Tugas Nurjannah B.docx

  • Uploaded by: FINA
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Tugas Nurjannah B.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 2,814
  • Pages: 12
1. Asal Mula Dinasti Bani Umayyah. Nama Dinasti Umayyah dinisbatkan kepada Umayyah bin Abdi Syams bin Abdu Manaf, salah satu pemimpin dari kabilah Quraisy. Yang memiliki cukup unsur untuk berkuasa di zaman Jahiliyah yakni keluarga bangsawan, cukup kekayaan dan mempunyai sepuluh orang putra. Orang yang memiliki ketiga unsur tersebut di zaman jahiliyah berarti telah mempunyai jaminan untuk memperoleh kehormatan dan kekuasaan. Umayyah selalu bersaing dengan Pamannya yaitu Hasyim bin Abdu Manaf dalam memperebutkan kekuasaan dan kedudukan.[1][1] Sesudah datang Agama Islam persaingan yang dulunya merebut kehormatan menjadi permusuhan yang lebih nyata. Bani Umayah dengan tegas menentang Rosululloh, sebaliknya Bani Hasim menjadi penyokong dan pelindung Rosululloh, baik yang sudah masuk Islam atau yang belum. Bani Umayyah adalah orang-orang yang terakhir masuk agama Islam pada masa Rosululloh dan salah satu musuh yang paling keras sebelum mereka masuk Islam. Setelah itu sekumpulan Bani Umayyah masuk islam. Jadi, nama Dinasti Bani Umayyah diambil dari Umayyah bin Abd AlSyam, kakek Abu Sofyan. Sedangkan Muawiyah bin Abi Sofyan berasal dari keturunan Bani Umayyah , yang berasal dari suku Quraisy.[2][2] Proses terbentuknya kekhalifahan Bani Umayyah dimulai sejak khalifah Utsman bin Affan tewas terbunuh oleh tikaman pedang Humran bin Sudan pada tahun 35 H/656 M, sa’at khalifah Utsman bin Affan membaca Al-qur’an. Pada saat itu khalifah Utsman bin Affan dianggap terlalu Nepotisme (mementingkan kaum kerabatnya sendiri) dalam menunjuk para pembantu atau gubernur di wilayah kekuasaan Islam. Awal kedaulatan bagi Dinasti Bani Umayyah adalah sepeninggal Khalifah Utsman bin Affan, lalu dipimpin kholifah Ali bin Abi Thalib, dan Hasan bin Ali. Barulah Dinasti Bani Umayyah muncul, dengan dipimpin oleh khalifah

Muawiyah bin Abu Sufyan yang dulunya gubenur Syam dan tampil sebagai pemimpin Islam yang kuat. Sebelum Dinasti Bani Umayyah muncul sebagai khalifah. Masyarakat Madinah khususnya para shahabat besar seperti Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair bin Awwam mendatangi Ali bin Abi Thalib untuk memintanya menjadi khalifah pengganti Utsman bin Affan. Permintaan itu di pertimbangkan dengan sungguh-sungguh dan pada akhirnya Ali bin Abi Thalib mau menerima tawaran tersebut. Pernyataan bersedia tersebut membuat para tokoh besar tadi yaitu Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair bin Awwam merasa tenang, dan kemudian mereka dan para shahabat lainnya serta pendukung Ali bin Abi Thalib melakukan sumpah setia (bai’at) kepada Ali pada tahun 656 M/18 Dzulhijah 35 H. Pembai’atan ini mengindikasikan pengakuan umat terhadap kepemimpinannya. Dengan kata lain, Ali bin Abi Thalib merupakan orang yang paling layak diangkat menjadi khalifah keempat menggantikan khalifah Utsman bin Affan. Pengangkatan Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah keempat oleh masyarakat Madinah dan sekelompok masyarakat pendukung dari Kuffah, ternyata ditentang oleh sekelompok orang yang merasa dirugikan. Misalnya Muwiyah bin Abi Sufyan gubernur Damaskus dan Syiria, serta Marwan bin Hakam yang ketika pada masa Khalifah Utsman bin Affan, menjabat sebagai sekretaris khalifah. Dalam suatu catatan yang di peroleh dari khalifah Ali adalah bahwa Marwan pergi ke Syam untuk bertemu dengan Muawiyah dengan membawa barang bukti berupa jubah khalifah Utsman yang berlumur darah. Penolakan

Muawiyah

bin

Abi

Sufyan

dan

sekutunya

terhadap

kekhalifahan Ali bin Abi Thalib menimbulkan konflik yang berkepanjangan antara kedua belah pihak yang berujung pada pertempuran di Shiffin dan dikenal dengan perang Siffin, Pertempuran ini terjadi di antara dua kubu yaitu, Muawiyah bin Abu Sufyan (sepupu dari Usman bin Affan) dengan Ali bin Abi Talib di tebing Sungai Furat yang kini terletak di Syria (Syam) pada 1 Shafar

tahun 37 H/657 M. Muawiyah tidak menginginkan adanya pengangkatan kepemimpinan Umat Islam yang baru. Beberapa saat setelah wafatnya khalifah Utsman bin Affan, masyarakat muslim baik yang ada di Madinah , Kuffah, Bashrah dan Mesir telah mengangkat Ali bin Abi Thalib

sebagai khalifah pengganti Utsman.

Kenyataan ini membuat Muawiyah tidak punya pilihan lain, kecuali harus mengikuti khalifah Ali bin Abi Thalib dan tunduk atas segala perintahnya. Tetapi Muawiyah menolak kepemimpinan tersebut karena ada berita bahwa Ali akan mengeluarkan kebijakan baru untuk mengganti seluruh gubernur yang diangkat Utsman bin Affan pada waktu itu. Muawiyah mengancam agar tidak mengakui (bai’at) kekuasaan Ali bin Abi Thalib sebelum Ali berhasil mengungkapkan tragedi terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan, dan menyerahkan orang yang dicurigai terlibat pembunuhan tersebut untuk dihukum. Namun Khalifah Ali bin Abi Thalib berjanji akan menyelesaikan masalah pembunuhan itu setelah ia berhasil menyelesaikan situasi dan kondisi di dalam Negeri. Kasus itu tidak melibatkan sebagian kecil individu, juga melibatkan pihak dari beberapa daerahnya seperti Kuffah, Bashra dan Mesir. Permohonan atas penyelesaian kasus terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan ternyata juga datang dari istri Nabi Muhammad saw, yaitu Aisyah binti Abu Bakar. Siti Aisyah mendapat penjelasan tentang situasi dan keadaan politik di ibukota Madinah, dari shahabat Thalhah bin Ubaidillah dan Zubair ketika bertemu di Bashrah. Para shahabat menjadikan Siti Aisyah untuk bersikap sama, untuk penyelesaian terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan, dengan alasan situasi dan kondisi tidak memungkinkan di Madinah. Disamping itu, khalifah Ali bin Abi Thalib tidak menginginkan konflik yang lebih luas dan lebar lagi. Akibat dari penanganan kasus terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan, munculah isu bahwa khalifah Ali bin Abi Thalib sengaja mengulur waktu karena punya kepentingan politis untuk mengeruk keuntungan dari krisis

tersebut. Bahkan Muawiyah menuduh Ali bin Abi Thalib berada di balik kasus pembunuhan Khalifah Utsman bin Affan. Tuduhan ini tentu saja tuduhan yang tidak benar, karena justru pada saat itu Sayidina Ali dan kedua putranya yaitu Hasan dan Husein serta para shahabat yang lain berusaha dengan sekuat tenaga untuk menjaga dan melindungi khalifah Utsman bin Affan dari serbuan massa yang mendatangi kediaman khalifah Utsman bin Affan. Sejarah mencatat justru keadaan yang patut di curigai adalah peran dari kalangan pembesar istana yang berasal dari keluarga Utsman dan Bani Umayyah. Pada peristiwa ini tidak terjadi seorangpun di antara mereka berada di dekat khalifah Utsman bin Affan dan mencoba memberikan bantuan menyelesaikan masalah yang dihadapi khalifah. Dalam menjalankan roda pemerintahannya, kalifah Utsman bin Affan banyak menunjuk para gubernur di daerah yang berasal dari kaum kerabatnya sendiri. Salah satu gubernur yang ia tunjuk adalah gubernur Mesir, Abdullah Sa’ad bin Abi Sarah. Gubernur Mesir ini di anggap tidak adil dan berlaku sewenangwenang terhadap masyarakat Mesir. Ketidak puasan ini menyebabkan kemarahan di kalangan masyarakat sehingga mereka menuntut agar Gubernur Abdullah bin Sa’ad segera di ganti. Kemarahan para pemberontak ini semakin bertambah setelah tertangkapnya seorang utusan istana yang membawa surat resmi dari khalifah yang berisi perintah kepada Abdullah bin Sa’ad sebagai gubernur Mesir untuk membunuh Muhammad bin Abu Bakar. Atas permintaan masyarakat Mesir, Muhammad bin Abu Bakar diangkat untuk menggantikan posisi gubernur Abdulah bin Sa’ad yang juga sepupu dari khalifah Utsman bin Affan. Tertangkapnya utusan pembawa surat resmi ini menyebabkan mereka menuduh khalifah Utsman bin Affan melakukan kebijakan yang mengancam nyawa para shahabat. Umat Islam Mesir melakukan protes dan demonstrasi secara massal menuju rumah khalifah Utsman bin Affan. Mereka juga tidak menyenangi atas sistem pemerintahan yang dianggap sangat sarat dengan

kolusi dan nepotisme. Keadaan ini menyebabkan mereka bertambah marah dan segera menuntut khalifah Utsman bin Affan untuk segera melepaskan jabatan. Persoalan-persoalan yang dihadapi oleh khalifah Utsman bin Affan semakin rumit dan kompleks, sehingga tidak mudah untuk di selesaikan secepatnya. Massa yang mengamuk saat itu tidak dapat menahan emosi dan langsung menyerbu masuk kedalam rumah khalifah, sehingga khalifah Utsman bin Affan terbunuh dengan sangat mengenaskan. Ada beberapa gubernur yang diganti semasa kepemimpinan khalifah Ali bin Abi Thalib, antara lain Muawiyah bin Abi Sufyan sebagai gubernur Syam yang diganti dengan Sahal bin Hunaif. Pengiriman gubernur baru ini di tolak Muawiyah bin Abi Sufyan serta masyarakat Syam. Pendapat khalifah Ali bin Abi Thalib tentang pergantian dan pemecatan gubernur ini berdasarkan pengamatan bahwa segala kerusuhan dan kekacauan yang terjadi selama ini di sebabkan karena ulah Muawiyah dan gubernur-gubernur lainnya yang bertindak sewenang-wenang dalam menjalankan pemerintahannya. Begitu juga pada saat peristiwa terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan disebabkan karena kelalaian mereka.

2. Fisika Ditinjau Dari Ilmu Pengetahuan barat (Modern) Ditinjau dari ilmu pengetahuan Barat, ada beberapa pendapat yang menjelaskan mengenai perkembangan fisika. Salah satunya adalah ketika manusia mulai memikirkan energi. Energi mulai dipikirkan ketika manusia mulai mempelajari konsep gerakan. Benarkah alam semesta ini digerakkan karena adanya energi? Dalam bentuk apa? ternyata energi dapat muncul dalam berbagai bentuk dan dapat berubah bentuk. Sekalipun kelihatannya sederhana, konsep ini baru muncul setelah melalui bermacam-macam perkembangan. Pendapat pertama mengenai konsep energi adalah dari Aristoteles. Aristoteles berpendapat bahwa setiap gerakan selalu memerlukan gaya yang bekerja terus-menerus untuk mempertahankan gerakannya. Pendapat ini dimisalkan seperti peluru. Menurut Aristoteles, peluru menempatkan udara yang berarus ke belakang sehingga memberikan gaya ekstra. Tetapi pendapat Aristoteles ini tidak dibenarkan. Konsep energi ternyata berkembang setelah diketahui bahwa materi dapat berubah menjadi energi dan begitu pula sebaliknya. Konsep inilah yang membuahkan energi nuklir. Setelah itu, muncul lagi pertanyaan tentang bagaimana mengukur pengaruh suatu gaya? Bagaimana cara membandingkan pengaruh dua gaya yang berbeda? Bagaimana caranya agar perubahan bentuk energi yang dibutuhkan dapat diperoleh secara efisien dan tidak melalui jalan yang berbelit-belit? Melalui pertanyaan-pertanyaan tersebut, munculah teori Newton. Menurut Newton, benda bermassa m mendapat gaya f akan memperoleh percepatan sebesar a = . Bila gaya f bekerja terus menerus pada benda tersebut, benda yang bergerak akan semakin besar. Seperti yang dialami oleh benda yang jatuh bebas, yang semakin mendekati bumi kecepatan semakin besar. Lalu apa yang terjadi jika benda melebihi kecepatan cahaya? Mekanika inilah yang disebut mekanika relativistik, yang diperoleh oleh Albert Einstein.

Dalam mekanika relativistik dinyatakan bahwa massa yang bergerak semakin besar bila kecepatan semakin besar. Selain itu, masaa dan energi merupakan dua hal yang ekuivalen, sama ekuivalennya antara energi dan kalor. Cahaya merupakan masalah yang masih sulit dalam konversi energi. Walaupun energi penyinaran dari matahari yang tak terhingga jatuh di bumi setiap hari, energi ini belum dapat dimanfaatkan secara efisien oleh manusia. Hanya tumbuhan hijau yang mampu memanfaatkannnya secara efisien. Inilah sebabnya cahaya memang sangat menarik perhatian. Bila cahaya dikenakan pada keping katode dalam tabung hampa dan dihubungkan dengan tegangan searah, tampak adanya arus yang mengalir dalam rangkaian itu. Gejala ini lazim disebut dengan efek foto listrik. Efek foto listrik yang ada saat ini banyak digunakan sebagai prinsip pembuatan aliran yaitu sebagai tanda tentang adanya suatu gejala. Misalnya, televisi tidak akan mungkin ada tanpa ditemukannya efek foto listrik.1[1] Selain itu, masih ada pendapat dari Richtmeyer yang membagi sejarah perkembangan ilmu fisika menjadi empat periode. Periode itu adalah sebagai berikut: 1)

Periode Pertama Periode ini sudah dimulai dari zaman Prasejarah sampai tahun 1550. Pada periode ini sudah mulai ada pengumpulan fakta-fakta fisis yang kemudian dijadikan perumusan empirik. Tetapi, pada periode ini belum ada penelitian yang sistematis. Penemuan-penemuan pada periode ini juga dibagi lagi dalam beberapa periode, di antaranya adalah sebagai berikut:

a.

2.400.000 SM ─ 599 SM Pada zaman ini muncul penemuan-penemuan penting di bidang teknologi dan astronomi seperti penemuan roda, teknologi bangunan (Piramida), koin, standar pengukuran dan berat, prediksi gerhana, jam pasir, peleburan logam, dan kalender Mesir.

b.

600 SM ─ 530 M Pada periode ini muncul Hipotesis Democritus tentang materi yang terdiri dari atom-atom. Selain itu, pada masa inilah mulai dikenal Tradisi Fisika Matematika yang dipelopori oleh Archimedes tentang katrol, hukum-hukum hidrostatika, dan lain-lain. Tradisi Fisika Matematika ini masih berlanjut sampai sekarang.

c.

530 ─ 1450 M Pada masa ini, tokoh yang muncul adalah Ptolomeous yang melahirkan karya berjudul “Almagest” yang menjadi standar untuk astronomi. Selain itu, ada pula Aristoteles dengan teorinya mengenai gerak yang bisa terjadi jika ada yang mendorong secara terus menerus.

d.

1450 ─ 1550 M Pada masa ini muncul teori Heliosentris yang disampaikan oleh Copernicus. Selain itu, pada masa ini penelitian sudah mulai dilakukan secara sistematis.

2)

Periode Kedua Periode ini berjalan dari tahun 1550 hingga 1800 M. Penelitian yang sistematis mulai berkembang di periode ini dengan Galileo sebagai pencetusnya. Selain Galileo, tokoh lain yang muncul di periode ini adalah Newton yang meneruskan kerja Galileo dalam bidang mekanika. Newton berhasil menemukan teori tentang hukum-hukum gerak yang masih digunakan sampai sekarang. Selain itu, dalam beberapa bidang fisika juga ditemukan teori-teori dan penemuan-penemuan baru. Dalam Mekanika selain Hukum-hukum Newton, dihasilkan pula Persamaan Bernoulli, Teori Kinetik Gas, Vibrasi Transversal dari Batang, Kekekalan Momentum Sudut, dan Persamaan Lagrange. Dalam Fisika Panas ada penemuan termometer, Azas Black, dan kalorimeter. Dalam Gelombang Cahaya ada penemuan aberasi dan pengukuran kelajuan cahaya. Dalam Kelistrikan ada klasifikasi konduktor dan nonkonduktor, penemuan elektroskop, pengembangan teori arus listrik yang serupa dengan teori penjalaran panas dan Hukum Coulomb.2[2]

3)

Periode Ketiga Periode ini dimulai pada tahun 1800 sampai 1890. Pada periode ini sudah mulai ada formulasi konsep Fisika Dasar (Fisika Klasik). Fisika juga mengalami perkembangan pesat. Dalam Mekanika muncul Persamaan Hamiltonian (Fisika Kuantum), Persamaan Gerak Benda Tegar, Teori Elastisitas, dan Hidrodinamika. Dalam Fisika Panas muncul hukum-hukum termodinamika, teori kinetik gas, juga penjalaran panas. Sementara itu, dalam listrik-magnet ditemukan hukum Ohm, hukum Faraday, dan teori Maxwell. Sedangkan dalam gelombang, ditemukan teori gelombang cahaya, prinsip interfensi, dan difraksi.

d)

Periode Keempat Periode ini telah berjalan dari tahun 1890 sampai saat ini. Pada akhir abad kesembilan belas, ditemukan beberapa fenomena yang tidak bisa dijelaskan dengan Fisika Klasik. Hal ini menuntut pengembangan konsep fisika yang lebih mendasar lagi yang sekarang disebut Fisika Modern. Dalam periode ini dikembangkan teori-teori yang lebih umum yang dapat mencakup masalah yang berkaitan dengan kecepatan yang sangat tinggi (Relativitas) dan yang berkaitan dengan partikel yang sangat kecil (Teori kuantum). Pada dasarnya, fisika terus berkembang dari masa ke masa. Berikut proses perkembangan fisika dari masa ke masa:

a)

Fisika Zaman Purbakala Sejak zaman purbakala, orang telah mencoba untuk mengerti sifat dari benda dan jagad raya, seperti mengapa objek yang tidak ditopang jatuh ke tanah? Sementara itu, sejarah fisika dimulai pada tahun sekitar 2400 SM ketika kebudayaan Harappan menggunakan suatu benda untuk memperkirakan dan menghitung sudut bintang di angkasa. Sejak saat itu fisika terus berkembang sampai ke level sekarang. Setelah itu terjadi Revolusi Ilmu yang terjadi pada sekitar tahun 1600. Peristiwa ini dapat dikatakan menjadi batas antara pemikiran purba dan lahirnya Fisika Klasik. Perkembangan fisika berlanjut ke tahun 1900 yang menandakan mulai berlangsungnya era baru yaitu era Fisika Modern.

Pada zaman ini, juga telah ada beberapa tokoh diantaranya adalah Thales (620-547 SM), Anaksimandross (609-546 SM), Anaksimenes (585-525 SM), Empedocles (490-430 SM), Leucippos (5 abad SM). b)

Fisika Klasik Pada zaman ini pemahaman di bidang kefisikaan masih sempit dan perkembangannya tidak seluas pada perkembangan konsep-konsep Fisika Modern. Contoh-contoh pemikiran pada zaman ini adalah Mekanika Klasik (Mekanika Newtonian), Elektrodinamika Klasik, Termodinamika Klasik, Teori Relativitas Umum.

c)

Fisika Modern Fisika modern ini ditandai dengan pemikiran-pemikiran baru oleh para ilmuwan fisika. Pemikiran baru ini lebih luas dari pemikiran di zaman Fisika Klasik. Fisika Modern mampu mengembangkan dan menjawab berbagai permasalahan yang tidak terjawab oleh pemikiran Fisika Klasik. Beberapa penemuan penting dalam zaman ini diantaranya adalah Relativitas Khusus dan Efek Compton.

A. FISIKA DITINJAU DARI SEGI AGAMA ISLAM Seperti disebutkan di muka, ilmu fisika yang dikenal saat ini tidak berhubungan langsung dengan ilmu apapun dalam klasifikasi ilmu pengetahuan Islam tradisional. Akan tetapi, ada tiga bidang utama yang dikenal sebagai ilmu fisika, yang sangat menarik perhatian kaum muslimin dan melahirkan tujuan besar. Yang pertama adalah optik. Kaum muslim mempunyai perhatian khusus dalam mempelajari optik dan fenomena cahaya. Puncak kegiatan ilmu ini terjadi pada abad Islam keempat di Kairo oleh Ibnu Al-Haytsam, yang terkenal dengan nama Latinnya Al-Hazen. Ibnu Al-Haytsam adalah seorang ilmuwan terbesar dalam bidang ini berada di antara Euclid dan Kepler serta beberapa fisikawan terkemuka lainnya pada abad ketujuh belas. Al-Hazen menulis kitab Al-Manazhir (Thesaurus Optical), salah satu karya paling terkemuka di bidang optik yang menerapkan metode eksperimental untuk mempelajari beberapa fenomena cahaya dan melakukan riset secara rinci tentang refraksi, refleksi, dan berbagai jenis

cermin termasuk juga cermin hiperbolik. Hal ini menuntun pada pemecahan masalah yang saat ini disebut Al-Hazen sebagai masalah untuk menghormati pencapaiannya. Dua abad kemudian di Persia, oleh Quthib Al-Din Asy-Syurazi dan muridnya Kamal Al-Din Al-Farri yang menulis penafsiran terhadap kitab AlManazhir. Untuk pertama kalinya dalam sejarah ilmu pengetahuan, mereka menjelaskan alasan yang tepat tentang pembentukan pelangi yang disebabkan oleh fraksi dan refraksi. Bidang fisika kedua yang didalami kaum muslim adalah masalah gerak. Masalah fundamental ini dipersiapkan oleh Galileo untuk menjadi dasar revolusi keilmuwan dan kritiknya terhadap teori gerak Aristoteles telah dilihat di kalangan Islam oleh Ibnu Sina yang mengemukakan gagasannya berdasarkan beberapa tulisan filosof Kristen sebelumnya, yaitu John Philoponos. Dalam kritik Ibnu Sina, ditemukan perkembangan doktrin baru tentang inklinasi (al-mayl) dan juga gagasan tentang pentingnya momentum. Juga terdapat kecenderungan di antara fisikawan muslim, termasuk Ibnu Bajjah di Spanyol, untuk mempelajari gerak proyeksi menurut aturan kuantitatif dan menerapkan rumus matematika untuk mempelajari gerak. Walaupun semua ini dinyatakan tidak tepat dalam pandangan mekanika Newton, dalam sejarah sains berikutnya, Ibnu Bajjah telah memberikan kritik yang penting tentang teori berat prevalen Aristoteles. Kita tahu bahwa pada awal 1069 Pisan Dialogue, Galileo merujuk pada teori gerak proyeksi Ibnu Bajjah yang dikutip oleh Ibnu Rusyd. Studi Fisika kaum muslim dalam aspek ini merupakan salah satu yang terpenting dalam sejarah sains secara umum. Hal ini karena tanpa kritik terhadap teori gerak Aristoteles, perkembangan fisika berikutnya di Barat yang bergantung pada Galileo dan Newton tidak dapat dibayangkan. Bidang fisika ketiga yang dipelajari kaum muslim adalah masalah tentang berat, ukuran, serta tradisi Archimedes yang menyangkut penentuan berat spesifik pengukuran berat, dan volume. Gagasannya kemudian dikembangkan oleh para fisikawan dan ahli matematika muslim sehingga muncul sejumlah besar karangan

mengenai hal ini, dan yang paling terkenal adalah karangan Al-Biruni serta AlKhazini.3[3]

Related Documents

Isteriku Nurjannah
June 2020 6
Tugas
October 2019 88
Tugas
October 2019 74
Tugas
June 2020 46
Tugas
May 2020 48

More Documents from ""