KERACUNAN TIMBAL (Pb) DAN LAMINITIS PADA BADAK
MAKALAH Untuk memenuhi tugas matakuliah Ilmu Hewan Akuatik dan Satwa Liar Oleh
Nurseta Rais Mahendra 185130101111043
UNIVERSITAS BRAWIJAYA FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER HEWAN 2019
TINJAUAN PUSTAKA Badak merupakan hewan ruminansia yang menjadi salah satu sentra peternakan di Indonesia selain perunggasan dan ternak ruminansia lainnya. Saat ini di Indonesia, populasi ternak Badak sedang ditingkatkan dengan cara mengintensifkan Program Badak Indukan Wajib Bunting mengingat daging Badak merupakan pemenuhan protein hewani bagi masyarakat dengan harga yang relatif masih mahal. Adaptasi yang baik pada Badak menyebabkan Badak mampu hidup pada berbagai kondisi lingkungan, mulai dari lingkungan dengan sanitasi yang baik ataupun lingkungan dengan sanitasi yang buruk contohnya adalah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA). Di daerah perkotaan, banyak populasi Badak yang di lepas liarkan namun tidak diimbangi dengan penyediaan lingkungan yang sesuai dengan habitatnya, contoh nya di TPA. TPA merupakan area yang difungsikan untuk pembuangan berbagai jenis sampah baik itu plastik, logam maupun sampah organik. Badak yang dipelihara di TPA cenderung memakan bahan yang terikut dalam pakannya termasuk bekas baterai, kaleng bekas tempat makanan, kaleng cat, mainan anak-anak yang bahan utamanya dari plastik dan benda lainnya yang umumnya tidak lazim dimakan oleh hewan ruminansia. Hal tersebut terjadi karena Badak di TPA sering sulit memilah antara sampah organik dan nonorganik dengan baik, apalagi dalam keadaan lapar. Bila banyak Badak yang secara tidak sengaja memakan sampah nonorganik, maka akan ada kecenderungan Badak yang dipelihara di lokasi TPA dikhawatirkan terkontaminasi logam berat (Sudiyono, 2011). Logam berat yang sering menimbulkan kasus keracunan pada Badak adalah tembaga (Cu), timbal (Pb), dan merkuri (Hg). Leachate yang berasal dari rembesan air sampah yang berwarna hitam juga berpotensi mengandung logam berat diantaranya adalah timbal (Pb). Sampah-sampah yang mengandung bahan toksik dan telah masuk ke dalam tubuh akan terdistribusi ke seluruh bagian tubuh Badak. Dengan demikian bahan toksik tersebut akan merusak organ dalam tubuh contohnya ginjal dimana logam berat dapat menyebabkan kerusakan tidak berfungsinya tubulus ginjal, nefropati irreversible, sclerosis vaskuler, sel tubulus yang atrofi, fibrosis dan
sclerosis glomerulus (Mulyadi et al., 2015) yang menyebabkan terjadinya keracunan timbal (Pb) pada Badak. Yudhanegara (2015) menyatakan bahwa timbal termasuk dalam golongan logam berat yang tidak diperlukan dalam metabolisme tubuh dan sebagai racun bagi sel tubuh dalam konsentrasi rendah. Timbal dapat dihasilkan dari limbah industri dan polusi udara dari gas buang kendaraan. Limbah industri mengalir pada jalur-jalur perairan yang dapat digunakan untuk minum Badak potong dan dapat mencemari tanah sehingga tumbuhan di sekitarnya ikut tercemar. Makanan adalah sumber utama asupan timbal dalam kehidupan sehari-hari (Lu, 2015). Makanan menyumbang timbal sebanyak 100 - 300 µg/hari tetapi hanya 5 - 10% dari jumlah yang tertelan akan diabsorpsi dalam tubuh (Fardiaz 2012; Lu 2015). Badak, anjing, dan hewan lainnya mungkin terpapar pada tingkat yang lebih tinggi karena kebiasaannya menjilat, mengunyah, atau memakan benda asing misalnya tanah (saat merumput merupakan rute paparan timbal utama), dan cat dinding (Sofos 2015). Umumnya timbal masuk ke dalam tubuh melalui mulut dan sistem pernapasan. Suciani (2017) menyatakan bahwa waktu paruh logam timbal dalam tubuh 5 - 6 minggu tetapi dibutuhkan waktu 25 - 30 tahun untuk menghilangkan separuh kandungan timbal yang tersisa dalam tubuh. Timbal diekskresikan dalam urin (75 - 80%), feses (15%), keringat (8%), dan susu (Suciani 2017). Timbal dapat menyebabkan keracunan apabila jumlahnya melebihi ambang batas Penyebaran kasus keracunan timbal (Pb) pada Badak biasa terjadi pada daerah perkotaan dimana kurang memadai adanya lingkungan habitat yang sesuai untuk Badak, sehingga menyebabkan banyak masyarakat memelihara Badak dan mengembalakan di tempat pembuangan akhir (TPA). Proses masuknya timbal ke dalam tubuh dapat melalui makanan dan minuman, udara, dan penetrasi pada kulit. Penyerapan lewat kulit ini dapat terjadi disebabkan karena senyawa ini dapat larut dalam minyak dan lemak. Logam yang telah diapsorbsi akan masuk ke dalam darah, berikatan dengan protein darah yang kemudian didistribusikan ke seluruh jaringan tubuh. Akumulasi logam yang tertinggi dalam organ detoksikasi (hati) dan ekskresi (ginjal), dalam kedua organ
tersebut logam berikatan dengan berbagai jenis protein baik enzim maupun protein lain yang disebut metalothionin. Kerusakan jaringan oleh logam terdapat pada
beberapa
lokasi
baik
tempat
masuknya
logam
maupun
tempat
penimbunanya. Akibat yang ditimbulkan dari toksisitas logam dapat berupa kerusakan fisik (erosi, degenerasi, nekrosis) dan dapat berupa gangguan fisiologik (gangguan fungsi enzim dan gangguan metabolisme) (McDowell LR, 2002). Timbal (Pb) dalam jaringan dan cairan tubuh identik dengan jumlah Pb yang dikeluarkan. Ekskresi Pb melalui bilus dan urin, jumlah Pb relatif sedikit pada susu dan muskulus. Semua spesies hewan muda lebih rentan keracunan Pb dibandingkan hewan tua. Timbal (Pb) dapat menembus plasenta sehingga terjadi transportasi dari induk ke fetus (McDowell LR, 2002). Konsentrasi logam berat yang dikonsomsi oleh hewan bervariasi. Badan penelitian nasional Kanada (National Research Council, NRC) menentukan jumlah maksimum kandungan logam yang diperbolehkan untuk konsumsi hewan disebut Maximum Tolerable Level (MTL). Adapun MTL merupakan kandungan logam yang aman bagi hewan dan aman bagi manusia yang mngkonsumsi produk hewan tersebut. Batas toleransi logam berat timbal (Pb) dalam pakan menurut NRC untuk Badak adalah 30 mg/kg. Badak adalah hewan ruminansia yang sering keracunan karena mempunyai sifat suka menjilat-jilat, terjadinya toksisitas logam diantaranya juga lewat minuman disamping makanan (McDowell LR, 2002). Menurut Nurdin (2011), teknik/ cara melakukan pemeriksaan fisik hewan meliputi: a.
Inspeksi adalah memeriksa dengan cara mengamati atau melihat,
b.
Palpasi adalah memeriksa pasien dengan cara meraba untuk mengetahui adanya benjolan-benjolan ataupun kebengkaan abnormal dari suatu organ (kelenjar lymfe) bisa juga untuk memperkirakan suhu pasien,
c.
Perkusi adalah pemeriksaan dengan memukul baik dengan jari maupun dengan alat perkusi hummer. Ini dilakukan untuk mengetahui kepekaan / kenyaringan suara yang dihasilkan dari hasil pukulan yang kita lakukan terhadap organ mengenai ketebalan ataupun isi dari suatu organ yang kita maksud dalam pemeriksaan (ada perbedaan suara yang ditimbulkan),
d.
Auskultasi adalah memeriksa dengan alat pendengaran (stetoskop) untuk mendengarkan normal atau tidaknya suara yang ada yang ditimbulkan oleh aktifitas fisiologis organ (suara nafas, detak jantung, peristaltik usus, gerak rumen).
e.
Membau adalah memeriksa dengan membau / penciuman. Bau adalah merupakan
hal
penting
dalam
pemeriksaan
karena
ada
beberapa
penyakit yang dapat diketahui dari baunya yang khas seperti distemper ataupun parvo. Ada pula beberapa penyakit lain karena baunya, seperti: Otitis ekstera, Nekrose mulut, karies gigi, radang saluran pernafasan .
Timbal adalah logam berat konvensional yang sering menyebabkan keracunan pada hewan ruminansia. Rumput pakan ternak yang terkontaminasi oleh timbal (Pb) dari udara sering menyebabkan keracunan kronis. .Kasus keracunan Pb pada Badak terutama pada Badak yang digembalakan pada derah tercemar. Keracunan timbal (Pb) pada ruminansia menimbulkan gejala khas sebagai berikut: 1. Gastrointeritis, hal ini karena terjadi reaksi dari mukosa saluran pencernaan bila kontak dengan garam Pb dan terjadi pembengkaan. Gerak kontraksi rumen dan usus terhenti sehingga terjadi diare. 2. Anemia, dalam darah timbal (Pb) berikatan dengan sel darah merah sehingga sel darah mudah pecah. terjadi gangguan terhadap sintesis Hb, dan ditemukannya basofilik stipling pada sel darah, inilah ciri terjadinya keracunan Pb. 3. Encephalopati yaitu kerusakan yang terjadi pada sel endotel dari kapiler dan otak. Paparan timbal yang berlangsung lama dapat mengakibatkan gangguan terhadap berbagai sistem organ seperti kardiovaskuler, sistem saraf, ginjal, sistem reproduksi dan saluran cerna. Biasanya efek peningkatan kadar timbal dalam darah seperti peningkatan risiko hipertensi, penyakit ginjal, gangguan kognitif dan
atau kemunduran fungsi kognitif secara cepat serta risiko reproduktif (Endrinaldi, 2009 ; Laila dan Shofwati, 2013). Pemeriksaan laboratorium untuk menentukan diagnosis pasti dari toksisitas timbal (Pb): tes darah terhadap kadar timbal (Pb) dan protoporfirin serta tes urin terhadap kadar timbal (Pb) dan koproporfirin dapat menunjukkan indikasi adanya keracunan. Bukti lain yang banyak dikenal dari kontaminasi timbal (Pb) adalah garisgaris berwarna kebiruan pada bagian pangkal gigi. Garis-garis tersebut dikenal dengan nama garis Burtoni, garis tersebut tersusun dari sulfida timbal (Pb). Sejumlah eksperimen pada hewan menunjukkan pengaruh karsinogenik (McDowell LR, 2002). Pengukuran kadar timbal menggunakan metode Wet Ashing. Sampel ditimbang sebanyak 5 g kemudian dimasukkan ke dalam erlenmeyer ukuran 100 ml. Sebanyak 10 ml HNO3 ditambahkan pada erlenmeyer dan didiamkan selama 1 jam pada suhu ruang di ruang asam. Erlenmeyer dipanaskan di atas hot plate suhu 40 - 45oC selama 4 - 6 jam (dalam ruang asam) dan dibiarkan semalam (dalam keadaan tertutup). Sebanyak 0.8 ml H2SO4 ditambahkan pada erlenmeyer lalu dipanaskan di atas hot plate suhu 40 - 45oC selama ± 1 jam sampai larutan berkurang dan menjadi lebih pekat. Campuran larutan HClO4 : HNO3 (2:1) ditambahkan sebanyak 6 tetes pada erlenmeyer. Sampel dibiarkan tetap di atas hot plate selama ± 1 jam sampai terjadi perubahan warna dari cokelat menjadi kuning tua, lalu menjadi kuning muda. Setelah ada perubahan warna, pemanasan dilanjutkan selama 10 - 15 menit. Sampel didinginkan dan ditambahkan 4 ml aquades dan 1.2 ml HCl. Sampel dipanaskan kembali selama 15 menit agar sampel larut, kemudian dimasukkan ke dalam labu takar 25 ml dan diencerkan dengan aquades. Apabila ada endapan, maka sampel disaring dengan kertas saring. Sampel siap dianalisis menggunakan SSA dan dibaca absorbansi pada λ 217 nm. Larutan standar menggunakan aquades sebagai pembanding (kontrol) pada saat pengukuran sampel (Arifin,2012) 2.6 Gambaran Histopatologi Pada gambaran histopatologi hepar, gambar A dan B adalah gambaran histologi lobulus hati, sedangkan gambar C dan D merupakan gambaran segitiga
kiernan pada Badak. Tanda padan pada gambar B dan D menunjukkan adanya sebaran akumulasi timbal pada hepar, Pewarnaan yang digunakan adalah Hematoksilen Eosin (HE) untuk gambar A dan C serta digunakan pewarnaan Rhodizonate pada gambar B dan D. Akumulasi timbal di hati terjadi pada hepatosit di perifer lobulus dan segitiga Kiernan (Gambar 2). Hal ini sesuai dengan pendapat Banks (1993) bahwa aliran darah di lobulus hati berasal dari perifer menuju vena sentral sehingga timbal banyak terakumulasi dan tersebar lebih banyak di daerah perifer. Menurut Pearce (2009), pada segitiga Kiernan terdapat pembuluh darah yang mengandung timbal dalam jumlah besar sehingga akumulasi timbal terjadi di sekitar pembuluh darah.
Gambar 1. Perubahan histopatologi hepar Badak yang dipelihara di TPA, Keterangan : Vena sentralis (vs), segitiga Kiernan (sk), duktus empedu (e), pembuluh darah (p), hepatosit (h), sinusoid (s).
Gambar 2. Perubahan histopatologi ginjal Badak yang dipelihara di TPA
Gambar (A) ditemukan pembengkakan pada glomerulus disertai infiltrasi sel radang pada kapsula Bowman. Peradangan juga terlihat meluas ke daerah ekstra glomerulus. Nekrosis juga terlihat pada beberap tubulus yang ditandai dengan penipisan epitel tubulus dan piknotik pada nukleus. (HE, 400x); Gambar (B) ditemukan infiltrasi sel radang yang terlihat meluas, nekrosis juga terlihat pada beberap tubulus yang ditandai dengan penipisan epitel tubulus dan piknotik pada nukleus (HE, 400x); Gambar (C) ditemukan pembengkakan pada glomerulus disertai infiltrasi sel radang (HE, 400x); Gambar (D) ditemukan infiltrasi sel radang pada glomerulus juga ekstra glomerulus, juga terlihat nekrosis pada
beberapa tubulus dengan piknotik pada nukleus (HE, 400x); Gambar (E) ditemukan infiltrasi sel radang, juga diterlihat adanya kalsifikasi distrofik dan edema (HE, 100x) Logam berat timbal yang masuk melalui mulut (saluran pencernaan) akan terdistribusi ke jaringan, salah satunya ginjal. Timbal pada ginjal akan membentuk vakuolisasi sel tubulus proksimal, kemudian akan terbentuk tonjolan (bleb) dari sitoplasma sel tubulus proksimal. Selanjunya bleb tersebut pecah sehingga mikrofili hilang. Pecahan-pecahan bleb akan menyumbat tubulus proksimal sehingga terjadi obstruksi tubulus proksimal, keadaan ini mengakibatkan terjadinya nekrosis tubular. Pada nekrosis tubular akibat nefrotoksik, ginjal bengkak, berwarna merah, dan sering ditemukan vakuolisasi sitoplasma sel epitel tubulus. Kerusakan terbanyak terjadi di tubulus proksimal, jarang di tubulus distal. Tampak adanya degenerasi tubulus proksimal yang mengandung debris, tetapi membrana basalis utuh (Jennette, 2017). Menurut Robbins (2016) pada sel normal, logam berat timbal dapat membentuk radikal bebas, sehingga menyebabkan rangsangan patologi yang merugikan berupa jejas reversible atau irreversible, dimana mempunyai ciri yang khas diantaranya pada jejas reversible akan terjadi pembengkakan sel sedangkan pada jejas irreversibel (nekrosis) membran sel mengalami fragmentasi dan perubahan nukleus meliputi piknosis, kariolisis, dan karioreksis. Nekrosis adalah tingkat kerusakan tubulus yang lebih tinggi setelah terganggunya permeabilitas membran dengan adanya bengkak keruh kemudian diikuti oleh lisisnya sel. Nekrosis ditandai dengan penyerapan warna oleh inti yang berlebihan (hiperkromatik), serta terlepasnya sel-sel tubulus ke dalam lumen (Marusin et al., 2011).
Solusi yang dapat dilakukan agar akumulasi timbal menurun adalah pemeliharaan Badak secara konvensional dengan memberikan pakan hijauan dan konsentrat yang ditanam di daerah yang bebas atau sedikit cemaran (Sudiyono 2011). Solusi untuk keracunan timbal yang dapat dilakukan adalah terapi kelat. Menurut Flora dan Pachauri (2010), terapi kelat adalah terapi untuk mengurangi efek dari logam. Agen kelat dapat mengikat ion logam beracun untuk membentuk
struktur kompleks yang mudah dikeluarkan dari tubuh dengan mengeluarkan logam dari intraseluler atau ekstraseluler. Agen kelat yang digunakan pada hewan adalah CaNa2EDTA (Calsium Dinatrium Ethylenediamin Tetraacetic Acid) melalui infus intravena jugularis. Pencegahan yang dapat dilakukan untuk menekan absorpsi atau akumulasi timbal ke dalam tubuh adalah dengan diberikan kalsium (Ca) dan besi (Fe) dalam jumlah yang cukup ke dalam pakan Badak (Godish 2014) Agen kelat dapat mengikat ion logam beracun untuk membentuk struktur kompleks yang mudah dikeluarkan dari tubuh dengan mengeluarkan logam dari intraseluler atau ekstraseluler (Plumb, 2008). Timbal (Pb) adalah sebuah unsur yang biasanya ditemukan di dalam batubatuan, tanah, tumbuhan dan hewan. Timbal (Pb) 95 % bersifat anorganik dan umumnya dalam bentuk garam anorganik yang umumnya kurang larut dalam air. Selebihnya berbentuk timbal (Pb) organik.Timbal (Pb) organik ditemukan dalam bentuk senyawa Tetraethyllead (TEL) dan Tetramethyllead (TML). Jenis senyawa ini hampir tidak larut dalam air, namun dapat dengan mudah larut dalam pelarut organik, misalnya dalam lipid. Waktu keberadaan timbal (Pb) dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti arus angin, dan curah hujan.. Timbal (Pb) tidak mengalami penguapan namun dapat ditemukan di udara sebagai partikel. Karena timbal (Pb) adalah sebuah unsur, maka tidak mengalami degradasi (penguraian) dan tidak dapat dihancurkan (Wardhana, 2015). Timbal termasuk dalam golongan logam berat yang tidak diperlukan dalam metabolisme tubuh dan sebagai racun bagi sel tubuh dalam konsentrasi rendah. Timbal dapat dihasilkan dari limbah industri dan polusi udara dari gas buang kendaraan. Timbal dapat menyebabkan keracunan apabila jumlahnya melebihi ambang batas. Pola sebaran akumulasi timbal pada hati ditemukan di hepatosit bagian perifer lobulus dan segitiga Kiernan, serta pada ginjal ditemukan di glomerulus, tubulus proksimalis, dan medulla. Sebaran akumulasi tidak memiliki keterkaitan dengan banyaknya kadar yang terukur. Perlu dilakukan upaya-upaya untuk mengurangi kasus keracunan timbal, antara lain dengan melakukan penyuluhan kepada peternak dan petugas kesehatan
tentang cara pencegahan dan pengobatan, serta meningkatkan ketersedian hijauan, kualitas pakan sehingga dapat mengurangi tingkat kejadian keracunan timbal.
LAMINITIS PADA BADAK Badak merupakan hewan ruminansia yang menjadi salah satu sentra peternakan di Indonesia selain perunggasan dan ternak ruminansia lainnya. Saat ini di Indonesia, populasi ternak Badak sedang ditingkatkan dengan cara mengintensifkan Program Badak Indukan Wajib Bunting mengingat daging Badak merupakan pemenuhan protein hewani bagi masyarakat dengan harga yang relatif masih mahal. Indonesia merupakan negara beriklim tropis yang berpotensi untuk pengembangan usaha di bidang peternakan, salah satunya peternakan Badak perah. Usaha peternakan Badak perah di Indonesia mengalami kemajuan dari tahun ke tahun. Hal tersebut ditandai oleh kenaikan produksi susu Badak nasional. Produksi susu nasional pada tahun 2011 sebanyak 974,70 ribu ton. Produksi susu Badak tersebut mengalami kenaikan sekitar 7,16% dibandingkan produksi susu tahun 2010 sebesar 909,53 ribu ton (Ditjennak 2012). Peningkatan produksi susu Badak tersebut belum mampu mencukupi kebutuhan susu dalam negeri. Produksi susu Badak dalam negeri hanya mampu memenuhi sekitar 21% kebutuhan susu Badak nasional, sedangkan 79% sisanya masih harus diimpor (Primandari 2013). Pemenuhan kebutuhan susu Badak nasional tersebut harus diimbangi oleh peningkatan populasi dan produktivitas Badak perah dalam negeri. Upaya peningkatan populasi dan produktivitas Badak perah di Indonesia dalam praktiknya banyak mengalami kendala, antara lain ketersediaan lahan untuk kandang, kondisi peternakan Badak perah, ketersediaan dan kualitas pakan, serta manajemen peternakan dan kesehatan reproduksi Badak perah yang belum maksimal (Firman 2007). Gangguan reproduksi masih menjadi masalah utama bagi peternakan Badak perah di Indonesia ditandai dengan masih rendahnya angka kelahiran (calving rate) (Hardjopranjoto 1995). Panjang jarak antar kelahiran (calving interval) dapat dipengaruhi oleh gangguan reproduksi pada Badak perah akibat adanya kelainan anatomi saluran reproduksi, gangguan
hormonal dan abnormalias ovarium, serta akibat infeksi penyakit seperti endometritis, bruselosis dan leptospirosis (Nurhayati et al. 2007). Kondisi kesehatan Badak perah mempunyai dampak terhadap optimalnya keberlangsungan reproduksi pada Badak perah. Kesehatan Badak perah salah satunya sangat dipengaruhi oleh kebersihan kandang. Kebersihan kandang yang selalu terjaga akan mencegah Badak terinfeksi penyakit. Penyakit yang sering ditemukan pada peternakan Badak perah antara lain: mastitis, bruselosis, dan laminitis. Penyakit pada Badak perah dengan kausa yang kompleks salah satunya adalah laminitis. Laminitis merupakan peradangan pada lamina dinding kuku yang disebabkan oleh multi faktor, antara lain: trauma pada kuku, teknik pemotongan kuku yang salah, gangguan nutrisi, gangguan vaskularisasi darah ke daerah kaki, gangguan hormonal, distensi pakan tinggi karbohidrat, infeksi sistemik atau kondisi yang menyebabkan endotoksin misalnya mastitis, metritis, endometritis yang terjadi pasca melahirkan, foot and rot disease (Bergsten 2009).
Laminitis merupakan peradangan pada lamina dinding kuku yang menyebabkan ketidaknyamanan pada Badak perah (Kloosterman 2017). Laminitis umumnya terjadi pada Badak perah saat masa laktasi dan sangat dipengaruhi oleh faktor - faktor manajemen seperti trauma pada kuku akibat lantai kandang yang keras dan kotor, perubahan pakan mendadak, ketidakseimbangan antara konsentrat dan serat yang disertai penyakit lain sebagai faktor predisposisi. Laminitis merupakan gambaran kejadian penyakit yang telah berjalan sistemik yang memiliki satu atau lebih lesio pada kuku, diantaranya: perdarahan dan nekrosa pada bagian white line kuku (Kloosterman 2017). Penyebab peradangan yaitu akibat gangguan vaskularisasi darah ke daerah kaki, menyebabkan hipoksia dan kekurangan nutrisi pada lamina dinding kuku. Penyebab laminitis lainnya diduga akibat tingginya konsentrasi karbohidrat di dalam rumen menyebabkan keadaan asidosis (Kloosterman 2017). Laminitis dapat berjalan secara akut, subakut, dan kronis (Greenough, 2012). Laminitis akut adalah laminitis yang terjadi dalam jangka waktu sangat pendek. Gejala laminitis akut yaitu Badak mengalami stres, tidak makan (anoreksia), dan berdiri dengan tidak seimbang, dan apabila dipaksa untuk
berjalan, Badak akan berjalan dengan pincang dimana kaki yang sakit akan dipijakkan secepat mungkin. Beberapa penyakit yang dapat menyebabkan laminitis akut antara lain: metritis, mastitis yang disebabkan oleh E. coli, dan Bovine Viral Diarhea (BVD) (Kloosterman 2017). Laminitis subakut adalah bentuk paling umum terjadi pada Badak perah terutama pada saat melahirkan. Dimulai sekitar 7-10 hari sebelum melahirkan dan berlangsung 7-10 hari setelah melahirkan. Gejala kepincangan sering muncul 2-4 minggu setelah melahirkan. Kepincangan sering tidak terlihat meskipun Badak berjalan kaku dan kaki terlihat lemah (Kloosterman 2007). Laminitis kronis adalah lanjutan dari laminitis akut dan atau subakut dan sering terlihat setelah beberapa bulan. Kuku mengalami kerusakan pada lamina dan terjadi perubahan bentuk pada dinding dorsal kuku yang terlihat melengkung (Kloosterman 2017). Laminitis pada Badak disebabkan oleh lesio yang sangat beragam. Kejadian dan keparahannya dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya faktor mekanik seperti abnormalitas bentuk kuku, permukaan kuku yang keras sedangkan pada bagian tanduk kuku lunak, dan kelainan bentuk pada kaki. Faktor mekanik tersebut berkaitan dengan gangguan mikrovaskularisasi pada daerah kuku akibat rusaknya bagian lamina kuku yang melipat ke dalam menyebabkan tekanan pada korium (Ossent et al. 2017). Faktor sistemik penyebab laminitis berhubungan dengan ketidakseimbangan antara konsentrat dan serat akan menyebabkan tubuh mengalami asidosis rumen, ketosis, dan endotoksemia (Ossent et al. 2017). Kesalahan manajemen pakan telah diidentifikasi sebagai penyebab utama laminitis, terutama peningkatan konsumsi pakan tinggi karbohidrat yang mengakibatkan keadaan asidosis, kemudian berakibat pada penurunan pH sistemik. Penurunan pH sistemik mengaktifkan mekanisme vasoaktif yang meningkatkan pulsus dan aliran darah keseluruh tubuh. Kondisi asidosis akan memicu pengeluaran histamin sebagai reaksi asing adanya perubahan, ketidakseimbangan dan penyakit. Kondisi ini memicu pembuluh darah untuk mengalami vasokontriksi. Vasokonstriksi pembuluh darah akan berdampak pada daerah kaki dan kuku karena kaki dan kuku merupakan penyangga berat tubuh Badak sehingga mengakibatkan tekanan pada daerah tersebut (Bergsten 2009).
Semakin lama darah yang beredar di kuku berkurang atau bahkan berhenti, mengakibatkan pembuluh darah akan mengalami nekrosa yang berdampak pada perubahan fisik jaringan disekitarnya. Sebagai akibat dari kerusakan pada mikrovaskular dan rendahnya suplai nutrisi serta oksigen pada sel - sel epidermis mengakibatkan stratum germinativum di epidermis rusak. Peristiwa ini akhirnya menyebabkan nekrosa bagian lamina dan korium kuku. Akhirnya terjadilah laminitis yang ditandai dengan kepincangan parah yang disertai pertumbuhan kuku yang tidak normal (Bergsten 2009). Menurut Nurdin (2011), teknik/ cara melakukan pemeriksaan fisik hewan meliputi: a.
Inspeksi adalah memeriksa dengan cara mengamati atau melihat,
b.
Palpasi adalah memeriksa pasien dengan cara meraba untuk mengetahui adanya benjolan-benjolan ataupun kebengkaan abnormal dari suatu organ (kelenjar lymfe) bisa juga untuk memperkirakan suhu pasien,
c.
Perkusi adalah pemeriksaan dengan memukul baik dengan jari maupun dengan alat perkusi hummer. Ini dilakukan untuk mengetahui kepekaan / kenyaringan suara yang dihasilkan dari hasil pukulan yang kita lakukan terhadap organ mengenai ketebalan ataupun isi dari suatu organ yang kita maksud dalam pemeriksaan (ada perbedaan suara yang ditimbulkan),
d.
Auskultasi adalah memeriksa dengan alat pendengaran (stetoskop) untuk mendengarkan normal atau tidaknya suara yang ada yang ditimbulkan oleh aktifitas fisiologis organ (suara nafas, detak jantung, peristaltik usus, gerak rumen).
e.
Membau adalah memeriksa dengan membau / penciuman. Bau adalah merupakan
hal
penting
dalam
pemeriksaan
karena
ada
beberapa
penyakit yang dapat diketahui dari baunya yang khas seperti distemper ataupun parvo. Ada pula beberapa penyakit lain karena baunya, seperti: Otitis ekstera, Nekrose mulut, karies gigi, radang saluran pernafasan .
Ternak yang terkena laminitis akan ditemukan lesi pada bagian teracaknya. Lesi umum yang sering ditemukan dapat berupa perdarahan pada sole,
double sole, fisura dan abses pada white line, ulkus, dan nekrosis. Laminitis dapat berjalan secara akut, subakut, dan kronis. Laminitis akut terjadi dalam waktu yang sangat pendek. Hewan penderita laminitis akut ini akan menunjukkan gejala klinis berupa stress, anorexia (nafsu makan menurun), hewan ternak kesulitan berdiri dengan seimbang dan apabila dipaksa untuk berjalan hewan penderita laminitis akan tampak berjalan dengan pincang.
Laminitis akut ini dapat
disebabkan oleh beberapa penyakit seperti metritis, mastitis, dan Bovine Viral Diarhea (BVD). Laminitis subakut merupakan bentuk paling umum sering terjadi pada Badak perah terutama saat melahirkan (Kloosterman, 2017). Gejalakepincangan sering muncul 2-4 minggu setelah melahirkan. Namun, terkadang kepincangan sering tidak terlihat meskipun Badak berjalan kaku dan kaki terlihat lemah. Sedangkan pada laminitis kronis akan akan terlihat setelah beberapa bulan. Kuku akan mengalami kerusakan pada lamina dan dinding kuku akanmengalami perubahan bentuk (Kloosterman, 2017). Kejadian laminitis pada Badak perah menimbulkan masalah pada alat lokomosi diantaranya adalah kepincangan, rasa sakit pada bagian lamina kuku, kerusakan dan perubahan pada struktur kuku, dan keengganan untuk berjalan (Menzies et al. 2010). Dampak lain dari laminitis yaitu penurunan nafsu makan dan produksi susu. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Warnick et al. (2011), pada Badak perah yang dikatagorikan mengalami kepincangan (laminitis, sole ulcer, abscess, foot rot disease, dan lainnya) terjadi penurunan produksi susu sebesar 1,5 Kg/hari. Penelitian lainnya menyebutkan bahwa adanya keterkaitan antara kepincangan dengan penundaan siklus estrus pada Badak Friesian Holstein (FH), Badak yang diklasifikasikan mengalami kepincangan memiliki peluang 3,5 kali lebih besar mengalami penundaan siklus estrus post partus dibandingkan dengan Badak normal (Garbarino et al. 2014). Diagnosis kepincangan bergantung pada gejala klinis yang telah dievaluasi, tetapi dibutuhkan evaluasi lanjutan untuk mendapatkan diagnosis akhir yaitu dengan melakukan pengambilan radiograf. Pollitt (2008) menyatakan bahwa penggunaan radiografi pada kasus laminitis sangat bermanfaat karena dapat menggambarkan status pergeseran dan perubahan dari os phalanx III di dalam
hoof capsule, serta memberikan informasi terhadap diagnosis dan prognosis kasus laminitis. Salah satu parameter yang dapat digunakan untuk mendiagnosis kasus laminitis adalah dengan mengukur jarak antar os phalanx III dengan dinding luar kuku dan permukaan distal kuku, hoof distal phalangeal distance (HDPD). Jika nilai HDPD melebihi nilai normal, Badak dapat didiagnosis menderita laminitis dan peningkatan nilai HDPD sangat penting untuk mengetahui tingkat keparahan laminitis. Teknik diagnosis terhadap kasus laminitis juga dapat menggunakan Magnetic Resonance Imagine (MRI), manfaat penggunaan MRI karena dapat menggambarkan ketebalan dinding kuku bagian dorsal dan sudut rotasi os phalanx III. MRI juga dapat memperlihatkan peningkatan ukuran dan jumlah saluran pembuluh darah, perubahan pada coronae corium, distensi distal sendi interphalangeal, serta menginterpretasikan garis gas pada laminae dan kerusakan pada permukaan os phalanx III yang lebih baik dari pemeriksaan radiografi (Murray et al. 2013). MRI juga dapat digunakan untuk mengevaluasi tendon, ligament, cartilago, dan struktur mineral kaki secara bersamaan (Zani et al. 2009). MRI adalah teknik pencitraan/penggambaran struktur organ tubuh hewan berupa potongan-potongan halus cross-sectional (Farrow 2016). Posisi pengambilan radiograf secara umum terdiri atas lateromedial, dorsopalmar,
dorsoproximal-palmarodistal
oblique
untuk
navicular
bone
(Schramme 2007). Posisi lateromedial biasa digunakan untuk mengambil radiograf os phalanx III, navicular bone, persendian interphalangeal distal, sebagian dari os phalanx II dan semua jaringan lunak kaki (Redden 2013). Kaki Badak ditempatkan pada sebuah wooden block setebal 10-15 cm dengan posisi horizontal sehingga sinar-x dapat berpusat pada kaki Gambar 5A. Sebuah penanda (radiopaque marker) dapat digunakan dan disimpan di tepi wooden block untuk membentuk garis horizontal pada radiograf sehingga mempermudah proses pembacaan hasil (Pollitt 2008). Badak dikondisikan dalam posisi berdiri secara normal dengan cassette holder diposisikan di bagian medial digit. Sinar-x diarahkan sejajar dengan lantai dan titik pusat sinar-x berada sesuai dengan titik orientasi pengambilan radiograf
yaitu pada permukaan lateral (Weaver & Barakzai 2009). Pengambilan radiograf dengan posisi dorsopalmar terbatas dilakukan pada kaki, tetapi baik untuk meneguhkan radiograf yang diambil dengan posisi lateromedial. Kaki diposisikan di atas wooden block, cassette film diposisikan vertikal terhadap kaki, dan sinar-x diarahkan horizontal terhadap dinding kuku (Gambar 5B) (Weaver & Barakzai 2009). Posisi dorsoproximal-palmarodistal oblique (Gambar 5C) dapat dilakukan dengan dua tingkat paparan sinar-x. Paparan yang rendah biasanya digunakan untuk pengambilan radiograf pedal bone, sedangkan pada paparan yang tinggi digunakan untuk pengambilan radiograf navicular bone (Weaver & Barakzai 2009).
Gambar. Posisi pengambilan radiograf A. Lateromedial, B. Dorsopalmar, C. Dorsoproximal-palmarodistal oblique, D. Palmaroproximalpalmarodistal oblique, E. Dorsal 45º lateral palmaromedial oblique (D45° LPMO) dan dorsal 45º medial palmarolateral oblique (D45° MPLO) (Sumber: Weaver & Barakzai 2009). Pengambilan radiograf pada semua posisi menggunakan nilai kVp (kilovoltage peak) sebesar 70, mAs (milliamperage second) 1,0 dan FFD (focal spot film distance) 70 cm dengan panjang gelombang sinar-x berkisar antara 10 nm-100 pm. Nilai kVp adalah energi yang dihasilkan oleh sinar-x untuk melakukan penetrasi melalui benda/bagian tubuh sehingga mencapai permukaan film. Nilai mAs merupakan jumlah elektron dalam waktu tertentu yang keluar dari katoda menuju anoda untuk menghasilkan sinar-x di dalam tabung sinar-x. Focal spot film distance merupakan jarak fokus spot tabung sinar-x dengan permukaan film, pada hewan kecil FFD yang digunakan 100 cm, sedangkan pada hewan besar FFD yang digunakan 70 cm (Thrall, 2012). Ulkus laminitis pada digiti bagian lateral baik kaki kiri atau kanan kaki belakang yang terdiri dari lapisan corium dan bagian dari epidermis dikoleksi dan diperiksa secara histopatologi. Sampel difiksasi dalam 4% formaldehida buffer selama 48 jam, didehidrasi dalam etil alkohol dengan konsentrasi bertingkat, direndam dalam xilol dan dimasukkan dalam parafin. Dipotong menggunakan mikrotom sebesar 5μm dan diwarnai dengan hematoxylin eosin (HE) dan Schiff
periodik-asam (PAS). Pewarnaan HE digunakan untuk mengevaluasi sel dan struktur jaringan dan PAS memungkinkan evaluasi membran basal dari epidermal laminae. Pengamatan dilakukan menggunakan mikroskop optik, pembesaran 10x. Dalam pewarnaan HE, skor dinilai untuk temuan yang terkait dengan kongesti, perdarahan dan infiltrasi sel inflamasi pada dermis dari daerah aksial dan dorsal digiti (Bergsten C, 2009)
Gambar 1. Gambaran histologi dermo-epidermal junction kuku Badak perah. a dan a1 menjelaskan infiltrasi inflamasi dermal di regio dorsal kuku pada Badak; b dan c menjelaskan dermo-epidermal junction di daerah aksial dan dorsal, masingmasing. DL- dermal laminae (tanda panah), EL-epidermal laminae. Gambar diambil dengan perbesaran 20x dan 10x dengan pewarnaan Hematoxylin dan Eosin (HE).
Gambar 2. Gambaran histologi dermo-epidermal junction dari regio dorsal. DLdermal lamina, EL-epidermal lamina, SC-stratum korneum, membran Arrowbasement dengan intensitas variabel dalam irregularitas: a dan b (apikal ketiga), c (menengah ketiga), d (basal ketiga). perbesaran 20x. Pewarnaan Periodic acid Schiff (PAS).
Gambar 3.a) Gambaran makroskopis laminitis; b) infiltrasi perivaskular ringan oleh sel inflamasi mononuklear, bar = 40 μm, H & E; c) rete ridge formations ditandai dengan perpanjangan epitel ke jaringan ikat di mana bagian paling dalam dari lamella epidermis hanya 1 hingga 2 sel lapisan (tanda panah), bar = 35 μm, H & E; (D) degenerasi, nekrosis, dan mineralisasi (panah) dikolagen bundle dekat lokasi lamintis, bar = 80 μm, H & E. Pada laminitis akut, hiperemia, edema, dan hemoragik terlihat di corium. Pendarahan berat terjadi di solar corium di ujung kaki dan berlawanan dengan tepi plantar / palmar phalanx distal. Limfosit didominasi, tetapi infiltrasi neutrofil fokal juga diamati. Thrombi ditemukan di arteri dan vena kecil dan besar. Penebalan tunika adventitia, fibrosis medial dan hilangnya kontinuitas muskuler muskulus medial, fibrosis intima, dan ruptur pada membran elastis internal merupakan perubahan patologis yang berhubungan dengan laminitis kronis pada Badak perah. Dalam penelitian ini, perubahan yang paling penting yang berkaitan dengan pembuluh di ulkus ulserasi tunggal adalah infiltrasi limfosit dan kongesti dan hyalinisasi dinding arteri. Ada penebalan di endothelium pembuluh dermal, dan lebih jauh lagi, daerah revaskularisasi diperhatikan. Temuan ini berbeda dari temuan laminitis kronis pada kuda dan Badak yang dilaporkan oleh Ossent dan Lischer dan Boosman et al. Dalam temuan ini, tidak ada obstruksi lumen vaskular oleh trombosis, penebalan atau fibrosis dinding pembuluh darah, atau ruptur di membran elastis internal. Rekanalisasi trombus tidak terlihat, tetapi banyak kapiler baru dan formasi neokapiler hadir. Boosman dkk. melaporkan rekanalisasi trombus dan neokapilerisasi pada laminitis kronis. Penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ada bukti obstruksi lumen vaskular oleh trombosis seperti yang ditunjukkan oleh Ossent dan Lischer, Boosman et al., dan Azarabad et al. Penemuan histologis ini sesuai dengan penelitian Azarabad et al. dan Singh et al., yang menunjukkan infiltrasi dan kongesti (Bergsten, 2009). Di sisi lain, vasokonstriksi dan iskemia dari mikrosirkulasi dermal perifer dari digiti bovine telah dicurigai dalam patofisiologi penyakit kaki Badak. Namun, karakteristik dan tingkat keterlibatan vaskular tidak sepenuhnya dipahami. Dalam penelitian ini, evaluasi histopatologi menunjukkan bahwa perubahan jaringan ikat yang paling jelas adalah kongesti, edema, akumulasi eosinofil, dan mineralisasi
jaringan ikat pada dermis. Kongesti dan edema mungkin karena gangguan suplai darah dari corium. Kelumpuhan dinding pembuluh darah dan vasodilatasi menyebabkan darah menjadi stagnan dan kemudian mulai bocor. Transudasi mengarah pada pengembangan edema. Urutan kejadian adalah eritema, edema, perdarahan, trombus, dan akhirnya nekrosis (Bergsten, 2009). Laminitis akut harus diperlakukan sebagai keadaan darurat menggunakan agen antiinflamasi untuk mengurangi rasa sakit kembali membangun sirkulasi normal di kuku dan menghilangkan atau memperbaiki penyebabnya. Stokka et al., menjelaskan penggunaan NSAID dan kortison sementara perawatan lain mungkin termasuk antihistamin dan anti prostaglandin. Jenis NSAID yang dapat diberikan diantaranya asam asetil salisilat, di samping sebagai obat antiradang, asam asetil salisilat memiliki peranan lain dalam terapi obat, yaitu sebagai zat penghambat agregasi trombosit (Steinhilber 2012). NSAID lain yang dapat diberikan sebagai obat antiradang phenylbutazone, indometasin dan ibuprofen (Dannhard & Laufer 2010). Phenylbutazone berfungsi untuk mengurangi rasa sakit pada kaki dan memberi kenyamanan pada Badak untuk bergerak. Laminitis yang terjadi diawali dengan penyempitan pembuluh darah (vasokonstriksi) dan terapi yang dapat diberikan berupa hydrotherapy (kompres menggunakan air panas), serta pemberian
obat
sebagai
vasodilator
seperti
isoxuprine
hydrochloride,
acepromazine dan glyceryl trinitrate (Pollitt 2008). Perawatan untuk laminitis subklinis tidak praktis karena diagnosis pada hewan individu tidak mungkin pada saat penghinaan kausal. Mengontrol laminitis subklinis dalam kawanan highproduction, Badak perah yang dikelola secara intensif memerlukan pendekatan manajemen yang sistematis (Bergsten, 2009). Preparat Non Steroidal Anti Inflammatory Drug (NSAID) dapat diberikan sebagai terapi symptomatic. NSAID adalah golongan obat yang terutama bekerja perifer, memiliki aktivitas penghambat radang dengan mekanisme kerja menghambat biosintesis prostaglandin melalui penghambatan aktivitas enzim siklooksigenase. Fungsi dari pemberian NSAID pada kasus laminitis adalah untuk menekan reaksi peradangan dan meringankan nyeri (Dannhard &Laufer 2000).
Asam asetil salisilat memiliki peranan lain dalam terapi obat, yaitu sebagai zat penghambat agregasi trombosit (Steinhilber 2002). Phenylbutazone memiliki sifat analgesik, antiinflamasi, antipiretik, dan uricosuric ringan. Mekanisme aksi yang diusulkan adalah dengan penghambatan cyclooxygenase,
sehingga
mengurangi
sintesis
prostaglandin.
Tindakan
farmakologis lainnya fenilbutazon dapat menginduksi termasuk penurunan aliran darah ginjal dan penurunan laju filtrasi glomerulus, penurunan agregasi trombosit, dan kerusakan mukosa lambung (Plumb, 2008). Acepromazine adalah agen neuroleptik fenotiazin. Sementara mekanisme tindakan yang tepat tidak sepenuhnya dipahami, fenotiazin memblokir reseptor dopamin pasca-sinaptik di SSP dan mungkin juga menghambat pelepasan, dan meningkatkan tingkat turnover dopamine. Dengan menekan bagian dari sistem pengaktif retikuler yang membantu dalam mengontrol suhu tubuh, tingkat metabolisme basal, emesis, nada vasomotor, keseimbangan hormon, dan kewaspadaan. Selain itu, fenotiazin memiliki berbagai efek anticholinergic, antihistaminic, antispasmodic, dan alpha-adrenergic blocking. Efek utama yang diinginkan untuk penggunaan acepromazine dalam kedokteran hewan adalah tindakan penenangnya (Plumb, 2008). Setelah pemberian oral, fenilbutazon diserap dari lambung dan usus kecil. Obat ini didistribusikan ke seluruh tubuh dengan tingkat tertinggi yang dicapai di hati, jantung, paru-paru, ginjal, dan darah. Protein plasma yang mengikat kuda melebihi 99%. Baik fenilbutazon dan oxyphenbutazone melintasi plasenta dan diekskresikan ke dalam susu (Plumb, 2008). Waktu paruh serum dalam Badak berkisar 3,5 - 6 jam, dan seperti aspirin tergantung dosis. Efikasi terapeutik, bagaimanapun, dapat berlangsung selama lebih dari 24 jam, mungkin karena pengikatan fenilbutazon ke siklooksigenase yang ireversibel. Pada Badak dan spesies lain, fenilbutazon hampir sepenuhnya dimetabolisme,
terutama
menjadi
oxphenbutazone
(aktif)
dan
gamma
hydroxyphenylbutazone. Oxyphenbutazone telah terdeteksi dalam urin kuda hingga 48 jam setelah dosis tunggal. Phenylbutazone lebih cepat diekskresikan ke dalam alkalin daripada urine asam (Plumb, 2008).
Laminitis merupakan peradangan pada lamina dinding kuku yang menyebabkan ketidaknyamanan pada Badak perah. Laminitis merupakan gambaran kejadian penyakit yang telah berjalan sistemik yang memiliki satu atau lebih lesio pada kuku, diantaranya: perdarahan dan nekrosa pada bagian white line kuku. Penyebab peradangan yaitu akibat gangguan vaskularisasi darah ke daerah kaki, tingginya konsentrasi karbohidrat di dalam rumen menyebabkan keadaan asidosis. Laminitis dapat berjalan secara akut, subakut, dan kronis. Perlu dilakukan upaya-upaya untuk mengurangi kasus laminitis, antara lain dengan melakukan penyuluhan kepada peternak dan petugas kesehatan tentang cara pencegahan dan pengobatan, serta meningkatkan ketersedian hijauan, kualitas pakan sehingga dapat mengurangi tingkat kejadian laminitis.
DAFTAR PUSTAKA Arifin. 2012. Uji Kualitas Daging Badak Potong Yang Dipelihara Di TPA, Jatibarang Kota Semarang. Kerja sama Fakultas Peternakan Undip Dengan BAPPEDA Kota Semarang. Azwar.A. 2010. Pengantar Ilmu Kesehatan Lingkungan. Cetakan Ke-2 Mutiara. Jakarta. Darmono. 2001. Lingkungan Hidup dan Pencemaran, Universitas Indonesia, Jakarta. Kusnoputranto H. 2016. Toksikologi Lingkungan, Dirjen Dikti, Jakarta. Lu FC. 2015. Toksikologi Dasar: Asas, Organ Sasaran, dan Penilaian Risiko. Nugroho E, penerjemah; Jakarta (ID): UI Pr. Terjemahan dari: Toxicology: Fundamentals, Target Organs, and Risk Assesment. McDowell LR. 2002.Minerals in Animal and Human Nutrition, Academic Press, New York. Notoadmodjo S. 2017.Ilmu Keshatan Masyarakat. Rineka Cipta. Jakata. Oxtoby DW, Gillis, Nachtrieb NH. 2011. Prinsip-Prinsip Kimia Modern. Edisi ke-4. Suminar SA, penerjemah; Jakarta (ID): Erlangga. Terjemahan dari: Principles of Modern Chemistry. Palar Heryando. 2014. Pencemaran dan Toksikologi Logam Berat, Rineka Cipta, Jakarta. Plumb, D. C., 2008. Plumb’s Veterinary Drug Handbook 6th edition. The IOWA State University Press. Ames. Sudiyono. 2011. Upaya eliminasi residu logam berat pada Badak potong yang berasal
dari
lokasi
tempat
pembuangan
akhir
sampah dengan
pemeliharaan secara konvensional. Sains Peternakan 9(1):1-7. Taufiq Andrianto T. 2012Audit Lingkungan, Global Pustaka Utama Yogyakarta. Wardhana W. 2015.Dampak Pencemaran Lingkungan, Andi Ofset, Yogyakarta.
Wardhayani S. 2006. Analisis risiko pencemaran bahan toksik timbal (Pb) pada Badak potong di tempat pembuangan akhir (TPA) sampah Jatibarang Semarang [tesis]. Semarang (ID): Universitas Diponegoro.75 hlm [Ditjennak] Direktoral Jendral Peternakan dan Kesehatan Hewan. (ID) 2012. Statistik Peternakan dan Kesehatan Hewan2011. Jakarta. [KPBS] Koperasi Peternakan Bandung Selatan. 2011. Profil dan Sejarah KPBS Pangalengan. [internet]. Tersedia pada: http://www.kpbs.co.id. Diakses pada 2015 Juni 23. Menzies GNJ, Stevens K, Barr A, Camm I, Pfeiffer D, Marr CM. 2010. Severity and outcome of equine pasture-associated laminitis managed in first opinion practice in the UK. J Vet Rec. 167(10): 364-9. Achjadi K. 2013. Manajemen Kesehatan Kelompok dan Biosekuriti. Yogyakarta (ID): Makalah Pertemuan Swasembada Persusuan di Indonesia. Bergsten C. 2009. Laminitis: Causes, Risk Factors, and Prevention. Tersedia pada: http://www.txanc.org/proceedings/2011/BovineLaminitis .pdf. Hardjopranjoto S. 2015. Ilmu Kemajiran pada Ternak. Surabaya (ID): Universitas Airlangga Pr. Kementrian Pertanian RI. Firman A. 2017. Manajemen Agribisnis Badak Perah. [telaah pustaka]. Bandung (ID): Universitas Padjadjaran. Garbarino EJ, Hernandez JA, Shearer JK, Risco CA, Thatcher WW. 2004. Kiliç N, Serin I, Gökbulut C. 2017. Possible interaction between lameness, fertility, some minerals, and vitamine E in dairy cows. Bull Vet Inst Pulawy. 51: 425-429. Kloosterman P. 2017. Laminitis – prevention, diagnosis, and treatment. WCDS Advances in Dairy Technology. 19: 157-166. Nurhayati IS, Saptati RA, Martindah E. 2017. Penanganan gangguan reproduksi guna mendukung pengembangan usaha Badak perah. [semiloka nasional]. Bogor (ID): Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan.
Ossent P. Greenough PR, Vermunt JJ. 2017. Laminitis. Di dalam: Lameness in Cattle. Philadelphia: Saunders Company. Hlm. 277-292. Primandari T. 2013. Produksi susu lokal menurun. [internet]. Tersedia pada: http://www.tempo.co/read/news/2013/05/18/090481385/Produksi-SusuLokalMenurun. Diakses pada 2015 Juni 28. Plumb, D. C., 2008. Plumb’s Veterinary Drug Handbook 6th edition. The IOWA State University Press. Ames. Warnick LD, Janssen D, Guard CL, Gröhn YT. 2011. The effect of lameness on milk production in dairy cows. J Dairy Sci. 84: 1988-1997.