TUGAS PATOLOGI KLINIK “AML, CML, ALL”
Disusun oleh:
Nama : Anindita Abriani Pirade NIM : 20160811014017
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS CENDERAWASIH 2019
AML (Acute Myeloblastic Leukemia) 1. Definisi Leukemia myeloid akut atau Acute Myeloblastic Leukemia (AML) sering juga dikenal dengan istilah Acute Myelogenous Leukemia atau Acute Granulocytic Leukemia merupakan penyakit keganasan yang ditandai dengan diferensiasi dan proliferasi abnormal sel induk hematopoetik yang bersifat sistemik dan secara malignan melakukan transformasi sehingga menyebabkan penekanan dan penggantian komponen sumsum tulang belakang yang normal. Pada kebanyakan kasus AML, tubuh memproduksi terlalu banyak sel darah putih yang disebut myeloblas yang masih bersifat imatur. Sel-sel darah yang imatur ini tidak sebaik sel darah putih yang telah matur dalam melawan adanya infeksi. Pada AML, mielosit (yang dalam keadaan normal berkembang menjadi granulosit) berubah menjadi ganas dan dengan segera akan menggantikan sel-sel normal di sumsum tulang. 2. Klasifikasi AML terbagi atas berbagai macam subtipe. Hal ini berdasarkan morfologi, diferensiasi dan maturasi sel leukemia yang dominan dalam sumsum tulang, serta penelitian sitokimia. Mengetahui subtipe AML sangat penting, karena dapat membantu dalam memberikan terapi yang terbaik. Klasifikasi AML yang sering digunakan adalah klasifikasi yang dibuat oleh French American British (FAB) yang mengklasifikasikan leukemia mieloid akut menjadi 7 subtipe yaitu sebagai berikut
Subtipe Menurut FAB
Nama Lazim
(French American British)
( % Kasus)
MO
LEUKEMIA
Mieloblastik
diferensiasi Minimal (3%)
Akut
dengan
M1
M2
LEUKEMIA Mieloblastik Akut tanpa maturasi (15-20%) LEUKEMIA
Mieloblastik
Akut
dengan
maturasi granulositik (25-30%)
M3
LEUKEMIA Promielositik Akut
M4
LEUKEMIA Mielomonositik Akut (20%)
M4Eo
(5-10%)
LEUKEMIA Mielomonositik Akut dengan eosinofil abnormal (5-10%)
M5
LEUKEMIA Monositik Akut (2-9%)
M6
EritroLEUKEMIA (3-5%)
M7
LEUKEMIA Megakariositik Akut
Tabel 1. Klasifikasi AML menurut FAB 7
(3-12%)
Gambar 1. Gambaran Hasil BMA pada AML 3. Epidemiologi Kejadian AML berbeda dari satu negara dengan negara lainnya, hal ini berkaitan dengan cara diagnosis dan pelaporannya. AML mengenai semua kelompok usia, tetapi kejadiannya meningkat dengan bertambahnya usia. AML merupakan 20% kasus leukemia pada anak. Sekitar 10.000 anak menderita AML setiap tahunnya di seluruh dunia. AML pada anak berjumlah kirakira 15% dari LEUKEMIA, dengan insidensi yang tetap dari lahir sampai umur 10 tahun, meningkat sedikit pada masa remaja. Di Amerika setiap tahunnya sekitar 2,4 per 100.000 penduduk atau sekitar 500 sampai 600 orang berusia kurang dari 21 tahun menderita leukemia mielositik akut dan insiden ini meningkat sejalan dengan umur, puncaknya 12,6 per 100.000 penduduk dewasa yang berumur 65 tahun atau lebih.
Yayasan Onkologi Anak Indonesia
menyatakan, setiap tahun ditemukan 650 kasus leukemia di seluruh Indonesia, 150 kasus di antaranya terdapat di Jakarta dan sekitar 38% menderita jenis AML. Sekitar 80% anak di bawah usia 2 tahun dengan AML biasanya menderita AML subtipe M4 atau M5. Subtipe M7 umumnya diderita anak berusia di bawah 3 tahun, terutama dengan Sindrom Down. Penelitian sitogenetik mengidentifikasi adanya keabnormalan kromosom pada sel darah di sumsum tulang terdapat lebih dari 70% anak yang baru didiagnosis LMA. Keabnormalan itu terletak pada t (8;21), t (15;17), inversi 16, translokasi pita 11q23, dan trisomi 8.
4. Etiologi Penyebab leukemia masih belum diketahui secara pasti hingga kini. Menurut hasil penelitian, orang dengan faktor risiko tertentu lebih meningkatkan risiko timbulnya penyakit leukemia. Faktor risiko tersebut adalah: Radiasi dosis tinggi : Radiasi dengan dosis sangat tinggi, seperti waktu bom atom di Jepang pada masa perang dunia ke-2 menyebabkan peningkatan insiden penyakit ini. Terapi medis yang menggunakan radiasi juga merupakan sumber radiasi dosis tinggi. Sedangkan radiasi untuk diagnostik (misalnya rontgen), dosisnya jauh lebih rendah dan tidak berhubungan dengan peningkatan kejadian leukemia. Pajanan terhadap zat kimia tertentu : benzene, formaldehida, pestisida Obat
–
obatan
:
golongan
alkilasi
(sitostatika),
kloramfenikol,
fenilbutazon,
heksaklorosiklokeksan Kemoterapi : Pasien kanker jenis lain yang mendapat kemoterapi tertentu dapat menderita leukemia di kemudian hari. Misalnya kemoterapi jenis alkylating agents. Namun pemberian kemoterapi jenis tersebut tetap boleh diberikan dengan pertimbangan rasio manfaat-risikonya. Faktor keluarga / genetik : pada kembar identik bila salah satu menderita AML maka kembarannya berisiko menderita leukemia pula dalam 5 tahun, dan insiden leukemia pada saudara kandung meningkat 4 kali bila salah satu saudaranya menderita AML. Sindrom Down : Sindrom Down dan berbagai kelainan genetik lainnya yang disebabkan oleh kelainan kromosom dapat meningkatkan risiko kanker. Kondisi perinatal : penyakit ginjal pada ibu, penggunaan suplementasi oksigen, asfiksia post partum, berat badan lahir >4500 gram, dan hipertensi saat hamil dan ibu hamil yang mengkonsumsi alkohol. Human T-Cell Leukemia Virus-1 (HTLV-1). Virus tersebut menyebabkan leukemia T-cell yang jarang ditemukan. Jenis virus lainnya yang dapat menimbulkan leukemia adalah retrovirus dan virus leukemia feline. Sindroma mielodisplastik : sindroma mielodisplastik adalah suatu kelainan pembentukkan sel darah yang ditandai berkurangnya kepadatan sel (hiposelularitas) pada sumsum tulang. Penyakit ini sering didefinisikan sebagai pre-leukemia. Orang dengan kelainan ini berisiko tinggi untuk berkembang menjadi leukemia.
5. Patofisiologi AML merupakan penyakit dengan transformasi maligna dan perluasan klon-klon sel-sel hematopoetik yang terhambat pada tingkat diferensiasi dan tidak bisa berkembang menjadi bentuk yang lebih matang. Sel darah berasal dari sel induk hematopoesis pluripoten yang kemudian berdiferensiasi menjadi induk limfoid dan induk mieloid (non limfoid) multipoten. Sel induk limfoid akan membentuk sel T dan sel B, sel induk mieloid akan berdiferensiasi menjadi sel eritrosit, granulosit-monosit dan megakariosit. Pada setiap stadium diferensiasi dapat terjadi perubahan menjadi suatu klon leukemik yang belum diketahui penyebabnya. Bila hal ini terjadi maturasi dapat terganggu, sehingga jumlah sel muda akan meningkat dan menekan pembentukan sel darah normal dalam sumsum tulang. Sel leukemik tersebut dapat masuk kedalam sirkulasi darah yang kemudian menginfiltrasi organ tubuh sehingga menyebabkan gangguan metabolisme sel dan fungsi organ. AML merupakan neoplasma uniklonal yang menyerang rangkaian mieloid dan berasal dari transformasi sel progenitor hematopoetik. Sifat alami neoplastik sel yang mengalami transformasi yang sebenarnya telah digambarkan melalui studi molekular tetapi defek kritis bersifat intrinsik dan dapat diturunkan melalui progeni sel.22 Defek kualitatif dan kuantitatif pada semua garis sel mieloid, yang berproliferasi pada gaya tak terkontrol dan menggantikan sel normal. Sel-sel leukemik tertimbun di dalam sumsum tulang, menghancurkan dan menggantikan sel-sel yang
menghasilkan
sel
darah
yang
normal.
Sel kanker ini kemudian dilepaskan ke dalam aliran darah dan berpindah ke organ lainnya, dimana
mereka
melanjutkan
pertumbuhannya
dan
membelah
diri.
Mereka bisa membentuk tumor kecil (kloroma) di dalam atau tepat dibawah kulit dan bisa menyebabkan meningitis, anemia, gagal hati, gagal ginjal dan kerusakan organ lainnya. Kematian pada penderita leukemia akut pada umumnya diakibatkan penekanan sumsum tulang yang cepat dan hebat, akan tetapi dapat pula disebabkan oleh infiltrasi sel leukemik tersebut ke organ tubuh penderita.
6. Gejala Klinis Gejala pertama biasanya terjadi karena sumsum tulang gagal menghasilkan sel darah yang normal dalam jumlah yang memadai. Gejala pasien leukemia bevariasi tergantung dari jumlah sel abnormal dan tempat berkumpulnya sel abnormal tersebut. Adapun gejala-gejala umum yang dapat ditemukan pada pasien AML antara lain: a. Kelemahan Badan dan Malaise Merupakan keluhan yang sangat sering diketemukan oleh pasien, rata-rata mengeluhkan keadaan ini sudah berlangsung dalam beberapa bulan. Sekitar 90 % mengeluhkan kelemahan badan dan malaise waktu pertama kali ke dokter. Rata-rata didapati keluhan ini timbul beberapa bulan sebelum simptom lain atau diagnosis AML dapat ditegakkan. Gejala ini disebabkan anemia, sehingga beratnya gejala kelemahan badan ini sebanding dengan anemia. b. Febris Febris merupakan keluhan pertama bagi 15-20 % penderita. Seterusnya febris juga didapatkan pada 75 % penderita yang pasti mengidap AML. Umumnya demam ini timbul karena infeksi bakteri akibat granulositopenia atau netropenia. Pada waktu febris juga didapatkan gejala keringat malam, pusing, mual dan tanda-tanda infeksi lain. c. Perdarahan Simptom lain yang sering disebabkan adalah fenomena perdarahan, dimana penderita mengeluh sering mudah gusi berdarah, lebam, petechiae, epitaksis, purpura dan lain-lain. Beratnya keluhan perdarahan berhubungan erat dengan beratnya trombositopenia. 27 d. Penurunan berat badan Penurunan berat badan didapatkan pada 50 % penderita tetapi penurunan berat badan ini tidak begitu hebat dan jarang merupakan keluhan utama. Penurunan berat badan juga sering bersama-sama gejala anoreksia akibat malaise atau kelemahan badan.
e. Nyeri tulang Nyeri tulang dan sendi didapatkan pada 20 % penderita AML. Rasa nyeri ini disebabkan oleh infiltrasi sel-sel leukemik dalam jaringan tulang atau sendi yang mengakibatkan terjadi infark tulang. Sedangkan tanda-tanda yang didapatkan pada pemeriksaan fisik pasien AML: a. Kepucatan, takikardi, murmur Pada pemeriksaan fisik, simptom yang jelas dilihat pada penderita adalah pucat karena adanya anemia. Pada keadaan anemia yang berat, bisa didapatkan simptom kaardiorespirasi seperti sesak nafas, takikardia, palpitasi, murmur, sinkope dan angina. b. Pembesaran organ-organ Walaupun jarang didapatkan dibandingkan ALL, pembesaran massa abnomen atau limfonodi bisa terjadi akibat infiltrasi sel-sel leukemik pada penderita AML. Splenomegali lebih sering didapatkan daripada hepatomegali. Hepatomegali jarang memberikan gejala begitu juga splenomegali kecuali jika terjadi infark. c. Kelainan kulit dan hipertrofi gusi Deposit sel leukemik pada kulit sering terjadi pada subtipe AML tertentu, misalnya leukemia monoblastik (FAB M5) dan leukemia mielomonosit (FAB M4). Kelainan kulit yang didapatkan berbentuk lesi kulit, warna ros atau populer ungu, multiple dan general, dan biasanya dalam jumlah sedikit. Hipertrofi gusi akibat infiltrasi sel-sel leukemia dan bisa dilihat pada 15 % penderita varian M5b, 50 % M5a dan 50 % M4. Namun hanya didapatkan sekitar 5 % pada subtipe AML yang lain. 7. Diagnosis Diagnosis AML dapat ditegakkan melalui pemeriksaan darah rutin, sediaan darah tepi dan dibuktikan aspirasi sumsum tulang belakang, pemeriksaan immnunophenotype, karyotype,
atau dengan Polymerase Chain Reaction (PCR). Aspirasi sumsum tulang belakang (Bone Marrow Aspiration) merupakan syarat mutlak untuk menegakkan diagnosa definitif dan menentukan jenis leukemia akut. Pemeriksaan
immunophenotypic
sangat
penting
untuk
mendiagnosis
acute
megakaryoblastic leukemia (AMLK), leukemia myeloid dengan diferensiasi minimal dan leukemia myeloid/limpoid (mixed, biphenotype). Keabnormalan genetik pada pasien AML terlihat dalam tabel berikut :
Tabel 2. Keabnormalan Genetik pada Berbagai Subtipe AML 8. Terapi Penatalaksanaan pasien AML adalah berupa terapi suportif, simptomatis dan kausatif. Terapi suportif dilakukan untuk menjaga balance cairan melalui infus dan menaikkan kadar Hb pasien melalu tranfusi. Pada AML, terapi suportif tidak menunjukkan hasil yang memuaskan.
Sedangkan terapi simptomatis diberikan untuk meringankan gejala klnis yang muncul seperti pemberian penurun panas. Yang paling penting adalah terapi kausatif, dimana tujuannya adalah menghancurkan sel-sel leukemik dalam tubuh pasien AML. Terapi kausatif yang dilakukan yaitu kemoterapi. Penatalaksanaan terapi AML pada anak telah digunakan sejak tahun 1970an. Angka Five years survival meningkat dari kurang dari 5% pada tahun 1970 menjadi 43% sekarang ini. Hal ini merupakan manfaat dari pengobatan intensif, gabungan dari transplantasi stem sel sebagai terapi primer dan adanya perawatan suportif. Anak yang menderita AML memerlukan terapi intensif dengan menekan produksi sumsum tulang dan perawatan di rumah sakit. Terapi yang pertama kali dilakukan adalah menangani keadaan seperti demam, infeksi, perdarahan, leukositosis dan sindrom tumor lisis. Kemajuan terapi juga ditentukan oleh penggunaan antibiotik spektrum luas segera dan transfusi trombosit sebagai profilaksis juga memegang peranan penting dalam upaya survival. Berdasarkan terapi yang sesuai protokol, penderita AML pada anak dapat mengalami angka remisi total sebesar 75-90%. Pada beberapa pasien yang tidak berhasil mengalami remisi, setengah populasinya akan mengalami leukemia resistan dan separuhnya lagi akan meninggal akibat komplikasi penyakit tersebut atau akibat efek samping pengobatan itu sendiri. Terapi AML merupakan kombinasi antara cytarabine dan daunorubicin. Biasanya regimen terapi untuk anak digunakan cytarabine dan anthracyclin yang dikombinasikan dengan agen lain seperti etoposide dan atau thioguanine. Anthracycline yang paling banyak digunakan untuk terapi AML pada anak adalah daunorubicin. 1 Berbagai penelitian mengungkapkan bahwa Regimen Cytosine arabinase, Daunorubicin, & Etoposide (ADE) lebih memberikan hasil yang memuaskan daripada regimen Daunorubisin, Cytosine arabinase & Thioguanine (DAT).
Tabel 3. Dosis Kemoterapi
Tantangan paling besar dalam terapi AML pada anak adalah untuk memperpanjang durasi remisi inisial dengan kemoterapi atau transplantasi sumsum tulang. Pada prakteknya, kebanyakan pasien yang diterapi dengan kemoterapi intensif setelah remisi dicapai karena hanya sebagian subset yang cocok dengan donor keluarga. Setelah tercapai remisi, diberikan kemoterapi tambahan (kemoterapi konsolidasi) beberapa minggu atau beberapa bulan setelah kemoterapi induksi. Kemoterapi konsolidasi jangka pendek telah membuktikan bahwa terapi dosis tinggi dan ASCT (Autologous Stem Cell Transplantation) cukup efektif. Pencangkokan tulang bisa dilakukan pada penderita yang tidak memberikan respon terhadap pengobatan dan pada penderita usia muda yang pada awalnya memberikan respon terhadap pengobatan. Pada AML terapi rumatan tidak menunjukkan hasil yang memuaskan. Pasien dengan keganasan memiki kondisi dan kelemahan, yang apabila diberikan kemoterapi dapat terjadi efek samping yang tidak diinginkan (untolerable side effect). Sebelum memberikan kemoterapi perlu pertimbangan sebagai berikut: 1. Menggunakan kriteria Eastern Cooperative Oncology Group (ECOG) yaitu status penampilan ≤ 2 2. Jumlah lekosit ≥ 3000/ml 3. Jumlah trombosit ≥120.0000/ul 4. Cadangan sumsum tulang masih adekuat misal Hb > 10 5. Creatinin Clearence diatas 60 ml/menit (dalam 24 jam) 6. Bilirubin < 2 mg/dl ,SGOT dan SGPT dalam batas normal 7. Elektrolit dalam batas normal. 8. Mengingat toksisitas obat-obat sitostatika sebaiknya tidak diberikan pada usia diatas 70 tahun. Kemoterapi pada AML sering menimbulkan efek samping yang bervariasi tiap individu antara lain rambut rontok, mulut kering, luka pada mulut (stomatitis), susah atau sakit menelan (esophagitis), mual, muntah, diare, konstipasi, kelelahan, pendarahan, lebih mudah terkena infeksi, infertilitas, hilangnya nafsu makan, dan kerusakan hati. Pasien AML hanya memberikan respon terhadap obat tertentu dan pengobatan seringkali membuat penderita lebih sakit sebelum mereka membaik. Penderita menjadi lebih sakit karena pengobatan menekan aktivitias sumsum
tulang, sehingga jumlah sel darah putih semakin sedikit (terutama granulosit) dan hal ini menyebabkan penderita mudah mengalami infeksi. 9. Prognosis Lowenberg et al mengelompokkan prognosis pasien AML menjadi 3 kelompok berdasarkan temuan klinis dan laboratoris yaitu baik (favorable), menengah (intermediate) dan buruk (unfavorable). Kelompok dengan prognosis baik meliputi pasien usia < 60 tahun atau > 2 tahun, kelainan kromosomal minimal, infiltrasi sel blas multiorgan minimal, kadar leukosit < 20.000/mm3, respon yang baik terhadap kemoterapi induksi, tidak resisten terhadap multidrug therapy, tidak ditemukan leukemia ekstramedullar dan leukemia sekunder. Angka harapan hidup 2 tahun kedepan (2 years survival rate) bagi kelompok ini adalah 50-85%. Sedangkan kelompok dengan prognosis buruk meliputi pasien usia > 60 tahun atau < 2 tahun, ditemukan dua atau lebih kelainan kromosomal, infiltrasi sel blas pada banyak organ, kadar leukosit > 20.000/mm3, respon yang buruk terhadap kemoterapi induksi, resisten terhadap multidrug therapy, serta ditemukannya leukemia ekstramedullar dan leukemia sekunder. Angka harapan hidup 2 tahun kedepan (2 years survival rate) bagi kelompok ini adalah 10-20%. Sedangkan kelompok dengan prognosis menengah adalah peralihan dari baik dan buruk dan mencakup faktor-faktor lain yang tidak termasuk dalam kelompok prognosis baik maupun buruk dengan angka harapan hidup 2 tahun kedepan (2 years survival rate) sekitar 40-50% .
Tabel 4. Prognosis AML
CML (Chronic Myeloid Leukemia)
1.
Definisi Leukemia adalah penyakit neoplastik yang ditandai dengan diferensiasi dan proliferasi sel induk hematopoietik yang mengalami transformasi dan ganas, menyebabkan supresi dan penggantian elemen sumsum normal. Leukemia dibagi menjadi 2 tipe umum: leukemia limfositik dan leukemia mieloid (Guyton and Hall, 2007). Leukemia mieloid kronik (LMK) atau chronic myeloid leukemia (CML) merupakan leukemia kronik, dengan gejala yang timbul perlahan-lahan dan sel leukemianya berasal dari transformasi sel induk mieloid. CML termasuk kelainan klonal (clonal disorder) dari sel induk pluripoten dan tergolong sebagai salah satu kelainan mieloproliferatif. Nama lain untuk leukemia myeloid kronik, yaitu chronic myelogenous leukemia dan chronic myelocytic leukemia. (I Made, 2006). Atul & Victor (2005) menambahkan bahwa CML yang merupakan gangguan mieloproliferatif klonal ini ditandai dengan peningkatan neutrofil dan prekusornya pada darah perifer dengan peningkatan selularitas sumsum tulang akibat kelebihan prekusor granulosit.
2
Etiologi Etiologi CML masih belum diketahui. Menurut Jorge et al., (2010) Beberapa asosiasi menghubungkannya dengan faktor genetik dan faktor lingkungan, tetapi di kebanyakan kasus, tidak ada faktor yang dapat di identifikasikan. Agung (2010) mengungkapkan bahwa ada dua faktor yang menyebabkan CML, yaitu faktor instrinsik (host) dan faktor ekstrinsik (lingkungan). a. Faktor Instrinsik 1. Keturunan dan Kelainan Kromosom Leukemia tidak diwariskan, tetapi sejumlah individu memiliki faktor predisposisi untuk mendapatkannya. Risiko terjadinya leukemia meningkat pada saudara kembar identik penderita leukemia akut, demikian pula pada suadara lainnya, walaupun jarang. Pendapat ini oleh Price atau Wilson (1982) yang menyatakan jarang ditemukan leukemia Familial, tetapi insidensi leukemia terjadi lebih tinggi pada
saudara kandung anak-anak yang terserang dengan insiden yang meningkat sampai 30 % pada kembar identik (monozigot), (Agung ,2010). Kejadian leukemia meningkat pada penderita dengan kelainan fragilitas kromosom (anemia fancori) atau pada penderita dengan jumlah kromosom yang abnormal seperti pada sindrom Duwa, sindrom klinefelter dan sindrom turner. 2. Defisiensi Imun dan Defisiensi Sumsum Tulang Sistem imunitas tubuh kita memiliki kemampuan untuk mengidentifikasi sel yang berubah menjadi sel ganas. Gangguan pada sistem tersebut dapat menyebabkan beberapa sel ganas lolos dan selanjutnya berproliferasi hingga menimbulkan penyakit. Hipoplasia dari sumsum tulang mungkin sebagai penyebab leukemia (Agung ,2010). b. Faktor Ekstrinsik 1. Faktor Radiasi Adanya efek leukemogenik dan ionisasi radiasi, dibuktikan dengan tingginya insidensi leukemia pada ahli radiologi (sebelum ditemukan alat pelindung), penderita dengan pembesaran kelenjar tymus, Ankylosing spondilitis dan penyakit Hodgkin yang mendapat terapi radiasi. Diperkirakan 10 % penderita leukemia memiliki latar belakang radiasi Sebelum proteksi terhadap sinar rutin dilakukan, ahli radiologi mempunyai risiko menderita leukemia 10 kali lebih besar. Penduduk Hiroshima dan Nagasaki yang hidup sesudah ledakan bom atom tahun 1945 mempunyai insidensi LMA dan LMK sampai 20 kali lebih banyak. Demikian pula pada penderita ankylosing spondilitis yang diobati dengan sindar radioaktif lebih dari 2000 rads mempunyai insidensi LMA 14 kali lebih banyak (Agung ,2010). 2. Bahan Kimia dan Obat-obatan Bahan-bahan kimia terutama Hydrokarbon sangat berhubungan dengan leukemia akut pada binatang dan manusia. Remapasan Benzen dalam jumlah besar dan berlangsung lama dapat menimbulkan leukemia. Penelitian Akroy et al (1976) telah membuktikan bahwa pekerja pabrik sepatu di Turki yang kontak lama dengan benzen dosis tinggi banyak yang menderita LMA . Kloramfenikol dan fenilbutazon diketahui menyebabkan anemia aplastik berat, tidak jarang
diketahui dikahiri dengan leukemia, demikian juga dengan Arsen dan obat-obat imunosupresif (Agung ,2010). 3. Infeksi Virus Virus menyebabkan leukemia pada beberapa dirating percobaan di laboratorium. Peranan virus dalam timbulnya leukemia pada manusia masih dipertanyakan. Diduga yang ada hubungannya dengan leukemia adalah Human T-cell leukemia virus (HTLV-1), yaitu suatu virus RNA yang mempunyai enzim RNA transkriptase yang bersifat karsinogenik(Agung ,2010). Beberapa virus tertentu sudah dibuktikan menyebabkan leukemia pada binatang. Timbulnya leukemia dipengaruhi antara lain oleh umur, jenis kelamin, strain virus, faktor imunologik serta ada tidaknya zat kimia dan sinar radioaktif. Sampai sekarang tidak atau belum dapat dibuktikan bahwa penyebab leukemia pada manusia adalah virus. Walaupun demikian ada beberapa hasil penelitian yang menyokong teori virus sebagai penyebab leukemia, antara lain enzyme reverse transcriptase ditemukan dalam darah penderita leukemia. Seperti diketahui enzim ini ditemukan di dalan virus onkogenik seperti retrovirus tipeC, yaitu jenis virus RNA yang menyebabkan leukemia pada binatang (Agung ,2010). 3
Patofisiologi
Pada orang normal, tubuh mempunyai tiga jenis sel darah yang matur 1. Sel darah merah, yang berfunsi untuk mengangkut O2 masuk ke dalam tubuh dan
mengeluarkan CO2 dari dalam tubuh keluar lewat paru 2. Sel darah putih, yang berfungsi untuk melawan infeksi dan sebagai pertahanan tubuh 3. Trombosit, yang befungsi untuk mengontrol faktor pembekuan di dalam darah
Sel-sel darah yang belum menjadi matur (matang) disebut sel-sel induk (stem cells) dan blasts. Kebanyakan sel-sel darah menjadi dewasa didalam sumsum tulang dan kemudian bergerak kedalam pembuluh-pembuluh darah. Darah yang mengalir melalui pembuluh-pembuluh darah dan jantung disebut peripheral blood (Sherwood,2001). Tetapi pada orang dengan Chronic Myelogenous Leukemia(CML), proses terbentuknya
sel darah terutama sel darah putih di sumsum tulang mengalami kelainan atau mutasi. Hal ini disebabkan karena kromosom 9 dan kromosom 22 (Hoffbrand, 2005). Diagnosis CML dapat ditegakkan dengan adanya kromosom Philadelphia (Ph) yang khas,
terdapat
pada
kromosom
22
yang
abnormal.
Terjadinya
translokasi
t(9;22)(q34;q11) antara kromosom 9 dan 22. Hal ini diakibatkan dari proses protoonkogen Abelson (ABL) di kromosom 9 dipindahkan pada gen Break Cluster Region (BCR) di kromosom 22 dan sebaliknya, bagian kromosom 22 pindah ke kromosom 9 (Hoffbrand, 2005). Gen BCR-ABL pada kromosom Ph menyebabkan proliferasi yang berlebihan sel induk pluripoten pada system hematopoiesis. Pada klon ini selain proliferasiny ayang berlebihan, juga dapat bertahan hidup lebih lama dibandingkan sel nirmal, karena gen BCR-ABL juga bersifat anti-apoptosis. Dampak kedua mekanisme ini adalah terbentuknya klon-klon abnormal yang akhirnya mendesak system hematopoiesis yang lainnya (Fadjari, 2006). Protein yang normal mempunyai aktivitas tirosin kinase 145 kD (Hoffbrand,2005). Akan tetapi pada CML akan terjadi perubahan struktur, sehingga akan mengakibatkan perubahan. Terdapat 3 tipe perubahan pada gen BCR-ABL(Fadjari, 2006): 1. Perubanan terjadi pada gen BCR di daerah e13-e14 pada ekson 2 yang dikenal sebagai major break cluster region (M-bcr). Gen BCR-ABL akan mensintesis protein dengan berat molekul 210 kD, selanjutnya ditulis dengan p 210BCR-ABL. Pada pasien terdapat trombositopenia 2. Perubahan terjadi pada gen BCR di daerah 54,4-kb atau el yang dikenal dengan minor break cluster region (m-bcr) dan mensintesa p 190, yang dapat mengakibatkan monositosis yang prominen pada pasien 3. Perubahan terjadi pada gen BCR di daerah e19-e20, dikenal sebagai micro break cluster region (μ-bcr), yang selanjutnya akan terbentuk p230 yang dapat mengakibatkan netrofilia dan/atau trombositosis. Mekanisme terbentuk dan waktu yang dibutuhkan untuk membentuk Ph menjadi CML dengan gejala klinis yang jelas masih belum diketahui secara pasti. Beberapa ahli berpendapat akibat pengaruh radiasi, sedangkan yang lain berpendapat karena pengaruh mutasi spontan (Fadjari, 2006).
4. Klasifikasi Menurut Victor et al., (2005) leukemia myeloid kronik (CML) dapat diklasifikasikan sebagai berikut: a. Leukemia myeloid kronik, Ph positif (CML, Ph+) (leukemia granulositik kronik, CGL). b. Leukemia mieloid kronik, Ph negative (CML, Ph-) c. Leukemia myeloid kronik juvenilis d. Leukemia netrofilik kronik e. Leukemia eosinofilik f. Leukemia mielomonositik kronik (CMML) Tetapi, sebagian besar (>95%) CML tergolong sebagai CML, Ph+ (I Made, 2006). Perjalanan penyakit CML, menurut I Made (2006); Agung (2010)dibagi menjadi beberapa fase, yaitu: 1. Fase Kronik : pada fase ini pasien mempunyai jumlah sel blast dan sel premielosit kurang dari 5% di dalam darah dan sumsum tulang. Fase ini ditandai dengan over produksi granulosit yang didominasi oleh netrofil segmen. Pasien mengalami gejala ringan dan mempunyai respon baik terhadap terapi konvensional. 2. Fase Akselerasi atau transformasi akut : fase ini sangat progresif, mempunyai lebih dari 5% sel blast namun kurang dari 30%. Pada fase ini leukosit bisa mencapai 300.000/mmk dengan didominasi oleh eosinofil dan basofil. Sel yang leukemik mempunyai kelainan kromosom lebih dari satu (selain Philadelphia kromosom). 3. Fase Blast (Krisis Blast) : pada fase ini pasien mempunyai lebih dari 30% sel blast pada darah serta sumsum tulangnya. Sel blast telah menyebar ke jaringan lain dan organ diluar sumsum tulang. Pada fase ini penyakit ini berubah menjadi Leukemia Myeloblastik Akut atau Leukemia Lympositik Akut. Kematian mencapai 20%.
5.
Manifestasi Klinis Manifestasi klinis CML, menurut I Made (2006) dan Victoret al., (2005) tergantung pada fase yang kita jumpai pada penyakit tersebut, yaitu : a.
Fase kronik terdiri atas : 1. Gejala hiperkatabolik : berat badan menurun, lemah, anoreksia, berkeringat pada malam hari.
2. Splenomegali hampir selalu ada, sering massif. 3. Hepatomegali lebih jarang dan lebih ringan. 4. Gejala gout atau gangguan ginjal yang disebabkan oleh hiperurikemia akibat pemecahan purin yang berlebihan dapat menimbulkan masalah. 5. Gangguan penglihatan dan priapismus. 6. Anemia pada fase awal sering tetapi hanya ringan dengan gambaran pucat, dispneu dan takikardi. 7. Kadang-kadang asimtomatik, ditemukan secara kebetulan pada saat check up atau pemeriksaan untuk penyakit lain. b. Fase transformasi akut terdiri atas : Perubahan terjadi perlahan-lahan dengan prodormal selama 6 bulan, di sebut sebagai fase akselerasi. Timbul keluhan baru, antara lain : demam, lelah, nyeri tulang (sternum) yang semakin progresif. Respons terhadap kemoterapi menurun, lekositosis meningkat dan trombosit menurun (trombosit menjadi abnormal sehingga timbul perdarahan di berbagai tempat, antara lain epistaksis, menorhagia).
c. Fase Blast(Krisis Blast) : Pada sekitar 1/3 penderita, perubahan terjadi secara mendadak, tanpa didahului masa prodormal keadaan ini disebut krisis blastik (blast crisis). Tanpa pengobatan adekuat penderita sering meninggal dalam 1-2 bulan.
6.
Pemeriksaan Penunjang I Made (2006) memaparkan beberapa pemeriksaan penunjang untuk CML, yaitu : a) Laboratorium 1.
Darah rutin : a.
Anemia mula-mula ringan menjadi progresif pada fase lanjut (fase transformasi akut), bersifat normokromik normositer.
b. 2.
Hemoglobin : dapat kurang dari 10 g/100 m.
Gambaran darah tepi :
Leukositosis berat 20.000-50.000/mm3 pada permulaan kemudian biasanya
a.
lebih dari 100.000/mm3. b.
Menunjukkan spectrum lengkap seri granulosit mulai dari mieloblast sampai netrofil, komponen paling menonjol adalah segmen netrofil (hipersegmen) dan mielosit. Metamielosit, promielosit, dan mieloblast juga dijumpai. Sel blast < 5%. Sel darah merah bernukleus.
c.
Jumlah basofil dalam darah meningkat.
d.
Trombosit bisa meningkat, normal atau menurun. Pada fase awal lebih sering meningkat.
e.
Fosfatase alkali netrofil (neutrophil alkaline phosphatase) selalu rendah.
b) Gambaran sumsum tulang a. Hiperseluler dengan system granulosit dominan. Gambarannya mirip dengan apusan darah tepi. Menunjukkan spektrum lengkap seri myeloid, dengan komponen paling banyak ialah netrofil dan mielosit. Sel blast kurang dari 30 %. Megakariosit pada fase kronik normal atau meningkat. b. Sitogenik : di jumpai adanya Philadelphia (Ph1) kromosom pada 95 % kasus. c. Vitamin B12 serum dan B12 binding capacity meningkat. d. Kadar asam urat serum meningkat. e. Pemeriksaan PCR (polymerase chain reaction) dapat mendeteksi adanya chimeric protein bcr-abl pada 99% kasus (I Made, 2006).
c) Pemeriksaan Penunjang Lain Menurut Agung (2010), ada beberapa pemeriksaan penunjang lain untuk penyakit CML, antara lain: a. Biopsi sumsum tulang : SDM abnormal biasanya lebih dari 50 % atau lebih dari SDP pada sumsum tulang. Sering 60% - 90% dari blast, dengan prekusor eritroid, sel matur, dan megakariositis menurun. b. Foto dada dan biopsi nodus limfe : dapat mengindikasikan derajat keterlibatan. c. David et al., (2009) menambahkan pemeriksaan lain, yaitu tes untuk mendeteksi adanya kromosom Philadelphia.
7.
Diagnosis Banding Pemeriksaan darah tepi dan sumsung tulang merupakan situasi klinis yang dapat menegakkan diagnosis adanya CML, pada beberapa pasien CML kadang tidak ditemukan kromosom Ph. Sehingga di butuhkan suatu standar untuk menegakkan suatu diagnosis. - Diagnosis CML dalam fase akselerasi menurut WHO : 1.
Blast 10-19% dari WBC pada darah tepi dan atau dari sel sumsum tulang berinti.
2. Basofil darah tepi >20%. 3. Thrombositopenia persisten (<100x109/L) yang tidak dihubungkan dengan terapi, atau thrombositosis (>1000x109/L) yang tidak responsif terhadap terapi. 4. Peningkatan ukuran lien atau WBC yang tidak responsif pada terapi. 5. Bukti sitogenik evolusi klonal (I Made, 2006). - Diagnosis CML pada fase krisis blastik menurut WHO : 1. Blast >20% dari darah putih pada darah perifer atau sel sumsum tulang berinti. 2. Proliferasi blast ekstrameduler. 3. Fokus besar atau cluster sel blast dalam biopsi sumsum tulang (I Made,2006). Diagnosis banding pada fase kronis adalah trombositosis esensial, pada trombositosis ditemukan adanya fosfatase normal atau meningkat sedangkan CML selalu rendah dan tidak ditemukannya Ph kromosom seperti halnya yang selalu ditemukan Ph kromosom pada penderita CML. Untuk fase krisis blast yaitu leukemia mieloid akut dan sindrom mielodislasia (Victor et al., 2006). Tidak ditemukannya Ph kromosom pada penderita CML yaitu pada kasus penderita yang menderita CML tipe juvenillis yang asering dijumpai pada pasien berumur kurang dari 4 tahun. Cirinya tidak adanya Ph kromosom, peningkatan Hb janin, trombositopenia, monositosis yang menonjol, dan CML juvenillis jarang mengalami transformasi blastik dan meninggal akibat infeksi atau kegagalan organ akibat sebukan monosit dan makrofag (Victor et al., 2006).
8.
Penatalaksanaan a. Medikamentosa Penatalaksanaan CML tergantung pada fase penyakit, yaitu : 1. Fase Kronik
a. Busulphan (Myleran), dosis : 0,1-0,2 mg/kgBB/hari. Leukosit diperiksa tiap minggu. Dosis diturunkan setengahnya jika leukosit turun setengahnya. Obat di hentikan jika leukosit 20.000/mm3. Terapi dimulai jika leukosit naik menjadi 50.000/mm3. Efek smaping dapat berupa aplasia sumsum tulang berkepanjangan, fibrosis paru, bahaya timbulnya leukemia akut (I Made, 2006). b. Hydroxiurea, bersifat efektif dalam mengendalikan penyakit dna mempertahankan hitung leukosit yang normal pada fase kronik, tetapi biasanya perlu diberikan seumur hidup (Victoret al., 2005). Dosis mulai dititrasi dari 500 mg sampai 2000 mg. Kemudian diberikan dosis pemeliharaan untuk mencapai leukosit 10.00015.000/mm3. Efek samping lebih sedikit (I Made, 2006). c. Interferon α juga dapat mengontrol jumlah sel darah putih dan dapat menunda onset transformasi akut, memperpanjang harapan hidup menjadi 1-2 tahun (Atul & Victor, 2005).
IFN-α biasanya digunakan bila jumlah leukosit telah terkendali oleh
hidroksiurea. IFN-α merupakanterapi pilihan bagi kebanyakan penderita leukemia Mielositik (CML) yang terlalu tua untuk transplantasi sumsum tulang (BMT) atau yang tidak memiliki sumsum tulang donor yang cocok. Interferon alfa diberikan pada rata-rata 3-5 juta IU / d subkutan (Emmanuel, 2010). Tujuannya adalah untuk mempertahankan jumlah leukosit tetap rendah (sekitar 4x109/l). Hampir semua pasien menderita gejala penyakit ”mirip flu” pada beberapa hari pertama pengobatan. Komplikasi yang lebih serius berupa anoreksia, depresi, dan sitopenia. Sebagian kecil pasien (sekitar 15%) mungkin mencapai remisi jangka panjang dengan hilangnya kromosom Ph pada analisis sitogenik walaupun gen fusi BCRABL masih dapat dideteksi melalui PCR. (Victoret al., 2005). d. STI571, atau mesylate imatinib (Gleevec), merupakan obat yang sedang diteliti dalam percobaan klinis dan tampaknya memberikan hasil yang menjanjikan. Zat STI 57I adalah suatu inhibitor spesifik terhadap protein ABL yaitu tiroksin kinase sehingga dapat menekan proliferasi seri myeloid. Gleevec mengontrol jumlah darah dan menyebabkan sumsum tulang menjadi Ph negative pada sebagian besar kasus. Obat ini mungkin menjadi lini pertama pada CML, baik digunakan sendiri atau bersama dengan interferon atau obat lain (Atul & Victor, 2005; Emmanuel, 2010; Victoret al., 2005; I Made, 2006)
e. Transplantasi sumsum tulang alogenik (stem cell transplantation, SCT) sebelum usia 50 dari saudara kandung yang HLA-nya cocok memungkinkan kesembuhan 70% pada fase kronik dan 30% atau kurang pada fase akselerasi (Atul & Victor, 2005). 2. Fase Akselerasi dan Fase Blast Terapi untuk fase akselerasi atau transformasi akut sama seperti leukemia akut, AML atau ALL, dengan penambahan STI 57I (Gleevec) dapat diberikan. Apabila sudah memasuki kedua fase ini, sebagian besar pengobatan yang dilakukan tidak dapat menyembuhkan hanya dapat memperlambat perkembangan penyakit. (Atul & Victor, 2005; I Made, 2006). b. Non-Medikamentosa o Radiasi Terapi radiasi dengan menggunakan X-Rays dosis tinggi sinar-sinar tenaga tinggi secara external radiation therapy untuk menghilangkan gejala-gejala atau sebagian dari terapi yang diperlukan sebelumtransplantasi sumsum tulang (Atul & Victor, 2005). 9.
Prognosis Sekitar 20-30% penderita meninggal dalam waktu 2 tahun setelah penyakitnya terdiagnosis dan setelah itu sekitar 25% meninggal setiap tahunnya. Banyak penderita yang bertahan hidup selama 4 tahun atau lebih setelah penyakitnya terdiagnosis, tetapi pada akhirnya meninggal pada fase akselerasi atau krisis blast. Angka harapan hidup rata-rata setelah krisis blast hanya 2 bulan, tetapi kemoterapi kadang bisa memperpanjang harapan hidup sampai 8-12 bulan (Agung, 2010).
ALL (Acute Lympobastic Leukemia)
A. DEFINISI LEUKEMIA adalah proliferasi sel darah putih yang masih imatur dalam jaringan pembentuk darah (Suriadi, & Rita yuliani, 2001 : 175). LEUKEMIA adalah proliferasi tak teratur atau akumulasi sel darah putih dalam sum-sum tulang menggantikan elemen sum-sum tulang normal (Smeltzer, S C and Bare, B.G, 2002 : 248 ).LEUKEMIA adalah suatu keganasan pada alat pembuat sel darah berupa proliferasio patologis sel hemopoetik muda yang ditandai oleh adanya kegagalan sum-sum tulang dalam membentuk sel darah normal dan adanya infiltrasi ke jaringan tubuh yang lain (Arief Mansjoer, dkk, 2002 : 495).Leukemia adalah istilah umum yang digunakan untuk keganasan pada sumsum tulang dan sistem limpatik (Wong, 1995). Sedangkan menurut Robbins & Kummar (1995), leukemia adalah neoplasma ganas sel induk hematopoesis yang ditandai oelh penggantian secara merata sumsum tulang oleh sel neoplasi. Acute lympobastic leukemia adalah bentuk akut dari leukemia yang diklasifikasikan menurut cell yang lebih banyak dalam sumsum tulang yaitu berupa lymphoblasts. Pada keadaan leukemia terjadi proliferasi sel leukosit yang abnormal, ganas, sering disertai bentuk leukosit yang lain daripada normal, jumlahnya berlebihan dan dapat menyebabkan anemia, trombositopenia, dan diakhiri dengan kematian (Ngastiyah, 1997). Leukemia Limfoblastik Akut (LLA) adalah suatu keganasan sel limfosit, berupa proliferasi patologis sel – sel hematopoietik mudah ditandai dengan kegagalan sumsum tulang memproduksi sel darah (I Hartantyo, 1997). Leukemia Limfoblastik Akut (LLA) adalah suatu keganasan pada sel – sel prekursor limfoid yakni sel darah yang nantinya akan berdiferensiasi menjadi limfosit T dan limfosit B. LLA ini banyak terjadi pada anak – anak yakni 75%, sedangkan sisanya terjadi pada orang dewasa. Lebih dari 80% dari kasus LLA adalah terjadinya keganasan pada sel T dan sisanya adalah keganasan pada sel B. Insidennya 1 : 60.000 orang/tahun dan didominasi oleh anak – anak usia < 15 tahun dengan insiden tertinggi pada usia 3 – 5 tahun. Insidensi LLA adalah 1/60.000 orang per tahun dengan 75 % berusia £ 15 tahun, insidensi puncaknya usia 3 – 5 tahun. LLA lebih banyak di temukan pada pria dari pada perempuan. Saudara kandung dari pasien LLA mempunyai resiko 4 kali lebih besar untuk berkembang menjadi, LLA,
sedangkan kembar monozigot dari pasien LLA mempunyai resiko 20% untuk berkembang menjadi LLA.
B. ETIOLOGI Penyebab LLA pada dewasa sebagian besar tidak di ketahui. Faktor keturunan dan sindroma redisposisi genetik lebih berhubungn dengan LLA yang terjadi pada anak – anak. Beberapa faktor lingkungan dan kondisi klinis yang berhubungna dengan LLA adalah : 1.
Radiasi Ionik.
2.
Paparan dengan benzene kadar tinggi dapat menyebabkan aplasia sumsum tulang, kerusakan kromosom dan leukemia.
3.
Merokok sedikit meningkatkan resiko LLA pada usia 60 tahun.
4.
Obat kemoterapi.
5.
Infeksi virus Epstein Barr berhubungan kuat dengan LLA L3
6.
Pasien dengan sindrom down dan wiskott – Aldrich mempunyai resiko yang meningkat untuk menjadi LLA. Penyebab acut limphosityc leukemia sampai saat ini belum jelas, diduga kemungkinan
karena virus (virus onkogenik) dan faktor lain yang mungkin berperan, yaitu: 1. Faktor eksogen a. Sinar x, sinar radioaktif. b. Hormon. c. Bahan kimia seperti: bensol, arsen, preparat sulfat, chloramphinecol, anti neoplastic agent). 2. Faktor endogen a. Ras (orang Yahudi lebih mudah terkena dibanding orang kulit hitam) b. Kongenital (kelainan kromosom, terutama pada anak dengan Sindrom Down). c. Herediter (kakak beradik atau kembar satu telur). (Ngastiyah,2005)
C. KLASIFIKASI 1. Klasifikasi Imunologi a. Precursor B – Acute Lymploblastic Leukaemia (ALL) – 70% : common ALL (50%), null ALL, pre – B ALL. b. T – ALL (25%). c. B – ALL (5%). Definisi subtipe imunologi ini berdasarkan atas ada atau tidak adanya berbagai antigen permukaan sel. Subtipe imunologi yang paling sering ditemukan adalah common ALL, Null cell. ALL berasal dari sel yang sangat primitif dan lebih banyak pada dewasa.B – ALL merupakan penyakit yang jarang dengan morfologi L3 yang sering berperilaku sebagai limfoma agresif (varian Burkirtt). 2. Klasifikasi Morfologi [(the French – American – British (FAB)] a. L1 : sel blas berukuiran kecil seragam dengan sedikit sitoplasma dan nukleoli yang tidak jelas. b. L2 : sel blas berukuran besar heterogen dengan nukleoli yang jelas dan rasio inti sitoplasma yang rendah. c. L3 : sel blas dengan sitoplasma bervakuola dan basofalik. Kebanyakan LLA pada dewasa mempunyai morfologi L2, sedangkan L1 paling sering ditemukan pada anak – anak. Sekitar 95% dari tipe LLA kecualai sel B mempunyai ekspresi yang meningkat dari terminal deoxynucleotidyl transferasi (TdT), suatu enzim nukklear yang terlibat dalam pengaturan kembali gen reseptor sel T dan immunoglobulin. Peningkatan ini sangat berguna dalam diagnosis. Jika konsentrasi enzim ini tidak meningkat, diagnosis LLA dicurigai.
D. PATOFISIOLOGI Komponen sel darah terdiri atas eritrosit atau sel darah merah (RBC) dan leukosit atau sel darah putih (WBC) serta trombosit atau platelet. Seluruh sel darah normal diperoleh dari sel batang tunggal yang terdapat pada seluruh sumsum tulang. Sel batang dapat dibagi ke dalam lymphpoid dan sel batang darah (myeloid), dimana pada kebalikannya menjadi cikal bakal sel yang terbagi sepanjang jalur tunggal khusus. Proses ini dikenal sebagai hematopoiesis dan
terjadi di dalam sumsum tulang tengkorak, tulang belakang., panggul, tulang dada, dan pada proximal epifisis pada tulang-tulang yang panjang. LLA meningkat dari sel batang lymphoid tungal dengan kematangan lemah dan pengumpulan sel-sel penyebab kerusakan di dalam sumsum tulang. Biasanya dijumpai tingkat pengembangan lymphoid yang berbeda dalam sumsum tulang mulai dari yang sangat mentah hingga hampir menjadi sel normal. Derajat kementahannya merupakan petunjuk untuk menentukan / meramalkan kelanjutannya. Pada pemeriksaan darah tepi ditemukan sel muda limfoblas dan biasanya ada leukositosis (60%), kadang-kadang leukopenia (25%). Jumlah leukosit neutrofil seringkali rendah, demikian pula kadar hemoglobin dan trombosit. Hasil pemeriksaan sumsum tulang biasanya menunjukkan sel-sel blas yang dominan. Pematangan limfosit B dimulai dari sel stem pluripoten, kemudian sel stem limfoid, pre preB, early B, sel B intermedia, sel B matang, sel plasmasitoid dan sel plasma. Limfosit T juga berasal dari sel stem pluripoten, berkembang menjadi sel stem limfoid, sel timosit imatur, cimmom thymosit, timosit matur, dan menjadi sel limfosit T helper dan limfosit T supresor. Peningkatan prosuksi leukosit juga melibatkan tempat-tempat ekstramedular sehingga anak-anak menderita pembesaran kelenjar limfe dan hepatosplenomegali. Sakit tulang juga sering dijumpai. Juga timbul serangan pada susunan saraf pusat, yaitu sakit kepala, muntahmuntah, “seizures” dan gangguan penglihatan (Price Sylvia A, Wilson Lorraine Mc Cart, 1995).Sel kanker menghasilkan leukosit yang imatur / abnormal dalam jumlah yang berlebihan. Leukosit imatur ini menyusup ke berbagai organ, termasuk sumsum tulang dan menggantikan unsur-unsur sel yang normal. Limfosit imatur berproliferasi dalam sumsum tulang dan jaringan perifer sehingga mengganggu perkembangan sel normal. Hal ini menyebabkan haemopoesis normal terhambat, akibatnya terjadi penurunan jumlah leucosit, sel darah merah dan trombosit. Infiltrasi sel kanker ke berbagai organ menyebabkan pembersaran hati, limpa, limfodenopati, sakit kepala, muntah, dan nyeri tulang serta persendian. Penurunan jumlah eritrosit menimbulkan anemia, penurunan jumlah trombosit mempermudah terjadinya perdarahan (echimosis, perdarahan gusi, epistaksis dll.). Adanya sel kanker juga mempengaruhi sistem retikuloendotelial yang dapat menyebabkan gangguan sistem pertahanan tubuh, sehingga mudah mengalami infeksi. Adanya sel kaNker juga mengganggu metabolisme sehingga sel kekurangan makanan. (Ngastiyah, 1997; Smeltzer & Bare, 2002; Suriadi dan Rita Yuliani, 2001, Betz & Sowden, 2002).
E. MANIFESTASI KLINIS Manifestasi klinik dari acut limphosityc leukemia antara lain: 1. Pilek tak sembuh-sembuh 2. Pucat, lesu, mudah terstimulasi 3. Demam, anoreksia, mual, muntah 4. Berat badan menurun 5. Ptechiae, epistaksis, perdarahan gusi, memar tanpa sebab 6. Nyeri tulang dan persendian 7. Nyeri abdomen 8. Hepatosplenomegali, limfadenopati 9. Abnormalitas WBC 10. Nyeri kepala (Mansjoer, A, 2000)
F. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK Pemeriksaan diagnostik yang lazim dilakukan pada anak dengan acut limphosityc leukemia adalah: 1. Pemeriksaan sumsum tulang (BMP / Bone Marrow Punction): a. Ditemukan sel blast yang berlebihan b. Peningkatan protein 2. Pemeriksaan darah tepi a. Pansitopenia (anemia, lekopenia, trombositopneia) b. Peningkatan asam urat serum c. Peningkatan tembaga (Cu) serum d. Penurunan kadar Zink (Zn) e. Peningkatan leukosit dapat terjadi (20.000 – 200.000 / µl) tetapi dalam bentuk sel blast / sel primitif
3. Biopsi hati, limpa, ginjal, tulang untuk mengkaji keterlibatan / infiltrasi sel kanker ke organ tersebut 4. Fotothorax untuk mengkaji keterlibatan mediastinum 5. Sitogenik: 50-60% dari pasien ALL dan AML mempunyai kelainan berupa: a. Kelainan jumlah kromosom, seperti diploid (2n), haploid (2n-a), hiperploid (2n+a) b. Bertambah atau hilangnya bagian kromosom (partial delection) c. Terdapat marker kromosom, yaitu elemen yang secara morfologis bukan komponen kromosom normal dari bentuk yang sangat besar sampai yang sangat kecil (Betz, Sowden. (2002).
ALL dapat didiagnosa pada pemeriksaan : Anamnesis 1. Anamnesis Anemia, kelemahan tubuh, berat badan menurun, anoreksia mudah sakit, sering demam, perdarahan, nyeri tulang, nyeri sendi (Ngastiyah, 2005). Kemudian menurut Celily, 2002 dilakukan kepemeriksaan. 2. Hitung darah lengkap (CBC), anak dengan CBC kurang dari 10.000/mm3 saat didiagnosa memiliki prognosis paling baik jumlah leukosit lebih dari 50.000/mm3 adalah tanda prognosis kurang baik pada anak sembarang umur. 3. Pungsi lumbal – untuk mengkaji keterlibatan SSP. 4. Foto toraks – mendeteksi keterlibatan mediastinum. 5. Aspirasi sumsum tulang – ditemukannya 25% sel blas memperkuat diagnosis. 6. Pemindahan tulang atau survei kerangka untuk mengkaji keterlibatan tulang. 7. Pemindahan ginjal, hati dan limpa untuk mengkaji infiltrasi leukemik. 8. Jumlah trombosit – menunjukkan kapasitas pembekuan.
G. PENATALAKSANAAN 1. Transfusi darah, biasanya diberikan bila kadar Hb kurang dari 6 g%. Pada trombositopenia yang berat dan perdarahan masif, dapat diberikan transfusi trombosit dan bila terdapat tanda-tanda DIC dapat diberikan heparin. 2. Kortikosteroid (prednison, kortison, deksametason dan sebagainya). Setelah dicapai remisi dosis dikurangi sedikit demi sedikit dan akhirnya dihentikan. 3. Sitostatika. Selain sitostatika yang lama (6-merkaptopurin atau 6-mp, metotreksat atau MTX) pada waktu ini dipakai pula yang baru dan lebih poten seperti vinkristin (oncovin), rubidomisin (daunorubycine), sitosin, arabinosid, L-asparaginase, siklofosfamid atau CPA, adriamisin dan sebagainya. Umumnya sitostatika diberikan dalam kombinasi bersama-sama dengan prednison. Pada pemberian obat-obatan ini sering terdapat akibat samping berupa alopesia, stomatitis, leukopenia, infeksi sekunder atau kandidiagis. Hendaknya lebih berhziti-hati bila jumiah leukosit kurang dari 2.000/mm3. 4. Infeksi sekunder dihindarkan (bila mungkin penderita diisolasi dalam kamar yang suci hama). 5. Imunoterapi, merupakan cara pengobatan yang terbaru. Setelah tercapai remisi dan jumlah sel leukemia cukup rendah (105 - 106), imunoterapi mulai diberikan. Pengobatan yang aspesifik dilakukan dengan pemberian imunisasi BCG atau dengan Corynae bacterium dan dimaksudkan agar terbentuk antibodi yang dapat memperkuat daya tahan tubuh. Pengobatan spesifik dikerjakan dengan penyuntikan sel leukemia yang telah diradiasi. Dengan cara ini diharapkan akan terbentuk antibodi yang spesifik terhadap sel leukemia, sehingga semua sel patologis akan dihancurkan sehingga diharapkan penderita leukemia dapat sembuh sempurna. 6. Cara pengobatan. Setiap klinik mempunyai cara tersendiri bergantung pada pengalamannya. Umumnya pengobatan ditujukan terhadap pencegahan kambuh dan mendapatkan masa remisi yang lebih lama. Untuk mencapai keadaan tersebut, pada prinsipnya dipakai pola dasar pengobatan sebagai berikut:
a. Induksi Dimaksudkan untuk mencapai remisi, yaitu dengan pemberian berbagai obat tersebut di atas, baik secara sistemik maupun intratekal sampai sel blast dalam sumsum tulang kurang dari 5%. b.
Konsolidasi Yaitu agar sel yang tersisa tidak cepat memperbanyak diri lagi.
c. Rumat (maintenance) Untuk mempertahankan masa remisi, sedapat-dapatnya suatu masa remisi yang lama. Biasanya dilakukan dengan pemberian sitostatika separuh dosis biasa. d. Reinduksi Dimaksudkan untuk mencegah relaps. Reinduksi biasanya dilakukan setiap 3-6 bulan dengan pemberian obat-obat seperti pada induksi selama 10-14 hari. e. Mencegah terjadinya leukemia susunan saraf pusat Untuk hal ini diberikan MTX intratekal pada waktu induksi untuk mencegah leukemia meningeal dan radiasi kranial sebanyak 2.4002.500 rad. untuk mencegah leukemia meningeal dan leukemia serebral. Radiasi ini tidak diulang pada reinduksi. f. Pengobatan imunologik Diharapkan semua sel leukemia dalam tubuh akan hilang sama sekali dan dengan demikian diharapkan penderita dapat sembuh sempurna. (Sutarni Nani 2003)
DAFTAR PUSTAKA
Betz, CL & Sowden, LA. 2002.Buku Saku Keperawatan Pediatri. Edisi 3. Jakarta : EGC. Brunner& Suddarth. 2002.Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 8. Vol 2. Jakarta : EGC. Doenges, Marilynn E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta : EGC ES Jaffe et al.2001.World Health Organization Classification of Tumours. Lyon, ARC Press, Fauci, Anthony S.; Kasper, Dennis L. ; Longo, Dan L.; Braunwald, Eugene;Hauser, Stephen L.; Jameson, J. Larry; Loscalzo, Joseph;. 2008. Harrison's Principles of Internal Medicine 17th edition. USA: McGraw-hill, Guyton.1995. Fisiologi Manusia dan Mekanisme Penyakit. Edisi III. Jakarta : EGC. JM Bennett et al: Ann Intern Med 103:620, 1985. Joyce Engel. 1999. Pengkajian Pediatrik. Edisi 2. Jakarta : EGC. Kurnianda, Johan. 2007. LEUKEMIA Mieloblastik Akut dalam buku ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan FK UI Mansjoer, Arif, dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Edisi 3 Jilid 1. Jakarta : Media Aesculapius Price, S A dan Wilson, L M. 2006.Patofisiologi , Konsep klinis proses-proses penyakit . Jakarta : EGC, . Reeves, Charlene J et al. Medical-Surgical Nursing. Alih Bahasa Joko Setyono. Ed. I. Jakarta : Salemba Medika; 2001 Smeltzer Suzanne C. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner & Suddarth. Alih bahasa Agung Waluyo, dkk. Editor Monica Ester, dkk. Ed. 8. Jakarta : EGC; 2001 Sudoyo, Aru W dkk. 2009. Ilmu Penyakit Dalam Volume 2 Edisi 5. Jakarta : EGC