Laboratorium Ilmu Kesehatan Anak
Tutorial Klinik
Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman
EXPANDED DENGUE SYNDROME
Oleh Riski Ayu Rimadani 1810029013
Dosen Pembimbing dr. Sherly Y, Sp.A
SMF/LABORATORIUM ILMU KESEHATAN ANAK PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MULAWARMAN SAMARINDA 2018
i
LEMBAR PERSETUJUAN
TUTORIAL KLINIK
EXPANDED DENGUE SYNDROME
Diajukan dalam Rangka Tugas Ilmiah Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Kesehatan Anak
Oleh : Riski Ayu Rimadani 1810029013
Pembimbing
dr. Sherly Y, Sp.A
SMF/LABORATORIUM ILMU KESEHATAN ANAK PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MULAWARMAN SAMARINDA 2018
ii
KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, berkat rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan Tutorial Klinik tentang “Bronkopneumonia”. Tutorial Klinik ini disusun dalam rangka tugas kepaniteraan klinik di Laboratorium Ilmu Kesehatan Anak Rumah Sakit Abdul Wahab Sjahranie Samarinda. Penulis menyadari bahwa keberhasilan penulisan tutorial klinik ini tidak lepas dari bantuan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih kepada : 1. dr. Ika Fikriah, M. Kes., selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman. 2. dr. Soehartono, Sp. THT-KL, selaku Ketua Program Studi Profesi Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman. 3. dr. Hendra, Sp. A, selaku Kepala Laboratorium Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman. 4. dr. Sherly, Sp. A, selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan saran selama penulis menjalani co-assistance di Laboratorium Ilmu Kesehatan Anak, terutama di divisi Respirologi. 5. Dosen-dosen klinik dan preklinik FK Universitas Mulawarman khususnya staf pengajar Lab/SMF Ilmu Kesehatan Anak, terima kasih atas ilmu yang telah diajarkan kepada penulis. 6. Rekan-rekan dokter muda di Lab/SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD AWS/FK Universitas Mulawarman dan semua pihak yang telah membantu, baik secara langsung maupun tidak langsung yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Penulis menyadari terdapat ketidaksempurnaan dalam penulisan, sehingga penyusun mengharapkan kritik dan saran demi penyempurnan tutorial klinik ini. Akhir kata, semoga tutorial klinik ini berguna bagti penyusun sendiri dan para pembaca. Samarinda, Desember 2018
Penulis
iii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ........................................................................................... i LEMBAR PERSETUJUAN ............................................................................... ii KATA PENGANTAR ....................................................................................... iii DAFTAR ISI ...................................................................................................... iv BAB I PENDAHULUAN .................................................................................... 1 1.1. Latar Belakang ............................................................................................. 1 1.2. Tujuan .......................................................................................................... 2 BAB II LAPORAN KASUS .............................................................................. 3 BAB III TINJAUAN PUSTAKA....................................................................... 3.1 Definisi ............................................................................................................ 12 3.2 Epidemiologi ................................................................................................. 13 3.3. Etiologi ........................................................................................................... 13 3.4. Patofisiologi ................................................................................................... 14 3.5. Manifestasi Klinis ......................................................................................... 15 3.6. Diagnosis ...................................................................................................... 16 3.7. Pemeriksaan Penunjang ................................................................................. 21 3.8. Penatalaksanaan ............................................................................................. 24 3.9. Komplikasi ..................................................................................................... 28 3.10. Prognosis ...................................................................................................... 30 BAB IV PEMBAHASAN .................................................................................. 31 BAB V PENUTUP ............................................................................................. 34 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 35
iv
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Pneumonia adalah inflamasi yang mengenai parenkim paru. Sebagian besar disebabkan oleh mikroorganisme (virus/bakteri) dan sebagian kecil disebabkan oleh hal lain (aspirasi, radiasi dll). Pneumonia lobularis yang disebut juga bronkopneumonia merupakan suatu peradangan pada parenkim paru yang berlokasi di bronkiolus dan alveolus sekitarnya, biasanya menyerang anak – anak dan balita (Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2008). Pneumonia merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas anak di negara berkembang. Kurang lebih 158 juta kasus pneumonia terjadi di seluruh dunia setiap tahunnya, dengan 154 juta kasus terjadi di negara – negara berkembang (Nelson, 2015). 15% dari seluruh kematian anak di bawah usia 5 tahun dan lebih dari 922.000 kasus kematian pada anak di tahun 2015 disebabkan oleh pneumonia (Elloriaga & ReyPineda, 2016). Dari tahun ke tahun, pneumonia selalu menduduki peringkat atas penyebab kematian bayi dan anak balita di Indonesia. Pneumonia merupakan penyebab kematian kedua setelah diare (15,5% diantara semua balita) dan selalu berada pada daftar 10 penyakit terbesar setiap tahunnya di fasilitas kesehatan (Kementerian Kesehatan RI, 2010). Period prevalence dan prevalensi pneumonia di tahun 2013 sebesar 1,8% dan 4,5% dengan insidensi pneumonia balita tertinggi terjadi pada kelompok umur 12 – 23 bulan (Riskesdas, 2013). Berdasarkan fakta tersebut, maka diperlukan pemahaman lebih lanjut sehingga memudahkan kita untuk mengetahui diagnosis dini dan penatalaksanaan yang tepat pada pneumonia.
1.2 Tujuan Penulisan 1) Menambah ilmu dan pengetahuan mengenai penyakit yang dilaporkan. 2) Membandingkan informasi yang terdapat pada literatur dengan kenyataan yang terdapat langsung pada kasus.
1
3) Mendiagnosa dengan tepat dan menyusun rencana tatalaksana yang tepat kepada pasien.
2
BAB II LAPORAN KASUS
2.1 Identitas Identitas pasien Nama
: An. SNS
Usia
: 12 tahun 3 bulan
Jenis Kelamin
: Perempuan
Berat Badan
: 32 Kg
Agama
: Kristen Protestan
Anak ke
: Anak ke 1 dari dua bersaudara
Alamat
: Jl. Gerbang Dayaku RT.05 Loa Duri KUKAR
Identitas Orang Tua Nama Ayah
: Tn. D
Usia
: 50 Tahun
Pekerjaan
: Swasta
Alamat
: Jl. Gerbang Dayaku RT.05 Loa Duri KUKAR
Pendidikan terakhir
: SMA
Pernikahan ke
: pertama
Nama Ibu
: Ny. H
Usia
: 46 tahun
Pekerjaan
: IRT
Alamat
: Jl. Gerbang Dayaku RT.05 Loa Duri KUKAR
Pendidikan terakhir
: SMP
Pernikahan ke
: pertama
MRS tanggal 10/12/ 2018 Pukul 20.00 WITA.
3
2.2 Anamnesis Anamnesa dilakukan pada tanggal 17 September 2018, di ruang Melati. heteroanamnesis oleh orang tua pasien.
2.2.1 Keluhan Utama Sesak napas 2.2.2 Riwayat Penyakit Sekarang Pasien datang ke IGD RSUD Abdul Wahab Sjahranie dengan keluhan sesak napas sejak 2 hari sebelum masuk Rumah Sakit. Sesak semakin memberat pada malam hari. Selain itu, pasien juga disertai batuk dan pilek. Batuk hari ke 3 dan berdahak. Sedangkan, pilek hari ke 6. Batuk dan pilek tidak kunjung mereda walau telah diberi obat. Sebelumnya pada hari Jumat (14/9/2018) pasien dibawa oleh orang tuanya ke IGD AWS dan di uap lalu diberi obat pulang tetapi keadaan pasien tetap tidak membaik. Tidak ada keluhan muntah, gangguan buang air kecil, dan gangguan buang air besar. 2.2.3 Riwayat Penyakit Dahulu Pasien waktu lahir tertelan air ketuban dan dirawat 3 hari di Rumah Sakit dan Pasien pernah di diagnosis Dekstrokardia pada bulan Juni 2018. 2.2.4 Riwayat Penyakit Keluarga Ayah pasien memiliki riwayat alergi debu, ibu pasien memiliki riwayat alergi udang. 2.2.5 Riwayat Alergi Riwayat alergi debu 2.2.6 Pertumbuhan dan Perkembangan Anak Berat badan lahir
: 3050 gram
Panjang badan lahir
: 50 cm
4
Berat badan sekarang : 9000 gram Tinggi badan sekarang : 76 cm Tersenyum
: OT lupa
Miring
: OT lupa
Tengkurap
: OT lupa
Duduk
: 6 bulan
Merangkak
: OT lupa
Berdiri
: 11 bulan
Berjalan
: 12 bulan
Berbicara
: OT lupa
Tumbuh gigi
: 5 bulan
2.2.7 Makan dan Minum Anak ASI
: Sejak lahir sampai 3 bulan
Susu sapi
: Sejak lahir sampai sekarang
Makanan lunak
: 6 bulan sampai 12 bulan
Makan padat dan lauknya : 12 bulan sampai sekarang
2.2.8 Pemeriksaan Prenatal Periksa di
: Dokter
Penyakit kehamilan
:-
Obat-obat yang sering diminum
: Vitamin dan tablet Fe
2.2.9 Riwayat Kelahiran Lahir di
: RS
Ditolong oleh
: Bidan
Usia dalam kandungan : Aterm Jenis partus
: Spontan per vaginam
2.2.10 Keluarga Berencana Keluarga Berencana
: tidak pakai kontrasepsi
5
2.2.11 Riwayat Imunisasi Imunisasi
BCG
I +
II ////////////
III ////////////
IV ////////////
Booster I ////////////
Booster II ////////////
Polio Campak DPT Hepatitis B
+ + + +
+ //////////// + +
+ //////////// + +
/////// //////////// //////////// //////////
///////// //////////// -
/////////// //////////// -
2.2.12 Riwayat Kebiasaan Orang tua pasien mengatakan bahwa pasien suka makan coklat, senang bermain dengan kucing (2 ekor), dan suka bermain boneka berbulu.
2.3 Pemeriksaan Fisik Keadaan Umum : Sakit berat Kesadaran
: GCS E3VxM5
Berat Badan
: 32 Kg
Panjang Badan
:
Tanda Vital
: Tekanan darah 120/80 mmHg Nadi 143 x/menit Pernafasan 32x/menit Temperatur axila 36,6o C
Kepala/leher Rambut
: Warna hitam
Mata
: Perdarahan subkonungtiva (-/-), pupil isokor, reflex cahaya (+/+), edema palpebra (-/-).
Hidung
: Sekret hidung (+), pernafasan cuping hidung (-)
Mulut
: Mukosa bibir tampak basah, sianosis (-), perdarahan (-)
Leher
: Pembesaran kelenjar getah (-)
6
Thorax Paru:
Inspeksi
: Bentuk dan besar dada normal, Tampak simetris, pergerakan simetris, retraksi supra sternum (-), retraksi supraclavicula (-),
Palpasi
: Gerakan napas simetris D=S ,Pelebaran ICS (-)
Perkusi
: Sonor diseluruh lapangan paru
Auskultasi
: Suara napas vesikuler (+/+), Rhonki (-/-), wheezing (+/+) stridor (-)
Jantung:
Inspeksi
: Ictus cordis tidak tampak
Palpasi
: Ictus cordis teraba pada ICS 5 midclavicularis sinistra
Perkusi
: Batas jantung dalam batas normal
Auskultasi
: S1 S2 tunggal reguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen Inspeksi
: Cembung, distended (-)
Palpasi
: Soefl, nyeri tekan (-), organomegali (-), turgor kembali cepat
Perkusi
: Timpani, acites (-)
Auskultasi
: Bising usus (+) kesan normal
Ekstremitas Ekstremitas superior: Akral hangat, pucat (-/-) edem (-/-), CRT < 2 detik Ekstremitas inferior: Akral hangat, pucat (-/-), edem (-/-), CRT < 2 detik
2.3 Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan Laboratorium a. Laboratorium 16 September 2018 Pemeriksaan hematologi di IGD
7
Pemeriksaan Hematologi Leukosit Hemoglobin Hematokrit MCV MCH MCHC Trombosit Neutrofil% Limfosit% Monosit% Eosinofil% Basofil% Ureum Creatinin
Hasil 11.060 /µL 10,3 g/dl 30,5% 82,9 fL 28 pg 33,8 g/dL 70.000 /µL 84 % 9% 7% 0% 0% 64,6 0,8
Nilai Normal 6.000 – 18.000 /µL 13,4 – 19,8 g /dL 33,0 - 41,0 % 81,0 – 99,0 fL 27,0 – 31,0 pg 33,0 – 37,0 g/dL 150.000 – 450.000 /µL 40 – 74 % 19 – 48 % 3–9% 0–7% 0–1% 19,3-49,2 0,5-1,1
Pemeriksaan Radiologi
Foto thorax AP posisi supine, simetris, inspirasi dan kondisi cukup, hasil:
Bronkopneumonia
8
2.4 Diagnosis Kerja (IGD) Expanded Dengue Syndrome 2.5 Penatalaksanaan
IVFD RL 1700 cc/24 jam
O2 ventilator PSIMV P.ins 9 PEEPS 5 FIO2 60%
Cefotaxime 2x1,5 gr IV
Paracetamol 4x350mg IV
Furosemid Syringe Pump 10mg/jam
Dobutamin Syringe Pump 2,88cc/jam
Omepazoel 1x30mg IV
Dexametason 3x5 mg IV
Monitoring Vital Sign dan Produksi Urine
Lembar Follow Up Tanggal Pemeriksaan 17 September 2018 S: Batuk berdahak O: CM, N:102 x/menit, reguler, adekuat. RR:35 x/Menit, T:36,60C, SpO2: 98% Wheezing (+/+), Rhonki (-/-)
Diagnosis dan Terapi A : Bronkopneumonia P: IVFD D5 ¼ NS 500 cc/24 jam Dexametason 1,5 mg/8 jam/iv Ampicillin 300 mg/8 jam/iv NAC 75 mg CTM 0,5 mg Salbutamol 0,5 mg
Pulv
3x1
Nebulisasi ventolin/8 jam 18 September 2018 S: Batuk berkurang
A: : Bronkopneumonia P:
9
O: CM, N:89 x/menit, reguler, adekuat. RR:24 x/Menit, T:36,50C, SpO2: 98% Wheezing (-/-), Rhonki (-/-)
IVFD D5 ¼ NS 900cc/jam Ampicilin 3x300 mg/iv Cotridex 3x1,5 mg/iv Cetirizine 1x2,25 mg/po NAC 90 mg Pulv CTM 0,9 mg 3x1 Salbutamol 0,9 mg Nebulisasi (ventolin 0,9 cc + Nacl 0,9% 1,1 cc) 3x1 AFF Infus - Eritromisin syr 3x cth ½
19 September 2018 S: -
Eritromisin syr 3x cth ½ Cetirizine 1x 2,25 mg PO
O: CM, N:84 x/menit, reguler, adekuat. RR:23 x/Menit, T:36,60C, SpO2: 98% Wheezing (-/-), Rhonki (-/-)
10
BAB III TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Definisi Pneumonia adalah inflamasi yang mengenai parenkim paru. Sebagian besar disebabkan oleh mikroorganisme (virus/bakteri) dan sebagian kecil disebabkan oleh hal lain (aspirasi, radiasi dll) (Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2008).
3.2 Epidemiologi Pneumonia merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas anak di negara berkembang. Kurang lebih 158 juta kasus pneumonia terjadi di seluruh dunia setiap tahunnya, dengan 154 juta kasus terjadi di negara – negara berkembang. Diperkirakan pneumonia menyebabkan 3 juta kematian, atau 29% dari seluruh kematian yang terjadi pada anak di bawah usia 5 tahun (Nelson, 2015). Dari tahun ke tahun, pneumonia selalu menduduki peringkat atas penyebab kematian bayi dan anak balita di Indonesia. Pneumonia merupakan penyebab kematian kedua setelah diare (15,5% diantara semua balita) dan selalu berada pada daftar 10 penyakit terbesar setiap tahunnya di fasilitas kesehatan (Kementerian Kesehatan RI, 2010). Period prevalence dan prevalensi pneumonia di tahun 2013 sebesar 1,8% dan 4,5% dengan insidensi pneumonia balita tertinggi terjadi pada kelompok umur 12 – 23 bulan (Riskesdas, 2013). Pneumonia merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas anak di negara berkembang. Kurang lebih 158 juta kasus pneumonia terjadi di seluruh dunia setiap tahunnya, dengan 154 juta kasus terjadi di negara – negara berkembang (Nelson, 2015). 15% dari seluruh kematian anak di bawah usia 5 tahun dan lebih dari 922.000 kasus kematian pada anak di tahun 2015 disebabkan oleh pneumonia (Elloriaga & Rey-Pineda, 2016).
3.3 Etiologi Walaupun sebagian besar kasus pneumonia disebabkan oleh mikroorganisme, penyebab non infeksi termasuk aspirasi makanan atau asam lambung, benda asing,
11
hidrokarbon dan substansi lipoid, reaksi hipersensitivitas dan pneumonitis yang diinduksi oleh radiasi atau obat. Penyebab pneumonia pada individu sering sulit untuk ditentukan karena kultur langsung pada jaringan paru tergolong invasif dan jarang dikerjakan. Kultur yang dilakukan pada spesimen dari traktur respiratori atas sering tidak merefleksikan penyebab sesungguhnya. Streptococcus pneumoniae merupakan bakteri penyebab tersering pada anak – anak usia 3 minggu hingga 4 tahun, sedangkan Mycoplasma pneumoniae dan Chlamydophila pneumoniae
merupakan bakteri
patogen tersering pada anak usia 5 tahun atau lebih tua. Bakteri patogen lainnya yang dapat menyebabkan pneumonia adalah streptokokus grup A dan Staphylococcus aureus (Nelson, 2015). Etiologi Tersering Berdasarkan Usia Grup Usia
Patogen Tersering
Neonatus
Streptococcus grup B, Escherichia coli, basil gram negatif lain, Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae
3 minggu – 3 bulan
RSV,
virus
parainfluenza,
virus
influenza, adenovirus, S. pneumoniae, H. Influenza 4 bulan – 4 tahun
RSV,
virus
parainfluenza,
virus
influenza, adenovirus, S. pneumoniae, H. influenza, Mycoplasma pneumoniae, streptokokus grup A > 5 tahun
Mycoplasma
pneumoniae,
pneumoniae, pneumoniae,
S.
Chlamydophila H.
influenzae,
virus
influenza, adenovirus, virus respirasi lain, Legionella pneumophila Tabel 3.1. Etiologi Penyebab Terbanyak Berdasarkan Usia (Nelson, 2015).
12
3.4 Klasifikasi Pembagian pneumonia sendiri pada dasarnya tidak ada yang memuaskan, dan pada umumnya pembagian berdasarkan anatomi dan etiologi. Beberapa ahli telah membuktikan bahwa pembagian pneumonia berdasarkan etiologi terbukti secara klinis dan memberikan terapi yang lebih relevan (Bradley et.al., 2011). 1. Berdasarkan lokasi lesi di paru a. Pneumonia lobaris b. Pneumonia interstitialis c. Bronkopneumonia 2. Berdasarkan asal infeksi a.
Pneumonia yang didapat dari masyarkat (community acquired pneumonia = CAP)
b.
Pneumonia yang didapat dari rumah sakit (hospital-based pneumonia)
3. Berdasarkan mikroorganisme penyebab a.
Pneumonia bakteri
b.
Pneumonia virus
c.
Pneumonia mikoplasma
d.
Pneumonia jamur
4. Berdasarkan karakteristik penyakit a.
Pneumonia tipikal
b.
Pneumonia atipikal
5. Berdasarkan lama penyakit a.
Pneumonia akut
b.
Pneumonia persisten
3.5 Patofisiologi Traktus respiratorius bagian bawah normalnya tetap steril oleh mekanisme pertahanan fisiologis, termasuk klirens mukosilier, sekresi Ig A dan pembersihan jalan napas melalui batuk. Mekanisme pertahanan imunologik yang membatasi invasi organisme patogenik termasuk makrofag terdapat di alveoli, bronkiolus, Ig A dan
13
imunoglobulin lain. Faktor tambahan yang mendorong terjadinya infeksi paru termasuk trauma, anestesi, dan aspirasi (Nelson, 2015). Kegagalan mekanisme pertahanan dan adanya faktor predisposisi menyebabkan seseorang rentan terhadap infeksi yang dapat menyebabkan pneumonia. Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan terjadinya pneumonia adalah sebagai berikut. 1. Gangguan flora normal orofaringeal. Adanya Ig lokal, terutama IgA, komplemen dan flora normal, mencegah kolonisasi di orofaring oleh mikroorganisme yang virulen. Diabetes, malnutrisi, dan gangguan sistemik kronik lain mengurangi tingkat fibronektin saliva dan meningkatkan kolonisasi oleh basil gram negatif. Antibiotik yang berhubungan dengan supresi flora normal mulut juga memfasilitasi kolonisasi melalui basil gam negatif yang resisten. 2. Refleks glotis dan batuk yang tertahan. Ini dapat menyebabkan aspirasi isi lambung 3. Gangguan kesadaran. Terutama pada pasien – pasien tak sadar, seperti koma, kejang, atau pada kecelakaan yang menyebabkan gangguan serebrovaskular. 4. Kerusakan mekanisme aparatus mukosilier. Klirens mukosiliar efektif tergantung pada pergerakan siliar yang efektif dan pada mukus. Kelenjar submukosa dan permukaan sel goblet epitel menghasilkan cairan permukaan airway. Cairan ini terdiri dari lapisan atas gel mirip musin dan lapisan bawah non gel. Silia bergerak pada medium spesial ini mengarahkan gel ke arah mulut. Proteksi ini sering rusak akibat infeksi respiratori akibat virus, eksposur terhadap udara dingin atau panas atau zat – zat kimia berbahaya, sindrom silia imotil, obstruksi endobronkial. 5. Disfungsi makrofag alveolus. Anemia kronik, starvasi memanjang, hipoksemia dan infeksi virus pada saluran nafas dapat menyebabkan kerusakan makrofag alveolus. 6. Disfungsi imun. Gangguan granulosit, limfosit, defisiensi imun baik kongenital maupun didapat serta terapi imunosupresif dapat menjadi predisposisi pneumonia. (Singh, 2012)
14
4 tahapan patologis pneumonia : 1. Tahap kongesti : Pada tahap ini, telah tampak respon inflamasi awal akut. Lobus yang terkena menjadi merah dan berat karena kongesti vaskular. Cairan yang mengandung protein, neutrofil dan bakteri dapat terlihat di alveoli. Tahapan ini berlangsung 1 – 2 hari. 2. Tahap hepatisasi merah : Lobus yang terkena menjadi merah, kaku, dan memiliki konsistensi seperti hepar. Cairan yang mengandung protein berubah menjadi benang – benang fibrin dengan eksudat seluler yang mengandung neutrofil dalam jumlah nyata. Ekstravasasi sel darah merah yang memberikan warna merah pada paru yang yang terkonsolidasi. Tahapan ini berlangsung 2 – 4 hari. 3. Tahapan hepatisasi abu – abu : Lobus yang terkena menjadi kering, kaku dan abu – abu karena lisis eritrosit. Eksudat yang mengandung neutrofilik selular menurun karena pemecahan sel inflamasi dan makrofag mulai terlihat. Mikroorganisme juga berkurang. Tahapan ini berlangsung 4 – 7 hari. 4. Tahap resolusi : Karena aksi enzimatik, terjadi likuefasi dan aerasi paru diperbaiki secara bertahap. Makrofag sekarang menjadi sel utama di alveoli. Terdapat pengurangan progresif cairan dan eksudat seluler dari alveoli melalui ekspektorasi dan drainase limfatik mengarah ke parenkim paru yang normal dalam 3 minggu. (Singh, 2012)
3.6 Manifestasi Klinis Pneumonia virus dan bakteri sering diawali gejala infeksi traktus respirasi atas dalam beberapa hari, terutama batuk dan rinitis. Pada pneumonia virus, demam biasanya adal temperatur secara umum lebih rendah daripada pneumonia bakteri. Takipnea merupakan manifestasi klinis pneumonia yang paling konsisten. Peningkatan kerja pernapasan ditemani dengan retraksi subkosta, interkostal dan suprasternal, nasal flaring, dan penggunaan otot – otot bantu pernapasan merupakan hal yang umum. Infeksi yang berat dapat ditemani oleh sianosis, terutama pada bayi. Auskultasi dapat menunjukkan crackles dan mengi, tapi sering sulit untuk melokalisasi daerah suara
15
tersebut pada anak yang sangat muda dengan dada yang hiperresonan. Pneumonia yang disebabkan oleh virus seringkali suli untuk dibedakan dari pneumonia karena Mycoplasma dan bakteri patogen lain (Nelson, 2015). Pneumonia bakteri pada anak yang lebih tua diawali dengan demam tinggi dan menggigil yang mendadak, batuk dan nyeri dada. Gejala lain yang dapat terlihat meliputi mengantuk dengan periode gelisah yang intermiten, respirasi cepat, kecemasan dan kadang, delirium. Pada kebanyakan anak, berbaring pada sisi yang sakit dengan lutut ditekuk ke dada dapat meminimalisasi nyeri pleuritik dan meningkatkan ventilasi (Nelson, 2015). Pada bayi, terdapat gejala prodromal infeksi saluran pernapasan atas dan nafsu makan menurun, mengarah ke onset demam tiba – tiba, gelisah, dan distres pernafasan. Bayi tampak sakit dengan distres pernapasan yang bermanifestasi sebagai grunting, nasal flaring, retraksi supraklavikular, interkostal, subkosta, takipnea, takikardia, air hunger dan sianosis. Pneumonia bakteri pada bayi juga dapat bermanifestasi sebagai gangguan gastrointestinal seperti muntah, anoreksia, distensi abdomen (Nelson, 2015).
Pemeriksaan Fisik Dalam pemeriksaan fisik penderita pneumonia ditemukan hal-hal sebagai berikut : -
Pada nafas terdapat retraksi otot epigastrik, interkostal, suprasternal, dan pernapasan cuping hidung.
-
Pada palpasi ditemukan vokal fremitus yang simetris.
-
Konsolidasi yang kecil pada paru yang terkena tidak menghilangkan getaran fremitus selama jalan napas masih terbuka, namun bila terjadi perluasan infeksi paru (kolaps paru/atelektasis) maka transmisi energi vibrasi akan berkurang. Pada perkusi tidak terdapat kelainan dan pada auskultasi ditemukan crackles sedang nyaring. Crackles adalah bunyi non musikal, tidak kontinyu, interupsi pendek dan berulang dengan spektrum frekuensi antara 200-2000 Hz. Bisa bernada tinggi ataupun rendah (tergantung tinggi rendahnya frekuensi yang mendominasi),
16
keras atau lemah (tergantung dari amplitudo osilasi) jarang atau banyak (tergantung jumlah crackles individual) halus atau kasar (tergantung dari mekanisme terjadinya). Crackles dihasilkan oleh gelembung-gelembung udara yang melalui sekret jalan napas/jalan napas kecil yang tiba-tiba terbuka.
Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan laboratorium Pada pemeriksaan laboratorium terdapat peningkatan jumlah leukosit. Hitung leukosit dapat membantu membedakan pneumonia viral dan bakterial. Infeksi virus leukosit normal atau meningkat (tidak melebihi 20.000/mm2 dengan limfosit predominan) dan bakteri leukosit meningkat 15.000-40.000 /mm2 dengan granulosit yang predominan. Pada hitung jenis leukosit terdapat pergeseran ke kiri serta peningkatan LED. Analisa gas darah menunjukkan hipoksemia dan hiperkarbia, pada stadium lanjut dapat terjadi asidosis respiratorik.. (Nelson, 2015).
Pemeriksaan radiologi Gambaran infiltrat pada foto rontgen mendukung diagnosis pneumonia; pada foto rontgen, juga dapat terlihat komplikasi seperti efusi pleura atau empiema. Pneumonia virus biasa dikarakteristikkan sebagai hiperinflmasi dengan infilitrat interstisial bilateral dan peribronchial cuffing. Konsolidasi lobar biasanya terlihat pada pneumonia pneumokokal. Penampakan radiografik sendiri bukanlah diagnostik utama, dan fitur klinis lain perlu dipertimbangkan (Nelson, 2015).
17
Gambar 3. Pneumonia pneumokokal
Pemeriksaan Mikrobiologis Pemeriksaan mikrobiologik untuk diagnosis pneumonia anak tidak rutin dilakukan kecuali pada pneumonia berat yang dirawat di rumah sakit. Untuk pemeriksaan mikrobiologik, spesimen dapat berasal dari usap tenggorok, sekret nasofaring, bilasan bronkus, darah, pungsi pleura, atau aspirasi paru (Nelson, 2015).
3.7 Diagnosis 1. Pneumonia Ringan Disamping batuk atau kesulitan bernapas, hanya terdapat napas cepat saja. Dan dipastikan anak tidak memiliki tanda tanda pneumonia berat. Kriteria napas cepat : - pada anak umur 2 bulan – 11 bulan : > 50 kali/menit - pada anak umur 1 tahun – 5 tahun : > 40 kali/menit (WHO, 2009) 2. Pneumonia Berat Terdapat batuk dan/atau kesulitan bernapas ditambah minimal salah satu hal berikut : - Kepala terangguk – angguk - Pernapasan cuping hidung - Tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam
18
- Foto rontgen dada menunjukan gambaran pneumonia (infilrat luas, konsolidasi, dll) Selain itu dapat ditemukan pula hal berikut ini : - Napas cepat : o Anak umur < 2 bulan : > 60 kali /menit o Anak umur 2 – 11 bulan : > 50 kali/menit o Anak umur 1 – 5 tahun : > 40 kali/menit o Anak umur > 5 tahun : > 30 kali/menit - Suara merintih (grunting) pada bayi muda - Pada auskultasi terdengar : o Crackles (ronki) o Suara pernapasan menurun o Suara pernapasan bronkial Dalam keadaan yang sangat berat dapat dijumpai : - Tidak dapat menyusu atau minum/makan, atau memuntahkan semuanya - Kejang, letargis atau tidak sadar - Sianosis - Distres pernapasan berat (WHO, 2009)
3.8 Diagnosis Banding Tabel 3.2 Diagnosis Banding Pneumonia (Nelson, 2015).
Diagnosis Bronkiolitis
Gejala klinis yang ditemukan -
episode pertama wheezing pada anak umur < 2 tahun
-
hiperinflasi dinding dada
-
ekspirasi memanjang
-
gejala pada pneumonia juga dapat dijumpai kurang atau tidak ada respon dengan bronkodilator
19
Tuberculosis (TB)
-
riwayat kontak positif dengan pasien TB dewasa uji tuberculin positif (≥10 mm, pada keadaan imunosupresi ≥ 5 mm)
-
pertumbuhan buruk/kurus atau berat badan menurun
-
demam (≥ 2 minggu) tanpa sebab yang jelas
-
batuk kronis (≥ 3 minggu) pembengkakan kelenjar limfe leher, aksila, inguinal yang spesifik. Pembengkakan tulang/sendi punggung, panggul, lutut, falang.
Asma
-
riwayat wheezing berulang, kadang tidak berhubungan dengan batuk dan pilek
-
hiperinflasi dinding dada
-
ekspirasi memanjang berespon baik terhadap bronkodilator
3.9 Tatalaksana Kriteria Rawat Inap Usia < 6 bulan Anemia sel sabit dengan acute chest syndrome Multipel lobus Tampak toksik Defisiensi imun Distres pernapasan sedang hingga berat Butuh suplementasi oksigen Dehidrasi
20
Muntah atau ketidakmampuan untuk minum cairan atau obat PO Tidak respon terhadap terapi antibiotik oral Faktor sosial (tak mampu merawat di rumah)
Tabel 3.3. Kriteria rawat inap pneumonia (IDAI, 2009).
Sebagian besar pneumonia pada anak tidak perlu dirawat inap. Indikasi perawatan terutama berdasarkan berat-ringannya penyakit, misalnya toksis, distres pernapasan, tidak mau makan/minum, atau ada penyakit dasar yang lain, komplikasi, dan terutama mempertimbangkan usia pasien. Neonatus dan bayi kecil dengan kemungkinan klinis pneumonia harus dirawat inap (Nelson, 2015). Dasar tatalaksana pneumonia rawat inap adalah pengobatan kausal dengan antibiotik yang sesuai, serta tindakan suportif. Pengobatan suportif meliputi pemberian cairan intravena, terapi oksigen, koreksi terhadap gangguan keseimbangan asam basa, elektrolit,
dan
gula
darah.
Untuk
nyeri
dan
demam
dapat
diberikan
analgetik/antipiretik. Penyakit penyerta harus ditanggulangi dengan adekuat (WHO, 2009). 1. Pneumonia rawat jalan Pada pneumonia rawat jalan dapat diberikan antibiotik lini pertama secara oral, misalnya amoksisilin atau kotrimoksazol. Pada pneumonia ringan berobat jalan, dapat diberikan antibiotik tunggal oral dengan efektifitas yang mencapai 90%. Dosis yang digunakan adalah kotrimoksazol (4mg TMP/kgBB/kali) 2 kali sehari selama 3 hari atau amoksisilin (25mg/kgBB/kali) 2 kali sehari selama 3 hari. Untuk pasien HIV diberikan selama 5 hari (WHO, 2009).
21
Anjurkan Ibu untuk memberi makan anak. Nasihati Ibu untuk kontrol ulang anaknya setelah 2 hari ke RS, atau lebih cepat jika keadaan anak memburuk, tidak bisa minum atau menyusu (WHO, 2009). Ketika anak kembali : - Jika pernapasannya membaik (melambat), demam berkurang, nafsu makan membaik, lanjutkan pengobatan sampai seluruhnya 3 hari - Jika frekuensi pernapasan, demam, dan nafsu makan tidak ada perubahan, ganti ke antibiotik ke lini kedua dan nasihati ibu untuk kembali lagi. - Jika ada tanda pneumonia berat, rawat anak di rumah sakit dan tangani sesuai pedoman di bawah ini. (WHO, 2009). 2. Pneumonia rawat inap Beri ampisilin/amoksisilin (25-50 mg/kgBB/kali IV atau IM setiap 6 jam), harus dipantau 24 jam selama 72 jam pertama. Bila anak memberikan respons yang baik maka diberikan selama 5 hari. Selanjutnya terapi dilanjutkan di rumah atau di rumah sakit dengan amoksisilin oral (15mg/kgBB/kali diberikan 3 kali sehari) untuk 5 hari berikutnya (WHO, 2009). Bila keadaan klinis memburuk sebelum 48 jam atau terdapat keadaan yang berat (tidak dapat menyusu atau minum/makan, atau memuntahkan semuanya, kejang, letargis atau tidak sadar, sianosis, distress pernapasan berat) maka ditambahkan kloramfenikol (25 mg/kgBB/kali IM atau IV setiap 8 jam) (WHO, 2009). Bila pasien datang dengan keadaan klinis berat, segera berikan oksigen dan pengobatan kombinasi ampisilin-kloramfenikol atau ampisilin-gentamisin. Sebagai alternatif, beri seftriakson (80-100 mg/kgBB IM atau IV sekali sehari) (WHO, 2009). Apabila diduga pneumonia stafilokokal, ganti antibiotik dengan gentamisin (7,5 mg/kgBB IM sekali sehari) dan kloksasiklin (50 mg/kgBB IM atau IV setiap 6 jam) atau klindamisin (15 mg/kgBB/hari-3 kali pemberian). Bila keadaan anak membaik, lanjutkan klosasiklin (atau diklosasiklin) secara oral 4 kali sehari sampai
22
secara keseluruhan mencapai 3 minggu, atau klindamisin secara oral selama 2 minggu (WHO, 2009).
3. Tatalaksana Umum Pasien dengan saturasi oksigen < 92% pada saat bernapas dengan udara kamar, harus diberikan terapi oksigen dengan kanul nasal, head box, atau sungkup untuk mempertahankan saturasi oksigen >92% - Pada pneumonia berat atau asupan per oral kurang, pastikan anak memperoleh kebutuhan cairan rumatan sesuai umur anak, tetapi hati – hati terhadap kelebihan cairan atau overhidrasi. - Antipiretik dan analgetik dapat diberikan untuk menjaga kenyamanan pasien (Paracetamol 10-15 mg/kgBB/kali) (WHO, 2009). 4. Nutrisi Bujuk anak untuk makan, segera setelah anak bisa menelan makanan. Beri makanan sesuai kebutuhannya dan sesuai kemampuan anak dalam menerimanya (WHO, 2009). 5. Kriteria pulang: - Gejala dan tanda pneumonia menghilang - Asupan peroral adekuat - Pemberian antibiotik dapat diteruskan dirumah (peroral) - Keluarga mengerti dan setuju untuk pemberian terapi dan rencana kontrol dan kondisi rumah memungkinkan untuk perawatan lanjutan dirumah. (WHO, 2009).
3.10
Komplikasi Komplikasi pneumonia pada anak biasanya merupakan hasil dari penyebaran
langsung infeksi bakteri dalam kavitas torakal (efusi pleura, empiema, perikarditis) atau penyebaran hematologik dan bakteremia. Meningitis, artritis supuratif, dan
23
osteomielitis adalah komplikasi yang jarang dari penyebaran secara hematologi dari pneumokokal atau H. influenzae tipe b (Nelson, 2015).
BAB IV PEMBAHASAN
Perbandingan antara teori dan data pasien 1. Anamnesis Teori
Kasus
Pada anak, terdapat gejala prodromal
Pasien An. Perempuan berusia 1 tahun 7
infeksi saluran pernapasan atas dan nafsu
bulan datang ke IGD RS AWS dengan keluhan
makan menurun, mengarah ke onset demam
sesak napas sejak 2 hari sebelum masuk Rumah
tiba – tiba, gelisah, dan distres pernafasan.
Sakit. Sesak semakin memberat pada malam
Bayi tampak sakit dengan distres pernapasan
hari. Selain itu, pasien juga disertai batuk dan
yang bermanifestasi sebagai grunting, nasal
pilek. Batuk hari ke 3 dan berdahak. Sedangkan,
flaring, retraksi supraklavikular, interkostal,
pilek hari ke 6. Batuk dan pilek tidak kunjung
subkosta, takipnea, takikardia, air hunger dan
mereda walau telah diberi obat. Sebelumnya pada
sianosis. Pneumonia bakteri pada bayi juga
hari Jumat (14/9/2018) pasien dibawa oleh orang
dapat
tuanya ke IGD AWS dan di uap lalu diberi obat
bermanifestasi
sebagai
gangguan
gastrointestinal seperti muntah, anoreksia,
pulang
tetapi
keadaan
pasien
tetap
tidak
distensi abdomen.
membaik. Tidak ada keluhan muntah, gangguan buang air kecil, dan gangguan buang air besar.
2. Pemeriksaan Fisik Teori
Kasus
24
Dalam pemeriksaan fisik ditemukan hal-hal KU: Tampak sakit sedang sebagai berikut :
Kesadaran: CM
- Pada nafas terdapat retraksi otot epigastrik, Tekanan Darah : 90/60 mmHg interkostal, suprasternal, dan pernapasan cuping Frekuensi Nadi : 110x / menit hidung.
Frekuensi Napas : 35x / menit
- Pada palpasi ditemukan vokal fremitus yang Suhu Badan simetris.
: 36,6OC (axillar)
Paru
- Konsolidasi yang kecil pada paru yang terkena -
Inspeksi : Gerakan dinding dada simetris,
tidak menghilangkan getaran fremitus selama
retraksi subkosta (-)
jalan napas masih terbuka, namun bila terjadi -
Palpasi : Fremitus raba dextra = sinistra,
perluasan infeksi paru (kolaps paru/atelektasis)
pelebaran ICS (-)
maka transmisi energi vibrasi akan berkurang. -
Perkusi : Sonor
Pada perkusi tidak terdapat kelainan dan pada -
Auskultasi : Vesikuler, rhonki -/-, wheezing
auskultasi ditemukan crackles sedang nyaring.
+/+
3. Pemeriksaan Penunjang Teori
Kasus
1. Infeksi virus leukosit normal atau meningkat Pemeriksaan Laboratorium: (tidak melebihi 20.000/mm2 dengan limfosit
Darah Lengkap
predominan) dan bakteri leukosit meningkat
Leukosit : 14,63 x 103/ mikroliter
15.000-40.000 /mm2 dengan neutrofil yang
Hemoglobin : 12,5 g/dl
predominan. Pada hitung jenis leukosit
Hct : 37 %
terdapat pergeseran ke kiri serta peningkatan
Trombosit : 437.000/mikroliter
LED. 2. Pemeriksaan Radiologi : Tampak adanya infiltrat baik interstisial maupun alveolar
Pemeriksaan Radiologi Cor: Besar dan bentuk kesan normal. Pulmo: tampak perselubungan di lapang paru kanan dan kiri
25
3. Pemeriksaan
Mikrobiologis:
Untuk
pemeriksaan mikrobiologik, spesimen dapat berasal
dari
usap
tenggorok,
sekret
nasofaring, bilasan bronkus, darah, pungsi pleura, atau aspirasi paru
4. Penatalaksanaan Teori
Kasus IVFD D5 ¼ NS 900cc/jam Ampicilin 3x300 mg/iv Cotridex 3x1,5 mg/iv Cetirizine 1x2,25 mg/po NAC 90 mg Pulv CTM 0,9 mg 3x1 Salbutamol 0,9 mg Nebulisasi (ventolin 0,9 cc + Nacl 0,9% 1,1 cc) 3x1
Dasar tatalaksana pneumonia rawat inap adalah pengobatan kausal dengan antibiotik yang sesuai, serta tindakan suportif. Pengobatan suportif meliputi pemberian cairan intravena, terapi oksigen, koreksi terhadap gangguan keseimbangan asam basa, elektrolit, dan gula darah. Untuk nyeri dan demam
dapat
diberikan
analgetik/antipiretik.
Penyakit penyerta harus ditanggulangi dengan adekuat. Bila pasien datang dengan keadaan klinis
18 September 2018
berat, segera berikan oksigen dan pengobatan -
Eritromisin syr 3x cth ½
kombinasi ampisilin-kloramfenikol atau ampisilin- 19 September 2018 gentamisin.
Antipiretik dan analgetik dapat diberikan -
Eritromisin syr 3x cth ½ Cetirizine 1x 2,25 mg
untuk menjaga kenyamanan pasien
26
BAB V PENUTUP
Kesimpulan Pneumonia adalah inflamasi yang mengenai parenkim paru. Sebagian besar disebabkan oleh mikroorganisme (virus/bakteri) dan sebagian kecil disebabkan oleh hal lain (aspirasi, radiasi dll). Gejala yang ditimbulkan oleh pneumonia ialah panas tinggi disertai batuk berdahak, napas cepat, sesak dan gejala lainnya (sakit kepala, gelisah, dan nafsu makan berkurang) (Riskesdas, 2013). Pneumonia merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas anak di negara berkembang. Insidensi pneumonia balita tertinggi terjadi pada kelompok umur 12 – 23 bulan. Usia berperan penting dalam menentukan etiologi pneumonia. Etiologi pneumonia pada neonatus dan bayi kecil meliputi Streptococcus grup B dan bakteri gram negatif seperti E.colli, Pseudomonas sp, atau Klebsiella sp. Pada bayi yang lebih besar dan balita, pneumonia sering disebabkan oleh Streptococcus pneumonia, H. influenzae, Stretococcus grup A, S. aureus, sedangkan pada anak yang lebih besar dan remaja, selain bakteri tersebut, sering juga ditemukan infeksi Mycoplasma pneumoniae. Pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang dapat dilakukan untuk mengarahkan diagnosis ke pneumonia bakteri maupun virus. Dasar tatalaksana pneumonia rawat inap adalah pengobatan kausal dengan antibiotik yang sesuai, serta tindakan suportif. Penatalaksanaan yang adekuat akan menghindarkan anak – anak dari komplikasi yang dapat menyebabkan morbiditas dan mortalitas.
27
DAFTAR PUSTAKA Bradley J.S., Byington C.L., Shah S.S, Alverson B., Carter E.R., Harrison C., Kaplan S.L., Mace S.E., McCracken Jr G.H., Moore M.R., St Peter S.D., Stockwell J.A., and Swanson J.T. (2011). The Management of Community-Acquired Pneumonia in Infants and Children Older than 3 Months of Age : Clinical Practice Guidelines by the Pediatric Infectious Diseases Society and the Infectious Diseases Society of America. Clin Infect Dis. 53 (7): 617-630. Elloriaga, G.G. & Rey-Pineda, D. (2016). Basic Concepts on Community-Acquired Bacterial Pneumonia in Pediatrics. ImedPub Journal, 1(1), 1 – 6. Ikatan Dokter Anak Indonesia. (2008). Buku Ajar Respirologi. Jakarta : IDAI Ikatan Dokter Anak Indonesia. (2009). Pedoman Pelayanan Medis. Jakarta. Kementerian Kesehatan RI. (2010). Pneumonia Balita. Buletin Jendela Epidemiologi, 3, 1 – 27. Latief, Abdul, dkk. (2009). Pelayanan Kesehatan anak di rumah sakit standar WHO. Jakarta : Depkes Nelson. (2015). Ilmu Kesehatan Anak, Edisi 19, Volume 2. Jakarta: EGC. Riset Kesehatan Dasar. (2013). Riset Kesehatan Dasar 2013. Depkes RI. Singh, Y. D. (2012). Pathophysiology of Community Acquired Pneumonia. Supplement of Japi, 60, 7 – 9.
28