Nama
: Fachri Dio Pamungkas
NPM
: 150510180041 Hijrah Rasulullah ke Thaif Thaif adalah wilayah yang berjarak sekitar 80 kilometer dari Mekkah. Thaif
merupakan salah satu tempat yang bersejarah dalam perkembangan agama Islam. Ke wilayah yang bersuhu dingin itulah, Rasulullah pernah berhijrah. Di tempat itulah, kaum Muslim di era Nabi Muhammad SAW pernah bertempur membela agama Allah. Peristiwa hijrah Rasulullah SAW ke Thaif, terjadi pada bulan Syawal tahun kesepuluh kenabian. Tak lama setelah Khadijah dan Abu Thalib wafat. Abu Thalib paman Rasulullah SAW semasa hidupnya selalu melindunginya dari siksaan dan teror kafir Quraisy. Namun gangguan kaum Quraisy terhadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam semakin meningkat. Hingga akhirnya, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam
memutuskan
keluar
dari
Mekkah
untuk
menuju
Thaif.
Beliau
Shallallahu‘alaihi wa sallam berharap penduduk Thaif mau menerimanya Harapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ternyata tinggal harapan. Nabi SAW mencoba meminta bantuan kepada Bani Tsaqif yang tinggal di Thaif. Namun, mereka malah memerintahkan anak-anak untuk melempari Rasulullah SAW dengan bebatuan. Rasulullah SAW tinggal di Thaif selama 10 hari.. Penduduk Thaif menolak Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mencemoohnya, bahkan mereka memperlakuan secara buruk terhadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Kenyataan ini sangat menggoreskan kesedihan dalam hati Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Maka beliaupun kembali ke Mekkah dalam keadaan sangat sedih, merasa sempit dan susah.
Keadaan ini diceritakan Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam saat ditanya oleh istri tersayang, yaitu ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma : شدَّ َما لَ ِقيتُ ِم ْن ُه ْم يَ ْو َم َ َ شد َّ َعلَيْكَ ِم ْن يَ ْو ِم أ ُ ُح ٍد قَا َل لَقَدْ لَ ِقيتُ ِم ْن قَ ْو ِم ِك َما لَ ِقيتُ َو َكانَ أ َ َ علَيْكَ يَ ْو ٌم َكانَ أ َ ه َْل أَت َى َ ضتُ نَ ْفسِي َعلَى اب ِْن َع ْب ِد يَا ِلي َل ب ِْن َع ْب ِد ُك ََل ٍل فَلَ ْم ي ُِج ْبنِي ِإلَى َما أَ َردْتُ فَا ْن طلَ ْقتُ َوأَنَا َم ْه ُمو ٌم َعلَى ْ ْال َعقَبَ ِة ِإذْ َع َر َ َظلَّتْ ِني فَن َ َ س َحا َب ٍة قَدْ أ ظ ْرتُ فَإِذَا ِفي َها ِج ْب ِري ُل ِ َوجْ ِهي فَلَ ْم أ َ ْست َ ِف ْق ِإ َّّل َوأَنَا ِبقَ ْر ِن الث َّ َعا ِل َ ب فَ َرفَ ْعتُ َرأْ ِسي فَإِذَا أَنَا ِب َ َس ِم َع قَ ْو َل قَ ْو ِمكَ لَكَ َو َما َردُّوا َعلَيْكَ َوقَدْ بَع َّ َث إِلَيْكَ َملَكَ ْال ِجبَا ِل ِلتَأ ْ ُم َرهُ ِب َما ِشئْت َ َّْللاَ قَد ْ ُ ي ث ُ َّم قَا َل َيا ُم َح َّمد ُ إِ ْن ِشئْتَ أ َ ْن أ َّ صلَّى َُّللا َ َْال ِجبَا ِل ف َ ي ُّ ِطبِقَ َعلَ ْي ِه ْم ْاْل َ ْخ َشبَي ِْن فَقَا َل النَّب َّ َسلَّ َم َعل َّ ُ ص ََلبِ ِه ْم َم ْن يَ ْعبُد َّ سلَّ َم بَ ْل أَ ْر ُجو أ َ ْن ي ُْخ ِر َج ش ْيئًا َ َّللاَ َوحْ دَهُ َّل يُ ْش ِركُ بِ ِه ْ َ َّللاُ ِم ْن أ َ َعلَ ْي ِه َو
فَنَادَانِي فَقَا َل إِ َّن ُفِي ِه ْم فَنَادَانِي َملَك
“Apakah pernah datang kepadamu (Anda pernah mengalami) satu hari yang lebih berat dibandingkan dengan saat perang Uhud?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab : “Aku telah mengalami penderitaan dari kaummu. Penderitaan paling berat yang aku rasakan, yaitu saat ‘Aqabah, saat aku menawarkan diri kepada Ibnu ‘Abdi Yalîl bin Abdi Kulal, tetapi ia tidak memenuhi permintaanku. Aku pun pergi dengan wajah bersedih. Aku tidak menyadari diri kecuali ketika di Qarnust-Tsa’âlib, lalu aku angkat kepalaku. Tiba-tiba aku berada di bawah awan yang sedang menaungiku. Aku perhatikan awan itu, ternyata ada Malaikat Jibril, lalu ia memanggilku dan berseru: ‘Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla telah mendengar perkataan kaummu kepadamu dan penolakan mereka terhadapmu. Dan Allah Azza wa Jalla telah mengirimkan malaikat penjaga gunung untuk engkau perintahkan melakukan apa saja yang engkau mau atas mereka’. Malaikat (penjaga) gunung memanggilku, mengucapkan salam lalu berkata: ‘Wahai Muhammad! Jika engkau mau, aku bisa menimpakan Akhsabain’.” Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “(Tidak) namun aku berharap supaya Allah Azza wa Jalla melahirkan dari anak keturunan mereka orang
yang beribadah kepada Allah semata, tidak mempersekutukan-Nya dengan apapun jua”. [HR Imam al-Bukhâri dan Imam Muslim].
Isra’ Mi’raj Isra’ Mi’raj adalah peristiwa yang jatuh pada 27 Rajab. sra’ adalah diperjalankannya Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam di malam hari. Mi’raj adalah diangkatnya beliau ke langit. Salah satu hadits yang membicarakan Isra’ Mi’raj adalah hadits berikut ini. Dari Sa’id bin Al Musayyib, dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, « فَإِذَا َر ُج ٌل – َح ِس ْبتُهُ قَا َل-صلى هللا عليه وسلم- ى َّ سى – َعلَ ْي ِه ال َ ى ِبى َل ِقيتُ ُمو ُّ فَ َن َعتَهُ النَّ ِب.» – سالَ ُم َ « ِحينَ أُس ِْر َ ض « -صلى هللا عليه وسلم- ى َ الرأْ ِس َكأَنَّهُ ِم ْن ِر َجا ِل ْ – ُم َّ ط ِربٌ َر ِج ُل َ شنُو َءةَ – قَا َل – َولَ ِقيتُ ِعي ُّ ِ فَنَ َعتَهُ النَّب.» سى .» اس ٍ فَإِذَا َر ْبعَةٌ أَحْ َم ُر َكأَنَّ َما خ ََر َج ِم ْن دِي َم َّ ُصلَ َوات َّللاِ َعلَ ْي ِه – َوأَنَا أَ ْشبَهُ َولَ ِد ِه بِ ِه – َقا َل – َفأُتِيتُ بِإِنَا َءي ِْن فِى َ – ِيم َ – يَ ْعنِى َح َّما ًما – قَا َل « َو َرأَيْتُ إِب َْراه ْ ص ْبتَ ْال ِف ْ فَقَا َل ُهدِيتَ ْال ِف. ُ فَأ َ َخذْتُ اللَّبَنَ فَش َِر ْبتُه. َأ َ َح ِد ِه َما لَبَ ٌن َوفِى اآلخ َِر خ َْم ٌر فَ ِقي َل ِلى ُخذْ أَيَّ ُه َما ِشئْت َ ط َرة َ َ ط َرةَ أ َ ْو أ ْ أَ َما ِإنَّكَ لَ ْو أَ َخذْتَ ْال َخ ْم َر غ ََو .» َت أ ُ َّمتُك “Ketika aku diisra’kan (diperjalankan), aku bertemu Musa ‘alaihis salam.” Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mensifatinya dengan mengatakan bahwa ia adalah pria yang tidak gemuk yang berambut antara lurus dan keriting serta terlihat begitu gagah.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku pun bertemu ‘Isa.” Lalu beliau mensifati ‘Isa bahwa ia adalah pria yang tidak terlalu tinggi, tidak terlalu pendek dan kulitnya kemerahan seakan baru keluar dari kamar mandi. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku pun bertemu Ibrahim – shalawatullah ‘alaih– dan aku adalah keturunan Ibrahim yang paling mirip dengannya. Aku pun datang dengan membawa dua wadah. Salah satunya berisi susu dan yang lainnya khomr (arak). Lantas ada yang mengatakan padaku, “Ambillah mana yang engkau suka.” Aku pun memilih susu, lalu aku meminumnya.” Ia pun berkata, “Engkau benar-benar berada dalam fithrah. Seandainya yang kau ambil adalah khomr, tentu umatmu pun akan ikut sesat.” (HR. Muslim no. 168). Kapankah Isra` dan Mi’raj? Sebagian orang meyakini bahwa peristiwa ini terjadi pada tanggal 27 Rajab. Padahal, para ulama ahli sejarah berbeda pendapat tentang tanggal kejadian kisah ini. Ada beberapa perbedaan pendapat mengenai penetapan waktu terjadinya Isra’ Mi’raj , yaitu : 1. Peristiwa
tersebut
terjadi
pada
tahun
tatkala
Allah
memuliakan
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan nubuwah (kenabian). Ini adalah pendapat Imam Ath Thabari rahimahullah. 2. Perisitiwa tersebut terjadi lima tahun setelah diutus sebagai rasul. Ini adalah pendapat
yang
dirajihkan
oleh
Imam
An
Nawawi
dan
Al
Qurthubi rahimahumallah. 3. Peristiwa tersebut terjadi pada malam tanggal dua puluh tujuh Bulan Rajab tahun
kesepuluh
kenabian.
Ini
adalah
pendapat
Al
Allamah
Al
Manshurfuri rahimahullah. 4. Ada yang berpendapat, peristiwa tersebut terjadi enam bulan sebelum hijrah, atau pada bulan Muharram tahun ketiga belas setelah kenabian.
5. Ada yang berpendapat, peristiwa tersebut terjadi setahun dua bulan sebelum hijrah, tepatnya pada bulan Muharram tahun ketiga belas setelah kenabian. 6. Ada yang berpendapat, peristiwa tersebut terjadi setahun sebelum hijrah, atau pada bulan Rabi’ul Awwal tahun ketiga belas setelah kenabian. Syaikh pendapat
Shafiyurrahman pertama
Al
Mubarakfuri hafidzahullah menjelaskan
tertolak.
Alasannya
karena
:
“Tiga
Khadijah radhiyallahu
‘anha meninggal dunia pada bulan Ramadhan tahun kesepuluh setelah kenabian, sementara ketika beliau meninggal belum ada kewajiban shalat lima waktu. Juga tidak ada perbedaan pendapat bahwa diwajibkannya shalat lima waktu adalah pada saat peristiwa Isra’ Mi’raj. Sedangakan tiga pendapat lainnya, aku
tidak
mengetahui mana yang lebih rajih. Namun jika dilihat dari kandungan surat Al Isra’ menunjukkan bahwa peristiwa Isra’ Mi’raj terjadi pada masa-masa akhir sebelum hijrah.” Dapat kita simpulkan dari penjelasan di atas bahwa Isra` dan Mi’raj tidak diketahui secara pasti pada kapan waktu terjadinya. Ini menunjukkan bahwa mengetahui kapan waktu terjadinya Isra’ Mi’raj bukanlah suatu hal yang penting. Lagipula, tidak terdapat sedikitpun faedah keagamaan dengan mengetahuinya. Seandainya ada faidahnya maka pasti Allah akan menjelaskannya kepada kita. Maka memastikan kejadian Isra’ Mi’raj terjadi pada Bulan Rajab adalah suatu kekeliruan. Wallahu ‘alam.. Sikap Seorang Muslim Terhadap Kisah Isra’ Mi’raj Berita-berita yang datang dalam kisah Isra’ Miraj seperti sampainya beliau ke Baitul Maqdis, kemudian berjumpa dengan para nabi dan shalat mengimami mereka, serta berita-berita lain yang terdapat dalam hadits- hadits yang shahih merupakan perkara ghaib. Sikap ahlussunnah wal jama’ah terhadap kisah-kisah seperti ini harus mencakup kaedah berikut :
1. Menerima berita tersebut. 2. Mengimani tentang kebenaran berita tersebut. 3. Tidak menolak berita tersebut atau mengubah berita tersebut sesuai dengan kenyataannya. Kewajiban kita adalah beriman sesuai dengan berita yang datang terhadap seluruh perkara-perkara ghaib yang Allah Ta’ala kabarkan kepada kita atau dikabarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hendaknya kita meneladani sifat para sahabt radhiyallahu ‘anhum terhadap berita dari Allah dan rasul-Nya. Dikisahkan dalam sebuah riwayat bahwa setelah peristiwa Isra’ Mi’raj, orang-orang musyrikin datang menemui Abu Bakar As Shiddiq radhiyallahu ‘anhu. Mereka mengatakan : “Lihatlah apa yang telah diucapkan temanmu (yakni Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam)!” Abu Bakar berkata : “Apa yang beliau ucapkan?”. Orang-orang musyrik berkata : “Dia menyangka bahwasanya dia telah pergi ke Baitul Maqdis dan kemudian dinaikkan ke langit, dan peristiwa tersebut hanya berlangsung satu malam”. Abu Bakar berkata : “Jika memang beliau yang mengucapkan, maka sungguh berita tersebut benar sesuai yang beliau ucapkan karena sesungguhnya beliau adalah orang yang jujur”. Orang-orang musyrik kembali bertanya: “Mengapa demikian?”. Abu Bakar menjawab: “Aku membenarkan seandainya berita tersebut lebih dari yang kalian kabarkan. Aku membenarkan berita langit yang turun kepada beliau, bagaimana mungkin aku tidak membenarkan beliau tentang perjalanan ke Baitul Maqdis ini?” (Hadits diriwayakan oleh Imam Hakim dalam Al Mustadrak 4407 dari ‘Aisyah radhiyallahu’anha). Perhatikan bagaimana sikap Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu terhadap berita yang datang dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau langsung membenarkan dan mempercayai berita tersebut. Beliau tidak banyak bertanya, meskipun peristiwa
tersebut mustahil dilakukan dengan teknologi pada saat itu. Demikianlah seharusnya sikap seorang muslim terhadap setiap berita yang shahih dari Allah dan rasul-Nya.
Hikmah Terjadinya Isra` Apakah
hikmah
terjadinya Isra`,
kenapa
Nabi shallallahu
‘alaihi
wa
sallam tidak Mi’raj langsung dari Mekkah padahal hal tersebut memungkinkan? Para ulama menyebutkan ada beberapa hikmah terjadinya peristiwa Isra`, yaitu: 1. Perjalanan Isra’ di bumi dari Mekkah ke Baitul Maqdis lebih memperkuat hujjah
bagi
orang-orang
musyrik.
Jika
beliau
langsung Mi’raj ke
langit, seandainya ditanya oleh orang-orang musyrik maka beliau tidak mempunyai alasan yang memperkuat kisah perjalanan yang beliau alami. Oleh karena itu ketika orang-orang musyrik datang dan bertanya kepada beliau, beliau menceritakan tentang kafilah yang beliau temui selama perjalanan Isra’. Tatkala kafilah tersebut pulang dan orang-orang musyrik bertanya kepada mereka, orang-orang musyrik baru mengetahui benarlah apa yang disampaikan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. 2. Untuk menampakkan hubungan antara Mekkah dan Baitul Maqdis yang keduanya merupakan kiblat kaum muslimin. Tidaklah pengikut para nabi menghadapkan wajah mereka untuk beribadah keculali ke Baitul Maqdis dan Makkah Al Mukarramah. Sekaligus ini menujukkan keutamaan beliau melihat kedua kiblat dalam satu malam. 3. Untuk
menampakkan
keutamaan
Nabi shallallahu
‘alaihi
wa
sallam dibandingkan para nabi yang lainnya. Beliau berjumpa dengan mereka di Baitul Maqdis lalu beliau shalat mengimami mereka.
Faedah Kisah Kisah yang agung ini sarat akan banyak faedah, di antaranya : 1. Kisah Isra’
Mi’raj termasuk
tanda-tanda
kebesaran
dan
kekuasaan
Allah ‘Azza wa Jalla. 2. Peristiwa ini juga menunjukkan keutamaan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas seluruh nabi dan rasul’alaihimus shalatu wa salaam 3. Peristiwa
yang
agung
ini
menunjukkan
keimanan
para
sahabat radhiyallahu’anhum. Mereka meyakini kebenaran berita tentang kisah ini, tidak sebagaimana perbuatan orang-orang kafir Quraisy. 4. Isra` dan Mi’raj terjadi dengan jasad dan ruh beliau, dalam keadaan terjaga. Ini adalah pendapat jumhur (kebanyakan) ulama, muhadditsin, dan fuqaha, serta inilah pendapat yang paling kuat di kalangan para ulama Ahlus sunnah. Allah Ta’ala berfirman yang artinya : “Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat”. (QS. AlIsra` : 1)