TUGAS UAS SISTEM PERKEMIHAN UROLITHIASIS
Disusun Oleh :
NAMA
: ANDRI YANTO
NPM
: 1726010078P
DOSEN
: Ns.Rafidaini Sazarni Ratiyun,S.Kep,M.Kep
Program Studi S1 Keperawatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Tri Mandiri Sakti Bengkulu 2017
TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Teori
1. Definisi Urolithiasis atau batu saluran kemih merupakan suatu penyakit yang sudah lama ditemukan. Penyakit ini dapat menyerang siapa saja, laki-laki memiliki risiko lebih besar dari pada wanita hal ini dikarenakan panjang uretra laki-laki lebih panjang dari wanita yaitu 17-22,5 cm dan untuk wanita 2,5-3,5 cm (Suharyanto dan Madjid, 2009). Menurut Nursalam (2006: 65) menyebutkan bahwa urolithiasis merujuk pada adanya batu dalam sistem perkemihan. Sebanyak 60% kandungan batu ginjal terdiri atas kalsium oksalat, asam urat, magnesium, amonium, dan fosfat atau gelembung asam amino. Toto Suharyanto dan Abdul Madjid (2009: 150) menjelaskan bahwa urolithiasis adalah suatu keadaan terbentuknya batu pada ginjal dan saluran kemih. Batu dapat ditemukan disetiap bagian ginjal sampai ke kandung kemih dan ukurannya bervariasi dari deposit granuler kecil, yang disebut pasir atau kerikil, sampai batu sebesar kandung kemih yang berwarna orange. 2. Etiologi Penyebab terbentuknya batu saluran kemih bisa terjadi karena air kemih jenuh dengan garam-garam yang dapat membentuk batu atau karena air kemihkekurangan penghambat pembentuka batu yang normal (Sja’bani, 2006). Sekitar 80% batu terdiri dari kalsium, sisanya mengandung berbagai bahan, termasuk asam urat, sistin dan mineral struvit (Sja’bani, 2006). Batu struvit (campuran dari magnesium, amonium dan fosfat) juga disebut batu infeksi karena batu ini hanya terbentuk di dalam air kemih yang terinfeksi (Muslim, 2007). Ukuran batu bervariasi, mulai dari yang tidak dapat dilihat dengan mata telanjang sampai yang sebesar 2,5 sentimeter atau lebih. Batu yang besar disebut kalkulus staghorn. Batu ini bisa mengisi hampir keseluruhan pelvis renalis dan kalises renalis.
Brunner dan Sudarth (2003) dan Nurlina (2008) menyebutkan beberapa faktor yang mempengaruhi pembentukan batu saluran kemih, yaitu: a. Faktor Endogen Faktor
genetik,
familial,
pada
hypersistinuria,
hiperkalsiuria
dan
hiperoksalouria. b. Faktor Eksogen Faktor lingkungan, pekerjaan, makanan, infeksi dan kejenuhan mineral dalam air minum.
Muslim
(2007)
menyebutkan
beberapa
hal
yang
mempengaruhi
pembentukan saluran kemih antara lain: a. Infeksi Infeksi Saluran Kencing (ISK) dapat menyebabkan nekrosis jaringan ginjal dan akan menjadi inti pembentuk batu saluran kemih. Infeksi bakteri akan memecah ureum dan membentuk amonium yang akan mengubah pH Urine menjadi alkali. b. Stasis dan Obstruksi Urine Adanya obstruksi dan
stasis
urine pada
sistem perkemihan akan
mempermudah Infeksi Saluran Kencing (ISK). c.
Jenis Kelamin Lebih banyak terjadi pada laki-laki dibanding wanita dengan perbandingan 3:1
d. Ras Batu saluran kemih lebih banyak ditemukan di Afrika dan Asia. e. Keturunan Orang dengan anggota keluarga yang memiliki penyakit batu saluran kemih memiliki resiko untuk menderita batu saluran kemih dibanding dengan yang tidak memiliki anggota keluarga dengan batu saluran kemih. f. Air Minum Faktor utama pemenuhan urine adalah hidrasi adekuat yang didapat dari minum air. Memperbanyak diuresis dengan cara banyak minum air akan
mengurangi kemungkinan terbentuknya batu, sedangkan kurang minum menyebabkan kadar semua substansi dalam urine meningkat. g. Pekerjaan Pekerja keras yang banyak bergerak mengurangi kemungkinan terbentuknya batu dari pada pekerja yang lebih banyak duduk. h. Suhu Tempat yang bersuhu panas menyebabkan banyak mengeluarkan panas sehingga pengeluaran cairan menjadi meningkat, apabila tidak didukung oleh hidrasi yang adekuat akan meningkatkan resiko batu saluran kemih. i. Makanan Masyarakat yang banyak mengkonsumsi protein hewani, kalsium, natrium klorida, vitamin C, makanan tinggi garam akan meningkatkan resiko pembentukan batu karena mempengaruhi saturasi urine. 3. Klasifikasi Batu saluran kemih pada umumnya mengandung unsure kalsium oksalat atau kalsium fosfat, asam urat, magnesium-amonium-fosfat(MAP), Xanhyn, dan sistin, silikat, dan senyawa lainnya. Data mengenai kandungan/komposisi zat yang terdapat pada batu sangat penting untuk usaha pencegahan terhadap timbulnya batu residif. Jenis-jenis batu terdiri dari (Purnomo, 2011 ed. 3): a. Batu kalsium Batu jenis ini paling banyak dijumpai, yaotu kurang lebih 70-80% dari seluruh batu saluran kemih. Kandungan batu jenis ini terdiri atas kalsium oksalat , kalsium fosfat, atau campuran kedua unsure tersebut. Factor terjadinya batu kalsium adalah: 1. Hiperkalsiuria 2. Hiperoksaluri 3. Hiperurikosuria 4. Hipositraturia 5. Hipomagnesuria
b. Batu struvit Batu infeksi karena terbentuknya batu tersebut disebabkan oleh adanya infeksi saluran kemih. Kuman golongan pemecah urea atau urea splitter yang menghasilkan urease dan merubah urin menjadi basa melalui proses hidrolisis urea menjadi amoniak merupakan penyebab terjadinya batu struvit tersebut. c. Batu Asam Urat 5-10% batu saluran kemih adalah batu asam urat. 75-80% dari batu asam urat terdiri atas asam urat murni dan sisanya merupakan campuran kalsium oksalat. d. Batu jenis lain Batu sistin, batu Xanthin, batu triamteren dan batu silikat sangat jarang dijumpai. Batu sisten terjadi karena kelainan metabolism sistin dalam absorbs sistin di mukosa usus, batu xanthin terjadi akibat penyakit bawaan berupa defisiensi enzim xanthin oksidase yang mengkatalisis hipoxanthin menjadi xanthin kemudian menjadi asam urat. Selain itu pemakaian silikat yang berlebihan dan dalam jangka panjang dapat menyebabkan timbulnya batu silikat (Purnomo, 2011 ed.3). 4. Patofisiologi a. Teori Intimatriks Sja’bani
(2006)
meyebutkan
terbentuknya
batu
saluran
kencing
memerlukan adanya substansi organik sebagai inti. Substansi ini terdiri dari mukopolisakarida dan mukoprotein A yang mempermudah kristalisasi dan agregasi substansi pembentukan batu. b. Teori Supersaturasi Sja’bani (2006) menyebutkan erjadi kejenuhan substansi pembentuk batu dalam urine seperti sistin, santin, asam urat, kalsium oksalat akan mempermudah terbentuknya batu. c. Teori Presipitasi-Kristalisasi Sja’bani (2006) menyebutkan perubahan pH urine akan mempengaruhi solubilitas substansi dalam urine. Urine yang bersifat asam akan
mengendap sistin, santin dan garam urat, urine alkali akan mengendap garam-garam fosfat. d. Teori Berkurangnya Faktor Penghambat Berkurangnya faktor penghambat seperti peptid fosfat, pirofosfat, polifosfat, sitrat magnesium, asam mukopolisakarida akan mempermudah terbentuknya batu saluran kemih. (Muslim, 2007) 5. Pathway Terlampir
6. Penatalaksanaan Tujuan dasar penatalaksanaan adalah untuk menghilangkan batu, menentukan jenis batu, mencegah kerusakan nefron, mengidentifikasi infeksi, serta mengurangi obstruksi akibat batu (Sja’bani, 2006). Cara yang biasanya digunakan untuk mengatasi batu kandung kemih adalah terapi konservatif, medikamentosa, pemecahan batu, dan operasi terbuka. a. Terapi konservatif] Sebagian besar batu ureter mempunyai diameter kurang dari 5 mm. Batu ureter yang besarnya kurang dari 5 mm bisa keluar spontan (Fillingham dan Douglass, 2000). Untuk mengeluarkan batu kecil tersebut terdapat pilihan terapi konservatif berupa (American Urological Association, 2005): 1. Minum sehingga diuresis 2 liter/ hari 2. α – blocker 3. NSAID Batas lama terapi konservatif adalah 6 minggu. Di samping ukuran batu syarat lain untuk terapi konservatif adalah berat ringannya keluhan pasien, ada tidaknya infeksi dan obstruksi. Adanya kolik berulang atau ISK menyebabkan konservatif bukan merupakan pilihan. Begitu juga dengan adanya obstruksi, apalagi pada pasien-pasien tertentu (misalnya ginjal tunggal, ginjal trasplan dan penurunan fungsi ginjal ) tidak ada toleransi terhadap obstruksi. Pasien seperti ini harus segera dilakukan intervensi (American Urological Association, 2005). b. Extracorporal Shock Wave Lithotripsy ( ESWL ) ESWL banyak digunakan dalam penanganan batu saluran kemih. Badlani (2002) menyebutkan prinsip dari ESWL adalah memecah batu saluran kemih dengan menggunakan gelombang kejut yang dihasilkan oleh mesin dari luar tubuh. Gelombang kejut yang dihasilkan oleh mesin di luar tubuh dapat difokuskan ke arah batu dengan berbagai cara. Sesampainya di batu, gelombang kejut tadi akan melepas energinya. Diperlukan beberapa ribu kali gelombang kejut untuk memecah batu
hingga menjadi pecahan-pecahan kecil, selanjutnya keluar bersama kencing tanpa menimbulkan sakit. Al-Ansari (2005) menyebutkan komplikasi ESWL untuk terapi batu ureter hampir tidak ada. Keterbatasan ESWL antara lain sulit memecah batu keras (misalnya kalsium oksalat monohidrat), perlu beberapa kali tindakan, dan sulit pada orang bertubuh gemuk. Penggunaan ESWL untuk terapi batu ureter distal pada wanita dan anak-anak juga harus dipertimbangkan dengan serius karena ada kemungkinan terjadi kerusakan pada ovarium. c. Ureterorenoskopic (URS) Pengembangan ureteroskopi sejak tahun 1980 an telah mengubah secara dramatis terapi batu ureter. Kombinasi ureteroskopi dengan pemecah batu ultrasound, EHL, laser dan pneumatik telah sukses dalam memecah batu ureter. Keterbatasan URS adalah tidak bisa untuk ekstraksi langsung batu ureter yang besar, sehingga diperlukan alat pemecah batu seperti yang disebutkan di atas. Pilihan untuk menggunakan jenis pemecah batu tertentu, tergantung pada pengalaman masing-masing operator dan ketersediaan alat tersebut. d.
Percutaneous Nefro Litotripsy (PCNL) PCNL yang berkembang sejak dekade 1980 secara teoritis dapat digunakan sebagai terapi semua batu ureter. Namun, URS dan ESWL menjadi pilihan pertama sebelum melakukan PCNL. Meskipun demikian untuk batu ureter proksimal yang besar dan melekat memiliki peluang untuk dipecahkan dengan PCNL (Al-Kohlany, 2005). Menurut Al-Kohlany (2005), prinsip dari PCNL adalah membuat akses ke kalik atau pielum secara perkutan. Kemudian melalui akses tersebut dimasukkan nefroskop rigid atau fleksibel, atau ureteroskop, untuk selanjutnya batu ureter diambil secara utuh atau dipecah. Keuntungan dari PCNL adalah apabila letak batu jelas terlihat, batu pasti dapat diambil atau dihancurkan dan fragmen dapat diambil semua karena ureter bisa dilihat dengan jelas.
Proses
PCNL
berlangsung
cepat
dan
dapat
diketahui
keberhasilannya dengan segera. Kelemahan PCNL adalah PCNL perlu keterampilan khusus bagi ahli urologi. e. Operasi Terbuka Fillingham dan Douglass (2000) menyebutkan bahwa beberapa variasi operasi terbuka untuk batu ureter mungkin masih dilakukan. Hal tersebut tergantung pada anatomi dan posisi batu, ureterolitotomi bisa dilakukan lewat insisi pada flank, dorsal atau anterior. Saat ini operasi terbuka pada batu ureter kurang lebih tinggal 1 -2 persen saja, terutama pada penderita-penderita dengan kelainan anatomi atau ukuran batu ureter yang besar. 7. Komplikasi 1) Sumbatan atau obstruksi akibat adanya pecahan batu. 2) Infeksi, akibat diseminasi partikel batu ginjal atau bakteri akibat obstruksi. 3) Kerusakan fungsi ginjal akibat sumbatan yang lama sebelum pengobatan atau pengangkatan batu ginjal. 4) Obstruksi 5) Hidronephrosis.
B. Konsep Asuhan Keperawatan 1. Pengkajian Pengkajian adalah data dasar utama proses keperawatan yang tujuannya adalah untuk memberikan gambaran secara terus menerus mengenai keadaan kesehatan klien yang memungkinkan perawat asuhan keperawatan kepada klien. a. Identitas pasien yaitu: mencakup nama, umur, agama, alamat, jenis kelamin, pendidikan, perkerjaan, suku, tanggal masuk, no. MR, identitas keluarga, dll. b. Riwayat Kesehatan 1) Riwayat Penyakit Sekarang Biasanya klien mengeluh nyeri pinggang kiri hilang timbul, nyeri muncul dari pinggang sebelah kiri dan menjalar ke depan sampai ke penis. Penyebab nyeri tidak di ketahui. 2) Riwayat Penyakit Dahulu Kemungkinan klien sering mengkonsumsi makanan yang kaya vit D, klien suka mengkonsumsi garam meja berlebihan, dan mengkonsumsi berbagai macam makanan atau minuman dibuat dari susu/ produk susu. 3) Riwayat Penyakit Keluarga Dikaji apakah keluarga klien mengalami batu ginjal atau penyakit lainnya. a. Pemeriksaan fisik a. Aktivitas/istirahat: b. Gejala: 1) Riwayat pekerjaan monoton, aktivitas fisik rendah, lebih banyak duduk 2) Riwayat bekerja pada lingkungan bersuhu tinggi 3) Keterbatasan mobilitas fisik akibat penyakit sistemik lainnya (cedera serebrovaskuler, tirah baring lama)
b. Sirkulasi Tanda: 1) Peningkatan TD, HR (nyeri, ansietas, gagal ginjal) 2) Kulit hangat dan kemerahan atau pucat c. Eliminasi Gejala: 1) Riwayat ISK kronis, obstruksi sebelumnya 2) Penurunan volume urine 3) Rasa terbakar, dorongan berkemih 4) Diare Tanda: 1) Oliguria, hematuria, piouria 2) Perubahan pola berkemih d. Makanan dan cairan: Gejala: 1) Mual/muntah, nyeri tekan abdomen 2) Riwayat diet tinggi purin, kalsium oksalat dan atau fosfat 3) Hidrasi yang tidak adekuat, tidak minum air dengan cukup Tanda: 1) Distensi abdomen, penurunan/tidak ada bising usus 2) Muntah e. Nyeri dan kenyamanan: Gejala: 1) Nyeri hebat pada fase akut (nyeri kolik), lokasi nyeri tergantung lokasi batu (batu ginjal menimbulkan nyeri dangkal konstan) Tanda: 1) Perilaku berhati-hati, perilaku distraksi 2) Nyeri tekan pada area ginjal yang sakit
f. Keamanan: Gejala: 1) Penggunaan alkohol 2) Demam/menggigil g. Penyuluhan/pembelajaran: Gejala: 1) Riwayat batu saluran kemih dalam keluarga, penyakit ginjal, hipertensi, gout, ISK kronis 2) Riwayat
penyakit
usus
halus,
bedah
abdomen
sebelumnya,
hiperparatiroidisme 3) Penggunaan antibiotika, antihipertensi, natrium bikarbonat, alopurinul, fosfat, tiazid, pemasukan berlebihan kalsium atau vitamin.
2. Diagnosa Keperawatan 1) Nyeri akut b.d peningkatan frekuensi dorongan dan gesekan pada saluran kemih 2) Retensi urin b.d obstruksi saluran kemih 3) Risiko infeksi b.d prosedur invasif (Sistoskopi atau penggunaan kateter)
3. Intervensi Keperawatan No 1.
Diagnosa Keperawatan Nyeri akut b.d
Tujuan:
MANAJEMEN NYERI
peningkatan
Setelah dilakukan perawatan 2x24 jam
(KONTROL NYERI)
frekuensi
klien melaporkan nyeri berkurang atau 1. Kaji nyeri secara
NOC
NIC
dorongan gesekan hilang.
komprehensif meliputi
pada
lokasi, karakteristik,
saluran
kemih
Kriteria hasil: 1. Nyeri terkontrol yang dilihat dari indikator: 1) Klien menuliskan gejala nyeri berkurang (skala 1-5) 2) Klien dapat menjelaskan faktor penyebab nyeri
onset, frekuensi, kualitas, intensitas atau beratnya nyeri dan faktor presipitasi 2. Observasi ekspresi klien secara non verbal agar mengetahui tingkat nyeri
3) Klien dapat mengetahui intervensi yang 3. Kolaborasi pemberian dilakukan untuk mengurangi nyeri
analgesik sesuai advis
(farmaka dan non farmaka)
dokter dan monitoring
4) Klien melaporkan perubahan gejala nyeri yang terkontrol pada tim medis
respon klien 4. Kaji pengetahuan dan
5) Klien mengetahui onset nyeri
perasaan klien mengenai
2. Level nyeri
nyerinya
1) Laporan nyeri 2) Durasi nyeri
terhadap kualitas hidup
3) Ekspresi wajah klien
klien (ADL)
4) Tidak terjadi diaporesis 3. TTV dalam batas normal (TD: 120/80 mmHg, Nadi: 16-20x/menit) 4)
5. Kaji dampak nyeri
6. Ajak klien untuk mengkaji faktor yang dapat memperburuk nyeri 7. Kontrol faktor lingkungan yang dapat
mempengaruhi ketidaknyamanan klien 8. Ajarkan teknik nonfarmakologi (relaksasi, terapi musik, distraksi, terapi aktifitas, masase) 2.
Retensi urin b.d
Tujuan:
obstruksi saluran
Setelah dilakukan tindakan keperawatan1)
kemih
3x24 jam retensi urin klien dapat teratasi.
1. Urinary Retention Care Monitor
intake
dan
output 2) Monitor penggunaan obat antikolinergik
Kriteria Hasil:
3)
1. Kandung kemih kosong secara penuh 2. Tidak ada residu urin >100-200 cc
Monitor derajat distensi bladder
4)
Instruksikan pada klien
3. Intake cairan dalam rentang normal
dan
4. Bebas dari ISK
mencatat output urine
5. Tidak ada spasme bladder
5)
6. Balance cairan seimbang 7. Level nyeri
keluarga
untuk
Sediakan privasi untuk eliminasi
6)
Stimulasi refleks bladder
1) Laporan nyeri
dengan kompres dingin
2) Durasi nyeri
pada abdomen.
3) Ekspresi wajah klien
7) Kateterisaai jika perlu
4) Tidak terjadi diaporesis
8) Monitor tanda dan gejala
8. Eliminasi urin optimal dilihat dari indikator: 1) Pola berkemih 2) Jumlah urin 3) Warna urin 4) Intake cairan 5) Kejernihan urin
ISK (panas, hematuria, perubahan bau dan konsistensi urine) 2. Monitoring kadar albumin, protein total 3. Lakukan perawatan perineal dan perawatan
6) Bau urin
selang kateter 4. Dorong klien untuk berkemih tiap 2-4 jam dan bila tiba-tiba dirasakan. 5. Ajarkan serta demonstrasikan kepada klien dan anggota keluarga tentang teknik berkemih yang akan digunakan di rumah. Sehingga klien dan keluarga mampu melakukannya dengan mandiri. 6. Kolaborasikan obat diuretik
3.
Risiko infeksi b.d
Tujuan:
prosedur invasif
Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1. Pertahankan teknik aseptif
(Sistoskopi atau
selama 1x24 jam infeksi pada klien
penggunaan
dapat terkontrol
kateter)
1. Klien bebas dari tanda dan gejala
risiko :
infeksi (tumor, dolor, rubor, kolor,
1. Prosedur
fungsio laesa)
Invasif 2. Inadekuat pertahanan sekunder
2. Menunjukkan kemampuan untuk mencegah timbulnya infeksi 3. Jumlah leukosit dalam batas normal (4000 10.000/mm3)
(penurunan Hb, 4. Status imunitas baik dilihat dari Leukopenia,
2. Cuci tangan setiap sebelum dan sesudah tindakan keperawatan
Kriteria Hasil: Faktor-faktor
KONTROL INFEKSI
indikator:
3. Gunakan baju, sarung tangan sebagai alat pelindung 4. Gunakan kateter intermiten untuk menurunkan infeksi kandung kemih 5. Tingkatkan intake nutrisi 6. Dorong klien untuk memenuhi intake cairan
penekanan respon1) Suhu tubuh inflamasi) c)
7. Berikan terapi antibiotik
2) Fungsi respirasi 3) Fungsi gastrointestinal
PROTEKSI
4) Fungsi genitourinaria
TERHADAP INFEKSI
5) Integritas kulit 6) Integritas mukosa
1. Monitoring tanda dan gejala infeksi sistemik dan lokal 2. Inspeksi kulit dan membran mukosa terhadap kemerahan, panas, drainase 3. Monitoring adanya luka 4. Batasi pengunjung bila perlu 5. Dorong klien untuk istirahat 6. Ajarkan klien dan keluarga tanda dan gejala infeksi 7. Kaji suhu badan pada klien neutropenia setiap 4 jam 8. Laporkan kecurigaan infeksi
Daftar Pustaka
Al-Ansari,A., Shamsodini,A., Younis,N., et al. (2005). Extracorporeal shock wave lithotripsy monotherapy for treatment of patients with urethral and bladder stone presenting with acute urinary retention. Journal Urology; 66(6):1169-1171. Al-Kohlany, KM., Shokeir,AA., Mosbah,A., Mohsen, T., Shoma,AM., Eraky,I, et al. (2005). Treatment of complete staghorn stones : a prospective randomized comparison of open surgery versus percutaneous nephrolithotomy. J Urol; 173: 469 – 73. Brunner & Sudarth. (2003). Buku ajar keperawatan medikal bedah. Jakarta: EGC Muslim, Rifki. 2003. Pengaruh diet terhadap terjadinya batu ginjal. 15-19. Jurnal Urologi Indonesia. Muslim, Rifki. 2007. Batu Saluran Kemih Suatu Problem Gaya Hidup dan Pola Makan serta Analisis Ekonomi pada Pengobatannya. Pidato Pengukuhan. Diucapkan pada Upacara Penerimaan Jabatan Guru Besar Ilmu Bedah Fak. Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang, Nurlina. 2008. Faktor-faktor risiko kejadian batu saluran kemih pada laki-laki. (Studi kasus di RS. Dr. Kariadi, RS Roemani, dan RSI Sultan Agung Semarang. Skripsi. Najem G.R., Scebode J.J., Samady AD et al. 1997. Stressful life events and risk of symptomatic kidney stone. 26: 1017-1023. Int. J. Epidemiol NANDA International. 2012. Nursing Diagnosis: definition and classification. Jakarta: EGC. Sja’bani. (2006). Ilmu penyakit dalam. Jilid I Edisi 4. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.