SMF & Laboratorium Ilmu Kesehatan Anak RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman
TUTORIAL
EXPANDED DENGUE SYNDROME Disusun sebagai Salah Satu Tugas Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Kesehatan Anak
Riski Ayu Rimadani NIM. 1810029013
Pembimbing: dr. Sherly Yuniarchan, Sp.A
PROGRAM STUDI PROFESI DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MULAWARMAN SAMARINDA, DESEMBER 2018
1
LEMBAR PENGESAHAN
TUTORIAL KLINIK
EXPANDED DENGUE SYNDROME Diajukan dalam Rangka Tugas Ilmiah Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu Kesehatan Anak
Oleh: Riski Ayu Rimadani NIM. 1810029013
Pembimbing:
dr.Sherly Yuniarchan, Sp.A
SMF/LABORATORIUM ILMU KESEHATAN ANAK PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MULAWARMAN SAMARINDA 2018
2
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT karena atas limpahan rahmat dan kasih sayangNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tutorial kasus dengan judul “Expanded Dengue Syndrome”. Tulisan ini disusun sebagai tugas kepaniteraan klinik bagian Ilmu Kesehatan Anak di RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada dr. Sherly Yuniarchan, Sp.A atas ilmu dan bimbingan yang diberikan selama menjalani kepaniteraan klinik di bagian Ilmu Kesehatan Anak, khususnya pada divisi Pediatric Intensive Care Unit dan Nefrologi. Penulis menyadari masih terdapat banyak kekurangan dalam penulisan ini. Namun, penulis berharap semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi proses pembelajaran Ilmu Kesehatan Anak.
Samarinda, Desember 2018
Penulis
3
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Infeksi dengue merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus genus Flavivirus. Virus ini mempunyai 4 jenis serotipe yaitu DENV-1, DENV-2, DENV3, DENV-4. Virus ini ditularkan melalui perantara nyamuk Aedes aegypti atau Aedes albopictus. Virus ini endemik di Asia Pasifik, Amerika, dan Afrika. Virus dengue diperkirakan menginfeksi sebanyak 50 hingga 100 juta penduduk dunia setiap tahunnya. Sebanyak 500.000 kasus diantaranya harus menjalani rawat inap. Usia terbanyak pasien rawat inap merupakan usia anak dengan Case Fatality Rate (CFR) sebesar 2,5%. Data di Indonesia sendiri menunjukan peningkatan Incidence rate (IR) dari tahun 1968 – 2015. Pada tahun 2015, terdapat 126.675 penderita DBD di Indonesia, dan 1.229 orang diantaranya meninggal dunia. Provinsi Kalimantan Timur selalu berada pada lima provinsi dengan IR tertinggi dari tahun 2012 – 2015. Kalimantan Timur menduduki peringkat kedua setelah Bali dengan IR 186,12 pada tahun 2015. Spektrum klinis dari penyakit ini cukup luas mencakup infeksi dengue asimtomatik, demam dengue, demam berdarah dengue (DBD) atau dengue hemorrhagic fever (DHF), dan dengue shock syndrome (DSS), dan expanded dengue syndrome. Perjalanan penyakit DBD terdiri dari fase demam, fase kritis, dan fase penyembuhan. Fase kritis merupakan fase dengan morbiditas paling tinggi yang ditandai dengan kondisi afebris disertai gambaran klinis kebocoran plasma hingga syok. Tatalaksana utama dengue berupa pengobatan simptomatik dan suportif. Pemberian antipiretik dan kompres hangat diperlukan pada fase demam. Pengobatan suportif yang paling utama dengan rehidrasi baik secara oral maupun intavena. Diperlukan obeservasi ketat tanda vital dan produksi urine selama fase kritis hingga fase penyembuhan. Prognosis ditentukan dari ketepatan diagnosis dan pengenalan tanda bahaya, kecepatan tatalaksana simptomatik dan suportif, dan monitoring pasien yang baik.
4
1.2 Tujuan Penulisan Tutorial ini bertujuan untuk menambah wawasan ilmu pengetahuan mengenai Expanded Dengue Syndrome, serta perbandingan antara teori dan kasus.
5
BAB 2 LAPORAN KASUS 2.1 Identitas pasien Nama D.O.B./ Usia Jenis Kelamin Agama Alamat MRS
: An. SNK : 26 Agustus 2006/ 12 tahun : Perempuan : Kristen Protestan : Kubar : tanggal 10 Desember 2018
2.2 Anamnesis Anamnesis dilakukan pada tanggal 15 Desember 2018, di ruang Mawar. Autoanamnesis oleh pasien dan heteroanamnesis oleh ibu kandung pasien. 2.2.1 Keluhan Utama Penurunan Kesadaran 2.2.2 Riwayat Penyakit Sekarang Penurunan kesadaran sejak pagi hari dibawa ke RS AM dan dirujuk ke RS AWS. 5 hari sebelum masuk IGD RS AWS pasien panas tinggi, pusing, dan nyeri ulu hati. Pasien dibawa ke praktek umum di hari pertama demam dan didiagnosa dispepsia. Hari ketiga demam masih tinggi, mual dan muntah, pasien dibawa ke puskesmas dan didiagnosa demam thypoid. Hari kelima pasien masih demam dan semakin lemas, dan mengalami penurunan kesadaran. Muntah berdarah, bab berdarah, gusi berdarah dan mimisan disangkal. 2.2.3 Riwayat Penyakit Dahulu Tidak ada 2.2.4 Riwayat Penyakit Keluarga Keluarga pasien tidak ada yang mengalami keluhan yang sama dengan pasien. Riwayat hipertensi, diabetes dan alergi dalam keluarga disangkal. 2.2.5
Pertumbuhan dan Perkembangan Anak Berat badan lahir : 3500 gr Panjang badan lahir : 50 cm Berat badan sekarang : 32 kg Tinggi badan sekarang: 150 cm Gigi keluar : 5 bulan Tengkurap : 3 bulan Duduk : 6 bulan Berdiri : 9 bulan Berjalan : 1 tahun Berbicara : 1 tahun
6
2.2.6 Makan dan Minum Anak ASI Susu sapi Makanan lunak Makanan padat
: lahir sampai 8 bulan : mulai 8 bulan : mulai 6 bulan : mulai 1 tahun
2.2.7 Pemeriksaan Prenatal Periksa di Penyakit kehamilan Obat-obat yang sering diminum 2.2.8 Riwayat Kelahiran Lahir di Ditolong oleh Usia dalam kandungan Jenis partus
: Bidan : Tidak ada :-
: RS Swasta : Dokter : 38 minggu (Aterm) : SC
2.2.9 Imunisasi Status imunisasi (BCG, polio, campak, DPT, dan hepatitis B) lengkap.
2.3 Pemeriksaan Fisik Dilakukan pada tanggal 10 Desember 2018 (IGD) Kesadaran : Sopor GCS : E2V1M3 Berat Badan : 32 kg Tinggi Badan : 150 cm Tanda Vital : Tekanan Darah 120/90 mmHg Nadi 143x/menit, regular, lemah Pernafasan 12x/menit dengan ETT Temperatur 36o C Status Gizi : BB/U = 76% (Gizi Kurang) TB/U= 100,6% (perawakan tinggi) BB/TB=66% (Gizi Kurang) Kepala/leher Rambut Mata Hidung Mulut Leher Thorax Paru:
: Warna hitam : Konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-), pupil isokor, diameter 3mm/3mm, reflex cahaya (+/+) : Sekret hidung (-), pernafasan cuping hidung (-) : Lidah kotor (-), faring hiperemis (-), mukosa bibir kering, pembesaran tonsil (-/-), gusi berdarah, mimisan (-) : Pembesaran KGB (-/-) Inspeksi
Palpasi
: Tampak simetris, pergerakan simetris, retraksi supra sternum (-), retraksi supraclavicula (-), : Pelebaran ICS (-), gerak napas simetris
7
Perkusi Auskultasi Jantung:
Inspeksi Palpasi Perkusi Auskultasi
: Sonor : Vesikuler (+/+), rhonki (-/-), wheezing(-/-), stridor (-) : Ictus cordis tidak tampak : Sulit di evaluasi : Normal pada batas jantung : S1S2 tunggal reguler, murmur (-)
Abdomen Inspeksi : Berbentuk flat Palpasi : Soefl, pembesaran organ (-) Perkusi : Timpani, shifting dullness (-) Auskultasi : Bising usus (+) kesan normal Ekstremitas Ekstremitas superior : Akral hangat, edema (-/-), CRT <2” Ekstremitas inferior : Akral hangat, edema (-/-), CRT <2”
2.4 Pemeriksaan Penunjang a. Pemeriksaan Laboratorium IGD 10-12-2018 (16.40) Leukosit = 11.060 Eritrosit = 3.68x10^6 Hemoglobin = 10.3 Hematokrit = 30.5% Trombosit = 70.000 Glukosa Sewaktu = 119 Ureum = 64.6 Kreatinin = 0.8 Natrium = 141 Kalium = 4.5 Klorida = 101 2.5 Diagnosis Kerja Expanded Dengue Syndrome, Enchelopathy Dengue 2.6 Tatalaksana - IVFD RL 1700ml/24jam - O2 Ventilasi PSIMV PEEP 5, FiO2 60%, Rate 18x/m, P ins 9 H2O - Paracetamol 4x350mg/IV - Dobutamin IV 7.5 mcg/KgBB kecepatan 2,88cc/jam - Cefotaxime IV 2x1.5g - Omeprazole IV 1x30mg - Furosemide IV10mg/jam - Ca Glukonas IV 2x30ml - Dexamethason IV 3x5 mg IV
8
Lembar Follow Up Tanggal 10/12/2018
11/12/2018
12/12/2018
Pemeriksaan S: O: Kesadaran sopor, Nadi 120x/m, RR 18 x/m, TD 90/50 mmHg, Suhu 39oC, SpO2 100%, nadi kuat angkat, akral hangat, Urine (+), NGT produksi coklat pekat A: Expanded Dengue Syndrome, Encephalopathy dengue
S: O: Kesadaran somnolen, Nadi 93x/m, RR 18x/m, TD 100/70 mmHg, Suhu 38oC, SpO2 99%, nadi kuat angkat, akral hangat. Urine (+), NGT produksi coklat pekat, lendir (+) Dengue Ig G(+): , Dengue Ig M(-): APTT=32.8, PT=16.4, INR=1.29 A: Expanded Dengue Syndrome DD Encephalopathy dengue S: O: Kesadaran Apatis, Nadi 140x/m, RR 23x/m, TD 110/60 mmHg, Suhu 37oC, SpO2 96%, nadi kuat angkat, akral hangat. Urine (+), NGT (-) A: Expanded Dengue Syndrome DD Encephalopathy dengue
Terapi P: - IVFD RL 1700/24jam - Ca Glukonas IV 2x30ml - Ventilator PSIMV RR 18x/m, PEEP 4, P ins 9, FiO2 50%, 1 jam turun 40% - Cefotaxime IV 2x1.5g - Omeprazole IV 1x30mg - Paracetamol 4x350mg/IV - Dobutamin 3mcg/KgBB IV - Dexamethason IV 3x5 mg IV - Maintenence Furosemide 10mg/jam P: - IVFD RL 1740/24jam - Ca Glukonas IV 2x30ml - Ventilator Spontan RR 18x/m, PEEP 4, P ins 8, FiO2 30% turun bertahap 21% - Maintenence Furosemide 10mg/jam - Cefotaxime IV 3x1g - Omeprazole IV 2x30mg - Paracetamol 4x350mg/IV - Dobutamin 3mcg/KgBB IV - Dexamethason IV 3x5 mg IV - Pembersihan Jalan Nafas
P: -
Ekstubasi IVFD RL 1740/24jam NRM 10 lpm Minum 8x40cc jika NGT (-), susu 8x40cc Maintenence Furosemide 10mg/jam Cefotaxime IV 3x1g Omeprazole IV 2x30mg Paracetamol 4x350mg/IV Dobutamin 3mcg/KgBB IV Dexamethason IV 3x5 mg IV Pembersihan Jalan Nafas
9
13/12/2018
14/12/2018
15/12/2018
16/12/2018
S: O: Kesadaran Apatis, Nadi 70x/m, RR 17x/m, TD 110/70 mmHg, Suhu 36.6oC, SpO2 99%, nadi kuat angkat, akral hangat. Urine (+), NGT (-) A: Expanded Dengue Syndrome DD Encephalopathy dengue
S: O: Kesadaran Komposmentis, Nadi 90x/m, RR 21x/m, TD 110/70 mmHg, Suhu 36.5oC, SpO2 99%, nadi kuat angkat, akral hangat. Urine (+), NGT (+), A: Expanded Dengue Syndrome DD Encephalopathy dengue
S: Batuk berdahak, gelisah O: Kesadaran komposmentis, Nadi 110x/m, RR 20x/m, TD 120/70 mmHg, Suhu 36.3oC, SpO2 99%, nadi kuat angkat, akral hangat. Urine (+), NGT (-) A: Expanded Dengue Syndrome DD Encephalopathy dengue
S: Pusing dan betuk berdahak O: Kesadaran komposmentis, Nadi 90x/m, RR 20x/m, TD
P: - IVFD RL 1740/24jam - NRM 10 lpm - Minum 8x40cc jika NGT (-), susu 8x40cc - Maintenence Furosemide 10mg/jam - Cefotaxime IV 3x1g - Omeprazole IV 2x30mg - Paracetamol 4x350mg/IV - Dobutamin 3mcg/KgBB IV - Dexamethason IV 3x5 mg IV - Pembersihan Jalan Nafas P: - IVFD RL 1740/24jam - Koreksi Ca Glukonas 32cc D5% 50cc dalam 30 menit - NK O2 2 lpm - Omeprazole IV 2x30mg - Paracetamol 4x350mg/IV - Cefotaxime IV 3x1g - Dobutamin 3mcg/KgBB IV - PRC 250cc - TC 250cc - Susu 8x50-100 cc - Diet lunak 3x1 P: -
IVFD D5 ½ NS 1500/24jam NK O2 2 lpm Paracetamol 4x350mg/IV Omeprazole IV 2x30mg Cefotaxime stop Dobutamin stop Meropenem 3x750mg TC 250cc Susu 8x50-100 cc Diet lunak 3x1 Nebu ventolin 3x1amp Melepas NGT
P: -
IVFD D5 ½ NS 1500/24jam NK O2 2 lpm Paracetamol 4x350mg/IV Omeprazole IV 2x30mg 10
17/12/2018
110/70 mmHg, Suhu 36.6oC, SpO2 99%, nadi kuat angkat, akral hangat. Urine (+) A: Expanded Dengue Syndrome DD Encephalopathy dengue
-
Meropenem 3x750mg TC 250cc Susu 8x50-100 cc Diet lunak 3x1 Nebu ventolin 3x1amp
S: Pusing menurun O: Kesadaran komposmentis, Nadi 88x/m, RR 22x/m, TD 120/70 mmHg, Suhu 36.5oC, SpO2 99%, nadi kuat angkat, akral hangat. Urine (+) A: Expanded Dengue Syndrome DD Encephalopathy dengue
Masuk ruang biasa -Tanpa Alat batu O2 IVFD D5 ½ NS 1500cc/hari
Pemeriksaan Hematologi Hematologi 10/12 11/12 12/12 13/12 14/12 15/12 16/12 Leukosit 11.06 10.65 8.92 8.25 7.56 7.43 7.1 Eritrosit 3.68 3.33 3.21 3.45 3.33 3.56 3.9 Hemoglobin 10.3 9.5 9.6 9 9.4 9.7 9.9 Hematokrit 30.5 27.3 27.1 27.4 26.6 27.9 28 Trombosit 70 104 96 70 76 82 190 Waktu 16:40 13:22 13:33 13:21 13:42 13:15 06:00
Nilai 4.50-14.50 4.00-5.20 14.0-18.0 35.0-45.0 150-450
Pemeriksaan Kimia darah & Serum Elektrolit Pemeriksaan 10/12 11/12 12/12 13/12 14/12 15/12 16/12 Albumin 3.9 3.6 3.6 3.5 4.0 GDS 119 Kreatinin 0.8 0.8 0.7 0.8 0.6 0.5 0.5 Ureum 64.6 60.9 54.3 49.6 35.1 28.2 20.3 Natrium 141 141 140 137 133 135 140 Kalium 4.5 4.3 4.0 4.2 3.8 3.8 3.5 Cloride 101 101 100 105 100 101 106 Waktu 16:40 13:22 13:33 13:21 13:42 13:15 06.00
Nilai 3.5-5.5 70-140 0.5-1.1 19.3-49.2 135-145 3.6-5.5 98-108
11
Pemeriksaan Imuno-serologi Imuno-serologi
11/12/2018
Nilai Rujukan
Dengue Ig G
Positif
Negatif
Dengue Ig M
Negatif
Negatif
12
BAB 3 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Dengue merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus dengue yang ditransmisikan oleh nyamuk Aedes aegypty dan Aedes albopictus sebagai vektornya, dengan karakteristik penyakit diantaranya seperti demam, sakit kepala, nyeri otot dan sendi, adanya rush dan ptechie. Infeksi dengue dapat bermanifestasi berat dengan keterlibatan organ hati, ginjal, otak, atau jantung, yang dikenal dengan expanded dengue syndrome. Kondisi ini dapat terjadi karena mungkin terkait dengan koinfeksi, komorbid, atau komplikasi dari syok yang berkepanjangan. WHO pada tahun 2011 mengklasifikasikan manifestasi klinis infeksi virus dengue menjadi: 1.Sindroma virus, yaitu demam sederhana yang tidak khas, yang sulit dibedakan dengan demam akibat infeksi virus lain. 2.Demam dengue, yaitu demam yang timbul mendadak, tinggi (39-40 ̊C), terusmenerus (pola demam kurva kontinua), bifasik, biasanya berlansung 2-7 hari. Manifestasi perdarahan pada umumnya sangat ringan berupa uji tourniquet yang positif atau beberapa prekie spontan. 3.Demam berdarah dengue (DBD), yaitu demam yang timbul mendadak, tinggi (3940 ̊C), terus-menerus (pola demam kurva kontinua), bifasik, biasanya berlangsung 2-7 hari. Pada DBD terjadi keboocoran plasma. 4.Sindroma Syok Dengue merupakan syok hipovolemik yang terjadi pada DBD, yang diakibatkan peningkatan permeabilitas kapiler yang disertai perembesan plasma. 5.Expanded dengue syndrome (EDS) merupakan manifestasi klinis yang melibatkan organ seperti hati, ginjal, jantung, maupun otak yang berhubungan dengan infeksi dengue dengan atau tidak ditemukannya tanda kebocoran plasma. EDS dapat berupa penyulit infeksi dan manifestasi klinis yang tidak lazim (unusual manifestation). Penyulit infeksi berupa kelebihan cairan, sedangkan manifestasi klinis yang tidak lazim ialah ensefalopati dengue, perdarahan hebat, infeksi ganda, kelainan ginjal, dan miokarditis.
13
2.2 Epidemiologi Penyakit dengue terutama ditemukan didaerah tropik dan subtropik dengan sekitar 2,5 milyar penduduk yang beresiko untuk terjangkit penyakit ini. Di dunia, dalam tiga dekade terakhir, terjadi peningkatan angka kejadian penyakit tersebut di berbagai negara yang dapat menimbulkan kematian sekitar kurang dari 1%. Diperkirakan setiap tahun sekitar 50 juta manusia terinfeksi virus dengue yang 500.000 diantaranya memerlukan rawat inap, dan hampir 90% dari pasien rawat inap adalah anak-anak. Insiden beberapa kasus dengue di beberapa negara di dunia diantaranya Di Amerika 64,6% kasus berada di negara-negara Kutub Selatan, 19% di Ekuador, 12,5% di Amerika Tengah dan Meksiko dan 3,9% di Karibia. Di Amerika Utara dengue sering terlihat di Texas dan Hawaii. Mediterania Timur dan Timur dan Afrika Barat juga merupakan daerah endemik. Insiden Dengue di Asia Tenggara dan Pasifik Barat lebih dari 75% dari jumlah global dengue. Asia Tenggara dengan jumlah penduduk sekitar 1,3 milyar rmerupakan daerah endemis, Indonesia bersama dengan Bangladesh, India, Maladewa, Myanmar, Sri Langka, Thailand dan Timur Leste termasuk dalam kategori endemik A (endemik tinggi). Di Negara tersebut penyakit dengue merupakan alasan utama rawat inap dan salah satu penyebab utama kematian pada anak. Di Indonesia, selama kurun waktu empat tahun (2008-2012) telah dirawat 13.940 pasien yang terdiri atas demam dengue (DD) 5.931, DBD 5.844 dan sindrom syok dengue (SSD) 2.165 pasien. Kelompok umur terbanyak adalah 5-14 tahun yaitu 9.036 (64,8%). Kasus Expanded Dengue Syndrome di Indonesia pada tahun 2009, 2010 dan 2011 telah dilaporkan kejadiannya di Rumah sakit Dr. Soetomo Surabaya dan Rumah Sakit Soerya Sepanjang Sidoarjo. Pada tahun 2009 ada tiga kasus, tahun 2010 ada dua kasus dan tahun 2011 ada dua kasus dengue dengan manifestasi yang tidak biasa.3,4 Angka kematian kasus infeksi dengue tertera pada tabel : Tabel 2.2. Angka kematian DD, DBD, dan SSD yang di rawat di enam rumah sakit pendidikan, tahun 2008-2013
14
Manifestasi Klinis
Jumlah Kasus
Meninggal Kasus
%
Demam dengue
5.931
5
0,08
Demam berdarah
5.844
21
0,36
Sindrom syok dengue
2.165
169
7,81
Jumlah
13.940
195
1,39
dengue
Sumber : Data Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, RSUP DR, Hasan Sadikin, RSUP Dr. Soetomo, RSUP Dr. Sarjito, RSUP Dr. Karyadi, dan RSUP Dr. Mohammad Hosein. Dikutip dari : Sri RH, Ismoedijanto M, Alex C. Pedoman Diagnosis dan Tata Laksana Infeksi Virus Dengue pada Anak. UKK Infeksi dan Penyakit Tropis Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2014.
Angka kematian kasus infeksi dengue yang dirawat 1,39%. Apabila dilihat dari kasus SSD saja, tampak bahwa angka kematian masih cukup tinggi yaitu 7,81% dari seluruh kasus SSD. Penyebab kematian selain SSD, dilaporkan pada beberapa kasus adanya manifestasi klinis yang tidak lazim (unusual manifestation/expanded dengue syndrome) seperti ensefalopati dengue dan koagulasi intra-vaskular diseminata (KID), serta beberapa kasus disertai komorbid yakni infeksi HIV dan sepsis.
2.3 Etiologi dan Faktor Risiko Infeksi virus dengue pada manusia mengakibatkan spektrum manifestasi klinis yang bervariasi antara penyakit yang paling ringan (mild undifferentiated febrile illness), demam dengue, demam berdarah dengue (DBD) sampai demam berdarah dengue yang disertai syok (dengue shock syndrome = DSS). Virus dengue termasuk grup B arthropod virus (arbovirus) dan sekarang dikenal sebagai flavivirus, yang mempunyai 4 jenis serotipe yaitu DENV-1, DENV-2, DENV-3, dan DENV-4. Keempat jenis serotipe ini ditemukan di berbagai daerah di
15
Indonesia. Serotipe DENV-3 merupakan serotipe dominan dan banyak berhubungan dengan kasus berat.
2.4 Patofisiologi dan Patogenesis Hingga kini, sebagian besar ahli masih menganut the secondary heterologous infection hypothesis atau the sequential infection hypothesis yang menyatakan ahwa DBD dapat terjadi apabila seseorang setelah terinfeksi virus dengue pertama kali mendapatkan infeksi kedua dengan virus dengue serotipe lain dalam jarak waktu 6 bulan sampai 5 tahun. Patogenesis infeksi virus dengue berhubungan dengan: a. Faktor virus, yaitu serotipe, jumlah, virulensi b. Faktor pejamu, genetik, usia, status gizi, penyakit komorbid dan interaksi antara virus dan pejamu. c. Faktor lingkungan, musim, curah hujan, suhu udara, kepadatan penduduk, morbilitas penduduk, dan kesehatan lingkungan. Peran sistem imun dalam infeksi virus dengue adalah: a. Infeksi pertama kali (primer) menimbulkan kekebalan seumur hidup untuk serotipe penyebab. b. Infeksi sekunder dengan serotipe virus yang berbeda (secondary heterologeus infection) memberikan manifestasi klinnis berat daripada infeksi primer.
16
Gambar 2.4. Patogenesis dengue berdasarkan WHO 2009 Imunopatogenesis virus dengue terbagi menjadi : a. Respons Imun Humoral Respons imun humoral diperankan oleh limfosit B dengan menghasilkan antibodi spesifik terhadap virus dengue. Antibodi yang dihasilkan melindungi diri dari terjadinya penyakit berat, namun sebaliknya dapat pula menjadi pemicu terjadinya infeksi berat melalui mekanisme antibody-dependent enhancement (ADE). Virus dengue mempunyai empat serotipe yang secara antigenik berbeda. Infeksi virus dengue primer
oleh suatu serotip tertentu dapat menimbulkan
kekebalan yang menetap untuk serotipe bersangkutan (antibodi homotipik). Pada saat bersamaan, sebagai bagian dari kekebalan silang (cross imunity) akan dibentuk antibodi untuk serotipe lain (yang berbeda). Jika terjadi infeksi oleh serotipe yang berbeda, maka antibodi heterotipik yang bersifat non atau subneutralisasi berikatan dengan virus atau partikel tertentu dari virus serotipe yang baru membentuk kompleks imun. Kompleks imun akan berikatan dengan reseptor Fcγ yang banyak 17
terdapat terutama pada monosit dan makrofag, sehingga memudahkan virus menginfeksi sel. Virus bermultiplikasi di dalam sel dan selanjutnya virus keluar dari sel, sehingga terjadi viremia. Kompleks imun juga mengaktifkan kaskade komplemen untuk menghasilkan C3a dan C5a yang mempunyai dampak langsung terhadap peningkatan permeabilitas vaskular. b. Respons Imun Selular Respons imun selular yang berperan yaitu limfosit T (sel T). Respons sel T terhadap infeksi virus dengue dapat tidak menimbulkan penyakit atau hanya berupa infeksi ringan, namun juga sebaliknya dapat terjadi hal yang merugikan bagi pejamu. Sel T spesifik untuk virus dengue dapat mengenali sel yang terinfeksi virus dengue dan menimbulkan respons beragam
berupa proliferasi sel T,
menghancurkan (lisis) sel terinfeksi dengue, serta memproduksi berbagai sitokin. Pada penelitian in vitro, diketahui bahwa baik sel T CD4 maupun sel T CD8 dapat menyebabkan lisis sel target yang terinfeksi dengue. Sel T CD4 lebih banyak sebagai penghasil sitokin, sedangkan sel T CD8 lebih berperan untuk lisis sel target dibanding dengan produksi sitokin.
Pada infeksi sekunder oleh virus dengue serotipe yang berbeda, sel T memori mempunyai aviditas yang lebih besar terhadap serotipe yang sebelumnya dibanding dengan serotipe virus yang baru. Fenomena lisis terhadap virus yang baru tidak optimal, sedangkan produksi sitokin berlebihan. Sitokin yang dihasilkan oleh sel T berperan dalam memacu respons inflamasi dan meningkatkan permeabilitas sel endotel vaskular.
c. Mekanisme Autoimun Virus dengue mempunyai beberapa komponen protein yang berperan dalam pembentukan antibodi spesifik diantaranya protein E, prM, dan NS1. Protein yang berperan dalam mekanisme autoimun adalan protein NS1. Antibodi terhadap protein NS1 menunjukkan reaksi silang dengan sel endotel dan trombosit sehingga menimbulkan gangguan pada kedua sel tersebut dan memacu respons inflamasi. Sel endotel yang diaktivasi oleh antibodi terhadap protein NS1 dengue ternyata dapat mengekspresikan sitokin, kemokin, dan molekul adhesi.
18
Selain itu, antibodi terhadap prM juga dapat menyebabkan reaksi autoimun. Autoantibodi terhadap protein prM dapat beraksi silang dengan sel endotel. Proses autoimun ini diduga kuat terdapat kesamaan atau kemiripan antara protein NS1 dan prM dengan komponen tertentu pada sel endotel dan trombosit yang disebut sebagai molecular mimicry. Autoantibodi yang bereaksi dengan komponen yang dimaksud, mengakibatkan sel yang mengandung molekul hasil ikatan antara keduanya akan dihancurkan oleh makrofag atau mengalami kerusakan. Akibatnya, pada trombosit akan terjadi trombositopenia dan pada sel endotel terjadi peningkatan permeabilitas yang mengakibatkan perembesan plasma. 2.4.1.2 Peran Sitokin dan Mediator Inflamasi Lain Sitokin merupakan suatu molekul protein yang berperan penting dalam respons imun tubuh melawan infeksi. Dalam lingkup respons inflamasi, secara umum sitokin mempunyai sifat proinflamasi dan antiinflamasi. Pada keadaan respons fisiologis, terjadi keseimbangan antara kedua jenis sitokin tersebut. Apabila sitokin diproduksi berlebihan dalam jumlah yang sangat banyak dan reaksinya berlebihan, akan merugikan penajmu. Pada infeksi virus dengue, sitokin juga berperan dalam menentukan derajat penyakit. Demam Berdarah Dengue (DBD) bahkan Sindrom Syok Dengue (SSD) ditandai dengan peningkatan jenis dan jumlah sitokin yang sering disebut sebagai badai sitokin (cytokine storm/cytokine tsunami). Dari beberapa penelitian, sitokin yang paling banyak perannya yaitu TNF-α, IL-1β, IL6, IL-8, dan IFN-γ. Mediator lain yang sering dikemukakan mempunyai peran penting dalam menimbulkan derajat penyakit berat yaitu kemokin, CXCL-9, CXCL-10, dan CXCL-11 yang dipicu oleh IFN-γ.
2.4.1.3 Peran Sistem Komplemen Pada pasien DBD atau DSS dikemukakan ditemukan penurunan kadar komplemen, sehingga diduga bahwa aktivasi sistem komplemen mempunyai peran dalam patogenesis terjadi penyakit yang berat. Kompleks imun virus dengue dan antibodi pada infeksi sekunder dapat mengaktivasi sistem komplemen melalui jalur klasik. Protein NS1 dapat mengaktifkan sistem komplemen secara langsung melalui jalur alternatif dan apabila berlebihan dapat menyebabkan peningkatan permeabilitas vaskular.
19
Selain melalui kedua jalur tersebut, aktivasi komplemen pada infeksi virus dengue juga dapat melalui jalur mannose-binding lectin. Aktivasi komplemen menghasilkan peptide yang mempunyai aktivitas biologik sebagai anafilatoksin yaitu C3a dan C5a. Komplemen C5a menginduksi produksi beberapa sitokin proinflamasi (seperti TNF-α, IL-1, IL-6 dan IL-8) dan meningkatkan ekspresi molekul adhesi pada neutrofi; maupun sel endotel, sehingga peran C5a dalam peeningkatan permeabilitas vaskular sangat besar. 2.4.1.4 Faktor Pejamu Beberapa faktor resiko dari pejamu diantaranya usia, status gizi, faktor genetik, dan penyakit tertentu yang berhubungan dengan system imun. Anak-anak umumnya mempunyai penyakit yang lebih berat dibandingkan dengan orang dewasa, diduga karena anak-anak mem;punyai system mikrovaskular yang lebih mudah untuk mengalami peningkatan permeabilitas. Bayi usia 6-12 bulan mempunyai risiko lebih berat, mesipun pada infeksi primer. Hal ini diduga melalui mekanisme antibody-dependent enhancement yang sama dengan infeksi sekunder pada pejamu dengan usia lebih dari satu tahun. Antibodi IgG anti dengue yang bersifat nonneutralising ditransfer dari ibu pada saat kehamilan. Faktor genetik juga merupakan sebagai faktor resiko, yang berhubungan dengan human leucocyte antigen (HLA) tertentu, yang mempunyai faktor resiko lebih rentan terhadap infeksi virus dengue.
20
2.5 Manifestasi Klinis
Gambar 2.5. Klasifikasi dan derajat keparahan dengue menurut WHO 2009
Klasifikasi dan derajat keparahan dengue menurut who 2009 terdapat 3 tanda bahaya pada demam dengue derajat berat yaitu: Perembesan plasma yang berat, perdarahan hebat dan kerusakan hebat pada organ. Kriteria kemungkinan demam dengue dengan adalah: pernah berkunjung ke daerah yang endemis dengue disertai dengan 2 gejala atau lebih seperti muntah, ptekie, nyeri dan pegal-pegal, test torniquet positif, leukopenia, serta di konfirmasi dengan hasil laboratorium (penting jika tidak terdapat perembesan plasma). Sementara kriteria demam dengue derajat berat adalah 1) terdapatnya perembesan plasma yang berat yang ditandai dengan syok, penumpukkan cairan dengan respiratory distress, 2) Perdarahan hebat, di evaluasi dari kondisi klinis pasien, 3) gangguan organ yang berat, ditandai dengan SGOT atau SGPT ≥ 1000, gangguan sistem saraf pusat, serta gangguan jantung dan organ lainnya.
21
Gambar. Klasifikasi Dengue 2.6. Manifestasi Expanded Dengue Syndrome
Gambar . Expanded Dengue 2.6.1 Kerusakan End-Organ Pembuluh darah dan platelet merupakan dua komponen utama yang terlibat dalam demam berdarah.
Pembuluh darah
22
Peningkatan permeabilitas vaskular adalah ciri khas patofisiologi demam berdarah. Volume intravaskular menurun dan mengarah pada shock pada kasus yang parah. Sebuah kebocoran plasma selektif daapt terjadi pada rongga pleura dan peritoneal dalam waktu singkat (24-48 jam). Mekanisme dasarnya adalah sebuah perubahan fungsional Integritas pembuluh darah dimediasi oleh berbagai sitokin. Terjadi pemulihan yang cepat syok tanpa sequelae di pleura dan peritoneum.
Trombosit Trombositopenia dan hemokonsentrasi adalah temuan konstan di DBD.
Penurunan jumlah trombosit di bawah 100.000 biasanya ditemukan di antara hari ke-3 dan 10. DENV-2 menginduksi aktivasi, disfungsi mitokondria dan apoptosis di trombosit 2.6.2 Kerusakan Organ Lainnya
Sistem Saraf Pusat Keterlibatan neurologis pada demam berdarah bersifat heterogen. Hal ini
terjadi secara akut dalam dua hari pertama mendapatkan infeksi. Perdarahan intra serebral bisa terjadi akibat lesi jaringan langsung disebabkan oleh virus, perdarahan kapiler, dan DIC pada kasus gagal hati. Kumar dkk telah melaporkan 5 kasus perdarahan intra kranial, dua di antaranya meniggal. Data yang lebih besar tidak tersedia untuk kasus perdarahan intra serebral berdarah; Namun, angka kematian tetap sangat tinggi. Ensefalitis, meningitis aseptik dan ensefalomyelitis akut diseminata disebabkan karena efek neuro-virulen virus demam berdarah dan serotipe 2 dan 3 telah diisolasi dari CSF dari pasien tersebut. Infiltrasi virus terhadap makrofag mungkin menjadi mekanisme kasus ini. Cam et al telah melaporkan kematian 22%. Hasil di berbagai laporan kasus lainnya beragam. Di Jamaika, sebuah penelitian terhadap 401 pasien dengan dugaan kasus infeksi virus dari SSP menunjukkan bahwa 54 (13,5%) positif demam berdarah; Infark serebral iskemik jarang terjadi dan timbul akibat dari meningo-vasculitis. Ada dua laporan kasus penyebab demam berdarah trombosis sinus vena kortikal (CVST). Dehidrasi berat merupakan penyebab yang masuk akal untuk CVST dan membutuhkan antikoagulan untuk rehidrasi. Periodik paralisis hipokalemi manifestasi langka dan mungkin berhubungan redistribusi kalium di sel. Kelumpuhan merupakan respon untuk pemberian suplementasi kalium segera.
23
Kasus Sindrom Guillain Barre (GBS) disebabkan oleh demam berdarah menigkat. GBS muncul dalam dua bentuk sebagai axonal dan demielinisasi dan respon imunoglobulin dengan cara yang sama seperti GBS non-dengue. Opsoclonusmyoclonus dengan pencitraan normal telah ditemukan dan tidak memerlikan pengobatan khusus. Neuropati optik tersering adalah pada segmen posterior dan bisa sembuh total Tabel 1: Manifestasi Sistem Syaraf Pusat Perdarahan intraserebral Ensefalitis Meningitis aseptik ADEM Infark serebral Trombosis vena kortikal Mielitis Periodik paralisis hipokalemik Sinfrom Guillan Bare Mioklonus opsoklonus Neuropati optikus Mialgia kruris Rabdomiolisis Dysarthria clumsy hand syndrome Atau berkembang menjadi gangguan penglihatan yang permanen. Keterlibatan otot yang jarang terjadi pada dengue dapat berupa mialgia kruris dan diperkirakan sebagai akibat invasi langsung virus dengue pada serat otot atau dilepaskaannya sitokin miogenik. Terapi berupa simtomatik. Dysarthria clumsy hand syndrome adalah manifestasi lain yang jarang dan berhubungan dengan stroke sebagai akibat komplikasi trombosis dari dengue. Jadi beberapa presentasi pada sistem saraf pusat yang terjadi pada daerah epidemik dengue, harus dilakukan penelusuran tentang infeksi dengue yang mendasarinya. Tabel 1 memuat beberapa manifestasi neurologis dari infeksi dengue.
Sistem Hepato-bilier Keterlibatan hati pada infeksi dengue dapat berupa peningkatan enzim hati
asimtomatik sampai kegagalan hati fulminan. Transaminitis terdapat pada 30% pasien. Pada DHF dan DSS, gagal hati akut terjadi secara cepat dan ikterik merupakan manifestasi klinis yang ditemukan pada hari pertama penyakit. Pemeriksaan laboratorium, peningkatan AST sebanding dengan peningkatan
24
kerusakan monosit. Kadar aminotransferase (biasanya tidak lebih dari 100 U) biasanya mencapai nilai maksimum pad ahari ke sembilan setelah episode demam pertama kali dan secara bertahap turun menujui normal dalam dua minggu. DSS berhubungan dengan mortalitas yang lebih tinggi dibandingan DHF. DHF yang fatal berhubungan kerusakan hati yang parah dan akut, sebagai akibat infeksi langsung yang masif pada hepatosit dan sel kupfer dengan respon sitokin minimal. Tabel 2. Manifestasi gastrointestinal Disfungsi hepar Kolesistitis akalkulus Gagal hati fulminan Pankreatitis akut Peritonitis difus Apendisitis akut Parotitis akut Ruptur limpa Kolesistitis akalkulus dilaporkan pada berbagai kasus. Edema kandung empedu yang simtomatik yang ditemukan pada pemeriksaan USG bisa menjadi marker infeksi dengue sebelum hasil pemeriksaan laboratorium diperoleh. Kadar Alkalin fosfatase yang abnormal, penebalan dinding kandung empedu, Murphy’s sign yang positif, adanya cairan peri-kolesitik, dan tidak ditemukannya batu andung empedu merupakan temuan klinis yang dapat ditemukan pada pemriksaan. Kolesitektomi tidak dianjurkan, akan tetapi harus dilakukan jika terdapat gangren pada kandung empedu. Pankreatitis akut dengan peningkatan amilase dan edema pankreas juga ditemukan dan biasanya tidak berbahaya. Komplikasi yang jarang dan mengancam nyawa dari dengue adalah ruptur limpa. Protitis akut bilateral juga pernah dilaorkan pada dengue.
Sistem Kardiovaskuler Miokarditis adalah keterlibatan jantung yang paling sering ditemukan pada
infeksi dengue. Endokardium dan miokardium mengalami inflamasi. Serat otot diinfeksi oleh virus dengue dan meningkatkan ekspresi dari gen inflamasi dan protein IP-10 dan peningkatan kadar kalsium intraseluler. Insiden asimtomatik miokarditis mencapai 24%. Angka mortalitias yang signifikan (24%) dilaporkan pada pasien dengue disertai miokarditis. Tabel 3. Manifestasi Kardiovaskuler 25
Miokarditis asimtomatik Miokarditis simtomatik Perikarditis Infark miokard Blok nodus SA Blok nodus AV Fibrilasi atrial kardiomiopati Pemeriksaan ekokardiografi 2-D menunjukan dilatasi dan pergerakan ireguler dinding ventrikel dan regurgitasi ringankatup atrioventrikuler. Dilatasi ventrikel kanan disertai regurgitasi trikuspid lebih sering ditemukan daripada dilatasi ventrikel kiri. Regurgitasi trikuspid saja juga dapat ditemukan (tabel 3). Ejeksi fraksi normal. Keadaan ini ditemukan pada keadaan kardiomiopati Takotsubo.Kelainan tersebut bersifat sementara, tanpa gejala sisa pada akhir bulan ke tiga. CPK-MB menjadi pemeriksaan yang penting, jika pemeriksaan EKG dan gambaran klinis mengarah pada miokarditis. Kortikosteroid tidak berperan dalam tatalaksana miokarditis dengue. Takikardi dan hipovolemia mengindikasikan prognosis yang buruk. Pasien dalam keadaan tersebut harus diberi terapi cairan sampai menjadi bradikardi. Pemantauan CVP selama resusitasi cairan sangat berguna.
Ginjal Keterlibatan ginjal pada dengue (Tabel 4) lebih jarang ditemukan
dibandingkan keterlibatan organ lain. Temuan gangguan ginjal yang paling sering ditemukan adalah pre renal Acute Kidney Injury (AKI) yang berhubungan dengan kehilangan cairan ruang ke ruang tiga dan dehidrasi. Lee dkk dari Taiwan telah melaporkan insiden sebanyak 3,3% (10/304). Pasien dengan gagal ginjal berhubungan dengan DHF memiliki mortalitas lebih tinggi. Insidennya diantara kasus DHF yang fatal adalah 33,3%. Tabel 4. Manifestasi Ginjal Gagal ginjal akut Rabdomiolisis AKI berhubungan dengan DHF AKI dengan DSS/DHF Nefropati IgA Sindrom uremik hemolitik
26
AKI bisa terjadi dengan atau tanpa rabdomiolisis. DHF dan DSS berhubungan dengan akut tubuar nekrosis. Rabdomiolisis menyebabkan deposisi pigmen dan nekrosis tubular akut. IgA nefropati dan hemolitik-uremik syndrome juga dapat ditemukan pada ifeksi dengue. AKI pada dengue perlu terapi cairan yang tepat. Hemodialisis diperlukan pada beberapa pasien. Hiperkalemia yang tidak respon dengan pengobatan konvensional, penurunan volume urin yang progresif, dan uremia adalah indikasi dilakukan dialisis pada pasien AKI terkait dengue. Kadar trombosit yang rendah bisa terjadi sebagai akibat uremia dan penggunaan heparin, yang menyebabkan komplikasi lebih lanjut dari dengue. 2.6.3 Ko-Infeksi
Malaria Malaria merupakan ko-infeksi yang paling sering ditemukan. Insiden ko-
infeksi malarai menunjukan rentang 8,3 % di Brazil sampai 26% di India. Plasmodium falsiparum adalah paling sering ditemukan, plasmodium vivax juga dilaporkaan pada literatur lain. Demam paroksismal yang tipikal tidak ditemukan. Ikterik dan manifestasi perdarahan lebih sering daripada sakit kepala, mialgia, dan nyeri punggung. Hipotensi dan hepato-splenomegali juga ditemukan. Hasil laboratorium, anemia, leukopenia dan trombositopenia bersifat lebih parah pada ko-infeksi. Hematokrit tidak menjadi petunjuk uang berguna dalam terapi malaria. Index parasit malaria dilaporkan rendah jika terdapat dengue.
Chikungunya Aedes aegepty adalah vektor terbanyak dari dengue dan chikungunya.
Sekitar 12% pasien dengue mengalami artralgia. Jadi diagnosis chikungunya dan dengue cukup membingungkan. Adanya bukti serositis, syok, dan trombositopenia mengarah pada dengue. Arthralgia pada dengeu bersifat self-limiting, sedangkan pada chikungunya menyebabkan artritis yang berat bisa sampai berbulan-bulan.
Leptospirosis Leptospirosis dan dengue sering secara bersamaan menginfeksi individu
selama musim hujan. Angka ko-infeksi berkisar 1,3% samai 17,8%. Kebanyakan pasien menunjukan manifestasi disfungsi hepatorenal dan trombositopenia. Jadi,
27
pada kasus dengan presenteasi gangguan hepatorenal, adanya leptospirosis harus dicurigai dan terapi antibiotik perlu diberikan. Kematian disebabkan oleh kegagalan multiorgan dan koagulasi intravaskular diseminata.
Penyakit Virus Zika Munculnya kembali virus zika menyebabkan gejala demam yang sulit
dibedakan dengan virus dengue. Artralgia sama-sama ditemukan pada kedua infeksi. Diagnosis virus zika ditegakan jika setelah mengekslusi infeksi dengue melalui pemeriksaan seologis. Tabel 5 menggambarkan beberapa manifestasi klinik yang berguna untuk membedakan diantara virus zika dan dengue. Tabel 5. Manifestsi klinik infeksi zika dan dengue Dengue Zika Demam tinggi Demam ringan Mialgia / sakit kepala berat Nyeri badan ringan Perdarahan Tidak ada perdarahan 2.6.4 Dengue pada Kelompok Resiko Tinggi
Diabetes Mellitus Diabetes mellitus adalah faktor resiko paling signifikan pada
infeksi
dengue. Apoptosis pada endotel mikrovaskuler menyebabkan peningkatan permeabilitas vaskuler dan progresi menjadi DHF dan DSS. Peningkatan sitokin pada Diabetes mellitus meningkatkan potensi kenocoran plasma pada pasien DHF.
Hipertensi Hipertensi dan diabetes mellitus menyebabkan klinis yang lebih buruk pada
pasien dengan infeksi dengue. Ras China yang mengalami diabetes dan hipertensi memiliki resiko 2,1 kali lebih tinggi menjadi DHF dibandingkan yang bukan mengalami hopertensi dan Diabetes mellitus.
Penyakit Ginjal Kronik
Penyakit Ginjal Kronik yang berhubungan dengan AKI telah dibahas sebelumnya.
2.7 Diagnosis dan Pemeriksaan Penunjang Penegakkan diagnosis melalui pemeriksaan laboratorium yang cepat dan akurat sangat penting dalam tatalaksana klinis, surveillans, penelitian, dan uji klinis vaksin.
28
2.7.1
Isolasi virus Isolasi virus dapat dilakukan dengan metode inokulasi pada nyamuk, kultur sel nyamuk atau pada sel mamalia (vero cell LLCMK2 dan BHK21). Pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan yang rumit dan hanya dapat dilakukan pada enam hari pertama demam.
2.7.2
Deteksi antigen IgM dan IgG Untuk mendeteksi antibody (IgM dan IgG) penggunaan ELISA (Enzyme-Linked Immunosorbent Assay) merupakan cara yang paling banyak digunakan, cara ini memiliki tingkat sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi1. Serum antibodi IgM dapat dideteksi dengan tingkat sensitivitas 96% dan tingkat spesifisitas 97%. Sementara IgG muncul dengan titer yang rendah pada awal gejala dan meningkat secara perlahan pada akhir minggu pertama dari onset penyakit. IgM anti dengue memiliki kadar bervariasi, pada umumnya dapat terdeteksi pada hari sakit kelima, dan tidak terdeteksi setelah hari ke sembilan puluh. Pada infeksi dengue primer, IgG anti dengue muncul lebih lambat dibandingkan dengan IgM anti dengue, namun pada infeksi sekunder muncul lebih cepat. Kadar IgG anti dengue bertahan lama dalam serum. Kinetik NS1 antigen virus dengue dan IgG serta IgM antidengue, merupakan petunjuk dalam menentukan jenis pemeriksaan dan untuk membedakan antara infeksi primer dengan infeksi sekunder.
2.7.3
Deteksi Antigen NS1 (Non-struktural 1) Protein ini muncul saat awal gejala dan dapat bertahan hingga hari ke-14 setelah infeksi. Pemeriksaan antigen ini memiliki tingkat sensitivitas 90% dan spesifisitas 100%.
2.7.4
RT-PCR (Reverse Transcription followed by Polimerase Chain Reaction)
RT-PCR merupakan bagian dari test asam nukleat. Cara ini juga dapat digunakan untuk mendeteksi materi genetik dari virus dengue. Cara ini diperkirakan memiliki tingkat sensitivitas lebih baik dari isolasi virus pada kultur sel. Tingkat sensitivitasnya dapat mencapai 93% hingga 100%, tergantung pada jenis serotip yang diperiksa
29
2.8 Penatalaksanaan Penanganan kasus DBD yang utama adalah tindakan promotif dan preventif karena secara kuratif tidak ada perawatan khusus untuk demam berdarah, pengobatannya hanya bersifat simptomatis dan suportif. Obat-obatan diberikan untuk meringankan demam dan rasa sakit. Penderita sebaiknya segera dirawat, dan terutama dijaga jumlah cairan tubuhnya. a. Fase Demam Pada fase demam, dapat diberikan antipiretik + cairan rumatan / atau cairan oral apabila anak masih mau minum, pemantauan dilakukan setiap 1224 jam Medikamentosa
Antipiretik dapat diberikan, dianjurkan pemberian parasetamol bukan aspirin
Diusahakan tidak memberikan obat-obat yang tidak diperlukan (misalnya antasid, anti emetik) untuk mengurangi beban detoksifikasi obat dalam hati
Kortikosteroid
diberikan
pada
DBD
ensefalopati
apabila
terdapat
perdarahan saluran cerna kortikosteroid tidak diberikan
Antibiotik diberikan untuk DBD ensefalopati. Supportif
Cairan: cairan pe oral + cairan intravena rumatan per hari + 5% deficit
Diberikan untuk 48 jam atau lebih
Kecepatan cairan IV disesuaikan dengan kecepatan kehilangan plasma, sesuai keadaan klinis, tanda vital, diuresis, dan hematokrit
b. Fase Kritis Pada fase kritis pemberian cairan sangat diperlukan yaitu kebutuhan rumatan + deficit, disertai monitor keadaan klinis dan laboratorium setiap 4-6 jam.
c. Fase Recovery Pada fase penyembuhan diperlukan cairan rumatan atau cairan oral, serta monitor tiap 12-24 jam.
30
(Sumber:World Health Organization-South East Asia Regional Office. Comprehensive Guidelines for Prevention and Control of Dengue and Dengue Hemorrhagic Fever. India: WHO; 2011dengan modifikasi.)
Gambar 7. Jalur triase kasus tersangka infeksi dengue (WHO 2011) Tanda Kegawatan Tanda kegawatan dapat terjadi pada setiap fase pada perjalanan penyakit infeksi dengue, seperti berikut :
Tidak ada perbaikan klinis/perburukan saat sebelum atau selama masa transisi ke fase bebas demam / sejalan dengan proses penyakit
Muntah yg menetap, tidak mau minum
Nyeri perut hebat
Letargi dan/atau gelisah, perubahan tingkah laku mendadak
Perdarahan: epistaksis, buang air besar hitam, hematemesis, menstruasi yang hebat, warna urin gelap (hemoglobinuria)/hematuria
Giddiness (pusing/perasaan ingin terjatuh)
Pucat, tangan - kaki dingin dan lembab
Diuresis kurang/tidak ada dalam 4-6 jam Monitor perjalanan Infeksi Virus Dengue Parameter yang harus dimonitor mencakup,
31
Keadaan umum, nafsu makan, muntah, perdarahan, dan tanda dan gejala lain
Perfusi perifer sesering mungkin karena sebagai indikator awal tanda syok, serta mudah dan cepat utk dilakukan
Tanda vital: suhu, nadi, pernapasan, tekanan darah, diperiksa minimal setiap 2-4 jam pada pasien non syok & 1-2 jam pada pasien syok.
Pemeriksaan hematokrit serial setiap 4-6 jam pada kasus stabil dan lebih sering pada pasien tidak stabil/ tersangka perdarahan
Diuresis setiap 8-12 jam pada kasus tidak berat dan setiap jam pada pasien dengan syok berkepanjangan / cairan yg berlebihan
Jumlah urin harus 1 ml/kg berat badan/jam ( berdasarkan berat badan ideal)
Indikasi pemberian cairan intravena
Pasien tidak dapat asupan yang adekuat untuk cairan per oral atau muntah
Hematokrit meningkat 10%-20% meskipun dengan rehidrasi oral
Ancaman syok atau dalam keadaan syok
Prinsip umum terapi cairan pada Infeksi virus dengue
Kristaloid isotonik harus digunakan selama masa kritis
Cairan koloid digunakan pada pasien dengan perembesan plasma hebat, dan tidak ada respon pada minimal volume cairan kristaloid yang diberikan
Volume cairan rumatan + dehidrasi 5% harus diberikan untuk menjaga volume dan cairan intravaskular yang adekuat
Pada pasien dengan obesitas, digunakan berat badan ideal sebagai acuan untuk menghitung volume cairan. Tabel 6. Cairan yang dibutuhkan berdasarkan berat badan
(Sumber: Holiday MA, Segar WE. Maintenance need for water in parenteral fluid therapy. Pediatrics 1957;19:823)
32
Tabel 7. Kecepatan cairan intravena
Sumber:World Health Organization-South East Asia Regional Office. Comprehensive Guidelines for Prevention and Control of Dengue and Dengue Hemorrhagic Fever. India: WHO; 2011dengan modifikasi.
Kecepatan cairan intravena harus disesuaikan dengan keadaan klinis.
Transfusi suspensi trombosit pada trombositopenia untuk profilaksis tidak dianjurkan
Pemeriksaan laboratorium baik pada kasus syok maupun non syok saat tidak ada perbaikan klinis walaupun penggantian volume sudah cukup, maka perhatikan ABCS yang terdiri dari, A – Acidosis: gas darah, B – Bleeding: hematokrit, C – Calsium: elektrolit, Ca++ dan S – Sugar: gula darah (dekstrostik)
Tabel 8. Pemeriksaan laboratorium pada profound shockatau dengue dengan komplikasi
Keterangan: *apabila belum terjadi perbaikan klinis setelah diberikan cairan adekuat Dikutip dan dimodifikasi dari. WHO.Comprehensive guidelines for prevention and control of dengue and dengue haemorrhagic fever.Revised and expanded edition. Regional office for South-East Asia, New Delhi, India 2011.
Tatalaksana Dengue Shock Syndrome Compensated
33
DSS
termasuk
kasus
kegawatdaruratan
yang
membutuhkan
penanganan secara cepat dan perlu memperoleh cairan pengganti secara cepat juga.Prinsip utama tatalaksana DSS adalah pemberian cairan yang cepat dengan jumlah yang adekuat. Diagnosis dini syok terkompensasi disertai dengan pengobatan yang cepat dan tepat mempunyai prognosis yang jauh lebih baik dibanding apabila pasien sudah jatuh ke dalam fase syok dekompensasi.
Dengue Shock Syndrome Compensated Anak gelisah, takikardia, takipnea, kulit dingin, tekanan nadi <20 mmHg, CRT >2 detik, diuresis menurun
Gambar 8. Bagan Tatalaksana DSS terkompensasi Tatalaksana Dengue Shock Syndrome Decompensated Syok dekompensasi memerlukan tindakan yang cepat dan segera, pertolongan terlambat akan mengakibatkan pasien jatuh ke dalam kondisi profound shock yang mempunyai prognosis buruk. Apabila pasien saat berobat sudah dalam syok dekompensasi, baik yang masih dalam fase hipotensif
34
maupun yang sudah jatuh dalam ke dalam profound shock, diberi pengobatan sebagai berikut :
Dengue Shock Syndrome Decompensated Kulit dingin dan lembab, takikardia, syok hipotensif (hipotensi, nadi cepat kecil), syok dalam (nadi tak teraba dan tekanan darah tidak terukur), pernafasan kusmaull atau hiperpnea, sianosis
Berikan oksigen 2-4 LPM Bolus Kristaloid dan/atau Koloid 10-20 mL/kgBB dalam waktu 10-20 menit Periksa ABCS, hematokrit, analisa gas darah, gula darah dan kalsium
Koreksi segera asidosis, hipoglisemia, hipokalsemia, perhatikan nilai hematokrit
Gambar 9. Bagan Tatalaksana DSS Dekompensasi Tatalaksana Expanded Dengue Syndrome Tatalaksana kelebihan cairan Pada kelebihan cairan perlu dinilai keadaan klinis, dihitung kembali cairan yang telah diberikan, dan cek A-B-C-S apakah telah dikoreksi
Turunkan jumlah cairan menjadi 1 mL/kgBB/jam, bila tersedia cairan koloid, ganti kristaloid dengan cairan koloid
35
Pada stadium lanjut dengan tanda edema paru, furosemide 1 mg/kgBB/dosis segera diberikan apabila tekanan darah stabil serta kadar ureum dan kreatinin normal. Setelah pemberian furosemide perlu dipantau setiap 15 menit untuk menilai keberhasilan pengobatan
Ukur volume diuresis melalui kateter urine
Apabila masih terjadi oliguria maka harus segera dilakukan dialisis, berarti pasien dalam keadaan gagal ginjal akut, keadaan ini mempunyai prognosis yang buruk. Apabila volume intravaskuler tidak adekuat maka cek A-B-C-S dan koreksi gangguan keseimbangan elektrolit.
Tatalaksana Gangguan Elektrolit Gangguan elektrolit sering terjadi selama fase kritis dan tersering yaitu hiponatremia dan hipokalsemia. Sedangkan hipokalemia sering pada fase konvalesens. Hiponatremia terjadi sebagai akibat dari pemberian cairan hipotonis yang tidak adekuat. Apabila ada kejang diberikan Natrium 3%, apabila tidak ada kejang cukup diberikan cairan dekstrose 5%-NaCl 0,9%.
Hipokalsemia disebabkan perembesan kalsium yang mengikuti albumin masuk ke cairan pleura atau peritoneal. Direkomendasikan diberikan kalsium glukonas 10% dengan dosis 1 mL/kgBB/dosis (maksimum 10 mL) diencerkan dengan aquadest, diberikan setiap 6 jam hanya untuk kasus SSD dekompensasi atau pasien dengan kelebihan cairan. Tidak diperlukan pemberian kalsium untuk kasus dengue tanpa komplikasi dan tanpa gejala. Tatalaksana Ensefalopati Pada ensefalopati dengue, paling sering berhubungan dengan gangguan fungsi hati, namun dapat pula disebabkan oleh gangguan serebral sekunder akibat syok, gangguan elektrolit, atau perdarahan intrakranial. Penyebab ensefalopati harus dicari dan diberi pengobatan sesuai penyebab.
36
Pada pasien ensefalopati harus diperiksa kadar amoniak, enzim transaminase (SGOT dan SGPT), PT, APTT dan albumin untuk memantau fungsi hati. Kadar elektrolit harus diperiksa dan segera dilakukan koreksi bila ditemukan kelainan. Pemeriksaan
radiologi
kepala
(CT-scan/MRI)
direkomendasikan
untuk
menyingkirkan perdarahan intrakranial. Tata laksana ensepalopati meliputi:
Mempertahankan oksigenasi dengan pemberian oksigen.
Mencegah/mengurangi tekanan intrakranial dengan cara sebagai berikut. o
Berikan cairan intravena dengan volume yang dibatasi (restriksi), tidak lebih dari 80% kebutuhan rumatan
o Ganti lebih cepat ke cairan koloid apabila hematokrit masih tetap tinggi o Pemberian diuretik segera pada kasus kelebihan cairan o Posisi pasien dalam keadaan lebih tegak, posisi kepala 30 derajat lebih tinggi dari tubuh o Intubasi dini bila diperlukan untuk mencegah hiperkarbia dan mempertahankan jalan napas o Steroid 0,15 mg/kgBB/dosis intravena diberikan setiap 6–8 jam, untuk mengurangi tekanan intrakranial (apabila tidak ada perdarahan )
Mengurangi produksi amoniak berikan laktulosa 5–10 mL setiap 6 jam.
Koreksi
gangguan
asam
basa,
ketidakseimbangan
elektrolit
(hipo/hipernatremia, hipo/hiperkalemia, hipokalsemia), dan asidois. Vitamin K1 intravena 3 mg untuk umur <1 tahun, 5 mg untuk umur <5 tahun, dan 10 mg untuk umur >5 tahun atau dewasa.
Antikonvulsi diberikan untuk mengatasi kejang: fenobarbital, dilantin, atau diazepam intravena.
Transfusi darah, bila diperlukan, sebaiknya fresh red packed cell. Komponen darah yang lain seperti suspensi trombosit dan FFP tidak dianjurkan karena menyebabkan kelebihan cairan dan meningkatkan tekanan intrakranial.
Terapi antibiotik empiris dianjurkan apabila dicurigai terjadi infeksi bakteri sekunder.
37
Hindari pemberian obat-obatan yang tidak diperlukan oleh karena pada umumnya obat dimetabolisme di dalam hati.
Plasmapheresis, hemodialisis atau renal replacement therapy diberikan pada pasien dengan gangguan ginjal.
Tatalaksana Perdarahan Masif
Apabila sumber perdarahan tampak secara klinis, segera lakukan tindakan untuk menghentikannya, misalnya mimisan berat dapat dihentikan dengan tampon nasal. Tranfusi darah harus segera diberikan, apabila kadar hematokrit menurun. Apabila volume darah yang keluar dapat diukur maka ganti dengan volume yang sama. Namun, apabila sulit diukur berikan darah segar 10 mL/kgBB atau 5 mL/kgBB fresh packed red cell, kemudian diperiksa ulang 3 jam pasca transfusi untuk menentukan apakah diperlukan transfusi lagi atau tidak.
Pada perdarahan gastrointestinal, pemberian H2 antagonis dan proton pump inhibitor, kurang efektif.
Tidak ada bukti nyata khasiat pemberian komponen darah seperti suspensi trombosit, fresh
frozen
plasma,
atau cryoprecipitate,
malah
dapat
menyebabkan sindrom kelebihan cairan.
Pemberian rekombinan faktor VII pada sebagian kasus dengan perdarahan masif tanpa gagal organ memberi hasil baik, namun selain harganya sangat mahal juga sulit didapat.
Tatalaksana Gagal Ginjal Akut Gagal ginjal akut dapat terjadi oleh karena hipoperfusi dalam SSD. Plasmaferesis atau hemodialisis atau renal replacement therapy dapat dilakukan pada pasien dengan keadaan gagal ginjal yang semakin memburuk.
Tatalaksana Sindrom Gangguan Pernapasan Akut Kerusakan pembuluh darah paru-paru dapat mengakibatkan sindrom gangguan pernapasan akut (ARDS) yang memerlukan ventilator. Kelebihan cairan harus dihindari untuk mencegah terjadinya edema paru.
38
Tatalaksana Ensefalitis Dengue Tata laksana umum ensefalitis virus meliputi pemantauan dan pemeliharaan jalan napas dan oksigenasi yang memadai, hidrasi, dan nutrisi. Pungsi lumbal dikerjakan bila syok telah teratasi, fase kritis telah dilewati dan kesadaran tetap menurun (hatihati bila trombosit <50.000/uL). Kejang dapat dikontrol dengan obat antikonvulsi, dan peningkatan tekanan intrakranial dengan manitol, dan steroid. Jika dicurigai kemungkinan terjadi infeksi sekunder oleh bakteri maka antibiotik empiris sesuai dengan antibiogram lokal harus diberikan. Di daerah endemis, kemungkinan penyakit yang dapat menimbulkan infeksi susunan syaraf pusat seperti malaria serebral, toksoplasmosis, human immunodeficiency virus (HIV), tuberkulosis, dan Japanese-ensefalitis, sudah harus disingkirkan.
Tatalaksana Miokarditis Disfungsi kontraktilitas miokardium dapat terjadi pada pasien DBD yang mengalami syok berkepanjangan. Pada umumnya disebabkan oleh asidosis metabolik dan hipokalsemia. Sehingga tata laksana miokarditis dengue selain memberikan obat-obatan untuk miokarditis, juga segera koreksi asidosis dan hipokalsemia. Miokarditis jarang didapatkan pada pasien anak di bawah 10 tahun dan pada umumnya bukan sebagai penyebab kematian pasien DBD. Namun beberapa pasien dengan edema paru atau kelebihan cairan dapat mengalami miokarditis. Sehingga jika kecurigaan terhadap miokarditis terjadi pada pasien, pemberian cairan harus berhati-hati.
Tatalaksana Pasien dengan Risiko Tinggi Obesitas, bayi, diabetes melitus, ibu hamil, hipertensi, dalam terapi antikoagulan, penyakit hemolitik dan hemoglobinopati, penyakit jantung bawaan dan kelainan jantung sistemik, serta pasien dalam pengobatan steroid memperburuk prognosis demam berdarah dengue.
Obesitas. Pasien obese mempunyai cadangan respirasi yang kurang dibandingkan anak dengan berat badan ideal, pemberian cairan harus hati-
39
hati karena lebih mudah terjadi kelebihan cairan. Volume cairan resusitasi dihitung berdasarkan kebutuhan sesuai berat badan ideal.
Bayi. Bayi juga mempunyai cadangan respirasi yang kurang dan lebih rentan terhadap gangguan hati serta keseimbangan elektrolit. Pada bayi perembesan plasma berlangsung relatif lebih pendek dan pada umumnya memberikan respons yang cepat terhadap resusitasi cairan. Oleh karena itu pada bayi harus dilakukan pemantauan yang lebih sering terhadap kemampuan minum dan jumlah diuresis, bila minum sudah baik dan diuresis baik jumlah intravena harus segera dikurangi.
Diabetes melitus. Pada pasien DM yang mengalami infeksi dengue, pada umumnya diperlukan pemberian insulin intravena. Cairan kristaloid yang diberikan harus tidak mengandung glukosa.
Ibu hamil. Ibu hamil yang menderita infeksi dengue harus dirawat untuk dilakukan pemantauan lebih ketat. Kerja sama antara dokter spesialis kebidanan,spesialis anak, spesialis penyakit dalam dan dokter umum sangat diperlukan. Jumlah cairan yang diberikan pada ibu hamil sama dengan ibu tidak hamil, dengan pedoman berat badan sebelum hamil. Konseling terhadap keluarga harus diberikan terutama bila keadaan umum memburuk.
Hipertensi. Penderita hipertensi umumnya sedang minum obat anti hipertensi, hal ini menyamarkan respon kardiovaskuler dalam keadaan syok. Oleh karena itu diperlukan data dasar tekanan darah sehari-hari dalam pengobatan.
Terapi antikoagulan. Pada keadaan kritis, obat antikoagulan harus dihentikan.
Penyakit hemolitik dan hemoglobinopati. Pasien hemolitik dan hemoglobinopati mempunyai risiko untuk memperberat terjadinya hemolisis, maka sering kali memerlukan transfusi darah. Perhatikan jangan sampai terjadi kelebihan cairan dan hipokalsemia.
Penyakit jantung bawaan dan penyakit jantung iskemik. Pemberian cairan harus berhati-hati karena dapat menyebabkan gagal jantung akibat kelebihan cairan.
40
Pasien dalam pengobatan steroid. Kortikosteroid tetap diberikan, hanya rute pemberian-nya diubah.
2.8 Prognosis Pada kasus EDS ditemukan prognosis nya lebih buruk dari demam dengue. Sehingga prognosis sangat tergantung dari pengenalan dini dengan cara pemantauan cermat dan tindakan cepat dan tepat.19 Pada ensefalopati dengue sebagian pasien akan pulih seperti semula, sedangkan sisanya akan mengalami gejala sisa seperti kelemahan dan kejang. Ensefalitis dengue yang disertai gejala neurologis membutuhkan waktu pemulihan yang cukup lama. Kelemahan dapat terjadi pada pasien dengan kelumpuhan saraf. 19
Mortalitas ensefalopati dengue yang pernah dilaporkan di Denmark adalah sebesar 22% dari jumlah keseluruhan pasien yang didiagnosis.28 Sedangkan penelitian yang dilakukan di Pakistan, di dapatkan sebanyak 20% kematian pasien yang didiagnosis dengan ensefalopati dengue dan 5% kematian pasien dengan perdarahan intaserebral. Syok dan obesitas memiliki faktor resiko yang besar untuk terjadi gagal ginjal akut. Pasien yang mampu bertahan dan tidak berlanjut ke gagal ginjal kronik, fungsi ginjalnya akan kembali seperti semula setelah 1 bulan.27 Kasus Acute Kidney Injury oleh karena EDS didapatkan sebesarkan 11,3% dan angka morbiditas (disfungsi ginjal menetap) didapatkan sebesar 5%.30 Disimpulkan dari penelitian di Pakistan bahwa, EDS merupakan penyebab kematian terbanyak
dari demam
berdarah dengue.29
Disfungsi miokard dapat terjadi pada pasien dengan dengue miokarditis, sekitar 20% pasien mengalami penurunan ejeksi fraksi kuarang dari 50%., namun kelainan ini dapat kembali normal dalam waktu beberapa minggu. Abnormalitas EKG juga dilaporkan pada 44-75% pasien yang terinfeksi virus.3 Pada pasien DHF disertai miokarditis harus berhati hati dalam pemberian cairan. Jika terjadi kelebihan cairan akan mengakibatkan peningkatan angka mortalitas. 18
41
BAB 4 PEMBAHASAN Anamnesis Teori
Kasus
Expanded dengue syndrome (EDS) merupakan manifestasi klinis yang melibatkan organ seperti hati, ginjal, jantung, maupun otak yang berhubungan dengan infeksi dengue dengan atau tidak ditemukannya tanda kebocoran plasma. EDS dapat berupa penyulit infeksi dan manifestasi klinis yang tidak lazim (unusual manifestation). Penyulit infeksi berupa kelebihan cairan, sedangkan manifestasi klinis yang tidak lazim ialah ensefalopati dengue, perdarahan hebat, infeksi ganda, kelainan ginjal, dan miokarditis.
Penurunan kesadaran Demam sejak 5 hari SMRS, demam muncul mendadak dan dirasakan naik turun. Pasien meminum obat penurun panas. Badan nya semakin bertambah lemas. Mual dan muntah pada demam hari ke lima. Tidak ada sesak napas, tidak ada mimisan, tidak ada gusi berdarah dan tidak ada BAB hitam, tidak terdapat bintik-bintik merah pada badan pasien.
Encephalopathy dengue, Ensefalitis biasanya disertai demam, penurunan kesadaran, sakit kepala, kejang, dan tandatanda neurologis fokal. Sebaliknya, ensefalopati adalah gambaran klinis penurunan kesadaran, yang dapat disebabkan oleh ensefalitis, gangguan metabolik, alkohol, atau obat-obatan.9 Kriteria klinis diagnosis DHF Demam tinggi mendadak dan terus menerus selama 2 – 7 hari. Didapati uji tourniquet positif dengan salah satu bentuk perdarahan: Petekie, ekimosis, atau purpura . Perdarahan mukosa (tersering epistaksis atau perdarahan gusi), atau perdarahan dari tempat lain. Hematemesis dan atau melena. Nyeri kepala, mialgia, athralgia, nyeri retroorbital. Dijumpai kasus DBD baik dilingkungan sekolah, rumah atau sekitar rumah. Pembesaran hati.
42
Pemeriksaan Fisik Teori Fase I – Fase Demam Demam akut yang berlangsung 2 - 7 hari dan sering disertai muka kemerahan, eritema kulit, nyeri seluruh badan, mialgia, atralgia, dan sakit kepala. Beberapa pasien dapat memiliki gejala sakit tenggorokan, faring hiperemis dan injeksi konjungtiva. Anorexia, mual, dan muntah sering terjadi dan dapat sulit dibedakan dengan demam non-dengue pada fase awal. Fase II – Fase Kritis Pada tahap ini, demam masih berlangsung pada hari ke 3 – 7 namun temperatur sedikit menurun yaitu 37.5 – 38oC atau lebih rendah dan peningkatan permeabilitas kapiler dengan level hematokrit yang meningkat. Efusi pleura (dengan klinis sesak, suara paru ↓) dan ascites. Didapati uji tourniquet positif dengan salah satu bentuk perdarahan: a) Petekie, ekimosis, atau purpura b) Perdarahan mukosa (tersering epistaksis atau perdarahan gusi), atau perdarahan dari tempat lain. c) Hematemesis dan atau melena Pembesaran hati
Kasus Kesadaran: Sopor Tekanan Darah 120/90 mmHg Nadi 143x/menit, regular, lemah Pernafasan 12x/menit dengan ETT Temperatur 36o C Berat Badan: 32 kg Tinggi Badan: 150 cm Status Gizi: Gizi Kurang Manifestasi perdarahan NGT produk hitam pekat (+), Ptekie Spontan (+) Thorax: Paru Vesikuler (+/+), rho (/-), wheezing(-/-) Abdomen: Bising usus (+), Hepatomegali (+) 2 cm dibawah arcus costa. Ekstremitas: Ptekie spontan (+), CRT < 3 dtk
Encephalopathy dengue, Ensefalitis biasanya disertai demam, penurunan kesadaran, sakit kepala, kejang, dan tandatanda neurologis fokal.
43
Pemeriksaan Penunjang Teori
Kasus Trombosit mengalami penurunan 150000 T R O M B O S I T S E R I A L A N . S N K 100000 50000 Trombosit (ul) 0
Hematokrit cenderung stagnan 45 30 15 0
1.
2. 3.
4.
5.
Antigen NS1 dapat dideteksi pada hari ke-1 setelah demam dan akan menurun sehingga tidak terdeteksi setelah hari sakit ke-5-6. Deteksi antigen virus ini dapat digunakan untuk diagnosis awal menentukan adanya infeksi dengue, namun tidak dapat membedakan penyakit DD/DBD Antibodi IgM anti dengue dapat dideteksi pada hari sakit ke-5 sakit. Antibodi IgG anti dengue pada infeksi primer dapat terdeteksi pada hari sakit ke-14. dan menghilang setelah 6 bulan sampai 4 tahun. Sedangkan pada infeksi sekunder IgG anti dengue akan terdeteksi pada hari sakit ke-2. Ensefalopati dengue dapat dijumpai peningkatan kadar transaminase (SGOT/SGPT), PT dan PTT memanjang. Kelainan ginjal ditandai dengan penurunan jumlah urin dan peningkatan kadar ureum dan kreatinin.4
HAEMATOKRIT SERIAL AN. SNK
Pemeriksaan NS1 Ig G Dengue Ig M Dengue
Haematokrit (%)
Hasil Tidak diperiksa (+) positif (-) positif
44
Penatalaksanaan Teori Tatalaksana Ensefalopati Mempertahankan oksigenasi dengan pemberian oksigen. Mencegah/mengurangi tekanan intrakranial dengan cara sebagai berikut. o Berikan cairan intravena dengan volume yang dibatasi (restriksi), tidak lebih dari 80% kebutuhan rumatan o Ganti lebih cepat ke cairan koloid apabila hematokrit masih tetap tinggi o Pemberian diuretik segera pada kasus kelebihan cairan o Posisi pasien dalam keadaan lebih tegak, posisi kepala 30 derajat lebih tinggi dari tubuh o Intubasi dini bila diperlukan untuk mencegah hiperkarbia dan mempertahankan jalan napas o Steroid 0,15 mg/kgBB/dosis intravena diberikan setiap 6–8 jam, untuk mengurangi tekanan intrakranial (apabila tidak ada perdarahan ) Mengurangi produksi amoniak berikan laktulosa 5–10 mL setiap 6 jam. Koreksi gangguan asam basa, ketidakseimbangan elektrolit (hipo/hipernatremia, hipo/hiperkalemia, hipokalsemia), dan asidois. Vitamin K1 intravena 3 mg untuk umur <1 tahun, 5 mg untuk umur <5 tahun, dan 10 mg untuk umur >5 tahun atau dewasa. Antikonvulsi diberikan untuk mengatasi kejang: fenobarbital, dilantin, atau diazepam intravena. Transfusi darah, bila diperlukan, sebaiknya fresh red packed cell.
Kasus -
-
O2 Ventilasi PSIMV PEEP 5, FiO2 60%, Rate 18x/m, P ins 9 H2O IVFD RL 1740cc/jam diganti IVFD D5 ½ NS 1500/24jam Paracetamol 4x350mg/IV Dobutamin IV 7.5 mcg/KgBB kecepatan 2,88cc/jam Cefotaxime IV 2x1.5g Omeprazole IV 1x30mg Furosemide IV10mg/jam Ca Glukonas IV 2x30ml Dexamethason IV 3x5 mg IV
45
Komponen darah yang lain seperti suspensi trombosit dan FFP tidak dianjurkan karena menyebabkan kelebihan cairan dan meningkatkan tekanan intrakranial. Terapi antibiotik empiris dianjurkan apabila dicurigai terjadi infeksi bakteri sekunder. Hindari pemberian obat-obatan yang tidak diperlukan oleh karena pada umumnya obat dimetabolisme di dalam hati. Plasmapheresis, hemodialisis atau renal replacement therapy diberikan pada pasien dengan gangguan ginjal.
46
BAB 5 KESIMPULAN
Telah dilakukan perbandingan antara teori dan kasus pada pasien perempuan An. SNK usia 12 tahun, dengan diagnosis Expanded Dengue Syndrome. Dari anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan penunjang didapatkan penegakkan diagnosis dan penatalaksanaan yang telah sesuai dengan literatur yang mendukung pada kasus tersebut.
47
DAFTAR PUSTAKA 1. Sri RH, Ismoedijanto M, Alex C. Pedoman Diagnosis dan Tata Laksana Infeksi Virus Dengue pada Anak. UKK Infeksi dan Penyakit Tropis Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2014. 2. WHO. 2009. Dengue: guidelines for diagnosis, treatment, prevention and control - New edition. WHO Press. Switzerland 3. Kadam, D., Salavi, S., & Chandawale, A. (2016). Expanded Dengue. Journal of the Assosiation of Physicians of Indian, 59-64. `
48