-
RETINOPATI DIABETIKUM a. Etiologi Retinopati diabetika adalah kelainan mata pada pasien diabetes yang disebabkan kerusakan kapiler retina dalam berbagai tingkatan sehingga menimbulkan gangguan penglihatan mulai dari yang ringan sampai berat bahkan sampai menjadi kebutaan permanen. Risiko mengalami retinopati meningkat sejalan dengan lamanya menderita diabetes sehingga hiperglikemia yang berlangsung lama diduga sebagai faktor risiko utama. b. Patofisiologi Kelainan dasar dari berbagai bentuk retinopati diabetika terletak pada kapiler retina. Dinding kapiler terdiri dari 3 lapisan dari luar ke dalam yaitu sel perisit, membrana basalis dan sel endotel, perbandingan jumlah sel perisit dan sel endotel kapiler retina adalah 1 : 1. Sel perisit berfungsi untuk mempertahankan struktur kapiler, mengatur kontraktibilitas, mempertahankan fungsi barier, transportasi kapiler dan proliferasi sel endotel; membrana basalis berfungsi untuk mempertahankan permeabilitas; sel endotel bersama dengan matriks ekstra sel dari membrana basalis membentuk pertahanan yang bersifat elektif terhadap beberapa jenis protein dan molekul termasuk fluoroscein yang digunakan untuk diagnosis kapiler retina. Perubahan histopatologi pada retinopati diabetika dimulai dari penebalan membrana basalis, dilanjutkan dengan hilangnya sel perisit dan meningkatnya proliferasi sel endotel, sehimgga perbandingan sel endotel dan sel perisit menjadi 10 : 1,7. Patofisiologi retinopati diabetika melibatkan 5 proses yang terjadi di tingkat kapiler yaitu : 1) Pembentukan mikroaneurisma 2) Peningkatan permeabilitas 3) Penyumbatan 4) Proliferasi pembuluh darah baru (neovaskular) dan pembentukan jaringan fibrosis 5) Kotraksi jaringan fibrosis kapiler dan vitreus c. Epidemiologi Retinopati diabetika adalah salah satu penyebab utama kebutaan di negara-negara Barat, terutama diantara usia produktif. Berdarkan penelitian yang dilakukan Amerika oleh Wiconsin Epidemiologic study of Diabetic Retinopathy(WSDR), membagi prevalensi penderita retinopati menjadi dua kelompok yaitu onset muda dan onset tua. Onset muda adalah pasien yang didiagnosis diabetes sebelum 30 tahun dengan terapi insulin dan onset tua adalah pasien yang didiagnosis diabetes setelah 30 tahun. Pada onset muda, 71% terdiagnosis dengan
retinopati, 23% terkena retinopati diabetika proliferatif dan 6% terdiagnosis clinicially significant macular edema(CMSE).Pada onset tua, pasien retinopati dengan pengobatan insulin sebesar 70% dan tanpa pengobatan 39%. Pada pasien tanpa pengobatan insulin sebesar 3% proliferatif dan 14% CMSE, sedangkan dengan yang pengobatan insulin 14% mencapai proliferatif dan 11% CMSE. Di Eropa, berdasarkan penelitian survey populasi di Melton Mowray, England prevalensi retinopati pada pasien dengan pengobatan insulin sebesar 41% dan pasien tanpa pengobatan insulin sebesar 52%.14 Data dari western Scotland prevalensi retinopati diabetika sebesar 26,7% dan retinopati serius (RDNP,RDP,Makula) sekitar 10%. Bedasarkan penelitian 3 populasi besar di Australia, prevalensi retinopati sebesar 29,1% pada pasien DM pada 40 tahun atau lebih pada penelitian The Melbourne Visual Impairment Project, 32,4 % pada pasien di atas 49 tahun oleh The Blue Mountains Eye Study dengan tanda proliferatif sebesar 1,6% dan makula sebesar 5,5%. Di negara-negara Asia, prevalensi diabetes mengalami peningkatan selama beberapa dekade, tetapi informasi retinopati di Asia masih sangat terbatas.14 The Aravind Eye Disease Survey di India Selatan , prevalensi retinopati pada pasien DM diatas 50 tahun adalah 27%. d. Prognosis Keadaan yang dapat memperberat Retinopati Diabetes : a) Pada Diabetes juvenile yang insulin dependent dan kehamilan dapat merangsang timbulnya perdarahan dan proliferasi. b) Arteriosklerosis dan proses menua pembuluh-pembuluh darah memperburuk prognosis. c) Hiperlipoproteinnemi diduga mempercepat perjalanan dan progresifitas kelainan dengan cara mempengaruhi arteriosklerosis dan kelainan hemobiologik. d) Hipertensi arteri, memperburuk prognosis terutama pada penderita usia tua. e) Hipoglikemia atau trauma dapat menimbulkan perdarahan retina yang mendadak. e. Terapi Faktor penting dalam pencegahan primer retinopati diabetika adalah mengkontrol gula dan tekanan darah dengan baik, sehingga mengurangi progresivitas NPDR derajat berat dan PDR, insiden edema makula, dan kebutuhan panretinal dan fokal fotokoagulasi. Manajemen sekunder retinopati diabetika dapat dilakukan intervensi farmakoterapi maupun terapi operasi. VEGF merupakan respon terhadap iskemi yang diproduksi oleh sel retina. VEGF ini sebagai promotor permeabilitas vaskuler dan neovaskularisasi sehingga menjadi target utama pengobatan retinopati diabetika. Obat-obat anti-VEGF yaitu ranibizumab, bevacizumab, dan pegaptanib. Obat ini diinjeksi intravitreal di bawah prosedur anestesi topical dengan indikasi pada diabetes edema makula. Selain anti-VEGF, terapi farmako yang lain adalah intravitreal triamcinolone acetonide. Obat ini mengurangi ketebalan makula pada diabetes edema macula. Vitrektomi merupakan operasi pengangkatan vitreous, darah, dan jaringan fibrovaskuler retina. Indikasi pengobatan ini untuk PDR parah yang tidak responsif terhadap PRP, kejadian perdarahan vitreous berat, traksi ablasi retina, proliferasi fibrovaskuler berat, sindrom postvitrektomi fibrinoid, maupun proliferasi fibrovaskuler hialoid anterior.
Panretinal Photocoagulation (PRP) Diabetes Retinopathy Study (DRS) dan Early Treatment Diabetic Retinopathy Study (ETDRS) menyatakan laser panretinal photocoagulation (PRP) sebagai standar perawatan untuk pengobatan PDR. PRP menurunkan risiko kebutaan berat sebanyak 5060% pada semua kelompok retinopati diabetika, kecuali kelompok NPDR. Sehingga PRP digunakan pada pasien PDR dengan atau tanpa risiko tinggi dan NPDR derajat berat. Pada PRP sebanyak 1200-1600 laser (sekitar 500 μm) membakar secara merata seluruh jaringan retina, kecuali di makula. Laser PRP tidak secara langsung mengenai neovaskularisasi pada retina atau diskus optikus, Tetapi menyebabkan denaturasi dan koagulasi sel fotoreseptor dan sel epitel pigmen. Sel-sel berpigmen akan menyerap sinar laser, lalu panas yang dihasilkan menyebabkan kerusakan sel retina luar.
Hasil laser mengakibatkan penipisan retina yang meningkatkan kemampuan retina untuk mendapatkan oksigen dari koroid. Hal ini terjadi karena koriokapiler (suplai pembuluh darah ke sel kerucut, sel batang dan epitel pigmen) secara fisik lebih dekat retina bagian dalam dan karena sel kerucut dan batang yang sangat aktif secara metabolik sudah tidak ada lagi untuk menyerap oksigen dari koriokapiler di daerah yang dilaser. Selain itu, penipisan retina mengurangi pelepasan faktor pertumbuhan angiogenik seperti VEGF. Dengan demikian, neovaskularisasi retina menjadi regresi atau menghilang. Oleh karena PRP menyebabkan kerusakan jaringan retina, prosedur ini juga menyebabkan beberapa gejala penglihatan seperti defek lapang pandang perifer, berkurangnya penglihatan saat malam hari, penglihatan warna berkurang, dan penurunan sensitivitas kontras. Efek samping lainnya adalah efusi koroid atau terlepasnya koroi yang dapat menyebabkan miopia sementara atau peningkatan tekanan intraokuler. Komplikasi yang berat adalah luka bakar salah arah atau berlebihan yang menyebabkan kerusakan makula, perdarahan dari koriokapiler, atau iatrogenic neovaskularisasi koroid. f. Komplikasi Pada mata yang mengalami edema macular dan iskemik yang bermakna akan memiliki profnosis yang lebih jelek dengan atau tanpa terapi laser, daripada mata dengan edema dan perfusi yang relative baik. -
RETINOPATI HIPERTENSI a. Etiologi Retinopati hipertensi merupakan kelainan pada vaskuler retina pada penderita dengan peningkatan tekanan darah. Kelainan ini pertama kali dikemukakan oleh Marcus Gunn pada kurun abad ke-19 pada sekelompok penderita hipertensi dan penyakit ginjal. Tanda-
tanda pada retina yang diobservasi adalah penyempitan arteriolar secara general dan fokal, perlengketan atau nicking arteriovenosa, perdarahan retina dengan bentuk flameshape dan blot-shape, cotton-wool spots, dan edema papilla. b. Patofisiologi Perubahan patofisilologi pembuluh darah retina pada hipertensi, akan mengalami beberapa tingkat perubahan sebagai respon terhadap peningkatan tekanan darah. Terdapat teori bahwa akan terjadi spasme arterioles dan kerusakan endothelial pada tahap akut sementara pada tahap kronis terjadi hialinisasi pembuluh darah yang menyebabkan berkurangnya elastisitas pembuluh darah. Tahap awal, pembuluh darah retina akan mengalami vasokonstriksi secara generalisata. Hal ini merupakan akibat dari peningkatan tonus arteriolus dari mekanisme autoregulasi yang seharusnya berperan sebagai fungsi proteksi. Pada pemeriksaan funduskopi akan terlihat penyempitan arterioles retina secara generalisata. Peningkatan tekanan darah secara persisten akan menyebabkan terjadinya penebalan intima pembuluh darah, hiperplasia dinding tunika media dan degenerasi hialin. Pada tahap ini akan terjadi penyempitan arteriolar yang lebih berat dan perubahan pada persilangan arteri-vena yang dikenal sebagai ”arteriovenous nicking”. Terjadi juga perubahan pada refleks cahaya arteriolar yaitu terjadi pelebaran dan aksentuasi dari refleks cahaya sentral yang dikenal sebagai ”copper wiring”.
Dinding aretriol normal bersifat transparan, sehingga yang terlihat sebenarnya adalah darah yang mengalir. Pantulan cahaya yang tipis dibagian tengah lumen tampak sebagai garis refraktif kuning sekitar selebar seperlima dari lebar lumen. Apabila dinding arteriol diinfiltrasi oleh sel lemak dan kolesterol akan menjadi sklerotik. Dinding pembuluh darah secara bertahap menjadi tidak transparan dan dapat dilihat, dan refleksi cahaya yang tipis menjadi lebih lebar. Produk-produk lemak kuning keabuan yang terdapat pada dinding pembuluh darah bercampur dengan warna merah darah pada lumen pembuluh darah akan menghasilkan gambaran khas “copper-wire’”. Hal ini menandakan telah terjadi
arteriosklerosis tingkat sedang. Apabila sklerosis berlanjut, refleksi cahaya dinding pembuluh darah berbentuk “ silver-wire”.
Tahap pembentukan eksudat, akan menimbulkan kerusakan pada sawar darahretina, nekrosis otot polos dan sel-sel endotel, eksudasi darah dan lipid, dan iskemik retina. Perubahan-perubahan ini bermanifestasi pada retina sebagai gambaran mikroaneurisma, hemoragik, hard exudate dan infark pada lapisan serat saraf yang dikenal sebagai cottonwool spot. Edema diskus optikus dapat terlihat pada tahap ini, dan biasanya merupakan indikasi telah terjadi peningkatan tekanan darah yang sangat berat.
c. Epidemiologi Sejak tahun 1990, beberapa penelitian epidemiologi telah dilakukan pada sekelompok populasi penduduk yang menunjukkan gejala retinopati hipertensi. Dan didapatkan bahwa kelainan ini banyak ditemukan pada usia 40 tahun ke atas. Prevalensi retinopati hipertensi bervariasi antara 2%-15%. Data ini berbeda dengan hasil studi epidemiologi yang dilakukan oleh Framingham Eye Study yang mendapatkan hasil prevalensi rata-rata kurang dari 1%. d. Prognosis
Prognosis tergantung kepada kontrol tekanan darah. Kerusakan penglihatan yang serius biasanya tidak terjadi sebagai dampak langsung dari proses hipertensi kecuali terdapat oklusi vena atau arteri lokal. Pasien dengan perdarahan retina, CWS atau edema retina tanpa papiledema mempunya jangka hidup kurang lebih 27,6 bulan. Pasien dengan papiledema, jangka hidupnya diperkirakan sekitar 10,5 bulan. Namun pada sesetengah kasus, komplikasi tetap tidak terelakkan walaupun dengan kontrol tekanan darah yang baik e. Terapi Beberapa penelitian eksperimental menunjukkan regresi dari retinopati hipertensi yang tekanan darahnya terkontrol.Belum diketahui apakah antihipertensi memiliki efek langsung terhadap mikrovaskuler sehingga mengurangi kerusakan retinopati hipertensi melampaui efek mengurangi kerusakan retinopati dengan menurunkan tekanan darah. f. Komplikasi Hipertensi dapat menyebabkan komplikasi seperti branch retinal artery occlusion(BRAO),Branch retinal vein occlusion(BRVO),Central retinal vein occlusion(CRVO),vitreus hemorrhage and tractional retinal detachment.
DAFTAR PUSTAKA Vaughan DG, Asbury T, Eva PR, Oftalmologi Umum, Edisi 14, Widya Medika, Jakarta, 2000, hal. 211-214. Nema HV, Text book of Opthalmology, Edition 4, Medical publishers, New Delhi, 2002, page 249-251. Freeman WR, Practical Atlas of Retinal Disease and Therapy, Edition 2, Lippincott-Raven, Hongkong, 1998, page 199-213. Basic and Clinical Science Course, Retina and Vitreous, Section 12, American Academy of Ophtalmologi, United State, 1997, page 71-86. Langston D, Manual of Ocular Diagnosis and therapy, Edition 4, Deborah PavanLangston, United State, 1996, page 162-165. Elkington AR, Khaw PT, Petunjuk Penting Kelainan Mata, Buku Kedokteran EGC : Jakarta, 1995, hal. 162-165. Sehu WK, Lee WR, editors. In: Ophtalmic pathology an illustrated guide for clinicians: retina: vascular diseases, degenerations and dystrophies. 1st ed. Carlton Australia, Blackwell Publishing Limited; 2005. p. 204, 213-4 Ghozi, M. 2002 Handbook of Ophthalmology A Guide to Medical Examination. Yogyakarta: GTA Press. Wong TY, Mitchell P, editors. Current concept hypertensive retinopathy. The New England Journal of Medicine 2004 351:2310-7 [Online]. Available from: URL: http://www.nejm.org/cgi/reprint/351/22/2310.pdf
Hughes BM, Moinfar N, Pakainis VA, Law SK, Charles S, Brown LL et al, editors. Hypertension. 2007 [Online]. Available from: URL: http://www.emedicine.com/oph/topic488.htm Ilyas S, Ilmu Penyakit Mata, Edisi 2, FK UI, Jakarta, 2003, hal. 224-227. Diabetic Retinopathy, http://www.kellogg.umich.edu/patientcare/conditions/ diabetic.retinopathy.html. Diabetic Retinopathy, http://www.apagrafix.com/patiented/DiabeticRetinopathy Diabetic Retinopathy, http://www.eyemdlink.com/condition.asp?conditionID.