Tugasutspakeko.docx

  • Uploaded by: Fulgenz Dossantos
  • 0
  • 0
  • October 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Tugasutspakeko.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 4,899
  • Pages: 20
PENGEMBANGAN BUKU ANDREW HEYWOOD (POLITIK DAN NEGARA) JUDUL YANG DIAMBIL UNTUK DI ANALISIS : ANALISIS MASA DEPAN DESENTRALISASI DIINDONSIA Tugas UTS : Teori Politik dan Pemerintahan Dosen Penganpu : Eko Priyo Purnomo, M.Res., Ph.D Nama : Prawira Yudha Pratama, NIM : 20171040026 Pascasarjana Magister Ilmu Pemerintahan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

1.

PENDAHULUAN Hasil studi empiris yang dilakukan oleh World Bank maupun IMF

menunjukkan bahwa kesuksesan desentralisasi telah meningkatkan efisiensi dan efektivitas pelayanan sektor publik, dan telah berhasil mengakomodasi dari tekanan kekuatan-kekuatan

politik.

Sebaliknya,

ketidaksuksesan

desentralisasi

telah

mengancam stabilitas ekonomi dan politik serta mengganggu penyediaan pelayanan publik (Jaya, 2010: 3). Sejumlah studi di negara maju dan berkembang termasuk Indonesia, menunjukkan bahwa berlakunya undang-undang desentralisasi telah mendorong dilaksanakannya akuntabilitas, namun juga menjadi peluang terjadinya saluran baru bagi praktik penyalahgunaan kekuasaan seperti korupsi, politik uang, lobi-lobi (lobbying), bahkan premanisme (Seymour & Turner, 2002). Selain itu, salah satu resiko dari sistem desentralisasi adalah kemungkinan terjadinya kontrol penuh oleh elit daerah (Liddle et al., 2012), dikarenakan salah satunya oleh desain kelembagaan yang dibuat tidak efisien. Berdasarkan temuan di atas, terdapat beberapa poin penting tentang realita desen-tralisasi Indonesia. Pertama, desentralisasi cenderung menciptakan distribusi peluang korupsi; kedua, bahwa Indonesia sebagai negara kesatuan tidak hanya harus

dibaca sebagai sebuah proposal untuk bersatunya Indonesia, tetapi juga dipahami sebagai niat baik untuk mengembalikan dominasi pemerintah pusat; ketiga, kebijakan morato-rium untuk pemekaran daerah tidak konsisten dan cenderung menjadi “politics as usual”; terakhir, bahwa ide utama di balik ke-bijakan desentralisasi dan otonomi daerah adalah untuk meningkatkan pelayanan publik dan demokratisasi di tingkat lokal, namun rupanya tidak sesuai dengan kenyataan yang terjadi. Hal ini mengindikasikan bahwa sejak jatuhnya rezim Orde Baru dengan desain pemerintahan sentralisasi, harapan yang be-gitu besar terhadap desentralisasi belum menunjukkan bukti nyata. Produk reformasi dengan UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 25 Tahun 1999 yang mengatur tentang pemerintahan daerah dan perimbangan ke-uangan, yang kemudian digantikan oleh UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 33 Tahun 2004, hingga perubahan terakhir dengan UU No. 23 Tahun 2014 hanya menuai berbagai masalah. Diantaranya, upaya regulasi desentralisasi tersebut untuk mengembalikan akuntabilitas vertikal tidak berhasil terwujud, akuntabilitas horizontal antara legislatif dan eksekutif di tingkat kabupaten, bahkan menjadi lumpuh (Buehler, Tan, Buehler, & Tan, 2018). Singkatnya, desain kebijakan yang seharusnya mampu mensejahterakan rakyat di daerah, tenyata banyak mengalami penyimpangan dalam kurun dua dekade pasca-reformasi. Kenyataan ini menyiratkan pertanyaan besar bagi kita semua. Apakah desentralisasi tidak benar-benar kompatibel diterapkan di Indonesia? Ataukah, dengan mempertim-bangkan konsep teoretis bahwa desentralisasi masih dan terus mencari bentuk, sejalan dengan proses balancing of power yang pa-ling cocok diterapkan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, serta sesuai dengan struktur sosial politik masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Untuk itu, tulisan ini mengidentifikasi beberapa hal pokok mengenai desentralisasi di Indonesia. Pertama, tulisan ini menguraikan refleksi teoretis dalam memahami desentralisasi dan demokrasi substantif. Kedua, tulisan ini menguraikan secara historis perkemba-ngan dan latar belakang desentralisasi Indonesia. Ketiga, menguraikan realita dan praktek

desentralisasi Indonesia di berbagai daerah. Terakhir, tulisan ini menyimpulkan seperti apa masa depan desentralisasi Indonesia. 2.

LITERATUR REVIEW BUKU ANDREW HEYWOOD

2.1 Peran Negara Setiap negara memiliki tanggungjawab yang sangat besar dalam melakukan peranannya dan fungsinya. Ada bebeberapa peranan negara yang memilki bentuk yang berbeda yang pernah dikembangkan adalah sebagai berikut: 1. Negara Minimal 2. Negara Pembangunan 3. Negara Demokrasi Sosial 4. Negara Kolektif 5. Negara Totalitarian 6. Negara Keagamaan 2.1.1 Negara Minimal Negara minimal merupakan cita-cita dari kelompok liberal klasik yang memiliki tujuan yaitu untuk menjamin perorangan atau individu untuk dapat menikmati kebebasan yang seluas mungkin. Nilai negara minimal yaitu memiliki kapasitas untuk membatasi perilaku individu manusia sehingga memilik arti untuk mencegah individu melanggar hak dan kemerdekaan dari orang lain. Fungsi dari negara minimal adalah untuk menyediakan kerangka perdamaian dan juga tatanan sosial yang mana warga negara dapat menjalankan kehidupan mereka dengan cara yang baik. Membatasi negara minimal atau yang biasa juga disebut negara malam tersebut memiliki tiga fungsi utama. Pertama negara untuk memeilihara tatanan domestik, kedua kesepakatan yang dibuat antara warga secara pribadi dapat ditegakkan, ketiga menyediakan perlindungan terhadap serangan dari luar. Negara minimal ini dikemukakan dalam debat politik modern oleh Kanan Baru yang dapat diambil ide-ide liberal permulaan dan utamnnya pada teori pasar

bebas atau ekonomi klasik. Peran ekonomi dari prespektif Kanan Baru dalam peran ekonomi dari negara seharusnya dibatasi pada dua fungsi yaitu pemeliharaan sarana pertukaran yang stabil dan mendukung kompetisi atau persaingan yang sehat melalui kontrol pada kekuatan monopoli, penetapan harga dan lain sebgainnya. Contoh negara minimal yaitu seperti inggris dan Amerika Serikat. 2.1.2. Negara Pembangunan Negara Pembangunan merupakan negara mengenai intervensi kehidupan ekonomi dengan tujuan yang spesifik untuk mendukung pertumbuhan industri dan juga untuk perkembangan ekonomi. Hal ini tidak seperti mengganti sistem pasar dengan sistem perencanaan dan kontrol sosialis melainkan membangun kemitraan dengan negara dan juga kepentingan ekonomi yang prioritas konservatif dan nasionalis. Salah satu contoh negara pembangunan yaitu jepang. Negara jepang selama periode Meiji (1868-1912) membangun sebuah hubungan dengan zaibutsu yang memiliki bisnis besar sehingga mendominasi ekonomi jepang sampai perang Dunia II. Selain jepang Model intervensi pembangunan yaitu Perancis, dimana pemerintah perancis cenderung untuk mengakui kebutuhan bagi perencanaan ekonomi dan birokrasi negara sebagai penjaga kepentingan nasional. Di negara seperti Austria , Jerman, Perkembangan ekonominya melalui pembentukan negara kemitraaan dimana pemeliharaan hubungan yang erat dengan negara dan kepentingan ekonomi utama, terutama perusahan besar dan organisasi buruh. (Scholte, 2007) mengemukakan bahwa Yang lebih mtakhir, globalisasi ekonomi telah mendorong munculnya ‘negara kompetisi’, contohnya adalah Negara-negara ekonomi macan dari Asia Timur.1 Negara kompetisi dicirikan oleh pengakuan mereka akan kebutuhan untuk

1

Negara Kompetisi adalah sebuah Negara yang menjalankan strategi untuk menjamin daya saing jangka panjang dalam sebuah ekonomi global. Ekonomi Macan adalah kekuatan ekonomi yang tumbuh cepat dan berorientasi ekspor dengan meniru model jepang: misalnya Korea Selatan, Taiwan dan Singapura.

memperkuat pendidkan dan pelatihan sebagai penjamin utama keberhasilan ekonomi dalam konteks kompetisi transnasional yang semakin ketat. 2.1.3.Negara Demokrasi Sosial Negara

demokrasi

sosial

memiliki

pandagan

untuk

menghasilkan

restrukturisasi sosial yang lebih luas, yang biasanya lebih mengacu pada prinsip keadilan, kesetaraan dan keadilan sosial.2 Seperti negara austria dan swedia intervensi negaranya di pandu oleh prioritas pembangunan dan demokrasi sosial, namun developmentalisme tidak selalu beriringan dengan demokrasi. Kunci negara demokrasi sosial yaitu dengan sebuah pergeseran dari pandangan negatif tentang negara, yang dilihat jahat untuk menuju positif yang dilihat sebagai sarana untuk memperbesar kebebasan dan mendukung keadilan. (Abdussamad, 2008) Ciri dari negara demokrasi sosial adalah Keynesianisme dan kesejahteraan sosial , tujuan dari keynesianisme untuk mengelola kapitalisme dengan pandangan untuk mendukung pertumbuhan dan memelihara lapangan kerja. Lalu kebijakan kesejahteraan bertanggung jawab luas hingga mencakup dukungan bagi kesejahteraan sosial diantara semua warga negaranya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa negara demokrasi sosial adalah negara yang memberdayakan prinsip pemberdayaan individual. 2.1.4. Negara Kolektif Negara kolektif merupakan negara yang membawa seluruh kehidupan ekonomi dibawah kontrol negara. Contoh dari negara kolektif yaitu negara-negara komunis ortodoks seperti Uni Soviet dan negara komunis eropa timur. Negara seperti ini berusaha untuk menghapus semua jenis perusahaan swasta dan membentuk ekonomi yang direncanakan secara terpusat oleh sebuah jaringan kementrian bidang ekonomi dan komite perencanaan. Pembenaran bagi kolektivisasi oleh Negara berasal

2

Keadilan sosial adalah distribusi pendapatan materi yang adil secara moral; keadilan sosial sering dianggap mengimplikasikan sebuah kecondongan pada kesetaraan.

dari sebuah prinsip sosialis fundamental bagi kepemilikan bersama akan kekyaan pribadi.3 Negara ini memiliki penggunaan untuk mencapai tujuan ini memperlihatkan sebuah sikap yang lebih positif terhadapa kekuasaan negara . Dalam Mark dan engles bahwa selama ini kediktatoran ploretarian, kontrol negara diperluas hingga mencakup perusahaan, bank, transportasi dan sebagainnya. Tetapi mereka berpandangan bahwa negara akan bersifat sementara dan akan mati ketika antagonisme telah hilang. Sebaliknya negara kolektif yang ada di Uni Soviet menjadi permanen yang akan semakin kuat dan birokratis. 2.1.5. Negara Totalitarian Negara Totalitarian merupakan esensi dari totalitarianisme yang pembentukan sebuah negara mencakup dalam segala hal yang pengaruhnya akan masuk dalam setiap aspek kehidupan manusia.4 Negara tidak hanya membawa ekonomi tetapi juga pendidikan , kebudayaan, agama dan kehidupan keluarga dan seterusnya di bawah kontrol negara secara langsung. Contoh negara totalitarian yaitu jerman hitler dan uni soviet stalin, meskipun rezim modern seperti irak saddam husein ada yang menggangap memiliki ciri-ciri yang serupa. Negara Totalitarian secara kolektif memuahkan masyarakat sipil dan juga mengahapus lingkup kehidupan privat. Dalam Negara totalitarian biasanya menganut pemahaman tentang fasisme. Yang menginginkan untuk melarutkan identitas individu kedalam kesatuan sosial yang siap secara terbuka mendukungnya. 2.1.6. Negara Keagamaan Negara keagamaan merupakan sebuah kontradiksi. Di negara-negara seperti Norwegia, Denmark dan Ingrris terdapat agama negara meskipun keistimewaan yang

3

Kolektivisasi adalah sebuah pengahapusan kepemilikan pribadi untuk mendukung kepemilikan bersama atau kepemilikan publik. 4 Totalitarianisme adalah sebuah sistem kekuasaan politik yang mencakup segala hal, melibatkan manipulasi ideologis yang meluas dan brutalis yang terbuka.

dinikmati oleh agama tersebut jauh dari kekuasaan teokratis dan pengaruh politik mereka secra umum dibatasi oleh tingkat sekularisasi sosial tinggi. Peride sejak 1980-an menjadi saksi kebangkitan negara keagamaan yang didorong oleh kecenderungan dalam fundamentallisme keagamaan. Meskipun negara keagamaan didirikan diatas landasan prinsip-prinsip kegamaan, pemerintah yang berorientasi agama yang berjalan dalam sebuah konteks yang sekularisme konstitusioanal. 2.2 Kemunduran Negara ? Sejak akhir 1980-an, debat tentang Negara dibayang-bayangi oleh pernyataan tentang penurunan dan kemunduran Negara. Sang leviathan yang pernah begitu berkuasa tampak semakin lemah, dimana otoritas Negara telah di rongrong oleh semakin besarnya pengaruh ekonomi global, pasar, perusahan besar, para pelaku nonnegara dan organisasi internasional. (Budi, 2005) Negara dan pasar sejatinya memang secara umum digambarkan sebagai kekuatan yang saling bersaing, mereka juga saling terkait dan saling melengkapi satu sama lain. Terlepas dari hal-hal lain pasar tidak dapat berfungsi tanpa adanya sistem hak kepemilikan dimana hanya Negara yang dapat membentuknya dan melindungi. Selain itu, walaupun Negara mungkin telah kehilangan otoritasnya dalam hal-hal tertentu, namun Negara mungkin juga bisa menjadi lebih kuat. Munculnya globalisasi telah merangsang sebuah debat besar tentang kekuasaan dan peran Negara dalam sebuah dunia yang mengalami globalisasi. Sebagian teoritikus telah mekmalumatkan keadaan darurat dari pemerintahan pascakedaulatan. (Scholte, 2002) mengemukakan bahwa munculnya globalisasi secara tak terelakkan diiringin oleh surutnya Negara sebagai pelaku yang bermakna.. Dalam versi yang paling ekstrim yang di kemukakan oleh perusahan-perusahaan transnasional (TNCs) bahwa Negara mengalami hiperglobalisasi dimana Negara terlihat semakin hampa dan sebenarnya tidak relevan. Para teoritikus yang lainnya menolak dengan argumen tersebut karena justru menolak globalisasi telah merubah

ciri-ciri utama dari politik dunia yaitu sebagaimana di ere-era sebelumnya bahwa Negara berdaulat adalah penentu utama dari apa yang terjadi dalam batas batas mereka. Dan tetap merupakan aktor utama diatas panggung dunia. Dalam pandangan ini globalisasi dan Negara tidak terpisahkan. Negara dan globalisasi tidak selamanya selalu menghalangi justru globalisasi diciptakan oleh Negara dan karenanya ia melayani kepentingan kepentingan rakyatnya. Diantara pandangan kedua ini terdapat pandangan yang ketiga yang mengakui bahwa globalisasi telah menghasilkan perubahan-perubahan kualitatif dalam peran dan pengaruh Negara dan dalam watak kekuasaannya

tetapi

menekankan

bahwa

perubahan-perubahan

ini

telah

mentransformasi Negara dari pada menurunkan atau meningkatkan kekuasaannya, Pasar-pasar finansial yang telah menjadi benar-benar global, dimana aliran aliran modal diseluruh dunia tampak instan artinya tidakada Negara yang dapat terhindar dari dampak krisis finansial yang terjadi dibelahan dunia lain. Jika batasbatas Negara telah menjadi lunak dan batas-batas geografis menjadi goyah, kedaulatan Negara, paling tidak dalam maknanya yang tradisional tidak lagi bertahan. Ini ada pengertian bahwa pemerintah di abad ke-21 telah benar benar dihinggapi karakter pasca-kedaulatan. Terutama sulit untuk melihat bagaimana kedaulatan ekonomi dapat direkonsialisasi dengan sebuah ekonomi global.5 Kontrol dari sebuah Negara sangatlah penting dalam perekonomian pasar, terdapat sebuah pengakuan yang semakin besar bahwa perekonomian berbasis pasar hanya dapat berjalan baik didalam sebuah konteks tatanan hukum dan social yang mana hanya Negara yang dapat menjaminnya (Fukuyama,2005) 2.3 Negara-negara gagal dan pembangunan- Negara Kegagalan Negara bukan sekedar masalah domestik. Negara gagal sering kali memiliki dampak yang lebih luas misalnya munculnya krisis pengungsi, menyediakan obat obat terlarang, para penyeludupan senjata dan organisasi5

Kedaulatan ekonomi adalah sebuah otoritas absolut dari Negara atas kehidupan ekonomi nasional, melibatkan kontrol independen dalam kebijakan-kebijakan fiscal dan moneter, dan kontrol atas perdagangan dan aliran modal.

organisasi teroris, yang memunculkan ketidakstabilan regional dan terkadang memancing intervensi eksternal yang menyebabkan ketergantungan terhadap pihakpihak luar untuk menjaga kesetabilan. (Khurun, Tulisan, Transition, & Binadamai, 2006) Dalam ini dapat penekanan besar pada pembangunan-negara, yang secara khas diasosiasikan dengan proses pembangunan perdamaian dan usaha usaha untuk mengatasi sebab-sebab struktural yang mendalam dari sebuah kekerasan yang terjadi dalam situasi-situasi pasca konflik.6 Pentingnya sebauah peran pemerintah dalm lembaga-lembaga struktural didalam bangkitnyasebuah Negara karena pada dasarnya pemerintah bertanggungjawab penuh didalam majunya Negara atau gagalnya sebuah Negara. Perlunya transformasi untuk melakukan perubahan dibidang kelembagaan dirasa sangat perlu agar sebuah Negara mampu mempertahankan eksistensinya dalam sebauh kekuasaan dan kedaulatan. Dalam bukunya Francis Fukuyama mengatakan bahwa sebuah Negara gagal bukan disebabkan oleh berbagai hal namun ada hal yang salah didalam kelembagaanya dan politik dalam sebuah Negara tersebut. (uyat suyatna, 2009) Ini jelas bahwa sebuah Negara bisa kembali bereksistensi diperlukan transformasional didalam kelembagaanya dan perlunya kerjasama yang medasar dari pasar dan masyarakat demi terjagannya stabilitas perekonomian sebuah Negara. 3. ANALISIS MASA DEPAN DESENTRALISASI DIINDONSIA 3.1 REALITAS DESENTRALISASI DAN KENDALA Konsep-konsep yang telah diuraikan sebelumnya dimana terkait adanya pengaruh globalisasi Negarapun harus terikut untuk merubah sistem kelembagaannya dan sistem pemerintahanya demi terciptanya efektifitas dan efesiensi didalam roda pemerintahan,dan tulisan diatas menjadi sudut pandang tulisan ini dalam melihat realita desentralisasi di Indonesia. Pada bagian uraian ini, tulisan ini mendeskripsikan berbagai hasil studi dan in-formasi dari media terkait dengan realita desentralisasi. 6

Pembangunan-Negara: pembangunan sebuah Negara agar dapat berfungsi dengan baik melalui pembentukan lembaga-lembaga yang abash untuk merumuskan dan menimplementasikan kebijakan di area-area penting pemerintahan.

Tulisan ini menyadari perlunya analisis secara komprehensif dan menyeluruh, sebelum mengambil kesimpulan tentang masa depan desentralisasi Indonesia. Baik itu dari segi politik (kewenangan), ekonomi (perimbangan keuangan), administrasi (birokrasi), hukum, sosial budaya, tekanan global (lembaga donor dan politik luar negeri), dan lain sebagainya. Akan tetapi, berbagai kendala dan keterbatasan waktu, menjadikan tulisan ini hanya fokus pada be-berapa aspek saja. Untuk itu, tulisan ini menguraikan beberapa kasus yang dianggap penting terkait dengan desentralisasi, seperti dalam analisa tulisan ini berikut ini. Sebagaimana penjelasan sebelumnya, selain mengatur tanggung jawab antara berbagai tingkat pemerintahan, UU desentralisasi juga mengatur prosedur kelembagaan baru untuk pemilihan langsung kepala daerah (Pilkada). Sebagai hukum yang digariskan, gubernur, bupati dan walikota dipilih secara langsung oleh rakyat untuk pertama kalinya pada tahun 2005 hingga yang baru saja dihelat secara serentak di 264 daerah pada 2015. Dalam Pilkada, kandidat dapat mencalonkan secara perseorangan atau dicalonkan oleh partai yang telah menerima dukungan partai, baik sendiri atau dalam koalisi, berdasarkan hasil dalam pemilu nasional. Secara teoretis, urgensi pilkada langsung adalah instrumen penting mewujudkan desentralisasi, dimana terdapat pemerintahan lokal yang terpilih secara demokratis dan semakin efektif dalam mengupayakan kesejahteraan masyarakat. Para akademisi masih percaya bahwa pemilihan secara langsung merupakan cara yang lebih baik dalam mewujudkan pemerintahan lokal berdasarkan kedaulatan masyarakat. Diantaranya pendapat dari Brian Smith dan juga Arghiros Menurut Smith, negara yang menghasilkan pemimpin lokal berdasarkan pemilihan secara langsung merupakan prasyarat paling penting dalam mewujudkan pemerintahan lokal yang bertanggung jawab dan responsif. Sedangkan Arghiros menyimpulkan bahwa desentralisasi merupakan cara dalam mereduksi kekuasaan pemerintahan pusat, dan pemilihan langsung merupakan cara untuk mencapai pemerintahan lokal yang bertanggung jawab dan responsif. Meskipun begitu, tidak sedikit dari para ilmuan

yang berpendapat bahwa desentralisasi dan pemilihan langsung tidak ada kaitannya dalam mewujudkan pemerintahan lokal yang demokratis. Bagaimana dengan Indonesia? Dalam prakteknya, desentralisasi dan Pilkada telah disertai dengan munculnya preman (gang-ster), penyebaran politik uang dan korupsi di daerah (Hadiz, 2005; Hidayat, 2009) . Persaingan, pertengkaran, dan perkelahian untuk mengendalikan kekuasaan desentralisasi dan sumber daya telah terjadi. Kadang-kadang menyebabkan kompromi di mana elit berbagi “sepotong kue” bersama-sama. Dalam pers-pektif lain, melihat bahwa desentralisasi dan Pilkada telah memungkinkan berkembangnya masyarakat sipil lokal dan kemunculan elit-elit lokal lama seperti birokrat masa lalu, pemimpin etnis, dan bangsawan di daerah (Liddle et al., 2012). Persoalan kedua adalah korupsi. Gelombang terakhir desentralisasi di seluruh dunia termasuk Indonesia menyajikan tantangan khusus untuk memerangi korupsi. Tidak hanya desentralisasi mentransfer lebih banyak sumber daya untuk lembaga lebih jauh dari pusat, tetapi juga banyak orang memiliki peran dalam memutuskan bagaimana sumber daya tersebut digunakan. Di beberapa daerah yang ditandai oleh elit lokal yang kuat, neo-patrimonialisme dan juga hubungan patronase, menjadikan desentralisasi berisiko adanya penangkapan sumber daya oleh elit lokal (Hidayat, 2007; 2009). Hasil Survey Political and Economic Risk Consultancy (PERC) tahun 2010 menetapkan Indonesia sebagai negara terkorup dari 16 negara Asia Pasific. Di ASEAN pun Indonesia masih sebagai nega-ra terkorup dengan nilai skor korupsi (8,32), disusul Thailand (7,11), Kamboja (7,25), Vi-etnam (7,11), Filipina (7,0), Malaysia dan Singapura (1,07) (Jaya, 2010: 5). Bahkan, data awal tahun 2013 dari Departemen Dalam Negeri menunjukan hampir 300 gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota sedang dihadapkan pada persoalan hukum terkait korupsi (Lay, 2013). Realita selanjutnya adalah kasus pemekaran di era desentralisasi yang bagaikan cendiawan dimusim hujan. Harapan akan optimalisasi pemerintahan dengan mendekatkan masyarakat pada pelayanan publiik, tenyata menuai dissubtantif

desentralisasi. Berbagai bias dari tujuan subtantif desentralisasi terjadi dalam level nasional dan loKal (Choi, 2018). Di daerah, bias pemekaran berdasarkan pada: (1) politik identitas etnis; (2) politik identitas agama; (3) politik kontestasi elite lokal; (4) politik pengembalian kejayaan sejarah; (5) politik involusi administrasi; (6) politik free rider (di-tunggangi); dan (7) politik uang. Di level pusat, bias pemekaran daerah yakni: (1) politik penghisapan sumber daya lokal; (2) politik mencari popularitas; (3) politik partai meme-nangkan pemilu; dan (4) politik uang. Kesimpulannya bahwa dari salah satunya bahwa pemekaran daerah merupakan dampak kontestasi elite lokal. Elite lokal yang kalah bersaing di pilkada, tidak mendapat kursi di DPRD, dan birokrasi, mempelopori usulan pemekaran daerah. Dalam beberapa kasus, ada juga karena kala-ngan intelektual kalah bersaing di kampus, maka mengusulkan pemekaran di daerah asalnya, seperti kasus Mentawai (Sumatera Barat). Selain itu, pemekaran daerah hanyalah merupakan entitas untuk memunculkan kejelasan identitas agama dominan dalam sebuah wilayah administrasi. Polemik selanjutnya adalah menjamurnya konflik vertikal dan horisontal diberbagai daerah. Bukti dari berbagai studi menunjukkan bahwa meskipun desentralisasi dapat menjadi mekanisme mitigasi konflik yang berguna dengan mengakomodasi keragaman dan mengelola keluhan historis dengan pemerintahan terpusat, desentralisasi dalam beberapa kasus menghasilkan ketegangan baru dalam hubungan komunal, etnis dan agama. Proses desentralisasi berinteraksi dengan dinamika konflik dengan merangsang perubahan demografis dan menciptakan insentif bagi elit lokal dalam bersaing untuk kekuasaan dan sumber daya dengan memobilisasi identitas kelompok (Rahmawati, 2015). Desentralisasi di Indonesia telah men-ciptakan kompetisi gerakan antara koalisi komunal di daerah yang didominasi oleh kegiatan negara bayangan. Dipicu oleh proses sejarah dan politik modern terutama urbanisasi, pembentukan negara, developmentalisme, dan klientelisme. Tidak berhenti sampai disitu, konflik pusat-daerah dalam hal perimbangan keuangan maupun pengelolaan sumberdaya juga terjadi dibeberapa daerah. Di

Provinsi Kalimantan Timur, konflik vertikal terjadi dalam masalah bagi hasil antara daerah penghasil dan pemerintah pusat. Kebijakan desentralisasi yang diikuti oleh desentralisasi fiskal membuat pembagian pendapatan yang diperoleh berdasarkan UU 33/2004 tentang perimba-ngan keuangan dirasa tidak adil bagi daerah, karena tidak sebanding dengan dampak dan tidak ada korelasi positif terhadap kesejahteraan masyarakat (Kurniati, 2012: 16). Selain itu, konflik juga tejadi dalam persaingan untuk menjadi pemilik tunggal saham Newmont Nusa Tenggara. Pemerintah pusat bersama pemerintah daerah, dan DPR bersaing untuk mendapatkan 31% saham Newmont Nusa Tenggara, perusahaan multinasional yang beroperasi di tambang tembaga dan emas. DPR mencoba untuk memblokir pembelian saham Newmont oleh pemerintah, dengan meminta bantuan dari BPK untuk mendukung klaim mereka (Kurniawati, 2012). Point utama dari penjelasan ini adalah realita desentralisasi menghadirkan cukup ba-nyak kendala yang dapat memicu adanya rencana perubahan format ataupun desain dari regulasi yang telah ada. Kemungkinan ini sangat besar, mengingat bahwa berbagai Undang-Undang sejak Decentralisatie Wet 1903 sampai UU No. 23/2014 telah terjadi perpu-taran bolak balik antara model efisiensi administratif dan demokratisasi lokal. Hanya saja, situasi politik yang sedang terjadi pada

masa

lalu,

mendasari

perubahan-perubahan

tersebut.

Urusan-urusan

pemerintahan yang diserahkan kepada pemerintah daerah yang diperluas atau dipersempit tergantung pada perkembangan politik nasional. Berbeda kali ini, kemungkinan disorientasi dari implemen-tasi seperti yang diuraikan sebelumnya menjadi alasan utama perubahan desain desentralisasi di Indonesia kedepannya. Namun, sejatinya bagaimana sebaiknya langkah yang perlu kita ambil menyikapi ma-salah-masalah dalam desentralisasi. Isu yang telah berkembang tentang desain desentralisasi, ketika ditelisik lebih jauh, belum men-cerminkan peningkatan harapan akan demokrasi subtantif, bahkan cenderung menjauh. Pelembagaan dalam sektor-sektor vital masyarakat, sehingga keputusan tidak diambil sepihak oleh elit, di mana semakin menjauhkan masyarakat untuk memainkan peran

nyata dalam menjalankan urusan politik dan pengambilan kebijakan. Apa yang kita butuhkan

saat

ini

bukanlah

prosedural

semata,

namun

bagaimana

menginstitusionalisasikan partisipasi politik warga negara, kekuatan kritis masyarakat sipil, transparansi dalam proses kebijakan, serta adanya akuntabilitas kepada rakyat. Biarkanlah rakyat Indonesia terus belajar menjadi demos yang baik, walaupun dengan tertatih-tatih. Kalaupun, perubahan itu harus, kita mestinya memperhatikan tawaran dan strategi yang masih mengutamakan masyara-kat sebagai orientasi utama, sesuai dengan karakteristik bangsa Indonesia. 3.2 DESENTRALISASI ASIMETRIS BUAT INDONESIA KEDEPANNYA Desentralisasi saat ini pada dasarnya terkait dengan aspek politik dan administrasi, di mana pemerintah pusat telah menyerahkan wewenang lebih kepada pemerintah daerah dan provinsi, namun masih enggan melepaskan aset negara ke tingkat yang lebih rendah dari pemerintah, terutama perusahaan milik negara, dengan alasan bahwa sebagian besar pemerintah daerah tidak mampu untuk mengelola, karena kurangnya kapasitas. Kehadiran UU desentralisasi merupakan hasrat untuk memenuhi spirit reformasi hubungan pusat dan daerah. Namun pada realitanya berbagai polemik telah terjadi. Hal ini memicu para policy maker untuk mengambil kesimpulan lain yang barangkali mungkin akan menghilangkan subtansi demokrasi. Realita implementasi seperti yang telah diuraikan sebelumnya, mengajak kita untuk berpikir dan mengevaluasi kembali, tawaran dan strategi terbaik yang akan dijalankan. Evaluasi yang dilakukan oleh Cornelis Lay berdasarkan hasil kajian Jurusan Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM, mengatakan bahwa mayoritas gagasan penyelesaian yang ditawarkan, terjebak pada argumentasi yang melebih-lebihkan sentralitas dari persoalan teknokratik, mengabaikan akar masalah yang justru terletak pada cara pandang kita sebagai bangsa dalam melihat desentralisasi. Kebanyakan usulan melihat persoalan di sekitar desentralisasi dan otononmi daerah sebagai akibat logis dari kegagalan teknokratik; dan karenanya, pemecahan yang ditawarkan juga

bergerak ke arah tersebut. Menurut (Lay, 2012), usulan yang telah berlalu mengenai pengembalian kewenangan DPR Provinsi se-bagai institusi untuk menghasilkan gubernur (sama dengan UU 22/1999); gagasan “pem-birokratan wakil gubernur”; usulan untuk memberikan “perlindungan legal bagi prakarsa inovatif kepala daerah” yang konon merupakan penjelas penting dari banyaknya kepala daerah yang terjerat kasus korupsi; dan masih banyak lainnya, merupakan paradigma iniformitas. Paradigma uniformitas menafikan fakta keragaman yang melekat dalam daerahdaerah dan sekaligus menafikan kepentingan nasional dalam kerangka desentralisasi, seperti kepentingan untuk menjaga keutuhan negara atau meningkatkan derajat competitiveness suatu bangsa (Lele, 2012). Untuk itu dibutuhkan sebuah paradigma baru. Paradigma tersebut dikenal sebagai asymetrical decentralization. Konsep ini merupakan cara berpikir baru yang menekankan pada adanya kebutuhan untuk memperhatikan perbedaan antar daerah dan keunikan masing-masing daerah, sekaligus kepentingan obyektif Indonesia sebagai sebuah negara bangsa sebagai dasar untuk merancang kebijakan desentralisasi ke depan (Lay, 2012). Desain asymetrical decentrali-zation diilhami oleh pengalaman di berbagai negara, antara lain pengalaman India (Jammu Kashmir), Pakistan (Gilgit-Baltistan), Spanyol (Basque Country, sejak 1839), Cina (Kunshan, Hongkong, Macao), Filipina (Mindanao, Cor-dillera sejak 1990), Meksiko (Chiapas), Kana-da (Quebec, Nunavut), Perancis (Corsica, Brit-tany), Italia (Sardinia, Trentino Alto Adige, Friuli Venezia Giulia, Valle d’Aosta), Thailand (Pattani), Korsel (Pulau Jeju), dan lain se-bagainya. (Lay, 2012) Indonesia dengan fakta sosiologis masyarakat yang plu-ral, nature dari

geopolitik,

geoekonomi,

dan

geostrategis

merupakan

insentif

untuk

mengembangkan model asymetrical decentralization kedepannya. Desain kebijakan ini dimaksudkan untuk menjawab tantangan-tantangan atau untuk mencapai tujuantujuan yang secara tipologis dapat dibedakan ke dalam lima tipe berikut ini. Pertama, tantangan yang bersifat politik, sebagai strategi kebijakan untuk mempertahankan basic boundaries unit politik suatu negara. Dimaksudkan untuk meredakan ancaman

dari adanya gerakan separatis bersenjata maupun gerakan sesionist dalam sebuah negara bangsa. Kedua, sebagai instrumen kebijakan untuk mengakomodasi keunikan budaya dan perbedaan alur kesejarahan, termasuk dalam kerangka perlindungan kaum minoritas dan manajemen konflik. Ketiga, kebijakan untuk menjembatani tantangan yang bercorak sistem teknokratik managerial yakni keterbatasan kapasitas suatu daerah atau suatu wilayah dalam menjalankan fungsi dasar pemerintahan. Keempat, kebijakan yang dirancang untuk memperkuat kapasitas competitiveness sebuah negara bangsa dalam kerangka persaingan global dan regional. Kelima, kebijakan yang dirancang sebagai instrumen untuk meminimalisasi “resiko”, misalnya bagi kawasan-kawasan perbatasan yang mengandung resiko bagi keamanan negara dan keutuhan teritorial negara-bangsa, kawasan dengan resiko pengulangan bencana yang tinggi, ataupun kawasan dengan siklus “rawan pangan” yang tinggi. Kelima model tersebut dapat diterapkan dalam beberapa kawasan atau daerah di In-donesia. Diantaranya, didasarkan atas pertimbangan konflik dan separatisme, misalnya Aceh dan Papua; pengembangan ekonomi, misanya di Batam; daerah perbatasan, misalnya Kalimantan Barat; kultural, misalnya di Yogyakarta; dan ibu kota negara yakni DKI Jakarta (Aspinall, 2018). Tulisan ini menawarkan beberapa daerah yang juga layak dipertimbangkan antara lain dengan pertimbangan kawasan perbatasan dan percepatan pembangunan seperti di Nusa Tenggara Timur, dan pengembangan pariwisata secara global seperti di Bali dan Lombok. (Eko Priyo Purnomo, 2012) demokrasi harus bergantung pada komunitasnya dan tidak dapat digeneralisasikan. Dimana contoh praktis dari demorasi asimetris yang dilaksanakan oleh Daerah istimewa Yogyakarta. Di Indonesia, ada pemilihan reguler setiap lima tahun. Dalam acara ini, masyarakat Yogyakarta memilih siapa lokal (distrik, provinsi), anggota senator nasional dan Presiden, tetapi mereka tidak memilih Gubernur mereka. Gubernur mereka adalah Raja yang dimahkotai. Karena menerapkan keyakinan demokrasi, pemerintah pusat mengusulkan orang-orang YSP untuk memilih gubernur mereka. Ide ini mengungkap banyak perdebatan baik di

tingkat nasional maupun di tingkat Regional. Sebagai hasilnya, makalah ini menjelaskan wacana tentang Pemilihan Gubernur di YSP dan menekankan kebutuhan orang YSP. Bagian terakhir menunjukkan demokrasi asimetris yang dapat diimplementasikan sebagai solusi atas krisis politik di Yogyakarta. Desentralisasi asemtris adalah salah satu bentuk terwujudnya penerapan demokrasi yang baik yaitu menciptakan efektifitas dan efesiensi penyelenggaraan Negara, dan sebagi bentuk untuk memperkokoh demokrasi ditingkat lokal. 1.

KESIMPULAN Realita Indonesia menceritakan hubungan antara desentralisasi dan demokrasi

subtantif, dalam beberapa hal, bermasalah. Apa yang diharapkan (Manor, 2011), tentang tiga hal yang sangat penting bagi desentralisasi demokratis untuk bekerja dengan baik, masih belum sepenuhnya terkabulkan. Pertama, kekuasaan yang sangat besar harus diserahkan ke badan-badan terpilih di tingkat bawah. Kedua, sumber daya yang substansial akan diserahkan ke pemerintah daerah. Ketiga, mekanisme akuntabilitas harus dikembangkan untuk memastikan dua jenis akuntabilitas: akuntabilitas horizontal, antara birokrat dengan wakil rakyat; dan akuntabilitas vertikal, antara pemerintah dan rakyat. Secara teoretis, jika salah satu dari ketiga hal penting ini tidak ada, sistem akan gagal. Jika ada, tapi lemah, sistem akan bekerja kurang baik. Undang-undang desentralisasi

di

Indonesia,

masih

ragu-ragu dalam

menjalankan strategi diatas. “Fluktuasi regulasi” seperti yang terlihat dalam UU 22/1999, UU 32/2004, dan UU 23/2014, mengindikasikan keraguan yang dimaksud. Letak permasalahan utama saat ini berada pada elit nasional. Keberanian dan legowo memberikan sebagian kekuasaannya kepada daerah, memung-kinkan substansi demokrasi akan memulai derap langkahnya. Tulisan ini menyadari bahwa, kesiapan daerah dalam banyak kasus dengan kekuasaan yang diberikan, justru dikooptasi oleh sekelompok elit. Akan tetapi, kita pun perlu menyadari, demokrasi adalah “gadget baru” bagi masyarakat Indonesia.

Sebagai-mana buku petunjuk elektronik, masyarakat masih terus belajar membaca dan memprak-tekkannya. Sehingga mampu menjadi katalisator hadirnya dominasi elit di level nasional dan lokal. Beberapa hal, yang telah menunjukkan hasil: di level nasional, sistem kepar-taian di Indonesia saat ini sangat kompetitif, ini ditandai dengan tidak adanya partai dominan dalam tiga rangkaian pemilu terakhir; kebebasan pers; budaya akuntabilitas telah mulai muncul (public sphere), ditandai masyarakat mulai berani mengkritisi para wakilnya; dan penanganan korupsi yang semakin masif. Kesimpulannya diperlukan adanya budaya akuntabilitas vertikal sebagai salah satu faktor dalam keberhasilan desentralisasi demokratis di Indonesia. Akuntabilitas ini merupakan persoalan utama, dimana 10 ta-hun dari proses perkembangan demokrasi lokal di Indonesia tampaknya berhenti pada tahap bayi, yang yang diakibatkan oleh “broken linkage”, dimana kekuatan perantara modern gagal untuk melakukan fungsinya dalam menghubungkan demos dengan urusan publik, dan cenderung menciptakan jarak. Hipotesis umum dalam tulisan ini adalah bahwa tujuan dan manfaat desentralisasi akan dirasakan sampai batas signifikan ditentukan oleh partisipasi politik warga negara yang tinggi dan akunta-bilitas pemerintahan. Salah satu tawaran signifikan dan paling mungkin akan hal tersebut adalah desain desentralisasi asimetris yang bertujuan meningkatkan partisipasi masyarakat lokal di daerah. Hal ini juga memerlukan komunitas politik aktif yang mampu ber-partisipasi secara langsung maupun tidak langsung dalam menciptakan akuntabilitas pemerintahan di daerah. Singkatnya, ujung dari tawaran, strategi dan kebutuhan tersebut adalah menghadirkan democratic behavior, point penting institusionalisasi demokrasi subtantif.

DAFTAR PUSTAKA

JURNAL Abdussamad, Z. (2008). No Title. TANTANGAN DAN PROSPEK KOMUNIKASI POLITIK INDONESIA DALAM NEGARA KESEJAHTERAAN, 5(September), 136–146. Aspinall, E. (2018). Democratization and Ethnic Politics in Indonesia : Nine Theses, 11(2), 289–319. Budi, W. (2005). BAGAIMANA DENGAN INDONESIA BAGAIMANA DENGAN INDONESIA. Globalisasi Dan Krisis Pembangunan. Buehler, M., Tan, P., Buehler, M., & Tan, P. (2018). Party-Candidate Relationships in Indonesian Local Politics : A Case Study of the 2005 Regional Elections in Gowa , South Sulawesi Province, 84(84), 41–69. Choi, N. (2018). Local Political Elites in Indonesia : “ Risers ” and “ Holdovers ” Author ( s ): Nankyung Choi Source : Sojourn : Journal of Social Issues in Southeast Asia , Vol . 29 , No . 2 ( July 2014 ), pp . Stable URL : http://www.jstor.org/stable/43187015 Local Po, 29(2), 364–407. Eko Priyo Purnomo, T. S. (2012). Asymmetric Democracy in Indonesia; Democracy without Governor Direct Election. Department of Governmental Studies, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Indonesia., 1–9. Khurun, I., Tulisan, A., Transition, D., & Binadamai, P. (2006). Tantangan Binadamai : Kegagalan Demokratisasi Pasca Konflik. Kurniawati, T. (2012). Konflik dalam Penentuan Dana Bagi Hasil antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Propinsi Kalimantan Timur, 16. Lay, C. (2012). Democratic Transition in Local Indonesia : An Overview of Ten Years Democracy, 15, 207–219. Lele, G. (2012). The Paradox of Distance in Decentralized Indonesia, 220–231. Liddle, R. W., Basri, F., Gn, A. A., Dwipayana, A., Hamid, U., & Priyono, A. E. (2012). DEMOKRASI DI INDONESIA Sebuah Perdebatan. Manor, J. (2011). Perspectives on Decentralization, (3). Rahmawati, D. (2015). DEMOKRASI DALAM GENGGAMAN PARA PEMBURU RENTE (STUDI KASUS ASAHAN SUMATERA UTARA) Desi Rahmawati,

1(2), 86–102. Scholte, J. A. (2002). “ What Is Globalization? The Definitional Issue – Again.” CSGR Working Paper, (109), 1–34. Scholte, J. A. (2007). Defining Globalization. Clm.economía, 10, 15–63. Seymour, R., & Turner, S. (2002). OTONOMI DAERAH : INDONESIA ’ S DECENTRALISATION EXPERIMENT, 2, 33–51. uyat suyatna. (2009). Strong Political Support . Kondisi Empiris Dan Tantangan Administrasi Negara Dimasa Depan, 184. BUKU Heywood, Andrew. Politik. Jakarta: Pustaka Pelajar. 2014. Jaya, W. K. Kebijakan Desentralisasi di Indonesia dalam Perspektif Teori Ekonomi Kelembagaan. Pidato Pengukuhan Jabatan. 2010

More Documents from "Fulgenz Dossantos"

Tugasutspakeko.docx
October 2019 3