Tugas Teori Belajar Bahasa

  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Tugas Teori Belajar Bahasa as PDF for free.

More details

  • Words: 1,050
  • Pages: 4
Bilingualisme oleh Safriandi Syahriandi Sejauh mana taraf kemampuan seseorang akan B2 (B1 tentunya dapat dikuasai dengan baik) sehingga dia dapat disebut sebagai seorang yang bilingual? Pertanyaan ini tentunya dapat dijawab dengan memahami terlebih dahulu pengertian bilingualisme yang dikemukakan oleh beberapa pakar. Bloomfield, seorang linguis Amerika, mengatakan bahwa bilingualisme adalah kemampuan menggunakan dua bahasa dengan sama baiknya oleh seorang penutur. Jadi, menurut linguis ini seseorang dikatakan sebagai bilingual jika orang tersebut dapat menggunakan B1 dan B2 sama baiknya. Berkaitan dengan pengertian bilingualisme seperti yang dikemukan oleh Blomfield tersebut, ada beberapa hal yang perlu dipertanyakan. Pertama, bagaimanakah cara mengukur kemampuan yang sama dari seorang penutur terhadap dua bahasa yang digunakannya? Kedua, mungkinkah ada seorang penutur yang dapat menggunakan B2 sama baik dengan B1? Walaupun ada, tampaknya hal seperti itu jarang ditemui sebab jika seseorang dapat menguasai B1 dan B2 sama baiknya, berarti orang tersebut mempunyai kesempatan yang sama untuk mempelajari dan menggunakan kedua bahasa itu padahal dalam situasi biasa, kesempatan untuk menggunakan B1 lebih terbuka daripada kesempatan untuk mengunakan B2 atau dapat juga terjadi sebaliknya. Berbeda dengan Bloomfield, Lado dan Haugen mengemukakan konsep yang berbeda tentang pengertian bilingualisme. Menurut Lado, seorang bilingual tidak perlu menguasai B1 dan B2 dengan derajat yang sama baiknya, tetapi kurang baik pun boleh, sedangkan bagi Haugen, seseorang yang mengetahui dua bahasa atau lebih sudah dapat dikatakan sebagai bilingual meskipun dia tidak dapat menggunakan B2-nya secara aktif. Yang terpenting menurut Haugen adalah pemahaman terhadap bahasa kedua yang digunakan olehnya itu. Contoh sederhana dapat disebutkan sebagai berikut. Seseorang, selain menguasai bahasa Aceh sebagai bahasa pertamanya, ia juga menguasai bahasa Inggris. Akan tetapi, bahasa Inggris yang dikuasai olehnya tidak dapat dia gunakan secara aktif dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, berdasarkan pendapat Haugen tentang pengertian bilingualisme, orang yang seperti ini disebut bilingual. Berkenaan dengan konsep bilingualisme dalam kaitannya dengan menggunakan B2, Diebold menyebutkan adanya bilingualisme pada tingkat awal (incipient bilingualisme), yaitu bilingualisme yang dialami oleh orang-orang, terutama anak-anak

yang sedang mempelajari bahasa kedua pada tahap permulaan. Pada tahap ini, bilingualisme masih sangat sederhana dan dalam tingkat rendah. Dengan demikian, jawaban dari pertanyaan nomor satu di atas adalah pengertian bilingualisme merupakan satu rentangan berjenjang, yaitu dimulai dari menguasai B1 dengan baik karena bahasa pertamanya, ditambah tahu sedikit akan B2, dilanjutkan dengan penguasaan B2 yang berjenjang meningkat, sampai dengan menguasai B2 itu sama baiknya dengan penguasaan B1. Kalau bilingualisme sudah mencapai taraf ini, berarti seorang penutur yang bilingual itu akan dapat menggunakan B1 dan B2 sama baiknya untuk fungsi apa saja, di mana saja, dan kapan saja. Bilingual seperti ini oleh Halliday disebut ambilingual, oleh Oskar disebut ekuilingual, dan oleh Diebold disebut sebagai koordinat bilingual. Apakah yang dimaksud dengan bahasa dalam bilingualisme ini? Apakah bahasa dalam pengertian langue atau sebuah kode sehingga bisa termasuk sebuah dialek atau sosiolek. Masih dalam kaitannya dengan bilingualisme, Bloomfield menyebutkan bahwa menguasai dua bahasa berarti menguasai dua buah sistem kode. Kode yang dimaksud oleh Bloom ini tentu saja adalah parole yang berupa dialek dan ragam. Seorang pakar lain, Mackey, mengatakan dengan tegas bahwa bilingualisme adalah praktik penggunaan bahasa secara bergantian dari bahasa yang satu ke bahasa yang lain oleh seorang penutur. Dari pernyataan Mackey ini, tentunya dapat dipahami bahwa bahasa yang dimaksud olehnya adalah langue. Tidak seperti Bloomfield dan Mackey, Weinrich, seorang ahli bahasa, memberikan pengertian yang luas tentang bahasa yang dimaksud dalam bilingualisme. Dia mengatakan bahwa menguasai dua bahasa dapat berarti menguasai dua sistem kode, dua dialek, atau ragam dari bahasa yang sama. Pendapat yang senada juga dikemukan oleh Haugen dan Appel. Menurut mereka penguasaan dua dialek atau dua variasi bahasa dari satu bahasa yang sama juga merupakan bilingualisme. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan bahasa dalam bilingualisme mencakup langue dan kode. Dengan kata lain, menguasai dua bahasa dapat berarti menguasai sebuah bahasa atau menguasai dialek-dialek dalam sebuah bahasa.

Kapan seorang bilingual menggunakan kedua bahasa itu secara bergantian? Kapan dia harus menggunakan B1-nya dan kapan pula dia harus menggunakan B2-nya? Kapan pula dia

dapat secara bebas dapat menggunakan B1-nya atau B2-nya? Jawaban pertanyaan ini sangat berhubungan dengan fungsi bahasa atau fungsi ragam bahasa tertentu di dalam masyarakat tutur. Hal yang juga sangat berpengaruh adalah siapa berbicara, dengan bahasa apa, kepada siapa, kapan, dan dengan tujuan apa. B1 pertama-tama dan utama dapat digunakan antara anggota masyarakat tutur yang sama bahasanya dan penutur. Jika B1 si penutur adalah bahasa Aceh, dia akan dan dapat menggunakan bahasa Aceh dengan semua anggota masyarakat tutur yang sama-sama dapat berbahasa Aceh. Namun, jika dalam konteks yang formal, misalnya dalam proses pembelajaran, bahasa Indonesialah yang harus digunakan karena bahasa Indonesia yang juga menjadi bahasa kedua bagi guru dan murid-murid itu adalah bahasa yang harus dipakai dalam proses belajar mengajar. Jadi, B1 dan B2 yang dikuasai oleh seorang penutur dapat digunakan dengan memperhatikan lawan bicara, topik pembicaraan, dan situasi sosial dan pembicaraan. Adapun kapan B1 dan B2 dapat secara bebas digunakan, tampaknya sangat sukar untuk dijawab karena B1 dan B2 ini tampaknya tetap dibatasi oleh siapa berbicara, dengan bahasa apa, kepada siapa, kapan, dan dengan tujuan apa. Tidak banyak negara yang penuturnya dapat menggunakan B1 dan B2-nya secara bebas. Sejauh mana B1-nya dapat mempengarui B2-nya atau sebaliknya? Jawaban dari pertanyaan ini sangat berkaitan dengan kefasihan menggunakan B1 dan B2 serta kesempatan untuk menggunakannya. Jika penguasaan B1 oleh seseorang lebih baik daripada B2 dan kesempatan menggunakan B1 lebih besar, ada kemungkinan B1 si penutur mempengaruhi B2. Pengaruh seperti ini dapat berupa interferensi, baik pada tataran fonologi, morfologi, sintaksis, maupun pada tataran leksikon. Penutur bilingual yang menguasai bahasa Aceh dan bahasa Indonesia yang kurang menguasai sistem fonologi bahasa Indonesia akan mengucapkan bunyi t seperti dalam bahasa Aceh, yaitu dengan mempertemukan antara ujung lidah dan langit-langit keras (apiko-palatal), padahal bunyi t dalam bahasa Indonesia diucapkan dengan cara mempertemukan antara ujung lidah dan lengkung gigi/gusi atas (apiko-alveolar). Selain B1 mempengaruhi B2, tidak menutup kemungkinan juga bahwa B2 mempengaruhi B1. Hal ini terjadi jika dalam jangka waktu yang cukup lama, seorang penutur terus menerus menggunakan B2-nya. Apakah bilingualisme itu terjadi pada perseorangan atau pada sekelompok masyarakat tutur? Ada para ahli bahasa, seperti Mackey, mengatakan bahwa bilingualisme adalah milik setiap individu sebab penggunaan bahasa secara bergantian oleh seorang penutur bilingual mengharuskan adanya dua masyarakat tutur yang berbeda. Berbeda dengan

Mackey, Oksaar berpendapat bahwa bilingualisme bukan hanya milik individu, melainkan juga milik kelompok karena bahasa dalam penggunaannya tidak hanya terbatas antara individu dan individu, tetapi juga sebagai alat komunikasi antarkelompok.

Related Documents