Idealisme Plato Intisari ajaran Plato adalah pendapatnya tentang ide (alam ide). Ajaran Plato ini merupakan ajaran yang sulit untuk dipahami karena selalu berkembang. Pada awalnya, ide dikemukakan sebagai teori logika, kemudian meluas menjadi pandangan hidup, menjadi dasar umum bagi ilmu politik dan sosial serta mencakup pandangan tentang pendidikan. Dalam Pandangan Plato, ide adalah realitas yang sebenarnya dari segala sesuatu yang ada dan dapat dikenal lewat panca indera. Pohon, bunga, manusia, hewan dan lain sebagainya akan mati dan berubah, tetapi ide tentang pohon, bunga, manusia, dan hewan tidak akan pernah berubah. Bagi Plato, ide bukanlah gagasan yang hanya terdapat di dalam pikiran manusia saja, yang bersifat subjektif. Ide ini bukan gagasan yang dibuat manusia, yang ditemukan manusia, sebab ide ini bersifat objektif; artinya berdiri sendiri, lepas daripada subjek yang berpikir, tidak tergantung pada pemikiran manusia, akan tetapi sebaliknya ide yang memimpin pikiran manusia. Dari sini tampak bahwa dalam pandangan Plato terdapat dua macam dunia. Pertama, dunia ini, yang serba berubah dan serba jamak di mana tiada hal yang sempurna, dunia yang diamati dengan inderawi. Kedua, dunia ide, dimana tiada perubahan, tiada kejamakan (dalam arti ini, bahwa yang baik hanya satu, dan yang indah hanya satu), yang bersifat kekal. Prinsipnya, aliran idealisme mendasari semua yang ada dan yang nyata di alam ini hanya ide. Dunia ide merupakan lapangan rohani dan bentuknya tidak sama dengan alam nyata seperti yang tampak dan tergambar, sedangkan ruangannya tidak mempunyai batas. Tumpuan yang paling akhir dari ide adalah arche yang merupakan tempat kembali kesempurnaan yang disebut dunia ide dengan Tuhan, arche, sifatnya kekal dan sedikit pun tidak mengalami perubahan. Inti yang terpenting dari ajaran ini adalah manusia menganggap roh atau sukma lebih berharga dan lebih tinggi dibandingkan dengan materi bagi kehidupan manusia. Roh itu pada dasarnya dianggap suatu hakikat yang sebenarnya, sehingga benda atau materi disebut sebagai penjelmaan dari roh atau sukma. Aliran idealisme berusaha menerangkan secara alami bahwa secara metafisis, pikiran barulah berupa gerakan-gerakan rohaniah untuk menemukan hakikat yang mutlak dan murni pada kehidupan manusia. Demikian juga hasil adaptasi individu dengan individu lainnya. Oleh karena itu, adanya hubungan rohani ini, akhirnya membentuk kebudayaan dan peradaban baru. Dengan demikian, sumber pengetahuan itu terletak pada kenyataan rohani
dan kepuasan hanya bisa dicapai dan dirasakan dengan memiliki nilai-nilai kerohanian yang dalam idealisme disebut dengan ide. Berangkat dari teorinya tentang ide, Plato meneruskan penjelasannya tentang pengetahuan sejati (true knowledge). Ia percaya bahwa segala sesuatu yang kita lihat di sekeliling kita di alam ini, segala sesuatu yang nyata, dapat disamakan dengan busa sabun, sebab tidak ada sesuatupun di dunia inderawi yang abadi. Manusia dan hewan lambat laun akan mati dan membusuk bahkan balok marmer pun lambat laun akan hancur. Sehingga Plato berkesimpulan bahwa kita tidak akan dapat memiliki sesuatu pengetahuan yang sejati (true knowledge) dari segala sesuatu yang selalu berubah. Kita hanya akan mempunyai pengetahuan sejati tentang segala sesuatu yang dipahami oleh akal kita. Menurut Plato yang dapat menunjukkan pengetahuan sejati (true knowledge) adalah matematika, karena matematika itu tidak pernah berubah dan selalu benar.20 Sebagai contoh bila seorang guru menanyakan pada murid-muridnya tentang warna pelangi apakah yang paling indah, barangkali dia akan mendapatkan banyak jawaban yang berlainan. Tapi jika ditanya berapakah 8 X 3, maka seluruh murid akan memberikan jawaban yang sama. Sebab kini akal yang berbicara bukan perasaan, dan akal hanya akan mengungkapkan keadaan yang kekal dan universal. Dari teori dualisme dunia yang dikemukakannnya, Plato juga percaya bahwa semua fenomena alam itu hanyalah bayang-bayang dari bentuk atau ide yang kekal. Tapi kebanyakan manusia sudah puas hidup di tengah bayang-bayang. Mereka tidak memikirkan bayang-bayang itu. Mereka mengira bahwa hanya bayang-bayang itulah yang ada, tanpa menyadari bahwa bayang-bayang itu hanyalah sekedar bayang-bayang.21 Plato menjelaskan hal ini dalam sebuah alegori “manusia gua” berikut : “Bayangkan beberapa orang berada dalam sebuah gua yang gelap dan duduk membelakangi mulut gua. Tangan dan kaki mereka terikat sehingga tidak dapat bergerak sedikitpun dan hanya dapat melihat dinding gua dihapan mereka. Suatu saat mereka melihat di dinding gua bayangan benda di luar gua. Mereka barada dalam posisi ini sejak ia dilahirkan, sehingga ia mengira hanya bayang-bayang itulah yang ada. Bayangkan bila salah seorang dari mereka berusaha untuk melepaskan belenggu. Hal pertama yang ingin diketahuinya adalah ingin mengetahui dari manakah asal bayangbayang tersebut. Dan yang terjadi adalah mula-mula ia silau melihat benda-benda yang asli. Penghuni gua yang kegirangan tersebut teringat akan teman-temannya yang masih ada dalam gua, kemudian ia kembali ke gua untuk meyakinkan bahwa bayangbayang tersebut hanyalah refleksi dari benda-benda yang sebenarnya, akan tetapi mereka tidak mempercayainya dan akhirnya mereka membunuhnya.
Dari alegori tersebut tersirat bahwa, sebenarnya kita hidup dalam sebuah gua dan terbelenggu oleh ketidaktahuan dan kebodohan. Bila kita berusaha untuk melepaskan diri dari belenggu tersebut, itulah awal dari sebuah pendidikan. Dan usaha kita mendaki gua tersebut sebagai representasi dari dialektik yang akan membawa kita dari dunia yang serba berubah menuju dunia ide. Perlu diperhatikan pula bahwa, dari alegori tersebut seorang filosof tidak hanya berurusan dengan pemikirannya sendiri, tapi juga harus membagi (mengajarkan) pengetahuannya pada orang lain walaupun kematian sebagai taruhannya.
Realisme Aristoteles Istilah realisme berasal dari kata latin realis yang berarti ‘sungguh-sungguh, nyata benar’. Sepanjang sejarah panjang bervariasi, realisme telah memiliki tema umum, yang disebut prinsip atau tesis kemerdekaan. Tema ini menyatakan bahwa realitas, pengetahuan dan nilai yang ada secara independen dari pikiran manusia. Ini berarti bahwa realisme menolak pandangan idealis bahwa ide-ide hanya nyata.Barang ada bahkan meskipun tidak ada pikiran untuk melihat mereka (ingat pertanyaan klasik tentang pohon tumbang di hutan). Untuk realis, hal ini tentu sebuah realitas independen, namun, realis juga menganggap ide untuk menjadi bagian dari tesis. Realisme Aristoteles didasarkan pada prinsip bahwa ide-ide (atau bentuk) bisa ada tanpa masalah, tapi tidak peduli bisa eksis tanpa bentuk. Aristoteles menyatakan bahwa setiap bagian materi memiliki sifat universal dan khusus. Sebagai contoh, semua orang berbeda dalam sifat-sifat mereka. Kita semua memiliki berbagai bentuk dan ukuran dan tidak ada dua yang sama. Kami melakukan semua berbagi sesuatu yang universal yang disebut “kemanusiaan.”Kualitas universal ini tentunya nyata karena itu ada secara mandiri dan terlepas dari satu orang. Aristoteles menyebut kualitas bentuk universal (gagasan atau esensi), yang merupakan aspek nonmaterial dari setiap objek materi tunggal yang berhubungan dengan semua benda lain dari grup tersebut. Meskipun bentuk adalah nonmateri, kita menyadari itu dengan memeriksa benda-benda materi yang ada yang independen dari kita. Aristoteles percaya bahwa kita harus mempelajari dan memahami realitas segala sesuatu. Dia setuju dengan Plato pada posisi ini. Mereka berbeda tentang metode bagaimana untuk tiba pada formulir. Aristoteles percaya seseorang bisa membentuk dengan mempelajari hal-hal material dan Plato percaya itu bisa dicapai melalui penalaran, seperti dialektika. Pada prinsipnya kedua, Aristoteles mengira bahwa bentuk-bentuk hal, sifat universal dari benda-benda, tetap konstan dan tidak pernah berubah, tetapi bahwa komponen tertentu melakukan perubahan. Individu manusia perubahan melalui pertumbuhan dan kemudian mati, tetapi kemanusiaan akan tetap karena bentuk universal adalah konstan. Aristoteles dan Plato sepakat bentuk yang konstan dan materi selalu berubah, tetapi Aristoteles percaya bahwa bentuk itu dalam hal tertentu dan bahkan kekuatan materi yang memotivasi. Dia berpikir bahwa setiap objek memiliki “jiwa” kecil atau tujuan dalam hidup. Misalnya, tujuan anak kucing adalah menjadi kucing dewasa. Tujuan dari seorang anak akan menjadi remaja dan akhirnya manusia dewasa. Aristoteles tidak hanya seorang filosof, tapi juga ilmuwan. Dia percaya ada hubungan antara filsafat dan ilmu pengetahuan di mana studi satu membantu kita dalam studi yang lain.
Kita dapat mempertimbangkan apa sifat fisik make-up kucing (struktur internal dan eksternal, warna), namun; pertanyaan-pertanyaan ilmiah secara alami akan membawa kita untuk mengajukan pertanyaan filosofis yang lebih mendalam tentang asal-usul kucing, makna dan tujuan. Proses ini akan membawa kita untuk menemukan esensi atau bentuk. Dia pikir pertanyaan paling penting yang bisa kita bertanya tentang hal-hal yang berhubungan dengan tujuan-tujuan mereka. Tidak seperti semua binatang lainnya, binatang manusia dapat berpikir secara abstrak dan Aristoteles percaya penggunaan kemampuan ini unik adalah tujuan kemanusiaan. Ketika kita tidak menggunakan kecerdasan kita, kita pergi melawan tujuan yang sebenarnya kita dalam hidup. Pada prinsipnya ketiga, Aristoteles percaya bahwa desain dan ketertiban hadir di alam semesta dan dengan demikian, segala sesuatu terjadi secara teratur.Seperti disebutkan, nasib anak kucing adalah menjadi kucing, seorang anak menjadi manusia dewasa. Proses ini tidak bisa diubah dan konstan seperti bentuk universal mereka. Dengan demikian, kita dapat memahami alam semesta dengan mempelajari tujuannya. Namun demikian, Aristoteles mengatakan bahwa manusia memiliki kehendak bebas untuk berpikir. Jika kita menolak untuk berpikir atau berpikir buruk, maka kita bertentangan desain kami dan penciptaan dan menderita konsekuensi dari ide-ide yang salah, kesehatan yang buruk dan ketidakbahagiaan. Aristoteles percaya bahwa orang yang mengikuti tujuan sebenarnya memimpin hidup rasional moderasi dan menghindari ekstrem. Dia percaya dalam dua ekstrim: ekstrim yang terlalu sedikit dan terlalu banyak. Jika seseorang minum terlalu banyak alkohol, satu akan menjadi seorang pecandu alkohol dan menderita penyakit tersebut. Namun, orang yang berpikir seperti moderat menghindari penghancuran diri. Aristoteles menyebut jalan moderat menghindari ekstrem, Golden Mean. Prinsip keempat ini digambarkan oleh gagasan tentang jiwa sebagai suatu entitas akan tetap seimbang. Ia percaya ada tiga aspek jiwa yang disebut vegetatif, animative dan rasional. Vegetatif merupakan melakukan terlalu sedikit atau tidak aktif. Animative berarti ekstrim lain terlalu banyak seperti dalam kemarahan dan permusuhan. Namun, ketika seseorang menggunakan alasan untuk menjaga dua aspek lain dalam harmoni, mereka mengikuti jalan yang benar untuk desain dan tujuan. Keadaan ideal ada ketika semua tiga aspek, vegetatif (kuningan), perak (hewan) dan emas (rasional) dalam keseimbangan dan harmoni. Aristoteles percaya bahwa pendidikan yang baik akan membantu mencapai Golden Mean dan
karenanya,
mempromosikan
harmoni
dan
keseimbangan
jiwa
dan
tubuh.
Aristoteles percaya bahwa keseimbangan dan ketertiban sangat penting untuk tubuh dan pikiran dan juga alam semesta. Mengenai manusia, ia tidak melihat tubuh dan pikiran dalam
oposisi sebagai Plato itu, namun ia memandang tubuh sebagai sarana data yang datang kepada kita melalui persepsi akal. Data dari persepsi rasa diorganisir oleh pikiran penalaran. prinsip-prinsip universal dicapai oleh pikiran dari pemeriksaan khusus oleh persepsi rasa dan mengatur hasil dalam penjelasan rasional. Dengan demikian, tubuh dan pikiran beroperasi bersama-sama secara seimbang dengan konsistensi internal mereka. Tidak seperti Plato yang percaya hanya dalam ide, Aristoteles tidak masalah yang terpisah dari bentuk atau universal sedang. Ini adalah prinsip kelima. Dia melihat mereka sebagai dua aspek fundamental dari hal yang sama. Semua materi mempunyai bentuk dan dalam beberapa tahap aktualisasi. tak berbentuk materi tidak ada. Ia mencoba untuk menyatukan dunia materi dengan dunia bentuk. Contoh dari hal ini adalah pandangannya tentang aktualitas dan potensialitas.Aktualitas adalah bahwa yang lengkap atau sempurna yang akan terbentuk. Potensi mengacu pada kemampuan yang diaktualisasikan atau mendapatkan kesempurnaan dan bentuk. Ini persatuan bentuk dan materi yang memberikan realitas yang konkrit untuk hal-hal serikat ini kemudian diilustrasikan oleh konsep Aristoteles tentang Empat Penyebab: 1. Bahan Penyebab: masalah dari mana sesuatu dibuat 2. Formal Penyebab: desain yang membentuk objek material 3. The Efisien Penyebab: agen yang menghasilkan objek 4. Sebab Final: arah menuju yang objek yang cenderung Penyebab ini dapat dikaitkan dengan apa bangunan. Salah satu kebutuhan bahan untuk membangun, desain atau cetak biru, pembangun dan akhirnya hasilnya. Prinsip keenam adalah keyakinan Aristoteles bahwa materi selalu dalam proses dan bergerak untuk mengakhiri beberapa. Ini mirip dengan pandangan evolusi modern dan gagasan tentang alam semesta terbuka. Namun, perbedaan antara mereka ada orang melihat gerakan menuju ke tujuan akhir. Alam semesta terbuka-berakhir ke suatu titik tertentu. Dia percaya dalam Realitas Ultimate untuk menjadi kekuatan dan pencipta yang mengontrol proses materi. entitas ini adalah akhir akhir melampaui semua materi dan bentuk. Dalam hal ini, filsafat Aristoteles adalah sebagai esoteris sebagai Plato. Dia melihat ini Realita Ultimate sebagai penjelasan logis untuk urutan alam semesta dan prinsip sebagai penyelenggara dan operator. Untuk mencari struktur realitas independen, Aristoteles bekerja pada proses logis. Dia menggunakan dialektika untuk mensintesis menentang gagasan tentang kebenaran. Dia juga mencoba untuk memperbaikinya. Metode logis ia kembangkan adalah silogisme, yang merupakan metode untuk menguji kebenaran laporan. Perhatikan contoh berikut: Semua musik yang baik, klasik adalah sebuah bentuk musik, oleh karena itu, musik klasik yang baik. silogisme ini terdiri dari premis mayor, premis minor dan kesimpulan. Aristoteles
menciptakannya untuk membantu kita berpikir lebih akurat dengan memesan pernyataan tentang realitas dalam bentuk logis dan sistematis. Metode ini deduktif yang berarti mencapai kebenaran dari generalisasi dimulai dengan premis utama. Satu masalah dengan metode ini adalah jika salah satu dari tempat salah, kesimpulan mungkin salah. Kemungkinan premis umum yang belum terbukti lebih besar daripada memulai dengan fakta yang spesifik. silogisme tersebut bertentangan dengan desakan bahwa kami dapat lebih memahami bentuk (umum prinsip) dengan mempelajari obyek material tertentu. Prinsip terakhir adalah kepercayaan yang baik utama, yaitu kebahagiaan. Hal ini tergantung pada jiwa yang berbudi luhur dan tertata dengan baik. Untuk mencapai hal ini, kita harus mengembangkan kebiasaan kebajikan yang dibentuk melalui pendidikan yang layak. Seperti disebutkan, moderasi melalui Golden Mean adalah kuncinya. Hal ini akan mengakibatkan membantu negara dalam menghasilkan warga negara yang baik dengan pembangunan sosial yang tepat.Dalam Politik, Aristoteles menyebutkan bahwa ada hubungan timbal balik antara orang yang benar benar berpendidikan dan warga berpendidikan. Pengaruh Aristoteles telah sangat penting bagi Eropa dan Amerika. Beberapa pendekatan untuk berpikir termasuk mempelajari alam secara sistematis, menggunakan proses logis, mencapai kebenaran umum melalui studi khusus, mengatur hal-hal yang menjadi hirarki dan menekankan aspek rasional dari sifat manusia. Realisme Agama mulai dengan Thomas Aquinas (1225-1274) ketika ia pertama kali bertemu karya Aristoteles saat belajar di Naples, Italia. Ini mulai menyukai seumur hidup mencoba untuk bergabung filsafat Aristoteles dengan konsep Kristen. Karena itu, realisme realisme berpandangan bahwa obyek persepsi indriawi dan pengertian sungguh-sungguh ada, terlepas dari indra dan budi yang mengkapnya kerena obyek itu memang dapat diselidiki, dianalisis, dipelajari lewat ilmu, dan ditumukan hakikatnya lewat filsafat. Realisme berpendapat bahwa dalam melaksanakan prinsip-prinsip dan mengejar cita-cita etis orang perlu bersikap realistis. Artinya, dalam dalam melaksanakan prinsip dan cita-cita etis itu orang perlu memperhitungkansemua faktor ; situasi, kondisi, keadaan, ideologi, politik, ekonomi,sosial, budaya, dan orang-orang yang terlibat. Dengan memperhitungkan semua faktor itu, akan ditemukan bahwa tidak semua faktor mendukung pelaksanaan prinsip dan cita-cita etis. Ada situasi yang tak membantu. Ada kondisi yang terpenuhi. Ada kepentingan ideology-politis-ekonomis-sosial-budaya yang melawan. Ada orangorang yang karena kepentingan diri, dan ambisi untuk menguasai dan mengendalikan orang
lain, melawan pelaksanaan prinsip serta pencapaian cita-cita etis. Dalam situasi seperti itu, reasisme berusaha melaksanakan prinsip etis dan mengejar cita-cita etis sedapat mungkin. Akan tetapi, karena dalam pelaksanaan prinsip etis dan pengejaran cita-cita etis itu sudah dipertimbangkan segala factor, hasilnya dalam perbuatan etis konkret diharapkan dapat maksimal. Realism mengakui fakta, prinsip, dan cita-cita etis, menghormati dan sedapat mungkin berusaha melaksanakan dan mewujudkan. Akan tetapi, penerapan prinsip dan usaha mencapai cita-cita itu disesuaikan dengan keadaan nyata, tidak terlalu utopis dan idealis sehingga sehingga prinsip eis sama sekali tidak dapat diterapkan dan cita-cita etis tidak dapat dicapai. Sikap kaum realis ini berlawanan dengan sikap kaum fanatic dan berbeda dengan sikap kaum pragmatis. Kaum fanatic mau menerapkan prinsip etis dalam keadaan apapun; jika perlu, penghalang dan penentangnya ditundukkan serta dilenyapkan. Adapun kaum pragmatis hanya mengakui prinsip dan cita-cita yang dapat diterapkan dan dicapai.
Helenisme dan Abad Pertengahan Helenisme : Pengaruh Plato dan Aristoteles Setelah filsafat Yunani klasik mencapai puncaknya dengan munculnya Aristoteles, pemikiran filsafat Yunani merosot. Karena lima abad sepeninggal Aristoteles terjadi kekosongan, sehingga tidak ada ahli pikir yang menghasilkan buah pemikiran filsafatnya seperti Plato atau Aristoteles, sampai munculnya filosof Plotinus (204-270 SM).1 Pokok-pokok yang menjadi bahan-bahan pemikiran telah membeku, yaitu tentang jiwa, tubuh, pengamatan, pemikiran dan sebagainya, sedangkan pokok permasalahan filsafat dipusatkan pada cara hidup manusia, sehingga orang yang dikatakan bijaksana ialah orang yang mengatur hidupnya menurut budinya. Zaman sesudah Aristoteles adalah zaman baru yang dimulai dengan zaman pemerintahan Alexander yanag Agung, zaman ini disebut Helenisme. Istilah Helenisme adalah istilah modern yang diambil dari bahasa Yunani Kuno Hellenizein, yang berarti berbicara atau berkelakuan seperti orang Yunani. Yang dimaksud dengan Helenisme klasik yang ada di Yunani itu ialah kebudayaan yunani yang berkembang pada abad ke-5 dan ke-4 SM. Dalam pengertian yang lebih luas, Helenisme adalah istilah yang menunjuk kebudayaan yang merupakan gabungan antara budaya Yunani dan budaya Asia kecil, Siria, Mesopotamia, dan Mesir yang lebih tua. Gabungan itu terjadi selama tiga abad setelah meninggalnya Alexander yang Agung pada tahun 323 SM. Seorang dikatakan Hellene bila ia berbicara dan menggunakan kebudayaan Yunani, dimana ia berada. Jadi pemikiran filsafat Helenisme adalah filsafat Yunani untuk mencari hakikat sesuatu atau sebuah pemikiran untuk menjadi suatu kebenaran yang terjadi pada masa Yunani kuno. Secara umum filsafat Helenisme tidak begitu orisinil, karena tidak ada Plato baru atau Aristoteles baru yang muncul dalam panggung. Sebaliknya, kedua filsuf besar itu menjadi sumber ilham bagi sejumlah aliran filsafat pada zaman itu seperti Epicurisme, Stoaisme, Skeptisme dan NeoPlatonisme. Plotinus, filsafat Patristik dan Skolastik di Barat Kristen. Plotinus lahir di Mesir dan menempuh pendidikannya di Yunani. Ia menetap di Roma setelah mengikuti ekspedisi Kaisar Gordian. Filsafat Plotinus mengombinasikan ajaran mistis dan cara praktis dan memiliki pengaruh yang sangat kuat pada teologi Kristen. Filsafatnya bertujuan untuk membantu para muridnya kembali menyatu atau bergabung kepada “Yang Esa” dengan cara kontemplasi mirip dengan teologi trinitas dalam agama Kristen, ia percaya pada tiga hal yang bersifat surgawi, yaitu Yang Esa, Intelektualitas dan Jiwa. Yang Esa adalah sesuatu yang bersifat serba baik tanpa batas dari tidak dapat dideskripsikan mengikuti filsafat Plato. Deskripsi menggunakan bahasa hanya dapat menunjuk Yang Esa. Plotinus menggambarkan bahwa
“Yang Esa” adalah sebagai cahaya ditengah kegelapan. Plotinus mengajarkan bahwa dari semua yang ada, ada satu yang tertinggi, sepenuhnya transeden “Yang Esa” tidak mengandung divisi, keragaman atau perbedaan. Level berikutnya adalah Intelektualitas, sebagai sumber dan landasan bentuk dan materi dunia yang dalam istilah Plato disebut form. Pikiran dan objek yang dipikir menyatu dalam intelektualitas, tidak ada pemisahan antara subjek dan objek, yang memahami dan yang dipahami. Jiwa berhubungan dengan rasionalitas atau pikiran yang berwacana. Jiwa memiliki dua level; level atas jiwa menghadap kedalam dan melihat hal-hal surgawi dengan intelektualitas, sedangkan level bawah jiwa menghadap keluar kepada yang disebut alam. Level inilah yang bertanggung jaawab terhadap alam materi. Kedua level ini ada dalam diri manusia. Manusia dapat memilih apakah akan berkonsentrasi kedalam untuk melihat hal-hal surgawi atau keluar ke alam materi. Filsafat Patristik Istilah Patristik dari kata latin pater atau Bapak, yang artinya para pemimpin gereja. Para pemimpin gereja ini dipilih dari golongan atas atau golongan ahli pikir. Dari golongan ahli pikir inilah menimbulkan sikap yang beragam pemikirannya. Mereka ada yang menolak filsafat Yunani dan ada yang menerimanya. Bagi mereka yang menolak, alasannya karena beranggapan bahwa sudah mempunyai sumber kebenaran yaitu firman Tuhan, tetapi tidak ada jeleknya menggunakan filsafat Yunani hanya diambil metodosnya saja. Walaupun filsafat Yunani sebagai kebenaran manusia, akan tetapi manusia juga sebagai ciptaan Tuhan. Jadi, menerima filsafat Yunani diperbolehkan selama dalam hal hal tertentu tidak bertentangan dengan agama. Perbedaan pendapat tersebut berkelanjutan, sehingga orang-orang yang menerima filsafat Yunani menuduh bahwa mereka (orang-orang Kristen yang menolak filsafat Yunani) itu munafik. Akibatnya muncul upaya untuk membela agama Kristen, yaitu para apologis dengan kesadarannya membela iman Kristen dari serangan filsafat Yunani, yaitu : a. Justinus Martir Menurut pendapatnya, agama Kristen bukan agama baru, karena Kristen lebih tua dari filsafat Yunani dan Nabi Musa dianggap sebagai awal kedatangan Kristen. Selanjutnya dikatakan, bahwa filsafat Yunani itu mengambil dari kitab Yahudi. Dalam mengembangkan aspek logosnya ini orang-orang Yunani (Socrates, Plato dan lainlain) kurang memahami apa yang terkandung dan memancar dari logosnya yaitu pencerahan. Sehingga orang- orang Yunani dapat dikatakan menyimpang dari ajaran murni karena terpengaruh oleh setan. Jadi, agama Kristen lebih bermutu dibanding dengan filsafat Yunani. b. Klemens Ia termasuk pembela Kristen, tetapi tidak membenci filsafat Yunani. Pokokpokok pikirannya sebagai berikut: 1. Memberikan batasan batasan terhadap ajaran Kristen untuk mempertahankan diri dari otoritas filsafat Yunani. 2. Memerangi ajaran yang anti
terhadap Kristen dengan menggunakan filsafat Yunani. 3. Bagi orang Kristen filsafat dapat dipakai untuk membela iman Kristen dan memikirkan secara mendalam. c. Tertullianus Ia dilahirkan bukan dari keluarga Kristen tetapi setelah melaksanakan pertobatan ia gigih membela Kristen dengan fanatik. Ia menolak kehadiran filsafat Yunani, karena filsafat dianggap tidak perlu. Baginya berpendapat bahwa wahyu Tuhan sudahlah cukup, dan tidak ada hubungan antara teologi dengan filsafat. Tidak ada hubungan antara Yerussalem (pusat agama) dengan Yunani (pusat filsafat), tidak ada hubungan antar gereja dengan akademi, tidak ada hubungan antara Kristen dengan penemuan baru karena apa yang dikatakan para filosof Yunani tentang kebenaran pada hakekatnya sebagai kutipan dari kitab suci. Akan tetapi karena kebodohan para filosof kebenaran kitab suci terbut di palsukan. Akhirnya Tertullianus melihat filsafat hanya dimensi praktisnya saja dan ia menerima filsafat sebagai cara atau metode berfikir untuk memikirkan kebenaran keberadaan Tuhan beserta sifatsifatnya. d. Augustinus Menurut pendapatnya daya pemikiran manusia ada batasnya, tetapi pikiran manusia dapat mencapai kebenaran dan kepaastian yang tidak ada batasnya, yang bersifat kekal abadi. Artinya akal pikiran manusia dapat berhubungan dengan sesuatu kenyataan yang lebih tinggi. Akhirnya ajaran Augustinus berhasil menguasai 10 abad dan mempengarui pemikiran Eropa. Perlu diperhatikan bahwa pemikir Patristik itu sebagai pelopor pemikiran Skolastik. Ajaran Augustinus sebagai akar dari Skolastik dapat mendominasi hampir 10 abad, karena ajarannya lebih bersifat sebagai metode daripada suatu sistem sehingga ajaran-ajarannya mampu meresap sampai masa Skolastik. Skolastik Istilah Skolastik adalah kata sifat yang berasal dari kata school, yang berarti sekolah. Jadi, Skolastik adalah aliran atau yang berkaitan dengan sekolah. Terdapat beberapa pengertian dari corak khas Skolastik, yaitu: a. Filsafat Skolastik adalah filsafat yang mempunyai corak semata-mata agama. Karena Skolastik ini sebagai bagian dari kebudayaan abad pertengahan yang religius b. Filsafat Skolastik adalah filsafat yang mengabdi pada teologi, atau filsafat yang rasional memecahkan persoalan persoalan mengenai berpikir, sifat ada, kejasmanian, kerohanian, baik buruk. c. Filsafat Skolastik adalah suatu sistem filsafat yang termasuk jajaran pengetahuan alam kodrat, akan dimasukkan kedalam bentuk sintesa yang lebih tinggi antara kepercayaan dan akal. d. Filsafat Skolastik adalah filsafat nasrani, karena banyak dipengaruhi oleh ajaran gereja. Filsafat Skolastik dapat tumbuh dan berkembang karena adanya faktor religius dan faktor ilmu pengetahuan. Masa Skolastik dibagi menjadi tiga periode, yaitu : a. Skolastik awal Pada abad ke 8 M kekuasaan berada dibawah Karel Agung (742- 814) baru dapat memberikan suasana ketenangan dalam bidang
politik, kebudayaan dan ilmu pengetahuan, termasuk kehidupan manusia serta pemikiran filsafat yang kesemuanya menampakkan mulai adanya kebangkitan. Kebangkitan inilah merupakan kecemerlangan abad pertengahan, dimana arah pemikirannya berbeda sekali dengan sebelumnya. Pada saat inilah merupakan zaman baru bagi bangsa Eropa yang ditandai dengan Skolastik yang didalamnya banyak diupayakan ilmu pengetahuan yang dikembangkan di sekolah-sekolah. Pada mulanya Skolastik ini timbul pertama kalinya di Biara Italia Selatan dan akhirnya sampai berpengaruh ke Jerman dan Belanda. Tokoh-tokohnya adalah Aquinas, Johannes Scotes Eriugena, Peter Lombard, John Salisbury, Peter Abaelardus. b. Skolastik puncak Masa ini merupakan kejayaan Skolastik yang berlangsung dari tahun 1200-1300, dan masa ini juga disebut masa berbunga karena pada masa itu ditandai dengan munculnya universitas-universitas dan ordo- ordo yang secara bersama sama ikut menyelenggarakan atau memajukan ilmu pengetahuan, disamping juga peranan universitas sebagai sumber atau pusat ilmu pengetahuan dan kebudayaan. c. Skolastik akhir Masa ini ditandai dengan adanya rasa jemu terhadap segala macam pemikiran filsafat yang menjadi kiblatnya, sehingga memperlihatkan stagnasi. Diantara tokoh tokohnya adalah William Ockham (1285-1349) dan Nicolas Cusasus (1401-1464).4 C. Filsafat di Timur Islam Filsafat Islam adalah berfikir secara sistematis, radikal dan universal tentang hakikatsegala sesuatu berdasarkan ajaran Islam. Singkatnya filsafat Islam itu adalah filsafat yang berorientasi pada Al-Qur’an, mencari jawaban mengenai masalah-masalah asasi berdasarkan wahyu Allah. 8 Ciri kefilsafatan Islam : 1. Sebagai filsafat religious-spiritual Dikatakan filsafat religious, karena filsafat Islam tumbuh di jantung Islam dan tokohtokohnya dididik dengan ajaran-ajaran Islam, ataupun semangat Islam dan hidup dengan suasana Islam. Topik-topik yang terkandung dalam filsafat Islam bersifat religious, bermula dengan mengesakan Tuhan dan menganalisa secara universal kemudian menggambarkan Allah yang maha Agung adalah bersifat abstrak dan suci, dimana keesaan mutlak dan kesempurnaan total bagi-Nya karena Ia adalah pencipta. Filsafat religious ini sangat memberikan perhatian kepada jiwa karena di dalam jiwa manusia terdapat Nur dan Ilahi. 2. Sebagai filsafat rasional Filsafat rasional sangat bertumpu pada akal dalam menafsirkan problematika ke-Tuhanan, manusia dan alam. Terdapat 2 tugas akal. Pertama bertugas mengendalikan badan dan tingkah laku.Kedua, menerima pandangan-pandangan inderawi. 3. Filsafat sinkretis Adalah filsafat yang memadukan pemikiran atau pendapat antara filosof. 4. Filsafat yang berhubungan kuat dengan ilmu pengetahuan Filsafat Islam berhubungan kuat dengan ilmu pengetahuan karena dalam kajian filosof terdapat ilmu pengetahuan dan problematika saintis,dan sebaliknya dalam kajian saintis terdapat prinsip dan teori filosofis
mereka memberikan pemecahan atas masalah fisika. Contohnya buku Al-Syifa, ensiklopedi filsafat Arab terbesar, karena buku ini berisi logika, fisika, matematika dan metafisika. Filsuf Muslim : 1. Al-Kindi Nama lengkapnya Abu Yusuf, Ya’kub bin Ishak Al-Sabbah bin Imran bin Al-Asha’ ath bin Kays Al-Kindi. Beliau biasa disebut Ya’kub, lahir pada tahun 185 H (801 M) di Kufah. Al-Kindi mengarang buku-buku yang menganut keterangan Ibnu AlNadim buku yang ditulisnya berjumlah 241 dalam bidang filsafat, logika, aritmatika, astronomi, kedokteran, ilmu jiwa, politik, optika, musik, matematika dan sebagainya.dari karangan-karangannya, dapat kita ketahui bahwa Al-Kindi termasuk penganut aliran Eklektisisme; dalam metafisika dan kosmologi mengambil pendapat Aristoteles, dalam psikologi mengambil pendapat Plato, dalam hal etika mengambil pendapat Socrates dan Plato. Mengenai filsafat dan agama Al-Kindi berusaha mempertemukan antara kedua hal filsafat Aristoteles, Plato dan Galenius, dalam bidang-bidang logika, fisika, etika dan metafisika. Meskipun banyak tokoh filsafat yang diulas dipikirannya, namun ia lebih terkenal sebagai pengulas Aristoteles. 2. Ibnu Sina Ibnu Sina dilahirkan dalam masa kekacauan, dimana Khilafah Abbasiyah mengalami kemunduran. Pengaruh Ibnu Sina dalam soal kejiwaan tidak dapat diremehkan, baik pada dunia pikir Arab sejak abad ke-10 M sampai akhir abad ke-19 M, terutama pada Gundissalinus, Albert the Great, Thomas Aquinas, Roger Bacon dan Dun Scott. Bahkan juga ada pertaliannya dengan pikiran-pikiran Descartes tentang hakikat jiwa dan wajahnya. Karya-karya Ibnu Sina yang terkenal adalah Asy-Syifa, AnNajat, Al-Isyarat wat-Tanbihat, Al-Hikmat Al-Masyriqiyyah, Al-Qanun atau Canon of Medicine. Al-Ghazali Ia adalah Abu Hamid Ibn Muhammad Al-Ghazali Ath-Thusi, bergelar Hujjatul Islam. Lahir tahun 450 H di Tus. Al-Ghazali adalah seorang ahli pikir Islam yang dalam ilmunya, dan mempunyai nafas panjang dalam karangan-karangannya. Puluhan buku telah ditulisnya yang meliputi berbagai lapangan ilmu, antara lain teologi Islam (ilmu kalam), hukum Islam (fiqih), tasawuf, tafsir, akhlak, dan adab kesopanan kemudian autobiografi. Karyanya yang sangat mengagumkana adalah yang berjudul Maqashid Al-Falasifah. Ibnu Rusyd Ia adalah Abul Walid Muhammad bin Ahmad bin ibn Rusyd, kelahiran Cordova pada tahun 520 H. Ibnu Rusyd adalah seorang ulama besar dan pengulas yang dalam terhadap filsafat Aristoteles. Buku- bukunya yang lebih penting dan yang sampai kepada kita ada empat yaitu Bidayatul-Mujtahid, Faslul-Maqalfi ma baina Al-Hikmati was-Syari’at min Al-Ittisal, Manahij Al-Adillah fi Aqaidi Ahl Al-Millah, dan Tahafur At- Tahafut. Al-Farabi Nama aslinya Abu Nasr Muhammad bin Muhammad bin Tharkhan. Sebutan Al-Farabi diambil dari nama kota Arab, ia dilahirkan pada tahun 257 H (870 M). Al-Farabi luas pengetahuannya, mendalami ilmu-ilmu yang ada pada masanya dan mengarang buku-buku
dalam ilmu tersebut. Buku-bukunya, baik yang sampai kepada kita maupun yang tidak, menunjukkan bahwa ia mendalami ilmu-ilmu bahasa, matematika, kimia, astronomi, kemiliteran, musik, ilmu alam, ketuhanan, fiqh , dan mantik. Diantara karangan-karangannya ialah ; Aghradhu ma Ba’da Ath-Tha’biah, Al-Jam’u baina Ra’yai Al-Hakimain, Tahsil AsSa’adah, ‘Uyun ul-Masail, Ara-u Ahl-il madinah Al-Fadlilah dan Ih-sha’u al-Ulum. Pengaruh filsuf muslim terhadap kebangkitan filsafat barat Dalam bidang peradaban materi, Eropa banyak berhutang budi terhadap perang salib. Perang ini telah membawa kaum Kristen kedalam kontak langsung dengan orang-orang muslim di tanah Islam itu sendiri. Orang-orang Kristen mendapati bahwa di Levant banyak hal baru bagi mereka dan teknikteknik yang tidak dikenal di Barat. Oleh karena itu ketika terjadi gencatan senjata, mereka memanfaatkan kesempatan ini untuk mempelajari teknik- teknik baru di bidang pertanian, industri dan kerajinan, serta melakukan hubungan perdagangan dengan orang-orang muslim. Lama-kelamaan, perang salib menyesuaikan diri dengan usaha politik perdagangan bandarbandar. Italia, terutama Venezia. Selain Venezia, kota kota perdagangan di Italia Utara, Jerman Selatan, dan Belanda juga berkembang akibat perang salib. Selain melalui perang salib, cara lain terjadinya sentuhan peradaban Islam terhadap Eropa adalah melalui cara yang murni damai di Andalusia. Ketika Eropa masih larut dalam keterbelakangan, Andalusia telah tumbuh dalam kemajuan dan kegemilangan peradaban. Ustadz Muhammad Al-Husaini Rakha mengatakan, “Di antara bukti kebesaran peradaban Spanyol bahwa di Cordova saja terdapat lima puluh rumah sakit, sembilan ratus toilet, delapan ratus sekolah, enam ratus masjid, perpustakaan umum yang memuat enam ratus ribu buku dan tujuh puluh perpustakaan pribadi lainnya”. Orang-orang Eropa aktif berinteraksi dengan orang-orang Arab dan mengambil ilmu dari mereka serta mengambil manfaat dari peradaban mereka. Orang-orang Eropa datang ke Andalusia untuk belajar di universitas-universitas umat Islam. Diantara mereka banyak terdapat tokoh gerrja dan tokoh bangsawan. Orang-orang Eropa yang belajar di universitas-universiats Andalusia itu melakukan gerakan penerjemahan kitabkitab para ilmuwan muslim yang berbahasa Arab ke bahasa Latin dan mulailah buku-buku tersebut diajarkan ke perguruan-perguruan tinggi di Barat. Ketika itu, bahasa Arab menjadi bahasa terdepan di dunia dalam masalah ilmu pengetahuan. Pada abad XII diterjemahkan kitab Al-Qanun karya Ibnu Sina mengenai kedokteran. Pada akhir abad XIII diterjemahkan pula kitab Al-Hawiy karya Ar-Razi yang lebih luas dan lebih tebal daripada Al-Qanun. Kedua buku ini hingga abad XVI masih menjadi buku pegangan bagi pengajaran ilmu kedokteran di perguruan tinggi Eropa. Buku-buku filsafat bahkan terus berkembang
penerjemahannya lebih banyak daripada itu. Bangsa Barat belum pernah mengenal filsafatfilsafat Yunani kuno kecuali melalui karangan dan terjemahan-terjemahan para ilmuwan muslim. Banyak orang Barat yang jujur mengakui bahwa pada abad pertengahan, kaum muslimin adalah guru-guru bangsa Eropa selama tidak kurang dari enam ratus tahun. Gustave Lebon mengatakan bahwa terjemahan buku-buku bangsa Arab (Islam) terutama buku-buku keilmuan, hampir menjadi sumber satu- satunya bagi pengajaran di banyak perguruan tinggi Eropa selama lima atau enam abad. Dapat dikatakan bahwa pengaruh bangsa Arab dalam beberapa bidang ilmu, seperti ilmu kedokteran, masih berlanjut hingga sekarang. Buku- buku karangan Ibnu Sina pada akhir abad yang lalu masih diajarkan di Montpellier. Lebon juga mengatakan hanya buku Arablah yang dijadikan sandaran oleh Roger Bacon, Leonardo da Vinci, Arnold de Philippe, Raymond Lull, San Thomas, Albertus Magnus, serta Alfonso X dari Castella.