TUGAS UAS SISTEM PERKEMIHAN UROLITHIASIS
Disusun Oleh :
NAMA
: HERLIN FERLINA
NPM
: 1726010093P
DOSEN
: Ns.Rafidaini Sazarni Ratiyun,S.Kep,M.Kep
Program Studi S1 Keperawatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Tri Mandiri Sakti Bengkulu 2017
Tinjauan Pustaka 1. Konsep Teori a. Definisi Urolithiasis mengacu pada batu (kalkuli) disaluran kemih. Batu berbentuk disaluran kemih ketika konsentrasi zat dalam urine seperti kalsium oksalat, kalsium fosfat, dan asam urat meningkat. Batu memiliki ukuran beragam dari deposit granular kecil hingga sebesar buah jeruk. Faktor yang mendukung pembentukan batu antara lain infeksi, stasis urin, dan periode imobilitas, semuanya akan memperlambat drainase ginjal dan mengubah metabolisme kalsium. Masalah lebih sering terjadi dalam dekade ketiga sampai kelima kehidupan dan lebih banyak dialami oleh para pria dari pada wanita (Brunner & Suddarth. 2013) Urolithiasis /Batu Saluran Kemih (BSK) atau Batu Ureter adalah penyakit dimana didapatkan batu didalam saluran kemih, yang dimulai dari kaliks sampai dengan uretra anterior (Nursalam dan Fransisca, 2008) Batu ureter merupakan keadaan terdapatnya batu (kalkuli) di ureter. Kondisi adanya batu pada ureter memberikan gangguan pada sistem perkemihan dan memberikan berbagai masalah pada pasien (Muttaqin & Sari, 2012) b. Etiologi Penyebab urolithiasis di bagi mejadi dua yaitu : a) Faktor endogen Yaitu faktor genetik misalnya hipersistinuria, hiperkalsiuria primer dan hiperoksaluria primer b) Faktor eksogen Yaitu faktor lingkungan, makanan, infeksi, dan kejenuhan mineral didalam air minum (Suharyanto, dan Madjid, 2009). c) Gangguan aliran kencing (urin) d) Infeksi saluran kemih e) Kekurangan cairan (seperti pada penderita diare yang kekurangan cairan) (Nursalam dan Fransisca, 2008) c. Manifestasi Klinis Manifestasi klinis adanya batu dalam traktus urinarius tergantung pada adanya obstruksi, infeksi dan edema. Ketika batu menghambat aluran urine terjadi
obstruksi menyebabkan peningkatan tekanan hidrostatik dan distensi piala ginjal serta ureter proksimal. Infeksi yang disertai menggigil, demam dan dysuria dapat terjadi dari iritasi batu yang terus menerus. Batu yang terjebak di kandung kemih biasanya menyebabkan gejala iritasi dan berhubungan dengan infeksi traktus urinariusdan hematuria. Jika batu menyebabkan obstruksi pada leher kandung kemih akan terjadi retensi urine (Smeltzer & Bare, 2001) Manifestasi yang lain diantaranya : bergantung pada ada/ tidaknya obstruksi, infeksi, dan edema. Gejala berkisar dari ringan hingga nyeri hebat dan ketidaknyamanan. Batu di dalam pelvis renalis : 1) Nyeri yang intens dan dalam diarea kostovertebral 2) Hematuria dan piuria 3) Nyeri yang menyebar kesisi anterior (kedepan) dan kebawah menuju kandung kemih pada wanita dan menuju testis pada pria 4) Nyeri akut, mual, muntah, nyeri tekan diarea kostovertebral (kolik renal) 5) Ketidaknyamanan abdomen ,diare Kolik ureter (Batu terperangkap didalam ureter) : 1) Nyeri akut, parah, kolik,seperti gelombang, yang merambat dari paha kegenitalia 2) Sering mengalami desakan berkemih, tetapi hanya sedikit urin yang keluar, biasanya urin bercampur darah karena gesekan yang disebabkan oleh batu ( dikenal sebagai kolik ureter) Batu yang terperangkap didalam kandung kemih : 1) Gejala iritasi yang berkaitan dengan infeksi saluran kemih dan hematuria 2) Retensi urin, jika batu menyumbat leher kandung kemih 3) Kemungkinan urosepsis jika infeksi terjadi bersama dengan batu. (Brunner & Suddarth. 2013) d. Patofisiologi Mekanisme pembentukan batu ginjal atau urologi belum diketahui secara pasti. Berbagai faktor mempengaruhi proses pembentukan batu. Faktor utama yaitu supersaturasi filtrat. Faktor lain yaitu PH urine, stasis urine dan deficiensi
faktor penghambat pembentuk batu. Batu terbentuk dari calsium, phospat, oxalat, asam urat, struvit dan kristal cystine. Dan yang paling banyak adalah batu calsium yaitu calsium phopat dan calsium oxalat. Batu asam urat dibentuk dari pengaruh metabolisme purine, batu struvit terbentuk karena akibat dari ure splitting bacteri dan mengandung magnesium, phospat dan amonium. Batu cystine terbentuk dari crystal cystine sebagai akibat dari defek tubulur renal. Ketika filtrat yang harus diekskresikan semakin meningkat konsentrasinya, keadaan ini sangat mendorong terjadinya keadaan supersaturasi. Contohnya sebagai efek immobilisasi yang lama dapat menyebabkan mobilisasi calsium dari tulang sehingga kadar serum kalsium meningkat yang berdampak terhadap beban yang harus diekskresikan. Jika intake cairan tidak adekuat akan terjadi supersaturasi dan akan terbentuk batu, lebih banyak batu kalsium. PH urine dapat meningkatkan atau melarutkan batu saluran kemih. Batu asam urat cenderung terbentuk pada keadaan urine yang asam. Batu struvit dan kalsium phosfat cenderung terbentuk pada keadaan urine yang alkali. Batu kalsium oxalat tidak dipengaruhi oleh PH urineBatu yang terlalu besar di dorong oleh peristaltik otot-otot sistem pelvikalises dan turun ke ureter menjadi batu ureter.tenaga peristaltik ureter mencoba untuk mengeluarkan batu hingga turun ke kandung kemih .batu yang ukurannnya kecil (<5mm) pada umumnya dapat keluar sponran, sedangkan yang lebih besar sering kali tetap berada di ureter dan menyebabkan reaksi peradangan, serta menimbulkan obstruksui kronis berupa hidronefrosis dan hidroureter. Batu dibentuk di ginjal dan menuju ureter dan turun kedalam vesika urinaria. Sering kali batu tersangkut di sudut uretepelvie ataupun dilekukkan uretero visikal. Bila batu menyumbat dan menghambat aliran urine menyebabkan dilatasi ureter sehingga terjadi keadaan hidroureter. Rasa nyeri karena spasme ureter terasa sangat berat dan seperti diremes atau ditusuk dan dapat menyebabkan shock. Dapat juga klien mengalami hematuria karena kerusakan lapisan urethelial. Jika obstruksi tidak segera diatasi atau dihilangkan, urin stasis dapat menyebabkan infeksi dan secara bertahap mengganggu fungsi ginjal pada bagian yang dipengaruhi. Obstruksi terus menerus dapat menyebabkan hidroneprosis atau pembesaran ginjal.
e. Pathway Terlampir f. Penatalaksanaan 1) Penatalaksanaan Medis a) Pengurangan nyeri Tujuan segera dari penanganan kolik renal atau ureteral adalah untuk mengurangi nyeri sampai penyebab dapat dihilangkan. Morfin atau periden untuk mencegah syok dan sinkop akibat nyeri yang luar biasa. mandi air Panas atau air hangat di area panggul dapat bermanfaat. Cairan diberikan, kecuali pasien mengalami muntah atau menderita gagal jantung kongestif atau kondisi lain yang memerlukan pembatasan cairan. Ini meningkatkan tekanan hidrostatik pada ruang di belakang batu sehingga mendorong pasase batu tersebut ke bawah. Masukan cairan sepanjang hari mengurangi konsentrasi kristaloid urine, mengencerkan urin dan menjamin urine yang besar. b) Pengangkatan batu Pemeriksaan sistoskopik dan pasase kateter ureteral kecil untuk menghillangkan batu yang menyebabkan obstruksi (jika mungkin), akan segera mengurangi tekanan belakang pada ginjal dan mengurangi nyeri. Ketika batu telah ditemukan , analisis kimiawi dilakukan untuk menetukan komposisinya. Analisis batu dapat membuktikan indikasi yang jelas mengenai penyakit yang mendasari. Sebagai contoh, batu kalsium oksalat atau kalsium fosfat biasanya menunjukkan adanya gangguan metabolisme kalsium atau fosfat, sedangkan batu urat menunjukkan adanya gangguan metabolisme asam urat. Batu struvit (batu infeksi) terdapat sekitar 15% dari seluruh batu urinarius. Agens antibacterial spesifik diberikan jika terjadi infeksi. c) Terapi nutrisi dan medikasi Terapi nutrisi berperan penting dalam mencegah batu renal. Masukan cairan yang adekuat dan menghindari makanan tertentu dalam diet yang merupakan bahan utama pembentuk batu (misalnya kalsium) efektif untuk mencegah pembentukan batu atau lebih jauh meningkatkan
ukuran batu yang telah ada. Setiap pasien batu renal harus minum paling sedikit 8 gelas air sehari untuk mempertahankan urine encer, kecuali dikontraindikasikan. Batu kalsium mengandung kalsium yang berkombinasi dengan fosfat atau substansi lain. Pada pasien ini, pemgurangan kandung kalsium dan fosfor dalam diet dapat membantu mencegah pembentukan batu lebih lanjut. Urine dapat menjadi asam dengan pemakaian medikasi seperti amonium klorida atau asam asetohidroksamik (lithostat). Natrium selulosa fosfat telah dilaporkan efektif dalam mencegah batu kalsium. Agens ini mengikat kalsium yang berasal dari makanan dalam saluran intestinal, mengurangi jumlah kalsium yang diabsorbsi kedalam sirkulasi. Jika peningkatan produksi parathormon (meneybabkan peningkatan kadar kalsium serum dalam darah dan urine) merupakan factor yang menyebabkan pembentukan batu, terapi diuretic menggunakan thiazide mungkin efektif dalam mengurangi kalsium kedalam urine dan menurunkan kadar parathormon.
d) Lithoripsi gelombang kejut ekstrakorporeal Prosedur noninvasi yang digunakan untuk menghancurkan batu di kaliks ginjal. Stelah batu tersebut pecah menjadi bagian yang kecil ssperti pasir, sisa batu-batu tersebut dikeluarkan secara spontan. Pada ESWL, atau lithotripsy, amplitudo tekanan berenergi tinggi dari gelombang kejut dibangkitkan melalui suatu pelepasan energy yang kemudian disalurkan ke air dan jaringan lunak. Ketika gelombang kejut menyentuh substansi yang intensitasnya berbeda (batu renal), tekanan gelombang mengakibatkan permukaan batu pecah. Pengulangan gelombang kejut ke batu akhirnya menyebabkan batu tersebut enjadi bagian-bagian yang lebih kecil. Bagian yang kecil ini disekresikan kedalam urine, biasanya tanpa kesulitan.
Kebutuhan anastesi pada prosedur ini bergantung pada tipe lithotripsy yang digunakan, ditentukan oleh jumlah dan intensitas gelombang kejut yang disalurkan. Rata-rata penanganan adalah antara 1000-3000 gelombang kejut. Bangkitan awal lithotripsy memerlukan anatesi local dan umum. Namun demikian, pabrik lithotripsy menyatakan bahwa mayoritas pasien yang ditanagani dengan produk mereka tidak atau sedikit memerlukan anastesi. Meskipun gelombang kejut baisanya tidak merusak jaringan lain, ketidaknyamanan akibat syok multiple dapat terjadi. Pasien diobservasi akan adanya obstruksi dan infeksi akibat hambatan di trkatus urinarius oleh serpihan batu. Seluruh urine disaring setelah prosedur kerikil atau pasir yang dikeluarkan dikirim ke laboratorium untuk di analisis kimia. Beberapa penanganan mungkin diperlukan untuk menjain pemecahan batu. Karena resiko kambuh yang tinggi perawat harus memberikan pelajaran mengenai batu ginjal dan cara mencegah kekambuhannya. 1) Metode endourologi pengangkatan batu 2) Ureteroskopy 3) Pelarutan batu 4) Pengangkatan bedah (Brunner & Suddarth 2001) g. Komplikasi a) Hidrouri, hidronefrosis, pielonefrosis, piosistitis b) Infeksi dan urosepsis c) Gagal ginjal (Nursalam dan Fransisca, 2008) d) Kerusakan tubular e) Iskemik partial (Suharyanto, dan Madjid, 2009)
2. Konsep Asuhan Keperawatan A. Pengkajian Adapun yang harus dikaji pada klien urolitiasis adalah : 1. Aktivitas istirahat Gejala
: pekerjaan monoton, pekerjaan dimana pasien terpajang pada
lingkungan bersuhu tinggi. Keterbatasan aktivitas/immobilisasi sehubungan dengan kondisi sebelumnya (contohnya penyakit tak sembuh, cedera spinalis). 2. Sirkulasi Tanda
: peningkatan TD/nadi (nyeri, ansietas, gagal jantung). Kulit
hangat dan kemerahan, pucat. 3. Eliminasi Gejala
: riwayat adanya ISK kronis, obstruksi sebelumnya (kalkulus),
penurunan haluaran urine, kandung kemih penuh, rasa terbakar, dorongan berkemih, diare. Tanda
: oliguria, hematuria, piuria, dan perubahan pola berkemih.
4. Makanan/cairan Gejala
: mual/muntah, nyeri tekan abdomen, diet tinggi purin, kalsium
oksalat, dan atau fosfat, ketidakcukupan pemasukan cairan, tidak minum air dengan cukup. Tanda
: distensi abdominal, penurunan atau takadanya bising usus,
dan muntah. 5. Nyeri/ kenyamanan Gejala
: episode akut nyeri berat, nyeri kolik. Lokasi tergantung dari
lokasi batu, contohnya pada pangggul di regio sudut kostovertebral, dapat menyebar ke punggung, abdomen dan turun ke lipat paha atau genetalia. Tanda
: melindungi, perilaku distraksi. Nyeri tekan pada area ginjal
pada palpasi. 6. Keamanan Gejala
: penggunaan alkohol, demam dan menggigil.
7. Penyuluhan pembelajaran Gejala
: riwayat kulkus dalam keluarga, penyakit ginjal, hipertensi,
gout, ISK kronis. Riwayat penyakit usus halus, bedah abdomen sebelumnya, hiperparatiroidisme B. Diagnose keperawatan 1. Nyeri Akut 2. Ketidakseimbangan Nutrisi 3. Intoleransi Aktivitas C. Intervensi Keperawatan No 1
Diagnosa Keperawatan Nyeri b/d agens cidera Pain
NOC Level,
NIC Pain
fisik/adanya batu pada control, Comfort level. ginjal, ureter
Setelah tindakan
dilakukan keperawatan
selama 3 x 24 jam, diharapkan berkurang
nyeri ,
dengan
kriteria hasil : a. Mampu nyeri,
mampu
menggunakan tehnik nonfarmakologi untuk mengurangi
nyeri,
mencari bantuan) b. Melaporkan
bahwa berkurang
dengan menggunakan manajemen nyeri c. Mampu nyeri
1. Lakukan pengkajian nyeri secara
komprehensif
termasuk
lokasi,
karakteristik,
durasi,
frekuensi,
kualitas
dan
faktor presipitasi mengontrol
nyeri (tahu penyebab
nyeri
Pain Management
mengenali (skala,
2. Observasi
reaksi
nonverbal
dari
ketidaknyamanan 3. Gunakan
teknik
komunikasi untuk
terapeutik mengetahui
pengalaman nyeri pasien 4. Kaji
kultur
mempengaruhi
yang respon
nyeri 5. Evaluasi pengalaman nyeri masa lampau 6. Evaluasi bersama pasien
intensitas,
frekuensi
dan tanda nyeri) d. Menyatakan
dan tim kesehatan lain tentang
rasa
ketidakefektifan
kontrol nyeri masa lampau
nyaman setelah nyeri 7. Bantu pasien dan keluarga berkurang e. Tanda
vital
rentang normal
untuk dalam
mencari
dan
menemukan dukungan 8. Kontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri seperti
suhu
ruangan,
pencahayaan
dan
kebisingan 9. Kurangi faktor presipitasi nyeri 10. Pilih
dan
lakukan
penanganan
nyeri
(farmakologi, farmakologi
non dan
inter
personal) 11. Kaji tipe dan sumber nyeri untuk
menentukan
intervensi 12. Ajarkan
tentang
teknik
non farmakologi 13. Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri 14. Evaluasi
keefektifan
kontrol nyeri 15. Tingkatkan istirahat 16. Kolaborasikan
dengan
dokter jika ada keluhan dan tindakan nyeri tidak
berhasil 17. Monitor
penerimaan
pasien tentang manajemen 2.
Ketidakseimbangan nutrisi kebutuhan
kurang tubuh
faktor biologis
Nutritional
Status
nyeri : Nutrition Management
dari food and Fluid Intake b/d Setelah
dilakukan
tindakan
1. Kaji
adanya
alergi
makanan
keperawatan 2. Kolaborasi
dengan
selama 3 x 24 jam,
gizi
diharapkan
jumlah kalori dan nutrisi
nutrisi
terpenuhi
,
dengan
kriteria hasil : a. Adanya berat b. Berat
pasien
untuk
meningkatkan intake Fe
sesuai 4. Anjurkan
dengan tujuan
menentukan
yang dibutuhkan pasien. 3. Anjurkan
peningkatan badan
untuk
ahli
pasien
untuk
meningkatkan protein dan
badan
ideal
vitamin C
sesuai dengan tinggi 5. Berikan substansi gula badan
6. Yakinkan
c. Mampu
dimakan
diet
yang
mengandung
mengidentifikasi
tinggi
kebutuhan nutrisi
mencegah konstipasi
d. Tidak ada tanda tanda 7. Berikan malnutrisi e. Tidak penurunan
terpilih terjadi berat
badan yang berart
serat makanan (
dikonsultasikan
untuk yang sudah dengan
ahli gizi) 8. Ajarkan pasien bagaimana membuat catatan makanan harian. 9. Monitor jumlah nutrisi dan kandungan kalori 10. Berikan informasi tentang
kebutuhan nutrisi 11. Kaji kemampuan pasien untuk mendapatkan nutrisi 3
Intoleransi aktivitas b/d Energy conservation
yang dibutuhkan Energy Management
fatique
1. Observasi
Self Care : ADLs Setelah tindakan
dilakukan keperawatan
pembatasan klien dalam melakukan aktivitas
selama 3 x 24 jam, 2. Dorong diharapkan
toleransi
aktivitas dpt terpenuhi, dengan kriteria hasil : a. Berpartisipasi
dalam
peningkatan
b. Mampu
3. Kaji adanya factor yang menyebabkan kelelahan nutrisi
mandiri
dan
sumber energi tangadekuat pasien
akan
adanya kelelahan fisik dan melakukan
emosi secara berlebihan
aktivitas sehari hari 6. Monitor (ADLs)
untuk
terhadap keterbatasan
tekanan darah, nadi 5. Monitor dan RR
anal
mengungkapkan perasaan
aktivitas fisik tanpa 4. Monitor disertai
adanya
secara
kardivaskuler
respon terhadap
aktivitas 7. Monitor pola tidur dan lamanya pasien
tidur/istirahat
Daftar Pustaka Brunner & Suddarth. (2013). Keperawatan Medikal Bedah Edisi 12. Jakarta: EGC Muttaqin, Arif. (2012). Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem Perkemihan. Jakarta: Salemba Medika Nursalam dan Fransisca. (2008). Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Gangguan Sistem Perkemihan. Jakarta: Salemba Medika Smeltzer & Bare. (2001). Buku Ajar Medikal Bedah Edisi 8. Jakarta: EGC Suharyanto dan Madjid. (2009). Asuhan Keperawatan pada Klien denggan Gangguan Sistem Perkemihan. Jakarta: TIM. Suyono. Slamet. dkk. (2001). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi 3. Jakarta : Balai Penerbit FKUI