bila dibandingkan setelah 10 hari, 92 persen penderita Bell’s Palsy kembali dapat melakukan beberapa fungsi. Bila respon elektris hilang, maka 100 persen akan mengalami pemulihan fungsi yang tidak lengkap. Statistik menganjurkan bahwa bentuk pengujian yang paling dapat diandalkan adalah uji fungsi saraf secara langsung.2 5. Pemeriksaan Laboratorium: GDS 300 mg%, total kolestrol 350 mg/dl A. Apa interpretasi dari pemeriksaan laboratorium? Jawab: normal
Interpretasi
GDS 300 mg%,
70-130 mg/dl
Tinggi
total kolestrol 350 mg/dl
<200 mg/dl
Tinggi
B. Bagaimana mekanisme abnormalitas pada pemeriksaan laboratorium? Jawab: GDS 300 mg% Gangguan fungsi reseptor insulin (Diabetes mellitus tipe 2) meningkatnya lipolisis dan peningkatan kadar asam lemak bebas bersamaan dengan meningkatnya produksi glukosa hati dan menurunnya ambilan glukosa di otot hiperglikemi
16
Total kolestrol 350 mg/dl
Metabolisme lipid pada diabetes mellitus (dislipidemia diabetik): Dislipidemia sering dijumpai pada pengidap diabetes mellitus.Dislipidemia pada diabetes mellitus 2-3 kali lebih tinggi dibandingkan dengan populasi pada umumnya Kelainan metabolisme pada penderita diabetes mellitus sering memberi dampak pada kadar lemak dalam darah. Insulin berperan penting dalam metabolisme lemak dan karbohidrat dijaringan hepar dan lemak. Dijaringan lemak, insulin memacu sintesis asam lemak dan trigliserida, dengan menghambat lipolisis. Dijaringan hepar, insulin meningkatkan sintesis asam lemak, memacu sekresi VLDL dan memacu enzim HMG-KoA reduktase. Dengan demikian, jika terjadi kelainan (penurunan) sekresi dan efek insulin (resistensi insulin) maka akan diikuti dengan metabolisme lemak dan karbohidrat. Kelainan yang terjadi tergantung pada tipe diabetes, derajat defisiensi insulin yang ada dan kontrol diabetesnya. Ciri khas diabetes mellitus tipe II adalah heterogenitas dan hiperinsulinemia atau resistensi insulin. Kadar insulin plasma ditingkat jaringan perifer (hepar, lemak dan otot) relatif kurang. Akibatnya, kadar glukosa darah meningkat, dan juga diikuti peninggian kadar lemak darah. Yang paling sering adalah peninggian kadar trigliserida. Peninggian kadar trigliserida dapat bersumber dari peningkatan produksi VLDL. Pada penderita dengan hiperglikemia yang nyata stimulus untuk peningkatan produksi dan sekresi VLDL adalah 17
peningkatan influks asam lemak bebas ke hepar. Hiperinsulinemia sendiri secara langsung memacu produksi dan sekresi VLDL di jaringan hepar. Dislipidemia pada diabetes ditandai dengan meningkatnya kadar trigliserida dan menurunnya kadar HDL kolesterol. Kadar LDL kolesterol tidak banyak berbeda dengan yang ditemukan pada individu non diabetes, namun lebih didominasi oleh bentuk yang lebih kecil dan padat (small dense LDL). Partikel-partikel LDL kecil padat ini secara intrinsik lebih bersifat aterogenik daripada partikel-partikel LDL yang lebih besar. Selanjutnya, karena ukurannya yang lebih kecil, kandungan didalam plasma lebih besar jumlahnya, sehingga lebih meningkatkan risiko aterogenik. Trias dari abnormalitas profil lipid ini dikenal dengan istilah “dislipidemia diabetik”. Meningkatnya sifat aterogenisitas ini disebabkan karena adanya pengaruh proses glikosilasi, oksidasi dan tingginya kandungan trigliserida didalam lipoprotein. Glikosilasi LDL akan meningkatkan waktu paruhnya, sehingga bentuknya menjadi lebih kecil dan padat serta lebih bersifat aterogenik. Bentuk ini lebih mudah mengalami oksidasi serta lebih mudah diambil oleh makrofag untuk membentuk sel-sel busa (foam cells). Glikosilasi HDL akan memperpendek waktu paruhnya dan membentuk lebih banyak varian HDL3 yang kurang bersifat protektif dibandingkan varian HDL2. Kemampuan HDL untuk mengangkut kolesterol dari jaringan perifer kembali ke hati mengalami penurunan bila HDL banyak mengandung trigliserida. Tabel Perubahan lipoprotein dan lemak darah pada diabetes mellitus Trigliserida
Meninggi
Kolestrol
Meninggi atau normal
VLDL-trigliserida
Meninggi
VLDL-kolestrol
Meninggi
HDL-kolestrol
Menurun
6. Template A. Apa diagnosis kerja pada kasus? Jawab: Stroke non hemoragik B. Apa diagnosis banding pada kasus? 18
Jawab: STROKE HEMORAGIK
NON STROKE HEMORAGIK
TUMOR OTAK
Awalmula kelumpuhan Awal mula Dengan gejala defisit neurologi biasanya saat istirahat/ kelumpuhan terjadi sangat lambat sampai berbulanpasien tidak melakukan saat beraktifitas bulan aktivitas Pasien mengalami nyeri hebat pada saat berakifitas yang Pasien mengalami menyebabkan peninggian LCS Nyeri kepala sifatnya nyeri kepala yang intrakranial. Seperti ringan atau sangat ringan hebat membungkuk, mengejan. Dan nyeri menurun apabila tidak beraktifitas Tidak ditemukan adanya Adanya kejang dan Mudah lesu , gangguan daya kejang atau muntah saat muntah saat serangan ingat dan penurunan kesadaran serangan terjadi terjadi Penurunana kesadaran Penurunan kesadaran bersifat ringan bersifat sangat nyata C. Bagaimana algoritma penegakan diagnosis? Jawab: Algoritma Stroke Gajah Mada
19
20
D. Bagaimana pemeriksaan penunjang pada kasus ini? Jawab:
21
E. Bagaimana tata laksana pada kasus ini? Jawab: Tata LaksanaKhusus Stroke Iskemi 1. Trombolisis pada stroke akut Recombinant Tissue Plasminogen Activator (rTPA) dengan dosis 0,9 mg/KgBB (maksimal 90 mg) direkomendasikan pada pasien dengan presentasi stroke antara 3-4,5 jam. Kontra indikasi rTPA: pasienberusia> 80 tahun, konsumsi antikoagulan oral (berapapun nilai INR), pasien dengan bukti jejas iskemik lebih dari 1/3 area arteri serebri media, dan pasien dengan riwayat stroke. 2. Antiplatelet Aspirin dengan dosis awal 325 mg dalam 24-48 jam setelah awitan stroke. Pada pasien yang alergi terhadap aspirin atau telah mengkonsumsi aspirin secara teratur, berikan klopidogrel 75 mg/hari. 3. Obat neuroprotektor sampai saat ini belum menunjukkan hasil yang efektif. Akan tetapi, citicolin sampai saat ini masih memberikan manfaat pada stroke akut. Dosis awal 2x1000 mg intravena selama 3 hari dilanjutkan 2x1000 mg PO selama 3 minggu. F. Bagaimana tata laksana hipertensi pada pasien stroke nonhaemorrhagic? Jawab: Hipertensi
Tekanan darah diturunkan bila tekanan sistolik >220 mmHg dan/atau tekanan diastolic >120 mmHg dengan penurunan maksimal 20% Mean Arterial Pressure (MAP) awal per hari. Tekanan Darah Sistolik (TDS) >230 mmHg atau Tekanan Darah Diastolik (TDD) >140 mmHg, obat antihipertensi dengan nikardipin (5-15 mg/ jam infus kontinu), diltiazem (5-40 mg/Kg/menit infus kontinu) atau nimodipin (60 mg/4 jam PO) TDS 180-230 mmHg, TDD 105-140 mmHg, MAP 130 mmHg pada 2X pengukuran selang 20 menit atau pada keadaan hipetensi emergensi dapat diberikan: Labetalol 10-20 mg IVselama 1-2 menit. Ulangi atau gandakan setiap 10 menit (maksimum 300 mg). Atau berikan dosis awal bolus yang diikuti labetalol drip 2-8 mg/menit Nikardipin Diltiazem Nimodipin 22
TDS < 180 mmHg dan TDD < 105 mmHg tidak diberikan obat antihipertensi
G. Bagaimana tata laksana diabetes mellitus pada pasien strok nonhaemorrhagic? Jawab: Penatalaksanaan Gula Darah Pada kasus stroke, pengaturan gula darah menjadi penting karena hiperglikemia berhubungan dengan luasnya volume infark dan gangguan kortikal serta memperburuk keluaran pasien. Secara umum, hindari kadar gula darah> 180 mg/dL. Kadar gula> 180 mg/dL diturunkan dengan infusNaCl 0.9%. Penggunaan larutan glukosa dalam 24 jam pertama setelah stroke sebaiknya dihindari. Insulin subkutan diberikan dengan scliding table. Insulin intravena dengan standar drip insulin 100U/100 mL salin normal. Infus insulin harus dihentikan bila penderita makan dan menerima dosis pertama insulin subkutan. Gula darah diperiksa satu jam sekali selama 4 jam pertama, kemudian apabila stabil dapat diperiksa 2 jam sekali. Infus Insulin dapat diturunkan apabila gula darah pasien stabil.
23
H. Bagaimana prognosis pada kasus?
24
Jawab:Untuk bertahan hidup setelah infark serebral lebih baik dari pada setelah perdarahan serebral atau subarachnoid. Satu-satunya terapi efektif untuk stroke akut memerlukan inisiasi dalamwaktu 3 jam setelah onset stroke, dan prognosisnya tergantung pada waktu yang berlalu sebelum tiba di rumah sakit. Pasien yang menerima perawatan tersebut dengan aktivator plasminogen jaringansetidaknya 30% lebihmungkinmemilikicacat minimal atau tidak ada sama sekali pada 3 bulan dibandingkan mereka yang tidak diobati dengan cara ini. Kehilangan kesadaran setelah infark serebral menyiratkan prognosis yang lebih buruk. Tingkat infark mengatur potensi rehabilitasi. Pasien yang memiliki infark serebral berisiko mengalami stroke tambahan dan infark miokard. Terapi statin untuk menurunkan kadar lipid serum dapat mengurangi risiko ini. Terapi anti platelet mengurangi tingkat kekambuhan hingga 30% di antara pasien tanpa penyebab kardiak stroke yang bukan kandidat untuk endarterektomi karotis. Namundemikian, risiko kumulatif kekambuhan stroke non cardioembolik masih 3-7% per tahun. Perbandingan 2 tahun tidak menunjukkan manfaat warfarin karena aspirin (325 mg per hari), dandosis warfarin yang lebih tinggi harus dihindari karena hal itu menyebabkan peningkatan kejadian perdarahan mayor. Pasien dengan stroke besar yang pemulihan berarti tidak mungkin harus mendapatkan perawatan paliatif
IV.
I. Apa SKDI pada kasus? Jawab: SKDI 3B Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik dan memberikan terapi pendahuluan pada keadaan gawat darurat demi menyelamatkan nyawa atau mencegah keparahan dan/atau kecacatan pada pasien. Lulusan dokter mampu menentukan rujukan yang paling tepat bagi penanganan pasien selanjutnya. Lulusan dokter juga mampu menindaklanjuti sesudah kembali dari rujukan Sintesis 1. Anatomi dan fisiologi otak Anatomi Otak
25
Otak adalah bagian susunan saraf pusat yang terletak di dalam cavum cranii, dilanjutkan sebagai medulla spinalis setelah melalui foramen magnum. Seperti terlihat pada gambar di atas, otak dibagi menjadi empat bagian: 1. Cerebrum (Otak Besar) Cerebrum adalah bagian terbesar dari otak manusia yang juga disebut dengan nama Cerebral Cortex, Forebrain atau Otak Depan. Cerebrum merupakan bagian otak yang membedakan manusia dengan binatang.Cerebrum membuat manusia memiliki kemampuan berpikir, analisa, logika, bahasa, kesadaran, perencanaan, memori dan kemampuan visual.Kecerdasan intelektual atau IQ Anda juga ditentukan oleh kualitas bagian ini. Cerebrum secara terbagi menjadi 4 (empat) bagian yang disebut Lobus.Bagian lobus yang menonjol disebut gyrus dan bagian lekukan yang menyerupai parit disebut sulcus. Keempat Lobus tersebut masing-masing adalah: Lobus Frontal, Lobus Parietal, Lobus Occipital dan Lobus Temporal. Lobus Frontal merupakan bagian lobus yang ada dipaling depan dari Otak Besar. Lobus ini berhubungan dengan kemampuan membuat alasan, kemampuan gerak, kognisi, perencanaan, penyelesaian masalah, memberi penilaian, kreativitas, kontrol perasaan, kontrol perilaku seksual dan kemampuan bahasa secara umum. Lobus Parietal berada di tengah, berhubungan dengan proses sensor perasaan seperti tekanan, sentuhan dan rasa sakit. Lobus Temporal berada di bagian bawah berhubungan dengan kemampuan pendengaran, pemaknaan informasi dan bahasa dalam bentuk suara. Lobus Occipital ada di bagian paling belakang, berhubungan dengan rangsangan visual yang memungkinkan manusia mampu melakukan interpretasi terhadap objek yang ditangkap oleh retina mata. Apabila diuraikan lebih detail, setiap lobus masih bisa dibagi menjadi beberapa area yang punya fungsi masing-masing, seperti terlihat pada gambar di bawah ini. Selain dibagi menjadi 4 lobus, cerebrum (otak besar) juga bisa dibagi menjadi
dua belahan, yaitu belahan otak kanan dan belahan otak kiri. Kedua belahan itu terhubung oleh kabel-kabel saraf di bagian bawahnya. Secara umum, belahan otak kanan mengontrol sisi kiri tubuh, dan belahan otak kiri mengontrol sisi kanan tubuh.
26
Otak kanan terlibat dalam kreativitas dan kemampuan artistik. Sedangkan otak kiri untuk logika dan berpikir rasional. Otak mengandung substansi abu-abu dan substansi putih. Substansi abu-abu yang membentuk bagian luar otak (korteks). Substansi ini mengandung badan sel neuron, serabut tak termielinasi, astrosit protoplasma, oligodendrosit, dan mikroglia. Substansi putih yang membentuk bagian dalam otak. Kandungan pada substansi ini didominasi oleh serabut termielinisasi, oligodendrosit, astrosit fibrosa, dan mikroglia. Substansia kelabu biasanya berada pada permukaan serebrum dan serebelum, membentuk korteks serebral dan serebelar. Kumpulan badan sel neuron yang membentuk pulau-pulau substansia kelabu yang dikelilingi oleh substansia putih disebut nuclei. Pada korteks serebri, substansia putih terdiri atas 6 lapis sel dengan bentuk dan ukuran yang berbeda. Neuron-neuron pada beberapa tempat di korteks serebri mengatur impuls aferen (sensorik), sedangkan di tempat lain neuro eferen (motorik) mengaktifkan impuls motorik yang mengatur pergerakan volunteer. Sel-sel dari korteks serebri dihubungkan dengan informasi sensorik yang terintegrasi dan permulaan respons motorik volunteer. Korteks serebri memiliki 3 lapisan, yaitu lapisan molecular luar, lapisan tengah yang terdiri dari sel-sel Purkinye besar, dan lapisan granular dalam. Sel-sel Purkinye memiliki badan sel yang mencolok dengan dendritnya yang berkembang dengan sempurna sehingga menyerupai kipas. Dendrit ini menempati hampir seluruh lapisan molecular dan menjadi alasan untuk jarangnya nuclei pada lapisan itu. Lapisan granular disusun oleh sel-sel yang sangat kecil (sel terkecil di tubuh kita) yang cenderung merata, berbeda dengan lapisan molecular yang kurang padat sel. Area fungsional korteks serebral meliputi area motorik primer, area sensorik primer, dan area asosiasi atau sekunder yang berdekatan dengan area primer dan berfungsi untuk integrasi dan interpretasi tingkat tinggi. Area motorik primer pada korteks a. Area motorik primer terdapat dalam girus presental. Di sini, neuron (piramidal) mengendalikan kontraksi volunter otot rangka. Aksonnya menjalar dalam traktus piramidal. b. Area promotorik korteks terletak tepat di sisi anterior girus presentral. Neuron (ekstrapiramidal) mengendalikan aktivitas motorik yang terlatih dan berulang, seperti mengetik. c. Area Broca terletak di sisi anterior area premotorik pada tepi bawahnya. Area ini mungkin hanya terdapat pada 1 hemisfer saja (biasanya sebelah kiri) dan dihubungkan dengan kemampuan wicara. Area sensorik korteks a. Area sensorik primer terdapat dalam girus postsentral. Di sini, neuron menerima informasi sensorik umum yang berkaitan dengan nyeri, tekanan, suhu, sentuhan, dan propriosepsi dari tubuh. b. Area visual primer terletak dalam lobus oksipital dan menerima informasi dari retina mata. c. Area auditori primer terletak pada tepi atas lobus temporal, menerima impuls saraf yang berkaitan dengan pendengaran. 27
d. Area olfaktori primer terletak pada permukaan medial lobus temporal, berkaitan dengan indera penciuman. e. Area pengecap primer (gustatori) terletak dalam lobus parietal dekat bagian inferior girus postsentral, terlibat dalam persepsi rasa.
Area asosiasi a. Area asosiasi frontal, yang terletak pada lobus frontal, adalah sisi fungsi intelektual dan fisik yang lebih tinggi. b. Area asosiasi somatic (somestetik), yang terletak dalam lobus parietal, berkaitan dengan interpretasi bentuk dan tekstur suatu objek dan keterkaitan bagian-bagian tubuh secara posisional. c. Area asosiasi visual (yang terletak pada lobus oksipital) dan area asosiasi auditorik (yang terletak dalam lobus temporal) berperan untuk menginterpretasi pengalaman visual dan auditori. d. Area wicara Wernicke, yang terletak dalam bagian superior lobus temporal, berkaitan dengan pengertian bahasa dan formulasi wicara. Bagian ini berhubungan dengan area wicara Broca
2. Cerebellum (Otak Kecil)
Otak Kecil atau Cerebellum terletak di bagian belakang kepala, dekat dengan ujung leher bagian atas. Cerebellum mengontrol banyak fungsi otomatis otak, diantaranya: mengatur sikap atau posisi tubuh, mengkontrol keseimbangan, koordinasi otot dan gerakan tubuh. Otak Kecil juga menyimpan dan melaksanakan 28
serangkaian gerakan otomatis yang dipelajari seperti gerakan mengendarai mobil, gerakan tangan saat menulis, gerakan mengunci pintu dan sebagainya. Jika terjadi cedera pada otak kecil, dapat mengakibatkan gangguan pada sikap dan koordinasi gerak otot. Gerakan menjadi tidak terkoordinasi, misalnya orang tersebut tidak mampu memasukkan makanan ke dalam mulutnya atau tidak mampu mengancingkan baju. 3. Brainstem (Batang Otak)
Batang otak (brainstem) berada di dalam tulang tengkorak atau rongga kepala bagian dasar dan memanjang sampai ke tulang punggung atau sumsum tulang belakang. Bagian otak ini mengatur fungsi dasar manusia termasuk pernapasan, denyut jantung, mengatur suhu tubuh, mengatur proses pencernaan, dan merupakan sumber insting dasar manusia yaitu fight or flight (lawan atau lari) saat datangnya bahaya. 29
Batang otak dijumpai juga pada hewan seperti kadal dan buaya. Oleh karena itu, batang otak sering juga disebut dengan otak reptil. Otak reptil mengatur “perasaan teritorial” sebagai insting primitif. Contohnya anda akan merasa tidak nyaman atau terancam ketika orang yang tidak Anda kenal terlalu dekat dengan anda. Batang Otak terdiri dari tiga bagian, yaitu:
Mesencephalon atau Otak Tengah (disebut juga Mid Brain) adalah bagian teratas dari batang otak yang menghubungkan Otak Besar dan Otak Kecil. Otak tengah berfungsi dalam hal mengontrol respon penglihatan, gerakan mata, pembesaran pupil mata, mengatur gerakan tubuh dan pendengaran. Medulla oblongata adalah titik awal saraf tulang belakang dari sebelah kiri badan menuju bagian kanan badan, begitu juga sebaliknya. Medulla mengontrol funsi otomatis otak, seperti detak jantung, sirkulasi darah, pernafasan, dan pencernaan. Pons merupakan stasiun pemancar yang mengirimkan data ke pusat otak bersama dengan formasi reticular. Pons yang menentukan apakah kita terjaga atau tertidur.
4. Sistem Limbik
Sistem limbik terletak di bagian tengah otak, membungkus batang otak ibarat kerah baju. Limbik berasal dari bahasa latin yang berarti kerah. Bagian otak ini samadimiliki juga oleh hewan mamalia sehingga sering disebut dengan otak mamalia. Komponen limbik antara lain hipotalamus, thalamus, amigdala, hipocampus dan korteks limbik.Sistem limbik berfungsi menghasilkan perasaan, mengatur produksi 30
hormon, memelihara homeostasis, rasa haus, rasa lapar, dorongan seks, pusat rasa senang, metabolisme dan juga memori jangka panjang. Bagian terpenting dari Limbik Sistem adalah Hipotalamus yang salah satu fungsinya adalah bagian memutuskan mana yang perlu mendapat perhatian dan mana yang tidak.Sistem limbik menyimpan banyak informasi yang tak tersentuh oleh indera.Dialah yang lazim disebut sebagai otak emosi atau tempat bersemayamnya rasa cinta dan kejujuran. Carl Gustav Jung menyebutnya sebagai "Alam Bawah Sadar" atau ketidaksadaran kolektif, yang diwujudkan dalam perilaku baik seperti menolong orang dan perilaku tulus lainnya. LeDoux mengistilahkan sistem limbik ini sebagai tempat duduk bagi semua nafsu manusia, tempat bermuaranya cinta, penghargaan dan kejujuran. Arteri Otak Otak disuplai oleh dua a.carotis interna dan dua a. vertebralus. Keempat arteri ini beranastomosis pada permukaan inferior otak membentuk circulus Willisi (circulus arteriosus). Arteria Carotis Interna A. carotis interna keluar dari sinus cavernosus pada sisi meial processus clinoideus anterior dengan menembus durameter. Kemudian arteri ini membelok ke belakang menuju sulcus cerebri lateralis. Di sini, arteri ini bercabang menjadi a. cerebri anterior dan a. cerebri media. Arteria Vertebralis A. vertebralis, cabang dari bagian pertama a. subclavia, berjalan ke atas melalui foramen processus transversus vertebra C1-6. Pembuluh ini masuk ke tengkorak melalui foramen magnum dan berjalan ke atas, depan dan medial medulla oblongata. Pada pinggir bawah pons arteri ini bergabung dengan arteri dari sisi lainnya membentuk a. basilaris. Arteria Basilaris A. basilaris, dibentuk dari gabungan kedua a. vertebralis, berjalan naik di dalam alur pada permukaan anterior pons. Pada pinggir atas pons bercabang dua menjadi a. cerebri posterior. A. cerebri posterior pada masing-masing sisi melengkung ke lateral dan belakang di sekeliling mesencephalon. Cabang-cabang cortical menyuplai permukaan inferolateral lobus temporalis dan permukaan lateral dan medial lobus occipitalis. Jadi menyuplai cortex visual. Cabang-cabang central menembus substansi otak dan menyuplai massa substansia grisea di dalam hemisphere cerebri dan mesencephalon. Circulus Willisi Circulus Willisi terletak di dalam fossa interpeduncularis pada dasar otak. Circulus ini dibentuk oleh anastomosis antara kedua a. carotis interna dan kedua a. vertebralis. A. communicans anterior, a. cerebri anterior, a. carotis interna, a. communicans posterior, a. 31
cerebri posterior, dan a. basilaris ikut membentuk circulus ini. Circulus Willisi memungkinkan darah yang masuk melalui a. carotis interna atau a. vertebralis didistribusikan ke setiap bagian dari kedua hemispherium cerebri. Vena Otak Vena-vena otak tidak mempunyai jaringan otot di dalam dindingnya yang sangat tipis dan tidak mempunyai katup. Vena tersebut keluar dari otak dan bermuara ke dalam sinus venosus cranialis.
Pengaturan Aliran Darah Otak Autoregulasi otak adalah kemampuan otak normal mengendalikan volume aliran darahnya sendiri bawah kondisi tekanan arteri yang berubah-ubah. Fungsi ini dilakukan dengan mengubah resistensi pembuluh untuk mempertahankan tekanan aliran darah ke otak dalam rentang fisiologik antara 60-160 mmHg tekanan arteri rata-rata. Apabila tekanan arteri sitemik turun mendadak ke tekanan yang lebih rendah dari rentang fisiologik, arteriol-arteriol berdilatasi untuk menurunkan resistensi sehingga aliran darah 32
ke otak dipertahankan normal. Sebaliknya jika tekanan arteri sistemik meningkat, arteriolarteriol berkontraksi untuk mempertahankan aliran darah ke otak walaupun terjadi peningkatan tekanan dorongan darah arteri. Autoregulasi otak sangat penting untuk melindungi otak dari peningkatan atau penurunan mendadak tekanan darah arteri. Tetapi pada tekanan-tekanan ekstrim yang melebihi rentang fisiologik antara 60-160 mmHg, mekanisme autoregulasi protektif inidapat gagal sehingga aliran darah otak secara pasif mengikuti tingkat tekanan di sirkulasi sistemik. Fisiologi Otak 1. Kolumna Dorsalis Lemniskus Medialis (Jaras Sensorik)
2. Traktus Kortikospinal (Jaras Motorik)
Walaupun setiap jaras berakhir pada nukleus-nukleus yang berbeda, namun rangsangan dari nukleus-nukleus tersebut seluruhnya disampaikan ke gyrus postcentralis (jaras sensori) dan gyrus precentral (jaras motorik), kerusakan pada gyrus-gyrus ini dapat menyebabkan kelumpuhan total fungsi sensorik dan motorik seseorang.
33
Gambar homunculus diatas (pada precentral dan postcentral gyrus) menunjukan fungsi tiap-tiap area yang berbeda, hal ini dapat dijadikan petunjuk seberapa besar nekrosis yang terjadi pada lobus-lobus ini. Pengaliran darah ke-otak dilakukan oleh 2 pembuluh arteri utama yaitu sepasang arteri carotis interna yang mengalir sekitar 70% dari keseluruhan jumlah darah otak dan sepasang arteri vertebralis yang memberikan 30% sisanya. Arterio karotis bercabang menjadi arteri cerebri anterior dan arteri cerebri media yang memperdarahi daerah depan hemisfer cerebri, pada bagian belakang otak dan dibagian otak dibalik lobus temporalis. Kedua bagian otak terakhir ini memperoleh darah dari arteri cerebri posterior yang berasal dari arteri vertebralis (chusid, 1993) Peredaran darah otak dipengaruhi oleh beberapa faktor : a) Tekanan darah dikepala (perebedaan antara tekanan arteriol dan venosa pada daerah setinggi otak), tekanan darah arteri yang penting dan menentukan rata-rata 70 mmHg, dan dibawah tekanan ini terjadi pengurangan sirkulasi darah yang serius. b) Resistensi cerebrovaskuler : Resistensi aliran darah arteri melewati otak dipengaruhi : – Tekanan liquor cerebrospinalis intracranial, peningkatan resistensi terhadap aliran darah terjadi sejajar dengan meningginya tekanan liquor cerebrospinalis, pada tekanan diatas 500 mm air, terjadi suatu restriksi sirkulasi yang ringan sampai berat. – Viskositas darah : sirkulasi dapat menurun lebih dari 50% pada policythemia, suatu peningkatan yang nyata didalam sirkulasi darah otak dapat terjadi pada anemia berat. – Keadaan pembuluh darah cerebral, terutama arteriole : pada keadaan patologis, blok ganglion stelata dapat mengalami kegagalan untuk mempengaruhi aliran darah ke otak. 2. Nervus VII dan XII 34
1. Nervus Facialis Nervus Pacialis mempunyai empat buah inti yaitu : • Nukleus Facialis untuk saraf Somatomotoris • Nukleus Salivatorius Superior untuk saraf Viseromotoris • Nukleus Solitarius Untuk saraf Viserosensoris • NukleuS Sensoris Trigeminus untuk saraf Somatosensoris Nervus facialis mempunyai dua subdivisi, yaitu saraf yang mengandung komponen motorik dan menginervasi otot-otot ekspresi wajah, dan n. intermedius yang mengandung aferen otonom, somatik, dan eferennya (Satyanegara, 1998). Nukleus motorik n. facialis di bagian ventrolateral tegmentum pons dekat medulla oblongata. Pada mulanya, akson neuron pertamanya berjalan menuju dasar ventrikel IV dekat garis tengah, dan kemudian melingkari nucleus n.VI terus ke arah sudut serebelopontomedularis tepat di depan n.VIII. Lutut n.VII akan membentuk kolikulus fasialis pada dasar ventrikel IV tepat di atas stria medularis horizontalis. N. intermedius keluar di antara n. VII dan n. VIII. Ketiganya akan berlanjut masuk ke dalam kanalis akustikus internus, dan di dalamnya, n.VII dan intermedius akan memisahkan diri ke lateral dalam kanalis fasialis sampai ganglion genikulatum. N. facialis akan meninggalkan tengkorak melalui foramen stilomastoideus dan kemudian dari sini serabut-serabut motoriknya akan tersebar di otot-otot wajah (m. orbicularis oculi, buccinators, digastricus posterior, dan platisma). Gangguan pada nervus fasialis terdiri atas paralisa perifer, paralisa nuklear, dan paralisa supranuklear (Satyanegara, 1998). Nervus intermedius mengandung beberapa komponen aferen dan eferen. Serabut aferennya menghantarkan impuls dari reseptor kecap dua pertiga depan lidah. Serabut ini berjalan bersama dengan n. lingualis (cabang n. mandibularis), khorda timpani, menuju ke ganglion genikulatum serta berakhir pada nukleus traktus solitarius (di mana serabut kecap n. IX juga berakhir). N. intermedius juga mengandung serabut eferen parasimpatis yang berasal dari nukleus salivatorius superior (sebelah bawah medial nucleus n. VII) dan menuju ke kelenjar lakrimalis, kelenjar-kelenjar di mukosa hidung. Ada sebagian serabut Nervus facialis muncul sebagai sebuah radix motoria dan radix sensoria (nervus intermedius). Saraf muncul pada permukaan anterior otak belakang di antara pons dan medulla oblongata. Radix berjalan ke lateral di dalam fossa cranii posterior bersama nervus vestibulocochlearis dan masuk ke meatus acusticus internus pada pars petrosa ossis temporalis. Pada dasar meatus, saraf ini masuk canalis facialis, berjalan ke lateral melintasi telinga dalam. Pada saat mencapat dinding medial telinga tengah (cavitas tympani), saraf melebar membentuk ganglion geniculatum. Kemudian saraf membelok secara tajam ke belakang di atas promontorium dan pada dinding posterior telinga tengah membelok ke bawah pada sisi medial aditus ad antrum mastoideum. Nervus facialis berjalan ke bawah di belakang pyramid, dan keluar dari os temporale melalui foramen stylomastoideum. Nervus facialis kemudian berjalan ke depan melalui glandula parotidea ke daerah distribusinya. 35
Cabang- cabang penting Nervus Facialis
Nervus pectrosus major Dicabangkan dari nervus facialis pada ganglion geniculatum. Nervus ini mengandung serabut-serabut preganglionik parasimpatik yang bersinaps di ganglion pterygopalatinum. Serabut-serabut posganglionik merupakan sekretomotorik glandula lacrimalis dan glandula di hidung dan palatum. Nervus pectrosus major juga mengandung serabut pengecap dan palatum. Nervus musculus stapedius Mensarafi musculus stapedius di dalam telinga tengah. Chorda tympani Berasal dari nervus facialis di dalam canalis facialis pada dinding posterior telinga tengah. Saraf ini berjalan kedepan di atas permukaan medial bagian atas membran tympani dan meninggalkan telinga tengah melalui fissura petrotympanica, masuk fossa infratemporalis dan bergabung dengan nervus lingualis. Chorda tympani mengandung serabut-serabut sekretomotorik parasimpatik preganglionik yang menuju ke glandula submandibularis dan glandula sublingualis. Saraf ini mengandung juga serabut pengecap dari duapertiga bagian anterior lidah dan dasar mulut. Nervus auricularis posterior, venter posterior musculus digastricus dan stylohyoideus Rami musculares dari nervus facialis pada saat saraf ini muncul dari foramen stylomastoideum. Lima rami terminales ke otot-otot ekspresi wajah Cabang-cabang tersebut adalah ramus temporalis, ramus zygomaticus, ramus buccalis, ramus mandibularis, dan ramus cervicalis. Setelah meninggalkan foramen stylomastoideum, nervus facialis terletak di dalam glandula parotidea, dan terletak di antara pars superficialis dan pars profunda glandula. Nervus facialis memberikan cabang-cabang terminal, yang muncul dari pinggir anterior glandula dan berjalan ke otot-otot wajah dan kulit kepala. Ramus buccalis mensarafi musculus buccinator, dan ramus cervicalis mensarafi musculus platysma dan musculus depressor anguli oris. Dengan demikian nervus facialis mengatur ekspresi wajah, salivasi, dan lakrimasi serta merupakan jalur untuk sensasi pengecap dari bagian anterior lidah dan dasar mulut serta dari palatum.
36
37
Saraf otak ke VII mengandung 4 macam serabut, yaitu : Serabut somato motorik, yang mensarafi otot-otot wajah (kecuali m. levator palpebrae (n.III), otot platisma, stilohioid, digastrikus bagian posterior dan stapedius di telinga tengah).
Serabut visero-motorik (parasimpatis) yang datang dari nukleus salivatorius superior. Serabut saraf ini mengurus glandula dan mukosa faring, palatum, rongga hidung, sinus paranasal, dan glandula submaksilaris serta sublingual dan lakrimalis.
Serabut visero-sensorik, yang menghantar impuls dari alat pengecap di dua pertiga bagian depan lidah. 38
Serabut somato-sensorik, rasa nyeri (dan mungkin juga rasa suhu dan rasa raba) dari sebagian daerah kulit dan mukosa yang dipersarafi oleh nervus trigeminus.
Perbedaan Parese N. VII Sentral dan N. VII Perifer Inti nervus fasialis juga dapat dibagi menjadi kelompok atas dan bawah. Inti bagian atas mensarafi otot wajah bagian atas dan inti bagian bawah mensarafi otot wajah bagian bawah. Inti nervus fasialis bagian bawah mendapat innervasi kontralateral dari korteks somatomotorik dan inti nervus fasialis bagian atas mendapat inervasi dari kedua belah korteks somatomotorik. Oleh karena itu, pada paresis nervus fasialis UMN (karena lesi di korteks atau kapsula interna) otot wajah bagian bawah saja yang jelas paretik, sedangkan otot 39
wajah atas tidak jelas lumpuh. Sebaliknya, pada kelumpuhan nervus fasialis LMN (karena lesi infranuklearis), baik otot wajah atas maupun bawah, kedua-duanya jelas lumpuh.
Epidemiologi Foester melaporkan bahwa kerusakan saraf fasialis sebanyak 120 dari 3907 kasus (3%) dari seluruh trauma kepala saat Perang Dunia I. Friedman dan Merit menemukan sekitar 7 dari 430 kasus trauma kepala. Adapun kelumpuhan saraf fasialis yang tidak diketahui penyebabnya (Bell’s Palsy) sekitar 20-30 kasus per 100.000 penduduk pertahun, sekitar 60-75% dari semua kasus merupakan paralysis nervus fasialis unilateral.3 Insiden pada laki-laki dan perempuan sama, namun rata-rata muncul pada usia 40 tahun meskipun penyakit ini dapat timbul di semua umur. Insiden terendah adalah pada anak di bawah 10 tahun, meningkat pada umur di atas 70 tahun. Frekuensi kelumpuhan saraf fasialis kanan dan kiri sama. Kausa tumor merupakan hal yang jarang, hanya sekitar 5% dari semua kasus kelumpuhan saraf fasialis.3 Etiologi Penyebab kelumpuhan saraf fasialis bisa disebabkan oleh kelainan congenital, infeksi, tumor, trauma, gangguan pembuluh darah, idiopatik, dan penyakit-penyakit tertentu.1,3 1. Kongenital Kelumpuhan yang didapat sejak lahir ( congenital ) bersifat irreversible dan terdapat bersamaan dengan anomaly pada telinga dan tulang pendengaran.1 Pada kelumpuhan 40
saraf fasialis bilateral dapat terjadi karena adanya gangguan perkembangan saraf fasialis dan seringkali bersamaan dengan kelemahan okular (sindrom Moibeus).3 2. Infeksi Proses infeksi di intracranial atau infeksi telinga tengah dapat menyebabkan kelumpuhan saraf fasialis. Infeksi intracranial yang menyebabkan kelumpuhan ini seperti pada Sindrom Ramsay-Hunt, Herpes otikus. Infeksi Telinga tengah yang dapat menimbulkan kelumpuhan saraf fasialis adalah otitis media supuratif kronik ( OMSK ) yang telah merusak Kanal Fallopi.1 1. Tumor Tumor yang bermetastasis ke tulang temporal merupakan penyebab yang paling sering ditemukan. Biasanya berasal dari tumor payudara, paru-paru, dan prostat. Juga dilaporkan bahwa penyebaran langsung dari tumor regional dan sel schwann, kista dan tumor ganas maupun jinak dari kelenjar parotis bisa menginvasi cabang akhir dari saraf fasialis yang berdampak sebagai bermacam-macam tingkat kelumpuhan. Pada kasus yang sangat jarang, karena pelebaran aneurisma arteri karotis dapat mengganggu fungsi motorik saraf fasialis secara ipsilateral.2 4. Trauma Kelumpuhan saraf fasialis bisa terjadi karena trauma kepala, terutama jika terjadi fraktur basis cranii, khususnya bila terjadi fraktur longitudinal. Selain itu luka tusuk, luka tembak serta penekanan forsep saat lahir juga bisa menjadi penyebab. Saraf fasialis pun dapat cedera pada operasi mastoid, operasi neuroma akustik/neuralgia trigeminal dan operasi kelenjar parotis.2 5. Gangguan Pembuluh Darah Gangguan pembuluh darah yang dapat menyebabkan kelumpuhan saraf fasialis diantaranya thrombosis arteri karotis, arteri maksilaris dan arteri serebri media.1 6. Idiopatik ( Bell’s Palsy ) Parese Bell merupakan lesi nervus fasialis yang tidak diketahui penyebabnya atau tidak menyertai penyakit lain. Pada parese Bell terjadi edema fasialis. Karena terjepit di dalam foramen stilomastoideus dan menimbulkan kelumpuhan tipe LMN yang disebut sebagai Bell’s Palsy.3 7. Penyakit-penyakit tertentu
41
Kelumpuhan fasialis perifer dapat terjadi pada penyakit-penyakit tertentu, misalnya DM, hepertensi berat, anestesi local pada pencabutan gigi, infeksi telinga tengah, sindrom Guillian Barre.3 Manifestasi Klinis Otot-otot bagian atas wajah mendapat persarafan dari 2 sisi. Karena itu, terdapat perbedaan antara gejala kelumpuhan saraf VII jenis sentral dan perifer. Pada gangguan sentral, sekitar mata dan dahi yang mendapat persarafan dari 2 sisi, tidak lumpuh ; yang lumpuh ialah bagian bawah dari wajah. Pada gangguan N VII jenis perifer (gangguan berada di inti atau di serabut saraf) maka semua otot sesisi wajah lumpuh dan mungkin juga termasuk cabang saraf yang mengurus pengecapan dan sekresi ludah yang berjalan bersama N. Fasialis.5 Bagian inti motorik yang mengurus wajah bagian bawah mendapat persarafan dari korteks motorik kontralateral, sedangkan yang mengurus wajah bagian atas mendapat persarafan dari kedua sisi korteks motorik (bilateral) (gambar 3). Karenanya kerusakan sesisi pada upper motor neuron dari saraf VII (lesi pada traktus piramidalis atau korteks motorik) akan mengakibatkan kelumpuhan pada otot-otot wajah bagian bawah, sedangkan bagian atasnya tidak. Penderitanya masih dapat mengangkat alis, mengerutkan dahi dan menutup mata (persarafan bilateral) ; tetapi pasien kurang dapat mengangkat sudut mulut (menyeringai, memperlihatkan gigi geligi) pada sisi yang lumpuh bila disuruh. Kontraksi involunter masih dapat terjadi, bila penderita tertawa secara spontan, maka sudut mulut dapat terangkat.5 Pada lesi motor neuron, semua gerakan otot wajah, baik yang volunter maupun yang involunter, lumpuh. Lesi supranuklir (upper motor neuron) saraf VII sering merupakan bagian dari hemiplegia. Hal ini dapat dijumpai pada strok dan lesi-butuh-ruang (space occupying lesion) yang mengenai korteks motorik, kapsula interna, talamus, mesensefalon dan pons di atas inti saraf VII. Dalam hal demikian pengecapan dan salivasi tidak terganggu. Kelumpuhan saraf VII supranuklir pada kedua sisi dapat dijumpai pada paralisis pseudobulber. 5
42
Gambar 3 Persarafan Otot Wajah , Perasat Otot wajah disebabkan oleh lesi UMN dan LMN nervus VII. Gejala dan tanda klinik yang berhubungan dengan lokasi lesi . (Lihat gambar 4) 3,6 1. Lesi di luar foramen stilomastoideus Mulut tertarik kearah sisi mulut yang sehat, makan terkumpul di antara pipi dan gusi. Lipatan kulit dahi menghilang. Apabila mata yang terkena tidak ditutup atau tidak dilindungi maka air mata akan keluar terus menerus. 2. Lesi di kanalis fasialis (melibatkan korda timpani) Gejala dan tanda klinik seperti pada (1), ditambah dengan hilangnya ketajaman pengecapan lidah (2/3 bagian depan) dan salivasi di sisi yang terkena berkurang. Hilangnya daya pengecapan pada lidah menunjukkan terlibatnya saraf intermedius, sekaligus menunjukkan lesi di antara pons dan titik dimana korda timpani bergabung dengan saraf fasialis di kanalis fasialis. 3. Lesi di kanalis fasialis lebih tinggi lagi (melibatkan muskulus stapedius) Gejala dan tanda klinik seperti (1) dan (2) di tambah dengan hiperakusis. 4. Lesi ditempat yang lebih tinggi lagi (melibatkan ganglion genikulatum) Gejala dan tanda kilinik seperti pada (1),(2),(3) disertai dengan nyeri di belakang dan didalam liang telinga, dan kegagalan lakrimal. Kasus seperti ini dapat terjadi pascaherpes di membrana timpani dan konka. Sindrom Ramsay-Hunt adalah kelumpuhan fasialis perifer yang berhubungan dengan herpes zoster di ganglion genikulatum. Tandatandanya adalah herpes zoster otikus , dengan nyeri dan pembentukan vesikel dalam kanalis auditorius dan dibelakang aurikel (saraf aurikularis posterior), terjadi tinitus, kegagalan pendengaran, gangguan pengecapan, pengeluaran air mata dan salivasi. 5. Lesi di meatus akustikus internus Gejala dan tanda klinik seperti diatas ditambah dengan tuli akibat terlibatnya nervus akustikus. 6. Lesi ditempat keluarnya saraf fasialis dari pons. Gejala dan tanda klinik sama dengan diatas, disertai gejala dan tanda terlibatnya saraf trigeminus, saraf akustikus dan kadang – kadang juga saraf abdusen, saraf aksesorius dan saraf hipoglossus.
43
Gambar 4. komponen serat saraf fasialis dan intermediet dan tanda-tanda kerusakan segmen individualnya
6. Klasifikasi Kelumpuhan Fasialis Gambaran dari disfungsi motorik fasial ini sangat luas dan karakteristik dari kelumpuhan ini sangat sulit. Beberapa sistem telah usulkan tetapi semenjak pertengahan 1980 sistem House-Brackmann yang selalu atau sangat dianjurkan . pada klasifikasi ini grade 1 merupakan fungsi yang normal dan grade 6 merupakan kelumpuhan yang komplit. Pertengahan grade ini sistem berbeda penyesuaian dari fungsi ini pada istirahat dan dengan kegiatan. Ini diringkas dalam tabel:7 Tabel 1. Klasifikasi House-Brackmann Grade
Penjelasan
I
Normal
II
Disfungsi ringan
Karakteristik Fungsi fasial normal Kelemahan yang sedikit yang terlihat pada inspeksi dekat, bisa ada sedikit sinkinesis. Pada istirahat simetri dan selaras. Pergerakan dahi sedang sampai baik Menutup mata dengan usaha yang minimal
44
Terdapat sedikit asimetris pada mulut jika melakukan pergerakan III
Disfungsi sedang
Terlihat tapi tidak tampak adanya perbedaan antara kedua sisi Adanya sinkinesis ringan Dapat ditemukam spasme atau kontraktur hemifasial Pada istirahat simetris dan selaras Pergerakan dahi ringan sampai sedang Menutup mata dengan usaha Mulut sedikit lemah dengan pergerakan yang maksimum
IV
Disfungsi sedang berat
Tampak kelemahan bagian wajah yang jelas dan asimetri Kemampuan menggerakkan dahi tidak ada Tidak dapat menutup mata dengan sempurna Mulut tampak asimetris dan sulit digerakkan.
V
Disfungsi berat
Wajah tampak asimetris Pergerakan wajah tidak ada dan sulit dinilai Dahi tidak dapat digerakkan Tidak dapat menutup mata Mulut tidak simetris dan sulit digerakkan
VI
Total parese
Tidak ada pergerakkan
Uji Diagnostik Diagnosis ditegakkan dengan melakukan pemeriksaan fungsi saraf fasialis. Tujuan pemeriksaan fungsi saraf fasialis adalah untuk menentukan letak lesi dan menentukan derajat kelumpuhannya.1 1. Pemeriksaan fungsi saraf motorik Terdapat 10 otot-otot utama wajah yang bertanggung jawab untuk terciptanya mimic dan ekspresi wajah seseorang. Adapun urutan ke-10 otot-otot tersebut dari sisi superior adalah sebagai berikut : a. M. Frontalis : diperiksa dengan cara mengangkat alis ke atas. b. M. Sourcilier : diperiksa dengan cara mengerutkan alis 45
c. M. Piramidalis
:
d. M. Orbikularis Okuli : e. M. Zigomatikus
:
f. M. Relever Komunis : g. M. Businator
:
h. M. Orbikularis Oris : i. M. Triangularis : j. M. Mentalis
:
diperiksa dengan cara mengangkat dan mengerutkan hidung ke atas diperiksa dengan cara memejamkan kedua mata kuat-kuat diperiksa dengan cara tertawa lebar sambil memperlihatkan gigi diperiksa dengan cara memoncongkan mulut kedepan sambil memperlihatkan gigi diperiksa dengan cara menggembungkan kedua pipi diperiksa dengan cara menyuruh penderita bersiul diperiksa dengan cara menarik kedua sudut bibir ke bawah diperiksa dengan cara memoncongkan mulut yang tertutup rapat ke depan
Pada tiap gerakan dari ke 10 otot tersebut, kita bandingkan antara kanan dan kiri : a. b. c. d.
Untuk gerakan yang normal dan simetris dinilai dengan angka tiga ( 3 ) Sedikit ada gerakan dinilai dengan angka satu ( 1 ) Diantaranya dinilai dengan angka dua ( 2 ) Tidak ada gerakan sama sekali dinilai dengan angka nol ( 0 )
Seluruh otot ekspresi tiap sisi muka dalam keadaan normal akan mempunyai nilai tiga puluh ( 30 ).1 2. Tonus Pada keadaan istirahat tanpa kontraksi maka tonus otot menentukan terhadap kesempurnaan mimic / ekspresi muka. Freyss menganggap penting akan fungsi tonus sehingga mengadakan penilaian pada setiap tingkatan kelompok otot muka, bukan pada setiap otot. Cawthorne mengemukakan bahwa tonus yang jelek memberikan gambaran prognosis yang jelek. Penilaian tonus seluruhnya berjumlah lima belas (15) yaitu seluruhnya terdapat lima tingkatan dikalikan tiga untuk setiap tingkatan. Apabila terdapat hipotonus maka nilai tersebut dikurangi satu (-1) sampai minus dua (-2) pada setiap tingkatan tergantung dari gradasinya.1 3. Gustometri Sistem pengecapan pada 2/3 anterior lidah dipersarafi oleh n. Korda timpani, salah satu cabang saraf fasialis.1 Kerusakan pada N VII sebelum percabangan korda timpani dapat menyebabkan ageusi (hilangnya pengecapan).2 Pemeriksaan dilakukan dengan cara penderita disuruh menjulurkan lidah, kemudian pemeriksa menaruh bubuk gula, kina, asam sitrat atau garam pada lidah penderita. Hali ini dilakukan secara bergiliran dan diselingi istirahat. Bila bubuk ditaruh, penderita tidak boleh menarik lidahnya ke dalam mulut, sebab bubuk akan 46
tersebar melalui ludah ke sisis lidah lainnya atau ke bagian belakang lidah yang persarafannya diurus oleh saraf lain. Penderita disuruh untuk menyatakan pengecapan yang dirasakannya dengan isyarat, misalnya 1 untuk rasa manis, 2 untuk rasa pahit, 3 untuk rasa asin, dan 4 untuk rasa asam.2 Pada pemeriksaan fungsi korda timpani adalah perbedaan ambang rangsang antara kanan dan kiri. Freyss menetapkan bahwa beda 50% antara kedua sisi adalah patologis.1 4. Salivasi Pemeriksaan uji salivasi dapat dilakukan dengan melakukan kanulasi kelenjar submandibularis. Caranya dengan menyelipkan tabung polietilen no 50 kedalam duktus Wharton. Sepotong kapas yang telah dicelupkan kedalam jus lemon ditempatkan dalam mulut dan pemeriksa harus melihat aliran ludah pada kedua tabung. Volume dapat dibandingkan dalam 1 menit. Berkurangnya aliran ludah sebesar 25 % dianggap abnormal. Gangguan yang sama dapat terjadi pada jalur ini dan juga pengecapan, karena keduanya ditransmisi oleh saraf korda timpani.2 5. Schimer Test atau Naso-Lacrymal Reflex Dianggap sebagai pemeriksaan terbaik untuk pemeriksaan fungsi serabut-serabut pada simpatis dari saraf fasialis yang disalurkan melalui saraf petrosus superfisialis mayor setinggi ganglion genikulatum. Kerusakan pada atau di atas saraf petrosus mayor dapat menyebabkan berkurangnya produksi air mata.1,2 Tes Schimer dilakukan untuk menilai fungsi lakrimasi dari mata. Cara pemeriksaan dengan meletakkan kertas hisap atau lakmus lebar 0,5 cm panjang 510 cm pada dasar konjungtiva. Setelah tiga menit, panjang dari bagian strip yang menjadi basah dibandingkan dengan sisi satunya. Freys menyatakan bahwa kalau ada beda kanan dan kiri lebih atau sama dengan 50% dianggap patologis.1,2 6. Refleks Stapedius Untuk menilai reflex stapedius digunakan elektoakustik impedans meter, yaitu dengan cara memberikan ransangan pada muskulus stapedius yang bertujuan untuk mengetahui fungsi N. stapedius cabang N.VII. 7. Uji audiologik Setiap pasien yang menderita paralisis saraf fasialis perlu menjalani pemeriksaan audiogram lengkap. Pengujian termasuk hantaran udara dan hantaran tulang, timpanometri dan reflex stapes. Fungsi saraf cranial kedelapan dapat dinilai dengan menggunakan uji respon auditorik yang dibangkitkan dari batang otak. Uji ini bermanfaat dalam mendeteksi patologi kanalis akustikus internus. Suatu tuli konduktif dapat memberikan kesan suatu kelainan dalam telinga tengah, dan dengan memandang syaraf fasialis yang terpapar pada daerah ini, perlu dipertimbangkan suatu sumber infeksi. Jika terjadi kelumpuhan saraf ketujuh pada waktu otitis media akut, maka mungkin gangguan saraf pada telinga tengah. Pengujian reflek dapat dilakukan pada telinga ipsilateral atau kontralateral dengan menggunakan suatu 47
nada yang keras, yang akan membangkitkan respon suatu gerakan reflek dari otot stapedius. Gerakan ini mengubah tegangan membrane timpani dan menyebabkan perubahan impedansi rantai osikular. Jika nada tersebut diperdengarkan pada belahan telinga yang normal, dan reflek ini pada perangsangan kedua telinga mengesankan suatu kelainan pada bagian aferen saraf kranialis.2 8. Sinkinesis Sinkinesis menetukan suatu komplikasi dari kelumpuhan saraf fasialis yang sering kita jumpai. Cara mengetahui ada tidaknya sinkinesis adalah sebagai berikut :1 a. Penderita diminta untuk memenjamkan mata kuat-kuat kemudian kita melihat pergerakan otot-otot pada daerah sudut bibir atas. Kalau pergerakan normal pada kedua sisi dinilai dengan angka dua (2). Kalau pergerakan pada sisi paresis lebih (hiper) dibandingkan dengan sisi normal nilainya dikurangi satu (-1) atau dua (2), tergantung dari gradasinya. b. Penderita diminta untuk tertawa lebar sambil memperlihatkan gigi, kemudian kita melihat pergerakan otot-otot pada sudut mata bawah. Penilaian seperti pada (a). c. Sinkinesis juga dapat dilihat pada waktu penderita berbicara (gerakan emosi) dengan memperhatikan pergerakan otot-otot sekitar mulut. Nilai satu (1) kalau pergerakan normal. Nilai nol (0) kalau pergerakan tidak simetris. 9. Hemispasme Hemispasme merupakan suatu komplikasi yang sering dijumpai pada penyembuhan kelumpuhan fasialis yang berat. Diperiksa dengan cara penderita diminta untuk melakukan gerakan-gerakan bersahaya seperti mengedip-ngedipkan mata berulangulang maka bibir akan jelas tampak gerakan otot-otot pada sudut bibir bawah atau sudut mata bawah. Pada penderita yang berat kadang-kadang otot-otot platisma di daerah leher juga ikut bergerak. Untuk setiap gerakan hemispasme dinilai dengan angka (-1).1 Fungsi motorik otot-otot tiap sisi wajah orang normal seluruhnya berjumlah lima puluh (50) atau 100%. Gradasi paresis fasialis dibandingkan dengan nilai tersebut dikalikan dua untuk persentasenya.1 8. Pemeriksaan Penunjang Salah satu pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk mengetahui kelumpuhan saraf fasialis adalah dengan uji fungsi saraf. Terdapat beberapa uji fungsi saraf yang tersedia antara lain Elektromigrafi (EMG), Elektroneuronografi (ENOG), dan uji stimulasi maksimal.2 4.
Elektromiografi (EMG) EMG sering kali dilakukan oleh bagian neurologi. Pemeriksaan ini bermanfaat untuk menentukan perjalanan respons reinervasi pasien. Pola EMG dapat diklasifikasikan sebagai respon normal, pola denervasi, pola fibrilasi, atau suatu pola yang kacau yang mengesankan suatu miopati atau neuropati. Namun, nilai 48
suatu EMG sangat terbatas kurang dari 21 hari setelah paralisis akut. Sebelum 21 hari, jika wajah tidak bergerak, EMG akan memperlihatkan potensial denervasi. Potensial fibrilasi merupakan suatu tanda positif yang menunjukkan kepulihan sebagian serabut. Potensial ini terlihat sebelum 21 hari.2
5.
Elektroneuronografi (ENOG) ENOG memberi informasi lebih awal dibandingkan dengan EMG. ENOG melakukan stimulasi pada satu titik dan pengukuran EMG pada satu titik yang lebih distal dari saraf. Kecepatan hantaran saraf dapat diperhitungkan. Bila terdapat reduksi 90% pada ENOG bila dibandingkan dengan sisi lainnya dalam sepuluh hari, maka kemungkinan sembuh juga berkurang secara bermakna. Fisch Eselin melaporkan bahwa suatu penurunan sebesar 25 persen berakibat penyembuhan tidak lengkap pada 88 persen pasien mereka, sementara 77 persen pasien yang mampu mempertahankan respons di atas angka tersebut mengalami penyembuhan normal saraf fasialis.2
6.
Uji Stimulasi Maksimal Uji stimulasi merupakan suatu uji dengan meletakkan sonde ditekankan pada wajah di daerah saraf fasialis. Arus kemudian dinaikkan perlahan-lahan hingga 5 ma, atau sampai pasien merasa tidak nyaman. Dahi, alis, daerah periorbital, pipi, ala nasi, dan bibir bawah diuji dengan menyapukan elektroda secara perlahan. Tiap gerakan di daerah-daerah ini menunjukkan suatu respons normal. Perbedaan respons yang kecil antara sisi yang normal dengan sisi yang lumpuh dianggap sebagai suatu tanda kesembuhan. Penurunan yang nyata adalah apabila terjadi kedutan pada sisi yang lumpuh dengan besar arus hanya 25 persen dari arus yang digunakan pada sisi yang normal. Bila dibandingkan setelah 10 hari, 92 persen penderita Bell’s Palsy kembali dapat melakukan beberapa fungsi. Bila respon elektris hilang, maka 100 persen akan mengalami pemulihan fungsi yang tidak lengkap. Statistik menganjurkan bahwa bentuk pengujian yang paling dapat diandalkan adalah uji fungsi saraf secara langsung.2
49
Gambar 5 Ekspresi Wajah Penderita Kelumpuhan Saraf Fasialis 9. Penatalaksanaan Pengobatan terhadap kelumpuhan saraf VII dapat dikelompokkan dalam 3 bagian:1,2,8 1. Pengobatan terhadap kelumpuhan saraf fasialis A. Fisioterapi 1. Heat Theraphy, Face Massage, Facial Excercise Basahkan handuk dengan air panas, setelah itu handuk diperas dan diletakkan dimuka hingga handuk mendingin. Kemudian pasien diminta untuk memasase otot-otot wajah yang lumpuh terutama daerah sekitar mata, mulut dan daerah tengah wajah.Masase dilakukan dengan menggunakan krim wajah dan idealnya juga dengan menggunakan alat penggetar listrik. Setelah itu pasien diminta untuk berdiri didepan cermin dan melakukan beberapa latihan wajah seperti mengangkat alis mata, memejamkan kedua mata kuat-kuat, mengangkat dan mengerutkan hidung, bersiul, menggembungkan pipi dan 3,8 3 menyeringai. Kegiatan ini dilakukan selama 5 menit 2 kali sehari. 2. Electrical Stimulation Stimulasi energi listrik dengan aliran galvanic berenergi lemah.2 Tindakan ini bertujuan untuk memicu kontraksi buatan pada otot-otot yang lumpuh dan juga berfungsi untuk mempertahankan aliran darah serta tonus otot.8 B. Farmakologi Obat-obatan yang dapat diberikan dalam penatalaksanaan kelumpuhan saraf fasialis antara lain8: 1. Asam Nikotinik Pada kelumpuhan saraf fasialis yang dikarenakan iskemiaAsam nikotinik dan obat-obatan yang bekerja menghambat ganglion simpatik servikal digunakan untuk memicu vasodilatasi sehingga dapat meningkatkan suplai darah ke saraf fasialis. 50
2. Vasokonstriktor, Antimikroba Obat ini diberikan pada kelumpuhan saraf fasialis yang disebabkan oleh kompresi saraf fasialis pada kanal falopi. Obat ini bekerja mengurangi bendungan , pembengkakkan, dan inflamasi pada keadaan diatas. 3. Steroid Obat ini diberikan untuk mengurangi proses inflamasi yang menyebabkan Bell’s Palsy. 4. Sodium Kromoglikat Diberikan pada kelumpuhan saraf fasialis jika dipikirkan adanya reaksi alergi. 5. Antivirus Baru-baru ini antivirus diberikan dengan atau tanpa penggunaan prednisone secara simultan. C. Pengobatan Psikofisikal Akupuntur, biofeedback, dan electromyographic feedback dilaporkan dapat membantu pentembuhan Bell’s Palsy.8
2.
Pengobatan Sekuele ( Gejala Sisa ) Pengobatan terhadap gejala sisa yang dapat dilakukan antara lain 8: A. Depresi Pasien dengan kelumpuhan saraf fasialis memiliki ketakutan bahwa mereka memiliki penyakit yang mengancam jiwa ataupun penyakit yang melibatkan pembuluh darah otak. Konseling dan terapi kelompok yang melibatkan penderita dengan usia yang sama terbukti efektif untuk mengatasi depresi tersebut. B. Nyeri Sebagian pasien dengan Bell’s Palsy dan hampir seluruh pasien dengan Herpes Zooster Cephalic merasakan nyeri. Nyeri ini dapat diatasi dengan analgesic nonnarkotik. Dapat diberikan steroid dengan dosis awal 1 mg/ kg BB/ hari dan tapering off setelah 10 hari penggunaan. C. Perawatan Mata Secara umum, Perawatan mata ditujukan untuk menjaga kelembaban mata agar tidak terjadi keratitis dan kerusakan kornea. Pasien diminta untuk mengedipkan mata 2 sampai 4 kali permenit disamping penggunaan obat tetes mata.
3.
Indikasi Untuk Operasi 51
Pada kasus dengan gangguan hantaran berat atau sudah terjadi denervasi total, tindakan operatif segera harus dilakukan dengan teknik dekompresi saraf fasialis transmastoid.1
10. Komplikasi Setelah kelumpuhan fasial perifer, regenerasi saraf yang rusak, terutama serat otonom dapat sebagian atau pada arah yang salah. Serat yang terlindung mungkin memberikan akson baru yang tumbuh ke dalam bagian yang rusak. Persarafan baru yang abnormal ini, dapat menjelaskan kontraktur atau sinkinesis (gerakan yang berhubungan) dalam otot-otot mimik wajah6. Sindrom air mata buaya (refleks gastrolakrimalis paradoksikal) tampaknya didasarkan oleh persarafan baru yang salah. Di perkirakan bahwa serat sekretoris untuk kelenjar air liur tumbuh ke dalam selubung Schwann dari serat yang cedera yang berdegenerasi dan pada asalnya serat tersebut bertanggung jawab untuk glandula lakrimalis6. 2. Nervus Hypoglossus Nervus hypoglossus adalah saraf motorik. Nervus ini muncul pada permukaan anterior medulla oblongata di antara pyramis dan oliva, melewati fossa cranii posterior, dan meninggalkan kranium melalui canalis nervi hypoglossi. Saraf ini berjalan ke bawah dan depan di leher untuk menyilang arteria carotis interna dan externa untuk mencapai lidah. Dalam perjalanan bagian atasnya, nervus hypoglossus bergabung dengan serabut CI dari plexus cervicalis. Cabang-cabang penting nervus hypoglossus
Ramus meningeus Ramus descendens (serabut CI) Berjalan ke bawah dan bergabung dengan ramus descendens nervus cervicalis (C2 dan C3) untuk membentuk ansa cervicalis. Cabang-cabang dari ansa ini mensarafi musculus omohyoideus, musculus sternohyoideus, dan musculus sternothyroideus. Nervus ke musculus thyrohyoideus (C1) Rami musculares ke semua otot-otot lidah, kecuali musculus palatoglossus (plexus pharyngeus) Nervus ke musculus geniohyoideus (C1)
Dengan demikian nervus hypoglossus mensarafi otot-otot lidah (kecuali musculus palatoglossus) dan dengan demikian mengatur bentuk dan gerakan lidah. Nukleus saraf otak XII terletak di medulla oblongata di masing-masing sisi garis tengah dekat dasar ventrikel IV (trigonum hipoglosi). Masing-masing nukleus tersusun dari beberapa kelompok motorneuron dan masing-masing kelompok akan mempersarafi bagian-bagian otot lidah. N. hipoglosus merupakan saraf eferen somatik di mana aksonnya berjalan ke arah 52
ventral sulkus lateralis anterior di antara piramis dan oliva inferior dan keluar dari tengkorak melalui kanalis hipoglosi (yang terletak di tepi lateral foramen magnum). Di dalam leher nervus berjalan di antara a. karotis interna dan vena jugularis interna, diiringi oleh serabutserabut dari tiga servikal atas (ansa hipoglosi). N. XII mempersarafi otot-otot tulang hyoid (tirohioid, sternohioid, dan omohioid) dan otot-otot lidah (stiloglosus, hioglosus, dan genioglosus). Nukleus n. XII menerima impuls bilateral namun sebagian besar dari traktus kortikonuklearis kontralateral dan ada serabut-serabut (berasal dari formasio retikularis, nukleus traktus solitaries, otak tengah, nukleus trigeminus) yang merupakan komponen dari lengkung reflek untuk mengunyah, menelan, dan mengisap. Gangguan n. XII dapat berupa gangguan supranuklearis, gangguan nukleus dan gangguan perifer (Satyanegara, 1998). C1 yang tergabung dengan N. XII untuk mempersarafi : -m. thyrohyoideus -m. geniohyoideus dan -mm. infrahyoidei. Lesi yang mengenai N. XII A. Perifer (biasanya oleh karena sebab-sebab mekanik) Fraktur dasar tengkorak, dislokasi vetebra cervical atas, tuberculosa, keracunan timbale, alcohol, arsen. B. Lesi Nuclear dan supranuclear Poliomyelitis, paralysis bulbar, pseudobilbar palsy, multiple scelorosis. Keluhan dan Gejala pada Gangguan N. XII A.
Supranuclear (paralysis spastic) Hemiplegi kontralateral dan paralysis lidah, tidak terdapat atrofi dan fibrilasi lidah. Pada waktu lidah dijulurkan, tampak deviasi ke sisi yang berlawanan dengan lesi.
B.
Perifer (Paralisis Flasid) Reaksi degenerasi, paralysis lidah ipsilateral, atrofi sisi lesi. Pada waktu lidah dijulurkan, tampak deviasi ke sisi lesi, dapat ditemukan fasikulasi lidah.
C.
Lesi nuclear atau medullaris (paralysis flasid) Tanda-tanda gangguannya sebagai berikut: i. Fasikulasi yang menyertai atau mendahului atrofi dan saraf serta struktur lainnya yang terkena ii. Gangguan sensorik tampak jelas, misalnya kehilangan sensasi dalam atau sensasi nyeri dan suhu pada sebelah muka atau badan, atau bilateral bila lesi di garis tengah 53
D.
iii. Bila lesi bilateral, lidah mengalami paralysis total, maka terjadi disfagi, disarthria, serta kesukaran mengunyah makanan Lesi kortikal Dapat menyebabkan disarthria dan ataxia lidah
E.
Lesi striatum Menyebabkan gerakan aritmik lidah yang ireguler
F.
Psikogenik Gangguan psikogenik mencakup tics pada lidah, gagap dan pelo. Paralisis histerik memperlihatkan resistensi terhadap gerakan pasif dan tidak mendapat reaksi degenerasi atau atrofi.
Etiologi Paresenervushipoglosusdapat disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut: 1. 2. 3. 4. 5.
Infiltrasi karsinoma anaplastik dari nasofaring. Meningitis basalis tuberkulosa atau luetika. Fraktur basis kranii (atau traksi pada nervus hipoglosus pada trauma kapitis). Siringobulbi. Infeksi retrofaringeal. (1,2,4) Gejalaklinik
Lesi pada satu nervus hipoglosus akan akan memperlihatkan di sisi pipi lateral: 1. 2.
3.
4. 5.
Separuh lidah yang menjadi atrofis, dengan mukosa yang menjadi longgar dan berkeriput. Mungkin pula akan tampak fibrilasi pada otot-otot lidah yang atrofis. Bila lidah itu dijulurkan keluar akan tampak bahwa ujung lidah itu memperlihatkan deviasi ke sisi yang sakit. Deviasi ujung lidah ke sisi yang sakit timbul karena kontraksi M. genioglussus di sisi kontralateral (bila M. genioglossus kanan dan kiri berkontraksi dan kedua otot itu sama kuatnya, maka lidah itu akan dijulurkan lurus ke depan, Bila satu otot adalah lebih lemah dari yang lainnya, maka akan timbul deviasi dari ujung lidah ke sisi otot yang lumpuh) Di dalam mulut sendiri akan tampak bahwa ujung lidah itu mencong ke sisi yang sehat. Keadaan ini timbul karena tonus otot-otot lidah di sisi yang sehat adalah melebihi tonus otot-otot lidah di sisi yang sakit. Motilitas lidah akan terganggu sehingga di sisi yang sakit misalnya akan tampak ada sisa-sisa makanan di antara pipi dan gigi-geligi. Karena lidah berperanan dalam mekanisme menelan dan artikulasi, maka gejala-gejala kelumpuhan paralysis nervus hipoglosus berupa sukar menelan dan bicara pelo. (1,4,5,6) Penderita hemiparesis kiri atau kanan, kebanyakan menjadi pelo pada tahap dini setelah mengidap “stroke”. Kemudian gangguan artikulasi itu hilang. Lain halnya bila terdapat kelumpuhan unilateral lower motoneuron, penderitanya akan tetap pelo.(1) Nervus hipoglosus mungkin mengalami lesi sendiri-sendiri terlepas daripada yang lainnya, tetapi dapat pula mengalami gangguan bersama, misalnya parese nervus
54
hipoglosus, parese nervus asesorius, parese nervus vagus, dan parese nervus glosofaringeus. (4,6) Proses patologik yang sering mengganggu bagian perifer nervus hipoglosus ialah infiltrasi karsinoma nasofarings, siringobulbi dan infeksi retrofaringeal.(1) Dalam hal yang terakhir ini akan timbul bermacam-macam sindrom, yaitu: 1. Sindrom bulbar Pada sindrom bulbar akan tampak paralisis nervus hipoglosus, nervus asesorius, nervus vagus, dan nervus glosofaringeus. Hal ini dapat ditimbulkan oleh: (1) infiltrasi karsinoma anaplastik dari nasofaring, (2) meningitis tuberculosa atau luetika, (3) fraktur basis kranii (atau traksi saraf-saraf tersebut pada trauma kapitis). 2. Sindrom foramen jugulare Pada sindrom foramen jugularis tampak paralysis dari nervus glosofaringeus, nervus vagus dan nervus asesorius (nervus hipoglosus dalam keadaan baik) Sindrom ini dapat ditimbulkan oleh: (1) infiltrasi karsinoma anaplastik dari nasofaring, (2) fraktur basis kranii (atau traksi saraf-saraf tersebut pada trauma kapitis), (3) meningitis tuberculosa atau luetika, (4) periflebitis/trombosis dari vena jugularis. 3. Sindromspasiumparafaringeum Pada sindrom ini tampak kelumpuhan dari nervus glosofaringeus, nervus vagus dan nervus hipoglosus. Di samping itu akan tampak sindrom Horner’s di sisi yang sakit. Sindrom spasmium parafaringeal dapat timbul pada: (1) abses retrofaringeal, (2) abses peritonsiler. (4,5,6) Diagnosis Diagnosis parese nervus hipoglosus ditegakkan dengan anamnesis serta gejala kinis yang ada, anamnesis mengenai ada tidaknya riwayat trauma kapitis (sebagaimana telah dijelaskan diatas bahwa trauma kapitis dapat menyebabkan traksi pada nervus hipoglosus sehingga terjadi parese pada nervus hipoglosus) atau fraktur basis kranii.(4) 55
Ananmesis yang lain yang tentunya akan mengarahkan kita kepada riwayat-riwayat penyakit ataupun tumor yang secara lansung ataupun tidak langsung akan menyebabkan parese nervus hipoglosus. Untuk mengetahui gejala-gejala atau manifestasi yang ditimbulkan oleh parese nervus hipoglosus, dapat dilakukan pemeriksaan nervus hipoglosus dengan cara:
Menyuruh pasien menjulurkan lidah lurus-lurus, kemudian menarik dan menjulurkan lagi dengan cepat. Lidah kemudian disuruh bergerak ke kiri dan ke kanan dengan cepat kemudian menekankan pada pipi kiri dan kanan sementara pemeriksa melakukan palpasi pada kedua pipi untuk mengetahui/merasakan kekuatan lidah. Pada lesi bilateral gerakan lidah kurang lincah Pada lesi unilateral lidah akan membelok ke sisi lesi saat dijulur-kan dan akan membelok ke sisi yang sehat saat diam di dalam mulut. Lesi N. hipoglosus tipe LMN aksonal atropi. Lesi N. hipoglosus tipe LMN nuklear atropi dan fasikulasi. Paralisis N. hipoglosus sukar menelan dan bicara pelo. (1,2,4,5,6) Tremor lidah dapat dijumpai pada pasien yang sakit berat (lemah), demensia paralitika dan intoksikasi. Fasikulasi dujumpai pada lesi nuklir, misalnya pada pada siringobulbi
Kadang sulit untuk membedakan antara tremor dan fasikulasi, terlebih lagi pada lidah yang terjulur. Untuk memudahkan perbedaanya, lidah diistirahatkan pada dasar mulut. Pada keadaan ini, tremor biasanya berkurang atau menghilang. Pada atetose didapatkan gerakan yang terkendalu. Lidah sulit dijulurkan atau hal ini dilakukan dengan sekonyong-konyong dan kemudian tanpa kendali ditarik secara mendadak. 3. Stroke nonhaemorrhagic A. Definisi Stroke Menurut WHO (2006), stroke adalah suatu tanda klinis yang berkembang cepat akibat gangguan otak fokal (atau global) dengan gejala-gejala yang berlangsung selama 24 jam atau lebih dan dapat menyebabkan kematian tanpa adanya penyebab lain yang jelas selain vaskuler. Termasuk disini perdarahan subarachnoid, perdarahan intraserebral, dan infark serebral. Stroke adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan perubahan neurologis yang disebabkan oleh gangguan suplai darah pada bagian otak (Bowman dalam Black & Hawks, 2009). Definisi Stroke non hemoragik (stroke iskemik) Stroke iskemik atau “brain attack” adalah kehilangan fungsi yang tiba-tiba sebagai akibat dari gangguan suplai darah ke bagian-bagian otak, akibat sumbatan baik sebagian atau total pada arteri. Tipe stroke ini terjadi hampir 80% dari kejadian stroke (Goldszmidt & Caplan, 2011). B. Klasifikasi Stroke 56
Ada dua klasifikasi utama stroke, yaitu stroke iskemik atau stroke non hemoragik dan hemoragik (Corwin, 2009), hal ini didasarkan pada penyebab dan temuan patofisiologis (Zomorodi dalam Lewis, Sharon L et al, 2011). 1. Stroke non hemoragi Stroke non hemoragik dapat dibagi menjadi lima jenis berdasarkan penyebabnya: thrombosis arteri besar, penetrasi tombosis arteri kecil (stroke lakunar), stroke embolik kardiogenik, kriptogenik (penyebab yang belum diketahui), dan stroke akibat penggunaan kokain, koagulopati atau pembedahan karotid (Smeltzer, 2003). a. Stroke trombotik arteri besar disebabkan oleh aterosklerosis plak di pembuluh darah besar dari otak. Lokasi stroke, misalnya pada korteks superficial (tersering arteri serebri media), serebelum, dan daerah arteri serebral posterior (Goldszmidt & Caplan, 2011). b. Stroke trombotik arteri kecil (stroke lakunar), mengacu pada stroke yang berasal dari satu atau lebih penetrasi trombotik pada pembuluh darah kecil (Smeltzer, 2003), seperti ganglia basalis, substantia alba otak, thalamus pons, dan serebelum (Goldszmidt & Caplan, 2011). c. Stroke emboli kardiogenik (stroke embolik) berhubungan dengan kondisi jantung, seperti fibrilasi atrial, infark miokard, endokarditis, dan atrial septal defect (Smeltzer, 2003). Emboli berasal dari jantung dan beredar ke pembuluh darah otak, lokasi yang paling sering terkena adalah arteri serebri media, serebelum dan daerah arteri serebral posterior (Goldszmidt & Caplan, 2011). d. Stroke kriptogenik sebagian pasien mengalami oklusi mendadak pembuluh intrakranium besar tanpa penyebab yang jelas. e. Penyebab lain stroke non hemoragik yang lebih jarang adalah fibromuskular, arteritis (misalnya, arteritis temporalis, poliarteritis nodosa), dan gangguan hiperkoagulasi (Price, 2005). C. Perbedaan Stroke Hemoragik Dan Stroke Non-Hemoragik
57
Stillwell, susan. 2011. pedoman keperawatan kritis. Jakarta : EGC
D. Etiologi stroke non hemoragik Beberapa keadaan dibawah ini dapat menyebabkan stroke non hemoragik antara lain : 1. Thrombosis Cerebral Thrombosis ini terjadi pada pembuluh darah yang mengalami oklusi sehingga menyebabkan iskemi jaringan otak yang dapa menimbulkan oedema dan kongesti di sekitarnya.Thrombosis biasanya terjadi pada orang tua yang sedang tidur atau bangun tidur. Hal ini dapat terjadi karena penurunan aktivitas simpatis dan penurunan tekanan darah yang dapat menyebabkan iskemi serebral.Tanda dan gejala neurologis seringkali memburuk pada 48 jam sete;ah thrombosis. Beberapa keadaan dibawah ini dapat menyebabkan thrombosis otak : a. Atherosklerosis Atherosklerosis adalah mengerasnya pembuluh darah serta berkurangnya kelenturan atau elastisitas dinding pembuluh darah. Manifestasi klinis
58
atherosklerosis bermacam-macam. Kerusakan dapat terjadi melalui mekanisme berikut : Lumen arteri menyempit dan mengakibatkan berkurangnya aliran darah. Oklusi mendadak pembuluh darah karena terjadi thrombosis. Merupakan tempat terbentuknya thrombus, kemudian melepaskan kepingan thrombus (embolus) Dinding arteri menjadi lemah dan terjadi aneurisma kemudian robek dan terjadi perdarahan. b. Hypercoagulasi pada polysitemia Darah bertambah kental , peningkatan viskositas /hematokrit meningkat dapat melambatkan aliran darah serebral. c. Arteritis ( radang pada arteri ) 2. Emboli Emboli serebral merupakan penyumbatan pembuluh darah otak oleh bekuan darah, lemak dan udara. Pada umumnya emboli berasal dari thrombus di jantung yang terlepas dan menyumbat sistem arteri serebral. Emboli tersebut berlangsung cepat dan gejala timbul kurang dari 10-30 detik. Beberapa keadaan dibawah ini dapat menimbulkan emboli : a. Katup-katup jantung yang rusak akibat Rheumatik Heart Desease.(RHD) b. Myokard infark c. Fibrilasi, Keadaan aritmia menyebabkan berbagai bentuk pengosongan ventrikel sehingga darah terbentuk gumpalan kecil dan sewaktu-waktu kosong sama sekali dengan mengeluarkan embolus-embolus kecil. d. Endokarditis oleh bakteri dan non bakteri, menyebabkan terbentuknya gumpalan-gumpalan pada endocardium. E. Faktor Resiko stroke Faktor resiko stroke dapat dikategorikan kedalam faktor resiko yang tidak dapat dimodifikasi (non-modifiable) dan dapat dimodifikasi (modifiable) (Zomorodi dalam Lewis, Sharon L et al, 2011). 1. Faktor resiko yang tidak dapat dimodifikasi Faktor resiko yang tidak dapat dimodifikasi meliputi usia, jenis kelamin, ras, dan herediter/keturunan (WHO, 2006). a. Usia. Resiko stroke meningkat seiring dengan pertambahan usia, dua kali lipat lebih besar ketika seseorang berusia 55 tahun. Namun, stroke dapat terjadi juga pada semua usia (American Heart Association, 2013). b. Jenis kelamin. Sroke juga lebih umum terjadi pada laki-laki dari pada wanita, namun lebih banyak wanita meninggal akibat stroke dari pada laki-laki. c. Ras. Ras Africa- America (berkulit hitam) memiliki resiko yang lebih besar mengalami stroke daripada ras yang berkulit putih. Hal ini berhubungan dengan
59
tingginya insiden hipertensi, obesitas, dan diabetes mellitus pada ras AfricaAmerica (Zomorodi dalam Lewis, Sharon L et al, 2011). d. Riwayat keluarga. Riwayat keluarga terhadap kejadian stroke, serangan TIA sebelumnya, atau stroke sebelumnya juga meningkatkan risiko terjadinya stroke. Orang tua yang pernah mengalami stroke dikaitkan dengan peningkatan risiko 3 kali lipat kejadian stroke pada keturunannya (American Heart Association, 2013) . 2. Faktor resiko yang dapat dimodifikasi Faktor resiko yang dapat dimodifikasi adalah faktor-faktor yang berpotensi dapat diubah melalui perubahan gaya hidup dan tindakan medis, sehingga mengurangi risiko terjadinya stroke. a. Hipertensi. Hipertensi merupakan faktor resiko terjadinya stroke baik non perdarahan atau perdarahan, dan juga menjadi factor terjadinya gangguan jantung yang menjadi penyebab munculnya emboli otak. Hipertensi sangat berpengaruh pada peredaran darah otak, karena menyebabkan terjadinya penebalan dan remodeling pembuluh darah hingga memperkecil diameternya. b. Penyakit jantung. Penyakit jantung meliputi fibrilasi atrial, infark miokard, kardiomiopati, abnormalitas katup jantung, dan kelainan jantung conginetal juga temasuk kedalam faktor resiko stroke. Fibrilasi atrium adalah faktor risiko yang paling penting diobati. \ c. Dibetes melitus. DM merupakan faktor resiko yang penting terhadap kejadian stroke, dan meningkatkan resiko kejadian stroke pada semua usia. Individu dengan diabetes mellitus memiliki resiko lima kali lebih besar terserang stroke dari pada individu yang tidak menderita diabetes mellitus (Zomorodi dalam Lewis, Sharon L et al, 2011). d. Peningkatan kolesterol serum. Hiperlipidemia didefinisikan sebagai kondisi dimana kadar kolesterol total lebih atau sama dengan 240 ml/dl. Kadar kolesterol yang tinggi merupakan faktor resiko terjadinya penyakit kardiovaskular dan sebrovaskular. e. Merokok. Merokok merupakan faktor risiko untuk stroke, karena dapat meningkatkan efek terbentuknya thrombus dan pembentukan aterosklerosis pada pembuluh darah. Merokok meningkatkan hampir dua sampai emapt kali lipat resiko stroke. f. Efek alkohol terhadap resiko stroke tergantung pada jumlah yang alcohol dikonsumsi. Mengkonsumsi lebih dari 1-2 minuman beralkohol setiap hari memiliki resiko tinggi terhadap hipertensi, yang juga meningkatkan resiko mereka menderita stroke.
60
g. Obesitas. Obesitas juga berkaitan dengan hipertensi, gula darah tinggi, dan kadar lipid darah, yang semuanya meningkatkan risiko stroke. h. Hubungan ketidakaktifan fisik dan peningkatan risiko stroke sama besar baik pada pria maupun wanita, tanpa memandang etnis/ras. Manfaat aktivitas fisik yang rutin dilakukan baik ringan maupun sedang dapat memberikan efek yang menguntungkan terutama untuk menurunkan faktor risiko. i. Diet. Pengaruh diet pada stroke belum demikian jelas, meskipun diet tinggi lemak jenuh dan rendah konsumsi buah dan sayuran dapat meningkatkan risiko stroke. Penggunaan obat-obatan terlarang, terutama penggunaan kokain, telah dikaitkan dengan risiko stroke. j. Sleep apnea merupakan faktor risiko independen untuk stroke dan dapat meningkatkan risiko stroke atau kematian 2 kali lipat. 4. Patofisiologi Stroke Non Hemoragik Stroke non hemoragik erat hubungannya dengan plak arterosklerosis yang dapat mengaktifkan mekanisme pembekuan darah sehingga terbentuk trombus yang dapat disebabkan karena hipertensi (Muttaqin, 2011). Trombus dapat pecah dari dinding pembuluh darah dan akan terbawa sebagai emboli dalam aliran darah mengakibatkan terjadinya iskemia jaringan otak dan menyebabkan hilangnya fungsi otak secara akut atau permanen pada area yang teralokasi (Guyton & Hall, 2007). Iskemia pada otak akan merusak jalur motorik pada serebrum (Potter & Perry, 2005). Iskemia pada otak juga mengakibatkan batang otak yang mengandung nuclei sensorik dan motorik yang membawa fungsi motorik dan sensorik mengalami gangguan sehingga pengaturan gerak seluruh tubuh dan keseimbangan terganggu (Guyton & Hall, 2007). Area di otak yang membutuhkan sinyal untuk pergerakkan dan koordinasi otot tidak ditrasmisikan ke spinal cord, saraf dan otot sehingga serabut motorik pada sistem saraf mengalami gangguan untuk mengontrol kekuatan dan pergerakan serta dapat mengakibatkan terjadinya kecacatan pada pasien stroke (Frasel, Burd, Liebson, Lipschick & Petterson, 2008). Iskemia pada otak juga dapat mengakibatkan terjadinya defisit neurologis (Smeltzer & Bare, 2010). G. Manifestasi klinik stroke Manifestasi klinik klien yang terkena serangan stroke menurut (Black & Hawk, 2009), bervariasi tergantung pada penyebabnya, luas area neuron yang rusak, lokasi neuron yang terkena serangan, dan kondisi pembuluh darah kolateral di serebral. Manifestasi dari stroke iskemik termasuk hemiparesis sementara, kehilangan fungsi wicara dan hilangnya hemisensori (Black & Hawk, 2009). Stroke dapat dihubungkan dengan area kerusakan neuron otak maupun defisit neurologi, menurut Smeltzer dan Bare (2002) manifestasi klinis dari stroke meliputi: 1. Kehilangan Motorik. Stroke adalah penyakit motor neuron atas dan mengakibatkan kehilangan kontrol volunter terhadap gerakan motorik. Disfungsi motor yang paling umum adalah Hemiparesis (kelemahan) dan hemiplegia (paralisis pada satu sisi tubuh) 61
sering terjadi setelah stroke, yang biasanya desebabkan karena stroke pada bagian anterior atau bagian tengah arteri serebral, sehingga memicu terjadinya infark bagian motorik dari kortek frontal. 2. Aphasia, klien mengalami defisit dalam kemampuan berkomunikasi,termasuk berbicara, membaca, menulis dan memahami bahasa lisan. Terjadi jika pusat bahasa primer yang terletak di hemisfer yang terletak di hemisfer kiri serebelum tidak mendapatkan aliran darah dari arteri serebral tengah karena mengalami stroke, ini terkait erat dengan area wernick dan brocca. 3. Disatria, dimana klien mampu memahami percakapan tetapi sulit untuk mengucapkannya, sehingga bicara sulit dimengerti. Hal ini disebabkan oleh terjadinya paralisis otot yang bertanggung jawab untuk menghasilkan bicara. 4. Apraksia yaitu ketidakmampuan untuk melakukan tindakan yang dipelajari sebelumnya, seperti terlihat ketika klien mengambil sisir dan berusaha untuk menyisir rambutnya. 5. Disfagia, dimana klien mengalami kesulitan dalam menelan karena stroke pada arteri vertebrobasiler yang mepengaruhi saraf yang mengatur proses menelan, yaitu N V (trigeminus), N VII (facialis), N IX (glossofarengeus) dan N XII (hipoglosus). 6. Pada klien stroke juga mengalami perubahan dalam penglihatan seperti diplopia. 7. Horner’s syndrome, hal ini disebabkan oleh paralisis nervus simpatis pada mata sehingga bola mata seperti tenggelam, ptosis pada kelopak mata atas, kelopak mata bawah agak naik keatas, kontriksi pupil dan berkurangnya air mata. 8. Unilateral neglected merupakan ketidak mampuan merespon stimulus dari sisi kontralateral infark serebral, sehingga mereka sering mengabaikan salah satu sisinya. 9. Defisit sensori disebabkan oleh stroke pada bagian sensorik dari lobus parietal yang disuplai oleh arteri serebral bagian anterior dan medial. 10. Perubahan perilaku, terjadi jika arteri yang terkena stroke bagian otak yang mengatur perilaku dan emosi mempunyai porsi yang bervariasi, yaitu bagian kortek serebral, area temporal, limbik, hipotalamus, kelenjar pituitari yang mempengarui korteks motorik dan area bahasa. 11. Inkontinensia baik bowel ataupun kandung kemih merupakan salah satu bentuk neurogenic blader atau ketidakmampuan kandung kemih, yang kadang terjadi setelah stroke. Saraf mengirimkan pesan ke otak tentang pengisian kandung kemih tetapi otak tidak dapat enginterpretasikan secara benar pesan tersebut dan tidak mentransmisikan pesan ke kandung kemih untuk tidak mengeluarkan urin. Ini yang menyebabkan terjadinya frekuensi urgensi dan inkontinensia. (Black & Hawk, 2009) dan (Smeltzer & Bare, 2002)
62
H. Komplikasi Stroke Komplikasi stroke meliputi Hipoksia Serebral, penurunan aliran darah serebral, dan luasnya area cedera. a. Hipoksia serebral diminimalkan dengan pemberian oksigenasi darah adekuat ke otak. b. Aliran darah serebral bergantung pada tekanan darah, curah jantung, dan integritas pembuluh darah serebral. Hidrasi adekuat (pemberian intarvena) harus menjamin penurunn viskositas darah dan memperbaiki aliran darah serebral. c. Embolisme serebral dapat terjadi setelah infark miokard atau fibrilasi atrium atau dapat berasal dari katup jantung prostetik. (Smeltzer & Bare, 2002) I. Pemeriksaan Stroke Non Hemoragik 1. Pemeriksaan Fisik Tujuan pemeriksaan fisik adalah untuk mendeteksi penyebab stroke ekstrakranial, memisahkan stroke dengan kelainan lain yang menyerupai stroke, dan menentukan beratnya defisit neurologi yang dialami. Pemeriksaan fisik harus mencakup pemeriksaaan kepala dan leher untuk mencari tanda trauma, infeksi, dan iritasi menings. Pemeriksaan terhadap faktor kardiovaskuler penyebab stroke membutuhkan pemeriksaan fundus okuler (retinopati, emboli, perdarahan), jantung (ritmik ireguler, bising), dan vaskuler perifer (palpasi arteri karotis, radial, dan femoralis). Pasien dengan gangguan kesadaran harus dipastikan mampu untuk menjaga jalan napasnya sendiri. 2. Pemeriksaan Neurologi Tujuan pemeriksaan neurologi adalah untuk mengidentifikasi gejala stroke, memisahkan stroke dengan kelainan lain yang memiliki gejala seperti stroke, dan menyediakan informasi neurologi untuk mengetahui keberhasilan terapi. Komponen penting dalam pemeriksaan neurologi mencakup pemeriksaan status mental dan tingkat kesadaran, pemeriksaan nervus kranial, fungsi motorik dan sensorik, fungsi serebral, gait, dan refleks tendon profunda. Tengkorak dan tulang belakang pun harus diperiksa dan tanda-tanda meningimus pun harus dicari. Adanya kelemahan otot wajah pada stroke harus dibedakan dengan Bell’s palsy di mana pada Bell’s palsy biasanya ditemukan pasien yang tidak mampu mengangkat alis atau mengerutkan dahinya. 3. Pemeriksaan Laboratorium Pemeriksaan darah rutin diperlukan sebagai dasar pembelajaran dan mungkin pula menunjukkan faktor resiko stroke seperti polisitemia, trombositosis, trombositopenia, dan leukemia). Pemeriksaan ini pun dapat menunjukkan kemungkinan penyakit yang sedang diderita saat ini seperti anemia.
63
Pemeriksaan kimia darah dilakukan untuk mengeliminasi kelainan yang memiliki gejalah seperti stoke (hipoglikemia, hiponatremia) atau dapat pula menunjukka penyakit yang diderita pasien saat ini (diabetes, gangguan ginjal). Pemeriksaan koagulasi dapat menunjukkan kemungkinan koagulopati pada pasien. Selain itu, pemeriksaan ini juga berguna jika digunakan terapi trombolitik dan antikoagulan. Biomarker jantung juga penting karena eratnya hubungan antara stroke dengan penyakit jantung koroner. Penelitian lain juga mengindikasikan adanya hubungan anatara peningkatan enzim jantung dengan hasil yang buruk dari stroke. 4. Pemeriksaan Radiologi a. CT scan kepala non kontras Modalitas ini baik digunakan untuk membedakan stroke hemoragik dan stroke non hemoragik secara tepat kerena pasien stroke non hemoragik memerlukan pemberian trombolitik sesegera mungkin. Selain itu, pemeriksaan ini juga berguna untuk menentukan distribusi anatomi dari stroke dan mengeliminasi kemungkinan adanya kelainan lain yang gejalahnya mirip dengan stroke (hematoma, neoplasma, abses). Adanya perubahan hasil CT scan pada infark serebri akut harus dipahami. Setelah 6-12 jam setelah stroke terbentuk daerah hipodense regional yang menandakan terjadinya edema di otak. Jika setelah 3 jam terdapat daerah hipodense yang luas di otak maka diperlukan pertimbangan ulang mengenai waktu terjadinya stroke. Tanda lain terjadinya stroke non hemoragik adalah adanya insular ribbon sign, hiperdense MCA (oklusi MCA), asimetris sulkus, dan hilangnya perberdaan gray-white matter. b. CT perfussion Modalitas ini merupakan modalitas baru yang berguna untuk mengidentifikasi daerah awal terjadinya iskemik. Dengan melanjutkan pemeriksaan scan setelah kontras, perfusi dari region otak dapat diukur. Adanya hipoatenuasi menunjukkan terjadinya iskemik di daerah tersebut. c. CT angiografi (CTA) Pemeriksaan CT scan non kontras dapat dilanjutkan dengan CT angiografi (CTA). Pemeriksaan ini dapat mengidentifikasi defek pengisian arteri serebral yang menunjukkan lesi spesifik dari pembuluh darah penyebab stroke. Selain itu, CTA juga dapat memperkirakan jumlah perfusi karena daerah yang mengalami hipoperfusi memberikan gambaran hipodense. d. MR angiografi (MRA) MRA juga terbukti dapat mengidentifikasi lesi vaskuler dan oklusi lebih awal pada stroke akut. Sayangnya, pemerikasaan ini dan pemeriksaan MRI lainnya memerlukan biaya yang tidak sedikit serta waktu pemeriksaan yang agak panjang. Protokol MRI memiliki banyak kegunaan untuk pada stroke akut. MR T1 dan T2 standar dapat dikombinasikan dengan protokol lain seperti diffusion-weighted imaging (DWI) dan perfussion-weighted imaging (PWI) untuk meningkatkan sensitivitas agar dapat 64
mendeteksi stroke non hemoragik akut. DWI dapat mendeteksi iskemik lebih cepat daripada CT scan dan MRI. Selain itu, DWI juga dapat mendeteksi iskemik pada daerah kecil. PWI dapat mengukur langsung perfusi daerah di otak dengan cara yang serupa dengan CT perfusion. Kontras dimasukkan dan beberapa gambar dinilai dari waktu ke waktu serta dibandingkan. e. USG, ECG, EKG, Chest X-Ray Untuk evaluasi lebih lanjut dapat digunakan USG. Jika dicurigai stenosis atau oklusi arteri karotis maka dapat dilakukan pemeriksaan dupleks karotis. USG transkranial dopler berguna untuk mengevaluasi anatomi vaskuler proksimal lebih lanjut termasuk di antaranya MCA, arteri karotis intrakranial, dan arteri vertebrobasiler. Pemeriksaan ECG (ekhokardiografi) dilakukan pada semua pasien dengan stroke non hemoragik yang dicurigai mengalami emboli kardiogenik. Transesofageal ECG diperlukan untuk mendeteksi diseksi aorta thorasik. Selain itu, modalitas ini juga lebih akurat untuk mengidentifikasi trombi pada atrium kiri. Modalitas lain yang juga berguna untuk mendeteksi kelainan jantung adalah EKG dan foto thoraks.
5. Tata laksana stroke nonhaemorrhagic Tata LaksanaKhusus Stroke Iskemi 4. Trombolisis pada stroke akut Recombinant Tissue Plasminogen Activator (rTPA) dengan dosis 0,9 mg/KgBB (maksimal 90 mg) direkomendasikan pada pasien dengan presentasi stroke antara 3-4,5 jam. Kontra indikasi rTPA: pasienberusia> 80 tahun, konsumsi antikoagulan oral (berapapun nilai INR), pasien dengan bukti jejas iskemik lebih dari 1/3 area arteri serebri media, dan pasien dengan riwayat stroke dan diabetes mellitus. 5. Antiplatelet Aspirin dengan dosis awal 325 mg dalam 24-48 jam setelah awitan stroke. Pada pasien yang alergi terhadap aspirin atau telah mengkonsumsi aspirin secara teratur, berikan klopidogrel 75 mg/hari. 6. Obat neuroprotektor sampai saat ini belum menunjukkan hasil yang efektif. Akan tetapi, citicolin sampai saat ini masih memberikan manfaat pada stroke akut. Dosis awal 2x1000 mg intravena selama 3 hari dilanjutkan 2x1000 mg PO selama 3 minggu. Tata Laksana Khusus Pedarahan Intraserebral 1. Tata laksana medis perdarahan intracranial meliputi; Penggantian faktor koagulasi dan trombosit jika pasien mengalami defisiensi. Apabila terdapat gangguan koagulasi dapat diberikan: Vitamin K 10 mg
65
intravena pada pasien dengan INR meningkat, Plasma segar beku (fresh frozen plasma) 2-6 unit. Heparin subkutan dapat diberikan apabila perdarahan telah berhenti sebagai pencegahan tromboemboli vena. 2. Pemberian anti epilepsi apabila terdapat kejang. 3. Prosedur/operasi Indikasi operasi evakuasi bekuan darah secepatnya; Perdarahan cerebellum dengan perburukan neurologis, adanya kompresi batang otak, dan / atau hidrosefalus akibat obstruksi ventrikel. Pada pasien dengan bekuan darah di lobus dengan jumlah>30 ml dan terdapat di 1 cm dari permukaan dapat dikerjakan kraniotomi standar untuk mengevakuasi perdarahan intracranial supratentorial. Drainase ventrikuler sebagai tata laksana hidrosefalus dapat dipertimbangkan pada pasien dengan penurunan kesadaran. PenatalaksanaanTekananDarah 1. Penatalaksanaan Hipertensi Penurunan tekanan darah yang tinggi pada stroke akut sebagai tindakan rutin tidak dianjurkan, karena kemungkinan dapat memperburuk neurologis. Pada sebagian besar pasien tekanan darah akan turun dengan sendirinya dalam 24 jam pertama setelah awitan stroke. Berbagai guidelines (AHA/ASA 2007 dan ESO 2009) merekomendasikan penurunan tekanan darah yang tinggi pada stroke akut agar dilakukan secara hati-hati dengan memperhatikan beberapa kondisi di bawah ini: a. Pada pasien stroke iskemik akut, tekanan diturunkan 15% (sistolik maupun diastolik) dalam 24 jam pertama setelaha witan, apabila tekanan darah sistolik>220 mmHg atau tekanan diastolik>120 mmHg. Pada pasien stroke iskemik akut yang akan diberikan tetapi trombonolitik (rTPA), tekanan darah diturunkan hingga sistol<180 mmHg dan diastol<105 mmHg selama 24 jam pemberian rTPA. Antihipertensi yang digunakan adalah labetalol, nitroprusid, nikardipin, atau dilitiazemintravena. 2. Penatalaksanaan Gula Darah Pada kasus stroke, pengaturan gula darah menjadi penting karena hiperglikemia berhubungan dengan luasnya volume infark dan gangguan kortikal serta memperburuk keluaran pasien. Secara umum, hindari kadar gula darah> 180 mg/dL. Kadar gula> 180 mg/dL diturunkan dengan infusNaCl 0.9%. Penggunaan larutan glukosa dalam 24 jam pertama setelah stroke sebaiknya dihindari. Insulin subkutan diberikan dengan scliding table. Insulin intravena dengan standar drip insulin 100U/100 mL salin normal. Infus insulin harus dihentikan bila penderita makan dan menerima dosis pertama insulin subkutan.
66
Gula darah diperiksa satu jam sekali selama 4 jam pertama, kemudian apabila stabil dapat diperiksa 2 jam sekali. Infus Insulin dapat diturunkan apabila gula darah pasien stabil. Rehabilitasi Stroke Rehabilitasi per individu sesuai dengan derajat dan jenis kecacatan, mungkin membutuhkan program rawat inap dan dilanjutkan di rumah atau secara rawat jalan. Pendekatan multidisipline rrehabilitasi stroke meliputi: Penilaian disfagia dan modifikasi diet Rehabilitasi komunikasi Penilaian kognitif dan psikologis, termasuk skrining untuk depresi Program olahraga terapeutik Penilaian ambulasi dan evaluasialat bantu jalan Rehabilitas ivokasional
V.
Kerangka Konsep Tn. Uju 65 tahun
DM tidak terkontrol
Hipertensi tidak terkontrol
Kerusakan endotel pembuluh darah
Mempercepat aterosklerosis
Trombosis
Trombus ruptur
Emboli menyumbat 67
Suplai O2 menurun
Merusak sel saraf
Nervus Facialis
Hemisfer dextra rusak/ jaras kortikobulbar
Hemiparese sinistra
Bibir mencong
Plica nasolabialis kiri datar
Nervus Hypoglossus
Deviasi lidah ke kiri
disartria
Kelemahan otot ekstremitas atas adan bawah bagian kiri (5/3)
Gejala stroke pada pasien ini
VI.
Kesimpulan Laki-laki umur 65 tahun memiliki faktor resiko jenis kelamin, umur, DM, dan hipertensi. mengalami stroke iskemik dengan gejala klinis hemiparese sinistra
68
Daftar Pustaka Achmad Junaidi. TIA , ischemic stroke and thromboemboli stroke: neurology departement M. Hoesin hospital. Medicine faculty Sriwijaya Unniversity Aji Kristianto Wijaya. Patofisiologi stroke non-hemoragik akibat thrombus. Bagian/SMF Ilmu Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran universitas Udayana/Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar. Bowman, Lisa. (2009). Management Of Client With Acute Stroke. In: Black, Joice M. & Jane Hokanson Hawks, Medical Surgical Nursing: Clinical Management For Positive Outcome (8th ed., pp 1843-1871). Philadelpia: WB. Saunders Company C Jauch, Edward. 2018. Ischemic Stroke. Diperoleh https://emedicine.medscape.com/article/1916852-overview#a7 diaksespadaSenin, 5 Maret 2018
69
Dorland: Kamus Kedokteran, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Edisi 26, cetakan II, Jakarta 2011 Facial Nerve Anatomy : Diakses dari http/facialparalysisinstitute.com. Mei 2012 Guyton, AC. Hall, JE. Aliran Darah Serebral, Cairan Serebrospinal, dan Metabolisme Otak. Dalam: Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi ke-11. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta. 2006. Hlm: 801-808 Goldszmidt, Adrian J & Caplan, Louis R. (2011). Esensial Stroke. Jakarta: EGC Go, Alan S., Mozaffarin, D., Roger, Veronique L., Benjamin, Emelia J., Berry, Jarett D., Borden, William D. (2013). Heart Disease and Stroke Statistics—2013 Update: A Report From the American Heart Association. 127, e132-e139 Judana A, Santoso D, Kusumoputro S. Saraf – saraf Otak. Dalam: Pedoman Praktis Pemeriksaan Neurologi. Penerbit Bagian Neurologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2014: 10 – 21 John YS Kim. Facial Nerve Paralysis. Diakses dari www.emedicine.com/plastic/topic522.htm. Mei 2012 Juwono, T. 2014. Pemeriksaan Klinik Neurologi dalam Praktik Edisi 2. Jakarta: EGC K.J.Lee. Essential Otolaryngology and Head and Neck Surgery. IIIrd Edition, Chapter 10 : Facial Nerve Paralysis, 2006 Maisel R, Levine S. Gangguan Saraf Fasialis. Dalam Boies Buku Ajar Penyakit THT edisi 6. Jakarta : EGC, 1997. Mardjono M, Sidharta P. Sarafotak dan Patologinya. Dalam: Neurologi Klinis Dasar. Penerbit PT. Dian Rakyat. Jakarta. 2009: 114 – 82. May, Mark and Barry M. Schaizkin. The Facial Nerve. New York : Thieme, 2000 Peter Duus. Diagnosis Topik Neurologi Anatomi, Fisiologi, Tanda, Gejala. Jakarta : Balai Pustaka, 1996. Price, Sylvia Anderson. (2005). Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta: EGC Prof. Dr. I. Gusti Ng. Gd. Ngoerah. Nervi Kranialis. Dalam: Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Saraf. Penerbit Universitas Airlangga. Surabaya. 1990: 103 – 130 Sjarifuddin, Bashiruddin J, Bramantyo B. Kelumpuhan Nervus Fasialis Perifer. Dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala Leher. 6th ed. Jakarta : Balai Penerbit FK-UI, 2007: Hal. 114-117 Smelzer, Suzanne C dan Brenda Bare. (2003). Brunner & Suddarth’s Textbook of Medical Surgical Nursing 10th ed. Philadelpia: Lippincot Williams & Wilkins Smeltzer, Suzanne C. (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth. Jakarta: EGC SM. Lumbantobing. Neurologi Klinik, Pemeriksaan Fisik dan Mental. Jakarta : Balai Penerbit FK-UI, 2006 70
Snell, R. S. 2012. Anatomi Klinis Berdasarkan Sistem. Dialih bahasakan oleh Sugarto L. Jakarta:EGC. Snell RS. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi 6. Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2006. 754p, 757-62p World Health Organization. (2006). Neurological Disorders : Public Health Challenges. pp 151-162. Switzerland: WHO Press Zomorodi, Meg. (2011). Nursing Management Stroke. In: Lewis, Sharon L et al, Medical Surgical Nursing: Assessment And Management Of Clinical Problem (8th ed., pp. 1459-1484). United States of America: Elsevier Mosby http://Emedicne.medscape.com https://www.acls.net/acls-suspected-stroke-algorithm.htm Http://www.yahoo.net/seach/cache?/neuro24.de/hirnnerven_hypoglossus.htm Http://www.yahoo.net/search/cache?/angelfire.com/nc/neurosurgery/To
71
72