Tugas Politik

  • Uploaded by: budi wibowo
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Tugas Politik as PDF for free.

More details

  • Words: 2,919
  • Pages: 9
imperialisme ialah sebuah kebijakan di mana sebuah negara besar dapat memegang kendali atau pemerintahan atas daerah lain agar negara itu bisa dipelihara atau berkembang. Sebuah contoh imperialisme terjadi saat negara-negara itu menaklukkan atau menempati tanah-tanah itu. (Imperialisme http://id.wikipedia.org/wiki/Imperialisme)

Timbulnya Kata Imperialisme Perkataan Imperialisme muncul pertama kali di Inggris pada akhir abad XIX. Disraeli, perdana menteri Inggris, ketika itu menjelmakan politik yang ditujukan pada perluasan kerajaan Inggris hingga suatu "impire" yang meliputi seluruh dunia. Politik Disraeli ini mendapat opisisi yang kuat. Golongan oposisi takut kalau-kalau politik Disraeli itu akan menimbulkan krisis-krisis internasional. Karena itu mereka menghendaki pemusatan perhatian pemerintah pada pembangunan dalam negeri dari pada berkecipuhan dalam sola-soal luar negeri. Golongan oposisi ini disebut golongan "Little England" dan golongan Disraeli (Joseph Chamberlain, Cecil Rhodes) disebut golongan "Empire" atau golongan "Imperialisme". Timbulnya perkataan imperialis atau imperialisme, mula-mula hanya untuk membeda-bedakan golangan Disraeli dari golongan oposisinya, kemudian mendapat isi lain hingga mengandung arti seperti yang kita kenal sekarang.

Asal Mula Kata Imperialisme Perkataan imperialisme berasal dari kata Latin "imperare" yang artinya "memerintah". Hak untuk memerintah (imperare) disebut "imperium". Orang yang diberi hak itu (diberi imperium) disebut "imperator". Yang lazimnya diberi imperium itu ialah raja, dan karena itu lambat-laun raja disebut imperator dan kerajaannya (ialah daerah dimana imperiumnya berlaku) disebut imperium. Pada zaman dahulu kebesaran seorang raja diukur menurut luas daerahnya, maka raja suatu negara ingin selalu memperluas kerajaannya dengan merebut negara-negara lain. Tindakan raja inilah yang disebut imperialisme oleh orang-orang sekarang, dan kemudian ditambah dengan pengertianpengertian lain hingga perkataan imperialisme mendapat arti-kata yang kita kenal sekarang ini. wele wele

Arti Kata Imperialisme Imperialisme ialah politik untuk menguasai (dengan paksaan) seluruh dunia untuk kepentingan diri sendiri yang dibentuk sebagai imperiumnya. "Menguasai" disini tidak perlu berarti merebut dengan kekuatan senjata, tetapi dapat dijalankan dengan kekuatan ekonomi, kultur, agama dan ideologi, asal saja dengan paksaan. Imperium disini tidak perlu berarti suatu gabungan dari jajahan-jajahan, tetapi dapat berupa daerah-daerah pengaruh, asal saja untuk kepentingan diri sendiri. Apakah beda antara imperialisme dan kolonialisme ? Imperialisme ialah politik yang dijalankan mengenai seluruh imperium. Kolonilisme ialah politik yang dijalankan mengenai suatu koloni, sesuatu bagian dari imperium jika imperium itu merupakan gabungan jajahan-jajahan.

Macam Imperialisme Lazimnya imperialisme dibagi menjadi dua: 1. Imperialisme Kuno (Ancient Imperialism). Inti dari imperialisme kuno adalah semboyan gold, gospel, and glory (penyebaran agama, kekayaan dan kejayaan). Suatu negara merebut negara lain untuk menyebarkan agama, mendapatkan kekayaan dan menambah kejayaannya. Imperialisme ini berlangsung sebelum revolusi industri dan dipelopori oleh Spanyol dan Portugal. 2. Imperialisme Modern (Modern Imperialism). Inti dari imperialisme modern ialah kemajuan ekonomi. Imperialisme modern timbul sesudah revolusi industri. Industri besar-besaran (akibat revolusi industri) membutuhkan bahan mentah yang banyak dan pasar yang luas. Mereka mencari jajahan untuk dijadikan sumber bahan mentah dan pasar bagi hasil-hasil industri, kemudian juga sebgai tempat penanaman modal bagi kapital surplus. Pembagian imperialisme dalam imperialisme kuno dan imperialisme modern ini didasakan pada soal untuk apa si imperialis merebut orang lain. Jika mendasarkan pendangan kita pada sektor apa yang ingin direbut si imperialis, maka kita akan mendapatkan pembagian macam imperialisme yang lain, yaitu: 1. Imperialisme politik. Si imperialis hendak mengusai segala-galnya dari suatu negara lain. Negara yang direbutnya itu merupakan jajahan dalam arti yang sesungguhnya. Bentuk imperialisme politik ini tidak umum ditemui di zaman modern karena pada zaman modern oaham nasionalisme sudah berkembang. Imperialisme politik ini biasanya bersembunyi dalam bentuk protectorate dan mandate. 2. Imperialisme Ekonomi. Si imperialis hendak menguasai hanya ekonominya saja dari suatu negara lain. Jika sesuatu negara tidak mungkin dapat dikuasai dengan jalan imperialisme politik, maka negara itu masih dapat dikuasai juga jika ekonomi negara itu dapat dikuasai si imperialis. Imperialisme ekonomi inilah yang sekarang sangat disukai oleh negara-negara imperialis untuk menggantikan imperialisme politik. 3. Imperialisme Kebudayaan. Si imperialis hendak menguasai jiwa (de geest, the mind) dari suatu negara lain. Dalam kebudayaan terletak jiwa dari suatu bangsa. Jika kebudayaannya dapat diubah, berubahlah jiwa dari bangsa itu. Si imperialis hendak melenyapkan kebudayaan dari suatu bangsa dan menggantikannya dengan kebudayaan si imperialis, hingga jiwa bangsa jajahan itu menjadi sama atau menjadi satu dengan jiwa si penjajah. Menguasai jiwa suatu bangsa berarti mengusai segala-galnya dari bangsa itu. Imperialisme kebudayaan ini adalah imperialisme yang sangat berbahaya, karena masuknya gampang, tidak terasa oleh yang akan dijajah dan jika berhasil sukar sekali bangsa yang dijajah dapat membebaskan diri kembali, bahkan mungkin tidak sanggup lagi membebaskan diri.

4. Imperialisme Militer (Military Imperialism). Si imperialis hendak menguasai kedudukan militer dari suatu negara. Ini dijalankan untuk menjamin keselamatan si imperialis untuk kepentingan agresif atau ekonomi. Tidak perlu seluruh negara diduduki sebagai jajahan, cukup jika tempat-tempat yang strategis dari suatu negara berarti menguasai pula seluruh negara dengan ancaman militer.

Sebab-sebab Imperialisme 1. Keinginan untuk menjadi jaya, menjadi bangsa yang terbesar di seluruh dunia (ambition, eerzucht). Tiap bangsa ingin menjadi jaya. Tetapi sampai dimanakah batas-batas kejayaan itu ? Jika suatu bangsa tidak dapat mengendalikan keinginan ini, mudah bangsa itu menjadi bangsa imperialis. Karena itu dapat dikatakan, bahwa tiap bangsa itu mengandung benih imperialisme. 2. Perasaan sesuatu bangsa, bahwa bangsa itu adalah bangsa istimewa di dunia ini (racial superiority). Tiap bangsa mempunyai harga diri. Jika harga diri ini menebal, mudah menjadi kecongkakan untuk kemudian menimbulakan anggapan, bahwa merekalah bangsa teristimewa di dunia ini, dan berhak menguasai, atau mengatur atau memimpin bangsa-bangsa lainnya. 3. Hasrat untuk menyebarkan agama atau ideologi dapat menimbulkan imperialisme. Tujuannya bukan imperialisme, tetapi agama atau ideologi. Imperialisme di sini dapat timbul sebagai "bij-product" saja. Tetapi jika penyebaran agama itu didukung oleh pemerintah negara, maka sering tujuan pertama terdesak dan merosot menjadi alasan untuk membenarkan tindakan imperialisme. 4. Letak suatu negara yang diangap geografis tidak menguntungkan. Perbatasan suatu negara mempunyai arti yang sangat penting bagi politik negara. 5. Sebab-sebab ekonomi. Sebab-sebab ekonomi inilah yang merupakan sebab yang terpenting dari timbulnya imperialisme, teistimewa imperialisme modern. 1. Keinginan untuk mendapatkan kekayaan dari suatu negara 2. Ingin ikut dalam perdagangan dunia 3. Ingin menguasai perdagangan 4. Keinginan untuk menjamin suburnya industri

Akibat Imperialisme 1. Akibat politik 1. Terciptanya tanah-tanah jajahan 2. Politik pemerasan 3. Berkorbarnya perang kolonial 4. Timbulnya politik dunia (wereldpolitiek) 5. Timbulnya nasionalisme 1. Akibat Ekonomis 1. Negara imperislis merupakan pusat kekayaan, negara jajahan lembah kemiskinan 2. Industri si imperialis menjadi besar, perniagaan bangsa jajahan lenyap 3. Perdagangan dunia meluas

4. Adanya lalu-lintas dunia (wereldverkeer) 5. Kapital surplus dan penanamna modal di tanah jajahan 6. Kekuatan ekonomi penduduk asli tanah jajahan lenyap 2. Akibat sosial 1. Si imperialis hidup mewah sementara yang dijajah serba kekurangan 2. Si imperialis maju, yang dijajah mundur 3. Rasa harga diri lebih pada bangsa penjajah, rasa harga diri kurang pada bangsa yang dijajah 4. Segala hak ada pada si imperialis, orang yang dijajah tidak memiliki hak apa-apa 5. Munculnya gerakan Eropa-isasi.

Sumber : Soebantardjo, Sari Sedjarah Jilid I: Asia - Afrika, Penerbit BOPKRI, Yogyakarta 1960

Monday, November 21, 2005 (http://adamandevil.blogspot.com/2005/11/wajah-paman-sam.html) jum’at 2 Oktober 2009: pk 13:56

Wajah Paman Sam

ILLUSTRATED BY ROBBIE CONAL

TAMATNYA Perang Dingin telah mengakhiri zaman pertikaian ideologis. Namun, ia tidak menyudahi sejarah imperialisme. Satu perangkat penaklukan diganti dengan perangkat penaklukan berikutnya. Dan, sejalan dengan era kesejagatan, imperialisme bukanlah teladan masa depan, tapi contoh masa lalu.

Tahun 1895, Jepang mulai mengasah kukunya sebagai kekuatan imperialis baru dengan menyabot Taiwan dari Cina. Tahun 1905, ia memperoleh pampasan perang berupa separuh Semenanjung Sakhalin di Siberia, Semenanjung Liaotung, dan sebagian besar ekonomi Rusia di Manchuria. Tahun 1910, Jepang menganeksasi Korea. Ia juga menggasak banyak perusahaan Jerman di pesisir Pasifik dan Shantung selama Perang Dunia I. Tahun 1920, dunia menandai Jepang sebagai kekuatan imperialis besar di Asia Utara. Bagi Jepang, penaklukan wajib hukumnya, mengingat kebutuhan ekonomi Tokyo sedang tumbuh waktu itu. Pertumbuhan industri yang melampaui potensi pertanian, membutuhkan barang-barang mentah. Di benak sebagian orang Jepang, kebutuhankebutuhan itu bercampur dengan hasrat penaklukan, dominasi, dan (boleh jadi) pembalasan. Penaklukan wilayah utama tersebut tak jauh berbeda dengan operasi para bandit umumnya. Terkadang penaklukan di depan mata terjadi begitu saja, tanpa sebabsebab yang jelas. Saat dunia memasuki bagian pertama abad ke 20, rangsangan imperialisme terkait dengan ditemukannya sumber minyak bumi di Arab Saudi, Bahrain, dan Kuwait. Bentangan wilayah antara Maroko dan Irak – terletak di tepi Laut Tengah yang menghubungkan benua Asia, Afrika, dan Eropa – merupakan sumber penghasil minyak yang tiada tara. Sumber-sumber minyak tadi menguatkan nilai strategis dari aspek siasat perang, setelah raja-raja setempat menjadi kaya raya karenanya. Ketika Perang Dunia I selesai, Prancis memperoleh mandat kekuasaan di Suriah dan Lebanon, hingga menjelang akhir Perang Dunia II. Sedangkan wilayah Palestina diserahkan ke tangan Inggris. Mandat ini berakhir tatkala Israel dimaklumatkan sebagai suatu negara pada 1948, dengan mengabaikan kebencian sebagian besar pemimpin Arab dan syekh-syekh Jazirah Arab. Nama Transyordania sayup-sayup terdengar sebagai mandat Inggris, setelah negeri tersebut menjadi suatu kerajaan pada 1846. Abdullah – seorang putera dari Syarif Husein dari Hedjaz dan saudara dari Faisal – diangkat sebagai raja. Untuk sementara Faisal menjadi raja di Suriah, sampai diusir oleh Prancis dari sana. Tahun 1927, Inggris melantik dirinya sebagai raja di Irak. Di antara negeri yang dijadikan daerah mandat oleh Liga Bangsa Bangsa, Lebanon yang pertama kali memproklamasikan dirinya sebagai republik pada 1941. Irak? Irak memang tak dapat menandingi Suriah dalam hal khazanah kebudayaan, namun Irak merupakan kerajaan Arab pertama yang melepaskan diri dari cengkeraman (mandat) asing. Kemerdekaan Irak diproklamasikan pada 1930 dan mandat atasnya berakhir pada 1932. Itu pun setelah tercapai perjanjian dengan Inggris, yang menjamin pengaruh Inggris di Irak (perjanjian serupa juga diteken dengan Mesir tahun 1936) selama 25 tahun. Tapi tahun 1948, perjanjian tersebut sudah tak ditoleh lagi. Imperialisme selama Perang Dunia I mengakibatkan negeri-negeri Arab sebelah timur terpecah belah, menciptakan ethnonationalism (nasionalisme yang bercorak etnis lokal) Arab. Perlawanan terhadap imperialisme Eropa di negeri Arab bukannya tidak ada. Citacita menuju Pan-Arabisme – mempersatukan segala bangsa yang berbahasa Arab, bukan persatuan dunia Islam – jatuh bangun dipermainkan oleh berbagai kepentingan. Bahkan

usai Perang Dunia II – saat ancaman zionisme kian terasa oleh bangsa-bangsa Arab – usaha mewujudkan cita-cita tersebut bagai memahat awan. Baru pada Maret 1945 di Kairo, terbentuklah Liga Arab yang beranggotakan Mesir, Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Irak, Yaman, Lebanon, Suriah, Libya, dan Yordania. Meski demikian, dalam setiap urusan genting (seperti upaya mencegah Perang Teluk) Liga Arab selalu menghasilkan resolusi jalan buntu. Peristiwa periode Perang Dunia I dan II, diikuti robohnya Uni Soviet, memaksa Amerika Serikat tampil ke muka sebagai sebuah negara yang paling besar kekuasaannya. “… kaya, berpengaruh, dan menurut standar siapa pun sangat berhasil,” puji The Economist, majalah bergengsi dari Inggris. Bisa dimengerti, jika AS mesti pandai-pandai menyesuaikan diri dengan kemauan bangsa-bangsa lain saat berurusan. Di tengah kesadaran seperti itu, AS telah lama memandang dirinya sebagai tempat suaka bin merdeka bagi orang-orang yang tertindas dan dianiaya – dengan demikian telah menghasilkan hal-hal yang begitu baik bagi dirinya dan dunia – sehingga jika ada negeri lain yang tak bisa melihat kebaikan ini, akan mengguncang jiwa Amerika. Di mata AS, masa depan perdamaian dunia bergantung pada kapasitas imajinasi bangsa lain memahami e pluribus unum (satu milik semua). Tak heran, jika dalam hampir setiap pergolakan domestik di suatu negeri, selalu ada orang Amerika di baliknya (yang melakukan pekerjaan sebenarnya). Orang Amerika mau melakukan apa saja demi memelihara impian dan kebaikan mereka. Tapi, hanya Tuhan yang tahu betapa buruknya bangsa ini gagal dalam menggapai citacitanya; betapa menyedihkan tafsiran-tafsiran mereka dikuasai oleh prasangka-prasangka buruk; oleh obsesi-obsesi tentang patriotisme yang membutakan terhadap masa depan perdamaian dunia. Mereka dibelenggu oleh pengalaman mereka sendiri, diombangambingkan ke sana ke mari – sama seperti semua orang fana berdosa lainnya – oleh sikap berat sebelah, dogma, prasangka, ketakutan sekaligus pengharapan. Pada tahun sesudah kemenangan Perang Teluk jilid I, etos “Kita adalah nomor Satu” lahir kembali di AS. Presiden George Bush berseru mantap, ”Kita adalah pemimpin dunia yang tidak diragukan lagi.” “Masih tetap nomor satu!” begitulah tulis The New York Times kala itu. Manakala pasukan AS kembali dari Timur Tengah, bangsa ini diliputi perasaan bangga secara berlebihan, hingga mengalihkan diri secara sadar (mungkin juga tidak) dari keruwetan urusan dalam negeri. Perang itu melenakan sesaat dari soal merosotnya hubungan AS dengan Jepang, Prancis, Jerman dan negara-negara industri maju lainnya. Di sebuah negara, tempat para penguasa dan pengusaha bisa duduk semeja pada pagi hari, ketamakan memang mudah dirancukan artinya dengan patriotisme. Tambahkanlah dengan dosis kekuatan militer yang mencolok, hasilnya niscaya menohok. Untuk tujuan patriotisme, AS kini menerima Inggris, Australia, sebagai cikal bakal bersatunya energi almasih. Pada tahun menyongsong Perang Teluk jilid II, AS mencampuradukkan unsur-unsur patriotisme, kekuatan militer – ke dalam satu loyang etos “Kita adalah nomor Satu” –

dengan kecerdasan visioner dan wahyu kenabian. Perang Teluk jilid II merupakan sebuah seruan untuk bersatu kembali melawan satu kekuatan yang tak tertahankan. Maka, jika sebelumnya Kuwait sudah tahu cara berterima kasih kepada AS saat Perang Teluk jilid I, kelak dunia dibuat menyesal atas ketidakberpihakannya pada AS saat Perang Teluk jilid II. Misi bangsa ini, sebagaimana umumnya bangsa Eropa, memenuhi keinginan “Tuhan yang memihak”: Gesta Dei per Francos untuk bangsa Prancis; Gott mit uns untuk bangsa Jerman; In God we trust, umpatan yang tertera pada setiap lembaran dolar, tuhan yang maha kuasa monoteisme uang dan pasar (menurut Roger Garaudy). Eropa memang sumber kejahatan imperialisme, bukan Amerika (oya, tentu saja). Kejahatan-kejahatan Eropa terhadap bangsa-bangsa kecil di luar hukum geopolitik (Stalinisme, Hitlerisme, dan hal lain seperti ini) sudah terkenal. Tapi kejahatan-kejahatan itu tidak mengubah secuil fakta sejarah lainnya, bahwa Eropa merupakan tempat lahir Amerika; bahwa Amerika merupakan suatu perluasan peradaban Eropa; bahwa sekitar 80 persen orang-orang Amerika adalah keturunan Eropa. Jadi, apakah itu Eropa atau Amerika sama saja. Jika Eropa adalah contoh imperialis di masa lalu, Amerika adalah contoh imperialis di masa sekarang. AS sebagai penguasa sementara dunia, kini sedang bersekongkol untuk merampas minyak bumi dari Timur Tengah yang merupakan syaraf pertumbuhan Dunia Barat. Bagi mereka, tidak penting sistem apa yang akan diberlakukan supaya dapat menyelamatkan minyak Timur Tengah. Yang penting, minyak tersebut terus bisa diperoleh. Untuk memenuhi kebutuhannya, hukum-hukum internasional dan perjanjian damai direkennya sebagai kliping gombal. Sementara itu, Israel telah melancarkan program disintegrasi terhadap seluruh negara Timur Tengah. Jakarta, 7 Februari 2003

http://digilib.upi.edu/pasca/available/etd-0607106-134644/ kripsi Penulis PURNAMAN, Purnama Nurdiana, No. Panggil SSEJ PUR i-2006 URN etd-0607106-134644 Judul ITALIA IRREDENTA: PERKEMBANGAN NASIONALISME ITALIA PADA TAHUN 1870-1914 Gelar Sarjana Pendidikan Jurusan Pendidikan Sejarah Pembimbing Nama Pembimbing Fungsi Nana Supriatna Pembimbing 1 Achmad Iriyadi Pembimbing 2 Kata Kunci • • •

Nasionalisme Italia Italia Irredenta Italia 1870-1914

Tanggal Sidang 2006-03-22 Sipat Pengaksesan unrestricted Abstrak

Skripsi yang berjudul �Italia Irredenta: Perkembangan Nasionalisme Italia pada tahun 1870-1914� membahas latar belakang munculnya politik Italia Irredenta ditinjau dari kondisi sosial politik dan sosial ekonomi pada tahun 1870-1914, upaya-upaya merealisasikan Italia irredenta, hambatan dari politik Italia Irredenta, dampak Perang Dunia I terhadap Italia Irredenta, dan bentuk nasionalisme Italia pada tahun 1870-1914. Metode yang digunakan adalah metode historis dengan pendekatan interdisipliner. Pendekatan ini diharapkan bisa mendapat data yang akurat. Untuk mengumpulkan data, penulis melakukan teknik studi literatur, karena sumber-sumber sejarah yang diperoleh penulis terdiri dari buku-buku yang ditulis oleh para sejarawan dan ahli politik. Berbagai data yang diperoleh kemudian penulis melakukan kritik internal dan eksternal, sedangkan tahap selanjutnya adalah melakukan penafsiran atau interpretasi dan tahap terakhir yaitu di susun dalam bentuk tulisan atau Historiografi. Hasil penelitian menyimpulkan beberapa hal; pertama, perkembangan nasionalisme Italia melalui gerakan Italia Irredenta merupakan perkembangan dari rissorgimento, yaitu usaha-usaha penyatuan wilayah Italia setelah dipecah-pecah sejak tahun 1815 sebagai hasil dari Kongres Wina. Unifikasi Italia berhasil dibentuk pada tahun 1870, namun beberapa wilayah yang berbahasa Italia masih diduduki oleh negara asing. Gerakan Italia Irredenta ini dimotori oleh kaum irredentis yang menginginkan wilayah Italia seutuhnya berada ditangan Italia. Gerakan ini terjadi karena suatu reaksi dari rasa rissorgimento yang masih kuat. Selain itu, gerakan ini diperkuat dengan kondisi sosial politik dan ekonomi yaitu pertentangan antara partai kanan dan kiri dalam menegaskan Italia Irredenta. Pada tahun 1870-1914 yaitu era pemerintahan sayap kiri dengan kebijakan luar negerinya cenderung imperialis dan lebih berintervensi dalam politik internasional serta kurang tegas dalam Italia Irredenta. Kedua, upaya-upaya yang dilakukan dalam merealisasikan Italia Irredenta oleh beberapa daerah dengan melakukan letupan-letupan pemberontakan kecil seperti yang dilakukan oleh Oberdan, serta diplomasi dari sayap kanan melalui politik oposisi terutama menjelang Perang Dunia I. Ketiga, hambatan-hambatan muncul terutama dari pemerintahan Italia sendiri yaitu pertentangan kebijakan dalam negeri dan luar negeri yang melemahkan gerakan Irredenta. Kebijakan dalam negeri seperti, menuduh irredentis sebagai musuh pemerintahan serta kebijakan luar negeri yaitu bergabung dalam keanggotaan Triple Alliance. Keempat, dampak penting Italia Irredenta terutama menjelang Perang Dunia I yaitu berhasilnya penyatuan wilayah irredenta di bawah aturan Austria ke Italia, serta mengembangkan sikap emosi risorgimento yang lebih jauh pasca perjanjian St.Germain. Kelima, Sikap nasionalisme Italia pada tahun 1870-1914 dapat dibagi dalam dua sikap nasionalisme yaitu sikap dengan menekankan pada intervensi internasional dan sikap irredenta. Kedua sikap tersebut diklasifikasikan dalam sifat etnonasionalisme.

http://id.wikipedia.org/wiki/Kolonialisme

Kolonialisme adalah pengembangan kekuasaan sebuah negara atas wilayah dan manusia di luar batas negaranya, seringkali untuk mencari dominasi ekonomi dari sumber daya, tenaga kerja, dan pasar wilayah tersebut. Istilah ini juga menunjuk kepada suatu himpunan keyakinan yang digunakan untuk melegitimasikan atau mempromosikan sistem ini, terutama kepercayaan bahwa moral dari pengkoloni lebih hebat ketimbang yang dikolonikan. Pendukung dari kolonialisme berpendapat bahwa hukum kolonial menguntungkan negara yang dikolonikan dengan mengembangkan infrastruktur ekonomi dan politik yang dibutuhkan untuk pemodernisasian dan demokrasi. Mereka menunjuk ke bekas koloni seperti Amerika Serikat, Australia, Selandia Baru, Hong Kong dan Singapura sebagai contoh sukses pasca-kolonialisme. Peneori ketergantungan seperti Andre Gunder Frank, berpendapat bahwa kolonialisme sebenarnya menuju ke pemindahan kekayaan dari daerah yang dikolonisasi ke daerah pengkolonisasi, dan menghambat kesuksesan pengembangan ekonomi. Pengkritik post-kolonialisme seperti Franz Fanon berpendapat bahwa kolonialisme merusak politik, psikologi, dan moral negara terkolonisasi. Penulis dan politikus India Arundhati Roy berkata bahwa perdebatan antara pro dan kontra dari kolonialisme/ imperialisme adalah seperti "mendebatkan pro dan kontra pemerkosaan". Lihat juga neokolonialisme sebagai kelanjutan dari dominasi dan eksploitasi dari negara yang sama dengan cara yang berbeda (dan sering kali dengan tujuan yang sama).

Related Documents

Tugas Politik
June 2020 21
Tugas Politik
June 2020 13
Tugas Politik Ekonomi
July 2020 23
Politik
November 2019 41
Politik
June 2020 29

More Documents from ""

Tugas Politik
June 2020 21
Tugas Tokoh
June 2020 20
Okupasi
June 2020 18