Tugas Rangkuman Manajemen Keuangan Daerah.docx

  • Uploaded by: IrmaWati
  • 0
  • 0
  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Tugas Rangkuman Manajemen Keuangan Daerah.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 17,981
  • Pages: 76
BAB 1 MANAJEMEN KEUANGAN DAERAH: SUATU TINJAUAN ERA UU NO. 5/1974, ERA UU NO. 22/ 1999, DAN ERA UU NO. 32/2004 PENDAHULUAN Pergantian pemerintahan dari Orde Baru kepada Orde Reformasi yang dimulai pertengahan 1998 menuntut pelaksanaan otonomi daerah yang memberikan kewenangan yang lebih luas dan bertanggung jawab kepada daerah secara proporsional. Pemberian kewenangan ini diwujudkan dengan pengaturan pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional serta pertimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, sesuai dengan prinsip demokrasi dan partipasi masyarakat. Secara konkrit, pengaturan ini dijabarkan dengan terbitnya UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 33/2004 tentang perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan daerah. Hal ini tentunya berlaku di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pada masa Orde Baru, pengaturan pemerintahan daerah ditetapkan dengan UU No. 5/1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah. Undang-undang ini belum memberikan kepastian mengenai kewenangan dan perimbangan keuangan kepada (pemerintahan) daerah dan adanya kekuasaan terpusat (sentralisasi) pada pemerintah pusat. Pengertian pemerintah daerah adalah kepala daerah dan DPRD (pasal 13 ayat 1). Hal ini mengindikasikan bahwa tidak ada pemisahan antar peran eksekutif dan legislatif yang mengakibatkan fungsi pengawasan tidak berjalan secara efektif. Salah satu kewenangan yang dimiliki oleh daerah otonom adalah kewenangan dalam bidang keuangan daerah yang meliputi: 1. Pemungutan sumber-sumber pendapatan daerah, 2. Penyelenggaraan pengurusan, pertanggungjawaban dan pengawasan keuangan daerah, dan 3. Penetapan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) Pengelolaan Keuangan Daerah A. Era UU No. 5/1974 Pada era UU No.5/1974, aturan dan ketentuan mengenai manajemen keuangan daerah adalah sebagai berikut: 1. UU No. 5/1974, tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah

2. PP No. 5/1975, tentang Pengurusan, Pertanggungjawaban dan Pengawasan Keuangan Daerah, 3. PP No. 6/1975, tentang penyusunan APBD, Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah dan Peyusunan Perhitungan APBD; 4. Permendagri No. 2/1994, tentang Pelaksanaan APBD;dan 5. Kepmendagri No. 900-099/1980, tentang Manual Administrasi Keuangan Daerah. Berdasarkan ketentuan di atas, secara umum APBD dapat dilihat dari empat sisi, yaitu: 1) Siklus Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara Dilihat dari siklusnya, APBD dapat dibagi menjadi: a. Penyusunan APBD; b. Pelaksanaan APBD; c. Perhitungan APBD. 2) Mekanisme Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah Mekanisme APBD dapat dilihat dari: -

Pendapatan

-

Belanja

3) Fungsi Dalam Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah Pelaksanaan APBD menganut sistem: -

Pengurusan administrasi

-

Pengurusan kebendaharawanan

4) Struktur Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah Struktur APBD dapat dilihat dari pendapatan dan belanja. Pendapatan terbagi ke dalam bagian-bagian, bagian terbagi ke dalam pos-pos dan pos terbagi menjadi ayat-ayat. B. Era UU No. 5/1974 Bertitik tolak dari aturan dan ketentuan di atas, terjadi banyak perubahan mengenai siklus, mekanisme, fungsi dan struktur APBD. Namun demikian, tetap terdapat beberapa persamaan dalam hal substansi dengan aturan dan ketentuan era sebelumnya. Perubahan yang telah didukung dengan peraturan perundangan berhubungan: 1) Siklus Anggaran Pendapatan Dan Belanja Daerah Beberapa perubahan penting dalam proses/ tahapan siklus APBD adalah sebagai berikut:

a. Pengesahan oleh pejabat yang berwenang tidak diperlukan lagi; b. Elemen-elemen manajemen keuangan daerah yang diperlukan: akuntabilitas, transparansi, pengendalian, value for money dan kejujuran dalam pengelolan keuangan daerah; c.

APBD disusun

dengan pendekatan kinerja dan berorientasi kepada

kepentingan publik, tidak lagi menggunakan pendekatan inkremental dan lineitem. d. Unsur-unsur yang berlibat dalam perencanaan anggaran daerah adalah masyarakat, DPRD pemerintahan daerah; e. Penata usahaan dan pertanggungjawaban keuangan daerah berpedoman pada standar akuntansi keuangan pemerintah daerah; f. Laporan pertanggungjawaban keuangan terdiri dari Laporan Perhitungan APBD, Nota Perhitungan APBD, Laporan Aliran Kas dan Neraca Daerah; g. Pengawasan pelaksanaan APBD dilaksanakan oleh DPRD; h. Prinsip anggaran yang harus diterapkan 2) Mekanisme Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Pada umumnya, mekanisme APBD tidak mengalami perubahan berarti. Setiap pendapatan dikelola melalui pemegang kas daerah dan setiap pengeluaran tetap menggunakan SPP, SKO dan SPMU. 3) Fungsi dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Berdasarkan ketentuan di era UU No. 22/1999, fungsi pengelolaan keunagan daerah juga relatif tidak berubah. 4) Struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Sesuai dengan UU No. 22/1999 serta aturan pelaksanaannya, struktur APBD dibagi menjadi pendapatan, pengeluaran dan pembiayaan. C. Era UU No. 32/2004 Perubahan yang terjadi dalam pengelolaan keuangan daerah berhubungan dengan: 1) Siklus Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Perubahan yang dilakukan merupakan pengembangan dari proses/tahapan pada siklus APBD era sebelumnya. Seperti proses penyusunan, pelaksanan dan perhitungan APBD. 2) Mekanisme Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Mekanisme APBD banyak mengalami perubahan untuk memenuhi tuntutan akan transparasi dan akuntabilitas.

3) Fungsi dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Berdasarkan aturan dan ketentuan pengelolaan keuangan daerah di era UU No. 32/ 2004, fungsi pengelolaan keuangan daerah juga relatif tidak berubah. 4) Struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Berdasarkan UU No. 32/2004 serta aturan pelaksanaannya, struktur APBD dibagi menjadi pendapatan, belanja, transfer, dan pembiyaan, yag masing-masing secara tegas harus dicantumkan bersamaan dengan jumlah anggarannya dan realisasi angguran perioda sebelumnya.

BAB 2 PENCAPAIAN AKUNTANBILITAS PUBLIK MELALUI PENGELOLAAN YANG BAIK (GOOD GOVERMENT GOVERNANCE)

PENDAHULUAN Dalam penyelenggaraan suatu negara dibutuhkan dana yang berkelanjutan. Dana itu bisa didapat dari tiga sumber yaitu sumber pajak, minyak dan gas alami dan non pajak. Sumbersumber penerimaan negara yang merupakan dana publik harus dikelola secara bertanggung jawab. Pengelolaan keuangan publik pemerintah pusat dilakukan dengan melimpahkan kewenangan pengelolaan keuangan kepada daerah. Pemerintah daerah mempunyai kewenangan untuk mengaturdan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasar aspirasi masyarakat (UU No. 32 tahun 2004). Good Governance Dalam Keuangan Publik Good governance merupakan isu relevan dalam pengelolaan administrasi publik. Pola-pola lama penyelenggaraan pemerintahan tidak sesuai lagi bagi tatanan masyarakat yang telah berubah. Oleh karena itu, tuntutan itu merupakan hal yang wajar dan sudah seharusnya direspon oleh pemerintah dengan melakukan perubahan-perubahan yang terarah pada terwujudnya penyelenggaraan pemerintaan yang lebih baik. Pelaksanaan otonomi daerah memiliki kaitan yang erat dengan meningkatnya tingkat pengetahuan masyarakat diiringi maraknya pengaruh globalisasi, penyediaan public goods dan services harus mampu disiapkan oleh pemerintah. OECD dan World Bank mensinonimkan good governance dengan penyelenggaraan manajemen pembangunan yang solid dan bertanggung jawab sejalan dengan demokrasi dan pasar yang efesien, penghindaran salah satu alokasi dana investasi yang langka, dan pencegahan korupsi secara politik maupun administratif, menjalankan disiplin anggaran serta penciptaan legal dan political frameworks bagi tumbuhnya aktivitas kewirausahaan. Adapun prinsip dasar good governance adalah sebagai berikut: a. Publik Participation Setiap warganegara mempunyai suara dalam pembuatan keputusan, baik secara langsung

maupun

melalui

intermediasi

institusi

terlegitimasi

yang

mewakili

kepentingannya. b. Rule of law kerangka hukum harus adil dan dilaksanakan tanpa pandang bulu, terutama hukum untuk hak asasi manusia.

c. Transparancy Transparansi dibangun atas dasar kebebasan arus informasi.proses, lembaga, dan informasi secara langsung dapat diterima oleh pihak-pihak yang membutuhkan. d. Responsiveness Lembaga-lembaga dan proses-proses harus mencoba untuk melayani setiap stakeholders. e. Consensus Orientation Good governance menjadi perantara kepentingan yang berbeda untuk memperoleh pilihan terbaik bagi kepentingan yang lebih luas dalam hal kebijakan-kebijakan maupun prosedur-prosedur. f. Equity Semua warga negara mempunyai kesempatan untuk meningkatkan atau menjaga kesejahteraan mereka. g. Effectiveness and Efficiency Proses dan lembaga menghasilkan public goods dan services sesuai dengan apa yang digariskan dengan menggunakan sumber-sumber yang tersedia sebaik mungkin. h. Strategic vision Para pimpinan organisasi publik harus mempunyai perspektif good governance dan pengembangan manusia yang jauh ke depan. Akuntabilitas Publik Dan Good Goverment Governance Pengelolan keuangan yang baik membuat setiap aktivitas yang dilakukan oleh pemerintah dapat dipertanggungjawabkan secara finansial. Oleh sebab itu, pengelolaan keuangan yang baik akan menciptakan akuntabilitas publik. Akuntabilitas publik merupakan kewajibankewajiban dari individu atau penguasa yang dipercayakan untuk mengelola sumber daya publik dan yang bersangkutan dengannya untuk dapat menjawab hal-hal yang menyangkut pertanggungjawaban pegawai pemerintah kepada publik yang menjadi konsumen layanannya.

BAB 3 PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH PENDAHULUAN Otonomi daerah menuntut pemerintah daerah untuk meningkatkan kapabilitas dan efektivitas dalam menjalankan roda pemerintahan. Namun pada kenyataannya, pemerintah daerah umumnya belum menjalankan fungsi dan peranan secara efisien, terutama dalam pengeolaan keuangan daerah.

LANDASAN TEORI Keuangan daerah dapat diartikan sebagai “semua hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang, juga segala satuan, baik berupa uang maupun barang, yang dapat dijadikan kekayaan daerah sepanjang belum dimiliki/dikuasai oleh negara atau daerah yang lebih tinggi serta pihak-pihak lain sesuai ketentuan/peraturan perundangan yang berlaku” (Mamesa,1995, dalam Halim =,2007:23). Pengelolaan keuangan daerah adalah keseluruhan kegiatan yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, pertanggunggungjawaban dan pengawasan keuangan daerah (Halim, 2007 : 330). Menurut peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 58 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah Pasal 1 ayat 5, keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintah daerah yang dapat dinilai dengan uang termasuk di dalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban daerah tersebut, dalam kerangka Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.

PEMBAHASAN Manajemen Belanja Rutin Kelemahan utama dalam manajemen pengeluaran rutian daerah adalah tidak adanya ukuran kinerja yang dapat dijadikan acuan bagi pemerintah daerah dalam proses perencanaa, ratifikasi, implementasi dan evaluasi pengeluaran rutin daerah. Hal ini berdampak pada kecendrungan berkurangnya perhatian dari para pembuat keputusan anggaran daerah terhadap konsep nilai uang. Selama ini satu-satunya ukuran kinerja yang ada adalah ukuran kinerja yang ditentukan dari pemerintah pusat, yaitu aturan bahwa jumlah pengeluaran rutin yang tertera dalam anggaran daerah adalah jumlah maksimal yang dapat dibelanjakan untuk setiap pos pengeluaran rutin. Berdasarkan aturan ini , kinerja pengeluaran rutin dinilai baik

apabila relisasinya sesuai dengan target yaitu semua dana pengeluaran rutin dihabiskan pada tahun anggaran yang bersangkutan. Manajemen Belanja Modal Permasalahan yang dihadapi dalam pengeluaran pembangunan pun sama dari segi bentuk dan strukturnya yaitu komponen pengeluaran pembangunan yang diseragamkan. Selanjutnya dari segi alokasi dana, pada pengeluaran pembangunan juga masih belum dilandasi oleh ukuran-ukuran kinerja yang baik. Satu-satunya ukuran kinerja yang dipakai adalah aturan bahwa jumlah dana untuk pengeluaran pembangunan yang tertera dalam anggaran daerah adalah jumlah dana maksimal yang dapat dibelanjakan untuk setiap pos pengeluaran pembangunan. Strategi pemecahannya Perencanaan dan pengendalian dalam perspektif umum dapat diibaratkan dua sisi mata uang. Walaupun mempunyai pengertian dan fungsi yang berbeda tetapi merupakan keduanya satu kesatuan yang saling terkait dan tidak terpisahkan. Siklus perencanaan dan pengendalian pada dasarnya terdiri dari lima tahapan aktivitas, yaitu: a. Perencanaan tujuan dasar dan sasaran; b. Perencanaan operasional; c. Penganggaran; d. Pengendalian dan pengukuran; e. Pelaporan, analisis dan umpan balik. Prinsip-prinsip Public Expenditure management Didalam public expenditure Mangement Handbook yang diterbitkan Bank Dunia (1998) disebutkan bahwa penganggaran kinerja berorientasi pada pencapaian hasil dengan input pengeluaran anggaran setidaknya harus mempertimbangkan prinsip-prinsip pengelolaan pengeluaran daerah. Adapun prinsip-prinsip tersebut adalah: 1. Akuntabilitas Prinsip ini bermakna bahwa pengeluaran daerah yang dibiayai oleh pajak dan retribusi harus dipertanggungjawabkan dan disajikan dalam bentuk laporan yang didalamnya terungkap segala hal yang menyangkut penggunaan dana publik. 2. Value For Money

Anggaran yang berbasis kinerja menuntut adanya output yang optimal atas pengeluaran yang dialokasikan sehingga setiap pengeluaran harus berorientasi atau bersifat ekonomis, efisien dan efektif. 3. Kejujuran Kejujuran ini bermakna bahwa dalam operasional keuangan daerah ini harus diserahkan kepada staf yang jujur serta memiliki integritas yang tinggi sehingga maslah korupsi sejka awal dapat dicegah. 4. Transparansi Merupakan bentuk keterbukaan pemerintah dalam membuat kebijakan pengeluaran daerah sehingga dapat dengan mudah mendapatkan informasi tentang rencana anggaran pemerintah daerah dalam suatu tahun anggaran tertentu. 5. Pengendalian Adalah proses keterbukaan melakukan kontrol terhadap proses perencanaan pengeluaran dengan implementasi. Anggaran Kinerja dan Analisa Standar Belanja Anggaran dengan pendekatan kinerja adalah sistem anggaran yang mengutamakan kepada upaya pencapaian hasil kerja dari perencanaan alokasi biaya yang ditetapkan. Anggaran yang disusun memuat keterangan antara lain: a. Sasaran yang diharapkan menurut fungsi belanja; b. Standar pelayanan yang diharapkan dan perkiraan biaya satuan komponen kegiatan yang bersangkutan; c. Persentase dari jumlah pendapatan APBD yang membiayai belanja administrasi umum, belanja operasi dan pemeliharaan dan belanja modal/pembangunan. Plafon Anggaran Plafon anggaran adalah batasan anggaran tertinggi/maksimum yang dapat diberikan atas suatu kegiatan atau unit fungsional. Perkiraan plafon anggaran ditujukan untuk menghasilkan alokasi dana yang akurat, adil san mampu memberikan insentif bagi setiap unit kerja untuk melaksanakan prinsip value for money dalam melakukan pengeluaran daerah: a. Proses penentuan plafon anggaran ditentukan oleh perangkat pengeola keuangan daerah; b. Alokasi anggaran didasarkan pada fungsi yang menjadi prioritas melalui pembobotan; c. Unit kerja yang memberikan dukunganlebih besar terhadapa fungsi yang menjadi proritas akan mendapat plafon yang lebih besar. Tolak Ukur Kinerja

Tolak ukur kinerja adalah ukuran keberhasilan yang dicapai pada stiap unit kerja perangkat daerah. Satuan ukur merupakan tolak ukur yang dapat digunakan untuk melihat seberapa jauh unit kerja mampu melaksanakan tupoksinya. Tolak ukur kinerja ditetapkan dlam bentuk standar pelayanan yang ditentukan oleh masing-masing daerah. Standar Biaya Penentuan keutuhan pengeluaran daerah diformuylasikan sebagai berikut: Satuan ukur

x

Anggaran rata-rata

x

Indeks penyesuaian

SAB adalah perkiraan jumlah pengeluaran (alokasi dana) untuk setiap unit kerja pemerintah daerah, program kerja atau unit kegiatan pemerintah daerah yang dibutuhkan untuk menghasilkan suatu tingkat pelayanan publik tertentu sesuia dengan tuntutan dan kebutuhan masyarakat. Dengan SAB ini, dimungkinkan munculnya identifikasi kebutuhan dana yang lebih akurat, baik untuk kegiatan rutin maupun pembangunan.

BAB 4 AUDIT DAN AKUNTABILITAS PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH

PENDAHULUAN Dalam era reformasi dan pelaksanaan otonomi daerah yang lebih luas telah mengakibatkan semakin kuatnya tuntutan masyarakat terhadap pelaksaanaan pemerintah yang baik menuju pada terwujudnya good governance, karena good governance telah menjadi suatu paradigma baru yang sangat didambakan oleh masyarakat. PERANAN BAWASDA SEBAGAI INSTRUMEN INTERNAL AUDIT Pengawasan keuangan daerah merupakan bagian integral dari pengelolaan keuangan daerah. Berdasarkan pengertiannya, pengawasan keuangan daerah pada dasarnya mencakup segala tindakan untuk menjamin agar pengelolaan keuangan daerah berjalan sesuai dengan rencana, ketentuan dan undang-undang yang berlaku (Baswir, 1999). Pengawasan secara umum dapat dirumuskan sebagai suatu proses kegiatan yang dilakukan secara terus menerus atau berkesinambungan untuk mengamati, memahami dan menilai setiap pelaksanaan kegiatan tertentu sehingga dapat mencegah atau memperbaiki kesalahan atau penyimpangan yang terjadi. Pengawasan pengelolaan keuangan daerah menurut Peraturan Pemerintah Nomor 105 Tahun 2000 tentang Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah adalah sbb: a. Pengawasan atas pelaksanaan APBD dilakukan oleh DPRD b. Kepala Daerah mengangkat pejabat yang bertugas melakukan pengawasan internal pengelolaan keuangan daerah c. Pejabat pengawas internal pengelolaan keuangan daerah sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 tidak diperkenankan merangkap jabatan lain di Pemerintahan Daerah d. Pejabat pengawas internal pengelolaan keuangan daerah sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 melaporkan hasil pengawasannya kepada kepala daerah PERANAN BAWASDA DALAM REFORMASI PENGAWASAN KEUANGAN DAERAH Reformasi Pertanggungjawaban Keuangan Daerah

Pelaksanaan otonomi daerah berdasarkan UU Nomor 32 Tahun 2004 dan perimbangan keuangan daerah berdasarkan UU Nomor 33 Tahun 2004 mulai berlaku secara efektif. Sebagai pelaksanaan reformasi tersebut, sebagian besar kewenangan pemerintah pusat diserahkan kepada pemerintah daerah kecuali kewenangan di bidang moneter dan fiskal, pertahanan dan keamanan, peradilan, agama, politik luar negeri dan bidang lainyang ditentukan. Sesuai dengan UU Nomor 32 Tahun 2004 dan UU Nomor 33 Tahun 2004 terdapat tiga jenis pertanggungjawaban keuangan daerah yaitu: a. Pertanggungjawaban pembiayaan pelaksanaan dekonsentrasi b. Pertanggungjawaban pembiayaan pelaksanaan pembantuan c. Pertanggungjawaban APBD. Reformasi Kelembagaan Sistem pemerintahan negara menurut UUD 1945 menganut pembagian kekuasaan di antara eksekutif, legislatif dan yidikatif untuk menciptakan keseimbangan kekuasaan dan saling mengawasi diantara kekuasaan tersebut (Usman Damanik, 2001). Otonomi daerah dan desentralisasi fiskal telah memberikan keleluasan bagi pemrintah daerah dalam melakukan pengelolaan keuangan daerah. Untuk itu harus ada upaya dalam pengawasan keuangan. Institusi yang melakukan pengawasan keuangan terutama yang bersifat internal terhadap penggunaan keuangan daerah yaitu Badan Pengawasan Daerah (Bawasda) masih belum menunjukkan kinerja yang optimal ini dikarenakan beberapa hal yaitu: a. Permasalahan internal badan pengawas yang meliputi antara lain personil dan kelembagaan, di mana sudut persoanal, pola rekruitmen yang berlaku saat ini belum sepenuhnya menjamin terjaringnya apatur pengawasan yang memiliki integritas dan kapabilitas yang baik. b. Permasalahan yang sifatnya eksternal yaitu permasalahan efektivitas sistem pengawasan keuangan daerah yang terkait dengan masalah struktur lembaga audit terhadap pemerintah pusat dan daerah yang masih banyaknya lembaga pemriksa fungsional yang overlapping satu dengan lainnya yang menyebabkan pelakasanaan audit menjadi tidak efesien dan efektif. PERANAN BAWASDA DALAM PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH Era reformasi yang telah melahirkan keinginan untuk mewujudkan otonomi daerah secara jelas, nyata dan bertanggungjawab. Salah satu wujud perubahan paradigma dalam penyelenggaraan pemerintah dewasa ini adalah pentingnya partisipasi dan akuntabilitas

mastarakat atau publik dalam proses perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan jalannya aktivitas pembangunan dan pemerintahan. Pemerintah daerah harus merubah orientasinya dari pertanggungjawaban ke atas menjadi pertanggungjawaban kepada publik atau masyarakat. Pengawasan Kinerja Pemerintah Daerah Ada tiga aspek utama yang mendukung keberhasilan otonomi daerah yaitu: pengawasan, pengendalian dan pemeriksaan (Mardiasmo, 2002). Ketiga hal tersebut pada dasarnya berbeda baik konsepsi maupun aplikasinya. Pengawasan mengacu pada tindakan atau kegiatan yang dilakukan oleh pihak luar eksekutif untuk mengawasi kinerja pemerintah. Pengendalian adalah mekanisme yang dilakukan oleh eksekutif untuk menjamin dilaksanakannya sistem dan kebijakan manajemen sehingga tujuan organisasi dapat tercapai. Bentuk pertanggungjawaban publik oleh pemerintah daerah dapat dilaksanakan dengan empat bentuk cakupan akuntabilitas publik yaitu: a. Akuntabilitas Kebijakan b. Akuntabilitas Program c. Akuntabilitas Proses d. Akuntabilitas Hukum dan Peradilan Pengawasan Sebagai Bentuk Akuntabilitas Publik Masyarakat atau publik merupakan stakeholders daerah berkepentingan dalam proses anggaran daerah. Hal ini disebabkan karena anggaran daerah pada hakekatnya merupakan perwujudan amanat rakyat kepada eksekutif untuk meningkatkan kesejahteraan dan pelayanan umum bagi masyarakat dalam batas otoritas wilayah yang dimilikinya.

BAB 5 AKUNTABILITAS BIROKRASI PUBLIK: POTRET DARI PERTANGGUNGJAWABAN ADMINISTRATIF DAN POLITIK

PENDAHULUAN Semangat reformasi telah mewarnai pendayagunaan apatur negara dengan tuntutan untuk mewujudkan administrasi negara yang mampu mendukung kelancaran dan keterpaduan pelaksanaan tugas dan fungsi penyelenggaraan pemerintahan negara dan pembangunan dengan mempratikkan prinsip-prinsip good governance. Selain itu masyarakat menuntut agar pemerintah memberikan perhatian yang sungguh-sungguh dalam menanggulangi korupsi, kolusi dan neptisme (KKN) sehingga tercipta pemerintahan yang bersih dan mampu menyediakan public goods and service sebagaimana yang diharapkan oleh masyarakat. AKUNTABILITAS BIROKRASI PUBLIK Salah satu masalah mendasar yang dihadapi oleh pemerintah indonesia setelah terjadinya krisis ekonomi adalah turunnya kepercayaan masyarakat terhadap birokrasi publik dan sisitem pemerintahan pada umumnya. Setelah melihat bahwa birokrasi publik selama ini hanya dijadikan sebagai alat politik bagi rezim yang berkuasa, rakyat ini sulit untuk menghargai apa yang dilakukan oleh pejabat pemerintah, birokrat atau unsur-unsur lain yang terdapat dalam birokrasi publik. Akuntabilitas terkait dengan falsafah bahwa lembaga eksekutif pemerintah yang tugas utamanya adalah melayani rakyat harus bertanggungjawab secara langsung maupun tidak langsung kepada rakyat. Dengan bahasa sederhana, Starling (1998 : 164) mengatakan bahwa akuntabilitas adalah kesediaan untuk menjawab pertanyaan publik. Kesulitan untuk menuntut pertanggungjawaban pemerintahan terhadap kualitas pelayanan publik terutama disebabkan karena sosok pemerintah itu sendiri tidak tunggal. Untuk itu proses atau sistem akuntabilitas bagi lembaga pemerintah atau birokrasi publik yang memadai merupakan prasyarat penting bagi peningkatan kualitas pelayanan publik. Ferlie (1997;202-216) membedakan beberapa model akuntabilitas, yakni: a. Akuntabilitas ke atas b. Akuntabilitas kepada staf c. Akuntabilitas ke bawah

d. Akuntabilitas yang berbasis pasar e. Akuntabilitas kepada diri sendiri Dua model akuntabilitas yang pertama sesungguhnya tidak banyak berbeda dengan konsepkonsep accountability downwards terkait dengan konsep demokrasi partisipasif, bahwa aktivitas politik dan pelayanan publik harus memiliki kaitan yang erat dengan prosese konsultatif dan kerjasama antara wakil rakyat dan masyarakat pada tingkat lokal. POLITISASI BIROKRASI Masalah politisasi birokrasi menyentuh persoalan administrasi publik yang mendasar. Ini merupakan pertarungan besar bagi masa depan sistem administrasi publik yang modern. Perdebatan mengenai pengaruh politik di dalam birokrasi pemerintah sesungguhnya merupakan persoalan klasik dibanyak negara, tidak terkecuali negara-negara yang sudah maju sistem administrasi publiknya. Ungkapan yang terkenal when politic ends, administration begins. Pemisahan antara politik dan administrasi dimaksudkan agar birokrasi publik dapat bekerja secara profesional melayani kepentingan umum tanpa dibebani oleh isuisu politik yang terkadang disertai dengan penilaian-penilaian yang subjektif. Sebagai sebuah bentukan organisasi besar birokrasi publik sendiri sebenarnya diciptakan dengan prinsip-prinsip objektivitas dan rasionalitas yang ketat. Ketika Max Weber merumuskan konsep birokrasi sebagai sebuah alternatif yang terbaik dalam penyelanggaraan pelayanan politik masyarakat modern, yang dibayangkannya adalah serangkaian sub-sistem yang membentuk sebuah organisasi raksasa yang disebut negara dan kesemuanya tunduk pada prinsip-prinsip rasionalitas. Prinsip-prinsip seperti scalar chain, impersonality, kesatuan komando dimaksudkan agar sistem wewenang dan tanggungjawab pada birokrasi berjalan secara berkesinambungan. Masalahnya adalah bahwa pengaruh politik didalam birokrasi publik merupakan sesuatu yang inevitable, tidak dapat dihindari. Pemisahan antara politik dan administrasi terkadang hanya dapat dilakukan secara teoritis, tetapi dalam pelaksanaannya suli dijaga konsistensinya. Dengan demikian yang perlu dipikirkan bukanlah menerapkan pemisahan yang terlalu ketat, tetapi menerapkan batas yang rasional sampai dimana kekuatan politik boleh melakukan intervensi terhadap birokrasi dan pada titik mana birokrasi harus benar-benar netral dan profesional dalam melakukan pelayanan umum. TRANSPARANSI ANGGARAN Indikator untuk melihat tingkat transparansi penyusunan anggaran daerah adalah seberapa jauh proses penyusunan dan rincian alokasi APBD telah disosialisasikan pada publik secara

intensif. Kecendrungan yang banyak terjadi adalah proses pengambilan kebijakan APBD di daerah hanya didominasi oleh anggota DPR, Bupati, dan beberapa pejabat birokrasi. Dalam arti, proses pembahasan dan finalisasi rencana penggunaan APBD di daerah dapat dikatakan masih dilakukan secara tertutup. Kecendrungan yang terlihat di banyak kabupaten dan kota adalah APBD belum sepenuhnya dianggap sebagai dokumen publik yang bebas diakses oleh publik. Rendahnya komimen politik dari kalangan DPRD atau kalangan birokrasi untuk membuat mekanisme pengambilan kebijakan APBD menjadi lebih transparan lebih banyak disebabkan oleh faktor politisasi anggaran. Dalam arti, beberapa anggota DPRD maupun pejabat birokrasi masih cenderung menjadikan persoalan APBD sebagai bagian dari “kesepakatan politik” diantara mereka. MENCIPTAKAN GOOD GOVERNANCE MELALUI AKUNTABILITAS SEKTOR PUBLIK Asas-asas umum pemerintahan yang baik sangat penting untuk dipahami oleh para aparatur negara dalam rangka penciptaan good governance. Pertama-tama, prinsip-prinsip dasar pemerintah hendaknya selain menjadi kesepakatan diantara para pejabat negara juga menjadi pedoman di dalam pembuatan kebijakan. Pelaksanaan manajemen pemerintahan maupun dalam sistem pengawasan aparatur negara. Prinsip demokrasi, misalnya menghendaki agar kekuasaan tertinggi dan kedaulatan tetap berada ditangan rakyat sehingga apapun tugas aparatur negara hendaknya senantiasa merujuk kepada kepentingan rakyat. Prinsip demokrasi menjadi pilihan terbaik didalam sistem pemerintahan sekarang ini karena bukti menunjukkan bahwa hanya dengan prinsip inilah dapat dijamin pembangunan yang mengutamakan martabat manusia serta persamaan di hadapan hukum. Kaidah-kaidah demokrasi semacam ini tampaknya bukan hanya berlaku dinegara-negara maju saja tetapi juga berlaku secara universal, tidak terkecuali di negara-negara yang sedang berkembang. Wujud nyata pengelolaan keuangan daerah yang bertumpu pada tatanan “good governance” adalah pengelolaan keuangan daerah yang bernuansa: a. Solid b. Bertanggungjawab c. Efesien, dan d. Efektif, serta e. Diselenggarakan secara partisipatif Secara skematik kerangka teoritik yang mendasari penulisan ini sesungguhnya dapat dipaparkan dalam skema 1. Dan paparan skematik tersebut dapat diketahui tentang rangkaian

pemikiran teoritik yang mendasari paradigma konstruktivisme atas dasar kajian yuridisnormatif dan yuridis-sosiologis. Formulasi hukum pengelolaan keuangan daerah yang dikonstruksi diancangkan mampu menjamin keberadaan kondisi “financial sustainabiliti”. Adapun siklus peraturan hukum pengelolaan keuangan daerah yang terdiri atas tahapantahapan berikut: a. Formulasi (perumusan) b. Implementasi (penerapan/pelaksanaan) c. Evaluasi (uji kinerja aturan hukum) d. Umpan-balik (feed back) e. Reformulasi Akuntabilitas Administratif DPRD Dan Pertanggungjawabannya Pelaksanaan otonomi daerah berbarengan dengan gencarnya tuntutan publik akan pelaksanaan pemerintahan yang baik “good governance” dan membawa implikasi pada reorientasi manajemen keuangan daerah. Paling tidak ada tiga alasan mengapa reorientasi dibidang pengelolaan keuangan daerah menjadi semakin kompleks. Selain itu praktik manajemen keuangan daerah yang dilaksanakan selama ini terbukti kurang dapat mendukung terwujudnya good governance. Paradigma baru terpenting yang harus diperhatikan dalam spektrum “peralihan kewenangan daerah” adalah diarahnkannya manajemen keuangan daerah untuk kepentingan dan kesejahteraan masyarakat lokal yang lebih besar. Oleh karena itu, misi pengelolaan keuangan daerah harus menekankan pada tiga aspek pelayanan masyarakat, yaitu pelayanan administrasi, kebutuhan dasar, dan infrastruktur. Penekanan itu tidak hanya pada besarnya proporsi alokasi anggaran, tetapi luasnya manfaat dan besarnya partisipasi masyarakat. Kedua, pengelolaan keuangan daerah harus didasari oleh prinsip-prinsip ekonomis, efisiensi dan efektivitas. Sumber-sumber keuangan daerah yang terbatas harus dapat dikumpulkan seoptimal mungkin sesuatu potensi riil daerah yang terbatas harus dapat dikumpulkan seoptimal mungkin sesuatu potensi riil daerah untuk membiayai pelaksanaan program dan kegiatan pelayanan masyarakat yang benar-benar menjadi prioritas dan kebutuhan masyarakat. Ketiga, manajemen keuangan daerah harus dilakukan dengan memperhatikan prinsip transparansi dan akuntabilitas.

BAB 6 AUDIT KINERJA PADA ORGANISASI SEKTOR PUBLIK PEMERINTAHAN

PENDAHULUAN Selama ini system public tidak luput dari tudingan sarang koripsi, kolusi, dan nepostime, inefisiensi dan sumber pemborosan Negara.Keluhan “birokrat tidak mampu berbisnis” ditjujukan

untuk

mengkritik

buruknya

kinerja

perusahaan-perusahaan

sector

public.Organisasi sektor public pemerintah merupakan lembaga yang menjalankan roda pemerintahan yang sumber legitimasinya berasal dari masyarakat.Oleh karena itu, kepercayaan yang diberikan oleh masyarakat kepada penyelenggara pemerintah haruslah diimbangi dengan adanya pemerintahan yang bersih. Pemerintahan yang bersih atau good government governance ditandai dengan tiga pilar utama yang merupakan elemen dasar tersebut adalah pertisipasi, tranparansi, dan akuntabilitas. Pemerintah adalah entitas pelapor yang harus membuat laporan keuangan dengan pertimbangan berikut: a. Pemerintah menguasai dan mengendalikan sumber-sumber yang signifikan. b. Penggunaan sumber-sumber tersebut oleh pemerintah dapat berdampak luas terhadap kesejahteraan ekonomi rakyat. c. Terdapat pemisahan antara manajemen dan pemilikan sumber-sumber tersebut. Akuntabilitas mengacu pada kewajiban perseorangan, suatu kelompok atau suatu organisasi yang diasumsikan harus melaksanakan kewenangan dan atau pemenuhan tanggung jawab. Kewajiban tersebut meliputi: a. Answering, usaha untuk memberikan penjelasan atau justifikasi untuk pelaksanaan dan pemenuhan tanggung jawab. b. Reporting, pelaporan hasil atas pelaksanaan dan/atau pemenuhan. c. Producing, asumsi kewajiban atas hasil yang dicapai. PROGRAM AUDIT A. Jenis-jenis Audit dalam Audit Sektor Publik Secara umum ada tiga jenis audit dalam audit sector public, yaitu audit keuangan, audit kepatuhan, dan audit kinerja. Audit keuangan adalah audit yang menjamin system akuntansi dan pengendalian keuangan berjalan secara efisien dan tepat serta transaksi keuangan diotorisasi serta dicatat secara benar.Audit kepatuhan adalah audit yang memverifikasi/memeriksa bahwa pengeluaran-pengeluaran untuk pelayanan masyarakat telah disetujui dan telah sesuai dengan undang-undang peraturan. Dan audit yag ketiga adalah audit kinerja yang merupakan perluasan dari audit keuangan dalam hal dan tujuan prosedurnya.

B. Audit Sektor Publik di Indonesia Pengembangan bidang akuntansi sector public, dalam konteks industri belum banyak dikembangkan seperti bank sentral.Audit sector public juga dipengaruhi oleh peraturan yang dikeluarkan oleh lembaga legislative, seperti undang-undang.Audit sector public tidak hanya dilekatkan pada sisi akuntan, tetapi juga organisasi. Program audit adalah rencana kerja pemeriksaan yang harus dilaksanakan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan melalui prosedur audit yang harus dijalankan. Prosedur audit adalah langkah-langkah kerja termasuk teknik-teknik audit yang harus ditempuh oleh auditor gua memenuhi fungsi pembuktian dalam rangka mencapai tujuan audit. Penyusunan laporan hasil pemeriksaan (LHP) adalah langkah terakhir dari kegiatan pemeriksaan.Laporan tersebut sebagai sarana komunikasi yang resmi dan sangat penting bagi pemeriksa untuk menyampaikan informasi tentang temuan, kesimpulan dan saran kepada pejabat yang berwenang atau yang perlu mengetahui informasi tersebut.Salah satunya adalah yang dikeluarkan oleh BPKP sebagai hasil pemeriksaan operasional terhadap SPI pada BUMN/BUMD. PENILAIAN KINERJA A. Audit Kinerja Sektor Publik Pemerintah Kinerja suatu organisasi dinilai baik jika organisasi yang bersangkutan mampu melaksanakan tugas-tugas dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan pada standar yang tinggi dengan biaya yang rendah.Konsep ekonomi, efisiensi dan efektivitas saling berhubungan satu sama lain dan tidak dapat diartikan secara terpisah. Konsep ekonomi memastikan bahwa biaya input yang digunakan dalam operasional organisasi dapat diminimalkan. Jadi, audit yang dilakukan dalam audit kinerja meliputi audit ekonomi, efisiensi dan efektivitas. Audit ekonomi dan efisiensi disebut management audit atau operasional audit, sedangka audit efektivitas disebut program audit. B. Audit Ekonomi dan Efisiensi Konsep yang pertama dalam pengelolaan organisasi sector public adalah ekonomi yang berarti pemerolehan input dengan kualitas dan kuantitas tertentu pada harga yang terendah. Konsep kedua dalam pengelolaan organisasi sector public adalah efisiensi, yang berarti pencapaian output yang maksimal dengan input tertentu atau penggunaan input yang rendah untuk mencapai output tertentu. Dapat disimpulkan bahwa ekonomi mempunyai arti biaya terendah, sedangkan efisiensi mengacu pada rasio terbaik antara output dengan biaya. Karena output dan biaya diukur dalam unit yang berbeda, maka efisiensi dapat terwujud ketika dengan sumber daya yang ada dapat dicapai output yang maksimal atau output tertentu dapat dicapai dengan sumber daya yang sekecil-kecilnya. Menurut the Genera Accunting Office Standards, beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam audit ekonomi dan efisiensi, yaitu dengan mempertimbangkan apakah entitas yang diaudit telah: - Mengikuti ketentuan pelaksanaan pengadaan yang sehat; - Melakukan pengadaan sumber daya sesuai dengan kebutuhan pada biaya terendah; - Melindungi dan memelihara semua sumberdaya yang ada secara memadai;

- Menghindari duplikasi pekerjaan atau kegiatan yang tanpa tujuan atau kurang jelas tujuannya; - Menghindari adanya pengangguran sumber daya atau jumlah pegawai yang berlebihan; - Menggunakan prosedur pekerjaan yang efisien; - Menggunakan sumber daya yang minimum dalam menghasilkan atau menyerahkan barang/jasa dengan kuantitas dan kualitas yang tepat; - Mematuhi persyaratan dan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perolehan, pemeliharaan dan penggunaan sumber daya Negara; - Melaporkan ukuran yang sah dan dapat dipertanggungjawabkan mengenai kehematan dan efisiensi. C. Audit Efektivitas Konsep yang ketiga dalam pengelolaan sector public adalah efetivitas. Efektivitas berarti tingkat pencapaian hasil program kerja dengan target yang ditetapkan. Audit efektivitas bertujuan untuk menentukan tingkat pencapaian hasil atau manfaat yang diinginkan, kesesuaian hasil dengan tujuan yang ditetapkan sebelumnya dan menetukan apakah entitas yang di audit telah mempertimbangkan alternative lain yang memberikan hasil yang sama dengan biaya yang paling rendah. Meskipun efektivitas suatu program yang tidak dapat diukur secara langsung, ada beberapa alternative yang dapat digunakan untuk mengevaluasi pelaksanaan suatu program, yaitu mengukur dampak/pengaruh, evaluasi oleh konsumen dan evaluasi yang menitikberatkan pada proses, bukan pada hasil. D. Struktur Audit Kinerja Sebelum melakukan audit, auditor terlebih dahulu harus memperoleh informasi umum organisasi guna mendapatkan pemahaman memadai tentang lingkungan organisasi yang diaudit, struktur organisasi, misi organisasi, proses kerja serta system informasi dan pelaporan. Berdasarkan analisis terhadap kelemahan dan kekuatan system pengendalian dan pemahaman mengenai kekuasaan, validitas dan realibilitas informasi kinerja yang dihasilkan oleh organisasi, auditor kemudian menetapkan kriteria audit dan mengembangkan ukuran-ukuran kinerja yang tepat.Berdasarkan rencana kerja yang telah dibuat, auditor melakukan pengauditan, mengembangkan hasil-hasil temuan audit dan membandingkan antara kinerja yang dapat dicapai dengan kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya. Suatu audit kinerja terdiri atas tahap pengenalan dan perencanaan, tahap pengauditan, tahap pelaporan dan tahap penindaklanjutan. Pada tahap pengenalan dilakukan survey pendahuluan dan review system pengendalian manajemen. Pekerjaan yang dilakukan pada survey pendahuluan dan review system pengendalian manajemen bertujuaan untuk menghasilkan rencana penelitian yang detail yang dapat membantu auditor dalam mengukur kinerja dan mengembangkan temuan berdasarkan perbandingan antara kinerja dan kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya. Tahap pengauditan dalam audit kinerja terdiri dari tiga elemen, yaitu hasil-hasil program, telaah ekonomi, dan efisiensi dan telaah kepatuhan. Tahap pelaporan merupakan tahapan yang harus dilaksanakan karena adanya tuntutan yang tinggi dari masyarakat atas pengelolaan sumber daya public.Tahapan yang terakhir adalah tahap penindaklanjutan, yang dalam tahap ini

didesain untuk memastikan/memberikan pendapat apakah rekomendasi yang diusulkan oleh auditor sudah diimplementasikan. PERLUNYA MENJAGA KUALITAS AUDIT SEKTOR PUBLIK Audit sector public tidak hanya memeriksa serta menilai kewajaran laporan keuangan sector public, tetapi juga menilai ketaatan aparatur pemerintah terhadap undang-undang dan peraturan yang berlaku.Selain itu, auditor sector public juga memeriksa dan menilai sifat-sifat hemat, efisien serta keefektifan dari semua pekerjaan, pelayanan atau program yang dilakukan pemerintah. Dengan demikian, bila kualitas auditor sector public rendah, akan mengakibatkan risiko tuntutan hokum terhadap pejabat pemerintah dan akan muncul kecurangan, korupsi, kolusi serta berbagai ketidakberesan. A. Kapabilitas Teknikal Auditor Kualitas auditor sector public pemerintah ditentukan oleh kapabilitas teknikal auditor dan independensi. Kapabilitas teknikal auditor telah diatur dalam standar umum pertama, yaitu bahwa staf yang ditugasi untuk melaksanakan audit harus secara kolektif memiliki kecakapan professional yang memadai untuk tugas yang diisyaratkan, serta pada standar umum yang ketiga, yaitu bahwa dalam pelaksanaan auditdan penyusunan laporan, auditor wajib menggunakan kemahiran profesionalnya secara cermat dan seksama. B. Independensi Auditor Independensi auditor diperlukan karena auditor sering disebut sebagai pihak pertama dan memegang peran utama dalam pelaksanaan audit kinerja, karena auditor dapat mengakses informasi manajemen dari organisasi yang diaudit, memiliki kemampuan professional dan bersifat independen. Independensi dalam melakukan pemeriksaan meliputi akses langsung dan bebas terhadap semua buku, catatan, pejabat dan keryawan serta sumber-sumber yang berkaitan dengan kegiatan, kewajiban dan sumber daya yang diperiksa; kerjasama yang aktif dari pimpinan yang diperiksa selama pelaksanaan pemeriksaan; bebas dari berbagai usaha pihak diperiksa untuk menentukan kegiatan pemeriksaan atau untuk menentukan dapat diterimanya suatu bukti dan bebas dari kepentingan dan hubungan pribadi yang mengakibatkan pembatasan pengujian atas kegiatan dan catatan. Jadi untuk meningkatkan sikap independensi auditor sector public, maka kedudukan auditor sector public secara pribadi maupun kelembagaan, harus terbebas dari pengaruh dan campur tangan serta terpisah dari pemerintah.

BAB 7 AKUNTABILITAS DAN GOOD GOVERNANCE

PENDAHULUAN Terselenggarakannya good governance merupakan prasyarat utama untuk mewujudkan aspirasi masyarakat dalam mencapai tujuan dan cit-cita bangsa negara.Konsep dasar akuntabilitas didasarkan pada klasifikasi responsibilitas marjinal pada tiap tingkatan dalam organisasi yang bertujuaan untuk pelaksanaan kegiatan.

GOOD GOVERNANCE A. Konsep Good Governance Dari segi funsional aspect, good governance dapat ditinjau dari apakah pemerintah telah berfungsi secara efektif dan efisien dalam upaya mencapai tujuan yang telah digariskan. Oleh karena itu institusi dari good governance meliputi 3 domain yaitu: a. State (negara, pemerintah) b. Private sector (sector swasta/dunia usaha) c. Society (masyarakat) Institusi pemerintah berfungsi menciptakan lingkungan politik dan hokum yang kondusif, sector swasta menciptakan pekerjaan dan pendapatan, sedangkan society berperan positif dalam interaksi social, ekonomi, dan politik termasuk kelompok-kelompok masyarakat agar berpartisipasi dalam aktivitas ekonomi, social dan politik. Menurut UNDP ada beberapa karakterristik good governance; a. Participation, setiap Negara mempunyai suara dalam pembuatan keputusan, baik secara langsung maupun tidak langsung melalui intermediasi intstitusi legitimasi mewakili kepentingannya. b. Rule of low, kerangka hokum harus adil dan dilaksanakan tanpa pandang bulu, terutama hukum untuk hak asasi manusia. c. Tranparancy, tranparansi dibangun atas dasar kebebasan informasi. d. Responsiveness, lembaga-lembaga dan proses-proses harus mencoba untuk melayani stakeholder. e. Consensus orientation good governance, menjadi perantara kepentingan yang berbeda untuk memperoleh pilihan terbaik bagi kepentingan yang lebih luas baik dalam hal kebijakan-kebijakan maupun prosedur-prosedur. f. Equity, semua warga negara baik laki-laki maupun perempuan mempunyai kesempatan untuk meningkatkan atau menjaga kesejahteraan mereka.

g. Effectiveness and efficiency, proses-proses dan lembaga-lembaga menghasilkan sesuai dengan apa yang telah digariskan dengan menggunakan sumber-sumber yang tersedia sebaik mungkin. h. Accountability, para pembuat keputusan dalam pemerintahan sector swasta dan masyarakat (civil society) bertanggungjawab kepada dan lembaga-lembaga stakeholder, akuntabilitas ini tergantung pada organisasi dan sifat keputusan yang dibuat, apakah keputasan tersebut untuk kepentingan internal atau eksternal organisasi. i. Strategic vision, para pemimpin dan public harus mempunyai persfektif good governance dan pengembangan manusia yang luas dan jauh kedepan sejalan dengan apa yang diperlakukan untuk pembangunan. Kesembilan karakteristik tersebut diatas maka disimpulkan bahwa wujud good governance adalah penyelenggerakan pemerintahan negara yang solid dan bertanggung jawab, serta efisien dan efektif dengan menjaga interaksi yang konstruktif diantara domaindomain negara, sector swasta dan masyarakat. B. Organisasi Masa Depan Ada tiga (3) unsur desain organisasi sebagai determinan utama sukses atau gagalnya organisasi yaitu; a. System penetapan wewenang, tugas pokok, fungsi dan tanggung jawab. b. System balas jasa yang sepadan. c. System evaluasi indicator atau pengukuran kinerja untuk individu dan unit organisasi. d. AKUNTABILTAS SEBAGAI SUATU KONSEP A. Tinjauan Historis dan Teoritis Untuk menyatakan keberadaan akuntabilitas sebagai suatu system dan agar dapat memahami secara utuh, perlu memperhatikan beberapa hal yaitu; perkembangan, jenis, tantangan dan hambatan, lingkungan yang mempengaruhi terselenggarakannya akuntabilitas. 1. Perkembangan Dalam akuntabilitas terkandung kewajiban untuk menyajikan dan melaporkan segala tindak tanduk dan kegiatannya terutama dibidang administrasi keuangan kepada pihak yang lebih tinggi atau atasannya. Ada 4 (empat) dimensi yang membedakan akuntabilitas dengan yang lain; a. Siapa yang melaksanakan akuntabilitas b. Kepada siapa dia berakuntabilitas c. Apa standar yang digunakan untuk penilaian akuntabilitas d. Nilai akuntabilitas itu sendiri 2. Jenis

Menurut Sirajudin H Soleh dan Aslan Iqbal, akuntabilitas sebetulnya merupakan sisi-sisi sikap dan watak kehidupan manusia yang meliputi akuntabilitas; intern seseorang dan ekstern

seseorang.

Dari

sisi

intern

seseorang,

akuntabilitas

merupakan

pertanggungjawaban orang tersebut kepada tuhannya, akuntabilitas seperti ini yang meliputi pertanggungjawaban mengenai segala sesuatu yang dijalankannya yang hanya diketahui dan dipahami oleh dia sendiri.Akuntablilitas ekstern seseorang, adalah akuntabilitas orang tersebut kepada lingkungannya baik lingkungan formal maupun lingkungan masyarakat. 3. Hambatan Banyak informasi yang diterima yang berkaitandengan terjadinya mal administration, banyak korupsi, kolusi dan nepotisme, hal ini menunjukkan bahwa akuntabilitas tidak berjalan. Factor-faktor yang menyebabkan tidak berjalannya akuntabilitas pada suatu negara antara lain; a. Law literacy percentage b. Poor standard of living c. General decline in the moral values d. A policy of live and let live e. Cultural factors 4. Lingkungan yang mempengaruhi Yang mempengaruhi akuntabilitas suatu entitas meliputi lingkungan internal dan eksternal yang merupakan factor yang membentuk, memperkuat, atau memperlemah efektivitas pertanggungjawaban entitas atas wewenag dan tanggung jawab yang dilimpahkan kepadanya. Factor-faktor yang relevan dengan akuntabilitas instansi pemerintah adalah; a. Falsafah dan konstitusi Negara b. Tujuan dan sasaran pengembangan nasional c. Ilmu pengetahuan dan teknologi d. Ideology, politik, ekonomi, social budaya dan pertahanan keamanan. e. Ketentuan dan peraturan perundang-undangan yang mengatur akuntabilitas f. Tingkat keterbukaan (tranparasi) pengelolaan g. System manajemen birokrasi h. Misi, tugas pokok dan fungsi, serta program pembangunan yang terkait i. Jangkauan pengendalian dan komplesitas program instansi 5. Hal yang perlu diperhatikan Plumtre T (1981) dalam artikelnya “Perspective Accountability in the Public Sector” memberikan tuntutan untuk mencapai keberhasilan akuntabilitas yaitu; a. Examplary Leadership b. Public Debate

c. d. e. f. g. h. i. j.

Coordination Autonomy Explicituess and clarity Legitimacy and acceptance Negotiation Educational Campaign and Publicity Feedback and evaluation Adaptation and recycling

AKUNTABILITAS KINERJA INSTANSI PEMERINTAH A. Pengertian Akuntabilitas Akuntabilitas adalah kewajiban untuk memberikan pertanggangjawaban atau menjawab dan menerangkan kinerja dan tindakan seseorang/badan hokum atau pimpinan suatu organisasi kepada pihak yang memiliki hak atau berkewenangan untuk meminta keterangan atau pertanggungjawaban. B. Perencanaan Strategik Dalam system akuntabilitas kinerja instansi pemerintah, perencanaan strategic instansi pemerintah memerlukan integritas antara keahlian sumber daya manusia dan sumber daya lain agar mampu menjawab tuntutan perkembangan lingkungan strategis nasional global. Perencanaan strategis yang disusun oleh instansi pemerintah harus mencakup: a. Pernyataan visi, misi, strategi dan factor-faktor keberhasilan organisasi. b. Rumusan tentang tujuan dan sasaran serta uraian aktivitas organisasi. c. Uraian tentang cara mencapai tujuan dan sasaran organisasi. d. Dengan vii, misi, strategi yang jelas maka instansi pemerintah dapat menyelaraskan dengan potensi, peluang dan kendala yang dikehendaki. C. Pengukuran Kinerja Dengan disusunnya perencanaan strategic yang jelas, perencanaan operasional yang terukur, maka dapat diharapkan tersedia pembenaran yang logis dan argumentasi yang memadai untuk mengatakan suatu pelaksanaan program berhasil atau tidak. D. Evaluasi Kinerja Setelah tahap pengukuran kinerja dilalui, berikutnya adalah tahap evaluasi kinerja, dimulai dengan menghitung nilai capaian dan pelaksanaan per kegiatan.Kemudian dilanjutkan dengan perhitungan pelaksanaan program didasarkan pada pembodohan dan setiap kegiatan yang ada dalam suatu program. E. Pelaporan

Laporan akuntabilitas kinerja instansi pemerintah harus disampaikan oleh instansi dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, kabupaten/kota. Penyusunan laporan harus secara jujur, objektif, dan tranparan, juga perlu memperhatikan prinsip-prinsip; a. Prinsip pertanggungjawaban b. Prinsip pengecualian c. Prinsip manfaat Aspek-aspek pendukung pelaksanaan tugas pokok dan fungsi tersebut tidak tumpang tindih maka harus diperhatikan; a. Uraian pertanggungjawaban keuangan dititikberatkan pada peroleh dan penggunaan dana, baik dana berasal dari APBN (pajak) maupun dana yang berasal dari PNBP (penggunaan Negara Bukan Pajak) b. Uraian pertanggungjawaban SDM, dititikberatkan pada pembinaan kinerja c. Uraian pertanggungjwaban mengenai penggunaan sarana dan prasarana d. Uraian mengenai metode kerja, pengendalian manajemen dan kebijaksanaan lainnya yang terfokus pada manfaat atau dampak dari suatu kebijaksanaan.

BAB 8 PENERBITAN OBLIGASI DAERAH UPAYA MEMBIAYAI PEMBANGUNAN DAERAH

PENDAHULUAN Pada daerah otonomi daerah ini pemerintah daerah, baik daerah provinsi maupun daerah kabupaten/kota memiliki kesempatan untuk melakukan pinjaman kepada pihak lain, baik dari dalam negeri maupun luar negeri.Obligasi daerah (municipal bonds) merupakan salah satu bentuk pinjaman jangka panjang pemerintah, baik dari pusat maupun daerah kepada masyarakat. Penjualan obligasi sebenarnya memiliki dua aspek penting, yaitu aspek politis dan ekonomis. Aspek politis berupa adanya keterlibatan langsung dari masyarakat untuk ikut membantu pemerintah dalam mencari-cari sumber penerimaan daerah untuk proses pembangunan. Dari aspek ekonomi, di satu sisi, dapat dijelaskan bahwa akan terjadi multiplier effect, yaitu adanya pelipatgandaan manfaat ekonomi sebagai dampak dari belanja pemerintah dari dana penjualan obligasi didalam negeri, sehingga akan meningkatkan aktivitas ekonomi dalam negeri. Di sisi lain, obligasi juga dapat dijadikan sebagai salah satu instrument kebijakan ekonomi oleh pemerintah.

LANDASAN TEORI A. Pengertian Obligasi Obligasi adalah sertifikat yang diterbitkan oleh pemerintah daerah atau suatu badan hukum sebagai bukti bahwa pemerintah atau badan hukum tersebut telah melakukan pinjaman/utang kepada pemegang sertifikat yang telah diterbitkannya, dimana pinjaman tersebut akan dibayar kembali sesuai dengan jangka waktu dan persyaratan yang telah sama-sama disetujui. Dalam kontrak perjanjian obligasi terkandung unsur-unsur; a. Adanya pihak yang berutang (yang menerbitkan obligasi) b. Adanya pihak yang memberi pinjaman (yang membeli obligasi) c. Nilai nominal obligasi (jumlah pinjaman) d. Tanggal jatuh tempo pelunasan obligasi (kapan obligasi harus dibayar) e. Besarnya kupon yang harus dibayar sebagai balas jasa pinjam f. Tanggal jatuh tempo pembayaran kupon (kapan kupon obligasi harus dibayar) Secara garis besar, obligasi dapat dibedakan menjadi obligasi korporat dan obligasi pemerintah.Obligasi korporat adalah obligasi yang diterbitkan oleh perusahaan swasta, sedangkan obligasi pemerintah adalah obligasi yang diterbitkan oleh pemerintah.Obligasi pemerintah ada dua macam, yaitu obligasi yang diterbitkan oleh pemerintah pusat dan

obligasi yang diterbitkan oleh pemerintah daerah, yang dikenal dengan istilah obligasi daerah. B. Obligasi Daerah Obligasi daerah adalah obligasi yang diterbitkan oleh pemerintah daerah, salah satu unit organisasi lingkungan pemerintah daerah, Badan Otorita Daerah, BUMD, atau pihak lain (swasta) yang didukung/disponsori dan atau dijamin oleh pemerintah daerah. Berdasarkan sifat atau perilakunya serta tujuan penggunaan dana yang dihasilkan, obligasi daerah dapat dibedakan menjadi general obligation bond, special revenue bond, limited tax bond, incremental tax bond, double berrel tax bond, special assessment bond, dan activity bond. C. Dasar Hukum Penerbitan Obligasi Daerah UU No. 25/1999 diperbarui dengan UU No. 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah menyatakan bahwa untuk membiayai pengeluaran, pemerintah daerah memperoleh penerimaan yang bersumber dari pendapatan asli daerah, dana perimbangan, pinjaman daerah, serta lain-lain penerimaan yang sah. Sedangkan pada PP No. 54/2005 disebutkan bahwa pinjaman daerah merupakan alternative sumber pinjaman pembiayaan APBD, digunakan untuk membiayai kegiatan yang merupakan inisiatif dan kewenangan daerah. D. Obligasi Daerah Sebagai Alternatif Pembiayaan Pembangunan Daerah Pada dasarnya penerbitan obligasi, baik yang dilakukan oleh instansi pusat maupun daerah tidaklah berbeda, begitu pula pihak-pihak atau lembaga yang berperan. Pihakpihak yang berperan dalam penerbitan obligasi adalah sebagai berikut; a. Penanam Modal (Investor) b. Penjamin Pelaksana Emisi (Underwriter) c. Lembaga Penilai (Rating Agency) d. Wali Amanat (Trustee)/Paying Agent e. Penasehat Hukum Obligasi (Bond Counsel) f. Penjamin Obligasi (Guarantor) g. Penasehat Keuangan ( Financial Consultant) h. Pembina (Supervisor/overseas) i. Bursa E. Prospek dan Kendala Obligasi Daerah Sebagai Alternatif Pembiayaan Daerah Sumber dana konvensional yang bisa diandalkan Pemda atau BUMD dalam membiayai pembangunan prasarana dan sarana, serta investasi lainnya sangat terbatas. Sementara itu, alternative sumber dana lainnya disamping sulit dan mahal juga semakin langka. Oleh sebab itu, sesungguhnya obligasi daerah dapat menjadi sumber pembiayaan jangka panjang yang menarik. Dengan didukung kondisi pasar modal yang sekarang semakin berkembang, kondisi perekonomian yang relative baik dan stabil, pendapatan perkapita masyarakat yang juga sekarang semakin meningkat, serta tersedianya dana jangka panjang dalam jumlah yang besar dan potensinya belum termanfaatkan sepenuhnya seperti dana pensiun dan dana asuransi, maka obligasi dapat menjadi salah satu sarana bagi pihak yang membutuhkan

dana jangka panjang. Sedangkan bagi investor akan memberikan pilihan sarana untuk menanamkan modalnya, yang pada gilirannya akan memberi dampak positif terhadap perekonomian nasional secara keseluruhan. Namun demikian, walaupun obligasi dapat menjadi alternative pembiayaan dan mempunyai prospek, penerbitan atau emisi obligasi juga tetap dihadapkan pada berbagai kendala.

ANALISIS FINANSIAL PEMBIAYAAN OBLIGASI Menurut banyak literature, pemerintah daerah penting menyiapkan local capital improvement progamme untuk jangka panjang, yaitu suatu strategi pembentukan capital investment jangka panjang selama kurun waktu lima tahunan. Lebih lanjut dia mengemukakan bahwa penting sekali bagi pemerintah daerah menyusun rencana strategis yang merupakan suatu statement mengenai tujuan pembangunan daerah dalam arti fisik yang juga memberikan gambaran dan analisis tentang factor-faktor yang mungkin akan mempengaruhi perubahan dalam masyarakat serta pertumbuhan ekonomi daerah. Menyikapi batas kemampuan baik APBN maupun APBD dalam menyediakan dana pembangunan daerah, maka daerah perlu mencari dan memanfaatkan sumber dana pinjaman yang berasal dari masyarakat dan swasta local atau pinjaman yang berasal dari daerah yang lebih mampu. Era pelaksanaan otonomi saat ini adalah saatnya bagi pemerintah dan masyarakat daerah untuk lebih kreatif dan mulai mandiri dalam mengurus dan membangun rumah tangga daerahnya. Kemudian dalam perhitungan bunga obligasi dikenal terminology yang seringkali digunakan dipasar sekuritas seperti: a. Spot rates, yaitu suatu tingkat bunga obligasi yang mempunyai satu arus kas atau dikenal sebagai zero coupon bond. b. Future rates, adalah nilai obligasi yang akan dibayar pada tingkat bunga tertentu dengan jangka waktu yang akan dating. c. Current yield, yaitu tingkat bunga yang dibayar dibagi dengan harga obligasi misalnya bunga pertahun dibayar Rp100 dan harga obligasi Rp 1000 berarti current yield-nya 10,0%. d. Yield tu maturity, adalah tingkat bunga yang akan diterima oleh investor sampai dengan waktu jatuh tempo. Tingkat bunga tersebut sama dengan internal rate of return (IRR). Menghitung Harga Obligasi Harga setiap instrument keuangan (obligasi, saham, commercial paper dan SBI) pada dasarnya adalah sama yaitu dengan cara menghitung nilai sekarang dengan aliran kas yang diharapkan akan diterima dari dana yang diinvestasikan pada instrument keuangan tersebut. Oleh karena itu untuk menentukan misalnya harga obligasi diperlukan data dan informasi:

1. Perkiraan aliran kas dari dana yang diharapkan akan diterima pada masa yang akan dating, 2. Estimasi yield (tingkat pengembalian) minimal yang harus dihasilkan atau yang dipersyaratkan. Yield minimal adalah yield dari suatu instrument keuangan dengan tingkat risiko yang sama.

BAB 9 PERAN KELEMBAGAAN DALAM INVESTASI DAERAH

PENDAHULUAN Investasi adalah salah satu factor yang mampu mendorong pertumbuhan ekonomi.Kegiatan investasi dapat dilakukan oleh pemerintah maupun swasta, baik berbentuk badan usaha, badan hukum, maupun usaha perorangan.Investor selaku penanam modal dibedakan menjadi investor dalam negeri dan investor asing. BELAJAR DARI CINA Cina adalah negara yang menjadi fenomena dalam perekonomian dunia saat ini.Dalam programnya, pemerintah cina sangat mendukung terbentuknya simbiosis mutualisme antara pengusaha kecil dan menengah dengan pebisnis besar.Melakukan liberalisasi perdagangan dan investasi secara sangat berhati-hati dan bertahap dengan menciptakan zona ekonomi khusus. Cina yang pada awalnya merupakan pengekspor terbesar barang-barang tiruan ke Negaranegara berkembang, kini dinilai telah membuat kemajuan yang luar biasa dalam perlindungan atas merek dagang, paten dan copyright.Peran kelembagaan yang kuat telah membantu terciptanya ekspansi sector swasta (investor) yang berperan sangat besar dalam dinamika perekonomian. PERAN KELEMBAGAAN DALAM INVESTASI DAERAH Kelembagaan didefinisikan sebagai regulasi perilaku yang secara umum diterima oleh anggota-anggota kelompok social atau aturan-aturan yang membatasi perilaku menyimpang manusia untuk membangun struktur interaksi politik, ekonomi dan social (Yustika, 2006).Tumpang tindih peraturan pusat dan daerah, yang tidak hanya menghabat arus barang dan jasa tetapi juga menciptakan iklim bisnis yang tidak sehat. Beberapa masalah pengawasan yang muncul dengan system saat ini adalah: 1. Tidak semua peraturan daerah diserahkan kepada pemerintah pusat; 2. Proses review peraturan daerah dinilia lambat karena dibebankan kepada pemerintah pusat; 3. Banyak pemerintah daerah mengabaikan aturan mengenai peraturan daerah bermasalah.

Survey Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) menunjukkan bahwa kelembagaan merupakan factor utama yang menentukan daya tarik investasi di suatu daerah, diikuti oleh kondisi social politik, kondisi ekonomi daerah, produktivitas tenaga kerja dan infratruktur fisik.

REGULASI DALAM INVESTASI Pertumbuhan tidak hanya dikaitkan dengan pendapatan yang lebih tinggi saja, akan tetapi dengan indikator pembangunan masyarakat yang lebih baik, seperti tingkat mortalitas bayi yang lebih rendah, jangkauan pendidikan yang lebih luas, dan tingkat perkiraan hidup lebih lama. Iklim investasi memiliki peran yang jelas dalam memengaruhi tingkat inflasi, baik swasta maupun pemerintah.Iklim investasi adalah suatu kumpulan factor-faktor lokasi tertentu yang membentuk kesempatan dan dorongan bagi perusahaan untuk melakukan investasi secara produktif, menciptakan pekerjaan dan mengembangkan diri.Untuk keberhasilan dari suatu iklim investasi bukanlah kuantitas investasi melainkan kualitas investasi yang juga dipengaruhi oleh iklim investasi. AKUNTANSI UNTUK KELEMBAGAAN INVESTASI DAERAH Investasi pemerintah daerah dalam APBD tercermin melalui belanja modal yang dianggarkan setiap tahunnya, namun realita menunjukkan investasi pemerintah daerah dalam belanja modal masih relative rendah jika dibandingkan dengan belanja rutin. Selain itu, proses politik dalam pemilihan kepala daerah setiap lima tahun membawa perubaha dalam penyusunan rencana strategis investasi daerah akibat setiap berganti kepala daerah maka berganti pula kebijakan, inkonsistensi ini membuat investor selalu dalam kesulitan. A. Akuntansi Belanja Modal Belanja modal adalah pengeluaran anggaran untuk perolehan asset tetap dan asset lainnya yang memberi manfaat lebih dari satu periode akuntansi (SAP, 2005). Belanja modal dapat dikategorikan dalamm lima kategori utama; a. b. c. d. e.

Belanja modal tanah Belanja modal peralatan dan mesin Belanja modal gedung dan bangunan Belanja modal jalan, irigasi dan jaringan Belanja modal fisik lainnya

B. Akuntansi Investasi

Pemerintah melakukan investasi dengan beberapa alasan antara lain memanfaatkan surplus anggaran untuk memperoleh pendapatan dalam jangka panjang dan memanfaatkan dana yang belum diguanakan untuk investasi jangka pendek dalam rangka manajemen kas. Pengeluaran kas untuk perolehan investasi jangka pendek diakui sebagai pengeluaran kas pemerintah dan tidak dilaporkan sebagai belanja dalam laporan realisasi anggaran, sedangkan pengeluaran untuk memperoleh jangka panjang diakui sebagai pengeluaran pembiayaan.

BAB 10 KEBIJAKAN PERENCANAAN PENGANGGARAN DAERAH

PEMBAHASAN Undang-undang Nomor 25 tahun 2004 tentang sistem perenanaan pembangunan nasional mengatur kusus perencanaan, undang-undang nomor 17 tahun 2004 tentang keuangan negara yang mengatrur pengelolaan keuangan negara dan daerah sedangkan Undang-Undang Nomor 32 tentang pemerintahan daerah dan undang-undang nomor 33 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah yang mengatur perencanaan dan pengangaran di daerah. Proses peracanaan dan penganggaran di daerah harus mengacu empat undang-undang yang memiliki kekuatan hukum yang sama kuat ini dapat menimbulkan multi interpretasi dalam implementasinya, mengingat keempatnya mengatur substansi yang saling terkait. Kebijakan Perencanaan dan Penganggaran Daerah Perancanaan pembangunan daerah secara kusus di atur dengan undang-undang nomor 25 tahun 2004 tentang sistem perencanaan pembangunan nasional yang mengatur tahapan perencanaan mulai dari : 1. Rencana pemerintah jangka panjang ,rencana pemerintah menengah (RPJM daerah) 2. Renstra satuan kerja pemerintah daerah (renstra SKPD) 3. Rencana kerja pemerintah daerah (RKPD) dan 4. Rencana kerja satuan kerja pemerintah daerah (renja SKPD) Sementara undang-undang nomor No.17 tahun 2003 dan undang-undang nomor No.33 tahun 2004 mengatur perencanaan pembangunan daerah, namun hanya terbatas pada perencanaan tahunan yang meliputi : 1. Rencana kerja ppemerintah daerah (RKPD) 2. Rencana kerja satuan kerja peemerintah daerah (renja SKPD) 3. Di samping menyusunan APBD Perencanaan Pembanguan Daerah Menurut Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 Lahir undang-undang nomor 17 tahun 2003 tentang keuangan negara, salah satu implikasinya adalah merupakan peran departemen keuangan. Sementara itu undangundang nomor 25 tahun 2004 tentang sistem perencanaan pembangunan nasional adalah lebih kepada peran BAPPENAS jika ini yang terjadi maka kebijakan yang ada melainkan kepentingan antara kedua departemen tersebut. Perencanaan dan Penganggaran Menurut UU 32/2004 Kesan umum dari UU 32 tahun 2004, berupaya menggabungkan perencanaan daerah yang diatur UU 25 tahun 2004 dan penganggaran daerah yang diatur UU 33 tahun 2004. Walaupun UU 32/2004 ini mengatur secara umum berkaitan dengan perancanaan dan

penganggaran daerah, tetap justru hal ini menimbulkan multi interpretasi atau keranjuan pada penafsirannya.misalnya sepertgi yang telah disampaikan diatas adanya perbedaan landasan atau aturan penetapan RPJM Daerah antara UU 25 tahun 2004 dengan UU tahun 2004. Penganggaran Menurut UU 17 TAHUN 2003 Dan UU 33 TAHUN 2004 UU 17 tahun 2003 dan UU 33 tahun 2004 seperti saudara kembar dalam pengaturan penyususnaan APBD. Hal ini dapat dilihat hampir sebagian pasal dan ayat pada UU 33 tahun 2004, kususnya berkaitan dengan penyusunan APBD, sama dengan UU 17 tahun 2003. Perbedannya hanyalah pergantian 1-2 kata dan enambahan 1 ayat daam pasalpasalnya namun tetap mengisaratkan hal yang sama.

BAB 11 EFEKTIVITAS DAN EFESIENSI PROSES PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN DAERAH

EFEKTIVITAS

DAN

EFESIENSI

PROSES

PERENCANAAN

DAN

PENGANGGARAN DAERAH Perencanaan dan penganggaran sektor publik Penganggaran sektor publik terkait dengan proses penentuan jumlah alokasi dana ntuk tiaptiap program dan aktivitas dalam satuan moneter. Proses penganggaran organisasi sektor publik dimulai ketika perumusan strategi dan perencanaan telah selesai dilaksanakan. Fungsi anggaran sektor publik adalah : 1. Hasil akhir proses penyusunan rencana kerja 2. Merupakan blue print aktivitas yang akan dilaksanakan di masa yang akan datang 3. Sebagai alat komukasi intern yang menghubungkan berbagai unit kerja dan mekanisme kerja antara atasan dan nbawahan. 4. Sebagai alat pengendalian unit kerja 5. Alat motivasi dan persuasi tindakan efektif dan efisien dalampecapain visi organisasi 6. Merupakan instrumen politik 7. Merupakan intrumen kebijakan fiskal Kerangka hukum perencanaan dan penganggaran tahunan daerah Dasar hukum perencanaan dan penganggaran tahunan daerah saat ini dapat dirujuk pada : 1. Undang-undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara terutama pasal 17-20 2. Undang- undan Nomor 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional terutama pasal 21-27 3. Undang-undang Nomor 32 ttahun2004 tentang Pemerintahan Dearah terutama pasal 150-154 dan pasal 179-199 4. Undang- undang No. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Pemerintah Daerah terutama paasal 66-86 Berdasarkan undang-undang Nomor 25 tahun 2004 Undang-undang Nomor 32 tahun 2004, penysusnan Rencana Kerja Pemerintah Daerah ( RKPD ) dimulai dengan kegiatan Bappeda menyususn rencana awal RKPD. Proses Penyusunan APBD (pasal 17-20 Undang- Undang Nomor 17 Tahun 2003 ) Proses penyusunan APBD dimulai dengan Pemerintah Daerah menyampaikan kebijakan umum APBD tahun anggaran berikutnya sejalan dengan Rencana Kerja Pemerintah Daerah, sebagai landasan penyusunan RAPBD kepada DPRD selambat-lambatnya pertengahan juni tahun berjalan. Selanjutnya DPRD membahas kebijakan umum APBD yang di ajukan oleh Pemerintah Daerah dalam membicarakan pendahuluan RAPBD tahun anggaran berikutnya. Berdasarkan kebijakan umum APBD yang telah di sepakati dengan

DPRD Pemerintah Daerah besama Dewan Perweakilan Rakyat Daerah membahas prioritas dan plafon anggaran sementara untuk di jadikan ajuan bagi setiap Satuan Kerja Perangkat Daerah.

Pelaksanaan dan perubahan APBD (pasal 26-33 Undang-undang nomor 17 tahun 2003) Setelah APBD ditetapkan dengan peraturan daerah, pelaksanaannya dituangkan oleh lanjut dengan Keputusan Bupati/ Walikota. Dalam melaksanakan APBD Pemerintahan Daerah menyusun laporan realisasi semester pertama APBD dan prognosis untuk 6 (enam) bulan berikutnya. Laporan tersebut disampaikan pada akhir Juli tahun anggaran yang bersangkutan, untuk dibahas pertama antara DPRD dan pemerintah daerah. Penyesuaian APBD dengan perkembangan dan perubahan keadaan di bahas bersama DPRD dengan Pemerintah Daerah dalam rangka penyusunan peerkiraan. Perubahan atas APBD tahun anggaran yang bersangkutan, apabila terjadi : 1. Perkembangan yang tidak sesuai dengan asumsi kebijakan umum APBD 2. Keadaan yang menyebabkan harus dilakukan pergeseran anggaran antar unit organisasi, antar kegiatan dan antar jenis belanja 3. Keadaan yang menyebabkan saldo anggaran lebih pada tahun sebelumnya harus digunakan untuk pembiayaan anggaran yang berjalan Bila kita amati proses perencanaan dan penganggaran menurut empat paket undangundang yang baru maka ada beberapa hal penting yang akan berimplikasi pada daerah yaitu : 1. Hanya ada satu dokumen perencanan pembangunan di daerah yaitu Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD). 2. Bappda merupakan ssatu-satunya Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang mengkoordinasikan tahapan perancanaan tahunan di daerah. 3. Karena APBD adalah cerminan dari kebijakan alokasi sumber daya publik maka dokumen APBD dituangkan dalam bentuk peraturan daerah 4. Kalau merujuk pada Undang-undang Nomor 17 tahun 2003, maka dapat dimpulkan bahwa posisi SKPD dan DPRD dalam proses anggaran sangat kuat. 5. Dalam proses penyusunan anggaran, Badan Pengelola Keuangan Daerah (BPKD) hanya berfungsi administratif, yaitu mengkompilasi RKA-SKPD yang telah dibahas dengan DPRD untuk di kompersi menjadi dokumen Rencana Peraturan Daerah mengenai APBD. 6. Mesipun secara teoritis dokumen MTEF bisa berjangka waktu dua sampai tiga tahun, Undang-undang Nomor 17 tahun 2003 secara tegas menetakan bahwa dokumen MTEF dibuat oleh SKPD untuk jangka waktu 2 tahun. 7. Proses pembahasan RAPBD sejak penyampaian nota RAPBD oleh kepala daerah ke DPRD menjadi pendek. 8. Implikasi kelembagaan yang cukup penting dari instrumen hukum mengenai proses RAPBD adalah hilangnya panitia anggaran eksekitif dalam proses-proses penyusunan dan negosiasi anggaran antara eksekutif dengan DPRD.

BAB 12 PENYUSUNAN ANGGARAN TAHUNAN TEORI-TEORI ANGGARAN Pengertian Anggaran Menurut pandangan ahli ekonomi bahwa peranan anggaran sangat mmenentukan bagi perkembanganya suatu organisasi perusahaannya yangg berarti dapat meningkatkan keuntungan bagi pemiliknya. Menurut Glann A. Welsch dalam bukunya berjudul “budgeting” menyebutkan bahwa anggaran adalah suatu bentuk statement dari pada rencana dan kebijasanaan manajemen yang dipakai dalam suatu priode tertentu sebagai petunjuk/ blue print dalam priode itu. Menurut M. Marsono dalam buku “ Tata Usaha Perbendaharaan Republik Indonesia “ memberikan definisi bahwa Anggaran adalah suatu rencana pekerjaan yang pada suatu pihak menganduk jumlah pengeluaran yang setinggi-tingginya yang mungkin di perlukan untuk membiayai kepentingan negara pada suatu masa depan dan pihak lain diperkirakan pendapatan (penerimaan) yang munggkin dapat diterima dalam masa tersebut. Dari berbagai definisi tersebut diatas dapat disimpulkan pengertian anggaran sebagai berikut : 1. Merupakan informasi atau pernyataan 2. Mengenai rencana atau kebijaksanaan bidang keuangan 3. Dari suatu organisasi atau badan usaha 4. Untuk suatu jangka waktu tertentu (umumnya 1 tahun) 5. Perkiraan penerimaan dan pengeluaran negara 6. Yang diharapkan akan terjadi pada suatu periode tertentu Fungsi Anggaran Dengan pengertian anggaran diatas maka dapat diketahui beberapa fungsi anggaran yaiitu : 1. Intrumen politik 2. Intrumen Kebijakan Fiskat 3. Intrumen Perencanaan 4. Intrumen pengendalian Fungsi Utama Penyususnan Anggaran 1. Menentukan penerimaan dan pengeluaran 2. Membantu dalam membuat kebijakan dan perencanaan 3. Mengesahkan pengeluaran yang akan datang 4. Menjadikan dasar pengendalian pendapatan dan pengeluaran 5. Sebagai standar dalam evaluasi kerja 6. Sebagai motivasi manager dan karyawan 7. Mengkoordinir kegiatan dari berbagai macam tujuan. Norma dan Prinsip Anggaran 1. Transparasi dan Akuntabilitas Anggaran 2. Disiplin Anggaran 3. Keadilan Anggaran

4. Efesiensi dan Efektivitas Anggaran 5. Format Anggaran Perkembagan sistem penganggaran Sistem anggaran berkembang sejalan dengan perkembangan ilmu dan teknologi. Perkembangan sistem penganggaran ini dapat dikelompokan kedalam 3 (tiga) periode : 1. Periode antara 1920-1935 dengan ciri-ciri sebagai berikut : Beroriantasi kepada pada aspek pengawasan atas pengeluaran negara a) Klasifikasi anggaran berdasarkan obyek dan jenis pengeluaran b) Meskipun masuk sangat sederhana, sudah ada pemikiran tentang perhitungan/pertanggngjawaban anggaran c) Sistem yang dikenal adalah Traditional budget dan line item budget 2. Priode sesudah Perang Dunia II sampai dengan 1960-an dengan ciri-ciri sebagai berikut : a) Berorientasi kepada pelaksanaan atas fungsi pmanajen b) Klasifikasi anggaran berdasarkan fungsi c) Dasar pemikiran yaitu bahwa struktur pendanaan berdasarkan pada program kerja dan biaa satuan d) Sistem yang dikenal adalah perfomance budgeting 3. Priode sesudah tahun 1965 dengan ciri-ciri sebagai berikut : a) Berorintasi pada perencanaan dan pemrograman b) Titik berat penganggaran pada unit oprasional c) Klasifikasi penganggaran berdasarkan program dan analisis biaya komporatif d) Sistem yang dikenal adalah PPBS dan ZBB Sistem Penganggaran Sistem penganggaran adalah suatu tatanan yang logis sistematis dan baku yang terdiri dari tata kerja, pedoman kerja dan prosedur kerja untuk menyusun anggaran dan saling berkaitan serta saling keterkaitan. Jenis sistem penganggaran terdiri dari: 1. Line Item Budgeting Line Item Budgeting adalah penyususn anggaran yang dilaksanakan kepada dan dari mana itu berasal (pos-pos penerimaan) dan untuk apa dana itu digunakan (pos-pos pengeluaran). 2. Incremental Budgeting Sistem ini menggnakan revisi anggaran pendapatan dan belanja tahun berejalan untuk menentukan anggaran tahun yang akan datang. 3. Planning programing budgeting system (PPBS) programing budgeting system adaah suatu proses perencanaan, pembutan program dan penganggaran yang terkait dalam suatu sistem sebagai kesatuaan yang bulat dan tidak terpisah-pisah

da

didalamnya

tidak

terkandung dentifikasi

tujuan

organisasi,

permasalahan yang mungkin dalam pencapaian tujuan, proses pengorganisasian, pengkoordinasian dan pengawasan terhadap semua kegiatan yang diperlukan daam pencapaian tujuan dan proses pertimbangan implikasi keputusan terhadap berbgai kegiatan di masa yang akan datang. 4. Zero Base Budgeting (ZBB) Zero Base Budgeting adalah anggaran yang dibuat berdasarkan pada sesuatu yang sedang dilakukan atau dilakukan dan merupakan suatu yang baru dan tidak berdasarkan pada apa yang telah dilakukan di masa lalu. 5. Performance Budgeting System (PBS) Performance Budgeting System adalah cara penyusunan anggaran berdasarkan pertimbangan beban kerja dan yang berorientasi kepada pendayagunaan dana yang tesedia untuk mencapai hasil yang optimal dari kegiatan yang dilaksanakan. Siklus Anggaran Siklus anggaran adalah masa atau jangka waktu mulai saat anggaran disusun dengan saat perhitungan anggaran disahkan dengan undang-undang. Tahun anggarn adalah masa satu tahun untuk mempertanggungjawabkan pelaksanaan anggaran itu atau waktu dimana anggaran tersbut akan dipertanggungjawabkan. Jelas disini bahwa siklus anggaran bisa mencangkup tahun anggaran terdiri beberapa tahap, yaitu : 1. 2. 3. 4. 5.

Tahap Penyusunan Anggaran Tahap Pengesahan Anggaran Tahap Pelaksanaan Anggaran Tahap Pengawasan Tahap Pengesahan Perhitungan Anggaran

Pendekatan Dalam Proses Anggaran Pendekatan dalam proses penganggaran adalah suatu cara atau metode yang ditempuh dalam menyiapkan, merumuskan dan penyusunan anggaan. Dalam pendekatan ini aa tergambar pula mengenai asal atau sumber inisiatif da kearah mana inisiatif tersebut dilaksanakan. 1. Top Down Approach Adalah rencana, program maupun anggaran ditentukan sepenuhnya oleh unit kerja yang tertinggi tingkatnya sedangkan unit-unit kerja dibawahnya hanya sekedar melaksanakan, tanpa pertimbangan usulan dari unit kerja dibawahnya. 2. Bottom-Up Approach Pada pendekatan ini cara atau metode yang digunakan dalam mempersiapkan , merencanakan dan merumuskan anggaran mulai dari tingkat atau jenjang organisasi terbawah mengarah secara hararki ketingkat jenjang yang lebih tinggi.

3. Mixture Approach Pendekatan ini merupakan penggabungan antara pendekatan top down dan pendekatan Bottom-Up yang dilaksanakan secara bersama-sama oleh semua level dalam organisasi di dalam penyususnan dalam perumusan yang sejelas-jelasnya.

BAB 13

PENJARINGAN PENDAPATAN MASYARAKAT DAN ZERO BASED BUDGETING (Tawaran Sistem Penganggaran Keuangan Daerah)

PENDAHULUAN Secara makro, tujuan pembangunan daerah adalah untuk menciptakan lapangan kerja (job creation) dan meningkatkan pendapatan masyarakat (income generating). Sejalan dengan hal tersebut, maka dalam perencanaan pembangunan dikenal istilah rencana pembangunan jangka panjang (long-term planning), rencana jangka menengah (medium-term planning), dan rencana jangka pendek (short-term planning). Kebijakan yang dilaksanakan untuk rencana jangka panjang dan jangka menengah disebut rencana strategis (strategic plan), sedangkan rencana jangka pendek disebut rencana tindakan (action plan). PEMBAHASAN Penjaringan Aspirasi Masyarakat Berdasarkan wewenang yang diberikan oleh Undang-undang nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, penjaringan aspirasi masyarakat merupakan salah satu tugas dan fungsi yang harus dijalankan oleh DPRD Kabupaten/Kota sebagai pengejawantahan perwakilan masyarakat dalam upaya untuk memperoleh data dan informasi mengenai apa yang diinginkan dan dibutuhkan oleh masyarakat yang telah mewakili kehendak dan keinginannya melalui: lembaga legislatif tersebut. Hal ini secara tegas ditentukan pada pasal 22 huruf e bahwa DPRD mempunyai kewajiban memperhatikan dan menyalurkan aspirasi, menerima keluhan dan pengaduan masyarakat, serta memfasilitasi tindak lanjut penyelesaiannya. a. Definisi dan Ruang Lingkup Dalam proses penjaringan aspirasi masyarakat, terdapat beberapa tugas dan tahapan yang harus dilakukan dalam proses yang meliputi: 

Menetapkan tujuan yang ingin dicapai melalui survei



Metode pemilihan sampel



Penyiapan sampel



Penyiapan kuisioner



Pre-testing kuesioner



Mengangkat dan melatih petugas lapangan



Pengumpulan data



Tabulasi data



Analisis data, dan



Penyusunan laporan

Penjaringan ini ditujukan untuk menggali atau proses eksplorasi data dan informasi guna mengetahui lebih jauh, mendeskripsikan dan memaparkan aspirasi yang berkembang di masyarakat. b. Pihak-pihak Terkait Proses penjaringan aspirasi masyarakat selayaknya melibatkan pihak-pihak sebagai berikut: 1. Masyarakat sebagai pemberi amanat 2. Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota sebagai perangkat Daerah 3. DPRD Kabupaten/Kota sebagai pemegang wewenang utama c. Metode Penjaringan Aspirasi Metode yang dapat digunakan oleh DPRD dalam penjaringan aspirasi berdasarkan lingkup keterlibatannya dapat dibagi atas: 1. Metode Penjaringan Aspirasi Metode penjaringan aspirasi ini dapat dilakukan melalui:  Kuisioner  Observasi lapangan  Dialog interaktif  Wawancara 2. Metode Penjaringan Pasif Penjaringan aspirasi ini dikatakan pasif dalam arti bahwa DPRD hanya memberikan sarana dan justru masyarakat atau pihak lain yang berkepentingan yang aktif memberikan data dan informasi, melalui:  Kotak saran  Kotak pos  Telepon bebas pulsa  Web-site 3. Metode Penjaringan Reaktif Penjaringan informasi dapat dilakukan secara reaktif dalam arti bahwa DPRD bertindak untuk menggali data dan informasi lebih lanjut setelah terjadi peristiwa tertentu di masyarakat, sepert:  

Dengar pendapat Inspeksi mendadak

Penganggaran Berbasis Nol (Zero Based Budgeting)

Dalam sistem ZBB, pada tingkat manajemen, penyusunan anggaran dilakukan dalam 2 (dua) tahap, yaitu tahap pengumpulan informasi dari setiap unit keputusan yang merupakan alternatif dalam melaksanakan fungsinya sehingga memungkinkan bagi manajemen untuk memilih alternatif yang terbaik. Termasuk alternatif untuk mengambil kebijakan menghilangkan unit keputusan yang tidak dapat menjalankan fungsinya sama sekali. Sebagian besar aplikasi praktis dari ZBB melibatkan penggunaan pendekatan “paket keputusan” dimana semua prosedur penganggaran melibatkan pengenalan tujuan organisasi. Dalam kontek tersebut, ZBB melibatkan 3 (tiga) tahapan sebagai berikut, yaitu: a. Pengenalan Unit Organisasi Struktur organisasi yang ada mengidentifikasi unit-unit dalam hirarki dimana anggaran dipersiapkan. Hal yang dapat di pergunakan untuk mengenal unit-unit keputusan dapat berupa pusat-pusat pertanggungjawaban (responsibility centres), pusat-pusat biaya (cost centres), pusat-pusat pendapatan (revenue centres), pusat-pusat modal/investasi (investment centres), kategori-kategori program (programme categories), maupun elemen-elemen program (programme elements). b. Pengembangan Paket Keputusan Paket keputusan hanyalah sebuah dokumen yang menunjukkan informasi mengenai pengaruh fungsi dari arah tindakan alternatif. Tujuannya adalah memberikan dasar dimana manajemen puncak dapat meninjau kembali dan memberikan rekomendasi mengenai fungsi organisasi. c. Peninjauan dan Penggolongan Paket Keputusan Ketika paket keputusan telah dipersiapkan, selanjutnya diberikan skala ordinal (seperti kesatu, kedua, dan ketiga) untuk prioritas. Dalam situasi dimana ditemukan pendekatan bottom up pada penentuan anggaran, terdapat sejumlah besar paket keputusan dan oleh karenanya proses penggolongan akan dilaksanakan pada sejumlah tingkatan. Tinjauan Kritis Terhadap ZBB Keuntungan utama dari penganggaran basis ZBB adalah secara konseptual semua fungsi organisasi dievaluasi kembali setiap tahun dari dasar nol. Sifat sistematik dari suatu tinjauan dasar menekankan disiplin organisasi yang dalam praktiknya telah menghasilkan keuntungan sekunder, seperti bentuk yang mudah diakses dari informasi manajemen yang lebih baik.

BAB 14 ANGGARAN , PENGANGGARAN, DAN KINERJA PENDAHULUAN Keuangan daerah dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggungjawab dengan memperhatikan keadilan, kepatutan dan manfaat untuk masyarakat. Maka pengelolaan keuangan daerah dilaksanakan dengan pendekatan kinerja yang berorientasi pada output, menggunakan konsep nilai uang (Value For Money) dengan prinsip tata pemerintahan yang baik (Good Governance). PEMBAHASAN Definisi dan Fungsi Anggaran Anggaran merupakan suatu rencana yang disusun secara sistematis dalam bentuk angka dan dinyatakan dalam unit moneter yang meliputi seluruh kegiatan perusahaan untuk jangka waktu (periode) tertentu di masa yang akan datang. Oleh karena itu, rencana yang disusun dinyatakan dalam bentuk unit moneter, maka anggaran seringkali disebut juga dengan rencana keuangan. Dalam anggaran, satuan kegiatan dan satuan uang menempati posisi penting dalam arti segala kegiatan akan dikuantifikasikan dalam satuan uang, sehingga dapat diukur pencapaian efisiensi dan efektivitas dari kegiatan yang dilakukan. Perencanaan Tujuan Dasar dan Sasaran Dalam manajemen perencanaan adalah sebuah patokan untuk mempermudah menejer agar tercapainya sebuah tujuan, membuat strategi untuk mencapai tujuan itu, dan mengembangkan rencana aktivitas kerja organisasi. Perencanaan merupakan proses terpenting dari semua fungsi manajemen karena tanpa perencanaan fungsi-fungsi lain, seperti pengorganisasian, pengarahan, dan pengontrolan tak akan dapat berjalan. Stephen Robbins dan Mary Coulter mengemukakan banyak tujuan perencanaan. Tujuan pertama adalah untuk memberikan pengarahan baik untuk manajer maupun karyawan nonmanajerial. Dengan rencana, karyawan dapat mengetahui apa yang harus mereka capai, dengan siapa mereka harus bekerja sama, dan apa yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan organisasi. Tanpa rencana, departemen dan individual mungkin akan bekerja sendiri-sendiri secara serampangan, sehingga kerja organisasi kurang efesien. Sedangkan, sasaran adalah hal yang ingin dicapai oleh individu, grup, atau seluruh organisasi. Sasaran sering pula disebut tujuan. Sasaran memandu manajemen membuat keputusan dan membuat kriteria untuk mengukur suatu pekerjaan.

Perencanaan Operasional Perencanaan operasional (Operational Planning) adalah perencanaan jangka pendek yang dirancang untuk menerjemahkan rencana jangka panjang ke dalam serangkaian kegiatan yang lebih rinci. Ia merupakan terjemahan sekaligus penunjang rencana jangka panjang. Penganggaran Penganggaran adalah penciptaan suatu rencana kegiatan yang dinyatakan dalam ukuran keuangan. Penganggaran memainkan peran penting didalam perencanaan, pengendalian, dan pembuatan keputusan. Anggaran juga untuk meningkatkan koordinasi dan komunikasi. Pengendalian dan Pengukuran Didalam sistem Instrumentasi terdapat sistem pengukuran dan pengendalian. Sistem pengukuran digunakan untuk menentukan besaran fisis dan memberi harga pada besaran tersebut. Sedangkan sistem pengendalian dalam instrumen yang digunakan untuk mengendalikan variabel proses sesuai dengan set point. Pengendalian bertujuan untuk mendapatkan hasil yang maksimal secara kualitas, kuantitas, efisien dan efektifitas dalam proses produksi, dimana pengendalian merupakan usaha pengaturan agar sesuai dengan program kerja yang dikehendaki. Pelaporan, Analisis dan Umpan Balik Penyusunan laporan memuat jumlah pendapatan dan belanja yang dianggarakan dan realisasinya, serta selisih atau perbedaan antara yang direncanakan dengan yang direalisasikan. Selisih tersebut dianalisis untuk mengetahui penyebab terjadinya. Hasil analisis sebagai dasar untuk memberikan alternatif umpan balik untuk tahapan aktivitas sebelumnya dalam siklus perencanaan dan pengendaliaan meliputi revisi perencanaan operasional, revisi anggaran atau modifikasi terhadap tujuan dasar dan sasaran. Susunan dan Komponen Anggaran Anggaran (master budget) dapat dibagi menjadi 2 komponen (Horngren, Sudem and Stratton, 2002), yaitu anggaran operasi (Operating Budget) dan anggaran keuangan (Financial Budget). Anggaran operasi fokus pada laporan laba-rugi dan pendukungnya. Sedangkan, anggaran keuangan lebih berfokus pada dampak anggaran operasi terhadap kas. Prinsip-Prinsip Public Expenditure Management Adapun prinsip-prinsip tersebut adalah : a. Akuntabilitas

Prinsip ini bermakna bahwa pengeluaran daerah yang dibiayai oleh pajak dan retribusi harus dipertanggungjawabkan dan disajikan dalam bentuk laporan yang didalamnya terungkap segala hal yang menyangkut pengguna dana publik. b. Value For Money Anggaran yang berbasis kinerja menuntut adanya output yang optimal atas pengeluaran yang dialokasikan sehingga setiap pengeluaran harus berorientasi atau bersifat ekonomis, efisien dan efektif (analisis 3E). c. Kejujuran Kejujuran ini bermakna bahwa dalam pengoperasionalan keuangan daerah ini harus diserahkan kepada staf yang jujur, memiliki integritas yang tinggi sehingga masalah korupsi sejak awal dapat dicegah. d. Transparansi Merupakan bentuk keterbukaan pemerintah dalam membuat kebijakan-kebijakan pengeluaran daerah sehingga publik dengan mudah mendapatkan informasi tentang rencana-rencana anggaran pemerintah daerah dalam tahun anggaran tertentu. e. Pengendalian adalah proses keterbukaan melakukan kontrol terhadap proses perencanaan pengeluaran dengan implementasi. Bentuk ini dapat dilakukan dalam 2 bentuk yaitu preventif dan refresif. Anggaran Daerah (APBD) Arti penting anggaran daerah dapat dilihat dari aspek-aspek berikut ini : a. Anggaran

merupakan

alat

bagi

Pemda

untuk

mengarahkan

dan

menjamin

kesinambungan pembangunan serta meningkatkan kualitas hidup masyarakat; b. Anggaran diperlukan karena adanya kebutuhan dan keinginan masyarakat yang tak terbatas dan terus berkembang sedangkan sumber daya yang ada terbatas. Anggaran diperlukan karena adanya masalah keterbatasan sumber daya (Scarcity of resources), pilihan (Choice) dan trade offs. Struktur Anggaran Daerah (APBD) a. Pendapatan daerah: semua penerimaan daerah dalam periode tahun anggaran tertentu yang menjadi hak daerah. Seperti, pendapatan asli daerah, dana peimbangan, dan pendapatan lain-lain daerah yang sah

b. Belanja daerah: semua pengeluaran daerah dalam periode tahun anggaran tertentu yang menjadi beban daerah. Seperti, belanja pegawai, belanja barang dan jasa, belanja modal, bunga, subsidi, hibah, bantuan sosial, belanja bagi hasil dan bantuan keuangan , dan belanja tidak terduga c. Pembiayaan: transaksi keuangan daerah yang dimaksudkan untuk menutup selisih antara pendapatan daerah dan belanja daerah. Seperti, penerimaan dan pengeluaran. Pengendalian Pengeluaran Daerah Penggunaan anggaran daerah yang berorientasi pada kinerja memberikan implikasi bagi Pemda untuk melakukan efisiensi dalam pengeluaran daerah. Salah satu pendekatan yang dapat digunakan adalah pendekatan strategik (Manajemen Biaya Strategik). Anggaran Kinerja Anggaran dengan pendekatan kinerja adalah suatu sistem anggaran yang mengutamakan kepada upaya pencapaian hasil kerja atau output dari perencanaan alokasi biaya atau input yang ditetapkan. Belanja Langsung Karakteristik belanja langsung adalah input/alokasi belanja yang ditetapkan dapat diukur dan diperbandingkan dengan output yang dihasilkan. Belanja Tak Langsung Belanja tak langsung digunakan secara periodik (umumnya bulanan) dalam rangka koordinasi penyelenggaraan kewenangan pemda yang bersifat umum. Plafon Anggaran Plafon anggaran adalah batasan anggaran tertinggi/maksimum yang dapat diberikan atas suatu kegiatan atau unit fungsional. Langkah-langkah penentuan plafon anggaran daerah: 

Proses penentuan plafon anggaran ditentukan oleh perangkat pengelola keuangan daerah.



Alokasi anggaran didasarkan pada fungsi yang menjadi prioritas melalui pembobotan.



Unit kerja yang memberikan dukungan lebih besar terhadap fungsi yang menjadi prioritas akan mendapatkan plafon yang lebih besar.

Tolok Ukur Kinerja Tolok ukur kinerja adalah ukuran keberhasilan yang dicapai pada setiap unit kerja perangkat daerah.

BAB 15 ANGGARAN BERBASIS KINERJA (ABK) PENDAHULUAN Anggaran Berbasis Kinerja (Performance Based Budgeting) adalah penyusunan anggaran yang didasarkan atas perencanaan kinerja, yang terdiri dari program dan kegiatan yang akan dilaksanakan serta indikator kinerja yang ingin dicapai oleh suatu entitas anggaran (budget entity). Sistem penganggaran yang berbasis kinerja (Performance Based Budgeting) merupakan sistem yang saat ini berkembang pesat dan banyak dipakai oleh negara-negara maju di dunia sebagai pengganti sistem penganggaran lama yaitu sistem Line Item Budgeting (Bastian,2006:170). Dari pengertian-pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa penganggaran berbasis kinerja (performance-based budgeting) merupakan suatu pendekatan sistematis dalam penyusunan anggaran yang mengaitkan pengeluaran yang dilakukan organisasi sektor publik dengan kinerja yang dihasilkannya dengan menggunakan informasi kinerja.

PEMBAHASAN Penganggaran merupakan rencana keuangan yang secara sistematis menunjukan alokasi sumber daya manusia, material, dan sumber daya lainnya. Berbagai variasi dalam sistem penganggaran pemerintah dikembangkan untuk melayani berbagai tujuan termasuk pengendalian keuangan, rencana manajemen, prioritas dari penggunaan dana dan pertanggungjawaban kepada publik. Penganggaran berbasis kinerja diantaranya menjadi jawaban untuk digunakan sebagai alat pengukuran dan pertanggungjawaban kinerja pemerintah. Anggaran Berbasis Kinerja Anggaran kinerja adalah perencanaan kinerja tahunan secara terintegrasi yang menunjukan hubungan antara tingkat pendanaan program dan hasil yang diinginkan dari program tersebut. Anggaran dengan pendekatan kinerja merupakan suatu sistem anggaran yang mengutamakan upaya pencapaian hasil kerja atau output dari perencanaan alokasi biaya atau input yang ditetapkan. Anggaran kinerja yang efektif lebih dari sebuah objek anggaran program atau organisasi dengan outcome yang telah diantisipasi. Hal ini akan menjelaskan

hubungan biaya dengan hasil (result). Ini merupakan kunci dalam penanganan program secara efektif. Sebagai variasi antara perencanaan dan kejadian sebenarnya, manajer dapat menentukan input-input resource dan bagaimana input-input tersebut berhubungan dengan outcome untuk menentukan efektivitas dan efisiensi program. Penyusunan Anggaran Berbasis Kinerja Dalam menyusun anggaran berbasis kinerja ada hal yang perlu diperhatikan yaitu prinsipprinsip penganggaran, aktivitas semua dalam penyusunan anggaran berbasis kinerja, peranan legislatif, siklus perencanaan anggaran daerah, struktur APBD, dan penggunaan anggaran berbasis kinerja. Adapun prinsip-prinsip penganggaran, yaitu: a. Transparansi dan akuntabilitas anggaran b. Disiplin anggaran c. Keadilan anggaran d. Efisiensi dan efektivitas anggaran e. Disusun dengan pendekatan kinerja Aktivitas Utama Dalam Penyusunan Anggaran Berbasis Kinerja Aktivitas Utama dalam Penyusunan Anggaran Berbasis Kinerja adalah mendapatkan data kuantitatif dan membuat keputusan penganggarannya. Proses mendapatkan data kuantitatif bertujuan untuk memperoleh informasi dan pengertian tentang berbagai program yang menghasilkan output dan outcome yang diharapkan. Sedangkan proses pengambilan keputusannya melibatkan setiap level dari manajemen pemerintahan. Pemilihan dan prioritas program yang akan dianggarkan tersebut akan sangat tergantung pada data tentang target kinerja yang diharapkan dapat dicapai. Peranan Legislatif dalam Penyusunan Anggaran Alokasi anggaran setiap program di masing-masing unit kerja pada akhirnya sangat dipengaruhi oleh kesepakatan antara legislatif dan eksekutif. Prioritas dan pilihan pengalokasian anggaran pada tiap unit kerja dihasilkan setelah melalui koordinasi diantara bagian dalam lembaga legislatif dan eksekutif. Dalam usaha mencapai kesepakatan, seringkali keterkaitan antara kinerja dan alokasi anggaran menjadi fleksibel dan longgar namun dengan adanya analisa standar belanja, alokasi anggaran menjadi lebih rasional. Berdasarkan kesepakatan tersebut pada akhirnya akan ditetapkanlah Perda APBD. Siklus Perencanaan Anggaran Daerah

Perencanaan anggaran daerah secara keseluruhan yang mencakup penyusunan kebijakan umum APBD sampai dengan disusunnya rancangan APBD terdiri dari beberapa tahapan proses perencanaan anggaran daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 serta Undang-Undang Nomor 32 dan 33 Tahun 2004, tahapan tersebut adalah sebagai berikut: a. Pemerintah daerah menyampaikan kebijakan umum APBD tahun anggaran berikutnya sebagai landasan penyusunan rancangan APBD paling lambat pada pertengahan bulan Juni tahun berjalan. Kebijakan umum APBD tersebut berpedoman pada RKPD. b. DPRD kemudian membahas kebijakan umum APBD yang disampaikan oleh pemerintah daerah dalam pembicaraan pendahuluan RAPBD tahunan anggaran berikutnya. c. Berdasarkan kebijakan umum APBD yang telah disepakati dengan DPRD pemerintah daerah bersama DPRD membahas prioritas dan plafon anggaran sementara untuk dijadikan acuan bagi setiap SKPD. d. Kepala SKPD selaku pengguna anggaran menyusun RKA-SKPD tahun berikutnya dengan mengacu pada prioritas dan plafon anggaran sementara yang telah ditetapkan oleh pemerintah daerah bersama DPRD. e. RKA-SKPD tersebut kemudian disampaikan kepada DPRD untuk dibahas dalam pembicaraan pendahuluan RAPBD. f. Hasil pembahasan RKA-SKPD disampaikan kepada pejabat pengelola keuangan daerah sebagai bahan penyusunan rancangan perda tentang APBD tahun berikutnya. g. Pemerintah daearah meng ajukan rancangan perda tentang APBD disertai dengan penjelasan dan dokumen-dokumen pendukungnya kepada DPRD pada minggu pertama bulan Oktoberb tahun sebelumnya. h. Pengambilan keputusan oleh DPRD mengenai rancangan perda tentang APBD dilakukan selambat-lambatnya

satu

bulan

sebelum

tahun

anggaran

yang

bersangkutan

dilaksanakan. Struktur APBD Berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 dan Standar Akuntansi Pemerintahan, struktur APBD merupakan satu kesatuan yang terdiri dari: Anggaran pendapatan, Anggaran belanja, Transfer, dan Pembiayaan. Penggunaan Analisis Standar Belanja dalam Penyusunan Anggaran Berbasis Kinerja

Salah satu hal yang harus dipertimbangkan dalam penetapan belanja daerah sebagimana disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Pasal 167 (3) adalah Analisa Standar Belanja (ASB). Alokasi belanja ke dalam aktivitas untuk menghasilakan output seringkali tanpa alasan dan justifikasi yang kuat. ASB mendorong penetapan biaya dan pengalokasian anggaran kepada setiap aktivitas unit kerja menjadi lebih logis dan mendorong dicapainya efisiensi secara terus-menerus karena adanya pembandingan biaya per unit setiap output dan diperoleh praktik-parktik terbaik dalam desain aktivitas. Dalam membuat ASB terdapat beberapa pertimbangan yang dapat dipergunakan yaitu: 

Pemulihan biaya



Keputusan-keputusan pada tingkat penyediaan jasa



Keputusan-keputusan berdasarkan benefit atau cost.



Keputusan investasi

Formulasi Analisis Standar Belanja Untuk melakukan

perhitungan ASB, unit

kerja

terkait

perlu

terlebih dahulu

mengidentifikasikan belanja yang terdiri dari: 

Belanja langsung Karakteristik belanja langsung adalah bahwa input (alokasi belanja) yang ditetapkan dapat diukur dan diperbandingkan dengan output yang dihasilkan. Sedangkan,



Belanja tidak langsung Karakteristik belanja tidak langsung pada dasarnya merupakan belanja yang digunakan secara bersama-sama (common cost) untuk melaksanakan seluruh program atau kegiatan unit kerja. Rumus perhitungannya, yaitu: Total belanja = belanja langsung + belanja tidak langsung

BAB 16 EVALUASI DANA PERIMBANGAN BAGI HASIL PAJAK DAN SUMBER DAYA ALAM (Studi Kasus Kabupaten Cirebon Tahun Anggaran 2004)

PENDAHULUAN Krisis multidimensi yang melanda indonesia telah menyadarkan kita tentang pentingnya menggagas kembali konsep desentralisasi dan otonomi daerah dalam arti yang sebenarnya. Gagasan penataan kembali sistem otonomi daerah bertolak dari pemikiran untuk menjamin terjadinya efesiensi, efektivitas, transparansi, akuntabilitas, dan demokratisasi nilai-nilai kerakyatan dalam praktik penyelenggaraan pemerintah daerah. Selama masa orde baru, harapan yang besar dari daerah untuk dapat membangun daerahnya sendiri ternyata dari tahun ke tahun dirasakan semakin jauh dari kenyataan. Yang terjadi adalah ketergantungan fiskal dan subsidi dari pemerintah pusat sebagai wujud ketidakberdayaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dalam membiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Dalam rangka penyelenggaraan pemerintah dan pelayanan kepada masyarakat yang didasarkan pada asas desentralisasi, daerah diberikan kewenangan untuk memungut pajak dan retribusi serta bantuan keuangan atau dikenal dengan dana perimbangan. Selain itu daerah juga diberikan kewenangan untuk melakukan pinjaman baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Pinjaman tersebut bisa berupa pinjaman jangka pendek yang digunakan untuk membiayai kesulitan cash flow daerah daan pinjaman jangka panjang yang digunakan untuk membiayai pengeluaran dalam rangka pelaksanaan fungsi daerah untuk penyediaan sarana dan prasarana umum (Kadjatmiko, 2005:1) Kebijakan desentralisasi fiskal di Indonesia menurut Kadjatmiko (2005:2), pada dasarnya bertujuan yaitu untuk: a. Kesinambungan kebijakan fiskal dalam konteks kebijakan ekonomi makro b. Mengoreksi vertical imbalance, yaitu untuk memperkecil ketimpangan yang terjadi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. c. Mengoreksi horizontal imblance, yaitu untuk memperkecil ketimpangan yang terjadi antar daerah dalam kemampuan keuangan yang masih sangat bervariasi.

d. Meningkatkan akuntabilitas, efektivitas, dan efesiensi dalam rangka peningkatan kinerja pemerintah daerah. e. Meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat f. Adanya partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan di sektor publik (demokratis). Agar pelaksanaan desentralisasi fiskal dan pengelolaan keuangan tersebut dapat berjalan dengan mulus, diperlukan adanya manajemen yang baik dengan memperhatikan asas-asas umum dalam kebijakan keuangan negara dan keuangan daerah yang akuntabel dan transparan dengan tujuan untuk menciptakan good governance. Oleh karenanya pelaksanaan desentralisasi fiskal diharapkan mampu memberikan dampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi daerah yang berbasiskan distribusi pendapatan yang merata dan optimalisasi local government expenditure. Penyelenggaraan pemerintah yang menjasi kewenangan daerah dibiayai oleh APBD, sedangkan penyelenggaraan kewenangan pemerintah yang menjadi tanggungjawab pemerintah pusat dibiayai dari APBN. Baik kewenangan pusat yang didekontrasikan kepada Gubernur atau ditugaskan kepada pemerintah daerah dan atau desa atau sebutan lainnya dalam rangka tugas pembantuan. Sumber-sumber pendanaan pelaksanaan pemerintah daerah terdiri atas pendapatan asli daerah, dana perimbangan, pinjaman daerah, dan pendapatan lain-lain yang sah. Dana perimbangan adalah pendanaan yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Dana Bagi Hasil (DBH) adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN (Pajak dan Sumber Daya Alam) yang dialokasikan kepada daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Dana bagi hasil terdiri dari dua jenis, yaitu Dana Bagi Hasil pajak terdiri dari: a. Pajak Bumu dan Bangunan (PBB) b. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), dan c. Pajak penghasilan (PPh) Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang pribadi Dalam Negeri dan PPh Pasal 21 Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam terdiri dari: a. Kehutanan (termasuk dan reboisasi) b. Pertambangan umum c. Periklanan

d. Pertambangan minyak bumi e. Pertambangan gas bumi f. Pertambangan panas bumi Dana reboisasi yang sebelumnya merupakan alokasi khusus, karena karakteristiknya sama dengan dana bagi hasil yaitu berdasarkan daerah penghasil, dikelompokkan dengan Dana Bagi hasil yang penggunaannya untuk rehabilitasi hutan dan lahan. Disamping itu perubahan mendasar dari Dana Bagi Hasil adalah dibagi-hasilnya pertambangan panas bumi kepada daerah dengan persentase 20% untuk pemerintahan pusat dan 80% untuk daerah dan adanya kenaikan persentase dana bagi hasil minyak bumi dan gas alami bagi daerah sebesar 50%. Kenaikan tersebut diperuntukkan untuk menambah anggaran sektor pendidikan yang mulai berlaku pada tahun anggaran 2009. Dana Bagi Hasil yang merupakan bagian daerah yang disalurkan berdasarkan relisasi penerimaan tahun anggaran berjalan. Khusus realisasi penyaluran Dana Bagi Hasil dari sektor minyak bumi dan gas bumi dalam APBN tahun berjalan, kelebihannya tersebut penyalurannya dilakukan melalui mekanisme APBN perubahan. PEMBAHASAN Dana perimbangan merupakan salah satu sumber penerimaan daerah, maka perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah hendaknya diarahkan pada upaya untuk meningkatkan kemandirian keuangan daerah. Upaya kearah ini dapat menciptakan independensi pemerintah daerah di bidang keuangan, disamping mengurangi ketergantungan keuangan daerah kepada pemerintah pusat (Halim,2004:46). Pemerintah daerah ditutut untuk dapat meningkatkan pendapatannya dalam mempercepat pelaksanaan pembangunan di daerah. Pendapatan Asli Daerah, meskipun diharapkan dapat menjadi modal utama bagi penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan. Karena merupakan sumber penerimaan yang menjadi kewenangan daerah dalam pengelolaannya. Tetapi pada saat ini kondisinya masih sangat kurang memadai. Hasil dari beberapa penelitian menunjukkan bahwa hampir semua daerah di Indonesia memiliki derajat desentralisasi fiskal yang rendah (Kuncoro,1995: 3-17). Hal ini terjadi hampir di seluruh kabupaten dan kota, termasuk juga halnya di Kabupaten Cirebon di mana dari sumber-sumber penerimaan daerah yang tercantum dalam APBD, ternyata pos penerimaan dana perimbangan dari pemerintah pusat masih merupakan sumber penerimaan yang terbesar. Rendahnya kontribusi Pendapatan Asli DAerah (PAD) terhadap total Anggaran Pendapatan dan Belanja DAerah (APBD) dapat

terlihat pada realisasi penerimaan APBD Kabupaten Cirebon dari Tahun Anggaran 2000 sampai dengan Tahun Anggaran 2004.

Tingkat Akurasi Penerimaan Dana Perimbangan Bagi Hasil Pajak dan Sumber Daya Alam Ditinjau Dari Sisi Perencanaan dan Pelaksanaannya Sampai saat ini Kabupaten Cirebon masih sangat tergantung pada dana perimbangan dari pemerintah pusat yang meliputi Dana Bagi Hasil Pajak dan Dana Bagi Hasil Bukan Pajak (Sumber Daya Alam), Dana Alokasi Umum, dan Dana Alokasi Khusus dalam membiayai penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di daerah. Namun di Kabupaten Cirebon seringkali terjadi permasalahan, jika ditinjau dari sisi perencanaan dan pelaksanaan anggaran, maka mengindikasikan bahwa Kabupaten Cirebon dalam penyusunan APBD belum mampu merencanakan penerimaan DBH Pajak dan DBH SDA dengan baik, atau dengan kata lain bahwa perencanaannya belum akurat. Mekanisme Penyaluran Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam (SDA) Dalam Undang-Undang Nomor 33 tahun 2004 Pasal 23 disebutkan bahwa Dana Bagi Hasil disalurkan berdasarkan realisasi penerimaan Tahun anggaran berjalan. Kemudian Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005 pasal 29, bahwa penyaluran Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam dilaksanakan secara Triwulan. Selama ini kenyataan dalam pelaksanaan mekanisme penyaluran DBH SDA dari pemerintah pusat ke Kabupaten Cirebon sering tidak tepat waktu. Pada umumnya keterlambatan yang terjadi lebih dikarenakan masalah prosedural saja. Misalnya menghitung DBH SDA harus ada Surat Keputusan Menteri dan dan Energi Sumber Daya mineral mengenai estimasi masing-masing sumur minyak dan gas. Dari hasil estimasi tersebut, Departemen Keuangan menghitung berapa bagian masing-masing daerah penghasil SDA, keterlambatan dana berdampak fatal bagi pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan dan pembiayaan pengembangunan daerah di Kabupaten Cirebon, yang sangat bergantung pada DBH SDA. Akibat keterlambatan dana tersebut, mengakibatkan Pemerintah Kabupaten cirebon harus membiayai pembangunan daerahnya dari anggaran pos lain, itupun jika uangnya ada.

BAB 17 PENINGKATAN KINERJA PENAGIHAN TERHADAP WAJIB PAJAK DAN RETRIBUSI DAERAH: Studi pada Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Pelalawan

PENDAHULUAN Pemerintah yang baik merupakan fenomena perubahan cara pandang dalam menjalankan pemerintahan. Orientasi sentralistik yang memiliki otoritas kekuasaan bergeser kearah desentralisasi yang mengutamakan otonomi dan pemberdayaan masyarakat lokal. Pergeseran ini didukung dengan tuntutan demokrastisasi yang berkembang dewasa ini. Untuk menyelenggarakan good governance, mensyaratkan beberapa hal: pertama penyelenggaraan pemerintah yang baik mensyaratkan agar pemerintah itu harus efektif dalam memerintah. Kedua, pemerintah harus tunduk dan patuh aturan. Ketiga, pemerintah berdiri tegak menjadi wasit dan penjaga aturan hukum yang ada demi menjamin kepentingan bersama seluruh rakyat. Desentralisasi dan otonomi harus dipahami dalam rangka membangun demokrasi khususnya dan penyelenggaraan pemerintah yang baik. Dalam arti desentralisasi harus dipahami sebagai upaya untuk membangun kekuatan masyarakat dan kekuatan politik dalam masyarakat, baik itu dalam maupun di luar birokrasi pemerintah. Dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintah Daerah dan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah maka terjadi perubahan dalam tata pemerintahan yakni

pemberian

kesempatan pemerintah

kabupaten/kota untuk

menyelenggarakan

pemerintahan dengan otonomi yang luas, nyata dan bertanggungjawab secara profesional yang diwujudkan dengan pengaturan pembagian dan pemanfatan sumber daya nasional serta perimbangan keuangan pusat dan daerah sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan, keadilan dan memperhatikan potensi serta keanekaragaman daerah. Pelaksanaan otonomi daerah serta tidak langsung akan memaksa daerah untuk melakukan perubahan-perubahan, baik perubahan struktur maupun perubahan proses birokrasi dan kultur birokrasi. Konsekuensi dengan diberlakukannya otonomi daaerah yakni pemerintah kabupaten/kota harus mampu mandiri dalam penyelenggaraan pemerintahan, menentukan arah kebijakan pembangunan serta kemandirian dalam hal pembiayaan program-program pembangunan. Oleh karena itu pemerintah kabupaten/kota dituntut untuk meningkatkan

kemampuannya dalam merencanakan, menggali, mengelola dan menggunakan sumbersumber keuangan sendiri sesuai dengan potensi yang dimiliki. Berkaitan dengan hal tersebut, Dinas Pendapatan Daerah Keuangan Kabupaten Palalawan yang merupakan instansi pelaksana di bidang pengelolaan dan koordinator pendapatan daerah di Kabupaten pelalawan dituntut untuk dapat menggali dan meningkatkan potensi sumbersumber pendapatan daerah terutama pendapatan daerah yang berasal dari pendapatan asli daerah yang terdiri dari pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan lain-lain pendapatan daerah yang sah. Pengelolaan pajak dan retribusi daerah harus dilakukan secara cermat, tepat dan hati-hati. Untuk dapat menjalankan peranan tersebut, keberadaan sumber daya manusia yang ada di Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Pelalawan merupakan komponen yang sangat menentukan. Pencapaian tujuan suatu organisasi akan dipengaruhi oleh kemampuan dan kekuatan sumber daya manusia yang ada di dalamnya, di samping dipengaruhi oleh kemampuan pemimpin di setiap level untuk mengorganisir dan mengelola sumber daya yang ada dan juga perlu adanya peran institusi yang dapat menjembatani antara pihak wajib pajak dan retribusi dengan pemda. TINJAUAN TEORI Pajak Daerah Menurut UU No. 34 Tahun 2000 definisi pajak daerah adalah iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintah daerah dan pembangunan daerah. Seperti halnya pajak pada umumnya, pajak daerah mempunyai peran ganda yaitu sebagai sumber pendapatan daerah dan sebagai alat pengatur. Sebagai sumber pendapatan pemerintah daerah stiap pajak harus memenuhi Smith’s Canons yang meliputi: unsur keadilan, unsur kepastian, unsur kelayakan, efesien, dan unsur ketepatan. Pada umumnya setiap kegiatan pemungutan pajak dapat dikaji atau dinilai menurut dampaknya terhadap aspek efisiensi dan aspek distribusi. Aspek efisiensi dapat dilihat dari jumlah pajak yang diterima oleh pemerintah apakah mempunyai dampak terhadap kenaikan jumlah produksi atau penghasilan masyarakat. Retribusi Daerah Retribusi daerah adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan

orang pribadi atau badan. Retribusi dapat dipungut dengan sistem yang sifatnya progresif atau regresif berdasarkan potensi kemampuan pembayaran pajak. Dalam hal progresivitas retribusi tidak dapat dilihat dari segi kemampuan atau tingkayt pendapatan si pembayar retribusi, melainkan hanya didasarkan pada jenis pelayanan yang dikehendaki oleh si pembayar retribusi dalam mengkonsumsi barang jasa yang disediakan pemerintah (Suparmoko,2002). Kinerja Kinerja

adalah

gambaran

mengenai

tingkat

pencapaian

pelaksanaan

suatu

kegiatan/program/kebijaksanaan dalam mewujudkan sasaran, tujuan, misi dan visi organisasi. Secara umum dapat dikatakan juga bahwa kinerja merupakan prestasi yang dapat dicapai oleh organisasi dalam periode tertentu (Bastian,2001). Aspek-aspek dalam pengukuran kinerja adalah (Bastian,2001): a. Aspek finansial b. Kepuasan pelanggan c. Operasi dan pasar internal d. Kepuasan pegawai e. Kepuasan komunitas dan shareholders/stakeholders f. Waktu Pengukuran kinerja sektor publik dilakukan untuk membantu memperbaiki kinerja pemerintah agar dapat meningkatkan efisiensi dan efektivitas organisasi pemerintah dalam pemberian pelayanan publik, untuk pengalokasian sumber daya dan pembuatan keputusan, dan untuk mewujudkan pertanggung jawaban publik dan memperbaiki komunikasi kelembagaan (Mardiasmo,2005). PEMBAHASAN Gambaran Umum Kabupaten Pelalawan dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 53 tahun 1999 tentang pembentukan Kabupaten Pelalawan, kabupaten Rokan Hulu, Kabupaten Rokan Hilir, Kabupaten siak, kabupaten Karimun, Kabupaten Natuna, Kabupaten Kuantan Singingi, dan Kota Batam. Dalam upaya meningkatkan Pendapatan Asli Daerah dari sumber pajak dan retribusi daerah dilakukan berbagai kebijakan, kebijakan yang telah dilakukan oleh Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Palalawan antara lain:

a. Kebijakan ekstensifikasi, dilakukan dalam upaya mencari/menemukan objek atau wajib pajak dan retribusi daerah baru ataupun juga memperluas ruang lingkup pajak yang ada b. Kebijakan intensifikasi, memanfaatkan sumber-sumber yang telah ada dengan memberikan kegiatan penerangan, penyuluhan dan sosialisasi. Visi dan Misi Dinas pendapatan Daerah kabupaten Pelalawan telah menetapkan visi yang selaras dengan keadaan lingkungan serta perubahan-perubahan yang ada dan selaras dengan visi Pemerintahan Kabupaten Pelalawan. Kebutuhan akan visi yang berorientasi jauh kedepan menjadi hal yang mutlak untuk mencapai hasil yang akan diraih oleh organisasi. Visi Dinas pendapatan Daerah kabupaten Pelalawan adalah: “Menjadi pengelola pendapatan daerah yang profesional menuju masyarakat maju dan sejahtera Tahun 2030”. Misi Dinas Pendapatan DAerah Kabupaten Pelalawan ditetapkan sebagai berikut: a. Memberikan kontribusi pendapatan daerah yang optimal bagi pemerintah Kabupaten Pelalawan dalam mendukung serta memelihara hasil-hasil pembangunan. b. Secara terus-menerus memperbaiki dan menyempurnakan sistem dan prosedur penetapan, pemungutan dan optimalisasi PAD. Tujuan dan Sasaran Tujuan Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Pelalawan sesuai dengan misi yang ditetapkan dalam Tahun 2002-2006 adalah: a. Meningkatkan kontribusi pendapatan asli daerah terhadap APBD untuk pembangunan daerah. b. Terwujudnya sisitem perencanaan dan sistem administrasi pelayanan penerimaan pendapatan daerah yang baik. Sasaran DPD Kabupaten Pelalawan sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan adalah sebagai berikut: a. Tujuan meningkatnya kontribusi pendapatan asli daerah terhadap APBD untuk pembangunan derah dengan sasaran mewujudkan intensifikasi dan ekstenfikasi penggalian sumber PAD. b. Tujuan terwujudnya sistem perencanaan dan sistem administrasi pelayanan penerimaan pendapatan daerah yang baik dengan sasaran terciptanya sistem pemungutan PAD yang sederhana. Analisis Lingkungan Strategis

Analisis lingkungan internal meliputi: Lingkungan internal berupa faktor kekuatan adalah: a. Adanya perda yang mengatur tentang pajak dan retribusi daerah. b. Adanya Sistem Informasi Pendapatan Daerah (SIMPADA). c. Adanya tim penertiban (penagihan) pajak dan retribusi daerah. Lingkungan eksternal berupa faktor peluang adalah: a. Berkembangnya kondisi perekonomian masyarakat. b. Bertambahnya jumlah wajib pajak dan retribusi daerah. c. Berkembangnya kemajuan teknologi dan informasi.

BAB 18 ANALISIS ALOKASI BELANJA PELAYANAN PUBLIK PADA PENDAPATAN DAN BELANJA DAERAH KABUPATEN PONTIANAK 2003-2005

PENDAHULUAN Pelaksanaan otonomi daerah dalam kurun waktu tahun 2001-2006 telah memperlihatkan keberhasilan. Hal ini dapat dilihat salah satunya dengan kesuksesan sejumlah kepala daerah dalam mengelola daerahnya dengan pemberian pelayanan gratis di sektor pendidikan dan kesehatan. Namun sayangnya berbagai permasalahan juga timbul dalam pelaksanaan otonomi daerah tersebut. Tujuan pemberian otonomi daerah pada hakekatnya ditujukan untuk memberikan keleluasan serta kesempatan kepada daerah untuk menyelenggarakan otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggungjawab dari mulai perencanaan, pengawasan, pengendalian dan evaluasi. Pelaksanaan otonomi daerah tersebut tidak akan berjalan efektif tanpa didukung dengan faktor finansial/keuangan, maka untuk mendukung pelaksanaan otonomi daerah ditetapkan undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. LANDASAN TEORI otonomi daerah pada prinsipnya memberikan kewenangan kepada daerah untuk mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan dengan membuat kebijakan daerah untuk memberikan pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat demi terwujudnya kesejahteraan masyarakat. Lahirnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UndangUndang Nomor 25 tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah daerah merupakan landasan pelaksanaan desentralisasi fiskal dengan pendekatan komperensif yaitu daerah diberi kewenangan untuk mengurus dan mengatur urusan rumah tangganya dan diberi kewenangan untuk menggali potensi daerah dan diberikan hak untuk mendapatkan bagi hasil dan sumber-sumber daya nasional yang berada di daerah dan dana perimbangan lainnya. Hal yang tidak kalah penting dalam penyusunan anggaran yang berorientasi kepada publik besarnya alokasi anggaran yang berorientasi kepada kepentingan masyarakat. Pengalokasian anggaran yang berorientasi kepada kepentingan masyarakat akan tergambar dalam proporsi

pengalokasian yang lebih besar pada biaya pelayanan yang dapat dinikmati dan dirasakan oleh masyarakat dari pada kepentingan pelayanan yang tidak langsung dinikamati masyarakat. Dalam hal penyediaan pelayanan publik yang perlu diperhatikan adalah (a) identifikasi masalah barang/jasa yang menjadi kebutuhan masyarakat , (b) siapa yang lebih berkompeten, (c) dapatkah penyediaan pelayanan publik tertentu di serahkan kepada sektor swasta dan sektor ketiga, (d) pelayanan publik apa saja yang tidak harus dilakukan oleh pemerintah namun dapat ditangani swasta. Alat analisis yang digunakan dalam penulisan ini yaitu: a. Metode analisis pertumbuhan untuk menghitung pertumbuhan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah serta pertumbuhan alokasi belanja apatur maupun pelayanan publik setiap tahunnya. b. Metode analisis proporsional yaitu untuk menghitung besarnya proporsi alokasi belanja pelayanan publik dan masing-masing kelompok dan jenis belanja setiap tahun terhadap keseluruhan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah serta proporsi setiap kelompok dan jenis alokasi belanja pelayanan publik setiap tahunnya. ANALISI DATA Pertumbuhan APBD APBD adalah rencana keuangan tahunan pemerintah daerah yang dibahas dan disetujui bersama oleh Pemerintah Daerah dan DPRD, dan ditetapkan dengan peraturan daerah. Selain itu APBD berfungsi sebagai alat pengendalian yang digunakan untuk mengendalikan efisiensi pengeluaran, membatasi kekuasaan atau kewenagan pemerintah daerah, mencegah adanya overspending, underspending dan salah sasaran dalam pengelokasian anggaran pada bidang lain yang bukan merupakan prioritas serta memonitor kondisi keuangan dan pelaksanaan operasional program atau kegiatan pemerintah. Pada sisi lain APBD merupakan sarana bagi pihak tertentu untuk mengetahui kemampuan keuangan daerah baik dari segi pendapatan maupun dari sisi belanja. APBD Kabupaten Pontianak dalam kurun waktu tahun anggaran 2002 sampai dengan tahun anggaran 2006 mengalami peningkatan baik dari sisi pendapatan maupun dari sisi belanja. Peningkatan dari sisi pendapatan berasal dari Pendapatan Asli daerah, Dana Perimbangan serta lain-lain Pendapatan yang sah, namun Dana Perimbangan memberikan kontribusi terbesar dalam pendapatan Kabupaten Pontianak. Pertumbuhan Alokasi Belanja Aparatur dan Belanja Pelayanan Publik

Pendekatan dalam penyusunan APBD kabupaten Pontianak khusunya untuk belanja administrasi umum kriteria yang digunakan untuk membedakan belanja pelayanan publik dan aparatur dengan pendekatan satuan kerja maksudnya bagi satuan kerja yang mempunyai fungsi pelayanan aparatur maka belanja administrasi umum dikelompokkan pada belanja aparatur dan sebaliknya. Pertumbuhan Belanja Pelayanan Publik Menurut kelompok dan jenis Belanja Sebagaimana diketahui bahwa belanja pelayanan publik terdiri dari kelompok belanja administrasi umum, belanja operasi dan pemeliharaan, belanja modal. Belanja administrasi umum adalah belanja tidak langsung yang dialokasikan pada kegiatan non investasi. Jenis belanja yang termasuk ke dalam kelompok belanja administrasi umum adalah Belanja Pegawai/Personalia, Belanja barang dan Jasa, Belanja Perjalanan Dinas, Belanja Pemeliharaan. Sementara Belanja Operasi dan Pemeliharaan adalah belanja langsung yang digunakan untuk membiayai kegiatan non investasi.

BAB 19 ANALISIS BELANJA PELAYANAN PUBLIK DI KABUPATEN BANYUWANGI Tahun Anggran 2003-2006

PENDAHULUAN Pelaksanaan otonomi daerah selama tahun 2001-2006 telah memperlihatkan banyak keberhasilan, salah satunya dapat dilihat dari kesuksesan sejumlah kepala daerah dalam mengelola daerahnya melalui pemberian pelayanan gratis untuk sektor pendidikan dan kesehatan. Namun sayangnya berbagai permasalahan juga timbul dalam pelaksanaan otonomi daerah tersebut. Makna otonomi daerah masih diterjemahkan secara berlebihan oleh daerah sehingga aspek-aspek yang menjadi rambu-rambu otonomi daerah dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) seringkali terabaikan. Tujuan pemberian otonomi daerah pada hakekatnya agar memberikan keleluasan serta kesempatan kepada daerah untuk penyelenggaraan otonomi daerah yang luas, nyata, dan bertanggungjawab mulai perencanaan, pengawasan, pengendalian, dan evaluasi. Pelaksanaan otonomi daerah tersebut tidak akan berjalan secara efektiv tanpa didukung oleh faktor fianansil/keuangan. Maka untuk

mendukung pelaksanaan

otonomi

daerah,

ditetapkanlah Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah daerah. PEMBAHASAN Pertumbuhan APBD APBD adalah rencana keuangan tahunan pemerintah daerah yang dibahas dan disetujui bersama oleh Pemerintah Daerah dan DPRD, dan ditetapkan dengan peraturan daerah. Selain itu APBD berfungsi sebagai alat pengendalian yang digunakan untuk mengendalikan efisiensi pengeluaran, membatasi kekuasaan atau kewenagan pemerintah daerah, mencegah adanya overspending, underspending dan salah sasaran dalam pengelokasian anggaran pada bidang lain yang bukan merupakan prioritas serta memonitor kondisi keuangan dan pelaksanaan operasional program atau kegiatan pemerintah. Pada sisi lain APBD merupakan sarana bagi

pihak tertentu untuk mengetahui kemampuan keuangan daerah baik dari segi pendapatan maupun dari sisi belanja. APBD Kabupaten Banyuwangi dalam kurun waktu tahun anggaran 2002 sampai dengan tahun anggaran 2006 mengalami peningkatan baik dari sisi pendapatan maupun dari sisi belanja. Peningkatan Pengalokasian Belanja Aparatur dan Belanja Pelayanan Publik Pendekatan dalam penyusunan APBD kabupaten Banyuwangi khusunya untuk belanja administrasi umum kriteria yang digunakan untuk membedakan belanja pelayanan publik dan aparatur dengan pendekatan satuan kerja maksudnya bagi satuan kerja yang mempunyai fungsi pelayanan aparatur maka belanja administrasi umum dikelompokkan pada belanja aparatur dan sebaliknya. Proporsi Belanja Pelayanan Publik Menurut kelompok dan jenis Belanja Sebagaimana diketahui bahwa belanja pelayanan publik terdiri dari kelompok belanja administrasi umum, belanja operasi dan pemeliharaan, belanja modal. Belanja administrasi umum adalah belanja tidak langsung yang dialokasikan pada kegiatan non investasi. Jenis belanja yang termasuk ke dalam kelompok belanja administrasi umum adalah Belanja Pegawai/Personalia, Belanja barang dan Jasa, Belanja Perjalanan Dinas, Belanja Pemeliharaan. Sementara Belanja Operasi dan Pemeliharaan adalah belanja langsung yang digunakan untuk membiayai kegiatan non investasi. Jenis belanja yang termasuk ke dalam kelompok belanja operasi dan pemeliharaan adalah belanja pegawai, belanja barang dan jasa, belanja perjalanan dinas, belanja pemeliharaan. Sedangkan belanja operasi dan pemeliharan adalah belanja langsung yang digunakan untuk membiayai kegiatan non investasi. Jenis belanja yang termasuk kedalam kelompok belanja operasi dan pemeliharaan adalah belanja pegawai, Belanja barang dan Jasa, Belanja Perjalanan Dinas, Belanja Pemeliharaan. Belanja modal/pembangunan adalah belanja langsung yang digunakan untuk membiayai kegiatan investasi. Untuk mengetahui kontribusi masing-maisng kelompok serta jenis belanja pada alokasi pelayanan publik.

BAB 20 ANALISIS KEUANGAN TERHADAP KELAYAKAN INVESTASI JALAN TOL DUMAI –PEKANBARU Provinsi Riau Tahun 2007

PENDAHULUAN Investasi

adalah aset yang dimaksudkan untuk memperoleh manfaat ekonomik seperti

bunga, deviden dan royalty atau manfaat sosial, sehingga dapat meningkatkan kemampuan pemerintah dalam rangka memberikan pelayanan kepada masyarakat. Lebih lanjut diuraikan bahwa manfaat sosial yang dimaksud adalah manfaat yang tidak dapat diukur secara langsung dengan satuan mata uang, namun berpengaruh pada peningkatan pelayanan pemerintah pada masyarakat luas maupun golongan masyarakat tertentu( Peraturan Pemerintah RI Nomor 24 Tahun 2005 tentang StandarAkuntansi Pemerintah). Manfaat Ekonomi Dan Sosial Manfaat utama yang diharapkan dari sebuah investasi yang dilakukan, terutama oleh sektor bisnis adalah manfaat ekonomi. Manfaat ekonomi investasi adalah manfaat yang diperoleh dalam bentuk yang dapat diukur langsung dengan satuan mata uang. Dengan kata lain bahwa manfaat ekonomi adalah selisih dari total pendapatan yang diperoleh dari investasi tersebut dan total biaya yang dikeluarkan akibat investasi. LANDASAN TEORI Pengertian Investasi Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, pasal 1 ayat (65) dikatakan bahwa investasi adalah penggunaan aset untuk memperoleh manfaat ekonomis seperti bunga, deviden, royalty, manfaat sosial, dan/atau manfaat lainnya sehingga dapat meningkatkan kemampuan pemerintah dalam rangka pelayanan kepada masyarakat. Proyeksi Aliran Kas Di dalam penilaian suatu investasi, proyeksi aliran kas mempunyai arti yang sangat penting, bahkan lebih penting dari kata akuntansi, hal ini disebabkan karena;

a. Laba dalam pengertian akuntansi tidak sama dengan kas masuk bersih b. Para Manajemen lebih tertarik untuk melihat besarnya aliran kas bersih yang benarbenar akan diterima, karena dengan kas dapat dilakukan berbagai kebijaksanaan di bidang keuangan. Menurut Husnan (2000:186) aliran kas suatu proyek dikelompokan menjadi 3 bagian, antara lain; a. Intial Cash Flow, merupakan pola aliran kas yang berhubungan dengan pengeluaran investasi yang diperlukan mulai saat timbul ide atau gagasan untuk beroperasi. Pengeluaran ini perlu diidentifikasi dengan teliti karena dapat saja pengeluaran ini terjadi berkali-kali selama usai proyek. b. Operational Cash Flow, merupakan pola aliran kas yang berhubungan dengan pengeluaran dan penerimaan selama operasi perusahaan. c. Terminal Cash Flow, merupakan nilai sisa yang diterima di akhir masa investasi tersebut dengan pengembalian modal kerja. Gambaran Lingkungan Proyek 

Data Teknis



Pemilik, Pengelola dan Pelaksanaan Proyek



Tahapan Pembangunan dan Pengoperasian

Analisis Masalah dan Pembahasan 

Perkiraan Biaya Investasi dan Operasional



Penyusutan ( Depreciation )



Perkiraan Pendapatan dan Tarif



Perkiraan Konsumen/Potensi Lalu Lintas



Rekapitulasi Dasar-dasar Analisis Perhitungan



Analisis Net Present Value ( NPV)



Analisis Profitable Index (PI)



Analisi Internal Rate of Return (IRR)



Analisis Payback Pe

BAB 21 KINERJA KEUANGAN DAN STRATEGI PEMBANGUNAN KOTADI ERA OTONOMI DAERAH (Studi Kasus Kota Dumai)

PENDAHULUAN Dipicu dengan adanya krisis moneter dan transisi politik, sejak 1 Januari 2001,Republik Indonesia menerapkan desentralisasi (otonomi daerah) yang didasarkan padaUU No. 22 tahun 1999 tentang “Pemerintah Daerah” dan UU No. 25 tahun 1999 tentang“Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah”. UU No. 22 tahun 1999 pada prinsipnya mengatur penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yang lebih mengutamakan pelaksanaan asas desentralisasi dimana kota dan kabupaten bertindak sebagai “motor”sedangkan pemerintah propinsi sebagai koodinator. Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 mengatur desentralisasi (pelimpahan wewenang dan tanggung jawab) di bidang administrasi dan di bidang politik kepada pemerintah daerah. Dengan adanya pelimpahan wewenang kepada pemerintahan daerahdengan diikuti perimbangan keuangan antara pusat dan daerah, diharapkan, pengelolaandan penggunaan anggaran sesuai dengan prinsip “ Kota Dumai yang memiliki keunggulan komperatif dengan letak yang srategis mengingat dekat dengan lintas pelayaran tersibuk di dunia (selat malaka), kemudian akses pelabuhanpelabuhan dermaga dan pelabuhan udaraserta kawasan industri yang mendukung perekonomian propinsi Riau (Dick,1993b:325-343). Memiliki potensi besar dalam kemandirian finansial. Data tahun 2003-2005 menunjukan bahwa konstribusi PAD kota Dumai masih sangat jauh konstribusinya terhadap total penerimaan kota Dumai yakni 4%5%.

Hal ini menunjukkan tingginya ketergantungan fiskal pemerintah kota Surabaya

terhadap Uluran tangan dari Pusat. Selayaknya pemerintah kota Dumai mengembangkan sumber daya sendiri danmengurangi ketergantungan dari Pusat (Bahl, 1999; World Bank, 2003 a; 2003 b). Akan tetapi, beberapa studi empiris yang telah dilakukan menunjukkan bahwa upaya pemerintah daerah untuk meningkatkan panerimaan daerah telah menimbulkan distorsi pasar dan high cost economy (Saad, Ilyas., 2003). Selain itu, upaya-upaya yang dilakukan pemerintah daerah untuk

meningkatkan penerimaan daerah kurang diikutiupaya untuk meningkatkan perlayanan publik (Halim dan Abdullah, 2004:56). Muncul suatu permasalahan, bagaimana kinerja keuangan pemerintah kota Dumai? Strategi kebijakan apa yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kinerjakeuangan pemerintah kota Dumai? Penelitian ini bertujuan untuk: a.

mengetahui kinerjakeuangan pemerintah kota Dumai

b. merumuskan strategi kebijakan dalam meningkatkan kinerja keuangan pemerintah kota Dumai agar tercapai pembangunan yang berkelanjutan. Untuk menjawab Permasalahan, analisis penelitian ini menggunakan metode eksploratif. Metode tersebut sangat fleksibel dan tidak terstruktur sehingga memudahkan pencarian ide serta petunjuk mengenai situasi permasalahan. Pendekatan penelitian yangakan digunakan dalam adalah pendekatan kuantitatif yang diperkuat dengan menggunakan pendekatan kualitatif dalam analisis. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang berasal dari BPS serta survey literatur. Sedangkan data yang dianalisis secara kuantitatif dalam pengamatan empiris adalah data yang bersumber dari realisasi Anggaran Pendapatan Pemerintah Daerah Kota Dumai. Selain itu penulis juga menggunakan data yang bersumber dari survey literatur dan penelitian-penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya, data tersebut bisa berupa kalimat maupun angka yang dapat memperkuat analisis secara kualitatif.

LANDASAN TEORI Kewenangan

daerah

dalam

menjalankan

pemerintahannya

pada

masa

orde

barudidasarkan pada UU. No. 5/1974. Disamping mengatur pemerintahan daerah, Undangundang tersebut juga menjelaskan hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Untuk bisa menjalankan tugas-tugas dan fungsi-fungsi yangdimilikinya, pemerintah daerah dilengkapi dengan seperangkat kemampuan pembiayaan,dimana menurut pasal 55, sumber pembiayaan pemerintah daerah terdiri dari 3 komponen besar, yaitu: a.

Pendapatan Asli Daerah, yang meliputi: Hasil pajak daerah Hasil restribusi daerah Hasil perusahaan daerah (BUMD) Lain-lain hasil usaha daerah yang sah

b.

Pendapatan yang berasal dari pusat, meliputi:

Sumbangan dari pemerintah Sumbangan-sumbangan lain yang diatur dengan peraturan perundang undangan c.

Lain-lain pendapatan daerah yang sah

Diantara ketiga komponen sumber pendapatan tersebut, komponen kedua yaitu pendapatan yang berasal dari pusat merupakan cerminan atau indikator dari ketergantungan pendanaan pemerintah daerah terhadap pemerintah pusat. Pembiayaan pemerintah daerah dalam hubungannya dengan pembiayaan dari pemerintah pusat diatur sebagai berikut (Kuncoro, 2004): a.

Urusan yang merupakan tugas pemerintah pusat di daerah dalam rangka dekonsentrasi dibiayai atas beban APBN

b.

Urusan yang merupakan tugas pemerintah daerah dalam rangka desentralisasi dibiayai dari dan atas beban APBD

c.

Urusan yang merupakan tugas pemerintah pusat atau pemerintah daerah tingkatatasnya, yang dilaksanakan dalam rangka tugas perbantuan, dibiayai oleh pemerintah pusat atas beban APBN atau oleh pemerintah daerah diatasnya atas beban APBD pihak yang menugaskan.

Sepanjang

potensi

sumber

keuangan

daerah

belum

mencukupi,

pemerintah

pusatmemberikan sejumlah sumbangan kepada pemerintah daerah. Dengan demikian bagi pemerintah daerah Kabupaten/Kota, disamping mendapat bantuan dari pemerintah pusat juga mendapat limpahan dari pemerintah Propinsi. Meskipun bisa jadi limpahan dana dari propinsi tersebut juga berasal dari pemerintah pusat lewat APBN. Berbagai penelitian empiris yang pernah dilakukan menyebutkan bahwa dari ketiga sumber pendapatan daerah seperti tersebut diatas, peranan dari pendapatan yang berasal dari pusat sangat dominan. Ketergantungan yang sangat tinggi dari keuangan daerah terhadap pusat seperti tersebut diatas tidak lepas dari makna otonomi dalam UU No. 5 tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah. UU tersebut lebih tepat disebut sebagai penyelenggaraan pemerintahan yang sentralistik daripada yang desentralistik. Sumber-sumber keuangan daerah menurut UU. No 33 Tahun 2004 terdiri dari: a.

Pendapatan Asli Daerah (PAD),

b.

Dana Perimbangan,

c.

Pinjaman daerah dan

d.

Lain-lain pendapatan yang sah (hibah dan dana darurat).

Penerimaan asli daerah (PAD) terdiri dari empat komponen besar yaitu: a.

Pajak Daerah

b.

Restribusi Daerah,

c.

Hasil perusahaaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah lainnya

d.

Lain-lain pendapatan yang sah.

Dasar hukum dari sumber-sumber PAD tersebut masih mengacu pada UU NO. 8Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Sebenarnya Undang-undang inisangat membatasi kreativitas daerah dalam menggali sumber penerimaan aslinya karenahanya menetapkan 6 jenis pajak yang boleh dipungut oleh Kabupaten atau Kodya. Dalamsistem pemerintahan yang sentralistis, UU itu tidak terlalu menjadi masalah, tetapi dalamsistem disentralisasi fiskal seperti dalam UU No. 25/1999, Undang-undang tahun 1997tersebut menjadi tidak relevan lagi, karena salah satu syarat terselenggaranyadesentralisasi fiskal adalah ada kewenangan pemerintah daerah yang cukup longgar dalam memungut pajak lokal.

Informasi yang Digunakan untuk pengukuran Kinerja Menurut Mardiasmo (2002:123), penilaian laporan kerja finansial diukur berdasarkan pada anggaran yang telah dibuat dengan menganalisis varians (selisih atau perbedaan) antara kinerja aktual dengan yang dianggarkan. Analisis varians secara garis besar berfokus pada: a. Varians pendapatan (revenue variance) b. Varians pengeluaran (expenditure variance) -

Varians belanja rutin

-

Varians belanja ivestasi/modal

DERAJAT DESENTRALISASI DAN KEMANDIRIAN Menurut Halim (2001), ciri utama suatu daerah mampu melaksanakan otonomi adalah (1) kemampuan keuangan daerah, yang berarti daerah tersebut memiliki kemampuan dan kewenangan untuk menggali sumber-sumber keuangan, mengelola dan mengguanakan keuangannya sendiri untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan; (2) Ketergantungan kepada bantuan pusat harus seminimal mungkin, oleh karena itu, PAD harus menjadi sumber keuangan terbesar yang didukung oleh kebijakan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Menurut Musgrave dan Musgrave (1991) dalam mengukur kinerja keuangan daerah dapatdigunakan derajat desentalisasi fiskal antara pemerintah pusat dan daerah, antara lain: a.

b.

𝑝𝑒𝑛𝑑𝑎𝑝𝑎𝑡𝑎𝑛 𝑎𝑠𝑙𝑖 𝑑𝑎𝑒𝑟𝑎ℎ (𝑃𝐴𝐷) 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑝𝑒𝑛𝑒𝑟𝑖𝑚𝑎𝑎𝑛 𝑑𝑎𝑒𝑟𝑎ℎ (𝑇𝑃𝐷)

𝑏𝑎𝑔𝑖 ℎ𝑎𝑠𝑖𝑙 𝑝𝑎𝑗𝑎𝑘 𝑎𝑡𝑎𝑢 𝑏𝑢𝑘𝑎𝑛 𝑝𝑎𝑗𝑎𝑘(𝐵𝐻𝑃𝐵𝐷) 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑝𝑒𝑛𝑒𝑟𝑖𝑚𝑎𝑎𝑛 𝑑𝑎𝑒𝑟𝑎ℎ

c.

𝑠𝑢𝑚𝑏𝑎𝑛𝑔𝑎𝑛 𝑑𝑎𝑟𝑖 𝑝𝑢𝑠𝑎𝑡 (𝑆𝑢𝑚) 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑝𝑒𝑛𝑒𝑟𝑖𝑚𝑎𝑎𝑛 𝑑𝑎𝑒𝑟𝑎ℎ (𝑇𝑃𝐷)

Semakin tinggi derajat kemandirian suatu daerah menunjukkan bahwa daerah tersebut semakin mampu membiayai pengeluarannya sendiri tanpa bantuan dari pemerintah pusat. Apabila dipadukan dengan derajat desentralisasi fiskal yang digunakanuntuk melihat kontribusi pendapatan asli daerah terhadap pendapatan daerah secara keseluruhan, maka akan terlihat kinerja keuangan daerah secara utuh. Semakin tinggi derajat kemandirian suatu daerah menunjukkan bahwa daerahtersebut semakin mampu membiayai pengeluarannya sendiri tanpa bantuan dari pemerintah pusat. Apabila dipadukan dengan derajat desentralisasi fiskal yang digunakan untuk melihat kontribusi pendapatan asli daerah terhadap pendapatan daerah secara keseluruhan, maka akan terlihat kinerja keuangan daerah secara utuh.

PENGAMATAN EMPIRIS DAN STRATEGI KEBIJAKAN: KOTA DUMAI Pembangunan ekonomi adalah suatu proses dimana suatu masyarakat menciptakan suatu lingkungan yang mempengaruhi hasil-hasil indikator ekonomi seperti kenaikan kesempatan kerja. Lingkungan yang dimaksud sebagai sumber daya perencanaan meliputi lingkungan fisik, peraturan dan perilaku (Blakley, 1989). Padakonteks perencanaan pembangunan ekonomi daerah, bukanlah perencanaan dari suatu daerah akan tetapi perencanaan untuk suatu daerah, yang bisa dianggap sebagai perencanaan untuk untuk mnemperbaiki berbagai sumber daya publik yang tersedia didaerah tersebut dan untuk memperbaiki kapasitas sektor swasta

dalam

menciptakansumber-sumber

daya

swasta

yang

bertanggung

jawab

(Kuncoro,M., 2004). Pada era otonomi, terjadi pergeseran wewenang dan tanggung jawab dalam pengalokasian sumber daya berada di tangan pemerintah kota dan kabupaten. Pergeseran baru dalam hal pertanggungjawaban masih belum sepenuhnya komplit (World Bank,2003 a). Desentralisasi “big bang” mungkin telah meninggalkan parangkat checks and balances yang belum memadai; sesuatu yang tidak mempertimbangkan kapasitas dalam berbagai hal (Kaiser and Hofman, 2002). Dalam banyak hal, masih belum jelas apakah konstituensi lokal benar-benar telah merefleksikan keinginan publik yang sesungguhnya (Usman, 2001).

BAB 22 ANALISIS LAPORAN ARUS KAS (Studi Kasus pada Pemkab Sorong T.A.2005-2006)

PENGERTIAN LAPORAN ARUS KAS Laporan aliran/arus kas merupakan salah satu bagian dari laporan keungan yang keberadaannya tidak dapat dipisahkan dari laporan keungan yang lainnya seperti neraca, laporan realisasi anggaran, laporan surplus deficit, dll, yang sangat bermanfaaat bagi para pengambilan keputusan baik intren/ekstren suatu entitas tertentu. Menurut Halim (2007:90) Laporan Arus Kas adalah laporan yang bertujuan untuk memberiakn informasi mengenai sumberpenggunaan.

Manfaat Informasi Arus Kas Informasi arus kas bertujuan sebagai indikator jumlah arus kas di masa yang akn datang, serta berguna untuk menilai kecermatan atas taksiran arus kas yang telah dibuat sebelumnya. Laporan arus kas juga menjadi alat pertangggungjawaban arus kas masuk dan arus kas keluar selama periode pelaporan. Apanbila dikaitkan dengan laporan keungan lainnya, laporan arus kas memberikan informasi yang bermanfaat bagi pera pengguna laporan dalam mengevaluasi perubahan kekayaan bersih/ekuitas dana suatu entitas pelaporan dan struktur keuangan pemerintah(termasuk likuiditas dan solvabilitas).

Entitas Pelaporan Arus Kas Entitas Pelaporan adalah unit pemerintah yang terdiri dari satu atau lebih etitas akuntansi yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan wajib menyampaikan laporan pertanggungjawaban berupa laporan keunangan yang terdiri dari: 1. Pemerintah pusat; 2. Pemerintah daerah; 3. Satuan organisasi di lingkungan pemerintahan pusat/daerah atau organisasi lainnya, jika menurut peraturan perungang-undangan satuan organisai dimaksud wajib membuat laporan arus kas. Penyajian Laporan Arus Kas Menurut Standar Akuntansi Pemerintah Tahun 2004, bahwa laporan arus kas menyajikan informasi penerimaan dan pengeluaran kas selama periode tertentu yang di klasifikasikan berdasarkan aktivitas operasi, investasi asset nonkeuangan, pembiayaan, dan nonanggara.

Aktivitas Operasi Arus kas bersih aktivitas operasi merupakan indikator yang menunjukkan kemampuan. Operasi pemerintah dalam menghasilkan kas yang cukup untuk membiayakan aktivitas operasional di masa yang akn datang tanpa mengandalkan sumber pendanaan dari luar. Arus kas dari aktivitas operasi terutama diperoleh dari: 1. 2. 3. 4. 5.

Penerimaan Perpajakan; Penerimaan Negara BUkan Pajak (PNBP); Penerimaan Hadiah; Penerimaan Bagian Laba perusahaan negara/daerah dan Investasi lainnya; dan Transfer Masuk.

Aktivitas Investasi Aset Nonkeuangan Arus kas dari aktivitas investasi aset nonkeuangan mencerminkan penerimaan dan pengeluaran kas bruto dalam rangka perolehan dan pelepasan sumber daya ekonomi yang bertujuan untuk meningkatkan dan mendukung pelayanan pemerintah kepada masyarakat di masa yang akn datang.

Aktivitas Pembiayaan Arus kas dari aktivitas pembiayaan pembiayaan mencerminkan penerimaan dan pengeluaran kas bruto sehubungan dengan pendanaan deposit atau penggunaan surplus anggaran, yang bertujuan untuk memprediksi klaim pihak lain terhadap arus kas pemerintah dan klaim pemerintah terhadap pihak lain di masa yang akan datang. Arus kas dari aktivitas pembiayaan mulai mengalaimi penurunan untuk pengeluarannya dimana Pemda Kabupaten Sorong secara berangsur-angsur melunasi utangnya sehingga jumlah utang itu mengalami penurunan sebesar 5,10%, hal ini memberi gambaran ke arah yang lebih positif. Laporan arus kas juga memberikan feed backbagi pemerintah daerah di mana dapat memberikan gambaran mengenai efisiensi pengelolaan dan penggunaan kas guna membiayai berbagai aktivitas pemerintah, dan sekaligus dapat memberikan isyarat bila penggunaan kas melebihi batas yang telah dianggarkan, sehingga menjadi dasar untuk dilakukannya pengendaliaan terhadap belanja.

TUGAS MANAJEMEN KEUANGAN DAERAH

Dosen Pengampu: Drs. Jonfried Siae, MM

Nama

: Citra Dewi Wulantika M.S

NIM

: BBA 116 085

Konsentrasi : Keuangan

JURUSAN MANAJEMEN FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS PALANGKARAYA 2018

Related Documents


More Documents from "Renold Fernandes"