BAB I KONSEP MORAL DAN AKHLAK A Akhlak Sejarah Agama menunjukkan bahwa kebahagiaan yang ingin dicapai dengan menjalankan syariah agama itu hanya dapat terlaksana dengan adanya akhlak yang baik. Kepercayaan yang hanya berbentuk pengetahuan tentang ke-Esaan Tuhan, ibadah yang dilakukan hanya sebagai formalitas belaka, muamalah yang hanya merupakan peraturan yang tertuang dalam kitab saja, semua itu bukanlah merupakan jaminan untuk tercapainya kebahagiaan tersebut. Kesadaran akhlak adalah kesadaran manusia tentang dirinya sendiri, dimana manusia melihat atau merasakan diri sendiri sebagai berhadapan dengan baik dan buruk. Disitulah membedakan halal dan haram, hak dan bathil, boleh dan tidak boleh dilakukan, meskipun dia bisa melakukan. Itulah hal yang khusus manusiawi. Secara garis besar akhlak dapat dibagi dua bagian, yaitu; akhlak yang baik (akhlak al-karimah), dan akhlak yang buruk (akhlak madzmumah). Berbuat adil, jujur, sabar, pemaaf, dermawan dan amanah misalnya termasuk dalam akhlak yang baik. Sedangkan berbuat yang dhalim, berdusta, pemarah, pendendam, kikir dan curang termasuk dalam akhlak yang buruk.
Akhlak berasal dari bahasa arab yakni khuluqun yang menurut loghat diartikan: budi pekerti, perangai, tingkah laku atau tabiat. Kalimat tersebut mengandung segi-segi persesuaian dengan perkataan khalakun yang berarti kejadian, serta erat hubungan dengan khaliq yang berarti pencipta dan makhluk yang berarti diciptakan. Hukum-hukum akhlak ialah hukum-hukum yang bersangkut paut dengan perbaikan jiwa (moral); menerangkan sifat-sifat yang terpuji atau keutamaankeutamaan yang harus dijadikan perhiasan atau perisai diri seseorang seperti jujur, adil, terpercaya, dan sifat-sifat yang tercela yang harus dijauhi oleh seseorang seperti bohong, dzalim, khianat. Sifat-sifat tersebut diterangkan dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah dan secara Khusus dipelajari dalam Ilmu Akhlak (etika) dan Ilmu Tasawuf. Sementara itu, Imam Al-Ghazali (1015-1111 M) yang selanjutnya dikenal sebagai hujjatul Islam (pembela Islam), karena kepiawaiannya dalam membela Islam dari berbagai paham yang dianggap menyesatkan, dengan agak lebih luas dari Ibn Miskawaih, mengatakan akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan macam-macam perbuatan dengan gambling dan mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan. Definisi-definisi akhlak tersebut secara subtansial tampak saling melengkapi, dan darinya kita dapat melihat lima ciri yang terdapat dalam perbuatan akhlak, yaitu; pertama, perbuatan akhlak adalah perbuatan yang telah tertanam kuat dalam jiwa seseorang, sehingga telah menjadi kepribadiaannya. Kedua, perbuatan akhlak
adalah perbuatan yang dilakukan dengan mudah dan tanpa pemikiran. Ini tidak berarti bahwa saat melakukan sesuatu perbuatan, yang bersangkutan dalam keadaan tidak sadar, hilang ingatan, tidur atau gila. Ketiga, bahwa perbuatan akhlak adalah perbuatan yang timbul dari dalam diri orang yang mengerjakannya, tanpa ada paksaan atau tekanan dari luar. Perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan atas dasar kemauan, pilihan dan keputusan yang bersangkutan. Keempat, bahwa perbuatan akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan sesungguhnya, bukan main-main atau karena bersandiwara. Kelima, sejalan dengan cirri yang keempat perbuatan akhlak (khususnya akhlak yang baik) adalah perbuatan yang dilakukan karena ikhlas semata-mata karena Allah, bukan karena ingin dipuji orang atau karena ingin mendapatkan suatu pujian. Pikiran akhlak menurut ulama: Menurut
penuturan
Ibnu
Miskawaih
dalam
Kitab
Tahdzibul
Akhlak:
Artinya: “Khuluk ialah keadaan gerak jiwa yang mendorong ke arah melakukan perbuatan dengan tidak menghajatkan pemikiran” (Ibnu Miskawaih, 1995: 56) Selanjutnya Ibnu Miskawaih menjelaskan keadaan gerak jiwa tersebut meliputi dua hal. Yang pertama, alamiah dan bertolak dari watak, seperti adanya orang yang mudah marah hanya karena masalah yang sangat sepele, atau tertawa berlebihan hanya karena suatu hal yang biasa saja, atau sedih berlebihan hanya karena mendengar berita yang tidak terlalu memprihatinkan. Yang kedua, tercipta melalui kebiasaan atau latihan. Pada awalnya keadaan tersebut terjadi karena
dipertimbangkan dan dipikirkan, namun kemudian menjadi karakter yang melekat tanpa dipertimbangkan dan dipikirkan masak-masak. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa akhlak merupakan manifestasi iman, Islam, dan ihsan yang merupakan refleksi sifat dan jiwa secara spontan yang terpola pada diri seseorang sehingga dapat melahirkan perilaku secara konsisten dan tidak tergantung pada pertimbangan berdasar interes tertentu. Sifat dan jiwa yang melekat dalam diri seseorang menjadi pribadi yang utuh dan menyatu dalam diri orang tersebut sehingga akhirnya tercermin melalui tingkah laku dalam kehidupan sehari-hari bahkan menjadi adat Tujuan Tujuan akhlak adalah mencapai kebahagiaan hidup umat manusia dalam kehidupannya, baik di dunia maupun akhirat. Jika seseorang dapat menjaga kualitas mu’amalah ma’allah (Hubungan dengan Allah) dan mu’amallah ma’annas (Hubungan dengan sesama manusia) , insya Allah akan memperoleh rida-Nya. Orang yang mendapat rida Allah niscaya akan memperoleh jaminan kebahagiaan hidup baik duniawi maupun ukhrawi. Ruang lingkup Dalam membahas persoalan ruang lingkup akhlak, Kahar Masyhur menyebutkan bahwa ruang lingkup akhlak meliputi bagaimana seharusnya seseorang bersikap terhadap penciptaannya, terhadap sesama manusia seperti dirinya sendiri, terhadap keluarganya, serta terhadap masyarakatnya. Ahmad Azhar Basyir (1987: 6) menyebutkan cakupan akhlak meliputi semua aspek kehidupan manusia sesuai
dengan kedudukannya sebagai makhluk individu, makhluk sosial, makhluk penghuni, dan yang memperoleh bahan kehidupannya dari alam, serta sebagai makhluk ciptaan Allah. Dengan kata lain, akhlak meliputi akhlak pribadi, akhlak keluarga, akhlak sosial, akhlak politik, akhlak jabatan, akhlak terhadap Allah dan akhlak terhadap alam. B. Etika Dari segi etimologi (ilmu asal usul kata), etika berasal dari bahasa Yunani, ethos yang berarti watak kesusilaan atau adat. Dalam kamus umum bahasa Indonesia, etika diartikan ilmu pengetahuan tentang azaz-azaz akhlak (moral). Dari pengertian kebahsaan ini terlihat bahwa etika berhubungan dengan upaya menentukan tingkah laku manusia. Adapun arti etika dari segi istilah, telah dikemukakan para ahli dengan ungkapan yang berbeda-beda sesuai dengan sudut pandangnya. Menurut ahmad amin mengartikan etika adalah ilmu yang menjelaskan arti baik dan buruk, menerangkan apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia, menyatakan tujuan yang harus dituju oleh manusia di dalam perbuatan mereka dan menunjukkan jalan untuk melakukan apa yang seharusnya diperbuat. Dari definisi etika tersebut diatas, dapat segera diketahui bahwa etika berhubungan dengan empat hal sebagai berikut. Pertama, dilihat dari segi objek pembahasannya, etika berupaya membahas perbuatan yang dilakukan oleh manusia. Kedua dilihat dari segi sumbernya, etika bersumber pada akal pikiran
atau filsafat. Sebagai hasil pemikiran, maka etika tidak bersifat mutlak, absolute dan tidak pula universal. Ia terbatas, dapat berubah, memiliki kekurangan, kelebihan dan sebagainya. Selain itu, etika juga memanfaatkan berbagai ilmu yang memebahas perilaku manusia seperti ilmu antropologi, psikologi, sosiologi, ilmu politik, ilmu ekonomi dan sebagainya. Ketiga, dilihat dari segi fungsinya, etika berfungsi sebagai penilai, penentu dan penetap terhadap sesuatu perbuatan yang dilakukan oleh manusia, yaitu apakah perbuatan tersebut akan dinilai baik, buruk, mulia, terhormat, hina dan sebagainya. Dengan demikian etika lebih berperan sebagai konseptor terhadap sejumlah perilaku yang dilaksanakan oleh manusia. Etika lebih mengacu kepada pengkajian sistem nilai-nilai yang ada. Keempat, dilihat dari segi sifatnya, etika bersifat relative yakni dapat berubah-ubah sesuai dengan tuntutan zaman. Dengan ciri-cirinya yang demikian itu, maka etika lebih merupakan ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan upaya menentukan perbuatan yang dilakukan manusia untuk dikatan baik atau buruk. Berbagai pemikiran yang dikemukakan para filosof barat mengenai perbuatan baik atau buruk dapat dikelompokkan kepada pemikiran etika, karena berasal dari hasil berfikir. Dengan demikian etika sifatnya humanistis dan antroposentris yakni bersifat pada pemikiran manusia dan diarahkan pada manusia. Dengan kata lain etika adalah aturan atau pola tingkah laku yang dihasulkan oleh akal manusia.
C. Moral Adapun arti moral dari segi bahasa berasal dari bahasa latin, mores yaitu jamak dari kata mos yang berarti adat kebiasaan. Di dalam kamus umum bahasa Indonesia dikatan bahwa moral adalah pennetuan baik buruk terhadap perbuatan dan kelakuan. Selanjutnya moral dalam arti istilah adalah suatu istilah yang digunakan untuk menentukan batas-batas dari sifat, perangai, kehendak, pendapat atau perbuatan yang secara layak dapat dikatakan benar, salah, baik atau buruk. Berdasarkan kutipan tersebut diatas, dapat dipahami bahwa moral adalah istilah yang digunakan untuk memberikan batasan terhadap aktifitas manusia dengan nilai (ketentuan) baik atau buruk, benar atau salah. Jika pengertian etika dan moral tersebut dihubungkan satu dengan lainnya, kita dapat mengetakan bahwa antara etika dan moral memiki objek yang sama, yaitu sama-sama membahas tentang perbuatan manusia selanjutnya ditentukan posisinya apakah baik atau buruk. Namun demikian dalam beberapa hal antara etika dan moral memiliki perbedaan. Pertama, kalau dalam pembicaraan etika, untuk menentukan nilai perbuatan manusia baik atau buruk menggunakan tolak ukur akal pikiran atau rasio, sedangkan moral tolak ukurnya yang digunakan adalah norma-norma yang tumbuh dan berkembang dan berlangsung di masyarakat. Dengan demikian etika lebih bersifat pemikiran filosofis dan berada dalam konsep-konsep, sedangkan etika berada dalam dataran realitas dan muncul dalam tingkah laku yang
berkembang di masyarakat. Dengan demikian tolak ukur yang digunakan dalam moral untuk mengukur tingkah laku manusia adalah adat istiadat, kebiasaan dan lainnya yang berlaku di masyarakat. Etika dan moral sama artinya tetapi dalam pemakaian sehari-hari ada sedikit perbedaan. Moral atau moralitas dipakai untuk perbuatan yang sedang dinilai, sedangkan etika dipakai untuk pengkajian sistem nilai yang ada. Berdasarkan pada uraian diatas, dapat sampai pada suatu kesimpulan, bahwa moral lebih mengacu kepada suatu nilai atau system hidup yang dilaksanakan atau diberlakukan oleh masyarakat. Nilai atau sitem hidup tersebut diyakini oleh masyarakat sebagai yang akan memberikan harapan munculnya kebahagiaan dan ketentraman. Nilai-nilai tersebut ada yang berkaitan dengan perasaan wajib, rasional, berlaku umum dan kebebasan. Jadi semakin jelas bahwa etika merupakan cabang dari filsafat yang mempelajari tingkah laku manusia untuk menentukan nilai perbuatan tersebut. Untuk memberikan justifikasi baik buruknya suatu perbuatan, akal pikiranlah yang dijadikan parameter. Sekalipun penggunaan istilah etika sering disamakan dengan istilah akhlak, namun jika diteliti secara seksama antara keduanya terdapat perbedaan dan persamaan. Persamaannya terletak pada obyek, yakni sama-sama pembahasan
tentang
baik-buruknya
tingkah
laku
manusia;
sedangkan
perbedaannya terletak pada parameter. Kalau etika menggunakan parameter akal, akhlak menggunakan parameter agama, yang dalam hal ini adalah Al-Qur’an dan Al-Hadits.
Istilah moral berasal dari bahasa latin mores, yaitu jamak dari mos yang berarti adat kebiasaan. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia dikatakan bahwa moral adalah baik buruk dari perbuatan dan kelakuan (Poerwadarminta, 1928:654). Dalam Ensiklopedi pendidikan, moral dikatakan sebagai “nilai dasar dalam masyarakat untuk menentukan baik-buruknya suatu tindakan yang pada akhirnya menjadi adat istiadat masyarakat tersebut.” Berdasarkan definisi tersebut dapat diketahui bahwa baik buruknya suatu tindakan, secara moral hanya bersifat lokal. Persamaannya dengan akhlak dan moral, ketiganya berbicara tentang nilai perbuatan manusia, sedangkan bedanya akhlak menilai perbuatan manusia dengan tolak ukur Qur’an dan Sunnah, etika dengan pertimbangan akal pikiran, sedangkan moral menggunakan tolak ukur adat istiadat yang berlaku dalam masyarakat tertentu.
BAB II HUBUNGAN TASAWUF DAN AKHLAK Kalau kita memperhatikan sejarah, tampaklah bahwa kemunculan 'tren' tasawuf selalu mengiringi kondisi masyarakat Muslim yang tidak seimbang. Ataukah terlalu sibuk dengan urusan dunia dan melupakan akhirat, terlalu semangat dengan ilmu tanpa peduli amal, terlalu fanatik terhadap syariat tanpa peduli ruhnya, atau terlalu mulia bicara tanpa peduli tengiknya perilaku. Tasawuf, seperti bisa kita pahami dari ungkapan-ungkapan para tokohnya, merupakan jalan menuju Allah melalui akhlak yang mulia. Metode para sufi adalah membersihkan hati dan memperhalus budi. Contoh dan teladan mereka adalah Rasulullah SAW yang berbudi luhur dan menyatakan bahwa ia diutus Allah sematamata untuk menyempurnakan akhlak. Akhlak yang mulia,telah berhasil menorehkan catatan dengan tinta emas pemerintahan Umar Ibn Abdul Aziz dalam lembaran sejarah Dinasti Umayyah. Umar sang khalifah, sebagai penguasa, telah berhasil 'mereformasi' diri-nya dengan meretas akar keburukan: menempatkan materi dan dunia di puncak perhatian. Mendudukkan materi dan dunia di tempatnya yang sebenarnya adalah yang pertama-tama diupayakan khalifah yang dijuluki Umar Kedua ini, setelah sebelumnya ditempatkan di tempat yang terlalu tinggi dan penting. Maka, tidak heran apabila ada yang menyebut Umar Ibn Abdul Aziz sebagai khalifah kelima dari Khulafa' Rasyidiin.
Bagi orang yang belum mengenal apa itu Ilmu Tasawwuf atau Sufi tentu akan merasa asing untuk keduanya, karena tidak tahu orang cendrung untuk menjauhi atau enggan untuk mempelajarinya bahkan sampai mengejeknya. Hal ini serupa dengan awal kedatangan Islam tempo dulu, sebagaimana sabda Nabi Muhammad Saw.: “Permulaan Islam ini asing, dan akan kembali asing pula, maka gembiralah orangorang yang dianggap asing (orang-orang Islam).” HR. Muslim dari Abi Hurairah. Dan barangsiapa yang menta’ati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersamasama dengan orang-orang yang dianugerahi ni’mat oleh Allah, yaitu: Nabi, para shiddiqqiin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya. (QS. An Nisaa’(4):69) Ilmu kesufian atau Ilmu Tasawwuf adalah ilmu yang didasari oleh Al-Qur’an dan Hadits dengan tujuan utamanya amar ma’ruf nahi munkar. Sejak jaman sahabat Nabi Saw. tanda-tanda sufi dan ilmu kesufian sudah ada, namun nama sufi dan ilmu tersebut belum muncul, sebagaimana ilmu-ilmu lain seperti Ilmu Hadits, Ilmu Kalam, Ilmu Tafsir, Ilmu Fiqh dan lain sebagainya. Barulah pada tahun 150 H atau abad ke-8 M Ilmu Sufi atau Ilmu Tasawwuf ini berdiri sebagai ilmu yang berdiri sendiri yang bersifat Keruhanian. Kontribusi Ilmu Tasawwuf ini banyak dibukukan oleh kalangan orang-orang Sufi sendiri seperti Hasan al-Basri, Abu Hasyim Shufi al-Kufi, al-Hallaj bin Muhammad al-Baidhawi, Sufyan ibn Sa’id ats-Tsauri, Abu Sulaiman ad-Darani, Abu Hafs al-Haddad, Sahl at-Tustari, al-Qusyairi, ad-Dailami, Yusuf ibn Asybat, Basyir al-Haris, as-Suhrawardi, Ain Qudhat al-Hamadhani dan masih banyak yang lainnya hingga kini terus berkembang.
Jelas bahwa Ilmu Tasawwuf dan Sufi adalah merupakan salah satu ilmu dalam Agama Islam yang sangat halus dan mendalam yang mampu menembus alam batin serta sulit sekali untuk di ilmiahkan dan diterangkan secara kongkrit. Hal ini bukan berarti tidak dapat dibuktikan secara ilmiah namun seseorang yang memiliki kebersihan hati dan kecerdasan yang luar biasa yang mampu mecahkannya. Sebab “Al-Islaamu ‘ilmiyyun wa ‘amaliyyun” (Islam adalah ilmiah dan amaliah) HR. Bukhari. Karena halusanya ilmu ini persoalan-persoalan didalamnya bagi orang awam dapat menimbulkan khilafiyah (perbedaan) dan pertentangan-pertentangan. Tapi inilah keindahan Islam berlomba dalam kebaikan selama tidak menyimpang dari aturan Islam. Dalam kitab Ta’yad Al-Haqiqtul ‘Aliyya hal. 57, salah seorang ulama Fiqh dan Ahli Tafsir Jalaluddin as-Suyuti mengatakan: “Tasawwuf dalam diri mereka adalah ilmu yang paling baik dan terpuji. Dia menjelaskan bagaimana mengikuti Sunah Nabi dan meninggalkan bid’ah”. Sedangkan Al-Junaid seorang pimpinan tokoh Sufi Mazhab Moderat yang berasal dari Baghdad menyatakan tentang ilmu kesufian dalam syairnya: “Ilmu Sufi (Tasawwuf) adalah benar-benar ilmu, yang tidak seorang pun dapat memperolehnya; Kecuali dia yang dikarunia kecerdasan alami, dan berbakat untuk memahaminya. Tak seorang pun dapat berpura menjadi Sufi, kecuali dia yang melihat rahasia nuraninya.” Menurut Imam Malik ra. (94-179 H/716-795 M) menyatakan: “Man tassawaffa wa lam yatafaqah faqad tazandaqa, wa man tafaqaha wa lam yatsawwaf
faqad fasadat, wa man tafaqaha wa tassawafa faqad tahaqqaq. (Barangsiapa mempelajari/mengamalkan tasawwuf tanpa fiqh maka dia telah zindik, dan barangsiapa mempelajari fiqh tanpa tasawwuf dia tersesat, dan siapa yang mempelari tasawwuf dan fiqh dia meraih kebenaran).” Dengan demikian bahwa Ilmu Tasawwuf dan Ilmu Fiqh umpama dua jemari yang tak dapat dipisahkan, dan tidak untuk diabaikan dimana keduanya sama-sama penting suatu perpaduan antara akal dan hati. Ilmu Tasawwuf adalah mengatur kesempurnaan hubungan dengan Allah dan juga sebagai ilmu yang mampu menembus vertikal kedalam. Dengan mempelajari ketiganya maka akan kuatlah Iman, Islam dan Ihsan kita yang merupakan kesempurnaan dalam Islam, sebagai wujud mempelajari Ilmu Tauhid, Fiqh dan Tasawwuf. Dalam sejarah perkembangannya, Sufi dan Tasawuf beriringan. Beberapa sumber dari para Ulama Sufi, para orientalis maupun dari kitab-kitab yang berkait dengan sejarah Tasawuf memunculkan berbagai definisi. Definisi ini pun juga berkait dengan para tokoh Sufi setiap zaman, disamping pertumbuhan akademi Islam ketika itu. Bahwa dalam sejarah perkembangannya menurut Nicholson, tasawuf adalah sebagai bentuk ekstrimitas dari aktivitas keagamaan di masa dinasti Umawy, sehingga para aktivisnya melakukan Uzlah dan semata hanya demi Allah saja hidupnya. Bahkan lebih radikal lagi Tasawuf muncul akibat dari sinkretisme Kristen, Hindu, Budha dan Neo-Platonisme serta Hellenisme.
Pandangan paling monumental tentang Tasawuf justru muncul dari Abul Qasim Al-Qusyairy an-Naisabury, seorang Ulama sufi abad ke 4 hijriyah. AlQusyairy sebenarnya lebih menyimpulkan dari seluruh pandangan Ulama Sufi sebelumnya, sekaligus menepis bahwa definisi Tasawuf atau Sufi muncul melalui akar-akar historis, akar bahasa, akar intelektual dan filsafat di luar dunia Islam. Walaupun tidak secara transparan Al-Qusyairy menyebutkan definisinya, tetapi dengan mengangkat sejumlah wacana para tokoh Sufi, menunjukkan betapa Sufi dan Tasawuf tidak bisa dikaitkan dengan sejumlah etimologi maupun sebuah tradisi yang nantinya kembali pada akar Sufi. Dan jiwa serta penyempurnaannya, maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya, sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu dan sesungguhnya merugilah orang-orang yang mengotorinya (Q.s. Asy-Syams: 7-8). Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang membersihkan diri dan dia berdzikir nama Tuhannya lalu dia shalat. (Q.s. Al-Alaa: 14-15). Dan ingatlah Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang
alpa.(Q.s.Al-Araaf:205).
Al-Junaidal-Baghdady: Tasawuf artinya Allah mematikan dirimu dari dirimu, dan menghidupkan dirimu bersama denganNya.Tasawuf adalah engkau berada semata-mata bersama Allah swt. Al-Husain bin Manshural-Hallaj: Sufi adalah kesendirianku dengan Dzat, tak seorang pun menerimanya dan juga tidak
menerima siapa pun. Abu Hamzah Al-Baghdady: Tanda Sufi yang benar adalah dia menjadi miskin setelah kaya, hina setelah mulia, bersembunyi setelah terkenal. Sedang tanda Sufi yang palsu adalah dia menjadi kaya setelah miskin, menjadi obyek penghormatan tertinggi setelah mengalami kehinaan, menjadi masyhur setelah tersem,bunyi. Dzun Nuun Al-Mishry: Kaum Sufi adalah mereka yang mengutamakan Allah swt. diatas segala-galanya dan yang diutamakan oleh Allah di atas segala makhluk yang ada. Abu Nashr as-Sarraj ath-Thusy: Aku bertanya kepada Ali al-Hushry, siapakah, yang menurutmu Sufi itu? Lalu ia menjaqwab, Yang tidak di bawa bumi dan tidak dinaungi langit.Dengan ucapannya menurut saya, ia merujuk kepada keleburan. Ahmad ibnul Jalla: Kita tidak mengenal mereka melalui prasyarat ilmiyah, namun kita tahu bahwa mereka adalah orang-orang yang miskin, sama sekali rtidak memiliki sarana-sarana duniawy. Mereka bersama Allah swt. tanpa terikat pada suatu tempat tetapi Allah swt, tidak menghalanginya dari mengenal semua tempat. Karenanya diosebut Sufi. Abu Yaqub al-Madzabily: Tasawuf adalah keadaan dimana semua atribut kemanusiaan terhapus. Abul Hasan as-Sirwany: Sufi yang bersama ilham, bukan dengan wirid yang mehyertainya.
Abu Sahl ash-Shaluki: Tasawuf adalah berpaling dari sikap menentang ketetapan Allah. Dari seluruh pandangan para Sufi itulah akhirnya Al-Qusayiry menyimpulkan bahwa Sufi dan Tasawuf memiliki terminologi tersendiri, sama sekali tidak berawal dari etimologi, karena standar gramatika Arab untuk akar kata tersebut gagal membuktikannya. Terminologi Tasawuf Di dalam dunia Tasawuf muncul sejumlah istilah-istilah yang sangat populer, dan menjadi terminologi tersendiri dalam disiplin pengetahuan. Dari istilah-istilah tersebut sebenarnya merupakan sarana untuk memudahkan para pemeluk dunia Sufi untuk memahami lebih dalam. Istilah-istilah dalam dunia Sufi, semuanya didasarkan pada Al-Quran dan Hadist Nabi. Karena dibutuhkan sejumlah ensiklopedia Tasawuf untuk memahami sejumlah terminologinya, sebagaimana di bawah ini, yaitu: Marifatullah, Al-Waqt, Maqam, Haal, Qabdh dan Basth, Haibah, Hudhur, Qurb dan Bud, Syariat dan Hakikat, dan yang lainnya. Kemudian istilah-istilah yang masuk kategori Maqomat (tahapan) dalam Tasawuf, antara lain: Taubat, Mujahadah, Khalwat, Uzlah, Taqwa, Wara, Zuhud, Tawadhu, Jihadun Nafs, Thareqat, Hakikat, Salik, Abid, Arif, dan seterusnya. Sebagaimana filsafat, tasawuf memiliki dua aspek: aspek teoretis (nazhari) dan praktis (‘amali). Aspek praktis tasawuf meliputi tata cara hubungan manusia terhadap dirinya sendiri, dunia, dan Tuhan.
BAB III INDIKATOR MANUSIA BERAKHLAK Dalam mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi seseorang agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Imam Al-Ghazali menegaskan ,sumber akhlak Islam hendaklah berdasarkan 3 sumber berikut; 1. Kitab suci Al-Quran 2. Hadis-hadis Rasulullah 3. Akal pikiran ulama. Islam memiliki dasar-dasar konseptual tentang ahklak yang komprehensif dan menjadi karakteristik yang khas. Di antara karakteristik tersebut adalah: 1.Akhlak meliputi hal-hal yang bersifat umum dan terperinci. Di dalam Al-Qur’an ada ajaran akhlak yang dijelaskan secara umum, tetapi ada juga yang diterangkan secara mendetail. Sebagai contoh, ayat yang menjelaskan masalah akhlak secara umum adalah Q.S. An-Nahl (16):90 yang menyuruh perintah untuk berakhlak secara umum: Untuk berbuat adil, berbuat kebaikan, melarang perbuatan keji, mungkar, dan permusuhan. Sedangkan contoh ayat yang menjelaskan masalah
akhlak secara terperinci adalah Q.S. Al-Huujurat (49): 12 yang menunjukkan larangan untuk saling mencela. 2. Akhlak bersifat menyeluruh
Dalam konsep Islam, akhlak meliputi seluruh kehidupan muslim, baik beribadah secara khusus kepada Allah maupun dalam hubungannya dengan sesama makhluk seperti akhlak dalam mengelola sumber daya alam, menata ekonomi, menata politik, kehidupan bernegara, kehidupan berkeluarga, dan bermasyarakat. 3. Akhlak sebagai buah iman Akhlak memiliki karakter dasar yang berkaitan erat dengan masalah keimanan. Jika iman dapat diibaratkan akar sebuah pohon, sedangkan ibadah merupakan batang, ranting dan daunnya, maka akhlak adalah buahnya. Iman yang kuat akan termanifestasikan oleh ibadah yang teratur dan membuahkan akhlakul karimah. 4. Akhlak menjaga konsistensi dengan tujuan
Akhlak tidak membenarkan cara-cara mencapai tujuan yang bertentangan dengan syariat sekalipun dengan maksud untuk mencapai tujuan yang baik. Hal tersebut dipandang bertentangan dengan prinsip-prinsip ahklakul karimah yang senantiasa menjaga konsistensi cara mencapai tujuan tertentu dengan tujuan itu tersendiri. Indikator Indikator merupakan penanda pencapaian suatu akhlak yang ditandai oleh perubahan perilaku yang dapat diukur yang mencakup sikap.
BAB IV AKHLAK DAN AKTUALISASI DALAM KEHIDUPAN Dari zaman Immanuel Kant hingga masa kini, lahir berbagai bentuk pemikiran dalam upaya menetapkan eksistensi Tuhan tidak dengan pendekatan realitas eksistensi alam ini atau dengan metode keteraturan alam, tetapi dengan menggunakan suatu argumen khusus dimana semua manusia mempunyai pengalaman tentangnya, yakni metode menegaskan eksistensi Tuhan lewat pengalamanpengalaman akhlak yang dialami oleh setiap manusia. Oleh sebab itu, secara umum manusia dengan mudah mencerap dan memahami argumen ini. Kedudukan dan Validitas Argumen Akhlak Argumen akhlak memiliki keabsahan filosofis jika dipisahkan dari unsur-unsur nasihat dan wejangan. Dalam konteks ini, argumen akhlak tidak hanya menetapkan eksistensi Tuhan tetapi juga menetapkan sifat-sifat Tuhan, seperti yang mencipta, bijaksana, kehendak dan mahapengatur di dunia dan di akhirat. Kesimpulannya, jika argumen akhlak disandarkan pada filsafat teoritis maka dapat terhitung sebagai bagian dari dalil dan argumen penetapan eksistensi Tuhan dan itupun harus bersandar pada argumen fitrah; karena argumen fitrah selain sebagai bagian filsafat teoritis, juga landasan-landasan yang digunakan cukup sempurna. Dengan demikian argumen akhlak bisa menjadi salah satu dari argumen untuk menetapkan eksistensi Tuhan.
Menurut Kant perkara-perkara, seperti kebebasan, keabadian jiwa dan Tuhan adalah hal yang hanya dapat dijangkau dengan dalil-dalil yang berpijak pada akal praktis dan bukan berdasar pada akal teoritis. Dan perkara-perkara tersebut telah menjadi "hal yang sudah diterima" (al-musallamah) oleh akal praktis. "Al-Musallamah" tersebut bukan sekedar keyakinan pribadi yang subyektif, akan tetapi sesuatu yang obyektif dan universal; sebab akal sendiri yang mengasumsikan "al-musallamah" tersebut, karena itu keyakinan terhadapnya merupakan hal yang valid dan benar serta penerimaan terhadap "al-musallamah" tersebut merupakan pengakuan atas kedudukan tinggi akal praktis atas akal teoritis. Derajatnya yang tinggi tersebut tidak bermakna bahwa dari jalan akal praktis dihasilkan suatu ilmu terhadap "al-musallamah" itu, dimana akal teoritis tidak memiliki kemampuan untuk mengetahuinya, akan tetapi ketinggian derajat tersebut berarti bahwa dengan perantaraan amal (praktiis) atau akhlak, kita menetapkan kemestian-kemestiannya (syarat-syaratnya) dan kemudian kita menyandarkan keimanan kepada akhlak atau amal (praktis) tersebut, dimana keimanan ini berlandaskan pada kebutuhan-kebutuhan akal praktis yang bersifat universal. Tinjauan Hukum Akhlak Sebagai Dasar Argumen Argumen akhlak memiliki rumusan dan uraian yang beragam. Sebagian diantaranya berdalil dengan ketetapan dan kemutlakan perintah-perintah akhlak atas keberadaan pemberi perintah dan pengatur yang tetap dan mutlak dimana disebut sebagai Tuhan. Dan sebagian lagi berdalil atas keberadaan sumber selain insan yang mempunyai kehendak lebih tinggi dari kehendak manusia, dari perasaan kekuatan
akhlak dalam kondisi dan syarat dimana kehendak partikular manusia mengamalkan kebalikan darinya. Sebagian lagi menggunakan keniscayaan undang-undang dengan pembuat
undang-undang
untuk
menetapkan
sumber
undang-undang,
atau
dikarenakan adanya undang-undang akhlak yang sama dalam kebudayaan masyarakat yang berbeda-beda menegaskan asumsi adanya Tuhan yang meletakkan pandangan undang-undang ini dalam kalbu manusia. Bentuk Argumen Akhlak Argumen akhlak dalam bentuk dan rumusan yang berbeda-beda berdiri diatas prinsip bahwa pengalaman akhlak dan secara khusus berhubungan dengan perasaan bertanggung jawab dimana merupakan sesuatu yang tak dapat diingkari oleh individu-individu manusia, hal inilah meniscayakan keberadaan realitas Tuhan sebagai Sumber Pemberi tanggung jawab tersebut. Argumen Akhlak Bentuk Pertama Argumen akhlak bisa dipaparkan dalam bentuk konklusi logis dari realitas hukum-hukum akhlak berkaitan dengan keberadaan Pembuat Syariat (hukum-hukum ilahi), atau berangkat dari sebuah kenyataan adanya nilai-nilai akhlak atau nilai-nilai universal yang bersumber dari nilai-nilai transenden, atau dari realitas fitrah ketuhanan dimana seruan-Nya merupakan sumber nurani dan fitrah itu sendiri. Asumsi dasar argumen adalah bahwa nilai-nilai akhlak tak dapat dijelaskan berdasarkan sudut pandang fisika dan empiris serta sesuai dengan kebutuhankebutuhan dan kecenderungan-kecenderungan manusia atau dalam bentuk lain yang membutuhkan rujukan dan perantara non metafisik. Akan tetapi menggunakan asumsi
tersebut tak lain adalah "petitio principii" (proposisi yang masih membutuhkam pembuktian, padahal inti pembuktian terdapat pada premisnya sendiri yakni ia menetapkan dirinya sendiri, bentuk ini adalah daur). Argumen Akhlak Bentuk Kedua Kritik-kritik yang ditujukan pada argumen akhlak bentuk pertama tidak mengena untuk bentuk kedua ini, sebab pada dasarnya bentuk kedua ini secara makna yang lebih dalam bukanlah suatu jenis argumen, akan tetapi statemen bahwa setiap orang yang secara sungguh-sungguh menghormati nilai-nilai akhlak dan ia memandang nilai-nilai tersebut sebagai suatu prinsip yang berkuasa atas kehidupannya maka niscaya ia harus secara nyata mempercayai suatu realitas sebagai sumber di atas manusia dan pangkal bagi nilai-nilai ini, yang agama menyebut itu sebagai Tuhan. Berasaskan ini, Kant berpandangan bahwa keabadian ruh dan juga eksistensi Tuhan adalah postulat-postulat kehidupan akhlak, yakni prinsip-prinsip yang setiap orang memandangnya sebagai tanggung jawab yang tidak berkait dan bersyarat yang sudah diletakkan secara hak atas perjanjian manusia, itu semua mesti diterima sebagai prinsip yang niscaya harus diterima. Memandang benar tanggung jawab akhlak dan kedahuluannya atas manfaat pribadi, adalah suatu konklusi bermakna keyakinan terhadap realitas selain alam material yang lebih tinggi dari kita dan layak untuk ditaati dan disembah. Ini adalah suatu gerak minimum ke arah keyakinan pada Tuhan yang dalam tradisi agama samawi dikenal sebagai hakikat akhlak mutlak. Akan tetapi ia tidak dapat berdiri sebagai argumen penetapan eksistensi Tuhan, sebab bisa saja validitas kemutlakan
tanggung jawab akhlak menjadi tempat keraguan, dan bahkan sampai kita terima bahwa nilai-nilai akhlak mengarah pada suatu sumber transendental, masih belum dapat dikatakan diseluruh tempat dan tanpa kesalahan mengarah pada pencipta yang tidak terbatas, melakukan apa yang ia kehendaki dan berdiri dengan zatnya sendiri, yang menjadi subyek dan ikatan iman penganut agama samawi. Analisa Fundamental atas Argumen Akhlak Dengan berdasarkan pada keberadaan hukum-hukum akhlak yang menjadi rujukan universal akhlak, maka sesuai dengan realitas ini meniscayakan pandangan tentang keberadaan realitas Tuhan, dimana hanya Dia yang dapat menjadi pembenar dan pengabsah terhadap rujukan akhlak. Oleh sebab itu jika kita berpandangan tentang eksistensi sumber rujukan akhlak, mesti sesuai dengan realitas ini, kita berpandangan tentang eksistensi Tuhan sebagai penjamin dari nilai kebenaran dan validitas hukum-hukum akhlak. Jadi pangkal dan sumber rujukan ini serta jaminan validitasnya harus secara totalitas keluar dari kehendak dan pilihan manusia. Dengan kata lain komprehensi undang-undang akhlak sebagai realitas dirinya sendiri tanpa dirujukkan dan disandarkan pada Tuhan, adalah tidak sempurna dan nilainya kurang (tidak valid), sebab undang-undang itu sendiri memestikan keberadaan peletaknya, yakni Pembuat Syariat. Kesimpulannya, dengan hanya mengakui dan meyakini eksistensi undang-undang akhlak, maka niscaya berpandangan tentang eksistensi Tuhan. Menurut ayatullah Jawadi Amuli, hukum-hukum akhlak yang berhubungan dengan akal praktis, mempunyai subyek-subyek dan predikat-predikat khusus dan
kelompok proposisi-proposisi ini sebagaimana yang diakui oleh Kant adalah mengandung sebagian dari proposisi "al-awwali" dan "al-bayyini" (proposisi jelas dan swa-bukti) dimana ia secara esensi diakui oleh akal praktis. Dengan tidak menghiraukan proposisi-proposisi yang mana yang merupakan hukum-hukum prima akal praktis, tidak pernah ada suatu proposisi yang berhubungan dengan akal praktis, tidak diambil konklusinya dari suatu proposisi yang berhubungan dengan akal teoritis dan konklusi hukum-hukum akhlak tidak meniscayakan stetmenstetemen teoritis. Bahkan, hukum-hukum akal praktis dengan menggunakan proposisi-proposisi dan hukum-hukum yang berhubungan dengan akal teoritis akan sampai pada kesimpulan-kesimpulan baru yang berada dalam wilayah akal praktis, yakni hukum akal praktis setiap kali dalam bentuk mayor akan digabungkan dengan satu proposisi lain yang berhubungan dengan akal teoritis, dari penggabungan dengan proposisi itu yang berfungsi sebagai minor membentuk suatu silogisme akhlak dimana konklusinya secara kuantitas dan kualitas serta juga secara teoritis dan praktis, mengikuti premis yang "al-akhass" (yang lebih lemah dan lebih rendah, seperti proposisi negatif lebih rendah dari proposisi positif) dari dua premis dan sebab dalam silogisme ini, mayor adalah proposisi praktis, maka natijah juga adalah suatu proposisi praktis dan tidak berhubungan dengan akal teoritis. Misalnya guru mengajarkan ilmu kepada murid, setiap orang yang mengajarkan ilmu pada orang lain maka nisbah terhadapnya mempunyai hak untuk dihormati, jadi guru dinisbahkan kepada murid mempunyai hak untuk dihormati.
PENUTUP Akhirnya dilihat dari fungsi dan peranannya, dapat dikatakan bahwa etika, moral, susila dan akhlak sama, yaitu menentukan hukum atau nilai dari suatu perbuatan yang dilakukan manusia untuk ditentukan baik-buruknya. Kesemua istilah tersebut sama-sama menghendaki terciptanya keadaan masyarakat yang baik, teratur, aman, damai, dan tentram sehingga sejahtera batiniah dan lahiriyah. Perbedaan antara etika, moral, dan susila dengan akhlak adalah terletak pada sumber yang dijadikan patokan untuk menentukan baik dan buruk. Jika dalam etika penilaian baik buruk berdasarkan pendapat akal pikiran, dan pada moral dan susila berdasarkan kebiasaan yang berlaku umum di masyarakat, maka pada akhlak ukuran yang digunakan untuk menentukan baik buruk itu adalah al-qur'an dan al-hadist. Perbedaan lain antara etika, moral dan susila terlihat pula pada sifat dan kawasan pembahasannya. Jika etika lebih banyak bersifat teoritis, maka pada moral dan susila lebih banyak bersifat praktis. Etika memandang tingkah laku manusia secara umum, sedangkan moral dan susila bersifat local dan individual. Etika menjelaskan ukuran baik-buruk, sedangkan moral dan susila menyatakan ukuran tersebut dalam bentuk perbuatan. Namun demikian etika, moral, susila dan akhlak tetap saling berhubungan dan membutuhkan. Uraian tersebut di atas menunjukkan dengan jelas bahwa etika, moral dan susila berasala dari produk rasio dan budaya masyarakat yang secara selektif diakui sebagai yang bermanfaat dan baik bagi kelangsungan hidup manusia.
TUGAS
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
KELOMPOK 3 : IRFAN HARYADI 130 270 013 TI.LW.4.1
PROGRAM STUDI TEKNIK INFORMATIKA FAKULTAS ILMU KOMPUTER UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA MAKASSAR 2009