Tuna Rungu.docx

  • Uploaded by: AndersonTP
  • 0
  • 0
  • April 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Tuna Rungu.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 3,090
  • Pages: 20
1

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Anak tunarungu adalah anak yang mengalami kehilangan fungsi pendengaran, baik sebagian maupun seluruhnya yang berdampak kompleks dalam kehidupannya. Anak tunarungu secara fisik terlihat seperti anak normal, tetapi bila diajak berkomunikasi barulah terlihat bahwa anak mengalami gangguan pendengaran. Anak tunarungu tidak berarti anak itu tunawicara, akan tetapi pada umumnya anak tunarungu mengalami ketunaan sekunder yaitu tunawicara. Penyebabnya adalah anak sangat sedikit memiliki kosakata dalam sistem otak dan anak tidak terbiasa berbicara. Anak tunarungu memiliki tingkat intelegensi bervariasi dari yang rendah hingga jenius. Anak tunarungu yang memiliki intelegensi normal pada umumnya tingkat prestasinya di sekolah rendah. Hal ini disebabkan oleh perolehan informasi dan pemahaman bahasa lebih sedikit bila dibanding dengan anak mampu dengar. Anak tunarungu mendapatkan informasi dari indera yang yang masih berfungsi, seperti indera penglihatan, perabaan, pengecapan dan penciuman. Anak tunarungu mendapat pendidikan khusus di lembaga informal dan formal. Pendidikan informal yang menangani anak tunarungu yaitu LSM, organisasi penyandang cacat, posyandu dan klinik-klinik anak berkebutuhan khusus. Lembaga pendidikan formal yang menangani anak tunarungu adalah home schooling, sekolah inklusi, dan Sekolah Luar Biasa (SLB). 1.2.Rumusan Masalah 1. Apa itu Pengertian Tunarungu ? 2. Apa Karakteristik Tunarungu ? 3. Apa saja Klasifikasi Tunarungu ? 4. Apa saja penyebab Tunarungu ? 1.3.Tujuan

2

1. Untuk mengetahui pengertian Tunarungu 2. Untuk mengetahui karakteristik Tunarungu 3. Untuk mengetahui Klasifikasi Tunarungu 4. Untuk mengetahui Penyebab Tunarungu

3

BAB II TINJAUAN TEORI 2.1. Pengertian Pengertian Anak Tunarungu Anak tunarungu merupakan anak yang mempunyai gangguan pada pendengarannya sehingga tidak dapat mendengar bunyi dengan sempurna atau bahkan tidak dapat mendengar sama sekali, tetapi dipercayai bahwa tidak ada satupun manusia yang tidak bisa mendengar sama sekali. Walaupun sangat sedikit, masih ada sisa-sisa pendengaran yang masih bisa dioptimalkan pada anak tunarungu tersebut. Berkenaan dengan tunarungu, terutama tentang pengertian tunarungu terdapat beberapa pengertian sesuai dengan pandangan dan kepentingan masing-masing. Menurut Andreas Dwidjosumarto (dalam Sutjihati Somantri, 1996: 74) mengemukakan bahwa: seseorang yang tidak atau kurang mampu mendengar suara dikatakan tunarungu. Ketunarunguan dibedakan menjadi dua kategori, yaitu tuli (deaf) atau kurang dengar (hard of hearing). Tuli adalah anak yang indera pendengarannya mengalami kerusakan dalam taraf berat sehingga pendengarannya tidak berfungsi lagi. Sedangkan kurang dengar adalah anak yang indera pendengarannya mengalami kerusakan, tetapi masih dapat berfungsi untuk mendengar, baik dengan maupun tanpa menggunakan alat bantu dengar (hearing aids). Istilah tunarungu diambil dari kata “tuna” dan “rungu”, tuna artinya kurang dan rungu artinya pendengaran. Orang dikatakan tunarungu apabila tidak mampu mendengar atau kurang mampu mendengar suara. Apabila dilihat secara fisik, anak tunarungu tidak berbeda dengan anak dengar pada umumnya. Pada saat berkomunikasi barulah diketahui bahwa anak tersebut mengalami tunarunguan. Murni Winarsih (2007: 22) mengemukakan bahwa tunarungu adalah suatu istilah umum yang menunjukkan kesulitan mendengar dari yang ringan sampai berat, digolongkan ke dalam tuli dan kurang dengar. Orang tuli adalah yang kehilangan kemampuan mendengar sehingga menghambat proses informasi bahasa melalui

4

pendengaran, baik memakai ataupun tidak memakai alat bantu dengar dimana batas pendengaran yang dimilikinya cukup memungkinkan keberhasilan proses informasi bahasa melalui pendengaran. Tin Suharmini (2009: 35) mengemukakan tunarungu dapat diartikan sebagai keadaan dari seorang individu yang mengalami kerusakan pada indera pendengaran sehingga menyebabkan tidak bisa menangkap berbagai rangsang suara, atau rangsang lain melalui pendengaran. Beberapa pengertian dan definisi tunarungu di atas merupakan definisi yang termasuk kompleks, sehingga dapat disimpulkan bahwa anak tunarungu adalah anak yang memiliki gangguan dalam pendengarannya, baik secara keseluruhan ataupun masih memiliki sisa pendengaran. Meskipun anak tunarungu sudah diberikan alat bantu dengar, tetap saja anak tunarungu masih memerlukan pelayanan pendidikan khusus. 2.2. Ciri-ciri Tunarungu a) Dalam segi fisik: 1) Cara berjalannya kaku dan anak membungkuk. Hal ini disebabkan terutama terhadap alat pendengaran.\ 2) Gerakan matanya cepat agak beringas. Hal ini menunjukkan bahwa ia ingin menangkap keadaan yang ada di sekelilingnya. 3) Gerakan kaki dan tangannya sangat cepat atau kidal. 4) Hal tersebut tampak dalam mengadakan komunikasi dengan gerak isyarat. Pernafasannya pendek dan agak terganggu. b) Ciri khas dari segi intelegensi Intelegensi merupakan faktor yang sangat penting dalam belajar, meskipun disamping itu ada faktor – faktor lain yang dapat diabaikan. begitu saja seperti kondisi kesulitan, faktor lingkungan intelegensi merupakan motor dari perkembangan siswa. c) Ciri – ciri dari segi social 1) Perasaan

rendah

ataumasyarakat.

diri

dan

merasa

diasingkan

oleh

keluarga

5

2) Perasaan cemburu dan salah sangka diperlakukan tidak adil 3) Kurang menguasai irama gaya bahasa. d) Ciri – Ciri khas dari segi emosi Kekurangan

bahasa

lisan

dan

tulisan

seringkali

menyebabkan

siswa tuna rungu akan menafsirkan sesuatu negative atau salah dalam halpengertiannya. Hal ini disebabkan karena tekanan pada emosinya 2.3. Karakteristik Anak Tunarungu Karakteristik anak tunarungu dari segi fisik tidak memiliki karakteristik yang khas, karena secara fisik anak tunarungu tidak mengalami gangguan yang terlihat. Sebagai dampak ketunarunguannya, anak tunarungu memiliki karakteristik yang khas dari segi yang berbeda. Permanarian Somad dan Tati Hernawati (1995: 35-39) mendeskripsikan karakteristik ketunarunguan dilihat dari segi: intelegensi, bahasa dan bicara, emosi, dan sosial. a.

Karakteristik dari segi intelegensi Intelegensi anak tunarungu tidak berbeda dengan anak normal yaitu tinggi, rata-

rata dan rendah. Pada umumnya anak tunarungu memiliki entelegensi normal dan rata-rata. Prestasi anak tunarungu seringkali lebih rendah daripada prestasi anak normal karena dipengaruhi oleh kemampuan anak tunarungu dalam mengerti pelajaran yang diverbalkan. Namun untuk pelajaran yang tidak diverbalkan, anak tunarungu memiliki perkembangan yang sama cepatnya dengan anak normal. Prestasi anak tunarungu yang rendah bukan disebabkan karena intelegensinya rendah namun karena anak tunarungu tidak dapat memaksimalkan intelegensi yang dimiliki. Aspek intelegensi yang bersumber pada verbal seringkali rendah, namun aspek intelegensi yang bersumber pada penglihatan dan motorik akan berkembang dengan cepat. b.

Karakteristik dari segi bahasa dan bicara Kemampuan anak tunarungu dalam berbahasa dan berbicara berbeda dengan anak

normal pada umumnya karena kemampuan tersebut sangat erat kaitannya dengan kemampuan mendengar. Karena anak tunarungu tidak bisa mendengar bahasa, maka anak tunarungu mengalami hambatan dalam berkomunikasi. Bahasa merupakan alat dan sarana utama seseorang dalam berkomunikasi. Alat komunikasi terdiri dan

6

membaca, menulis dan berbicara, sehingga anak tunarungu akan tertinggal dalam tiga aspek penting ini. Anak tunarungu memerlukan penanganan khusus dan lingkungan berbahasa intensif yang dapat meningkatkan kemampuan berbahasanya. Kemampuan berbicara anak tunarungu juga dipengaruhi oleh kemampuan berbahasa yang dimiliki oleh anak tunarungu. Kemampuan berbicara pada anak tunarungu akan berkembang dengan sendirinya namun memerlukan upaya terus menerus serta latihan dan bimbingan secara profesional. Dengan cara yang demikianpun banyak dari mereka yang belum bisa berbicara seperti anak normal baik suara, irama dan tekanan suara terdengar monoton berbeda dengan anak normal. c. Karakteristik dari segi emosi dan sosial Ketunarunguan

dapat

menyebabkan

keterasingan

dengan

lingkungan.

Keterasingan tersebut akan menimbulkan beberapa efek negatif seperti: egosentrisme yang melebihi anak normal, mempunyai perasaan takut akan lingkungan yang lebih luas, ketergantungan terhadap orang lain, perhatian mereka lebih sukar dialihkan, umumnya memiliki 13 sifat yang polos dan tanpa banyak masalah, dan lebih mudah marah dan cepat tersinggung. 1) Egosentrisme yang melebihi anak normal Sifat ini disebabkan oleh anak tunarungu memiliki dunia yang kecil akibat interaksi dengan lingkungan sekitar yang sempit. Karena mengalami gangguan dalam pendengaran, anak tunarungu hanya melihat dunia sekitar dengan penglihatan. Penglihatan hanya melihat apa yang di depannya saja, sedangkan pendengaran dapat mendengar sekeliling lingkungan. Karena anak tunarungu mempelajari sekitarnya dengan menggunakan penglihatannya, maka aka timbul sifat ingin tahu yang besar, seolah-olah mereka haus untuk melihat, dan hal itu semakin membesarkan egosentrismenya. 2) Mempunyai perasaan takut akan lingkungan yang lebih luas Perasaan takut yang menghinggapi anak tunarungu seringkali disebabkan oleh kurangnya penguasaan terhadap lingkungan yang berhubungan dengan kemampuan berbahasanya yang rendah. Keadaan menjadi tidak jelas karena anak tunarungu tidak mampu menyatukan dan menguasai situasi yang baik.

7

3) Ketergantungan terhadap orang lain Sikap ketergantungan terhadap orang lain atau terhadap apa yang sudah dikenalnya dengan baik, merupakan gambaran bahwa mereka sudah putus asa dan selalu mencari bantuan serta bersandar pada orang lain. 4) Perhatian mereka lebih sukar dialihkan Sempitnya kemampuan berbahasa pada anak tunarungu menyebabkan sempitnya alam fikirannya. Alam fikirannya selamanya terpaku pada hal-hal yang konkret. Jika sudah berkonsentrasi kepada suatu hal, maka anak tunarungu akan sulit dialihkan perhatiannya ke hal-hal lain yang belum dimengerti atau belum dialaminya. Anak tunarungu lebih miskin akan fantasi. 5) Umumnya memiliki sifat yang polos, sederhana dan tanpa banyak masalah. tunarungu tidak bisa mengekspresikan perasaannya dengan baik. Anak tunarungu akan jujur dan apa adanya dalam mengungkapkan perasaannya. Perasaan anak tunarungu biasanya dalam keadaan ekstrim tanpa banyak nuansa. 6) Lebih mudah marah dan cepat tersinggung Karena banyak merasakan kekecewaan akibat tidak bisa dengan mudah mengekspresikan perasaannya, anak tunarungu akan mengungkapkannya dengan kemarahan. Semakin luas bahasa yang mereka miliki semakin mudah mereka mengerti perkataan orang lain, namun semakin sempit bahasa yang mereka miliki akan semakin sulit untuk mengerti perkataan orang lain sehingga anak tunarungu mengungkapkannya dengan kejengkelan dan kemarahan. Berdasarkan karakteristik anak tunarungu dari beberapa aspek yang sudah dibahas diatas, maka dapat disimpulkan bahwa sebagai dampak dari 15 ketunarunguannya tersebut hal yang menjadi perhatian adalah kemampuan berkomunikasi anak tunarungu yang rendah. Intelegensi anak tunarungu umumnya berada pada tingkatan rata-rata atau bahkan tinggi, namun prestasi anak tunarungu terkadang lebih rendah karena pengaruh kemampuan berbahasanya yang rendah. Maka dalam pembelajaran di sekolah anak tunarungu harus mendapatkan penanganan dengan menggunakan metode

8

yang sesuai dengan karakteristik yang dimiliki. Anak tunarungu akan berkonsentrasi dan cepat memahami kejadian yang sudah dialaminya dan bersifat konkret bukan hanya hal yang diverbalkan. Anak tunarungu membutuhkan

metode

yang tepat

untuk

meningkatkan

kemampuan

berbahasanya yaitu metode yang dapat menampilkan kekonkretan sesuai dengan apa yang sudah dialaminya. Metode pembelajaran untuk anak tunarungu haruslah yang kaya akan bahasa konkret dan tidak membiarkan anak untuk berfantasi mengenai hal yang belum diketahui. 2.4. Klasifikasi Anak Tunarungu Klasifikasi mutlak diperlukan untuk layanan pendidikan khusus. Hal ini sangat menentukan dalam pemilihan alat bantu mendengar yang sesuai dengan sisa pendengarannya dan menunjang lajunya pembelajaran yang efektif. Dalam menentukan ketunarunguan dan pemilihan alat bantu dengar serta layanan khusus akan menghasilkan akselerasi secara optimal dalam mempersepsi bunyi bahasa dan wicara. Menurut

Boothroyd

(dalam

Murni

Winarsih,

2007:23)

klasifikasi

ketunarunguan adalah sebagai berikut. a.

Kelompok I : kehilangan 15-30 dB, mild hearing losses atau ketunarunguan ringan; daya tangkap terhadap suara cakapan manusia normal.

b.

Kelompok II: kehilangan 31-60, moderate hearing losses atau ketunarunguan atau ketunarunguan sedang; daya tangkap terhadap suara cakapan manusia hanya sebagian.

c.

Kelompok III: kehilangan 61-90 dB, severe hearing losses atau ketunarunguan berat; daya tangkap terhadap suara cakapan manusia tidak ada.

d.

Kelompok IV: kehilangan 91-120 dB, profound hearing losses atau ketunarunguan sangat berat; daya tangkap terhadap suara cakapan manusia tidak ada sama sekali.

9

e.

Kelompok V: kehilangan lebih dari 120 dB, total hearing losses atau ketunarunguan total; daya tangkap terhadap suara cakapan manusia tidak ada sama sekali.

Selanjutnya Uden (dalam Murni Winarsih, 2007:26) membagi

klasifikasi

ketunarunguan menjadi tiga, yakni berdasar saat terjadinya ketunarunguan, berdasarkan tempat kerusakan pada organ pendengarannya, dan berdasar pada taraf penguasaan bahasa. 1. Berdasarkan sifat terjadinya a. Ketunarunguan

bawaan,

artinya

ketika

lahir

anak

sudah

mengalami/menyandang tunarungu dan indera pendengarannya sudah tidak berfungsi lagi. b. Ketunarunguan setelah lahir, artinya terjadinya tunarungu setelah anak lahir diakibatkan oleh kecelakaan atau suatu penyakit. 2. Berdasarkan tempat kerusakan a. Kerusakan pada bagian telinga luar dan tengah, sehingga menghambat bunyibunyian yang akan masuk ke dalam telinga disebut Tuli Konduktif. b. Kerusakan pada telinga bagian dalam sehingga tidak dapat mendengar bunyi/suara, disebut Tuli Sensoris. 3. Berdasarkan taraf penguasaan bahasa a. Tuli pra bahasa (prelingually deaf) adalah mereka yang menjadi tuli sebelum dikuasainya suatu bahasa (usia 1,6 tahun) artinya anak menyamakan tanda (signal) tertentu seperti mengamati, menunjuk, meraih dan sebagainya namun belum membentuk system lambang. b. Tuli purna bahasa (post lingually deaf) adalah mereka yang menjadi tuli setelah menguasai bahasa, yaitu telah menerapkan dan memahami system lambang yang berlaku di lingkungan. Klasifikasi dalam dunia pendidikan diperlukan untuk menentukan bagaimana intervensi yang akan dilakukan lembaga terkait. Ada banyak jenis klasifikasi termasuk yang sudah dipaparkan di atas. Klasifikasi di atas merupakan jenis

10

klasifikasi yang membagi tunarungu menjadi beberapa kelompok sesuai dengan kehilangan pendengarannya dan tempat terjadi kerusakan. Klasifikasi memudahkan untuk menentukan dan memfokuskan subjek dalam penelitian ini. Subjek dalam penelitian ini termasuk dalam klasifikasi ketunarunguan bawaan, ketika lahir anak sudah mengalami ketunarunguan sehingga intervensi yang lambat mempengaruhi kemampuan berbahasa anak tunarungu. 2.5. Penyebab Tunarungu Ketidak sempurnaan kadang membuat anak-anak minder dalam pergaulannya sehari-hari. Kehilangan pendengaran, termasuk oleh salah satu permasalahan yang membuat anak-anak sulit tumbuh normal di tengah masyakarat. Memilik permasalahan ini lebih dalam, audiologis dan pakar pendidikan anak tunarungu, Drs.Anton Subarto,Dipl. Audiologis, menjelaskan ada beberapa faktor yang menyebabkan ketulian pada anak. Dalam hal ini. Ia menyebutkan : 1. Ketulian disebabkan karena virus Toxoplasma Rubella atau campak, Herpes, dan Sipilis. Terkadang kedua orang tua tidak menyadari bahwa dirinya telah mengidap virus tersebut sehingga menyebabkan ketulian pada anaknya kelak. 2. Lahir secara prematur, hal ini juga bisa menyebabkan ketulian pada anak. 3. Ketulian juga bisa disebabkan karena sang ibu pada saat hamil yang berusaha menggugurkan janin yang ada dalam kandungan. 4. Anak yang lahir dan kekurangan oksigen pun bisa menjadi tuli. 5. Ketulian juga bisa dialami ketika anak pada masa pertumbuhan. Misalnya, seorang anak lahir secara normal, hanya saja menjelang usia 10 tahun ia mengalami sakit dan diberikan obat dengan dosis tinggi sehingga hal itu bisa menyerang fungsi pendengaran telinganya. Jadi, ada gangguan pendengaran karena obat-obatan yang memiliki efek samping tertentu yang menyebabkan ketulian. Di antara obat-obatan itu adalah pil kina dan aspirin yang mempunyai pengaruh besar pada telinga. Oleh karena itu harus hatihati bila dikonsumsi.

11

6. Peringatan bagi para ibu-ibu hamil, kalau sedang mengandung sebisa mungkin jangan sakit karena suatu penyakit yang diderita saat hamil sangat riskan untuk kandungan, terlebih seperti campak atau tipes. Semua penyakit dengan panas tinggi, akan sangat riskan untuk kandungan. 7. Faktor genetik juga bisa memengaruhi, misalnya kedua orangtuanya normal, namaun kakek, dan neneknya memiliki riwayat pernah mengalami ketulian. Hal ini bisa berdampak pada anak. 8. Anak terlahir dengan disedot, vakum, atau cesar. Hal ini juga bisa merusak saraf pendengaran. Jika anak mengalami tuli saraf, tentu tidak bisa disembuhkan, hanya bisa dibantu dengan alat bantu dengar semata. Sementara tuli konduktif yang disebabkan karena infeksi dapat disembuhkan, tetapi ketuliannya belum tentu sembuh secara sempurna. Apalagi kalau tuli saraf, karena yang mengalami kerusakan adalah saraf di dalam labirin yang sangat kecil, maka tidak bisa dioperasi dan tidak bisa disembuhkan.

12

BAB III ASUHAN KEPERAWATAN

FORMAT PENGKAJIAN ABK (ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS) Nama

:

NIM

:

Tempat Praktek

:

Pengkajian Pada Anak I.

Anamnesa

Pengkajian tanggal 14 Januari 2019 Pukul 20.00 wib 1. Identitas pasien Nama klien

:

An. M

TTL

:

Surabaya, 2 januari 2006

Jenis kelamin

:

Laki-laki

Agama

:

Islam

Suku

:

Jawa

Pendidikan

:

Alamat

:

Jln. Rungkut Asri Tengah

Diagnosa medis

:

Tuna Rungu

-

1) Identitas Penanggung Jawab Nama

:

Tn. B

TTL

:

Surabaya, 4 Maret 1987

Jenis Kelamin

:

Laki-laki

Agama

:

Islam

Suku/Bangsa

:

Jawa

Pendidikan

:

SMA

13

Alamat

:

Jln. Rungkut Asri Tengah

Hubungan Keluarga

:

Ayah Kandung

2. Keluhan utama An “E” tidak bisa mendengar sejak lahirs

3. Riwayat kesehatan a. Riwayat kesehatan sekarang

b. Riwayat kesehatan lalu

Tabel Imunisasi Jenis

BCG

DPT

Polio

Campak

Hepatitis

Usia

c. Riwayat kesehatan keluarga Ibu mengatakan didalam keluarganya tidak ada keturunan tunarungu d. Susunan genogram 3 (tiga) generasi

II.

Pemeriksaan fisik 1. Keadaan umum : -

Pasien tampak menyendiri

-

Pasien tampak kurang berinteraksi

14

-

Pasien tampak kurang bersih

2. Tanda vital Tekanan darah : Nadi

: 86x/m

Suhu

: 36ºC

Respirasi

: 22x/m

3. Kepala dan wajah : Kepala pasien tampak simetris, tidak ada benjolan,

4. Leher dan tenggorokan : Leher tidak ada benjolan , tenggorokan tidak ada peradangan

5. Dada : Simetris

6. Punggung : Punggung simetris tidak ada benjolan

7. Abdomen : Abdomen simetris tidak terdapat pembengkakan

8. Ekstremitas :

9. Genetalia: tidak di kaji

15

III.

Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan 1. Gizi

:

2. Kemandirian dalam bergaul :

IV.

V.

3. Motorik halus

:

4. Motorik kasar

:

5. Kognitif dan bahasa

:

6. Psikososial

:

Pola aktivitas sehari-hari 1. Nutrisi

:

2. Eliminasi

:

3. Istirahat/tidur

:

4. Personal hygiene

:

Data penunjang

Surabaya, 17 Januari 2018 Mahasiswa,

NIM :

19

Analisa Data No. 1.

2.

Data Subyektif dan Data Obyektif Ds : Pasien kurang jelas dalam berbicara Do : - Pasien tampak kurang berinteraksi - Pasien tampak kurang mendengar - Pasien menggunakan bahasa isyarat

Kemungkinan Penyebab fungsi pendengaran menurun

Harga diri

Ds : Pasien kurang jelas dalam berbicara Do : - Pasien tampak menyendiri - Pasien tampak kurang berinteraksi

menarik diri

Kurang aktivitas

lingkungan

Masalah

21

Prioritas Masalah 1. Harga diri b.d fungsi pendengaran menurun 2. Kurang aktivitas b.d menarik diri lingkungan

22 Intervensi/Rencana Keperawatan

No. 1.

2.

Diagnosa Keperawatan

Tujuan (Kriteria Hasil)

Intervensi/Rencana

Rasional

Harga diri b.d fungsi Setelah diberikan tindakan pendengaran menurun keperawatan selama 1x7 jam diharapkan pasien dapat menerima keadaan dirinya dengan kriteria hasil : 1. 1. Mengenai perasaan yang menyebabkan perilaku menarik diri. 2. 2. Berhubungan social dengan orang lain. 3. 3. Membina hubungan saling percaya dengan perawat

1. Kaji pengetahuan pasien tentang perilaku menarik diri dan tandatandanya. 2. Beri kesempatan pada pasien untuk mengungkapkan perasaan penyebab pasien tidak mau bergaul/menarik diri. 3. Dorong dan bantu pasien untuk berhubungan dengan orang lain. 4. Bina hubungan saling percaya dengan pasien

1. Untuk mengetahui pengetahun pasien 2. Agar pasien mampu dan mau mengungkapkan perasaannya 3. Agar pasien mampu berkomunikasi dengan orang lain 4. Agar pasien dan perawat saling percaya

Kurang aktivitas b.d Setelah diberikan tindakan menarik diri keperawatan selama 1x7 jam lingkungan diharapkan pasien dapat melakukan aktivitas tanpa kesulitandengan criteria hasil : 1. Menceritkan perasaanperasaan bosan 2. Melaporkan adanya peningkatan dalam

1. Beri motivasi untuk dapat saling berbagi perasaan dan pengelama. 2. Bantu pasien pasien untuk mengatasi perasaan marah dari berduka 3. Libatkan individu dalam merencanakan rutinitas

1. Agar pasien berbagi perasaannya 2. Agar pasien bisa mengatasi perasaan marah dalam berduka 3. Agar pasien melakukan ritunitas sehari-hari

23 aktivitas menyenangkan

yang

sehari

4. Agar pasien bisa melakukan aktivitas

sehari-hari 4. Berikan alat bantu dalam melakukan aktivitas

Implementasi dan Evaluasi Keperawatan No. 1.

2.

Hari/Tanggal, Jam Selasa, 16 januari 2018

Selasa, 16 januari 2018

No Dx 1

Implementasi

Evaluasi (SOAP)

1. Mengkaji pengetahuan pasien tentang perilaku menarik diri dan tandatandanya. 2. Memberikan kesempatan pada pasien untuk mengungkapkan perasaan penyebab pasien tidak mau bergaul/menarik diri. 3. Mendorong dan bantu pasien untuk berhubungan dengan orang lain. 4. Membina hubungan saling percaya dengan pasien

S : Pasien kurang jelas dalam betbicara

1. Memberikan motivasi untuk dapat saling berbagi perasaan dan pengelama. 2. Membantu pasien pasien untuk mengatasi perasaan marah dari berduka 3. Melibatkan individu dalam merencanakan rutinitas sehari-hari. 4. Memberikan alat bantu dalam melakukan aktivitas

P : Lanjutkan intervensi

O : - Pasien tampak kurang berinteraksi - Pasien tampak kurang mendengar - Pasien menggunakan bahasa isyarat A : Masalah belum teratasi

S : Pasien kurang jelas dalam berbicara O : - Pasien tampak menyendiri - Pasien tampak kurang berinteraksi A : Masalah belum teratasi

TTD Perawat

24 P : Lanjutkan intevensi

Related Documents

Sumerian Tuna
April 2020 27
Tuna[1]
October 2019 28
Tuna Fishery
May 2020 5
Tuna Rungu.docx
April 2020 7
Tuna Review
May 2020 3

More Documents from "Jimmy Ysuhuaylas Hinostroza"

Koper.docx
May 2020 10
Dftr Isi Ok.docx
April 2020 22
Absensi Kelompok 1.docx
April 2020 14
Cover.docx
June 2020 9
Covr Dpan.docx
June 2020 9
Poster Juga.docx
May 2020 6