Filsafat Hukum diterjemahkan dari kata Jurisprudence (Iurisprudens), yang adalah praksis hidup yang adil dan benar. Di dalam ilmu hukum Indonesia, kata Jurisprudence diterjemahkan sebagai disiplin hukum atau ajaran hukum. Dari sini, hukum sudah dilihat dalam kerangka yang lebih praktis, dan tidak seperti dulu yang melihat filsafat hukum sebagai sesuatu yang bersifat abstrak. Sehingga, seperti yang dikatakan Theo Huijbers, Jurisprudence, yang disebut sebagai filsafat hukum, mengandung sifat-sifat yang praktis, karena tujuan utamanya memang sebagai jalan untuk menjawab tentang apa yang seharusnya dilakukan menurut hukum. Filsafat hukum tidak dapat dilepaskan dari faktor ideologi karena hal ini mempelajari bagaimana setiap pemikir menulis pemikirannya tentang dunia yang ideal atau seyogianya berjalan. Hal tersebut juga sangat digantungkan terhadap perspektif dan cara berpikir masingmasing orang mengenai dunia kehidupan itu sendiri. Sebab dengan adanya ideologi, orang dimungkinkan untuk memecahkan masalah yang ada sesuai dengan dunia ideal yang dianutnya. Apabila dibandingkan, antara filsafat hukum atau disiplin hukum dengan ilmu pengetahuan (sains), keduanya sangat berbeda, dimulai dari objek pembahasannya, sampai pada karakter-karakternya. Sains didominasi dengan adanya prinsip kausalitas dan empirisme dalam metode pembuktiannya, yang mana suatu proposisi akan menyebabkan timbulnya proposisi yang lain. Sedangkan, dalam disiplin hukum, khususnya dalam norma hukum, prinsip kausalitas bukan merupakan relasi yang membentuk unsur-unsur di dalamnya. Norma diartikan sebagai pedoman atau ukuran, yang dalam hukum, mengindikasikan adanya keharusan bagi kita untuk melakukan suatu sikap tindak tertentu. Suatu pernyataan normatif terbentuk dari unsur-unsur yang tidak memiliki hubungan kausal, melainkan hubungan keharusan. Yang dimaksud adalah bahwa suatu pernyataan tidaklah mengakibatkan munculnya pernyataan lainnya, melainkan sebuah pernyataan akan seharusnya mengimplikasikan pernyataan yang lainnya. Kant mengatakan hal ini sebagai sollen, bukannya sein. Jadi, karakter normatif dari hukum adalah bahwa hukum mengindikasikan sebuah pedoman atau patokan dalam bersikap tindak, yang berisi pernyataan-pernyataan yag dihubungkan dengan relasi keharusan satu dengan yang lainnya. Banyak kecenderungan untuk menghubungkan aturan-aturan normatif langsung dengan hipotesis yang berkarakter faktual. Padahal, menurut Hume, hal tersebut merupakan sebuah kesalahan untuk menarik sebuah keharusan dari kenyataan, sebab sebuah pernyataan normatif tidak dapat langsung disimpulkan secara murni dari kenyataan. Hal ini karena sebuah pernyataan
tentang harus melakukan sesuatu tidak memberikan sebuah deskripsi tentang fakta, tetapi untuk mempreskripsikan suatu tindak didasarkan pada implikasi adanya rasio untuk bertindak. Makna hukum sangat dilekatkan dan digantungkan pada ideologi masing-masing orang, yang sangat dipengaruhi oleh paradigma orang yang bersangkutan. Tidak ada yang paling tepat dan paling benar dari sebuah definisi hukum, sehingga harus dilihat dari ruang lingkup pembahasannya masing-masing. Hukum menghendaki adanya keteraturan dan kepastian, namun di sisi lain, hukum juga harus memperhatikan keadilan. Oleh karena itu, hukum tidak dapat dilepaskan dari moralitas dan pemikiran tentang moral. Menurut Kant, moralitas akan tercapai apabila kita menaati hukum bukan lantaran hal tersebut membawa akibat yang menguntungkan bagi kita atau karena takut akan sanksi, melainkan kita sendiri sadar bahwa hukum merupakan kewajiban kita. Namun, dalam kenyataan hidup, manusia selalu berada dalam paradoksalitas dalam menaati hukum.. Selain itu, substansi atau materi hukum juga bersifat kontekstual dan subjektif. Oleh karena itu, sangatlah sulit untuk mendefinisikan hukum itu sendiri.
KOMENTAR: Filsafat hukum merupakan suatu hal yang krusial dalam mempelajari ilmu hukum. Dengan mempelajarinya, kita dapat memahami bahwa yang namanya hukum tidak dapat didefinisikan dengan ajeg. Definisi hukum sangat dipengaruhi oleh ideologi masing-masing orang yang bersangkutan, apa yang seharusnya atau idealnya dilakukan. Sehingga, kita pun tahu bahwa disiplin hukum sama sekali berbeda dengan sains. Dalam sains, seringkali suatu fakta mengakibatkan timbulnya suatu fakta, sudah ajeg dan pasti. Namun, dalam norma hukum, unsur yang satu mempunyai hubungan keharusan dengan yang lainnya. Contohnya terdapat rambu lalu lintas (yang merupakan norma hukum), tertuliskan dilarang parkir. Yang seharusnya dilakukan oleh pengendara mobil adalah tidak memarkirkan mobilnya, namun bukan berarti secara mutlak tidak akan ada mobil yang parkir di sana. Hal ini menggambarkan bahwa peristiwa yang seharusnya dilakukan, tidak selalu merupakan peristiwa yang terjadi.