Tugas Mata (10).docx

  • April 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Tugas Mata (10).docx as PDF for free.

More details

  • Words: 7,994
  • Pages: 30
NAMA : ZUHAIFAH INAYAH M.S NIM

: 1308012049

JENIS REAKSI IMUNOLOGI Pertahanan Tubuh dan Respon Imun Pertahanan tubuh alami Di kehidupan sehari-hari, banyak sekali pathogen (baik itu virus dan bakteri) yang terdapat disekiling kita. Jika pathogen itu tidak mengalami penolakan oleh sistem imun kita, tentunya tubuh kita akan mudah sakit. Secara alami, terdapat empat pertahanan tubuh pada manusia yaitu: Pertahanan Fisik Kulit Kulit merupakan rintangan yang secara normal dan tidak dapat ditembus oleh virus dan bakteri. Lapisan luar kulit yang mengandung sedikit air akan menghambat tubuhnya mikroorganisme. Pada kulit juga terjadi pertahanan kimia yang akan dijelaskan selanjutnya. Air mata Kelenjar lakrimal mensekresikan air mata yang secara terus menerus membasahi, melarutkan dan mencuci mikroorganisme yang terpapar penyebab iritasi mata Sekresi kelenjar minyak dan kelenjar keringat Sebum yang disekresikan oleh kelenjar sebaceous mengandung asam lemak yang memiliki pH rendah (3-5) yang menghambat pertumbuhan bakteri dan bersifat antimikrobial Mukus Mukus (sekresi lendir) oleh sel-sel goblet pada saluran pernafasan akan mengikat pathogen yang berasal dari udara dan akan dikeluarkan melalui bersin. Mukus yang disekresikan oleh membran mukosa saluran pencernaan juga akan menghambat pertumbuhan pathogen.

Gambar. Silia pada saluran pernafasan juga sekresi mukus oleh sel mukosa saluran pernafasan sebagai pertahanan tubuh Pertahanan Mekanik Pertahanan mekanik merupakan pertahanan tubuh karena adanya pergerakan struktur organ didalam tubuh. Misalnya rambut hidung sebagai filter udara, struktur silia pada saluran pernafasan juga terus menerus mengalami pergerakan yang mendorong pathogen yang telah terikat pada mucus ke luar tubuh. Pertahanan Kimia Pada manusia, misalnya sekresi yang berupa air mata, mukus, saliva, keringat, sebum akan memberikan pH yang berkisar 3-5 yang cukup asam dalam mencegah kolonisasi oleh banyak

pathogen. Selain itu, semua sekresi tersebut mengandung protein antimikroba yang disebut dengan lisozim. Lisozim yaitu enzim yang mencerna dinding sel dari banyak jenis bakteri. Mikroba yang masuk kedalam saluran pencernaan bersama makanan juga akan menghadapi suasana lambung yang sangat asam. Asam akan merusak banyak banyak mikroba sebelum mikroba tersebut masuk kesaluran usus. Akan tetapi terdapat pengecualian penting yaitu virus hepatitis A merupakan salah satu dari sekian banyak pathogen yang dapat bertahan hidup dalam keasaman lambung. Selait itu, asam laktat yang terkandung dicairan keringat dan cairan yang disekresikan vagina. Pertahanan Biologis Terdapat beberapa jenis bakteri yang merupakan flora alami kulit dan membran mukosa. Bakteri tersebut tidak berbahaya bagi tubuh melainkan melindungi kita dengan cara berkompetisi dengan bakteri pathogen dalam mendapatkan nutrisi.

Gambar. Lactobacillus brevis sebagai flora alami saluran pencernaan Pertahanan tubuh oleh sel darah putih Sel darah putih (leukosit) berfungsi sebagai petahanan tubuh terhadap pathogen. Berikut ini adalah beberapa macam leukosit dan fungsinya.

Jenis Leukosit Neutrofil Eosinofil Basofil

Fungsi Bersifat fagositosis Berperan dalam reaksi alergi Melepaskan histamin yang menyebabkan reaksi inflamasi

Monosit Limfosit

Besifat fagositosis Berperan dalam respon imun spesifik Limfosit B Respon imunitas yang diperantarai antibodi Limfosit T Respon imunitas yang diperantarai sel

Respon Imun Jika pathogen memasuki tubuh, ada 2 cara yang dilakukan oleh tubuh dalam memberikan respon terhadap masuknya pathogen tersebut yaitu respon imun non-spesifik dan respon imun spesifik. Respon Imun Non-spesifik Dikatakan respon imun non-spesifik dikarenakan respon imun yang timbul terjadi pada jaringan tubuh yang rusak/luka bukan terhadap penyebab kerusakan itu sendiri. Respon imun non-spesifik berupa inflamasi dan fagositosis. Inflamasi Pembengkakan jaringan (inflamasi) merupakan reaksi cepat terhadap kerusakan jaringan. Terjadinya inflamasi ditandai dengan: Timbulnya warna kemerahan Timbulnya rasa panas Terjadinya pembengkakan Timbulnya rasa sakit Perhatikan penggambaran respon peradangan yang disederhanakan berikut ini:

Keterangan: 1. Respon yang terlokalisasi dipicu ketika sel-sel jaringan yang rusak oleh bakteri atau kerusakan fisik membebaskan sinyal kimiawi seperti histamin dan prostaglandin. 2. Sinyal tersebut merangsang pembesaran kapiler (yang mengakibatkan peningkatan aliran darah) dan meningkatkan permeabilitas kapiler di daerah yang terserang. Sel-sel jaringan juga membebaskan zat kimia yang mengandng fagositik dan limfosit. 3. Ketika fagosit tiba ditempat luka, mereka memakan patogen dan serpihanserpihan sel dan jaringan itu sembuh. Fagositosis Fagositosis dilakukan oleh leukosit jenis neutrofil dan monosit. Neutrofil menyusun sekitar 60%-70% dari semua leukosit. Sel-sel yang dirusak oleh mikroba yang menyerang membebaskan sinyal kimiawi yang menarik neutrofil dari darah untuk memasuki jaringan yang terinfeksi, lalu menelan dan merusak mikroba tersebut. Akan tetapi neutrofil cendrung akan merusak diri sendiri ketika neutrofil tersebut memfagositasi pathogen. Masa hidup neutrofil rata-rata hanya beberapa hari. Monosit menyusun sekitar 5% dari seluruh leukosit. Monosit bersirkulasi dalam darah hanya beberapa jam kemudian bermigrasi kedalam jaringan dan berkembang menjadi makrofag. Makrofag ini merupakan sel fagositik terbesar, sangat efektif dan berumur

panjang. Sel ini akan menjulurkan pseudopodianya yang dapat menempel pada polisakarida permukaan mikroba, menelan mikroba dan mencernanya dengan enzim-enzim lisozim tersebut.

Gambar. Mikrograf ini menunjukkan kaki semu (pseudopodia) makrofag yang menyerupai filamen sedang mengikat bakteri berbentuk batang, yang nantinya akan ditelan dan dirusak.

Respon imun Spesifik Dikatakan respon imun spesifik dikarenakan respon imun yang terjadi akan melindungi tubuh dari serangan pathogen dan memastikan pathogen tersebut tidak berbaik melawan jaringan tubuh itu sendiri. Respon imun spesifik dibedakan mejadi Antibody-mediated immunity (imunitas yang diperantarai oleh antibody / imunitas humoral) Cell-mediated immunity (imunitas yang diperantarai sel) Antibody-mediated immunity (imunitas yang diperantarai oleh antibody / imunitas humoral) Respon imun ini melibatkan suatu senyawa kimia yang disebut sebagai antibody. Antibody dihasilkan oleh sel limfosit B yang akan aktif jika mengenali antigen yang terdapat pada permukaan sel pathogen. Antibody akan menyerang pathogen sebelum pathogen tersebut menyerang sel-sel tubuh. Terdapat 3 jenis sel B yaitu: Sel B plasma. Mensekresikan antibody ke sirkulasi tubuh. Setiap antibody bersifat spesifik terhadap satu jenis antigen. Masa hidup selama 4-5 hari. Sel B memori. Masa hidup lama dalam darah. Sel ini akan mengingat suatu antigen dan akan merespon dengan cepat ketika terjadi infeksi kedua Sel B pembelah. Berfungsi untuk menghasilkan sel B dalam jumlah banyak.

Gambar. Sel B dan sel T bersama mengenali antigen dengan jumlah yang tidak terbatas, tetapi masing-masing individu hanya mengenali satu antigen (perhatikan adanya perbedaan bentuk reseptor antigen antara keenam sel B diatas). Ketika suatu antigen berikatan dengan sel B atau sel T, sel tersebut akan memperbanyak diri dan membentuk klon sel yang sama. proliferasi sel-sel ini akan membentuk sel-sel plasma dan sel-sel memori. Berikut ini adalah mekanisme imunitas yang diperantarai oleh antibody: 1. Ketika pathogen masuk kedalam tubuh, masing-masing antigen akan mengaktifkan satu sel B. 2. Sel B tersebut akan membelah menbentuk populasi sel yang besar. 3. Semua klon sel tersebut kemudian mensekresikan antibody yang spesifik terhadap pathogen yang menyerang. 4. Setelah infeksi berakhir, sel B yang mensekresikan antibody akan mati. (mekanisme dari 1 – 4 disebut dengan respon imun primer) 5. Sel B memori telah mengingat pathogen yang menginfeksi dan sel B ini akan bertahan hidup beberapa tahun dalam tubuh. Jika pathogen dengan antigen yang sama menginfeksi kembali, maka sel B memori ini akan membelah dengan cepat membentuk populasi sel B yang besar dan mensekresikan antibody spesifik. (mekanisme ini disebut respon imun sekunder) Struktur dan Fungsi Antibody Antibody merupakan respon terhadap gangguan dari luar ayng dibentuk oleh sekelompok sel limfosit B. Antibody tersusun atas suatu serum globulin yang disebut dengan Immunoglobulin (Ig). Sebuah molekul antibody umumnya mengandung dua tempat pengikatan antigen yang spesifik. Perhatikan struktur antibody dibawah ini dan cara pelekatannya terhadap antigen.

Gambar. antibodi akan berikatan dengan epitop pada permukaan antigen. pada gambar ini, tiga molekul antobodi yang berbeda bereaksi dengan epitop yang berbeda pada molekul antigen besar yang sama.

Gambar. Molekul antibodi

Immunoglobulin terdiri dari 5 jenis yaitu: Kelima Kelas Immunoglobulin (Ig) IgM merupakan antibody pertama yang IgM bersirkulasi sebagai respon awal terhadap pemaparan antigen. Berfungsi sangat efektif dalam mengaglutinasi atau menggumpalkan antigen. IgG merupakan antibody yang sangat berlimpah IgG pada sirkulasi. IgG melindungi tubuh dari bakteri, virus dan toksin yang beredar dalam darah dan limfa. Terdapat berlimpah pada membrane mukosa. Iga IgA ditemukan dalam sebagian besar sekresi tubuh seperti ludah, keringat, da air mata. IgA juga terkandung didalam kolostrum. IgD terdapat pada permukaan limfosit B yang IgD merupakan reseptor antigen yang diperlukan dalam memula diferensiasi sel B menjadi sel B plasma dan sel B memori Ketika dipicu oleh antigen, akan menyebabkan sel IgE membebaskan histamine dan zat kimia lain yang menyebabkan reaksi alergi. Berikut ini merupakan aksi antibody terhadap antigen:

Gambar. Mekanisme efektor pada kekebalan yang diperantarai antibodi. Pengikatan antibodi ke antigen menandai sel asing dan molekul asing agar dirusak oleh fagosit atau sistem komplemen protein. Aksi

antibodi

terhadap

antigen

seperti

terlihat

pada

gambar

diatas

meliputi:

Menyebabkan antigen saling melekat Menstimulasi fagositosis oleh neutrofil Berperan sebagai antitoksin dan menyebabkan pengendapan toksin bakteri Mencegah bakteri pathogen melekat pada membrane sel tubuh. Cell-mediated immunity (imunitas yang diperantarai sel) Imunitas yang diperantarai sel melibatkan sel-sel yang menyerang langsung organism asing. Sel yang dimaksud adalah Limfosit T. hampir sama dengan mekanisme respon imun dengan antibody, pada respon imun yang diperantarai sel, sel limfosit T juga akan bereaksi dengan antigen yang spesifik. Ketika pathogen menginfeksi tubuh untuk pertama kalinya, setiap antigen akan menstimuli satu sel limfosit t untuk membelah membentuk klon. Beberapa klon akan membentuk sel-sel memori yang spesifik terhadap satu jenis antigen. Sementara beberapa klon lain akan berdiferensiasi menjadi beberapa bentuk limfosit T berikut: Helper T cell Berfungsi sebagai menstimulasi sel B untuk membelah dan memproduksi antibody serta mengaktifkan dua jenis sel T yang lain dan mengaktifkan makrofag untuk segera memfagosit pathogen. Killer T cell Disebut juga dengan sel T sitotoksit, menyerang sel tubuh yang terinfeksi dan pathogen secara langsung. Sel T killer akan membentuk pori pada sitoplasma sel pathogen sehingaa sel pathogen kehilangan sitoplasma dan kemudian mati. Suppressor T cell Berfungsi menurunkan dan menghentikan respon imun ketika mekanisme imun tidak diperlukan lagi. Mekanime ini sangat penting, karena jika tidak, produksi antibody dan pembelahan sel B dan sel T terus menerus akan merusak jaringan tubuh yang normal.

Gambar. Interaksi sel T dengan molekul antigen (MHC) Secara garis besar, respon imun dapat digambarkan seperti dibawah ini:

Gambar. Pada gambar ini diperlihatkan respon imun primer dari respon imun yang diperantarai antibodi dan yang diperantarai sel. RESPON IMUN Respon imun merupakan respon yang ditimbulkan oleh sel-sel dan molekul yang menyusun sistem imunitas setelah berhadapan dengan substansi asing (antigen). Respon imun ini juga banyak didefinisikan sebagai respons tubuh berupa suatu urutan kejadian yang kompleks terhadap antigen, untuk mengeliminasi antigen tersebut. Respons ini dapat melibatkan berbagai macam sel dan protein, terutama sel makrofag, sel limfosit, komplemen, dan sitokin yang saling berinteraksi secara kompleks. Respon imun bertanggung jawab mempertahankan kesehatan tubuh, yaitu mempertahankan tubuh terhadap serangan sel patogen maupun sel kanker. Respon imun terbagi menjadi dua jenis berdasarkan mekanisme pertahanan tubuh yaitu : · Respon imun spesifik : Menghancurkan senyawa asing yang sudah dikenalnya · Respon imun nonspesifik : Lini pertama terhadap sel sel atipikal (sel asing, mutan yang cedera) Mencakup : Peradangan, interferon, sel NK dan sistem komplemen Respon sistem imun tubuh pasca rangsangan substansi asing (antigen) adalah munculnya sel fungsional yang akan menyajikan antigen tersebut kepada limfosit untuk dieliminasi. Setelah itu muncul respon imun nonspesifik dan/atau respon imun spesifik, tergantung kondisi survival antigen tersebut. Apabila dengan repon imun spesifik sudah bisa dieliminasi dari tubuh, maka respon imun spesifik tidak akan terinduksi. Apabila antigen masih bisa

bertahan (survival), maka respon imun spesifik akan terinduksi dan akan melakukan proses pemusnahan antigen tersebut. Respon imun seluler bertujuan mengeliminasi mikroorganisme intrasel dan terutama dilakukan oleh limfosit T yang teraktifasi. Aktifasi limfosit membutuhkan paparan antigen dan stimulus dari sinyal-sinyal yang berasal dari mikroorganisme atau berasal dari respon imun alamiah terhadap mikroorganisme tersebut. Adapun perbedaan antara respon imun spesifik dan nonspesifik adalah sebagai berikut :

Resistensi Spesifitas

Sel yang penting

Molekul yang penting

Non Spesifik Spesifik Tidak Berubah oleh infeksi Umumnya efektif terhadap semua mikroorganisme Fagosit Sel NK Sel K

Spesifik Membaik oleh infeksi berulang Spesifik untuk mikroorganisme yang sudah mensensitisasi sebelumnya Limfosit

Lizosim Komplemen Interferon

Antibodi Sitokin

Respon Imun Spesifik terbagi dua sistem kerja yaitu :  Imunitas yang diperantarai oleh antibodi yang merupakan turunan limfosit B  Imunitas yang diperantarai oleh sel yang merupakan limfosit T Pada limfosit B, antibodi diproduksi dan melakukan mekanisme pertahanan tubuh sesuai aktifitas biologisnya. Antibodi berdasarkan aktifitas biologisnya, dibagi menjadi : 1. IgM Reseptor permukaan sel B, tempat antigen melekat 2. IgG, dihasilkan >> jika tubuh terpajan ulang antigen sama IgG & IgM Bakteri dan beberapa jenis virus 3. IgE, untuk respons alergi seperti asma & biduran 4. IgA, dalam seleksi sistem pencernaan, pernafasan, genitourinaria, air susu dan air mata 5. IgD, dipermukaan sel B, fungsi belum jelas Setiap antigen merangsang klon limfosit B yang berbeda untuk menghasilkan antibodi. Terdapat dua jenis imunitas dalam pembentukan antibodi pada limfosit B, yaitu :  Imunitas aktif : Pembentukan antibodi akibat pajanan ke suatu antigen



Imunitas pasif : Imunitas yang diperoleh segera setelah menerima antibodi yang sudah

dikenal Sel B berikatan dengan antigen menyebabkan sel plasma yang menghasilkan antibodi. Antibodi dikeluarkan ke dalam darah/limfe kemudian memperoleh akses kedalam darah selanjutnya Globulin γ/Imunoglobulin. Antibodi mengidentifikasi zat asing dan meningkatkan aktivitas berbagai sistem pertahanan melalui : 1. Pengaktifan sistem komplemen

· ·

2.

Peningkatan fagositosis

3.

Stimulasi sel pembunuh.

Pada Limfosit T, sel T diaktifkan oleh antigen asing hanya apabila antigen tersebut membawa identitas individu yang bersangkutan. Terdapat 3 sub populasi Sel T : 1. Sel T sitotoksik Mengancurkan sel pejamu yang memiliki antigen asing (contoh : virus, kanker) 2. Sel T penolong Menaikkan perkembangan sel B aktif menuju sel plasma dengan cara : Memperkuat sel T sitotoksik dan sel T penekan. Mengaktifkan makrofag 3. Sel T penekan Menekan produksi antibody sel B dan aktifkan sel T sitotoksik, sel T penolong Respon Imun Non Spesifik mencakup empat sistem kerja yaitu : 1. Peradangan Cedera jaringan, yang berperan : fagositik, neutrofil dan makrofag 2. Interferon Protein yang menjaga tubuh dari Infeksi virus 3. Sel NK Infeksi virus dan sel kanker 4. Sistem komplemen Dapat diaktifkan oleh benda asing dan antibodi Respon Peradangan : 1. Pertahanan oleh makrofag Residen 2. Vasodilatasi lokal aliran darah Leukosit fagositik dan protein plasma 3. Peningkatan permeabilitas kapiler Protein plasma lolos ke jaringan 4. Edema lokal akibat pergeseran keseimbangan cairan 5. Pembatasan daerah yang meradang : Cedera Fibrin membentuk bekuan cairan interstisium di ruang sel. Bakteri Enzim Plasminogen Plasmin yang melarutkan bekuan fibrin

1. 2.

-

6. Emigrasi Leukosit Melibatkan marginasi, diapedesis, gerakan amuboid dan kemotaksis 7. Destruksi bakteri oleh leukosit Fagosit mengenali sasaran untuk dihancurkan melalui : Jaringan mati / zat asing memiliki karakteristik permukaan yang berbeda dengan sel normal Zat asing dilapisi dengan 2 zat kimia yang dihasilkan oleh sel imun menghasilkan opsonin. Interferon :  Menghasilkan resistensi non spesifik terhadap infeksi virus sementara menghambat replikasi virus  Memperkuat aktifitas imun lain : Sel NK & Sel T Sel NK :  Menghancurkan sel yang terinfeksi virus & sel kanker dengan langsung melisiskan membran sel tersebut. Sistem komplemen :  Protein – protein plasma yang dihasilkan oleh hati Inaktif Fungsi : 1. Komponen komplemen C5 – C9 aktif membrane Attack Complex, yang melubangi sel sasaran 2. Komponen komplemen aktif lain memperkuat peradangan : Sebagai kemotoksin - Merangsang histamin Sebagai opsonin - Mengaktifkan kinin Mekanisme Sistem Imun dalam Tubuh Sistem imun ialah semua mekanisme yang digunakan tubuh untuk mempertahankan keutuhannya terhadap bahaya yang dapat menimbulkan berbagai bahan dalam lingkungan hidup. Respons imun adalah respons tubuh berupa suatu urutan kejadian yang kompleks terhadap antigen, untuk mengeliminasi antigen tersebut. Respons imun ini dapat melibatkan berbagai macam sel dan protein, terutama sel makrofag, sel limfosit, komplemen, dan sitokin yang saling berinteraksi secara kompleks. Imunitas mempunyai tiga fungsi utama : 1. Perannya dalam pertahanan adalah menghasilkan resistensi terhadap agen penginvasi seperti mikroorganisme. 2. Perannya dalam surveilans adalah mengindentifikasi dan menghancurkan sel-sel tubuh sendiri yang bermutasi dan berpotensi menjadi neoplasma. 3. Perannya dalam homeostasis adalah membersihkan sisa-sisa sel dan zat-zat buangan sehingga tipe-tipe sel tetap seragam dan tidak berubah. Untuk melindungi dirinya, tubuh memerlukan mekanisme yang dapat membedakan sel-sel itu sendiri (Self) dari agen-agen penginvasi (nonself). Pertahanan imun terdiri atas sistim imun alamiah atau nonspesifik (natural/innate) dan didapat atau spesifik (adaptive/acquired).

A. Sistem Imun Non Spesifik Sistem imun non spesifik merupakan pertahanan tubuh terdepan dalam menghadapi serangan berbagai mikroorganisme, oleh karena dapat memberikan respons langsung. Disebut sistem non spesifik karena tidak ditujukan terhadap satu mikroorganisme tertentu, telah ada pada tubuh kita dan siap berfungsi sejak lahir. Dilihat dari caranya diperoleh, mekanisme pertahanan non spesifik disebut juga respons imun alamiah. Imunitas non spesifik dibedakan menjadi 3 yaitu fisik, larut, dan seluler. Sedang imunitas non spesifik larut terdiri dari biokimia dan Humoral. 1. Pertahanan Fisik Dalam sistem pertahanan fisik atau mekanik, kulit, selaput lendir, silia saluran napas, batuk dan bersin, merupakan garis pertahanan terdepan terhadap infeksi. Permukaan tubuh merupakan pertahanan pertama terhadap penetrasi mikroorganisme. Bila penetrasi mikroorganisme terjadi juga, maka mikroorganisme yang masuk akan berjumpa dengan berbagai elemen lain dari sistem imunitas alamiah. Produk kelenjar menghambat penetrasi mikroorganisme, demikian pula silia pada mukosa. 2. Pertahanan Biokimia Pertahanan biokimia terdiri dari lisozim (keringat), sekresi sebaseus, asam lambung, laktoferin, dan asam neuraminik. Enzim seperti lisozim dapat merusak dinding sel mikroorganisme. 3. Pertahanan Humoral Berbagai bahan dalam sirkulasi berperan dalam pertahanan humoral. Bahan-bahan tersebut antara lain antibodi, komplemen, interferon dan C-Reactive Protein (CRP). - Komplemen memiliki 3 fungsi, antara lain dalam proses lisis, kemotaktik dan opsonisasi bakteri. Jalur alternatif komplemen dapat diaktivasi oleh berbagai macam bakteri secara langsung sehingga eliminasi terjadi melalui proses lisis atau fagositosis oleh makrofag atau leukosit yang distimulasi oleh opsonin dan zat kemotaktik, karena sel-sel ini mempunyai reseptor untuk komponen komplemen (C3b) dan reseptor kemotaktik. Zat kemotaktik akan memanggil sel monosit dan polimorfonuklear ke tempat mikroorganisme dan memfagositnya. - Interferon adalah sitokin berupa glikoprotein yang dihasilkan oleh berbagai sel tubuh yang mengandung nukleus dan dilepas sebagai respon terhadap infeksi virus. Interferon dapat menginduksi sel-sel di sekitar sel yang terinfeksi virus menjadi resisten terhadap virus. Di samping itu, interferon juga dapat mengaktifkan Natural Killer Cell (sel NK). - Protein Fase Akut adalah protein plasma yang dibentuk tubuh akibat adanya kerusakan jaringan. C-Reactive Protein (CRP) merupakan salah satu contoh dari Protein Fase Akut. Hati merupakan tempat utama sintesis protein fase akut. Dinamakan CRP oleh karena pertama kali protein khas ini dikenal karena sifatnya yang dapat mengikat protein C dari

pneumokok. Interaksi CRP ini juga akan mengaktivasi komplemen jalur alternatif yang akan melisis antigen - Pertahanan Seluler Fagosit, makrofag, sel NK berperan dalam sistem imun non spesifik seluler. Meskipun berbagai sel dalam tubuh dapat melakukan fagositosis, tetapi sel utama yang berperan dalam dalam pertahana non spesifik adalah sel mononukliear (monosit dan makrofag) serta sel polimorfonuklier atau granulosit. Morfologi sel NK merupakan limfosit dengan granula besar. B. Sistem Imun Spesifik Bila pertahanan non spesifik belum dapat mengatasi invasi mikroorganisme maka imunitas spesifik akan terangsang. Mekanisme pertahanan spesifik adalah mekanisme pertahanan yang diperankan oleh sel limfosit, dengan atau tanpa bantuan komponen sistem imun lainnya seperti sel makrofag dan komplemen. Dilihat dari caranya diperoleh maka mekanisme pertahanan spesifik disebut juga respons imun didapat. Sel sistem imun spesifik terdiri atas sel B dan sel T yang masing-masing merupakan sekitar 10% dan 70-85% dari semua limfosit dalam sirkulasi. Sel B tidak mempunyai subset tetapi sel T terdiri atas beberapa subset: sel Th, Ts, Tc dan Tdh. Sel limfosit T dan limfosit B masing-masing berperan pada imunitas selular dan imunitas humoral. Sel limfosit T akan meregulasi respons imun dan melisis sel target yang dihuni antigen. Sel limfosit B akan berdiferensiasi menjadi sel plasma dan memproduksi antibodi yang akan menetralkan atau meningkatkan fagositosis antigen dan lisis antigen oleh komplemen, serta meningkatkan sitotoksisitas sel yang mengandung antigen yang dinamakan proses antibody dependent cell mediated cytotoxicy (ADCC). 1. Sistem Imun Spesifik Humoral Sel B merupakan asal dari sel plasma yang membentuk imunoglobulin (Ig) yang terdiri atas IgG,IgM,IgA,IgE dan IgD. IgD berfungsi sebagai opsonin, dapat mengaglutinasikan kuman/virus, menetralisir toksin dan virus, mengaktifkan komplemen (jalur klasik) dan berperanan pada Antibody Dependent Cellular Cytotoxicity (ADCC). ADCC tidak hanya merusak sel tunggal tetapi juga mikroorganisme multiselular seperti telur skistosoma, kanker, penolakan transplan, sedang ADCC melalui neutrofil dan eosinofil berperan pada imunitas parasit. IgM dibentuk terdahulu pada respons imun primer sehingga kadar IgM yang tinggi menunjukkan adanya infeksi dini. IgM merupakan aglutinator antigen serta aktivator komplemen (jalur klasik) yang poten. IgA ditemukan sedikit dalam sekresi saluran napas, cerna dan kemih, air mata, keringat, ludah dan air susu ibu dalam bentuk IgA sekretori (sIgA). IgA dan sIgA dapat menetralisir toksin, virus, mengagglutinasikan kuman dan mengaktifkan komplemen (jalur alternatif). IgE berperanan pada alergi, infeksi cacing,

skistosomiasis, penyakit hidatid, trikinosis. Peranan IgD belum banyak diketahui dan diduga mempunyai efek antibodi pada alergi makanan dan autoantigen. 2. Sistem Imun Spesifik Seluler Peran sel T dapat dibagi menjadi 2 fungsi utama : fungsi regulator dan fungsi efektor. Fungsi regulator terutama dilakukan oleh salah satu subset sel T, sel T helper (juga dikenal sebagai sel CD4 karena petanda cluster of differentiation di permukaan sel diberi nomor 4). Sel-sel CD4 mengeluarkan molekul yang dikenal dengan nama sitokin (protein berberat molekul rendah yang disekresikan oleh sel-sel sistem imun) untuk melaksanakan fungsi regulatornya. Sitokin-sitokin dari sel CD4 mengendalikan proses-proses imun seperti membantu sel B untuk memproduksi antibodi, pengaktivan sel T lain, dan pengaktivan makrofag. Fungsi efektor dilakukan oleh sel T sitotoksik (dahulu dikenal sebagai sel T killer; saat ini dikenal sebagai CD8 karena cluster of differentiation diberi nomor 8). Sel-sel CD8 mampu mematikan sel yang terinfeksi oleh virus, sel tumor, dan jaringan transplantasi dengan menyuntikan zat kimia yang disebut perforin ke dalam sasaran asing. Cara ini bertujuan untuk mencegah penyebaran infeksi. Limfokin disekresikan oleh sel T untuk mempengaruhi dan mengaktivasi makrofag dan sel NK sehingga meningkat secara nyata pada penyerangan virus. Antigen eksogen masuk ke dalam tubuh melalui endosistosis atau fagositosis. Antigenpresenting cell (APC) yaitu makrofag, sel denrit, dan limfosit B merombak antigen eksogen menjadi fragmen peptida melalui jalan endositosis. Limfosit T mengeluarkan subsetnya, yaitu CD4, untuk mengenal antigen bekerja sama dengan Mayor Hystocompatablity Complex (MHC) kelas II dan dikatakan sebagai MHC kelas II restriksi. Antigen endogen dihasilkan oleh tubuh inang. Antigen endogen dirombak menjadi fraksi peptida yang selanjutnya berikatan dengan MHC kelas I pada retikulum endoplasma. Limfosit T mengeluarkan subsetnya, yaitu CD8, mengenali antigen endogen untuk berikatan dengan MHC kelas I, dan ini dikatakan sebagai MHC kelas I restriksi. Limfosit adalah sel yang ada di dalam tubuh hewan yang mampu mengenal dan menghancurkan berbagai determinan antigenik yang memiliki dua sifat pada respons imun khusus, yaitu spesifitas dan memori. Limfosit berperan dalam respons imun spesifik karena setiap individu limfosit dewasa memiliki sisi ikatan khusus sebagai varian dari prototipe reseptor antigen. Reseptor antigen pada limfosit B adalah bagian membran yang berikatan dengan antibodi yang disekresikan setelah limfosit B yang mengalami diferensiasi menjadi sel fungsional, yaitu sel plasma yang disebut juga sebagai membran imunoglobulin. Reseptor

antigen pada limfosit T bekerja mendeteksi bagian protein asing atau patogen asing yang masuk sel inang Sel limfosit B berasal dari sumsum tulang belakang dan mengalami pendewasaan pada jaringan ekivalen bursa. Jumlah sel limfosit B dalam keadaan normal berkisar antara 10 dan 15%. Setiap limfosit B memiliki 105 B cell receptor (BCR), dan setiap BCR memiliki dua tempat pengikatan yang identik. Antigen yang umum bagi sel B adalah protein yang memiliki struktur tiga dimensi. BCR dan antibodi mengikat antigen dalam bentuk aslinya. Hal ini membedakan antara sel B dan sel T, yang mengikat antigen yang sudah terproses dalam sel. Jajaran ketiga sel limfoid adalah natural killer cells (sel NK) yang tidak memiliki reseptor antigen spesifik dan merupakan bagian dari sistem imun nonspesifik. Sel ini beredar dalam darah sebagai limfosit besar yang khusus memiliki granula spesifik yang memiliki kemampuan mengenal dan membunuh sel abnormal, seperti sel tumor dan sel yang terinfeksi oleh virus. Sel NK berperan penting dalam imunitas nonspesifik pada patogen intraseluler. REAKSI HIPERSENSITIVITAS 1. Hipersensitivitas tipe 1 Reaksi hipersensitivitas tipe 1 timbul segera setelah adanya pajanan dengan alergen. Reaksi ini dapat terjadi dalam hitungan menit setelah terjadi kombinasi antigen dengan antibodi yang terikat pada sel mast pada individu yang telah tersensitisasi terhadap antigen.3 Reaksi ini sering disebut sebagai alergi dan antigen yang berperan sebagai alergen. Alergen yang masuk ke dalam tubuh akan menimbulkan respon imun berupa produksi IgE dan penyakit alergi seperti rinitis alergi, urtikaria, asma dan dermatitis atopi. Reaksi tipe ini merupakan hipersensitivitas yang paling sering terjadi.4,5 Reaksi ini disebut sebagai anafilaktik yang bermakna jauh dari perlindungan. Juga, merupakan kebalikan dari profilaksis. Anafilaksis merupakan akibat dari peningkatan kepekaan, bukan penurunan ketahanan terhadap toksin. Sementara itu ada istilah atopi yang sering digunakan untuk merujuk pada reaksi hipersensitivitas tipe I yang berkembang secara lokal terhadap bermacam alergen yang terhirup atau tertelan.3 Penderita atopi memiliki kadar IgE yang lebih tinggi dan produksi IL-4 yang lebih banyak dibandingkan populasi umum. Gen yang kemungkinan terlibat dikode sebagai 5q31 yang mengkode sitokin berupa IL-3, IL-4, IL-5, IL-9, IL-13, dan GMCSF. Juga gen 6p yang dekat dengan kompleks HLA.

Gambar 1. Reaksi hipersensitivitas tipe I Hipersensitivitas tipe I memiliki dua fase utama yaitu reaksi inisial atau segera yang ditandai dengan vasodilatasi, kebocoran vaskular, tergantung pada lokasi, spasme otot polos atau sekresi glandular. Perubahan tersebut terjadi dalam 5 sampai 30 menit sesudah eksposure dan menghilang dalam 60 menit. Selanjutnya, seperti pada rinitis alergi atau asma bronkial, dapat terjadi juga reaksi fase lambat yang terjadi dalam 2-24 jam kemudian, tanpa ada tambahan eksposure antigen dan dapat bertahan dalam beberapa hari. Fase ini ditandai dengan infiltrasi jaringan oleh eosinofil, netrofil, basofil, monosit, dan sel T CD4 ++ serta kerusakan jaringan yang seringkali bermanifestasi sebagai kerusakan epitel mukosa.

Gambar 2. Fase cepat dan fase lambat reaksi hipersensitivitas tipe I Reaksi anafilaktik ini memiliki tiga tahapan utama berupa sensitisasi, fase aktivasi dan fase efektor. Urutan kejadian reaksi tipe I adalah sebagai berikut : I. Fase Sensitisasi Fase sensitisasi yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE sampai diikat silang oleh reseptor spesifik (Fce-R) pada permukaan sel mas/basofil. Hampir 50% populasi membangkitkan respon IgE terhadap antigen yang hanya dapat ditanggapi pada permukaan selaput mukosa saluran nafas, selaput kelopak mata, dan bola mata, yang merupakan fase sensitisasi. Namun, hanya 10% yang menunjukkan gejala klinis setelah terpapar alergen dari udara. Respon-respon yang berbeda tersebut dikendalikan oleh gen MHC/HLA, terpengaruh dari limfosit T dan IL-4 yang dihasilkan oelh limfosit CD4+. Individu yang tidak alergi memiliki kadar IL-4 yang senantiasa rendah karena dipertahankan fungsi sel T supresor (Ts). Jika pemaparan alergen masih kurang adekuat melalui kontak berulang, penelanan, atau suntikan sementara IgE sudah dihasilkan, individu

II.

tersebut dapat dianggap telah mengalami sensitisasi. IgE dibuat dalam jumlah tidak banyak dan cepat terikat oleh mastosit ketika beredar dalam darah. Ikatan berlangsung pada reseptor di mastosit dan sel basofil dengan bagian Fc dari IgE. Ikatan tersebut dipertahankan dalam beberapa minggu yang dapat terpicu aktif apabila Fab IgE terikat alergen spesifik. Fase Aktivasi Fase aktivasi yaitu waktu yang diperlukan antara pajanan ulang dengan antigen yang spesifik dan sel mas/basofil melepas isinya yang berisikan granul yang menimbulkan reaksi. Hal ini terjadi oleh ikatan silang antara antigen dan IgE Ukuran reaksi lokal kulit terhadap sembarang alergen menunjukkan derajat sensitifitasnya terhadap alergen tertentu, respon anafilaktik kulit dapat menjadi bukti kuat bagi pasien bahwa gejala yang dialami sebelumnya disebabkan alergen yang diujikan. Efektor utama pada hipersensitifitas tipe I adalah mastosit yang terdapat pada jaringan ikat di sekitar pembuluh darah, dinding mukosa usus dan saluran pernafasan. Selain mastosit, sel basofil juga berperan. Ikatan Fc IgE dengan molekul reseptor permukaan mastosit atau basofil mempersiapkan sel tersebut untuk bereaksi bila terdapat ikatan IgE dengan alergen spesifiknya. Untuk aktivasi, setidaknya dibutuhkan hubungan silang antara 2 molekul reseptor yang mekanisme bisa berupa : 1. Hubungan silang melalui alergen multivalen yang terikat dengan Fab molekul IgE 2. Hubungan silang dengan antibodi anti IgE 3. Hubungan silang dengan antibodi-antiresptor Namun, aktivasi mastosit tidak hanya melalui mekanisme keterlibatan IgE atau reseptornya. Anafilaktosin C3a dan C5a yang merupakan aktivasi komplemen dan berbagai obat seperti kodein, morfin dan bahan kontras juga bisa menyebabkan reaksi anfilaktoid. Faktor fisik seperti suhu panas, dingin dan tekanan dapat mengaktifkan mastosit seperti pada kasus urtikaria yang terinduksi suhu dingin. Picuan mastosit melalui mekanisme hubungan silang antar reseptor diawali dengan perubahan fluiditas membran sebagai akibat dari metilasi fosfolipid yang diikuti masuknya ion Ca++ dalam sel. Kandungan cGMP berperan dalam regulasi tersebut. Peningkatan cAMP dalam sitoplasma mastosit akan menghambat degranulasi sedangkan cGMP dapat meningkatkan degranulasi. Dengan begitu, aktivasi adenylate cyclase yang mengubah ATP menjadi cAMP merupakan mekanisme penting dalam peristiwa anafilaksis.

III.

Fase Efektor Fase efektor yaitu waktu terjadi respons yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek mediator-mediator yang dilepas sel mas/basofil dengan aktivitas farmakologik. Gejala anafilaksis hampir seluruhnya disebabkan oleh bahan farmakologik aktif yang dilepaskan oleh mastosit atau basofil yang teraktivasi.

Terdapat sejumlah mediator yang dilepaskan oleh mastosit dan basofil dalam fase efektor.

Gambar 3. Fase cepat dan fase lambat reaksi hipersensitivitas tipe I Sel mast dan mediator pada reaksi tipe I1 Sel mast banyak mengandung mediator primer atau preformed antara lain histamin yang disimpan dalam granul. Sel mast juga diaktifkan dapat memproduksi mediator baru atau sekunder atau newly generated seperti L T dan PG. Secara umum, mediator yang dihasilkan oleh sel mast dan mekanisme aksinya sebagai berikut : 

Vasodilatasi, peningkatan permeabilitas vaskular : histamin, PAF, Leukotrien C4 D4 E4, protease netral yang mengaktivasi komplemen dan kinin, prostaglandin D2.  Spasme otot polos : Leukotriens C4 D4 E4, histamin, prostaglandin, PAF  Infiltrasi seluler : sitokin (kemokin, TNF), Leukotriens B4, faktor kemotaktik eosinofil dan netrofil a. Mediator jenis pertama (histamin dan faktor kemotaktik) Reaksi tipe I dapat mencapai puncak dalam 10-15 menit. Pada fase aktivasi, terjadi perubahan dalam membran sel mast akibat metilasi fosfolipid yang diikuti oleh influks Ca++ yang menimbulkan aktivasi fosfolipase. Dalam fase ini, energi akibat glikolisis dan beberpa enzim diaktifkan dan menggerakkan granul-granul ke permukaan sel. Kadar cAMP dan cGMP dalam sel berpengaruh pada degranulasi. Peningkatan cAMP akan mencegah degranulasi sementara peningkatan cGMP akan memacu degranulasi. Pelepasan granul ini merupakan proses fisiologis dan tidak menimbulkan lisis atau matinya sel. Degranulasi juga dapat terjadi akibat pengaruh dari anafilaktosis, c3a dan c5a. Histamin merupakan komponen utama granul sel mast dan sekitar 10% dari berat granul. Histamin akan diikat oleh reseptornya (H1, H2, H3, H4) dengan distribusi berbeda dalam jaringan dan bila berikatan dengan histamin menunjukkan berbagai efek.

Manifestasi yang dapat muncul dari dilepasnya histamin diantaranya adalah bintul dan kemerahan kulit disamping pengaruh lain seperti peransangan saraf sensoris yang dirasakan gatal dan peningkatan permeabilitas pembuluh darah kecil yang menyebabkan edema. Pada saluran pernafasan, dapat terjadi sesak yang disebabkan oleh kontraksi otot-otot polos dan kelenjar saluran pernafasan. Pengaruh histamin pada sel-sel sasaran utamanya melalui reseptor H1. Namun, pada membran mastosit terdapat pula reseptor H2 yang dapat berfungsi sebagai umpan balik negatif. Hal tersebut karena pengikatan histamin pada reseptor tersebut justru menghambat pelepasan histamin oleh sel mastosit tersebut. Selain histamin, faktor kemotaktik juga dilepaskan secara capat saat mastosit teraktivasi. Ada 2 macam ECF-A (eosinophil chemotactic factor of anaphylaxis) untuk menarik eosinofil dan NCF-A (netrophil chemotactic factor of anaphylaxis) untuk menarik netrofil. Dalam 2-8 jam, terjadi kumpulan granulosit berupa netrofil, eosinofil, dan basofil, sedang dalam 24 jam yang lebih dominan adalah sel limfosit. Meski dilepaskan secara cepat, infiltrasi ECF-A dan NCF-A berlangsung lambat sehingga perannya akan lebih penting dalam reaksi tahap lambat. b. Mediator jenis kedua Mediator kategori ini terikat erat dengan proteoglikan yang terlepas apabila ada kenaikan kadar NaCL. Mediator ini mencakup heparin, kemotripsin, tripsin dan IF-A (inflammatory factor of anaphylaxis). IF-A memiliki potensi kemotaktik yang lebih besar dari ECF-A dan NCF-A dan berperan dalam reaksi tahap lambat. Pelepasan yang perlahan membuat mediator ini memiliki pengaruh lebih lama di jaringan. Dalam reaksi tahap lambat, selain mediator yang dilepaskan oleh mastosit terdapat juga keterlibatan sistem komplemen dan sistem koagulasi. Secara umum, mediator yang dilepaskan akan berperan dalam vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas lokal dan mendorong berkumpulnya netrofil dan eosinofil. c. Mediator jenis ketiga Selain dari degranulasi mastosit, terdapat juga pelepasan asam arakhidonat yang bersumber dari fosfolipid membran sel. Asam arakidonat ini menjadi substrat enzim siklooksigenase dan lipooksigenase. Aktivasi siklooksigenase akan menghasilkan prostaglandin dan tromboxan yang menyebabkan reaksi radang dan mengubah tonus pembuluh darah.1,2 Sedangkan aktivasilipooksigenase akan menghasilkan leukotrien. Leukotrien C,D dan E seringkali disebut sebagai SRS-A (slow reactive substance of anaphylaxis) karena pengaruhnya lebih lambat dari histamin. LT berperan dalam bronkokontriksi, peningkatan permebilitas vaskular dan produksi mukus. Leukotrien B4 mempunyai efek kemotaktik untuk sel netrofil dan eosinofil dan mempercepat ekspresi reseptor untuk C3b pada permukaan sel tersebut. Diantara sel-sel yang direkrut pada saat fase lambat, eosinofil merupakan yang paling penting. Eosinofil ditarik oleh eotaxin dan kemokin lainnya yang dihasilkan oleh sel epitelial, sel Th2 dan sel mast. Eosinofil membebaskan enzim proteolitik berupa major basic protein dan eosinofil catationic protein yang bersifat toksik terhadap sel epitel. Aktivasi eosinofil dan leukosit lain juga

menghasilkan leukotrien C4 dan PAF yang secara langsung mengaktifkan sel mast untuk melepas mediator. Oleh karena itu, perekrutan sel tersebut akan mengamplifikasi dan menjaga respon infeksi tanpa tambahan eksposure antigen pemicu.3

Gambar 4. Kejadian biokimiawi pada aktivitas sel mast

2. Hipersensitivitas tipe 2 Reaksi hiersensitivitas tipe II disebut juga reaksi sitotoksik atau sitolitik, terjadi karena dibentuknya antibodi jenis IgG atau IgM terhadap antigen yang merupakan bagian sel pejamu. Reaksi diawali oleh rekasi antara antibodi dan determinan antigen yang merupakan bagian dari membran sel tergantung apakah komplemen atau molekul aksesori dan metabolisme sel dilibatkan.

Gambar 5. Reaksi hipersensitivitas tipe II Istilah sitolitik lebih tepat mengingat reaksi yang terjadi disebabkan lisis dan bukan efek toksik. Antibodi tersebut dapat mengaktifkan sel yang memiliki reseptor Fcy-R dan juga sel NK yang dapat berperan sebagai sel efektor dan menimbulkan

kerusakan melalui ADCC. Reaksi tipe II dapat menunjukkan berbagai manifestasi klinik Antibodi spesifik terhadap antigen sel dan jaringan dapat berdeposit di jaringan dan menyebabkan jejas dengan menginduksi inflamasi lokal, atau mengganggu fungsi sel normal. Antibodi terhadap antigen jaringan menginduksi inflamasi dengan memanggil dan mengaktivasi leukosit. Antibodi IgG dari subkelas IgG1 dan IgG3 terikat pada reseptorFcneutrofil dan makrofag dan mengaktivasi leukosit-leukosit ini, menyebabkan inflamasi. IgM mengaktivasi sistem komplemen melalui jalur klasik, menyebabkan produksi zat-zat yang dihasilkan komplemen yang merekrut leukosit dan menginduksi inflamasi. Ketika leukosit teraktivasi di situs deposit antibodi, sel-sel ini memproduksi substansi seperti intermediet reaktif oksigen dan enzim lisosom yang merusak jaringan sekitarnya. Jika antibodi terikat pada sel, seperti eritrosit dan platelet, sel akan teropsonisasi dan dapat dicerna dan dihancurkan oleh fagositpejamu. Beberapa antibodi dapat menyebabkan penyakit tanpa secara langsung menyebabkan jejas jaringan. Misalnya pada antibodi terhadap reseptor hormon yang dapat menghambat fungsi reseptor; pada beberapa kasus myasteniagravis, antibodi terhadap reseptor asetilkolin menghambat transmisi neuromuskular dan menyebabkan paralisis. Antobodi lainnya dapat mengaktivasi reseptor tanpa adanya hormon fisiologis; seperti grave’sdisease, Dimanaantibodi terhadap reseptor TSH menstimulasi sel tiroid bahkan tanpa keberadaan hormon tiroid. Banyak kelainan hipersensitivitas kronik pada manusia yang terkait dengan antibodi anti jaringan. Terapi untuk kelainan ini terutama untuk membatasi inflamasi dan konsekuen jejasnya, dengan obat seperti kortikosteroid. Pada beberapa kasus yang parah, plasmafaresis digunakan untuk mengurangi kadar antibodi yang bersirkulasi. Terdapat ketertarikan untuk mencoba pendekatan pada inhibisi produksi autoantibodi (misal, dengan antagonis yang memblokligan CD40 sehingga menghambat aktivasi sel B dependen sel Th) Reaksi tranfusi Sejumlah besar protein dan glikoprotein pada membran SDM disandi oleh berbagai gen. Bila darah individu golongan darah A mendapat tranfusi golongan darah B terjadi reaksi tranfusi, oleh karena anti B isohemaglutinin berikatan dengan sel darah B yang menimbukan kerusakan darah direk oleh hemolisis masif intravakular. Reaksi dengan cepat atau lambat. Reaksi cepat biasanya disebabkan oleh inkompatibilitas golongan darah ABO yang dipacu olehIgM. Dalam beberapa jam hemoglobin bebas dapat ditemukan dalam plasma dan disaring melalui ginjal dan menimbulkan hemoglobinuria. Beberapa hemoglobin diubah menjadi bilirubin yang pada kadar tinggi bersifat toksik. Gejala khasnya berupa demam, menggigil, nausea, bekuan dalam pembuluh darah, nyeri pinggang dan hemoglobinuria. Reaksi tranfusi darah yang lambat terjadi pada mereka yang pernah mendapat tranfusi berulang dengan darah yang kompatibel ABO namun inkompatibel dengan golongan darah lainnya. Reaksi terjadi 2 sampai 6 hari setelahtranfusi. Darah yang ditranfusikan memacu pembentukan IgG terhadap antigen membran golongan darah, tersering adalah golongan rhesus, kidd, Kelldan duffy.

Gambar 6. Tiga mekanisme utama hipersensitivitas tipe II

Hemolyticdisease of thenewborn (HDN) Terjadi ketidaksesuaian faktor rhesus (rhesusincompatibiliy) dimanaanti-DIgG yang berasal dari ibu menembus plasenta dan masuk ke dalam sirkulasi darah janin dan melapisi permukaan eritrosit janin kemudian mencetuskan reaksi hipersensitivitas tipe II. HDN terjadi apabila seorang ibu memiliki rhesus negatif dan mempunyai janin dengan rhesus positif. Sensitisasi pada ibu umumnya terjadi pada saat persalinan pertama, karena itu HDN umumnya tidak timbul pada bayi pertama. Baru pada kehamilan berikutnya, limfosit ibu akan membentuk anti-D IgG yang dapat menembus plasenta dan mengadakan interaksi dengan faktor rhesus pada permukaan eritrosit janin (eritroblastosisfetalis) Anemia hemolitik Antibiotika tertentu seperti penisilin, sefalosporin, dan streptomisin dapat diabsorpsi nonspesifik pada protein membran SDM yang membentuk kompleks serupa kompleks molekul hapten pembawa. Pada beberapa penderita, kompleks membentuk antibodi yang selanjutnya mengikat obat pada SDM dan dengan bantuan komplemen menimbulkan lisis dengan dan anemia progresif

Tabel 1. Contoh penyakit-penyakit yang dimediasi antibodi (hipersensitivitas tipe II)

3. Hipersensitivitas tipe 3 Hipersensitivitas ini terjadi karena adanya reaksi antara antigen dan antibodi yang mengendap dalam jaringan yang dapat berkembang menjadi kerusakan pada jaringan tersebut. Reaksi ini terjadi jika antigen berada dalam bentuk larutan dan dapat terjadi baik pada jaringan atau sirkulasi. Potensi patogenik kompleks imun tergantung pada ukurannya. Ukuran agregat yang besar akan mengikat komplemen dan segera dibersihkan dari peredaran darah oleh sistem fagositmononuklear sedang agregat yang lebih kecil ukurannya cenderung diendapkan pada pembuluh darah. Dimana, terjadi dimulai kerusakan melalui ikatan reseptor Fc dan komponenkomponen pada permukaan endotel yang berakibat pada kerusakan dinding pembuluh darah. Contoh kasus reaksi tipe III ialah vaskulitis nekrotikans.1

Gambar 7. Reaksi hipersensitivitas tipe III Antigen yang membentuk kompleks imun dapat berasal dari luar, seperti protein asing yang diinjeksikan atau dihasilkan mikroba. Juga, berasal dari dalam jika seseorang menghasilkan antibodi melawan komponennya sendiri (autoimun). Penyakit yang dimediasi oleh kompleks imun dapat bersifat sistemik jika terbentuk di sirkulasi dan terdeposit pada berbagai organ atau terlokalisasi pada organ tertentu seperti ginjal (glomerulonefritis), sendi (arthritis), atau pembuluh darah kecil pada kulit.3 Reaksi hipersensitivitas tipe III setempat dapat dipicu dalam jaringan kulit individu yang tersensitisasi, yang memiliki antibodi IgG yang spesifik terhadap antigen pemicusensitisasi tersebut. Apabila antigen disuntikkan ke dalam individu tersebut, IgG yang telah berdifusi ke jaringan kulit akan membentuk senyawa kompleks imun setempat. Kompleks imun tersebut akan mengikat reseptor Fc pada permukaan sel dan juga mengaktifkan komplemen sehingga C5a yang terbentuk akan memicu respons peradangan setempat disertai peningkatan permeabilitas pembuluh darah setempat. Peningkatan permeabilitas ini memudahkan cairan dan sel-sel darah, khususnya netrofil, masuk ke jaringan ikat setempat di sekitar pembuluh darah tersebut. Hipersensitivitas ini dapat bermanifestasi pada kompleks imun sistemik berupa acute serum sickness serta lokal berupa reaksi artrus. Acute serum sickness pada masa sekarang kurang begitu umum terjadi. Percobaan untuk mengetahui reaksi ini dilakukan dengan pemberian sejumlah besar serum asing seperti serum dari kuda yang terimunisasi yang digunakan untuk perlindungan terhadap difteri. Umumnya kerusakan terjadi karena ada pengendapan kompleks imun yang berlangsung melalui 4 tahap yaitu :2,3  Ikatan antibodi dengan antigen membentuk kompleks imun Pengenalan antigen protein memicu respons imun yang membuat dilakukannya produksi antibodi, sekitar satu Minggu sesudah injeksi protein. Antibodi tersebut disekresikan ke dalam darah, dimana mereka dapat bereaksi dengan antigen yang masih ada di sirkulasi dan membentuk kompleks antigenantibodi



 

Kompleks imun akan mengendap pada jaringan tertentu seperti endotel, kulit, ginjal dan persendian Faktor yang menentukan apakah pembentukan kompleks imun akan memicu reposisi jaringan dan penyakit belum begitu dimengerti. Secara umum, kompleks imun yang berukuran medium merupakan yang paling patogenik. Organ yang darahnya tersaring pada tekanan tinggi untuk membentuk cairan lain seperti Turin dan cairan sinovial lebih seiring terserang sehingga meningkatkan kejadian kompleks imun pada glomerulus dana sendi Faktor humoral seperti komplemen dan enzim fagosit dan faktor seluler akan berkumpul di daerah pengendapan Berlangsung kerusakan jaringan oleh faktor humoral dan seluler Kompleks imun yang terdeposit pada jaringan akan menginisiasi reaksi inflamasi akut. Selama fase ini sekitar 10 hari sesudah antigen masuk, dapat terjadi manifestasi klinis seperti demam, urtikaria, nyeri sendi (artralgia), pembesaran nodus limfe, dan proteinuria. Kerusakan yang terjadi cukup mirip pada organ apapun yang terlibat. Lesi inflamasi diberi nama sebagai vaskulitis jika terjadi pada pembuluh darah, glomerulonefritis jika terjadi pada glomerulus ginjal, artritis jika terjadi terjadi pada sendi dan sebagainya. Antibodi yang mengikat komplemen (seperti IgG dan IgM) dan antibodi yang mengikat reseptor Fc leukosit (beberapa sebelas IgG) menginduksi lesi patologis. Karena adanya penggunaan komplemen, dapat terjadi penurunan level serum C3 yang biasanya digunakan untuk memonitor aktivitas penyakit. Jika penyakit berasal dari eksposure terhadap antigen tunggal yang besar, lesi cenderung untuk pecah, sebagai akibat katabolisme kompleks imun. Bentuk serum sickness yang kronis terjadi akibat eksposure antigen berulang atau berkepanjangan. Hal ini dapat terjadi pada penyakit SLE yang berkaitan dengan respons antibodi persisten terhadap autoantigen. Pada beberapa penyakit, meski terdapat perubahan morfologis dan terdapat temuan reposisi kompleks imun, tetapi antigennya tidak diketahui dengan pasti seperti pada glomerulonefritis dan poliarteritisnodosa. Sementara itu, reaksi arthus merupakan nekrosis jaringan dengan area terlokalisasi yang terjadi dari vaskulitis kompleks imun aktif yang biasanya terjadi pada kulit. Secara eksperimen, reaksi dapat dihasilkan dengan injeksi intrakutan satu antigen pada hewan yang sudah terimunisasi dan memiliki antibodi bersirkulasi yang melawan antigen tersebut. Ketika antigen berdifusi ke dinding vaskular, akan terjadi ikatan yang ditunjukkan oleh antibodi, selanjutnya kompleks imun besar terbentuk secara lokal. Kompleks imun besar terbentuk secara lokal. Kompleks ini mengendap pada dinding pembuluh darah dan menyebabkan nekrosis fibrinoid maupun trombosis yang dapat memperburuk cedera berupa iskemik.3

4. Hipersensitivitas tipe 4

Sebagian besar hipersensitivitas tape IV dipercaya merupakan penyebab dari autoimunitas. Reaksi autoimun biasanya ditargetkan langsung terhadap antigen sel dengan distribusi jaringan yang terbatas. Sehingga penyakit autoimun yang dimediasi sel T cenderung terbatas pada beberapa organ atau bisanya tidak iskemik. Jejas jaringan dapat juga mengiringi respons sel T normal terhadap mikroba. Sebagai contoh, pada tuberkulosis, terdapat respons imun terhadap M. Tuberkulosis dan responnya menjadi kronik karena infeksinya sulit dieradikasi. Inflamasigranulomatosa yang dihasilkan merupakan penyebab utama dari jejas pada jaringan normal pada situs infeksi dan kerusakan fungsional. Pada infeksi virus hepatitis, virusnya sendiri tidak bersifat sitopatik tinggi, tapi respons limfosit T sitolitik terhadap hepatosit yang terinfeksi yang menyababkanjejas pada liver. Pada penyakit yang dimediasi sel T, jejas jaringan disebabkan oleh DTH yang dimediasi oleh CD4+ atau isis dari sel pejam oleh limfosit T sitolitik CD8+. Mekanisme jejas jaringan adalah sama dengan mekanisme yang digunakan sel T untuk mengeliminasi mikroba yang terkait sel. Sel T CD4+ dapat bereaksi terhadap antigen sel atau jaringan dan menyekresi Sitokin yang menginduksi inflamasi lokal dan mengaktivasimakrofag. Jejas jaringan aslinya disebabkan oleh makrofag dan sel radang lainnya. Sel T CD8+ spesifik untuk antigen pada sel autologi dapat langsung membunuh sel-sel tersebut. Pada banyak penyakit autoimun yang termediasi sel T, terdapat sel T CD4+ dan sel T CD8+ spesifik untuk antigen pejamu, dan keduanya berkontribusi dalam jejas jaringan. Sel T melepas Sitokin bersama dengan produksi mediator sitotoksik lainnya menimbulkan respons inflamasi yang terlihat pada penyakit kulit hipersensitivitas lambat. Contohnya dermatitis kontak yang diinduksi oleh etilendiamine, neomisin, anestesi topikal, antihistamin topikal dan steroid topikal. Terapi untuk hipersensitivitas yang dimediasi sel T didesain untuk mengurangi inflamasi, menggunakan kortikosteroid dan antagonis terhadap Sitokin seperti TNF, dan untuk menghambat respons sel T dengan obat imunosupresif seperti siklosporin. Antagonis TNF telah dibuktikan bermanfaat pada pasien dengan rheumatoidarthritis dan inflammatoryboweldisease. Banyak agen-agen baru yang dikembangkan untuk menghambat respons sel T. Hal ini meliputi antagonis terhadap reseptor untuk Sitoli seperti IL-2, dan agen yang jeblok kostimulator seperti B7. Dewasa ini reaksi hipersensitivitas tipe IV telah dibagi dalam DTH yang terjadi melalui sel CD4+ dan T cellmediatedcytolysis yang terjadi melalui sel CD8+

Gambar 8. Mekanisme dari reaksi hipersensitivitas tipe IV

Tabel 2. Contoh penyakit-penyakit yang dimediasi sel T (hipersensitivitas tipe IV) DelayedTypehypersensitivity tipe IV Contoh klasik dari DTH adalah reaksi tuberculin, yang diproduksi oleh injeksi intrakutan dari tuberculin, suatuprotein-lipopolisakarida yang merupakan komponen dari tuberkelbacillus. Pada individu yang sebelumnya telah tersensitisasi, terjadi kemerahan dan indurasi pada situs dalam waktu 8-12 jam, mencapai puncak dalam 24-72 jam, dan berkurang. Secara morfologis, DTH dikarakterisasi oleh akumulasi sel mononuklear di sekililing vena kecil dan venula, menghasilkan sebuah “perivascularcuffing”. Terdapat asosiasi mengenai peningkatan permeabilitas mikrovaskular yang disebakan mekanisme yang sama dengan inflamasi lainnya. Sehingga protein plasma akan keluar dan menyebabkan edemadermal dan reposisi fibrin di interstitial. Yang terakhir menjadi penyebab utama terjadinya indurasi, yang menjadi ciri DTH, pada lesi yang telah berkembang penuh, venula yang dikelilingi limfosit akan menunjukkan hipertrofi atau hiperplasiaendotel. Dengan antigen persisten atau yang sulit didegradasi, seperti tuberkelbacilli yang berkolonisasi di paru atau jaringan lain, infiltrat limfosit perivaskular yang muncul di awal akan digantikan oleh makrofag dalam waktu 2 atau 3 minggu. Makrofag yang terakumulasi sering kali mengalami perubahan morfologis menjadi sel epiteloid (mirip sel epitel). Secara mikroskopis, agregat sel epiteloid yang dikelilingi

oleh limfosit, disebut dengan granuloma. Pola inflamasi yang kadang terlihat pada hipersensitivitas tipe IV ini disebut dengan inflamasigranulomatosa. Tahapan seluler dari DTH dapat dimisalkan oleh reaksi tuberkulin. Ketika seorang individu pertama kali terekspos terhadap antigen protein tuberkelbacilli, sel CD4+ T naive mengenali peptida turunan antigen dan terkait dengan molekul kelas II pada permukaan APC. Hal ini memicu diferensiasi dari sel T CD4+ naive menjadi sel Th1. Induksi sel Th1 merupakan hal terpenting karena ekspresi DTH bergantung pada sebagian besar Sitokin yang diskresi oleh sel TH1. Beberapa sel Th1 akan memasuki sirkulasi dan tetap berada pada polo memori sel T untuk waktu yang lama. Atau injeksi intrakutan dari tuberkulin pada seseorang yang sebelumnya terekspos tuberkelbacilli, Diana sel memori Th1 akan mengenali antigen yang ditampilkan APC dan teraktivasi. Sel-sel Th1 akan menyekresi Sitokin, terutama IFN-y, yang bertanggung jawab terhadap ekspresi DTH. Sitokin-sitokin yang paling relevan dalam reaksi ini dan kerja mereka adalah sbb :  IL-2, Sitokin yang diproduksi makrofag dan sel dendritik, penting untuk induksi respons Th1 dan DTH. Pada tahap awal melawan mikroba, makrofag dan sel dendritik menyekresi IL-2, yang menginduksi diferensiasi sel T CD4+ menjadi sel Th1. Hal ini akan menyebabkan diproduksinya Sitoki lain, yang diebutkandibawah ini. IL-2 juga merupakan inducerpoten dari sekresi IFN-y oleh sel T dan sel NK. IFN-y akan memperbanyak diferensiasi sel Th1.  IFN-y memilik banyak efek dan merupakan mediator kunci pada DTH. Paling penting adalah merupakan aktivatormakrofag yang kuat. Makrofag yang teraktivasi berperan dalam mengeliminasi antigen yang menyerang; jika aktivasi tetap berlangsung maka inflamasi tetap berlanjut dan terbentuk fibrosis.  IL-2 menyebabkan proliferasi parafin dan autokrin dari sel T, menyebabkan akumulasi di situs DTH.  TNF dan limfotoksin merupakan 2 sitokin yang memiliki efek terhadap sel endotel : (1) peningkatan sekresi dari prostasiklin, yang meningkatkan aliran darah dan menyebabkan vasodilatasi lokal; (2) peningkatan ekspresi P-Eselektin, molekul adhesi yang mempromosikan penempelan limfosit dan monosit; dan (3) induksi dan sekresi kemokin seperti IL-8.  Kemokin yang diproduksi sel T dan makrofag merekrut labih banyak lagi leukosit ke situs reaksi. Tipe inflamasi ini terkadang disebut inflamasi imun. Hipersensitivitas tipe IV merupakan mekanisme utama pertahanan beragam patogen intrasel, termasuk mycobacteria, jamur, dan parasit tertentu dan juga berperan dalam rejeksitranplant dan imunitas tumor. Namun di sisi lain, DTH juga dapat menyebabkan penyakit. Dermatitis kontak merupakan contoh umum dari jejas jaringan yang disebabkan oleh DTH. Hal ini dapat terjadi akibat kontak dengan urushiol, komponen antigen dari posionivy atau poisonlak dan bermanifestasi dalam bentuk dermatitis vaskuler. Mekanisme dasarnya mirip dengan yang dijelaskan sebelumnya untuk sensitivitas tuberkulin. Pada pajanan berulang terhadap tanaman tersebut, sel CD4+ yang tersensitisasi terakumulasi di dermis, kemudian bermigrasi menuju antigen di epidermis. Di sana mereka melepaskan Sitokin yang merusak

keratinosit, menyebabkan vesikelintraepidermal.

pemisahan

dari

sel-sel

ini

dan

pembentukan

Gambar 9. Sensitivitas kontak

Gambar 10. Formasi granuloma pada hipersensitiitas tipe IV T cell-mediatedcytotoxicity Pada varian hipersensitivitas tipe IV ini, sel CD8+ yang tersensitisasi membunuh sel target antigen. Sel detektor tersebut disebut cytotoxic T lymphocyte (CTL). Destruksi jaringan oleh CTL merupakan komponen penting dari banyak penyakit yang dimediasi sel T. CTL yang menyerang langsung antigen permukaan sel berperan penting dalam rejeksi Graf. Hal ini juga berperan penting dalam resistensi terhadap infeksi virus. Pada sel yang terinfeksi virus, peptida virus terkait dengan molekulkelas 1 didalam sel, dan keduanya ditranportasikan ke permukaan sel dalam bentuk kompleks yang dikenali oleh TCR dari limfosit T CD8+ sitotoksik. Isis dari sel yang terinfeksi menyebabkan eliminasi dari infeksi.

Dua mekanisme utama dari kerusakan yang dimediasi sel T telah diketahui : (1) perforin-granzyme-dependentkiliing, dan (2) bas-fasligand-dependent Kipling. Perforin dan granzyme merupakan mediator yang telah dibentuk yang terdapat di dalam granula mirip lisosom dari CTL. Perforin dapat memperforasi membran plasma dari sel target yang sedang diserang limfosit CD8+. Pada awalnya, sel T CD8+ mendekati sel target, kemudian terjadi polimerisasi dari molekul perforin yang dilepaskan dan insersinya ke membran sel target, menyebabkan terbentuknya lubanglubang di membran. Granul-granul CTL mengandung protese yang disebut dengan granzyme, yang diantarkan ke sel target melalui pori-pori yang disebut perforin. Saat berada di dalam sel, granzyme akan mengaktivasikaspase, yang menginduksi apoptosis sel target. Sebagai tambahan, pori-pori perforin menyebabkan air masuk ke dalam sel, menyebabkan isis osmotik. fas dependen Kipling juga menginduksi apoptosis sel target namun dengan mekanisme yang berbeda. CTL mengekspresikan Fas Lian, molekul yang homolog dengan TNF, yang dapat terikat dengan Fas yang diekspresikan oleh sel target. Interaksi ini akan menyebabkan terjadinya apoptosis.

Gambar 11. Mekanisme penyakit yang terjadi melalui sel T

Related Documents