Tugas Resume Uu.doc

  • Uploaded by: Donny Saja Cukup
  • 0
  • 0
  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Tugas Resume Uu.doc as PDF for free.

More details

  • Words: 16,764
  • Pages: 64
M.K Standardidasi dan Integrated Quality Assurance

Hari/tanggal: Kamis/ 28 Februari 2019 Dosen: Dr. Ir. Wini Trilaksani S.Pi,M.Si

Resume Regulasi Keamanan Pangan

Ari Elisa Ratih C34160009 Oktia ArindinaC34160012 Hani Adytia C34160023 Aila Khairunisa C34160028 Nober Pores S C34160101

SNI 01-4872.1-2006 Es untuk penanganan ikan Bagian 1: Spesifikasi

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 45 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 2004

TENTANG PERIKANAN Pasal 1  Perikanan adalah semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan dan lingkungannya mulai dari praproduksi, produksi, pengolahan sampai dengan pemasaran yang dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan.  Ikan adalah segala jenis organisme yang seluruh atau sebagian dari siklus hidupnya berada di dalam lingkungan perairan. Pasal 2 Pengelolaan perikanan dilakukan berdasarkan asas: a. manfaat; b. keadilan; c. kebersamaan; d. kemitraan; e. kemandirian; f. pemerataan; g. keterpaduan; h. keterbukaan; i. efisiensi; j. kelestarian; dan k. pembangunan yang berkelanjutan. Pasal 7 Ketetapan menteri dalam rangka mendukung kebijakan pengelolaan sumberdaya ikan. Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan pengelolaan perikanan wajib mematuhi ketentuan yang berlaku. Menteri menetapkan jenis ikan yang dilindungi dan kawasan konservasi perairan untuk kepentingan ilmu pengetahuan, kebudayaan, pariwisata, dan/atau kelestarian sumber daya ikan dan/atau lingkungannya. Pasal 9 Setiap orang dilarang memiliki, menguasai, membawa, dan/atau menggunakan alat penangkapan dan/atau alat bantu penangkapan ikan yang mengganggu dan merusak keberlanjutan sumber daya ikan di kapal penangkap ikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia. Ketentuan mengenai alat penangkapan dan/atau alat bantu penangkapan ikan yang mengganggu dan merusak keberlanjutan sumber daya ikan diatur dengan Peraturan Menteri. Pasal 14 Pemerintah mengatur dan/atau mengembangkan pemanfaatan plasma nutfah yang berkaitan dengan sumber daya ikan dalam rangka pelestarian ekosistem dan pemuliaan sumber daya ikan. Setiap orang wajib melestarikan plasma nutfah yang berkaitan dengan sumber daya ikan. Pemerintah mengendalikan pemasukan dan/atau pengeluaran ikan jenis baru dari dan ke luar negeri dan/atau lalu lintas antarpulau untuk menjamin kelestarian plasma nutfah yang berkaitan dengan sumber daya ikan.

Pasal 15 Pemerintah mengatur pengendalian mutu induk dan benih ikan yang dibudidayakan. Pasal 18 Pemerintah mengatur dan membina tata pemanfaatan air dan lahan pembudidayaan ikan. Pengaturan dan pembinaan tata pemanfaatan air dan lahan pembudidayaan ikan, dilakukan dalam rangka menjamin kuantitas dan kualitas air untuk kepentingan pembudidayaan ikan. Pasal 23 Setiap orang dilarang menggunakan bahan baku, bahan tambahan makanan, bahan penolong, dan/atau alat yang membahayakan kesehatan manusia dan/atau lingkungan dalam melaksanakan penanganan dan pengolahan ikan. Pasal 25 Usaha perikanan dilaksanakan dalam sistem bisnis perikanan, meliputi praproduksi, produksi, pengolahan, dan pemasaran. Pasal 27 Setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera Indonesia yang digunakan untuk melakukan penangkapan ikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia dan/atau laut lepas wajib memiliki SIPI. Pasal 28 Setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal pengangkut ikan berbendera Indonesia di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia wajib memiliki SIKPI. Setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal pengangkut ikan berbendera asing yang digunakan untuk melakukan pengangkutan ikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia wajib memiliki SIKPI. Pasal 32 Ketentuan lebih lanjut mengenai penerbitan, tata cara, dan syarat-syarat pemberian SIUP, SIPI, dan SIKPI diatur dengan Peraturan Menteri. Pasal 36 Kapal perikanan milik orang Indonesia yang dioperasikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia dan laut lepas wajib didaftarkan terlebih dahulu sebagai kapal perikanan Indonesia. Pasal 41 Pemerintah menyelenggarakan dan melakukan pembinaan pengelolaan pelabuhan perikanan. Pasal 42

Dalam rangka keselamatan operasional kapal perikanan, ditunjuk syahbandar di pelabuhan perikanan serta terdapat tugas-tugas seorang syahbandar. Pasal 43 Setiap kapal perikanan yang melakukan kegiatan perikanan wajib memiliki surat laik operasi kapal perikanan dari pengawas perikanan tanpa dikenai biaya. Pasal 44 Surat Persetujuan Berlayar sebagaimana dimaksud dalam pasal 42 ayat (2) huruf a dikeluarkan oleh syahbandar setelah kapal perikanan mendapatkan surat laik operasi. Pasal 46 Pemerintah dan pemerintah daerah menyusun dan mengembangkan sistem informasi dan data statistik perikanan serta menyelenggarakan pengumpulan, pengolahan, analisis, penyimpanan, penyajian, dan penyebaran data potensi, pemutakhiran data pergerakan ikan, sarana dan prasarana, produksi, penanganan, pengolahan dan pemasaran ikan, serta data sosial ekonomi yang berkaitan dengan pelaksanaan pengelolaan sumber daya ikan dan pengembangan sistem bisnis perikanan. Pasal 48 Setiap orang yang memperoleh manfaat langsung dari sumber daya ikan dan lingkungannya di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia dan di luar wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia dikenakan pungutan perikanan. Pasal 50 Pungutan perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 dan Pasal 49 digunakan untuk pembangunan perikanan serta kegiatan konservasi sumber daya ikan dan lingkungannya. Pasal 65 Pemerintah dapat memberikan tugas kepada pemerintah daerah untuk melaksanakan urusan tugas pembantuan di bidang perikanan. Pasal 66 Pengawasan perikanan dilakukan oleh pengawas perikanan. Pengawas perikanan bertugas untuk mengawasi tertib pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perikanan. Pasal 69 Kapal pengawas perikanan berfungsi melaksanakan pengawasan dan penegakan hukum di bidang perikanan dalam wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia. Pasal 71

Dengan Undang-Undang ini dibentuk pengadilan perikanan yang berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus tindak pidana di bidang perikanan. Pasal 73 Penyidikan tindak pidana di bidang perikanan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil Perikanan, Penyidik Perwira TNI AL, dan/atau Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia. Pasal 75 Penuntutan terhadap tindak pidana di bidang perikanan dilakukan oleh penuntut umum yang ditetapkan oleh Jaksa Agung. Pasal 76 Penuntut umum setelah menerima hasil penyidikan dari penyidik wajib memberitahukan hasil penelitiannya kepada penyidik dalam waktu 5 (lima) hari terhitung sejak tanggal diterimanya berkas penyidikan. Pasal 85 Setiap orang yang dengan sengaja memiliki, menguasai, membawa, dan/atau menggunakan alat penangkap ikan dan/atau alat bantu penangkapan ikan yang mengganggu dan merusak keberlanjutan sumber daya ikan di kapal penangkap ikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah). Pasal 93 Setiap orang yang memiliki dan/atau mengoperasikan kapal penangkap ikan berbendera Indonesia melakukan penangkapan ikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia dan/atau di laut lepas, yang tidak memiliki SIPI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah). Pasal 98 Nakhoda kapal perikanan yang tidak memiliki surat persetujuan berlayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). PERATURAN BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN NOMOR 31 TAHUN 2018 TENTANG LABEL PANGAN OLAHAN Pasal 1



 

Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan, dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lainnya yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan makanan atau minuman. Pangan Olahan adalah makanan atau minuman hasil proses dengan cara atau metode tertentu dengan atau tanpa bahan tambahan. Label Pangan Olahan yang selanjutnya disebut Label adalah setiap keterangan mengenai Pangan Olahan yang berbentuk gambar, tulisan, kombinasi keduanya, atau bentuk lain yang disertakan pada Pangan Olahan, dimasukan ke dalam, ditempelkan pada, atau merupakan bagian Kemasan Pangan.

Pasal 2 Setiap Orang yang memproduksi Pangan Olahan di dalam negeri untuk diperdagangkan dalam kemasan eceran wajib mencantumkan Label. Setiap Orang yang mengimpor Pangan Olahan untuk diperdagangkan dalam kemasan eceran wajib mencantumkan Label pada saat memasuki wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pasal 3 Label yang dicantumkan di dalam dan/atau pada Kemasan Pangan wajib sesuai dengan Label yang disetujui pada saat izin edar. Pasal 4 Setiap Label sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 yang diperdagangkan wajib memuat keterangan mengenai Pangan Olahan dengan benar dan tidak menyesatkan. Pasal 5 Label sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 harus memuat keterangan paling sedikit mengenai: a. nama produk; b. daftar bahan yang digunakan; c. berat bersih atau isi bersih; d. nama dan alamat pihak yang memproduksi atau mengimpor; e. halal bagi yang dipersyaratkan; f. tanggal dan kode produksi; g. keterangan kedaluwarsa; h. nomor izin edar; dan i. asal usul bahan Pangan tertentu. Pasal 6

Dalam hal Pangan Olahan dijual kepada Pelaku Usaha untuk diolah kembali menjadi Pangan Olahan lainnya, Label harus memuat keterangan paling sedikit mengenai: a. nama produk; b. berat bersih atau isi bersih; c. nama dan alamat pihak yang memproduksi atau mengimpor; d. tanggal dan kode produksi; dan e. keterangan kedaluwarsa; Pasal 7 Keterangan pada Label harus ditulis dan dicetak dalam bahasa Indonesia. Keterangan dapat dicantumkan dalam bahasa asing dan/atau bahasa daerah sepanjang keterangan tersebut telah terlebih dahulu dicantumkan dalam bahasa Indonesia. Pasal 8 Gambar, warna, dan/atau desain lainnya dapat digunakan sebagai latar belakang sepanjang tidak mengaburkan tulisan yang ada. Pasal 9 Keterangan pada Label yang berbentuk tulisan wajib dicantumkan secara teratur, jelas, mudah dibaca, dan proporsional dengan luas permukaan Label. Pasal 10 Nama produk terdiri atas: a. nama jenis Pangan Olahan; dan b. nama dagang. Pasal 11 Nama jenis Pangan Olahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf a merupakan pernyataan atau keterangan identitas mengenai Pangan Olahan. Nama jenis Pangan Olahan harus menunjukkan karakteristik spesifik dari Pangan Olahan sesuai dengan Kategori Pangan. Pasal 12 Nama dagang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf b tidak dapat digunakan apabila nama dagang memuat unsur sebagai berikut: a. bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, moralitas agama, budaya, kesusilaan, dan/atau ketertiban umum; b. tidak memiliki daya pembeda; c. telah menjadi milik umum; d. menggunakan nama jenis atau nama umum/generik terkait Pangan Olahan yang bersangkutan; e. menggunakan kata sifat yang secara langsung atau tidak langsung dapat memengaruhi penafsiran terhadap Pangan Olahan; f. menggunakan kata yang terkait aspek keamanan

pangan, gizi, dan/atau kesehatan; dan/atau g. menggunakan nama dagang yang telah mempunyai sertifikat merek untuk Pangan Olahan sejenis atas nama orang dan/atau badan usaha lain. Pasal 13 Daftar bahan yang digunakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b merupakan daftar bahan yang digunakan dalam kegiatan atau proses Produksi Pangan. Bahan yang digunakan sebagaimana dimaksud meliputi: a. Bahan Baku; b. BTP; dan c. Bahan Penolong. Pasal 14 Pencantuman daftar bahan yang digunakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 harus didahului dengan tulisan: a. “daftar bahan”; b. “bahan yang digunakan”; c. “bahan-bahan”; atau d. “komposisi”. Pasal 15 Pangan Olahan yang diproduksi menggunakan lebih dari satu bahan Pangan wajib dicantumkan persentase kandungan bahan untuk bahan baku utama pada daftar bahan yang digunakan. Pasal 16 Air yang ditambahkan harus dicantumkan dalam daftar bahan yang digunakan, kecuali air tersebut merupakan bagian dari kandungan bahan yang digunakan. Air yang ditambahkan yang seluruhnya mengalami penguapan selama proses pengolahan dapat dicantumkan dalam daftar bahan yang digunakan. Pasal 17 Gambar buah, daging, ikan atau bahan Pangan lainnya hanya boleh dicantumkan apabila Pangan Olahan mengandung Bahan Baku tersebut, bukan sebagai BTP. Pasal 18 Pangan Olahan yang ditambahkan alkohol wajib mencantumkan kadar alkohol. Kadar alkohol tersebut dicantumkan pada bagian yang mudah dilihat, dan/atau dibaca. Pasal 19 BTP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) huruf b meliputi: a. BTP melalui penambahan langsung; dan/atau b. BTP Ikutan (Carry Over).

Pasal 20 Keterangan pada Pangan Olahan yang mengandung pemanis buatan, wajib dicantumkan tulisan ”Mengandung pemanis buatan, disarankan tidak dikonsumsi oleh anak di bawah 5 (lima) tahun, ibu hamil, dan ibu menyusui”. Keterangan pada Pangan Olahan untuk penderita diabetes dan/atau makanan berkalori rendah yang menggunakan pemanis buatan wajib dicantumkan tulisan "Untuk penderita diabetes dan/atau orang yang membutuhkan makanan berkalori rendah”. Pasal 21 BTP yang diperdagangkan secara eceran wajib dicantumkan keterangan: a. Tulisan “Bahan Tambahan Pangan”; b. Nama golongan BTP; dan c. Nama jenis BTP. Pasal 22 Dikecualikan untuk table-top sweetener yang kemasannya terlalu kecil sehingga seluruh keterangan tidak mungkin dicantumkan, tetap wajib mencantumkan nama jenis BTP, nama dan alamat pihak yang memproduksi, dan kesetaraan kemanisan terhadap gula sukrosa. Pasal 23 Pada Label BTP Campuran wajib dicantumkan: a. tulisan “Bahan Tambahan Pangan Campuran”; b. nama golongan BTP yang mempunyai fungsi utama; c. jenis Pangan Olahan yang diizinkan menggunakan BTP Campuran; dan d. takaran penggunaan dalam jenis Pangan Olahan. Pasal 24 Pada Label dapat dicantumkan keterangan tanpa BTP. Keterangan tanpa BTP hanya diizinkan untuk jenis BTP: a. pemanis buatan; b. pengawet; c. pewarna sintetik; d. antioksidan; dan/atau e. penguat rasa. Keterangan tanpa BTP dicantumkan jika pada produk akhir Pangan Olahantidak mengandung jenis BTP. Pasal 25 Pada Label untuk Bahan Penolong yang diperdagangkan wajib dicantumkan: a. tulisan “Bahan Penolong”; b. golongan Bahan Penolong; c. jenis Bahan Penolong; dan d. tulisan “TARA PANGAN”. Pasal 26

Berat bersih atau isi bersih merupakan informasi mengenai jumlah Pangan Olahan yang terdapat di dalam kemasan atau wadah dicantumkan dalam satuan metrik. Pencantuman satuan metrik meliputi: a. ukuran berat untuk Pangan Olahan padat yang dinyatakan dengan berat bersih; b. ukuran volume untuk Pangan Olahan cair yang dinyatakan dengan isi bersih; atau c. ukuran berat atau volume untuk Pangan Olahan semi padat atau kental yang dinyatakan dengan berat bersih atau isi bersih. Pasal 27 Pada Label untuk Pangan Olahan yang menggunakan medium cair, selain keterangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26, harus dicantumkan bobot tuntas atau berat tuntas. Pasal 28 Pihak yang memproduksi, pihak yang mengimpor, pihak pemberi kontrak, pihak penerima kontrak dan/atau pihak pemberi lisensi Pangan Olahan wajib mencantumkan nama dan alamat. Pasal 29 Pencantuman alamat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 untuk Pangan Olahan produk dalam negeri paling sedikit meliputi nama kota, kode pos, dan Indonesia. Pasal 30 Pencantuman alamat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 untuk produksi Pangan Olahan Impor paling sedikit meliputi nama kota dan negara. Pasal 31 Dalam hal Pangan Olahan diproduksi secara kontrak, pihak pemberi kontrak dan pihak penerima kontrak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 wajib mencantumkan nama dan alamat yang dilengkapi dengan tulisan “Diproduksi oleh ... untuk ...”, ”Dikemas oleh ... untuk ... ”. Pasal 32 Pelaku Usaha yang memproduksi atau mengimpor Pangan Olahan yang dikemas eceran untuk diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib mencantumkan keterangan halal setelah mendapatkan sertifikat halal. Pasal 33 Tanggal dan kode produksi wajib dicantumkan pada Label dan diletakkan pada bagian yang mudah dilihat dan dibaca. Pasal 34 Keterangan kedaluwarsa merupakan batas akhir suatu Pangan dijamin mutunya, sepanjang penyimpanannya mengikuti petunjuk yang diberikan produsen. Pasal 35

Dikecualikan dari ketentuan pencantuman keterangan kedaluwarsa untuk: a. minuman yang mengandung alkohol paling sedikit 7% (tujuh persen); b. roti dan kue yang mempunyai masa simpan kurang dari atau sama dengan 24 (dua puluh empat) jam; dan c. cuka. Pangan Olahan tersebut harus mencantumkan tanggal produksi dan/atau tanggal pengemasan. Pasal 36 Pencantuman Nomor Izin Edar Pangan Olahan produk dalam negeri harus diawali dengan tulisan “BPOM RI MD” yang diikuti dengan digit angka. Pasal 37 Keterangan tentang asal usul bahan Pangan tertentu meliputi: a. asal bahan Pangan tertentu yang bersumber dari hewan atau tanaman; dan b. Pangan yang diproduksi melalui proses khusus. Pasal 38 Setiap Orang yang memproduksi dan menggunakan bahan baku, BTP dan/atau bahan lain yang berasal dari produk rekayasa genetik untuk diedarkan wajib mencantumkan keterangan berupa tulisan “PRODUK REKAYASA GENETIK” pada Label. Pasal 39 Setiap Orang yang memproduksi Pangan iradiasi wajib mencantumkan keterangan berupa tulisan “IRADIASI” pada Label. Pasal 40 Dalam hal Pangan Olahan mengandung bahan berasal dari babi wajib mencantumkan tanda khusus berupa tulisan ”MENGANDUNG BABI” dan gambar babi.

Pasal 41 Dalam hal Pangan Olahan melalui proses pembuatan yang bersinggungan dan/atau mengunakan fasilitas bersama dengan bahan bersumber babi, pada Label harus dicantumkan keterangan berupa tulisan “Pada proses pembuatannya bersinggungan dan/atau menggunakan fasilitas bersama dengan bahan bersumber babi” dan gambar babi.

Pasal 42

Tanda khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (2) dan Pasal 41 ayat (2) harus dicantumkan dengan ukuran huruf minimal 2 mm (dua milimeter) pada bagian yang paling mudah dilihat dan/atau dibaca. Pasal 43 Keterangan tentang kandungan Gizi dan/atau non Gizi wajib dicantumkan pada Label. Pasal 44 Setiap Orang yang mencantumkan Informasi Nilai Gizi dapat mencantumkan kandungan Gizi pada bagian utama Label (Front of Pack - FOP). Pasal 45 Label yang mengandung gula, garam, dan/atau lemak dan dikonsumsi dalam jumlah yang dapat menimbulkan risiko penyakit tidak menular wajib dicantumkan informasi pesan kesehatan. Pasal 46 Label Pangan Olahan Tertentu wajib dicantumkan keterangan tentang peruntukan yang memuat informasi tentang target konsumen dari suatu produk, meliputi bayi, ibu hamil, ibu menyusui, dan orang dengan penyakit tertentu. Pasal 47 Keterangan tentang cara penggunaan mencakup informasi tentang cara penyiapan dan saran penyajian. Pasal 48 Keterangan tentang cara penyimpanan wajib dicantumkan pada Label Pangan Olahan dengan masa simpan yang dipengaruhi oleh kondisi penyimpanan, dan harus disimpan pada kondisi penyimpanan khusus. Pasal 49 Keterangan tentang Alergen wajib dicantumkan pada Label yang mengandung Alergen. Pasal 50 Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 untuk Pangan Olahan yang mengandung Alergen yang telah mengalami proses pemurnian lebih lanjut (highly refined food). Pasal 51 Keterangan tentang Pangan Olahan yang mengandung Alergen wajib dicantumkan bahan alergen dalam daftar bahan dengan tulisan yang dicetak tebal dan mencantumkan tulisan informasi Alergen berupa “Mengandung alergen, lihat daftar bahan yang dicetak tebal”; Pasal 52

Pada Label minuman beralkohol wajib dicantumkan tulisan peringatan: a. “MINUMAN BERALKOHOL” b. “Mengandung Alkohol ± … % v/v” c. “DI BAWAH UMUR 21 TAHUN ATAU WANITA HAMIL DILARANG MINUM”. Pasal 53 Pada Label produk susu harus dicantumkan peringatan berupa tulisan “Perhatikan!, tulisan “Tidak untuk menggantikan Air Susu Ibu" dan tulisan “Tidak Cocok untuk Bayi sampai usia 12 bulan”. Pasal 54 Pada Label produk susu kental dan analognya wajib dicantumkan peringatan berupa tulisan “Perhatikan!, tulisan "Tidak untuk menggantikan Air Susu Ibu", tulisan “Tidak Cocok untuk Bayi sampai usia 12 bulan”, dan tulisan “Tidak dapat digunakan sebagai satu-satunya sumber gizi”. Pasal 55 Pangan Olahan dapat mencantumkan Klaim Gizi, Klaim kesehatan dan Klaim lainnya. Pasal 56 Setiap Orang yang memproduksi Pangan Olahan Organik wajib mencantumkan keterangan tentang organik. Pasal 57 Keterangan terkait sponsor suatu kegiatan dapat dicantumkan pada Label. Pasal 58 Pada Label dapat dicantumkan keterangan tentang layanan pengaduan konsumen. Pasal 59 Pada Label wajib dicantumkan 2 (dua) dimensi (2D Barcode). Pasal 60 Keterangan mengenai sertifikasi keamanan dan mutu Pangan Olahan dapat dicantumkan pada Label. Pasal 61 Tulisan, logo dan/atau gambar yang terkait dengan kelestarian lingkungan dapat dicantumkan pada Label. Pasal 62 Keterangan untuk membedakan mutu suatu Pangan Olahan dapat digunakan dalam hal Pangan Olahan tersebut memiliki perbedaan terkait karakteristik mutu dan/atau kandungan zat Gizi dengan Pangan Olahan sejenis.

Pasal 63 Keterangan berupa alami, murni, 100%, dengan ... (diikuti nama bahan), dari (diikuti nama bahan), segar, dan asli dapat dicantumkan pada Label. Pasal 64 Pencantuman logo Vegan dan/atau tulisan Vegan dapat dilakukan sepanjang Pangan Olahan tidak mengandung bahan Pangan berbasis hewan dan produk olahannya termasuk madu. Pasal 65 Dalam hal luas permukaan Label kurang dari atau sama dengan 10 cm2 (sepuluh sentimeter persegi), keterangan yang wajib dicantumkan paling sedikit yaitu nama produk, tanggal kedaluwarsa, dan Nomor Izin Edar. Pasal 66 Dalam hal Pangan Olahan yang dijual dan dikemas secara langsung dihadapan konsumen, keterangan tentang Pangan Olahan tersebut dicantumkan pada media informasi lain yang diletakkan di tempat penjualan atau berdekatan dengan tempat penjualan sedemikian rupa sehingga dapat dilihat dan dibaca. Pasal 67 Pelaku Usaha dilarang mencantumkan pernyataan, keterangan, tulisan, gambar, logo, klaim, dan/atau visualisasi yang dilebih-lebihkan. Pasal 68 Pelaku Usaha dilarang memproduksi Pangan Olahan menggunakan nama dagang dan desain yang sama dengan Pangan Olahan untuk keperluan medis khusus. Pasal 69 Setiap Orang dilarang menghapus, mencabut, menutup, mengganti Label, melabel kembali, dan/atau menukar tanggal, bulan, dan tahun kedaluwarsa Pangan Olahan yang diedarkan. Pasal 70 Setiap Orang dilarang memberikan keterangan atau pernyataan yang tidak benar dan/atau menyesatkan pada Label. Pasal 71 Setiap Orang yang melanggar ketentuan dalam Peraturan Badan ini dikenai sanksi administratif berupa: a. penghentian sementara dari kegiatan, produksi, dan/atau peredaran; b. penarikan Pangan dari peredaran oleh produsen; dan/atau c. pencabutan izin. Pasal 72

Label yang telah beredar sebelum berlakunya Peraturan Badan ini wajib menyesuaikan dengan ketentuan dalam Peraturan Badan ini paling lama 30 (tiga puluh) bulan sejak Peraturan Badan ini diundangkan. UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2014 TENTANG STANDARDISASI DAN PENILAIAN KESESUAIAN BAB 1 : Ketentuan Umum Pasal 1 :  Standardisasi adalah proses merencanakan, merumuskan, menetapkan, menerapkan, memberlakukan, memelihara, dan mengawasi Standar yang dilaksanakan secara tertib dan bekerja sama dengan semua Pemangku Kepentingan.  Standar adalah persyaratan teknis atau sesuatu yang dibakukan, termasuk tata cara dan metode yang disusun berdasarkan konsensus semua pihak/Pemerintah/ keputusan internasional yang terkait dengan memperhatikan syarat keselamatan, keamanan, kesehatan, lingkungan hidup, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, pengalaman, serta perkembangan masa kini dan masa depan untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya.  BSN adalah lembaga pemerintah nonkementerian yang bertugas dan bertanggung jawab di bidang Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian.  KAN adalah lembaga nonstruktural yang bertugas dan bertanggung jawab di bidang Akreditasi Lembaga Penilaian Kesesuaian.  SNI adalah Standar yang ditetapkan oleh BSN dan berlaku di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.  Akreditasi adalah rangkaian kegiatan pengakuan formal oleh KAN, yang menyatakan bahwa suatu lembaga, institusi, atau laboratorium memiliki kompetensi serta berhak melaksanakan Penilaian Kesesuaian.  Sertifikasi adalah rangkaian kegiatan Penilaian Kesesuaian yang berkaitan dengan pemberian jaminan tertulis bahwa Barang, Jasa, Sistem, Proses, atau Personal telah memenuhi Standar dan/atau regulasi.  Tanda SNI adalah tanda sertifikasi yang ditetapkan oleh BSN untuk menyatakan telah terpenuhinya persyaratan SNI.  Tanda Kesesuaian adalah tanda sertifikasi selain Tanda SNI yang ditetapkan kementerian dan/atau lembaga pemerintah nonkementerian atau ditetapkan berdasarkan perjanjian saling pengakuan antar subjek hukum internasional.  Pelaku Usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian, menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.



 



Pemangku Kepentingan adalah pihak yang mempunyai kepentingan terhadap kegiatan Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian, yang terdiri atas unsur konsumen, Pelaku Usaha, asosiasi, pakar, cendekiawan, kementerian, lembaga pemerintah nonkementerian, dan/atau Pemerintah Daerah. PNPS adalah usulan rancangan SNI dari Pemangku Kepentingan yang akan dirumuskan secara terencana, terpadu, dan sistematis. Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati atau walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.

Pasal 2: Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian dilaksanakan berdasarkan asas:  manfaat;  konsensus dan tidak memihak;  transparansi dan keterbukaan;  efektif dan relevan;  koheren  dimensi pembangunan nasional; dan  kompeten dan tertelusur Pasal 3: Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian bertujuan:  meningkatkan jaminan mutu, efisiensi produksi, daya saing nasional, persaingan usaha yang sehat dan transparan dalam perdagangan, kepastian usaha, dan kemampuan Pelaku Usaha, serta kemampuan inovasi teknologi;  meningkatkan perlindungan kepada konsumen, Pelaku Usaha, tenaga kerja, dan masyarakat lainnya, serta negara, baik dari aspek keselamatan, keamanan, kesehatan, maupun pelestarian fungsi lingkungan hidup; dan  meningkatkan kepastian, kelancaran, dan efisiensi transaksi perdagangan Barang dan/atau Jasa di dalam negeri dan luar negeri. Pasal 4: Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian berlaku terhadap Barang, Jasa, Sistem, Proses, atau Personal. Pasal 5:  Kebijakan nasional Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian mencakup aspek legalitas, kelembagaan, kaidah, dan pedoman. Pasal 6:  Kebijakan nasional Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 menjadi dasar dalam perencanaan, perumusan,

penetapan, penerapan, pemberlakuan, pemeliharaan, dan pengawasan SNI serta kegiatan Penilaian Kesesuaian. Pasal 7:  Kebijakan nasional Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 wajib menjadi acuan bagi kebijakan Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian di setiap sektor. BAB II : KELEMBAGAN Pasal 8:  

Pemerintah melaksanakan tugas dan tanggung jawab di bidang Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian. BSN berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden melalui menteri yang mengoordinasikan.

Pasal 9:  Pemerintah melaksanakan tugas dan tanggung jawab di bidang Akreditasi LPK.  KAN berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden melalui Kepala BSN. BAB III: STANDARDISASI Pasal 10:  Perencanaan perumusan SNI disusun dalam suatu PNPS.  PNPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun memperhatikan: a. kebijakan nasional Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian; b. perlindungan konsumen; c. kebutuhan pasar; d. perkembangan Standardisasi internasional; e. kesepakatan regional dan internasional; f. kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi; g. kondisi flora, fauna, dan lingkungan hidup; h. kemampuan dan kebutuhan industri dalam negeri; i. keyakinan beragama; dan j. budaya dan kearifan lokal.

dengan

Pasal 12:  Dalam hal keadaan luar biasa atau terjadinya bencana alam, atau untuk kepentingan nasional, kementerian dan/atau lembaga pemerintah nonkementerian dapat mengusulkan perumusan SNI yang tidak termasuk dalam PNPS pada tahun berjalan. Pasal 13:

 

SNI dirumuskan dengan memperhatikan ketersediaan sumber daya, kepentingan nasional, hasil penelitian, inovasi, dan/atau pengalaman Dalam hal terdapat standar internasional, SNI dirumuskan selaras dengan standar internasional melalui: a. adopsi standar internasional dengan mempertimbangkan kepentingan nasional untuk menghadapi perdagangan global; atau b. modifikasi standar internasional disesuaikan dengan perbedaan iklim, lingkungan, geologi, geografis, kemampuan teknologi, dan kondisi spesifik lain.

Pasal 14:  Komite teknis terdiri atas unsur: a. Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah; b. Pelaku Usaha dan/atau asosiasi terkait; c. konsumen dan/atau asosiasi terkait; dan d. pakar dan/atau akademisi Pasal 19:  Setiap orang dilarang memalsukan SNI atau membuat SNI palsu.  Setiap orang dilarang memperbanyak, memperjualbelikan, menyebarkan SNI tanpa persetujuan BSN.

atau

Pasal 20:  Penerapan SNI dilakukan dengan cara menerapkan persyaratan SNI terhadap Barang, Jasa, Sistem, Proses, atau Personal. Pasal 21:  SNI dapat diterapkan secara sukarela oleh Pelaku Usaha, kementerian dan/atau lembaga pemerintah nonkementerian, dan/atau Pemerintah Daerah.  Pelaku Usaha, kementerian dan/atau lembaga pemerintah nonkementerian, dan/atau Pemerintah Daerah yang telah mampu menerapkan SNI dapat mengajukan Sertifikasi kepada LPK yang telah diakreditasi oleh KAN. Pasal 22:  Pelaku Usaha yang telah mendapatkan sertifikat berkewajiban membubuhkan Tanda SNI dan/atau Tanda Kesesuaian pada Barang dan/atau kemasan atau label.  Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang: a. membubuhkan Tanda SNI dan/atau Tanda Kesesuaian pada Barang dan/atau kemasan atau label di luar ketentuan yang ditetapkan dalam sertifikat; atau b. membubuhkan nomor SNI yang berbeda dengan nomor SNI pada sertifikatnya.  Pelaku Usaha yang menerapkan SNI secara sukarela yang memiliki sertifikat dan telah berakhir masa berlaku, dicabut, atau dibekukan

sertifikatnya dilarang membubuhkan Tanda SNI dan/atau Tanda Kesesuaian pada Barang dan/atau kemasan atau label Pasal 24:  Dalam hal berkaitan dengan kepentingan keselamatan, keamanan, kesehatan, atau pelestarian fungsi lingkungan hidup, kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian berwenang menetapkan pemberlakuan SNI secara wajib dengan Peraturan Menteri atau Peraturan Kepala Lembaga Pemerintah Nonkementerian. Pasal 25:  Pelaku Usaha, kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian, dan/atau Pemerintah Daerah wajib memiliki sertifikat SNI yang diberlakukan secara wajib. 

Pelaku Usaha yang tidak memiliki sertifikat atau memiliki sertifikat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tetapi habis masa berlakunya, dibekukan sementara, atau dicabut dilarang: a. memperdagangkan atau mengedarkan Barang; b. memberikan Jasa; dan/atau c. menjalankan Proses atau Sistem, yang tidak sesuai dengan SNI atau penomoran SNI.

Pasal 27:  Pemeliharaan SNI dilakukan untuk: a. menjaga kesesuaian SNI terhadap kepentingan nasional dan kebutuhan pasar; b. mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan, inovasi, dan teknologi; c. menilai kelayakan dan kekiniannya; dan d. menjamin ketersediaan SNI. Pasal 29:  Dalam rangka perencanaan, perumusan, penerapan dan pemberlakuan, serta pemeliharaan SNI, BSN dan/atau kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian lainnya secara bersama-sama atau sendiri-sendiri dapat melakukan kegiatan penelitian dan pengembangan Standardisasi. BAB IV: PENILAIAN KESESUAIAN Pasal 30:  Pemenuhan terhadap persyaratan SNI dibuktikan melalui kegiatan Penilaian Kesesuaian melalui pengujian, inspeksi, dan/atau Sertifikasi. Pasal 31:  Pengujian merupakan kegiatan untuk menetapkan 1 (satu) atau lebih karakteristik bahan atau proses berdasarkan SNI.

Pasal 32:  Inspeksi) merupakan kegiatan pemeriksaan terhadap Barang, Jasa, Proses, atau instalasi atau setiap rancangannya serta penentuan kesesuaiannya terhadap persyaratan tertentu yang didasarkan pada SNI. Pasal 33:  Sertifikasi dapat berupa kegiatan Sertifikasi Barang, Sertifikasi Jasa, Sertifikasi Sistem, Sertifikasi Proses, Sertifikasi Personal, dan Sertifikasi lainnya yang dimaksudkan untuk menyatakan kesesuaian terhadap SNI. Pasal 36:  Kegiatan Penilaian Kesesuaian dilakukan oleh LPK yang telah diakreditasi oleh KAN.  LPK yang menjalankan kegiatan di Indonesia wajib berbadan hukum Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia Pasal 37:  LPK yang tidak diakreditasi oleh KAN atau yang akreditasinya dibekukan sementara atau dicabut, dilarang menerbitkan sertifikat berlogo KAN kepada pemohon sertifikat yang Barang, Jasa, Sistem, Proses, atau Personalnya tidak sesuai dengan SNI.  LPK yang telah diakreditasi oleh KAN dilarang menerbitkan sertifikat berlogo KAN diluar ruang lingkup Akreditasinya. Setiap orang dilarang memalsukan sertifikat Akreditasi atau membuat sertifikat Akreditasi palsu. Pasal 42:  Pengukuran dalam kegiatan Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian harus tertelusur ke sistem satuan internasional melalui pengelolaan standar nasional satuan ukuran, pengembangan bahan acuan, dan kalibrasi Pasal 44:  Pengembangan bahan acuan dan kalibrasi dilakukan oleh produsen bahan acuan dan laboratorium kalibrasi yang diakreditasi oleh KAN atau lembaga akreditasi di negara lain yang telah memiliki perjanjian saling pengakuan. Hasil pengembangan bahan acuan merupakan bahan acuan yang karakteristiknya dinyatakan dalam bentuk sertifikat bahan acuan. Pasal 46:  Barang, Jasa, Sistem, Proses, atau Personal yang telah memenuhi SNI diberi bukti kesesuaian berupa sertifikat. Sertifikat menjadi dasar persetujuan penggunaan Tanda SNI dan/atau Tanda Kesesuaian.  Persetujuan penggunaan Tanda Kesesuaian diberikan oleh kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian yang berwenang kepada Pelaku Usaha. Pasal 48:



Dalam rangka efektivitas penerapan SNI, BSN dapat melakukan uji petik kesesuaian terhadap SNI berkoordinasi dengan kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian terkait.  Hasil uji petik kesesuaian terhadap SNI sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada KAN, instansi pembina, dan kementerian/ lembaga pemerintah nonkementerian yang bertanggung jawab melakukan pengawasan pasar sebagai masukan untuk tindak lanjut yang diperlukan. BAB V: KERJASAMA Pasal 50:  Untuk mengembangkan Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian serta Akreditasi LPK, dapat dilakukan kerja sama internasional. Pasal 51:  Untuk memenuhi kewajiban internasional di bidang Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian, BSN harus bekerja sama dengan kementerian dan/atau lembaga pemerintah nonkementerian lainnya. BAB VI: PERAN SERTA MASYARAKAT Pasal 52: 

Peran serta masyarakat dalam kegiatan Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa: a. mengusulkan dan memberi masukan dalam proses perumusan SNI; b. mencari dan mendapatkan informasi untuk menerapkan SNI; c. membangun budaya standar; dan/atau d. melaporkan terjadinya: 1. penyalahgunaan dan/atau pemalsuan SNI, sertifikat Barang, sertifikat Jasa, sertifikat Sistem, sertifikat Proses, atau sertifikat Personal; 2. penggunaan tanpa hak Tanda SNI dan/atau Tanda Kesesuaian; dan/atau 3. pembubuhan Tanda SNI dan/atau Tanda Kesesuaian yang tidak sesuai dengan sertifikat pada Barang dan/atau kemasan atau label yang beredar di pasar, kepada kementerian/lembaga pemerintah nonkementerian, Pemerintah Daerah, aparat penegak hukum, dan/atau institusi terkait.

BAB VII: PEMBINAAN Pasal 53:  BSN bekerja sama dengan kementerian, lembaga pemerintah nonkementerian lainnya, dan/atau Pemerintah Daerah untuk melakukan pembinaan terhadap Pelaku Usaha dan masyarakat dalam penerapan SNI.  Terhadap Pelaku Usaha mikro dan kecil, diberikan pembinaan paling sedikit berupa fasilitas pembiayaan Sertifikasi dan pemeliharaan Sertifikasi.

Pasal 54:  BSN, kementerian, lembaga pemerintah nonkementerian lainnya, dan/atau Pemerintah Daerah dapat melakukan pembinaan dan pengembangan LPK dengan memperhatikan kebutuhan pasar dan masyarakat. Pasal 55:  Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 dan Pasal 54 dilakukan dengan konsultasi, pendidikan, pelatihan, atau pemasyarakatan Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian serta penumbuhkembangan budaya Standar. Pasal 56:  BSN, kementerian, lembaga pemerintah nonkementerian lainnya, institusi pendidikan, organisasi standardisasi regional dan internasional, dan/atau Pemerintah Daerah dapat menyelenggarakan peningkatan kompetensi sumber daya manusia di bidang Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian. BAB VIII: PENGAWASAN Pasal 58:  Pengawasan terhadap Barang, Jasa, Sistem, Proses, atau Personal yang diberlakukan SNI secara wajib sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.  Kementerian, lembaga pemerintah nonkementerian, dan/atau Pemerintah Daerah berkoordinasi untuk melakukan pengawasan terhadap Barang, Jasa, Sistem, Proses, atau Personal yang memiliki sertifikat dan/atau menggunakan Tanda SNI dan/atau Tanda Kesesuaian. BAB IX: SISTEM INFORMASI STANDARDISASI DAN PENILAIAN KESESUAIAN Pasal 59:  BSN dalam mengelola sistem informasi Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian dapat meminta data dan/atau informasi di bidang Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian kepada Pemangku Kepentingan.  Sistem informasi Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian terintegrasi dengan sistem informasi kementerian, lembaga pemerintah nonkementerian, dan Pemerintah Daerah. Pasal 60:  BSN melalui sistem informasi Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian mempublikasikan informasi SNI yang telah ditetapkan.  Ketentuan mengenai publikasi informasi SNI melalui sistem informasi Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian dengan Peraturan Kepala BSN.

BAB X: KETENTUAN PIDANA Pasal 62:  Setiap orang yang memalsukan SNI atau membuat SNI palsu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun atau pidana denda paling banyak Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah). Pasal 63:  Setiap orang yang dengan sengaja memperbanyak, memperjualbelikan, atau menyebarkan SNI tanpa persetujuan BSN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau pidana denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah). Pasal 64:  Setiap orang yang dengan sengaja: a. membubuhkan Tanda SNI dan/atau Tanda Kesesuaian pada Barang dan/atau kemasan atau label di luar ketentuan yang ditetapkan dalam sertifikat; atau b. membubuhkan nomor SNI yang berbeda dengan nomor SNI pada sertifikatnya, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau pidana denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah). Pasal 65:  Setiap orang yang tidak memiliki sertifikat atau memiliki sertifikat tetapi habis masa berlakunya, dibekukan sementara, atau dicabut yang dengan sengaja: a. memperdagangkan atau mengedarkan Barang; b. memberikan Jasa; dan/atau c. menjalankan Proses atau Sistem, yang tidak sesuai dengan SNI atau penomoran SNI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp35.000.000.000,00 (tiga puluh lima miliar rupiah). Pasal 66:  Setiap orang yang memiliki sertifikat yang dengan sengaja: a. memperdagangkan atau mengedarkan Barang; b. memberikan Jasa; dan/atau c. menjalankan Proses atau Sistem, yang tidak sesuai dengan SNI atau penomoran SNI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp35.000.000.000,00 (tiga puluh lima miliar rupiah). Pasal 67:



Setiap orang yang mengimpor barang yang dengan sengaja memperdagangkan atau mengedarkan Barang yang tidak sesuai dengan SNI atau penomoran SNI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp35.000.000.000,00 (tiga puluh lima miliar rupiah).

Pasal 68:  Setiap orang yang tanpa hak menggunakan dan/atau membubuhkan Tanda SNI dan/atau Tanda Kesesuaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp35.000.000.000,00 (tiga puluh lima miliar rupiah). Pasal 69:  Setiap orang yang memalsukan tanda SNI dan/atau Tanda Kesesuaian atau membuat Tanda SNI dan/atau Tanda Kesesuaian palsu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun atau pidana denda paling banyak Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah). Pasal 70:  Setiap orang yang dengan sengaja: a. menerbitkan sertifikat berlogo KAN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1); b. menerbitkan sertifikat kepada pemohon sertifikat yang Barang, Jasa, Sistem, Proses, atau Personalnya tidak sesuai dengan SNI sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (2); atau c. menerbitkan sertifikat di luar ruang lingkup Akreditasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (3); dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp35.000.000.000,00 (tiga puluh lima miliar rupiah). Pasal 71:  Setiap orang yang memalsukan sertifikat Akreditasi atau membuat sertifikat Akreditasi palsu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun atau pidana denda paling banyak Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah). Pasal 72:  Selain pidana pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 sampai Pasal 71, pelaku tindak pidana dapat dijatuhi pidana tambahan berupa: a. kewajiban melakukan penarikan Barang yang telah beredar; b. kewajiban mengumumkan bahwa Barang yang beredar tidak sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini; dan/atau c. perampasan atau penyitaan Barang dan dapat dimusnahkan. Pasal 73:

 

Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 62 sampai Pasal 71 dilakukan oleh korporasi, tuntutan dan penjatuhan pidana penjara dan pidana denda dikenakan terhadap pemilik dan/atau pengurusnya. Korporasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan pidana tambahan berupa: a. pencabutan izin usaha; dan/atau b. pencabutan status badan hukum.

BAB XI: KETENTUAN PENUTUP Pasal 74:  Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan perundangundangan yang mengatur mengenai Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini. PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2004 TENTANG KEAMANAN, MUTU DAN GIZI PANGAN BAB I : KETENTUAN UMUM Pasal 1:  Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air,baik yang diolah maupun yang tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan/atau pembuatan makanan atau minuman.  Pangan segar adalah pangan yang belum mengalami pengolahan yang dapat dikonsumsi langsung dan/atau yang dapat menjadi bahan bakupengolahan pangan.  Keamanan pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia.  Persyaratan keamanan pangan adalah standar dan ketentuan-ketentuan lain yang harus dipenuhi untuk mencegah pangan dari kemungkinan adanya bahaya, baik karena cemaran biologis, kimia dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia.  Sanitasi pangan adalah upaya untuk pencegahan terhadap kemungkinan bertumbuh dan berkembang biaknya jasad renik pembusuk dan patogen dalam makanan, minuman, peralatan dan bangunan yang dapat merusak pangan dan membahayakan manusia.  Industri rumah tangga pangan adalah perusahaan pangan yang memiliki tempat usaha di tempat tinggal dengan peralatan pengolahan pangan manual hingga semi otomatis.

 

 

Bahan tambahan pangan adalah bahan yang ditambahkan ke dalam pangan untuk mempengaruhi sifat atau bentuk pangan. Standar adalah spesifikasi atau persyaratan teknis yang dibakukan, termasuk tata cara dan metode yang disusun berdasarkan consensus semua pihak yang terkait dengan memperhatikan syarat-syarat keselamatan, keamanan, kesehatan, lingkungan hidup, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta pengalaman perkembangan masa kini dan masa yang akan datang untuk memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya. Gizi pangan adalah zat atau senyawa yang terdapat dalam pangan yang terdiri atas karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral serta turunannya yang bermanfaat bagi pertumbuhan dan kesehatan manusia. Sertifikat mutu pangan adalah jaminan tertulis yang diberikan oleh lembaga sertifikasi/laboratorium yang telah diakreditasi yang menyatakan bahwa pangan tersebut telah memenuhi kriteria tertentu dalam standar mutu pangan yang bersangkutan

BAB II: KEAMANAN PANGAN Pasal 2:  Setiap orang yang bertanggung jawab dalam penyelenggaraan kegiatan pada rantai pangan yang meliputi proses produksi, penyimpanan, pengangkutan, dan peredaran pangan wajib memenuhi persyaratan sanitasi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.  Persyaratan sanitasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut oleh Menteri yang bertanggung jawab di bidang kesehatan yang meliputi antara lain : a. sarana dan/atau prasarana; b. penyelenggaraan kegiatan; dan c. orang perseorangan. Pasal 3:  Pemenuhan persyaratan sanitasi di seluruh kegiatan rantai pangan dilakukan dengan cara menerapkan pedoman cara yang baik yang meliputi : a. Cara Budidaya yang Baik; b. Cara Produksi Pangan Segar yang Baik; c. Cara Produksi Pangan Olahan yang Baik; d. Cara Distribusi Pangan yang Baik; e. Cara Ritel Pangan yang Baik; dan f. Cara Produksi Pangan Siap Saji yang Baik.

Pasal 4:  Pedoman Cara Budidaya yang Baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a adalah cara budidaya yang memperhatikan aspek keamanan pangan, antara lain dengan cara:

a. mencegah penggunaan lahan dimana lingkungannya mempunyai potensi mengancam keamanan pangan; b. mengendalikan cemaran biologis, hama dan penyakit hewan dan tanaman yang mengancam keamanan pangan; dan c. menekan seminimal mungkin, residu kimia yang terdapat dalam bahan pangan sebagai akibat dari penggunaan pupuk, obat pengendali hama dan penyakit, bahan pemacu pertumbuhan dan obat hewan yang tidak tepat guna. Pasal 7:  Pedoman Cara Distribusi Pangan yang Baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf d adalah cara distribusi yang memperhatikan aspek keamanan pangan, antara lain dengan cara : a. melakukan cara bongkar muat pangan yang tidak menyebabkan kerusakan pada pangan; b. mengendalikan kondisi lingkungan, distribusi dan penyimpanan pangan khususnya yang berkaitan dengan suhu, kelembaban, dan tekanan udara; dan c. mengendalikan sistem pencatatan yang menjamin penelusuran kembali pangan yang didistribusikan. Pasal 8:  Pedoman Cara Ritel Pangan yang Baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf e adalah cara ritel yang memperhatikan aspek keamanan pangan, antara lain dengan cara : a. mengatur cara penempatan pangan dalam lemari gerai dan rak penyimpanan agar tidak terjadi pencemaran silang; b. mengendalikan stok penerimaan dan penjualan; c. mengatur rotasi stok pangan sesuai dengan masa kedaluwarsanya; dan d. mengendalikan kondisi lingkungan penyimpanan pangan khususnya yang berkaitan dengan suhu, kelembaban, dan tekanan udara. Pasal 10:  Menteri yang bertanggung jawab di bidang pertanian, perikanan, kehutanan, perindustrian, kesehatan atau Kepala Badan sesuai dengan bidang tugas dan kewenangan masing-masing dapat menetapkan pedoman cara yang baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 untuk diterapkan secara wajib. Pasal 11:  Setiap orang yang memproduksi pangan untuk diedarkan dilarang menggunakan bahan apapun sebagai bahan tambahan pangan yang dinyatakan terlarang. Pasal 12:



Setiap orang yang memproduksi pangan dengan menggunakan bahan tambahan pangan untuk diedarkan wajib menggunakan bahan tambahan pangan yang diizinkan.

Pasal 13:  Bahan yang akan digunakan sebagai bahan tambahan pangan tetapi belum diketahui dampaknya bagi kesehatan manusia, wajib terlebih dahulu diperiksa keamanannya, dan dapat digunakan dalam kegiatan atau proses produksi pangan untuk diedarkan setelah memperoleh persetujuan Kepala Badan. Pasal 14:  Pemeriksaan keamanan pangan produk rekayasa genetika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi : a. informasi genetika, antara lain deskripsi umum pangan produk rekayasa genetika dan deskripsi inang serta penggunaanya sebagai pangan; b. deskripsi organisme donor; c. deskripsi modifikasi genetika; d. karakterisasi modifikasi genetika; dan e. informasi keamanan pangan, antara lain kesepadanan substansial, perubahan nilai gizi, alergenitas dan toksisitas. Pasal 15:  Fasilitas iradiasi yang digunakan dalam kegiatan atau proses produksi pangan untuk diedarkan harus mendapatkan izin pemanfaatan tenaga nuklir dan didaftarkan kepada Kepala badan yang bertanggung jawab di bidang pengawasan tenaga nuklir. Pasal 21:  Setiap orang yang memproduksi pangan untuk diperdagangkan bertanggung jawab menyelenggarakan sistem jaminan mutu sesuai dengan jenis pangan yang diproduksi.  Dalam menetapkan standar dan persyaratan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Menteri yang bertanggung jawab di bidang pertanian, perikanan, kehutanan, perindustrian, kesehatan atau Kepala Badan wajib memperhatikan perjanjian TBT/SPS WTO atau perjanjian yang telah diratifikasi Pemerintah. Pasal 22:  Menteri yang bertanggung jawab di bidang pertanian atau perikanan sesuai dengan bidang tugas dan kewenangan masing-masing, berwenang menetapkan jenis pangan segar yang wajib diuji secara laboratoris sebelum diedarkan. Pasal 24:  Menteri yang bertanggung jawab di bidang pertanian, perikanan atau Kepala Badan :

a. menetapkan bahan yang dilarang digunakan dalam kegiatan atau proses produksi pangan; b. menetapkan ambang batas maksimal cemaran yang diperbolehkan; c. mengatur dan/atau menetapkan persyaratan bagi penggunaan cara, metode, dan/atau bahan tertentu dalam kegiatan atau prosesproduksi, pengolahan, penyimpanan, pengangkutan, dan/atau peredaran pangan yang dapat memiliki risiko merugikan dan/atau membahayakan kesehatan manusia; d. menetapkan bahan yang dilarang digunakan dalam memproduksi peralatan pengolahan, penyiapan, pemasaran dan/atau penyajian pangan. Pasal 25:  Dalam hal menurut unit pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdapat indikasi Kejadian Luar Biasa (KLB) keracunan pangan, unit pelayanan kesehatan tersebut wajib segera mengambil contoh pangan yang dicurigai sebagai penyebab keracunan dan memberikan laporan kepada dinas Kabupaten/Kota yang bertanggung jawab di bidang kesehatan dan Badan. BAB III: MUTU GIZI PANGAN Pasal 30:  Pemberlakuan Standar Nasional Indonesia secara wajib dilakukan oleh Menteri yang bertanggung jawab di bidang perindustrian, pertanian, perikanan, atau Kepala Badan sesuai dengan bidang tugas dan kewenangan masing-masing berkoordinasi dengan Kepala badan yang bertanggung jawab di bidang standardisasi nasional. Pasal 31:  Menteri yang bertanggung jawab di bidang pertanian, perikanan, atau Kepala Badan sesuai bidang tugas dan kewenangan masing-masing dapat menetapkan ketentuan mutu pangan di luar Standar Nasional Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 bagi pangan yang mempunyai tingkat risiko keamanan pangan yang tinggi. Pasal 32:  Sertifikasi dan penandaan yang menyatakan kesesuaian pangan terhadap Standar Nasional Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku. Pasal 33:  Menteri yang bertanggung jawab di bidang kesehatan, pertanian, perikanan, perindustrian atau Kepala Badan sesuai bidang tugas dan kewenangan masing-masing mengupayakan terpenuhinya kecukupan gizi, melindungi masyarakat dari gangguan gizi dan membina masyarakat dalam upaya perbaikan status gizi.

Pasal 35:  Menteri yang bertanggung jawab di bidang perindustrian menetapkan jenis-jenis pangan yang wajib diperkaya dan/atau difortifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan tata cara pengayaan dan/atau fortifikasi gizi pangan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1). BAB IV: PEMASUKAN DAN PENGELUARAN PANGAN KE DALAM DAN DARI WILAYAH INDONESIA Pasal 36:  Setiap pangan yang dimasukkan ke dalam wilayah Indonesia untuk diedarkan wajib memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang keamanan, mutu dan gizi pangan dan ketentuan peraturan perundangundangan lain yang berlaku. Pasal 37:  Terhadap pangan segar yang akan dimasukkan ke dalam wilayah Indonesia untuk diedarkan, Menteri yang bertanggung jawab di bidang pertanian atau perikanan sesuai dengan bidang tugas dan kewenangan masingmasing dapat menetapkan persyaratan bahwa : a. Pangan telah diuji, diperiksa dan/atau dinyatakan lulus dari segi keamanan, mutu dan/atau gizi oleh instansi yang berwenang di negara asal; b. Pangan telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21; c. Pangan dilengkapi dengan dokumen hasil pengujian dan/atau pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada huruf a; dan d. Pangan terlebih dahulu diuji dan/atau diperiksa di Indonesia dari segi keamanan, mutu dan/atau gizi sebelum peredarannya. Pasal 38:  Dalam hal pangan yang dimasukkan ke dalam wilayah Indonesia terlebih dahulu harus diuji dan/atau diperiksa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) huruf c, maka pengeluarannya dari pabean hanya dapat dilakukan setelah mendapatkan persetujuan pemasukan pangan yang dikeluarkan oleh Menteri yang bertanggung jawab di bidang pertanian atau perikanan sesuai dengan bidang tugas dan kewenangan masingmasing. Pasal 41:  Menteri yang bertanggung jawab di bidang pertanian, perikanan, atau Kepala Badan sesuai dengan bidang tugas dan kewenangan masingmasing dapat menetapkan persyaratan agar pangan yang dikeluarkan dari wilayah Indonesia untuk diedarkan terlebih dahulu diuji dan/atau diperiksa dari segi keamanan, mutu, persyaratan label dan/atau gizi pangan.

BAB V: PENGAWASAN DAN PEMBINAAN Pasal 42:  Dalam rangka pengawasan keamanan, mutu dan gizi pangan, setiap pangan olahan baik yang diproduksi di dalam negeri atau yang dimasukkan ke dalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan dalam kemasan eceran sebelum diedarkan wajib memiliki surat persetujuan pendaftaran. Pasal 43:  Kepala Badan menetapkan pedoman pemberian sertifikat produksi pangan industri rumah tangga sebagaimana dimaksud pada ayat (1), yang meliputi antara lain : a. jenis pangan; b. tata cara penilaian; dan c. tata cara pemberian sertifikat produksi pangan. Pasal 46:  Dalam melaksanakan fungsi pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Gubernur, Bupati/Walikota atau Kepala Badan berwenang : a. memasuki setiap tempat yang diduga digunakan dalam kegiatan atau proses produksi, penyimpanan, pengangkutan, danperdagangan pangan untuk memeriksa, meneliti, dan mengambilcontoh pangan dan segala sesuatu yang diduga digunakan dalam kegiatan produksi, penyimpanan, pengangkutan, dan/atau perdagangan pangan; b. menghentikan, memeriksa, dan mencegah setiap sarana angkutan yang diduga atau patut diduga digunakan dalam pengangkutan pangan serta mengambil dan memeriksa contoh pangan; c. membuka dan meneliti setiap kemasan pangan; d. memeriksa setiap buku, dokumen, atau catatan lain yang diduga memuat keterangan mengenai kegiatan produksi, penyimpanan, pengangkutan, dan/atau perdagangan pangan, termasuk menggandakan atau mengutip keterangan tersebut; dan/atau e. memerintahkan untuk memperlihatkan izin usaha dan/atau dokumen lain sejenis. Pasal 47:  Tindakan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi : a. peringatan secara tertulis; b. larangan mengedarkan untuk sementara waktu dan/atau perintah menarik produk pangan dari peredaran; c. pemusnahan pangan, jika terbukti membahayakan kesehatan dan jiwa manusia; d. penghentian produksi untuk sementara waktu; e. pengenaan denda paling tinggi sebesar Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah); dan/atau

f. pencabutan izin produksi, izin usaha, persetujuan pendaftaran atau sertifikat produksi pangan industri rumah tangga. Pasal 48:  Penarikan dan/atau pemusnahan pangan dilaksanakan oleh setiap orang yang memproduksi atau yang memasukkan pangan ke dalam wilayah Indonesia dan dilaksanakan sesuai dengan pedoman penarikan dan pemusnahan pangan Pasal 49  Dalam hal berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalamPasal 46, patut diduga merupakan tindak pidana di bidang pangan, segeradilakukan tindakan penyidikan oleh penyidik berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. BAB VI: PERAN SERTA MASYARAKAT Pasal 52  Dalam rangka penyempurnaan dan peningkatan keamanan, mutu dan gizi pangan, masyarakat dapat menyampaikan permasalahan, masukan dan/atau cara pemecahan mengenai hal-hal di bidang pangan. BAB VII: KETENTUAN PERALIHAN Pasal 53  Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah ini, maka semua ketentuan mengenai keamanan, mutu dan gizi pangan yang diatur dengan peraturan perundang-undangan di bawah Undang Undang masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini. BAB VIII: KETENTUAN PENUTUP Pasal 54:  Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN BAB 1: KETENTUAN UMUM Pasal 1:  Kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis.







 



Sumber daya di bidang kesehatan adalah segala bentu dana, tenaga, perbekalan kesehatan, sediaan farmasi dan alat kesehatan serta fasilitas pelayanan kesehatan dan teknologi yang dimanfaatkan untuk menyelenggarakan upaya kesehatan yang dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau masyarakat. Tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan dan/atau keterampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan. Obat tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik), atau campuran dari bahan tersebut yang secara turun temurun telah digunakan untuk pengobatan, dan dapat diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat. Teknologi kesehatan adalah segala bentuk alat dan/atau metode yang ditujukan untuk membantu menegakkan diagnosa, pencegahan, dan penanganan permasalahan kesehatan manusia. Pelayanan kesehatan rehabilitatif adalah kegiatan dan/atau serangkaian kegiatan untuk mengembalikan bekas penderita ke dalam masyarakat sehingga dapat berfungsi lagi sebagai anggota masyarakat yang berguna untuk dirinya dan masyarakat semaksimal mungkin sesuai dengan kemampuannya. Pelayanan kesehatan tradisional adalah pengobatan dan/atau perawatan dengan cara dan obat yang mengacu pada pengalaman dan keterampilan turun temurun secara empiris yang dapat dipertanggungjawabkan dan diterapkan sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat.

BAB II: ASAS DAN TUJUAN Pasal 2:  Pembangunan kesehatan diselenggarakan dengan berasaskan perikemanusiaan, keseimbangan, manfaat, pelindungan, penghormatan terhadap hak dan kewajiban, keadilan, gender dan nondiskriminatif dan norma-norma agama. Pasal 3:  Pembangunan kesehatan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya, sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya manusia yang produktif secara sosial dan ekonomis. BAB III: HAK DAN KEWAJIBAN Pasal 9:  Setiap orang berkewajiban ikut mewujudkan, mempertahankan, dan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.

Kewajiban pelaksanaannya meliputi upaya kesehatan perseorangan, upaya kesehatan masyarakat, dan pembangunan berwawasan kesehatan. Pasal 11:  Setiap orang berkewajiban berperilaku hidup sehat untuk mewujudkan, mempertahankan, dan memajukan kesehatan yang setinggi-tingginya. BAB IV: TANGGUNG JAWAB PEMERINTAH Pasal 14:  Pemerintah bertanggung jawab merencanakan, mengatur, menyelenggarakan, membina, dan mengawasi penyelenggaraan upaya kesehatan yang merata dan terjangkau oleh masyarakat. Pasal 17:  Pemerintah bertanggung jawab atas ketersediaan akses terhadap informasi, edukasi, dan fasilitas pelayanan kesehatan untuk meningkatkan dan memelihara derajat kesehatan yang setinggi-tingginya. Pasal 20:  Pemerintah bertanggung jawab atas pelaksanaan jaminan kesehatan masyarakat melalui sistem jaminan social nasional bagi upaya kesehatan perorangan. BAB V: SUMBER DAYA DI BIDANG KESEHATAN Pasal 21:  Pemerintah mengatur perencanaan, pengadaan, pendayagunaan, pembinaan, dan pengawasan mutu tenaga kesehatan dalam rangka penyelenggaraan pelayanan kesehatan. Pasal 24:  Tenaga kesehatan harus memenuhi ketentuan kode etik, standar profesi, hak pengguna pelayanan kesehatan, standar pelayanan, dan standar prosedur operasional. Pasal 30:  Fasilitas pelayanan kesehatan, menurut jenis pelayanannya terdiri atas: a. pelayanan kesehatan perseorangan; dan b. pelayanan kesehatan masyarakat.  Fasilitas pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. pelayanan kesehatan tingkat pertama; b. pelayanan kesehatan tingkat kedua; dan c. pelayanan kesehatan tingkat ketiga Pasal 35:







Penentuan jumlah dan jenis fasilitas pelayanan kesehatan dilakukan oleh pemerintah daerah dengan mempertimbangkan: a. luas wilayah; b. kebutuhan kesehatan; c. jumlah dan persebaran penduduk; d. pola penyakit; e. pemanfaatannya; f. fungsi sosial; dan g. kemampuan dalam memanfaatkan teknologi. Pasal 40: Perbekalan kesehatan berupa obat generik yang termasuk dalam daftar obat esensial nasional harus dijamin ketersediaan dan keterjangkauannya, sehingga penetapan harganya dikendalikan oleh Pemerintah. Pasal 45: Setiap orang dilarang mengembangkan teknologi dan/atau produk teknologi yang dapat berpengaruh dan membawa risiko buruk terhadap kesehatan masyarakat.

BAB VI: UPAYA KESEHATAN Pasal 48:  Penyelenggaraan upaya kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 dilaksanakan melalui kegiatan: a. pelayanan kesehatan; b. pelayanan kesehatan tradisional; c. peningkatan kesehatan dan pencegahan penyakit; d. penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan; e. kesehatan reproduksi; f. keluarga berencana; g. kesehatan sekolah; h. kesehatan olahraga; i. pelayanan kesehatan pada bencana; j. pelayanan darah; k. kesehatan gigi dan mulut; l. penanggulangan gangguan penglihatan dan gangguan pendengaran; m. kesehatan matra; n. pengamanan dan penggunaan sediaan farmasi dan alat kesehatan; o. pengamanan makanan dan minuman; p. pengamanan zat adiktif; dan/atau q. bedah mayat. Pasal 57:  Ketentuan mengenai hak atas rahasia kondisi kesehatan pribadi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam hal: a. perintah undang-undang;

b. perintah pengadilan; c. izin yang bersangkutan; d. kepentingan masyarakat; atau e. kepentingan orang tersebut. Pasal 66:  Transplantasi sel, baik yang berasal dari manusia maupun dari hewan, hanya dapat dilakukan apabila telah terbukti keamanan dan kemanfaatannya. Pasal 75  Setiap orang dilarang melakukan aborsi.  Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan berdasarkan: a. indikasi kedaruratan medis yang dideteksi sejak usia dini kehamilan, baik yang mengancam nyawa ibu dan/atau janin, yang menderita penyakit genetic berat dan/atau cacat bawaan, maupun yang tidak dapat diperbaiki sehingga menyulitkan bayi tersebut hidup di luar kandungan; atau b. kehamilan akibat perkosaan yang dapat menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan. Pasal 88  Pelayanan transfusi darah meliputi perencanaan, pengerahan pendonor darah, penyediaan, pendistribusian darah, dan tindakan medis pemberian darah kepada pasien untuk tujuan penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan. Pasal 111:  Setiap makanan dan minuman yang dikemas wajib diberi tanda atau label yang berisi: a. Nama produk; b. Daftar bahan yang digunakan; c. Berat bersih atau isi bersih BAB VII: KESEHATAN IBU, BAYI, ANAK, REMAJA, LANJUT USIA, DAN PENYANDANG CACAT Pasal 139  Upaya pemeliharaan kesehatan penyandang cacat harus ditujukan untuk menjaga agar tetap hidup sehat dan produktif secara sosial, ekonomis, dan bermartabat.  Pemerintah wajib menjamin ketersediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan memfasilitasi penyandang cacat untuk dapat tetap hidup mandiri dan produktif secara sosial dan ekonomis.

BAB VIII: GIZI Pasal 141  Upaya perbaikan gizi masyarakat ditujukan untuk peningkatan mutu gizi perseorangan dan masyarakat.  Peningkatan mutu gizi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui : a. perbaikan pola konsumsi makanan yang sesuai dengan gizi seimbang; b. perbaikan perilaku sadar gizi, aktivitas fisik, dan kesehatan; c. peningkatan akses dan mutu pelayanan gizi yang sesuai dengan kemajuan ilmu dan teknologi; dan d. peningkatan sistem kewaspadaan pangan dan gizi. BAB IX: KESEHATAN JIWA Pasal 144:  Upaya kesehatan jiwa ditujukan untuk menjamin setiap orang dapat menikmati kehidupan kejiwaan yang sehat, bebas dari ketakutan, tekanan, dan gangguan lain yang dapat mengganggu kesehatan jiwa. BAB X: PENYAKIT MENULAR DAN TIDAK MENULAR Pasal 152:  Upaya pencegahan, pengendalian, dan pemberantasan penyakit menular sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk melindungi masyarakat dari tertularnya penyakit, menurunkan jumlah yang sakit, cacat dan/atau meninggal dunia, serta untuk mengurangi dampak sosial dan ekonomi akibat penyakit menular. Pasal 158:  Pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat melakukan upaya pencegahan, pengendalian, dan penanganan penyakit tidak menular beserta akibat yang ditimbulkannya. BAB XI: KESEHATAN LINGKUNGAN Pasal 163:  Lingkungan sehat bebas dari unsur-unsur yang menimbulkan gangguan kesehatan, antara lain: a. limbah cair; b. limbah padat; c. limbah gas; d. sampah yang tidak diproses sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan pemerintah; e. binatang pembawa penyakit; f. zat kimia yang berbahaya; g. kebisingan yang melebihi ambang batas; h. radiasi sinar pengion dan non pengion;

i. air yang tercemar; j. udara yang tercemar; dan k. makanan yang terkontaminasi BAB XIII: PENGELOLAAN KESEHATAN Pasal 167:  Pengelolaan kesehatan yang diselenggarakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah dan/atau masyarakat melalui pengelolaan administrasi kesehatan, informasi kesehatan, sumber daya kesehatan, upaya kesehatan, pembiayaan kesehatan, peran serta dan pemberdayaan masyarakat, ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang kesehatan, serta pengaturan hokum kesehatan secara terpadu dan saling mendukung guna menjamin tercapainya derajat kesehatan yang setinggi-tingginya. BAB XIV: INFORMASI KESEHATAN Pasal 169:  Pemerintah memberikan kemudahan kepada masyarakat memperoleh akses terhadap informasi kesehatan dalam meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.

untuk upaya

BAB XV: PEMBIAYAAN KESEHATAN Pasal 170:  Pembiayaan kesehatan bertujuan untuk penyediaan pembiayaan kesehatan yang berkesinambungan dengan jumlah yang mencukupi, teralokasi secara adil, dan termanfaatkan secara berhasil guna dan berdaya guna untuk menjamin terselenggaranya pembangunan kesehatan agar meningkatkan derajat kesehatan masyarakat setinggi-tingginya. BAB XVI: PERAN SERTA MASYARAKAT Pasal 174  Masyarakat berperan serta, baik secara perseorangan maupun terorganisasi dalam segala bentuk dan tahapan pembangunan kesehatan dalam rangka membantu mempercepat pencapaian derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. BAB XVI: PERAN SERTA MASYARAKAT Pasal 174:  Masyarakat berperan serta, baik secara perseorangan maupun terorganisasi dalam segala bentuk dan tahapan pembangunan kesehatan dalam rangka membantu mempercepat pencapaian derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. BAB XVIII: PEMBINAAN DAN PENGAWASAN

Pasal 178:  Pemerintah dan pemerintah daerah melakukan pembinaan terhadap masyarakat dan terhadap setiap penyelenggara kegiatan yang berhubungan dengan sumber daya kesehatan di bidang kesehatan dan upaya kesehatan. BAB XIX: PENYIDIKAN Pasal 189:  Penyidik berwenang: a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan serta keterangan tentang tindak pidana di bidang kesehatan; b. melakukan pemeriksaan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana di bidang kesehatan; c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan tindak pidana di bidang kesehatan; d. melakukan pemeriksaan atas surat dan/atau dokumen lain tentang tindak pidana di bidang kesehatan; e. melakukan pemeriksaan atau penyitaan bahan atau barang bukti dalam perkara tindak pidana di bidang kesehatan; f. meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang kesehatan; g. menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti yang membuktikan adanya tindak pidana di bidang kesehatan. BAB XX: KETENTUAN PIDANA Pasal 190:  Pimpinan fasilitas pelayanan kesehatan dan/atau tenaga kesehatan yang melakukan praktik atau pekerjaan pada fasilitas pelayanan kesehatan yang dengan sengaja tidak memberikan pertolongan pertama terhadap pasien yang dalam keadaan gawat darurat dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah). Pasal 201:  Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 190 ayat (1), Pasal 191, Pasal 192, Pasal 196, Pasal 197, Pasal 198, Pasal 199, dan Pasal 200 dilakukan oleh korporasi, selain pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, pidana yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi berupa pidana denda dengan pemberatan 3 (tiga) kali dari pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 190 ayat (1), Pasal 191, Pasal 192, Pasal 196 , Pasal 197, Pasal 198,Pasal 199, dan Pasal 200.  Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), korporasi dapat dijatuhi pidana tambahan berupa: a. pencabutan izin usaha; dan/atau b. pencabutan status badan hukum. BAB XXII: KETENTUAN PENUTUP

Pasal 204:  Pada saat Undang-Undang ini berlaku, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 100, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3495) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. PERATURAN KEPALA BADAN KARANTINA IKAN, PENGENDALIAN MUTU, DAN KEAMANAN HASIL PERIKANAN NOMOR 9/PER-BKIPM/2018 TENTANG PEDOMAN TEKNIS PENGENDALIAN MUTU DAN KEAMANAN HASIL PERIKANAN DI SENTRA PENYEDIA PANGAN SEHAT BAB I Ketentuan Umum Pasal 1  Sentra Penyedia Pangan Sehat adalah Pasar, Unit Pengumpul/Supplier, Pelabuhan Perikanan, Tempat Pemasaran Ikan dan Pusat Pendaratan Ikan yang menyediakan hasil perikanan yang bermutu dan aman untuk dikonsumsi.  Pengendalian Mutu adalah semua kegiatan yang meliputi inspeksi, verifikasi, surveilan, audit dan pengambilan contoh dalam rangka memberikan jaminan mutu dan keamanan Hasil Perikanan.  Hasil Perikanan adalah ikan yang ditangani, diolah, dan/atau dijadikan produk akhir yang berupa ikan segar, ikan beku dan olahan lainnya.  8. Inspeksi adalah pemeriksaan terhadap suatu unit produksi primer, pengolahan dan distribusi serta manajemennya termasuk sistem produksi, dokumen, pengujian produk, asal dan tujuan produk, input dan output dalam rangka melakukan verifikasi.  12. Pelabuhan Perikanan (PP) adalah tempat yang terdiri atas daratan dan perairan disekitarnya dengan batas-batas tertentu sebagai tempat kegiatan pemerintahan dankegiatan sistem bisnis perikanan yang digunakan sebagai tempat kapal bersandar, berlabuh, dan/atau bongkar muat ikan yang dilengkapi dengan fasilitas keselamatan pelayaran dan kegiatan penunjang perikanan.  13. Tempat Pendaratan Ikan (TPI) adalah tempat para nelayan mendaratkan hasil tangkapannya atau merupakan pelabuhan perikanan skala lebih kecil.  14. Pangkalan Pendaratan Ikan (PPI) adalah tempat berlabuh atau bertambahnya perahu/kapal perikanan guna mendaparatkan hasil tangkapannya, memuat perbekalan kapal serta sebagai basis kegiatan produksi, pengolahan, pemasaran ikan dan pembinaan masyarakat perikanan.

BAB II TUJUAN Pasal 2  Pedoman Teknis Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan di Sentra Penyedia Pangan Sehat bertujuan sebagai panduan pelaksanaan kegiatan pengendalian mutu dan keamanan hasil perikanan di sentra penyedia pangan sehat secara efektif dan efisien. Pasal 3  Pengendalian mutu dan keamanan hasil perikanan di sentra penyedia pangan sehat dilaksanakan dan dikoordinasikan oleh Tim Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan di Sentra Penyedia Pangan Sehat.  Tim Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan di Sentra Penyedia Pangan Sehat terdiri atas: 1. Tim Pusat, yang dibentuk oleh Kepala Badan; dan 2. Tim Daerah, yang dibentuk oleh Kepala UPT KIPM. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling utama dan pemenuhannya merupakan bagian dari hak asasi manusia yang dijamin di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai komponen dasar untuk mewujudkan sumberdaya manusia yang berkualitas. Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, dan peternakan, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan Pangan, bahan baku Pangan, dan bahan lainnya yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan pembuatan makanan dan minuman. Kementerian Kelautan dan Perikanan sebagaimana diamanatkan dalam Instruksi Presiden No. 1 Tahun 2017 tentang Gerakan Masyarakat Hidup Sehat berkewajiban untukmeningkatkan dan memperluas pelaksanaan gerakan memasyarakatkan makan ikan pada masyarakat dan mengawasi mutu dan keamanan hasil perikanan. Untuk Langkah-langkah strategis yang dilakukan untuk mencapai tujuan dimaksud antara lain melalui optimalisasi ketersediaan ikan sehat dan aman konsumsi sebagai pangan sehat; Penguatan sistem jaminan mutu dan keamanan hasil perikanan; Pengendalian mutu di pasar/sentra produksi

ikan sehat; Penyediaan sentra kuliner berbasis ikan sehat dan Pengendalian ikan sehat dan aman untuk dikonsumsi. 1.2. Maksud dan Tujuan Penyusunan Pedoman Teknis Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan Di Sentra Penyedia Pangan Sehat dimaksudkan sebagai acuan bagi BKIPM, UPT KIPM dan instansi terkait untuk pelaksanaan kegiatan pengendalian di masingmasing wilayah. Tujuannya adalah agar pelaksanaan pengendalian mutu dan keamanan hasil perikanan di sentra penyedia pangan sehat dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien. BAB II KELEMBAGAAN 2. 1. Tugas dan Tanggung Jawab Kelembagaan 2.1.1. Kelembagaan Pusat BKIPM membentuk Tim Pusat yang diketuai oleh Kepala Badan yang beranggotakan Kementerian/Lembaga lain yang terkait dengan pelaksanaan kegiatan pengendalian mutu dan keamanan hasil perikanan di sentra penyedia pangan sehat yang mempunyai tugas : 1. Merencanakan dan mengarahkan pelaksanaan kegiatan; 2. Menyusun petunjuk pelaksanaan kegiatan; 3. Menentukan lokasi Kab/Kota yang menjadi tempat kegiatan; 4. Melakukan monitoring dan evaluasi pelaksanaan kegiatan; 5. Melaksanakan supervisi kegiatan pengendalian mutu dan keamanan hasil perikanan di sentra penyedia pangan sehat yang dilaksanakan oleh Tim Daerah; 2.1.2. Kelembagaan Daerah Tim Daerah mempunyai tugas melaksanakan kegiatan pengendalian mutu dan keamanan hasil perikanan di sentra penyedia pangan sehat yang berada diwilayahnya meliputi: 1. Melakukan inspeksi terhadap sarana prasarana pengolahan, cara pengolahan yang baik (GMP), Persyaratan prosedur operasi sanitasi standar (SSOP) dan Penanganan ikan yang baik (GHdP) di lokasi yang menjadi obyek pengendalian; 2. Melakukan pengambilan contoh dan pengujian sesuai parameter yang telah ditentukan; 3. Melaporkan hasil kegiatan pengendalian mutu dan keamanan hasil perikanan di sentra penyedia pangan sehat yang dilaksanakan oleh Tim Daerah kepada Tim Pusat secara periodik. BAB III PELAKSANAAN 3. 1. Persiapan 3.1.1. Sosialisasi dan Koordinasi Tim Pusat dan Tim Daerah melakukan sosialisasi dan koordinasi dengan instansi terkait untuk merencanakan kegiatan yang akan dilaksanakan dan melakukan evaluasi secara periodik kegiatan pengendalian mutu dan keamanan hasil perikanan di sentra penyedia pangan sehat. 3.1.2. Penentuan Obyek Pengendalian

Penentuan obyek pengendalian meliputi lokasi, hasil perikanan, frekuensi, pengambilan contoh, jumlah contoh (minimal lima contoh atau 10 % dari jumlah ikan yang ada) 3.1.3. Penyiapan Berkas dan Peralatan 1. Dokumen Petugas kegiatan pengendalian mutu dan keamanan hasil perikanan di sentra penyedia pangan sehat menyiapkan dokumen-dokumen yang diperlukan dalam inspeksi dan pengambilan contoh dilapangan yang terdiri dari a) Surat tugas untuk melaksanakan inspeksi dan b) Form Data Hasil Inspeksi di Pelabuhan Perikanan/ Pangkalan Pendaratan Ikan/ Tempat Pendaratan Ikan c) Form Data Hasil Inspeksi di Unit Pengumpul/Supplier d) Form Data Hasil Inspeksi di Pasar 2. Peralatan Petugas Kegiatan pengendalian mutu dan keamanan hasil perikanan di sentra penyedia pangan sehat menyiapkan peralatan untuk kegiatan inspeksi dan pengambilan contoh yang meliputi alat pengambilan contoh (sendok, garpu, gunting, pinsetdan pisau), pengemas steril (kantong, botol, dll), alat penanda ( label), termometer, alat untuk menjamin suhu selama transportasi ( cool box), perlengkapan kerja (sarung tangan dan masker), cairan aseptis, alkohol, alat pengambil gambar (kamera) dan peralatan lain yang diperlukan. 3.1. Pelaksanaan 3.2.1. Pelaksana Kegiatan pengendalian mutu dan keamanan hasil perikanan di sentra penyedia pangan sehat dilaksanakan oleh Inspektur Mutu dan/atau anggota Tim Pusat/Daerah yang ditunjuk dan dilengkapi dengan Surat Penugasan. 3.2.2. Inspeksi Sarana Prasarana Inspeksi dilakukan dengan metode observasi dan wawancara kepada petugas pelabuhan, pedagang dan suplier, meliputi petugas melakukan pendataan umum di Pelabuhan Perikanan/Tempat Pendaratan Ikan/Pangkalan Pendaratan Ikan, Unit pengumpul/Suplier dan Pasar ikan. 3.2.3. Pengambilan dan Penanganan Contoh 3.2.4. Pengujian 1. Screening test dapat dilakukan sebagai uji pendahuluan menggunakan metode rapid test dengan tingkat sensitifitas yang tinggi. Jika hasilnya menunjukkan positif maka dilakukan uji konfirmasi . 2. Pengujian dilakukan dilaboratorium yang sudah diakreditasi dengan metode uji yang digunakan adalah metode uji yang sudah baku (SNI, ISO, BAM, AOAC, dll), metode lain bisa digunakan apabila sudah ekuivalen dengan metode uji yang sudah baku dan sudah divalidasi. Parameter pengujian meliputi kesegaran ikan, pengujian mikrobiologi, pengujian kimia. 3.3. Pengolahan Data dan Cara Penghitungan Capaian 3.3.1. Penilaian Jaminan Mutu % Jaminan mutu = (75% × Nilai sarana prasarana) + (25% × Nilai pengujian produk)

3.3.2. Penilaian Sarana Prasarana dan Sanitasi Higiene 3.3.3. Penilaian Pengujian Produk BAB IV

PELAPORAN 4. 1. Pelaporan 2.1.1 Laporan Bulanan Tim Daerah membuat laporan setiap 3 (tiga) bulan yang memuat perkembangan pelaksanaan kegiatan pengendalian mutu dan keamanan hasil perikanan di sentra penyedia pangan sehat yang telah dilaksanakan kepada Tim Pusat Cq. Pusat Pengendalian Mutu disampaikan melalui email [email protected]. 4.1.2. Laporan Akhir Tim Daerah membuat Laporan akhir yang menyajikan keberhasilan pelaksanaan kegiatan, permasalahan yang dihadapi, dan rencana tindak lanjut, termasuk hasil dokumentasi seluruh rangkaian kegiatan. Laporan tertulis secara naratif dan disusun secara sistematis, Pelaporan disajikan sesuai format dan dapat disampaikan dalam bentuk hard copy (via pos) maupun softcopy (e-mail). Tim Pusat membuat Laporan akhir yang menyajikan seluruh hasil pelaksanaan kegiatan pengendalian mutu dan keamanan hasil perikanan di sentra penyedia pangan sehat yang dilaksanakan oleh Tim Pusat maupun Tim Daerah. 4. 2. Monitoring dan Evaluasi Monitoring bertujuan untuk memantau kegiatan pengendalian mutu dan keamanan hasil perikanan di sentra penyedia pangan sehat mulai dari persiapan sampai dengan pelaporan. Kegiatan monitoring dapat dilakukan secara langsung melalui pemantauan di lapangan maupun tidak langsung melalui komunikasi dengan media elektronik. Evaluasi dilakukan untuk menganalisa efektifitas dan dampak dari hasil pelaksanaan kegiatan pengendalian mutu dan keamanan hasil perikanan di sentra penyedia pangan sehat dengan membandingkan terhadap tujuan dan sasaran, indikator keberhasilan yang diharapkan serta melihat sejauh mana permasalahan yang dihadapi sebagai bahan acuan dan referensi untuk menentukan alternatif solusi dan rencana tindak lanjut. BAB V ANGGARAN Anggaran diperlukan untuk memastikan kegiatan pengendalian mutu dan keamanan hasil perikanan di sentra penyedia pangan sehat dapat dilaksanakan dengan baik. Kecukupan penyediaan anggaran disesuaikan dengan jumlah lokasi yang menjadi obyek pengendalian. Sumber anggaran untuk kegiatan pengendalian mutu dan keamanan hasil perikanan di sentra penyedia pangan sehat berasal dari APBN BKIPM. UU Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2004 jo UU Republik Indonesia Nomor 45 tahun 2009 tentang Perikanan. Undang-undang ini membahas mengenai berbagai pengertian tentang perikanan. Perikanan adalah semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan dan lingkungan mulai dari

praproduksi, produksi, pengolahan sampai dengan pemasaran yang dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan. Ikan adalah segala jenis organisme yang seluruh atau sebagian dari siklus hidupnya berada di dalam lingkungan perairan. Penangkapan ikan adalah kegiatan untuk memperoleh ikan di perairan yang tidak dalam keadaan dibudidayakan dengan alat atau cara apa pun, termasuk kegiatan yang menggunakan kapal untuk memuat, mengangkut, menyimpan, mendinginkan, menangani, mengolah, dan mengawetkan. Pembudidayaan ikan adalah kegiatan untuk memelihara, membesarkan, dan membiakkan ikan serta termasuk kegiatan yang menggunakan kapal untuk memuat, mengankut, menyimpan, mendinginkan, menangani, mengolah, dan mengawetkan. Pengelolaan perikanan adalah semua upaya, termasuk proses yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumber daya ikan dan implementasi serta penegakan hukum dari peraturan perundang-undangan di bidang perikanan yang silakukan oleh pemerintah atau otoritas lain yang diarahkan untuk mencapai kelangsungan produktivitas sumberdaya hayati perairan dan tujuan disepakati. Surat izin yang harus dimiliki oleh masyrakat perikanan meliputi Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP), Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI). Laut Indonesia terbagi menjadi laut teritorial (12 mil). Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) (200 mil) dan laut lepas. Ikan-ikan yang didaratkan dari kapal akan dibawa ke pelabuhan perikanan untuk dibongkar dan dilakukan pelelangan. Pengelolaan perikanan dilakukan berdasarkan asas manfaat, keadilan, kebersamaan, kemitraan, kemandirian, pemerataan, keterpaduan, keterbukaan, efisiensi, kelestarian, dan pembangunan yang berkelanjutan. Tujuan pengolahan perikanan untuk meningkatkan taraf hidup, penerimaan devisa negara, produktivitas, mutu, nilai tambah dan daya saing, ketersediaan bahan baku industri, menjamin kelestarian sumberdaya ikan. Undang-undang perikanan berlaku untuk setiap orang, setiap kapal perikanan berbendera Indonesia di dalam maupun luar negeri, dan kapal asing yang berada di wilayah Indonesia. Pengelolaan wilayah pengelolaan perikanan RI dan pengelolaan perikanan di luar wilayah Indonesia sangat diperlukan untuk meningkatkan efektifitas kinerja dibidang perikanan. Undang-undang perikanan juga mengatur mengenai penyelenggaraan pelatihan, penyuluhan, dan pendidikan untuk meningkatkan pengembangan sumber daya manusia di bidang perikanan. Pemeritah membantu pemberdayaan nelayan kecil, pembudidaya, dan pengusaha perikanan dalam menjalin mitra dalam kegiatan usaha perikanan. REKOMENDASI NASIONAL KODE PRAKTIS – PRINSIP UMUM HIGIENE PANGAN (SNI CAC/RCP 1: 2011) Bagian I Tujuan 1.1 Prinsip umum higiene pangan:

Prinsip umum higiene pangan mengidentifikasi prinsip penting dari higiene pangan yang berlaku di seluruh rantai pangan (termasuk produksi primer sampai ke konsumen akhir) untuk mencapai tujuan dalam memastikan pangan aman dan layak untuk dikonsumsi manusia. Alat untuk meningkatkan keamanan pangan direkomendasikan menggunakan pendekatan HACCP. Bagian II Ruang lingkup, penggunaan dan definisi 2.1 Ruang lingkup 2.1.1 Rantai pangan : Rantai pangan dari produksi primer sampai ke konsumen akhir 2.1.2 Peran pemerintah, industri, dan konsumen Pemerintah memberikan perlindungan pada konsumen dari penyakit atau keracunan yang disebabkan oleh pangan, menjamin bahwa pangan layak untuk dikonsumsi manusia, menjaga kepercayaan dalam perdagangan pangan internasional, dan menyediakan program pendidikan kesehatan dengan cara mengomunikasikan secara efektif tentang prinsip-prinsip higiene pangan ke industri dan konsumen. Industri harus menyeiakan pangan yang aman dan layak untuk konsumsi, memastikan bahwa konsumen menerima informasi yang jelas dan mudah dimengerti, serta menjaga kepercayaan dalam perdagangan pangan internasional. Bagian III- Produksi Primer Produksi primer seharusnya dikelola dengan cara yang menjamin bahwa pangan aman dan layak sesuai tujuan penggunaanya yang mencakup, menghindari penggunaan area jika lingkungan dapat menjadi ancaman bagi keamanan pangan, pengendalian terhadap kontaminan. Sumber kontaminan potensial dari lingkungan harus dipertimbangkan setiap saat terutama mengidentifikasi setiap titik tertentu dalam kegiatan yang mempunyai peluang kontaminasi tinggi dan mengambil tindakan untuk meminimalkan peluang tersebut. Penanganan pangan dan ingredien pangan untuk memisahkan bahan yang secara nyata tidak layak untuk konsumsi, memusnahkan bahan yang telah ditolak dengan cara higienis dan melindungi pangan dan ingredien pangan dari kontaminasi hama, bahan kimia, dan fisik. Pembersihan, pemeliharaan, dan higiene personil pada produksi primer diperlukan secara efektif. Bagian IV – Sarana produksi: Desain dan Fasilitas Sarana produksi seharusnya terletak jauh dari area yang terpolusi oleh lingkungan dan kegiatan industri yang menimbulkan ancaman serius terhadap kontaminasi pangan, area rawan banjir kecuali jika tersedia perlindungan keamanan yang memadai, area rawan terhadap infestasi hama, dan area yang terdapat limbah, baik padat atau cair yang tidak dapat dihilangkan secara efektif. Peralatan seharusnya ditempatkan sehingga memungkinkan pemeliharaa dan pembersihan yang cukup, berfungsi sesuai dengan tujuan penggunaanya, dan memudahkan pedoman higiene yang baik, termasuk pengawasan. Desain tata

letak dan desain internal sarana produksi pangan seharusnya memungkinkan praktek higiene pangan yang baik, termasuk proteksi terhadap kontaminasi silang diantara dan selama proses bahan pangan. Struktur di dalam sarana produksi pangan seharusnya dibangun dari bahan yang tahan lama dan mudah untuk dipelihara, dibersihkan dan apabila diperlukan dapat didesinfeksi. Bangunan dan struktur dimana pangan ditangani seharusnya ditempatkan, didesain dan dikonstruksi sedapat mungkin dilakukan untuk menghindari kontaminasi pangan dan sumber hama. Peralatan dan wadah yang kontak dengan pangan seharusnya didesain dan dikonstruksi untuk memastikan bahwa jika diperlukan dapat dibersihkan secara cukup, didesinfeksi dan dipelihara untuk menghindari kontaminasi pangan. Peralatan yang digunakan untuk memasak, perlakuan panas, dingin, menyimpan atau membekukan pangan seharusnya didesain untuk mencapai suhu pangan yang dikehendaki secepat yang diperlukan untuk kepentingan keamanan dan kelayakan pangan, dan dipelihara secara efektif. Wadah untuk limbah produk samping dan bahan yang tidak dapat dikonsumsi atau berbahaya, seharusnya secara spesifik dapat diidentifikasi, dikonstruksi secara tepat. Fasilitas yang harus ada meliputi persediaan air, drainase dan pembuangan limbah, pembersihan, fasilitas higiene karyawan dan toilet, pengendalian suhu, kualitas udara dan vetilasi, pecahayaan, penyimpanan. Bagian V – Pengendalian kegiatan operasional Penyelenggaraan bisnis pangan harus mengendalikan bahaya pangan dengan menggunakan sistem HACCP. Mereka harus mengidentifikasi setiap tahapan dalam kegiatan operasional yang kritis untuk keamanan pangan, mnerapkan prosedur pengendalian secara efektif pada tahap kegiatan operasional, memantau prosedur pengendalian untuk memastikan keberlanjutan efektvitasnya serta meninjau prosedur pegendalian secaraberkala dan setiap kali dilakukan perubahan kegiatan operasional. Aspek kunci dari sistem pengendalian higiene meliputi pengendalian waktu dan suhu, tahapan proses spesifik, mikrobiologi dan spesifikasi lainnya, kontaminasi silang mikrobiologi, kontaminasi fisik dan kimia, persyaratan bahan masuk, kemasan, air yang kontak dengan pangan, air sebagai bahan, es dan uap, manajemen dan pengawasan, dokumentasi dan rekaman, prosedur penarikan produk. Bagian VI – Sarana produksi: Pemeliharaan dan sanitasi Pembersihan harus dilakukan untuk menghilangkan sisa makanan dan kotoran yang mungkin merupakan sumber kontaminasi. Metode pembersihan dan bahan yang digunakan tergantung pada sifat dari bisnis pangan. Bahan kimia yang digunakan untuk pembersihan harus ditangani dan digunakan secara hati-hati sesuai prosedur dan disimpan, jika diperlukan terpisah dari pangan dalam wadah yang diberi penandaan yang jelas untuk menghindari risiko pencemaran pangan. Pembersihan dapat dilakukan secara terpisah atau gabungan antara metod fisik, seperti penggunaan panas, penggosokan, penyemprotan dengan air bertekanan, penghisapan vakum atau cara lain yang menghindari penggunaan air, dan metode

kimia dengan menggunakan deterjen, basa atau asam. Program pembersihan dan desinfektan harus memastikan bahwa semua bagian sarana produksi telah dibersihkan dengan baik, termasuk kebersihan peralatan pembersih. Program pembersihan dan desinfektan harus dipantau secara efektif dan terus menerus kesesuaian dan kefektifannya serta didokumentasikan. Hma menjadi ancaman besar bagi keamanan dan kelayakan pangan. Serangan hama dapat terjadi jika didalam sarana produksi terdapat tempat berkembang biak hama dan sumber makanannya. Praktek kebersihan yang baik harus diterapkan untuk menghindari terbentuknya lingkungan yang kondusif untuk hama. Sanitasi yang baik, pemeriksaan bahan yang masuk dan pemantauan yang baik dapat meminimalkan kemungkina serangan hama, dengan demikian mengurangi kebutuhan pestisida. Bagian VII – Penetapan: Higiene personal Personil yang diketahui atau diduga menderita penyakit atau pembawa penyakit yang mungkin ditularkan melalui pangan seharusnya tidak diperbolehkan masuk ke area penanganan pangan jika ada kemungkinan mereka mengkontaminasi pangan. Pemeriksaan medis penanganan pangan harus dilakukan jika terindikasi secara klinis atau epidemiologis. Personal penanganan pangan harus memelihara tingkat yang tinggi dari kebersihan personal, memakai pakaian pelindung, penutup kepala, dan sepatu yang sesuai. Luka sayatan dan luka lainnya dimana personil diijinkan untuk terus bekerja, haus ditutupi oleh perban tahan air. Personil juga harus selalu mencuci tangan ketika kebersihan personal dapat mempengaruhi keamanan pangan. Karyawan tidak boleh merokok, meludah, mengunyah atau makan, dan bersin atau batuk diatas pangan yang terbuka. Pengunjung ke pabrik pangan juga harus mematuhi ketentuan kebersihan personal lainnya yang berlaku pada area tersebut. Bagian VII – Transportasi Pangan harus dilindungi selama transportasi. Jenis alat angkut atau kontainer yang dibutuhkan tergantung pada sifat pangan dan kondisi pengangkutan. Persyaratan alat angkut meliputi tidak mengkontaminasi pangan atau konsumen, dapat secara efektif dibersihkan dan jika diperlukan didisinfeksi, memungkinkan pemisahan efektif dari pangan yang berbeda atau antara pangan non pangan, memberikan perlindungan yang efektif dari kontaminasi, termasuk debu dan asap, secara efektif dapat mempertahankan suhu, kelembapan, atmosfir, dan kondidi lain yang diperlukan untuk melindungi pangan dari pertumbuhan mikroba berbahaya dan kemungkinan kerusakan yang mengakibatkan tidak layak konsumsi serta memungkinkan pemeriksaan suhu, kelembaban, dan kondisi lain setiap kali diperlukan. Bagian IX – Informasi produk dan kesadaran konsumen Produk harus memuat informasi yang sesuai untuk memastikan bahwa tersedia informasi yang cukup dan memadai untuk dapat diakses orang berikutnya dalam rantai pangan yang memungkinkannya untuk menangani, menyimpan,

mengolah, menyiapkan, dan menampilkan produk secara aman dan benar, lot atau batch dapat dengan mudah diidentifikasi dan ditarik jika diperlukan, konsumen harus memiliki pengetahuan yang cukup tentang higiene pangan, memahami pentingnya informasi produk, membuat pilihan yang tepat kepada individu berdasarkan informasi yang disediakan, serta mencegah kontaminasi dan pertumbuhan atau daya tahan hidup patogen bawaan pangan melalui penyimpanan, penyiapan, dan penggunaanya secara benar. Bagian X – Pelatihan Pelatihan higiena pangan pada dasarnya penting. Semua karyawan harus menyadari dan peduli terhadap peran dan tanggung jawabnya dalam melindungi pangan dari kontaminasi atau kerusakan. Para penangan pangan harus memiliki pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan untuk memungkinkannya menangani pangan secara higiene. Karyawan yang menangani bahan kimia pembersih yang kuat atau bahan kimia yang berpotensi berbahaya lainnya harus diberi petunjuk mengenai penanganan yang aman. Program pelatihan harus secara rutin ditinjau dan diperbarui jika diperlukan. Sistem harus tersedia dan diterapkan untuk memastikan bahwa penanganan pangan tetap menyadari dan peduli terhadap semua prosedur yang diperlukan untuk memelihara keamanan dan kelayakan pangan. UNDANG – UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 18 TAHUN 2012 TENTANG PANGAN BAB 1 Ketentuan Umum Pasal 1 1. Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan, dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia . 2. Kedaulatan Pangan adalah hak negara dan bangsa yang secara mandiri menentukan kebijakan pangan yang menjamin hak atas pangan bagi rakyat dan yang memberikan hak bagi masyarakat untuk menentukan sistem pangan yang sesuai dengan potensi sumber daya lokal. 3. Kemandirian Pangan adalah kemampuan negara dan bangsa dalam memproduksi pangan yang beraneka ragam dari dalam negeri yang dapat menjamin pemenuhan kebutuhan Pangan yang cukup sampai di tingkat perseorangan dengan memanfaatkan potensi sumber daya alam, manusia, sosial, ekonomi, dan kearifan lokal secara bermartabat. 4. Ketahanan Pangan adalah kondisi terpenuhinya Pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya Pangan yang cukup. 5. Keamanan Pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia serta tidak

bertentangan dengan agama dan budaya masyarakat sehingga aman untuk dikonsumsi. 6. Produksi Pangan adalah kegiatan atau proses menghasilkan, menyiapkan, mengolah, membuat, mengawetkan, mengemas, mengemas kembali, dan/atau mengubah bentuk pangan. 7. Ketersediaan Pangan adalah kondisi tersedianya Pangan dari hasil produksi dalam negeri dan Cadangan Pangan Nasional serta impor apabila kedua sumber utama tidak dapat memenuhi kebutuhan. 8. Cadangan Pangan Nasional adalah persediaan pangan di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. 9. Cadangan Pangan Pemerintah adalah persediaan Pangan yang dikuasai dan dikelola oleh pemerintah. 10. Cadangan Pangan Pemerintah Provinsi adalah persediaan Pangan yang dikuasai dan dikelola oleh pemerintah provinsi. 11. Cadangan Pangan Pemerintah Kabupaten/Kota adalah persediaan pangan yang dikuasai dan dikelola oleh pemerintah kabupaten/kota. 12. Cadangan Pangan Pemerintah Desa adalah persediaan pangan yang dikuasai dan dikelola oleh pemerintah desa. 13. Cadangan Pangan Masyarakat adalah persediaan pangan yang dikuasai dan dikelola oleh masyarakat di tingkat pedagang, komunitas, dan rumah tangga 14. Penyelenggaraan Pangan adalah kegiatan perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan dalam penyediaan, keterjangkauan, pemenuhan konsumsi Pangan dan Gizi, serta keamanan pangan dengan melibatkan peran serta masyarakat yang terkoordinasi dan terpadu. 15. Pangan Pokok adalah pangan yang diperuntukkan sebagai makanan utama sehari-hari sesuai dengan potensi sumber daya dan kearifan lokal. 16. Penganekaragaman Pangan adalah upaya peningkatan ketersediaan dan konsumsi pangan yang beragam, bergizi seimbang, dan berbasis pada potensi sumber daya lokal. 17. Pangan Lokal adalah makanan yang dikonsumsi oleh masyarakat setempat sesuai dengan potensi dan kearifan lokal. 18. Pangan Segar adalah pangan yang belum mengalami pengolahan yang dapat dikonsumsi langsung dan/atau yang dapat menjadi bahan baku pengolahan pangan. 19. Pangan Olahan adalah makanan atau minuman hasil proses dengan cara atau metode tertentu dengan atau tanpa bahan tambahan. 20. Petani adalah warga negara Indonesia, baik perseorangan maupun beserta keluarganya yang melakukan usaha tani di bidang pangan. 21. Nelayan adalah warga negara Indonesia, baik perseorangan maupun beserta keluarganya yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan. 22. Pembudi Daya Ikan adalah warga negara Indonesia, baik perseorangan maupun beserta keluarganya yang mata pencahariannya membesarkan, membiakkan, dan/atau memelihara ikan dan sumber hayati perairan lainnya serta memanen hasilnya dalam lingkungan yang terkontrol. 23. Perdagangan pangan adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan dalam rangka penjualan dan/atau pembelian Pangan, termasuk penawaran untuk menjual Pangan dan kegiatan lain yang berkenaan dengan pemindahtanganan Pangan dengan memperoleh imbalan.

24. Ekspor Pangan adalah kegiatan mengeluarkan pangan dari daerah pabean negara Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan, dan ruang udara di atasnya, tempat-tempat tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif, dan landas kontinen. 25. Impor Pangan adalah kegiatan memasukkan Pangan ke dalam daerah pabean negara Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan, dan ruang udara di atasnya, tempat-tempat tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif, dan landas kontinen. 26. Peredaran Pangan adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan dalam rangka penyaluran Pangan kepada masyarakat, baik diperdagangkan maupun tidak. 27. Bantuan Pangan adalah Bantuan Pangan Pokok dan Pangan lainnya yang diberikan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau masyarakat dalam mengatasi Masalah Pangan dan Krisis Pangan, meningkatkan akses Pangan bagi masyarakat miskin dan/atau rawan Pangan dan Gizi, dan kerja sama internasional. 28. Masalah Pangan adalah keadaan kekurangan, kelebihan, dan/atau ketidakmampuan perseorangan atau rumah tangga dalam memenuhi kebutuhan Pangan dan Keamanan Pangan. 29. Krisis Pangan adalah kondisi kelangkaan Pangan yang dialami sebagian besar masyarakat di suatu wilayah yang disebabkan oleh, antara lain, kesulitan distribusi Pangan, dampak perubahan iklim, bencana alam dan lingkungan, dan konflik sosial, termasuk akibat perang. 30. Sanitasi Pangan adalah upaya untuk menciptakan dan mempertahankan kondisi Pangan yang sehat dan higienis yang bebas dari bahaya cemaran biologis, kimia, dan benda lain. 31. Persyaratan Sanitasi adalah standar kebersihan dan kesehatan yang harus dipenuhi untuk menjamin Sanitasi Pangan. 32. Iradiasi Pangan adalah metode penanganan Pangan, baik dengan menggunakan zat radioaktif maupun akselerator untuk mencegah terjadinya pembusukan dan kerusakan, membebaskan Pangan dari jasad renik patogen, serta mencegah pertumbuhan tunas. 33. Rekayasa Genetik Pangan adalah suatu proses yang melibatkan pemindahan gen (pembawa sifat) dari suatu jenis hayati ke jenis hayati lain yang berbeda atau sama untuk mendapatkan jenis baru yang mampu menghasilkan produk Pangan yang lebih unggul. 34. Pangan Produk Rekayasa Genetik adalah Pangan yang diproduksi atau yang menggunakan bahan baku, bahan tambahan Pangan, dan/atau bahan lain yang dihasilkan dari proses rekayasa genetik. 35. Kemasan Pangan adalah bahan yang digunakan untuk mewadahi dan/atau membungkus Pangan, baik yang bersentuhan langsung dengan Pangan maupun tidak. 36. Mutu Pangan adalah nilai yang ditentukan atas dasar kriteria keamanan dan kandungan Gizi Pangan. 37. Gizi adalah zat atau senyawa yang terdapat dalam Pangan yang terdiri atas karbohidrat, protein, lemak, vitamin, mineral, serat, air, dan komponen lain yang bermanfaat bagi pertumbuhan dan kesehatan manusia. 38. Setiap Orang adalah orang perseorangan atau korporasi, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum.

39. Pelaku Usaha Pangan adalah Setiap Orang yang bergerak pada satu atau lebih subsistem agribisnis Pangan, yaitu penyedia masukan produksi, proses produksi, pengolahan, pemasaran, perdagangan, dan penunjang. 40. Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan Pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 41. Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati atau walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. BAB II ASAS, TUJUAN, DAN LINGKUP PENGATURAN Pasal 2 Penyelenggaraan Pangan Pasal 3 Penyelenggaraan pangan dilakukan untuk memeuhi kebutuhan dasar manusia. Pasal 4 Tujuan penelenggaraan pangan. Pasal 5 Lingkup pengaturan penyelenggaraan pangan BAB III PERENCANAAN Pasal 6 Perencanaan pangan untuk merancang kedaulatan pangan Pasal 7 Perencanaan pangan harus memperhatikan beberapa aspek Pasal 8 Prencaaan panga harus terintegrasi dalam rancangan pembangunan nasioal dan daerah, yang ditetapkanpada jangka panjang, jangka menengah, dan jangka tahunan. Pasal 9 Perecanaan pangan pada tingkan provinsi memperhatikan rencana pembangunan profinsi dan tingkat kabupaten memperhatika rencana pembangunan kabupaten/kota. Pasal 10 Perencanaan pangan diwujudkan dalam bentuk renacaa pangan. Pasal 11

Aspek yang diperhatikan dalam rencana pangan BAB IV KETERSEDIAAN PANGAN 





   

Bagian pertama umum terdapat pada pasal 12 sampai pasal 15. Bagian pertama ini membahas tentang pemeritah bertanggung jawab atas kesediaan pangan, karena hal tersebut untuk mecukupi kebutuhan pokok masyarakat. Bagian kedua paragraf produk dalam negeri, paragraf pertama tentang potensi produksi pangan yang terdapat pada pasal 16 sampai pasal 21. Paragraf kedua tenang ancaman produksi pangan yang terdapat pada pasal 22. Bagian ketiga cadangan pangan nasional. Paragraf pertama umum pada pasal 23 sampai pasal 26. Paragraf kedua cadangan pangan pemerintah pasal 27 sampai pasal 32. Paragraf ketiga cadangan pangan masyarakat pada pasal 33. Bagian keempat epor pangan pada pasal 34 dan pasal 35. Bagian kelima impor pangan pasal 36 sampai pasal 40. Bagian keenam penganekaragaman pangan pasal 41 sampai pasal 47. Bagian ketujuh krisis pangan pada pasal 44 dan pasal 45. BAB V KETERJANGKAUAN PANGAN

Bab V paga bagian kestu yaitu tentang umum yang yang isinya ada pada pasal 46. Bagian kedua tentang distribusi pangan yang isinya terdapat pada pasal 47 sampai pasal 49. Bagian ketiga tentang pemasaran pangan yang terdapat pada pasal 50. Bagian kelima tentang perdagangan pangan pada pasal 51 sampai pasal 54. Bagian kelima tentang stabilisasi pasokan dan harga pangan pokok yang terdapat pada pasal 55 sampai pasal 57. Bagian keenam tentang bantuan pangapasal 58. BAB VI KONSUMSI PANGAN DAN GIZI Bab VI terdapat beberapa bagian. Bagian pertama tentang konsumsi pangan. Bagian kedua tentang penganekaragaan konsumi pangan. Bagian ketga tentang perbaikan gizi. BAB VII KEAMANAN PANGAN Bagian kesatu tentang umum. Bagian kedua tentang sanitasi pangan. Bagian ketiga tentang pengaturan bahan tambahan pangan. Bagian keempat tentang pengaturan pangan produk rekayasa genetic. Bagian kelima tentang

pengaturan iradiasi pangan. Bagian keenam tentang standar kemasan pangan.bagian ketujuh tentang jaminan keamanan pangan dan mutu pangan. BAB VIII LABEL DAN IKLAN PANGAN Bagian kesatu yaitu tentang label dan iklan pangan. Bagian kedua tentang label pangan. BAB IX PENGAWASAN Dalam bab ini tentang pengawasan terhadap pangan, persyaratan pangan, dan juga persyaratan keamanan pangan. BAB X SISTEM INFORMASI PANGAN Dalam bab ini mengenai informasi untuk pangan dan terpusat pada di bab ini. BAB XI PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PANGAN Dalam bab ini terdapat pada pasal 117 smapai pasal 125 BAB XII KELEMBAGAAN PANGAN Dalam bab ini terdapat pada pasal 126 sampai pasal 129 BAB XIII PERAN SERTA MASYARAKAT Dalam bab ini menjelaskan bahwa masyarakat jug berperan dalam mewujudkan kedaulatan pangan. BAB XIV PENYIDIKAN BAB XV KETENTUAN PIDANA Bab ini tentang hukuman bagi pelaku-pelaku yang menyimpang dari aturan “pangan” yang sudah ditetapkan. BAB XVI KETENTUAN PERALIHAN

Ketentuan sesuai dengan undang-undang yang berlaku. BAB XVII KETENTUAN PENUTUP Dalam bab ini terdapat pada pasal 150 sampai pasal 154 UNDANG – UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2014 TENTANG JAMINAN PRODUK HALAL BAB I KETENTUAN UMUM



 

       

Pasal 1 Produk adalah barang dan/atau jasa yang terkait dengan makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimiawi, produk biologi, produk rekayasa genetik, serta barang gunaan yang dipakai, digunakan, atau dimanfaatkan oleh masyarakat. Produk Halal adalah Produk yang telah dinyatakan halal sesuai dengan syariat Islam. Proses Produk Halal yang selanjutnya disingkat PPH adalah rangkaian kegiatan untuk menjamin kehalalan Produk mencakup penyediaan bahan, pengolahan, penyimpanan, pengemasan, pendistribusian, penjualan, dan penyajian Produk. Jaminan Produk Halal yang selanjutnya disingkat JPH adalah kepastian hukum terhadap kehalalan suatu Produk yang dibuktikan dengan Sertifikat Halal. Bahan adalah unsur yang digunakan untuk membuat atau menghasilkan Produk. Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal yang selanjutnya disingkat BPJPH adalah badan yang dibentuk oleh Pemerintah untuk menyelenggarakan JPH. Majelis Ulama Indonesia yang selanjutnya disingkat MUI adalah wadah musyawarah para ulama, zuama, dan cendekiawan muslim. Lembaga Pemeriksa Halal yang selanjutnya disingkat LPH adalah lembaga yang melakukan kegiatan pemeriksaan dan/atau pengujian terhadap kehalalan Produk. Auditor Halal adalah orang yang memiliki kemampuan melakukan pemeriksaan kehalalan Produk. Sertifikat Halal adalah pengakuan kehalalan suatu Produk yang dikeluarkan oleh BPJPH berdasarkan fatwa halal tertulis yang dikeluarkan oleh MUI. Label Halal adalah tanda kehalalan suatu Produk.

   

Pelaku Usaha adalah orang perseorangan atau badan usaha berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang menyelenggarakan kegiatan usaha di wilayah Indonesia. Penyelia Halal adalah orang yang bertanggung jawab terhadap PPH. Setiap orang adalah orang perseorangan atau badan hukum. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agama

Pasal 2 Asas penyelenggaraan Jaminan Produk Halal Pasal 3 Tujuan penyelenggaraan Jaminan Produk Halal Pasal 4 Produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikasi. BAB II PENYELENGGARAAN JAMINAN PRODUK HALAL Bagian kesatu yaitu umum tentang penyelenggaraan jaminan produk halal. Bagian kedua tentang badan penyelenggaraan jaminan produk halal. Bagian ketiga tentang lembaga pemerintah halal. BAB III BAHAN DAN PROSES PRODUK HALAL Bahan kesatu aitu tentang bahan produk halal. Bagian kedua yaitu prose Produk halal. BAB IV PELAKU USAHA Pasal 23 Pelaku usaha berhak memperoleh informasi, pembinaan dalam produksi, dan pelayanan untuk mendapatkan sertifikat halal. Pasal 24 Pelaku usaha yan mengajukan permohonan sertifikat halal wajib memberikan informasi, memisahkan lokasi, memilij penyedia halal, dan melaporkan perunahan komposisi bahan kepada BPJPH. Pasal 25 Pelaku usaha yang telah memperoleh sertifikat halal wajib Pasal 26

Pelaku usaha yang memproduksi produk dari bahan yang berasal dari bahan yang diharamkan sebagaimana dimaksud dalam pasal 18 dan pasal 20 dikecualikan dari mengajukan permohonan sertifikat halal. Pasal 27 Pelaku usaha tidak melakukan kewajiban yang di maksud daam pasal 25, pasal 26 ayat (2), dan ketentuan lanjut mengenai tata cara pengenaan sanksi administrative diataur dalam peraturan meteri. Pasal 28 Tugas penyelia halal sebagaimana dalam pasal 24 huruf c, persyaratan penyila halal, penyila halal ditetapkan oleh pimpinan perusahaan dan dilaporkan kepada BPJPH, dan ketentuan lebih lanjut mengenai penyelia halal diatur dalam peraturan menteri. BAB V TATA CARA MEMPEROLEH SERTIFIKAT HALAL Bagian pertama yaitu tentang pengajuan permohonan. Bagian kedua yaitu penetapan lebaga pemeriksa halal. Bagian ketiga yaitu tentang pemeriksaan dan pengujian. Bagian keempat yaitu tentang penetapan kehalalan produk. Bagian kelima yaitu tentang penerbitan sertifikat halal. Bagian keenam yaitu tentang label halal. Bagian ketujuh yaitu tentang pembaharuan sertifikat halal. bagian kedelapan yaitu tentang pembiayaan. BAB VI KERJA SAMA INTERNASIONAL Dalam bab ini terdapat pasal 47 dan pasal 48. BAB VII PENGAWASAN Dalam bab ini terdapat pasal 49 sampai pasal 52. BAB VIII PERAN SERTA MASYARAKAT Dalam bab ini terdapat pasal 53 dan pasal 54. BAB IX KETENTUAN PIDANA Dalam bab ini terdapat pada pasal 56 dan pasal 57. BAB X KETENTUAN PERALIHAN

Dalam bab ini erdapat pasal 58 sampai pasal 63 BAB XI KETENTUAN PENUTUP Dalam bab ini terdapat pasal 64 sampai pasal 67. KEPUTUSAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 52A/KEPMEN-KP/2013 TENTANG PERSYARATAN JAMINAN MUTU DAN KEAMANAN HASIL PERIKANAN PADA PROSES PRODUKSI, PENGOLAHAN DAN DISTRIBUSI BAB I PENDAHULUAN 1. Produksi adalah rangkaian kegiatan penangkapan di laut dan perairan umum termasuk kekerangan hidup. 2. Pengolahan adalah rangkaian kegiatan dan atau perlakuan dari bahan baku ikan sampai menjadi produk akhir untuk menjadi konsumsi manusia. 3. Distribusi adalah rangkaian kegiatan penyaluran hasil perikanan dari suatu tempat ke tempat lain sejak produksi, pengolahan sampai pemasaran. 4. Kapal Penangkap Ikan adalah kapal yang digunakan untuk menangkap ikan, termasuk menampung, menyimpan, mendinginkan, dan/atau mengawetkan. 5. Kapal Pengangkut Ikan adalah kapal yang memiliki palkah dan/atau secara khusus digunakan untuk mengangkut, memuat, menampung, mengumpulkan, menyimpan, mendinginkan, dan/atau mengawetkan ikan. 6. Unit Pengolahan Ikan yang selanjutnya disingkat UPI, adalah tempat dan fasilitas untuk melakukan aktifitas pengolahan ikan. 7. Unit Pengumpul/Supplier adalah tempat usaha yang digunakan untuk mengumpulkan sementara, mendistribusikan atau memasarkan hasil perikanan dari penangkapan ikan atau pembudidayaan ikan dan/atau agen pembelian/pengumpul ikan. 8. Ikan adalah segala jenis organisme yang seluruh atau sebagian dari siklus hidupnya berada di dalam lingkungan perairan. 9. Hasil Perikanan adalah ikan yang ditangani dan/atau diolah untuk konsumsi manusia. 10. Produk Perikanan adalah setiap bentuk produk pangan berupa ikan utuh atau produk yang mengandung bagian ikan, termasuk produk yang sudah diolah dengan cara apapun yang berbahan baku utama ikan. 11. Keamanan Hasil Perikanan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah hasil dan produk perikanan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan dan membahayakan kesehatan

manusia serta menjamin bahwa hasil dan produk perikanan tidak akan membahayakan konsumen. 12. Higiene adalah upaya dan persyaratan yang diperlukan untuk mengendalikan bahaya dan memastikan aman bagi konsumsi manusia bila dikonsumsi sesuai tujuan penggunaan. 13. Laboratorium adalah suatu ruangan atau tempat yang digunakan untuk melakukan kegiatan monitoring dan atau pengujian terhadap mutu produk bahan baku, semi produk dan produk akhir serta substansi bahaya selama proses produksi. 14. SSOP (Standard Sanitation Operating Procedure) adalah pedoman persyaratan sanitasi unit pengolahan ikan. 15. GMP (Good Manufacturing Practices) adalah pedoman persyaratan dan tata cara berproduksi yang baik bagi suatu unit pengolahan ikan. 16. HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point) adalah sistem manajemen keamanan pangan yang mendasarkan kesadaran bahwa dapat timbul pada tahaptahap proses, namun dapat dikendalikan melalui tindakan pencegahan dan pengendalian titik-titik kritis. 17. Nomor Registrasi adalah nomor yang diberikan kepada UPI yang telah memenuhi persyaratan sanitasi dan teknik pengolahan untuk memberikan jaminan mutu kepada konsumen. 18. Pendinginan adalah proses penurunan suhu hasil perikanan sampai mendekati suhu titik leleh es. 19. Produk Segar adalah setiap produk perikanan baik utuh atau produk yang mengalami perlakuan pembuangan isi perut, insang, pemotongan kepala, dan pemfilletan (produk preparasi), termasuk produk yang dikemas secara vacuum atau modifikasi atmosfir yang belum mengalami perlakuan pengawetan selain pendinginan. 20. Produk Beku adalah setiap hasil perikanan yang telah mengalami proses pembekuan untuk mencapai suhu pusat ikan -18°C atau lebih rendah. 21. Pengepakan adalah suatu kegiatan untuk membungkus atau menempatkan hasil perikanan ke dalam suatu wadah dengan menggunakan bahan pengepak yang memenuhi persyaratan. 22. Air Laut Bersih adalah air laut yang bebas dari kontaminasi mikrobiologi, bahan-bahan yang berbahaya dan/atau plankton laut beracun dalam jumlah tertentu yang dapat mempengaruhi keamanan dan mutu hasil perikanan. 23. Toksin hayati adalah senyawa beracun yang terakumulasi dalam kekerangan yang memakan plankton yang mengandung racun. 24. Pengendalian (official control) adalah segala bentuk kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah yang diberi kewenangan untuk melakukan verifikasi terhadap kesesuaian antara penerapan sistem mutu oleh pelaku usaha dengan peraturan/ketentuan dalam rangka memberi jaminan mutu mutu dan keamanan hasil perikanan. 25. Audit adalah Pemeriksaan secara sistematis dan independen untuk mengetahui apakah aktifitas dan hasil-hasilnya sesuai dengan manual dan apakah manual dilaksanakan secara efektif sehingga hasilnya mencapai tujuan. 26. Inspeksi adalah pemeriksaan terhadap suatu unit produksi/pengolahan dan manajemennya termasuk sistem produksi, dokumen, pengujian produk, asal dan tujuan produk, input dan output dalam rangka melakukan verifikasi.

27. Inspektur adalah perseorangan yang mempunyai kompetensi melakukan pengendalian keamanan pangan sesuai dengan persyaratan inspektur yang ditunjuk oleh Menteri yang bertugas melakukan inspeksi dalam rangka pengendalian keamanan pangan hasil perikanan. 28. Verifikasi adalah aplikasi metode, prosedur, testing dan evaluasi lainnya utk memverifikasi bahwa Rencana HACCP yang dibuat adalah sesuai dengan alur produksi, dan menilai apakah operasi proses produksi sesuai dengan Rencana HACCP. 29. Ketertelusuran (Traceability) adalah kemampuan untuk menelusuri riwayat, aplikasi atau lokasi dari suatu produk atau kegiatan untuk mendapatkan kembali data dan informasi melalui suatu identifikasi dokumen yang terkait. 30. Otoritas Kompeten (Competent Authority) adalah pihak Pemerintah yang mempunyai otoritas (kewenangan) untuk melakukan pengendalian mutu mencakup verifikasi dan hal-hal yang berkaitan dengan kewenangannya. 31. Menteri adalah Menteri Kelautan dan Perikanan. BAB II PERSYARATAN JAMINAN MUTU DAN KEAMANAN HASIL PERIKANAN Adapun persyaratan sistem jaminan mutu bagi pelaku usaha di bidang perikanan dalam menerapkan sistem jaminan mutu harus: a. memenuhi persyaratan hygiene sesuai dengan ketentuan yang dipersyaratkan; b. menerapkan persyaratan dalam mencegah adanya bahaya biologi, kimia, dan fisik pada hasil perikanan yang diolah sesuai standar dan peraturan sesuai dengan spesifikasi produk; c. mempunyai program/prosedur yang diperlukan untuk memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Keputusan Menteri ini; d. menerapkan persyaratan pengendalian suhu dengan menjaga rantai dingin hasil perikanan atau sesuai dengan spesifikasi produk; e. bekerjasama dengan otoritas kompeten sehingga memungkinkan petugas pengawas mutu dapat melakukan pengendalian sesuai dengan peraturan yang berlaku; f. memastikan bahwa karyawan yang menangani hasil perikanan telah disupervisi dan diarahkan dan/atau dilatih tentang persyaratan dan penerapan sanitasi dan higiene pangan sesuai dengan aktivitas ditempat kerjanya; g. memastikan bahwa karyawan mampu dan bertanggung jawab terhadap pengembangan dan pemeliharaan prosedur yang dipersyaratan; dan h. memastikan bahwa karyawan yang menangani hasil perikanan tidak sedang menderita atau sebagai carrier/pembawa penyakit tertentu yang berpotensi mengakibatkan kontaminasi terhadap hasil perikanan. Selain itu pelaku usaha dalam melakukan usaha perikanan harus menerapkan persyaratan jaminan mutu dan kemanan hasil perikanan pada proses produksi, pengolahan dan distribusi yang meliputi :  Kapal penangkapan yang mengangkut ikan  Tempat pendaratan ikan  Tempat pemasaran ikan  Unit pembudidayaan ikan

 

Unit pengumpul / supplier Unit Pengolahan Ikan (UPI) BAB III PENUTUP

Persyaratan jaminan mutu dan kemanan hasil perikanan pada proses produksi, pengolahan, dan distribusi merupakan salah satu upaya untuk melindungi masyarakat dari hal yang merugikan dan membahayakan kesehatan, membina produsen serta untuk meningkatkan daya saing produk dalam mencapai tingkat pemanfaatan sumber daya perikana secara berdayaguna dan berhasil guna serta dalam rangka pengawasan dan pengendalian mutu yang dipersyaratkan.

UNDANG-UNDANG NO 5 TAHUN 1984 TENTANG PERINDUSTRIAN Perindustrian merupakan tatanan dan segala kegiatan yang berhubungan dengan kegiatan industri. Industri merupakan kegiatan ekonomi yang mengolah bahan mentah, bahan baku, barang setenah jadi, dan barang jadi menjadi barang dengan nilai yang lebih tinggi untuk penggunaanya termasuk kegiatan rancang banun dan perekayasaaan industri. Hal hal yang berkaitan dengan industri adalah kelompok industri, cabang industri, jenis indutri, bidang usaha industri, dan perusahaan industri. Hal lain yang berkaitan dengan perindustrian adalah baha mentah, bahan baku industri, barang setengah jadi, barang jadi teknlogi industri, teknologi tepat gunarancang bangun industri, perekayasaan industri, standard industri, standarisasi dan tatanan industri. Perkembangan industri memiliki tujuan sebagai bentuk untuk meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat, meningkatkan pertumbuhan ekonomi, meningkatkan kemampuan dan penguasaan, meingkatkan keikutsertaan masyarakat, memperluas kesempatan erja, meninkatkan peneiamaan devisa, mengembangkan pusat pertumbuhan industri dan menunjang serta memerkuat stabilitas nasional. Pembangunan industri dilakukan untuk kepentingan hajat banyak maka dari itu ada campr tangan pemerintah dalam pembangunan industri. Pengembangan, pembinaan dan pengaturan industri dilakukan oleh pemerintah untuk mewujudkan tujuanya utama pemabngunan industri untuk kesejahteraan rakyat. Pendirian usaha harus dilakukan seteleh memeroleh izin usaha industri dengan melalui beberapa persyaratan dan ketentuan yang berlaku. Teknologi, desain produk, rancang bangun, dan perekayasaan industri dilakukan dengan perlindungan pemerintah dan ketentuan yang ditetapkan. Pemerin tah juga menetapkan standard untuk memastikan keamanan, kualitas dan mencapai daya guna produk. Wilayah industri ditetapkan oleh pemerintah dalam rangka menciptakan perwujudan wawasan nusantara. Penggunaan sumber daya alam sebagai bahan industri dikontrol oleh pemerintah agar tetap tercapai keseimbangan alam dan produksi. Pemerintah juga mewadahi dalam prose penyerahan kewenangan dan urusan industri ke daerah untuk kemakmuran rakyat.

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2016 TENTANG KATEGORI PANGAN BAB 1 KETENTUAN UMUM Pasal 1 Kategori pangan adalah pengelompokkan pangan berdasarkan jenis pangan yang bersangkutan. Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan, dan air, baik yang diolah maupun tidak dioalah, yang diperuntukkan sebagai makanan dan minuman bagi konsumsi manusia termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan atau pembuatan makanan dan minuman. Pangan olahan adalah makanan atau minuman hasil proses dengan cara atau metode tertentu dengan atau tanpa bahan tambahan. Keamanan pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia. Pelaku usaha pangan adalah setiap orang yang bergerak pada satu atau lebih sub sistem agribisnis pangan. Kepala badan adalah Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan. BAB 2 KATEGORI PANGAN Pasal 2 Kategori pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: 1. Kategori pangan 01.0 produk produk susu dan analognya, kecuali produk pada kategori 02.0 2. Kategori pangan 02.0 lemak, minyak, dan emulsi minyak 3. Kategori pangan 03.0 es untuk dimakan 4. Kategori pangan 04.0 buah dan sayur, termasuk jamur; umbi; kacangkacangan; rumput laut, biji-bijian 5. Kategori pangan 05.0 kembang gula/permen dan coklat 6. Kategori pangan 06.0 serealia dan produk serealia yang merupakan produk turunan dari biji serealia, akar dan umbi, kacang dam empulur 7. Kategori pangan 07.0 produk bakeri 8. Kategori pangan 08.0 daging dan produk daging, termasuk daging unggas dan daging hewan buruan 9. Kategori pangan 09.0 ikan dan produk perikanan termasuk moluska, krustasea, ekinodermata, amfibi serta reptil 10. Kategori pangan 10.0 telur dan produk-produk telur 11. Kategori pangan 11.0 pemanis, termasuk madu 12. Kategori pangan 12.0 garam, rempah, sup, saus, salad, produk protein 13. Kategori pangan 13.0 produk pangan untuk keperluan gizi khusus

14. Kategori pangan 14.0 minuman, tidak termasuk produk susu 15. Kategori pangan 15.0 makanan ringan siap santap 16. Kategori pangan 16.0 pangan campuran, Pasal 3 Jenis pangan yang tidak termasuk dalam kategori pangan, sebagaimana yang dimaksudkan dalam pasal 2, maka penetapannya dilakukan berdasarkan persetujuan tertulis di Kepala Badan. Pelaksanaan pemberian persetujuan Kepala Badan dilakukan sesuai ketentuan undang-undang. BAB 3 PENGGUNAAN KATEGORI PANGAN Pasal 4 Kategori pangan sebagaimana dalam pasal 2 wajib digunakan dalam penyusunan mengenai standard dan persyaratan keamanan, mutu dan gizi pangan. Ketentuan mengenai standard dan persyaratan keamanan, mutu dan gizi pangan antara lain meliputi batas maksimum penggunaan bahan tambahan pangan, dan batas cemaran. Pasal 5 Kategori pangan merupakan acuan bagi pelaku usaha pangan dalam melakukan kegiatan produksi, importasi, penyaluran, dan penyerahan pangan. Pasal 6 Pengawasan keamanan mutu, dan gizi pangan serta label dan iklan pangan wajib mengacu pada kategori pangan. BAB 4 SANKSI ADMINISTRATIF Pasal 7 Pelanggaran atas ketentuan dalam peratuan Kepala Badan dapat dikenankan sanksi administrative. Sanksi administrative dapat berupa: perintah penarikan dari peredaran dan pemusnahan pangan, pencabutan izin edar, larangan penayangan iklan. BAB 5 KETENTUAN PERALIHAN Pasal 8 Pada saat surat Kepala Badan ini berlaku, pangan olahan yang telah memiliki izin edar, khususnya pangan olahan yang termasuk kategori pangan 01.0, 06.0, 07.0, 12.0, dan 14.0 harus menyesuaikan ketentuan kategori pangan

sebagaimana diatur dalam Peratutan Kepala Badan ini paling lambat 12 bulan sejak Peratuan Kepala Badan ini diundangkan. BAB 6 PENUTUP Pasal 9 Pada saat Peratutan Kepala Badan ini berlaku, Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 1 Tahun 2015 tentang Kategori Pangan dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Pasal 10 Peraturan Kepala Badan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

UNDANG UNDANG PERINDUSTRIAN NOMOR 3 TAHUN 2014 Undang-undang ini terdiri dari 17 pasal dan 125 ayat. Undang-undang ini membahas tentang perencanaan pembangunan perindustrian untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur di dalam Negara Republik Indonesia yang merdeka.

Related Documents

Tugas Resume Petrologi.docx
December 2019 15
Tugas Resume Ekologi
August 2019 28
Tugas Resume Maternitas.docx
December 2019 31
Tugas Resume Uu.doc
November 2019 12

More Documents from "Donny Saja Cukup"

Tugas Resume Uu.doc
November 2019 12
December 2019 22
June 2020 8
Types Of Tb
June 2020 9